Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

PADA KASUS OPEN FRAKTUR HUMERUS SINISTRA

DI RUANGAN PUNAI 2

RSUD AJI MUHAMMAD PARIKESIT TENGGARONG

DISUSUN OLEH:

Desvi Tiara Hanum

NIM. P07220220049

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN


KALIMANTAN TIMUR

JURUSAN

KEPERAWATAN TAHUN

2022
A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing
Care Plans and Documentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku
Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing Suatu keadaan diskontinuitas
jaringan struktural pada tulang. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang atau
tulang rawan.
Fraktur merupakan ancaman potensial atau aktual kepada integritas seseorang
akan mengalami gangguan fisiologis maupun psikologis yang dapat menimbulkan
respon berupa nyeri. Nyeri tersebut adalah keadaan subjektif dimana seseorang
memperlihatkan ketidak nyamanan secara verbal maupun non verbal. Respon
seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh emosi, tingkat kesadaran, latar belakang
budaya, pengalaman masa lalu tentang nyeri dan pengertian nyeri. Nyeri mengganggu
kemampuan seseorang untuk beristirahat, konsentrasi, dan kegiatan yang biasa
dilakukan. Jumlah penderita mengalami fraktur di Amerika Serikat sekitar 25 juta
orang pertahun.

B. Etiologi
Suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga fisik,
olahraga dan trauma dapat disebabkan oleh:
1. Fraktur fisiologis
a. Trauma langsung
Yaitu pukulang langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara
spontan. Yang paling lazim adalah karena kecelakaan sepeda motor. Fraktur
ini disebabkan karena kekuatan yang berlebihan dan tiba-tiba, dapat berupa
pemukulan, pemuntiran, penekukan maupun penarikan antara tendon dan
ligament sehingga bisa berakibat tulang terpisah. Trauma langsung
menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian
sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b. Trauma tidak langsung
Yaitu pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh.
Trauma tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Trauma akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekanan, kombinasi dari ketiganya dan penarikan
2. Fraktur patologis
Dalam hal ini kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur ataupun akibat kelemahan tulang
akibat kelainan tulang. Dapat terjadi pada berbagai keadaan berikut:
a) Tumor tulang, terbagi menjadi jinak dan ganas
b) Infeksi seperti osteomielitis
c) Scurvy (penyakit gusi berdarah)
d) Osteomalasia
e) Rakhitis
f) Osteoporosis

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang tempat melengketnya
otot.
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. (uji krepitus
dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera.

D. Patofisiologi
Fraktur / patah tulang terjadi karena benturan tubuh, jatuh / trauma. Baik itu
karena trauma langsung, misalnya : tulang kaki terbentur bumper mobil, karena
trauma tidak langsung, misalnya : seseorang yang jatuh dengan telapak tangan
menyangga. Juga bisa oleh karena trauma akibat tarikan otot misalnya tulang patella
dan olekranon, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi.
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidakterdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur
terbukabila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena
perlukaandi kulit.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan
kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalamikerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-
sel darah putihdan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke
tempat tersebut.Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat
patah terbentuk fibrin(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk
melekatkan sel-sel baru.Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru
umatur yang disebut callus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodelling untukmembentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembekakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total
dan berakibat anoksia yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan
otot. Komplikasi ini dinamakan syndrom kompartemen.
E. Pathway

F. Klasifikasi
Penampakan fraktur dapat sangat bervariasi dan dibagi menjadi beberapa kelompok,
yaitu:
a) Berdasarkan sifat fraktur
1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
 Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cidera jaringan
lunak sekitarnya.
 Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan
 Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakkan
 Tingkat 3 : cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindrom kompartement
2. Fraktu terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b) Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur
1. Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang
2. Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
 Buckle atau torus fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya
 Green stick fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi oada tulang panjang
c) Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
1. Fraktur transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung
2. Fraktur oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
3. Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi
4. Fraktur kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksia fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain
5. Fraktur avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
yang insersinya pada tulang.
d) Berdasarkan jumlah garis patah
1. Fraktur komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan
2. Fraktur segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan
3. Fraktur multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama
e) Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
1. Fraktur undisplaced ( tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh
2. Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
 Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping)
 Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
 Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh)
f) Fraktur kelelahan : fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang
g) Fraktur patologis : fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang

