Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


FRACTURE FEMUR DEXTRA

Disusun oleh
Nama : Siti Fariha Nur
Nim : 3720220064

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI”IYAH
JAKARTA
2023

1
I. Konsep Penyakit
1.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai
dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, ruptur tendon, kerusakan
pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Smeltzer, 2001)

Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur
(Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat & Jong (2005) fraktur
femur adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau
trauma langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan
sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis
bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak
(otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang
dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha.

Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan bahwa
fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan kontinuitas
tulang femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak
langsung disertai dengan adanya kerusakan jaringan lunak.

1.2 Anatomi
Anatomi femur
Femur atau tulang paha merupakan tulang yang memanjang dari panggul
ke lutut dan merupakan tulang terpanjang dan terbesar di dalam tubuh, panjang
femur dapat mencapai seperempat panjang tubuh.
Femur dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu ujung proksimal, batang,
dan ujung distal. Ujung proksimal bersendi dengan asetabulum tulang panggul
dan ujung distal bersendi dengan patella dan tibia. Ujung proksimal terdiri dari
caput femoris, fores capitis femoris, collum femoris, trochanter mayor, fossa
trochanterica, trochanter minor, trochanter tertius, linea intertrochanter, dan crista
intertrochanterica. Batang atau corpus femur merupakan tulang panjang yang
mengecil di bagian tengahnya dan berbentuk silinder halus dan bundar di
depannya. Linea aspera terdapat pada bagian posterior corpus dan memiliki dua
komponen yaitu labium lateral dan labium medial. Labium lateral menerus pada
rigi yang kasar dan lebar disebut tuberositas glutea yang meluas ke bagian
belakang trochanter mayor pada bagian proksimal corpus, sedangkan labium
medial menerus pada linea spirale yang seterusnya ke linea intertrochanterica
yang menghubungkan antara trochanter mayor dan trochanter minor. Pada ujung
distal terdapat bangunan-bangunan seperti condylus medialis, condylus lateralis,
epicondylus medialis, epicondylus lateralis, facies patellaris, fossa
intercondylaris, linea intercondylaris, tuberculum adductorium, fossa dan sulcus
popliteus, linea intercondylaris, tuberculum adductorium, fossa dan sulcus
popliteus. Condylus memiliki permukaan sendi untuk tibia dan patella.
Caput femur merupakan masa bulat berbentuk 2/3 bola, mengarah ke
medial, kranial, dan ke depan. Caput femur memiliki permukaan yang licin dan
ditutupi oleh tulang rawan kecuali pada fovea, terdapat pula cekungan kecil yang
merupakan tempat melekatnya ligamentum yang menghubungkan caput dengan
asetabulum os coxae. Persendian yang dibentuk dengan acetabulum disebut
articulation coxae. Caput femurs tertanam di dalam acetabulum bertujuan paling
utama untuk fungsi stabilitas dan kemudian mobilitas.
Collum femur terdapat di distal caput femur dan merupakan penghubung
antara caput dan corpus femoris. Collum ini membentuk sudut dengan corpus
femur ± 125º pada laki-laki dewasa, pada anak sudut lebih besar dan pada wanita
sudut lebih kecil.