G. Komplikasi
1. Komplikasi awal
 Syok hipovolemik atau traumatik : bisa berakibat fatal dalam beberapa jam
setelah cedera. Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan ( baik
kehilangan darah eksternal maupu tak kelihatan) dan kehilangan cairan
ekstremitas, toraks, pelvis dan vertebra.
 Emboli lemak : dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih
 Sindrom kompartemen : berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen
jika tidak ditangani segera. Sindrom kompartemen merupakan masalah
yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otor kurang dari yang dibutuhkan.
untuk kehidupan jaringan. Biasanya pasien akan merasa nyeri pada saat
bergerak. Ada 5 tanda syndrome kompartemen:
- Pain : nyeri
- Pallor : pucat
- Pulseness : tidak ada nadi
- Parastesia : rasa kesemutan
- Paralysis : kelemahan sekitar lokasi terjadinya syndrome
 Infeksi
 Koagulopati intravaskuler diseminata (KID) : sekelompok kelainan
pendarahan dengan berbagai penyebab, termasuk trauma massif.
Manifestasi KID meliputi : ekimosis, pendarahan yang tidak terduga
setelah pembedahan, dan perdarahan dari membrane mukosa, tempat
penusukan jarum infus, saluran gastrointestinal dan kemih.

H. Penatalaksanaan Medis
Menurut Muttaqin (2011) tindakan untuk fraktur meliputi:
1. Gips mengantung (hanging cast). Fraktur tersebut tidak membutuhkan reduksi
yang sempurna atau imobilisasi, beratnya lengan beserta gips luarnya biasanya
cukup untuk menarik fragmen sehingga berjajar. Gips mengantung dipasang dari
bahu sampai pergelangan tangan dengan siku yang berfleksi 90 derajat dan bagian
lengan bawah tergantung pada kain gendongan yang melingkar pada leher klien.
Gips ini dapat diganti setelah 2-3 minggu dengan gips yang pendek (dari bahu ke
siku) atau suatu penahan polipropilen fungsional yang dipakai selama 6 minggu
selanjutnya. Pergelangan tangan dan jari diberi latihan sejak awal. Latihan bahu
dengan pemberat dimulai dalam seminggu, tetapi abduksi aktif ditunda hingga
fraktur telah menyatu.
2. Traksi. Fraktur dapat dipertahankan tereduksi dengan fiksator luar dan memulai
pembebanan dini (pembebanan membantu penyembuhan). Traksi yang digunakan
adalah double skin traction
3. Tindakan operatif dengan pemasangan plate dan screw atau pin dengan adanya
indikasi operasi, yaitu terjadi lesi nervus radialis setelah dilakukan reposisi
(jepitan nervus radialis), non-union, dan klien yang segera ingin kembali bekerja
secara aktif.
Terapi operatif terdiri dari:
 Reposisi terbuka. Fiksasi interna (Open Reduction Internal Fixation) ORIF
adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada
tulang yang mengalami fraktur. Fungsi orif untuk mempertahankan posisi
fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran.
Internal fiksasi ini berupa intra medullari nail biasanya digunakan untuk
fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur transversal.
 Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti dengan fiksasi eksterna
(Open Reduction Eksternal Fixation) OREF adalah metode alternatif
manajemen fraktur dengan fikasasi eksternal biasnaya pada ekstremitas
dan untuk fraktur lama.

I. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, utnuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.
1) Anamnesa
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan pada kasus fraktur adalah nyeri.
- Provoking incident : apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presipitasi nyeri
- Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk
- Region : radiation, relief : apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi
- Severity (scale) of pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh
rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungisnya.
- Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
f. Riwayat psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
g. Pola-pola fungsi kesehatan
- Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan
untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak.
- Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien fraktur harus mengonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya sepeti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
- Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feses pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pola eliminasi uri
dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau dan jumlahnya,
- Pola tidur dan istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat menganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
- Pola aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu orang lain. Hal ini yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas
klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
- Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap
- Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakadekuatan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah.
- Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
diastal fraktur, sedangkan pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
- Pola reproduksi seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
- Pola penanggulangan stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif
- Pola tata nilai dan keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2) Pemeriksaan fisik
a. Gambaran umum
- Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda:
(a) Kesadaan penderita : apatis, sopor, coma, gelisah, kompos mentis
(b) Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pasa kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena gangguan lokal, baik fungsi
maupun bentuk
- B1 (breathing)
- B2 (blood)
- B3 (brain)

J. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (D.0077)
2. Gangguan Rasa Nyaman berhubungan dengan gejala penyakit (D.0074)
3. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Nyeri dan Ketidakbugaran Fisik
(D.0054)
4. Gangguan Integritas Kulit/jaringan berhubungan dengan faktor mekanis (D.0129)
5. Resiko infeksi b.d kerusakan integritas kulit (D.0142)

K. Perencanaan
No Diagnosa Tujuan & kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
. keperawatan
1 Nyeri Akut Tingkat nyeri (L.08066) Manajemen nyeri (I.08238)
berhubungan dengan
agen pencedera fisik Setelah dilakukan Obsservasi:
(D.0077) intervensi keperawatan 1.1 Identifikasi lokasi,
selama 3x24 jam maka karakteristik,
diharapkan Tingkat nyeri durasi, frekuensi,
menurun dengan kriteria kualitas, intensitas
hasil: nyeri
1. Keluhan nyeri 1.2 Identifikasi skala nyeri
menurun. 1.3 Monitor efek
samping penggunaan
analgetik
2. Meringis menurun
3. Kesulitan tidur Terapeutik:
menurun. 1.4 Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
1.5 Fasilitasi istirahat
dan tidur

Edukasi:
1.6 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
1.7 Anjurkan monitor
nyeri secara mandiri
1.8 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi:
1.9 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu.
2 Gangguan Rasa Status Kenyamanan Terapi Relaksasi (I.09326)
Nyaman (L.08064)
berhubungan dengan Observasi:
gejala penyakit Setelah dilakukan 2.1 Identifikasi penurunan
(D.0074) intervensi keperawatan tingkat energi,
selama 3x24 jam maka ketidakmampuan
diharapkan status berkonsentrasi, atau
kenyamanan meningkat gejala lain yang
dengan kriteria hasil: mengganggu kemampuan
1. Keluhan tidak kognitif
nyaman menurun 2.2 Identifikasi teknik
2. Gelisah menurun relaksasi yang
3. Merintih menurun pernah efektif
digunakan
2.3 Identifikasi kesediaan,
4. Rileks meningkat kemampuan, dan
penggunaan teknik
sebelumnya
2.4 Periksa ketegangan otot,
frekuensi nadi, tekanan
darah, dan suhu
sebelum dan sesudah
latihan
2.5 Monitor respons
terhadap relaksasi

Terapeutik:
2.6 Ciptakan lingkungan
tenang dan tanpa
gangguan dengan
pencahayaan dan
suhu ruang nyaman,
jika memungkinkan.
2.7 Gunakan relaksasi
sebagai strategi
penunjang dengan
analgetik atau tindakan
medis lain, jika sesuai.

Edukasi:
2.8 Jelaskan tujuan, manfaat,
batasan, dan jenis relaksasi
yang tersedia
2.9 Anjurkan mengambil
posisi nyaman
2.10 Anjurkan rileks
dan merasakan
sensasi relaksasi
2.11 Anjurkan sering
mengulangi atau melatih
teknik yang dipilih
2.12 Demonstrasikan relaksasi
dan latih teknik relaksasi
3 Gangguan Mobilitas Mobilitas fisik (L. 05042) Dukungan Ambulasi (I.06171)
Fisik berhubungan
dengan Nyeri dan Setelah dilakukan Observasi:
Ketidakbugaran intervensi keperawatan 3.1 Identifikasi adanya nyeri
Fisik (D.0054) selama 3x24 jam maka atau keluhan nyeri fisik
diharapkan mobilitas fisik lainnya
meningkat dengan kriteria 3.2 Identifikasi toleransi fisik
hasil: melakukan ambulasi
1. Nyeri menurun 3.3 Monitor kondisi umum
2. Kecemasan selama melakukan
menurun ambulasi
3. Gerakan terbatas
Terapeutik:
menurun
3.4 Fasilitasi aktivitas
ambulasi dengan alat
bantu
3.5 Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi

Edukasi:
3.6 Jelaskan prosedur dan
tujuan ambulasi
3.7 Anjurkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan

4 Gangguan Integritas Integritas kulit dan jaringan Perawatan luka (I.14564)


Kulit/jaringan (L.14125)
berhubungan dengan Observasi:
faktor mekanis Setelah dilakukan 4.1 Monitor karakteristik
intervensi keperawatan luka
(D.0129) selama 3x24 jam maka 4.2 Monitor tanda-tanda
diharapkan integritas kulit infeksi
dan jaringan meningkat 4.3 Lepaskan balutan dan
dengan kriteria hasil: plester secara perlahan
1. Kerusakan jaringan 4.4 Cukur rambut di sekitar
menurun daerah luka
2. Kerusakan lapisan 4.5 Bersihkan dengan cairan
kulit menurun NaCl atau pembersih
3. Nyeri menurun nontoksik, sesuai
kebutuhan
4.6 Bersihkan jaringan
nekrotik
4.7 Beri salep yang sesuai ke
kulit/lesi, jika perlu
4.8 Pasang balutan sesuai
jenis luka
4.9 Pertahankan teknik steril
saat melakukan
perawatan luka
4.10 Ganti balutan sesuai
dengan jumlah eksudat
dan drainase
4.11 Jadwalkan perubahan
posisi setiap 2 jam atau
sesuai kondisi pasien
4.12 Berikan diet dengan
kalori 30-
35kkal/kgBB/hari dan
protein 1,25-1,5
g/kgBB/hari
4.13 Berikan suplemen
vitamin dan mineral
4.14 Berikan terapi TENS,
jika perlu

Edukasi:

4.15 Jelaskan tanda dan gejala


infeksi
4.16 Ajarkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri

Kolaborasi:

4.17 Kolaborasi prosedur


debridement
4.18 Kolaborasi pemberian
antibiotik

5 Resiko infeksi b.d Tingkat infeksi (L.14137) Pencegahan infeksi (I.14539)


kerusakan integritas
kulit (D.0142) Setelah dilakukan Observasi:
intervensi keperawatan 1.1 Monitor tanda dan gejala
selama 3x24 jam maka infeksi lokal dan
diharapkan tingkat infeksi sistemik
menurun dengan kriteria
hasil: Terapeutik:
1. demam menurun 1.2 Batasi jumlah pengunjung
2. nyeri menurun 1.3 Cuci tangan sebelum
3. bengkak menurun dan sesudah kontak
kebersihan badan dengan pasien dan
meningkat lingkungan pasien
1.4 Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
berisiko tinggi

Edukasi:
1.5 Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
1.6 Ajarkan etika batuk

Kolaborasi:
1.7 Kolaborasi pemberian
imunisasi jika perlu

L. Implementasi
Implementasi merupakan tahap ketika perawat mengaplikasikan atau
melaksanakan rencana asuhan keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan
guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Nursalam, 2015).
Pada tahap pelaksanaan ini kita benar-benar siap untuk melaksanakan intervensi
keperawatan dan aktivitas-aktivitas keperawatan yang telah dituliskan dalam rencana
keperawatan pasien. Dalam kata lain dapat disebut bahwa pelaksanaan adalah
peletakan suatu rencana menjadi tindakan yang mencakup :
a. Penulisan dan pengumpulan data lanjutan
b. Pelaksanaan intervensi keperawatan
c. Pendokumentasian tindakan keperawatan
d. Pemberian laporan/mengkomunikasikan status kesehatan pasien dan respon
pasien terhadap intervensi keperawatan

Pada kegiatan implementasi diperlukan kemampuan perawat terhadap penguasaan


teknis keperawatan, kemampuan hubungan interpersonal, dan kemampuan intelektual
untuk menerapkan teori-teori keperawatan kedalam praktek.

M. Evaluasi
Evaluasi adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk menentukan
apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan dilanjutkan,
merevisi rencana atau menghentikan rencana keperawatan (Nursalam, 2015).

N. Daftar Pustaka

Black J, M., Jane, H.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta :
Salemba Medika
Brunner & Sudarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Edisi. 2. Jakarta : EGC
Nursalam. (2015). Manajemen Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika
Padila. 2012. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika
Tim Pokja Sdki PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.Jakarta
Selatan.
Tim Pokja Siki PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan.
Tim Pokja Slki PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.Jakarta
Selatan.

Anda mungkin juga menyukai