Gambar
Anatomi femur
Paha dibagi menjadi tiga kompartemen yaitu fleksor, ekstensor, dan
adduktor. Kompartemen-kompartemen yang menempati paha dibedakan
berdasarkan lokasinya yaitu di bagian anterior, medial, dan posterior.
Kompartemen yang menempati anterior pada diantaranya adalah:
a. Otot yang terdiri dari otot-otot fleksor panggul dan ekstensor lutut, yaitu
m. Sartorius, m. iliakus, m. psoas, m. pektineus, dan m. quadriceps
femoris.
b. Arteri femoralis dan cabang-cabangnya.
c. Vena femoralis yang merupakan lanjutan dari v. poplitea dan v. saphena
magna sebagai aliran darah utama yang mengalir melalui hiatus safenus.
d. Limfatik dari kelenjar getah bening inguinalis profunda yang terletak
sepanjang bagian terminal v. femoralis.
e. Saraf yaitu n. femoralis
Kompartemen yang menempati medial paha diantaranya adalah:
a. Otot yang terdiri dari otot adduktor panggul yaitu m. grasilis, m. adductor
longus, m. adductor brevis, m. adductor magnus, dan m obturatorius
eksternus.
b. Arteri yaitu a. profunda femoris, a. femoralis sirkumfleksa medialis dan
rami perforantes serta a. obturatoria.
c. Vena yaitu v. profunda femoris dan v. obturatoria.
d. Saraf yaitu divisi anterior dan posterior n. obturatorius
Kompartemen yang menempati posterior paha diantaranya adalah:
a. Otot yang merupakan otot hamstring dan berfungsi dalam fleksi lutut
serta ekstensi panggul. Diantaranya adalah: m. biseps femoris, m.
semitendinosus, m. semimembranosus, dan bagian hamstring dari m.
adductor magnus.
b. Arteri yaitu rami perforantes a. profunda femoris.
c. Vena yaitu vv. Komitans arteri-arteri kecil.
d. Saraf yaitu n. ischiadikus.
Caput femur mendapat pasokan darah dari tiga sumber utama yaitu:
a. Extracapsular arterial ring yaitu pembuluh darah yang melewati collum
bersama dengan retinakula capsularis dan memasuki caput melalui
foramina besar pada basis caput. Pembuluh darah ini berasal dari cabang-
cabang a. sirkumfleksa femoralis melalui anastomosis a. krusiata dan a.
trokanterika. Pada orang dewasa merupakan sumber pasokan darah
terpenting.
b. Pembuluh darah dalam ligamentum teres yang memasuki caput melalui
foramina kecil pada fovea. Pembuluh ini berasal dari cabang-cabang a.
obturatoria.
c. Pembuluh darah yang melalui diafisis dari pembuluh darah femoralis
nutrisia.
Fraktur collum femoris sering menyebabkan terganggunya akliran
darah ke caput femur dimana retinakular superior dan pembuluh epifisis
lateral merupakan sumber terpenting dalam pemasokan darah.
Pergeseran intrakapsular yang terjadi pada fraktur panggul atau
fraktur collum femoris dapat menyebabkan terobeknya sinovium dan
pembuluh darah di sekitarnya. Kerusakan progresif pada pembuluh darah
dapat menyebabkan gangguan klinis serius dan komplikasi termasuk
osteonekrosis dan nonunion.
Gambar 5. Vaskularisasi caput dan collum femur

1.3 Etiologi
A. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkanoleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan tempat. Bila tekanan
kekuatan langsungan, tulang dapat pada tempat yang terkena dan jaringan
lunak juga pasti akan ikut rusak serta kerusakan pada kulit.
B. Akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang. Hal ini sering terjadi pada atlet, penari atau calon
tentara yang berbaris atau berjalan dalam jarak jauh.
C. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang.
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal bila tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang sangat rapuh.

1.4 Tanda Dan Gejala


A. Nyeri
Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atau
kerusakan jaringan sekitarnya.
B. Bengkak
Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya.
C. Memar
Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur.
D. Spasme otot
Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.
E. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot,
paralisis dapat terjadi karena kerusakan saraf.
F. Mobilisasi abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakan.
G. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi saat tulang digerakkan.
H. Deformitas
Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, dan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

1.5 Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan
biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang
tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi
perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel
anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut
aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut
callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau
penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di
tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan
kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat
anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini di namakan sindrom compartment. (Brunner & Suddarth,
2002)

1.6 Pemeriksaan Penunjang


A. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
B. Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
C. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
D. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.
E. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.
F. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan
transfusi darah jika ada kehilangan darah yang bermakna akibat cedera atau
tindakan pembedahan.

1.7 Komplikasi
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam
setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan
sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen
jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:
A. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis,
dan vertebra karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka
dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat
trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis.
B. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera
remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-
30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam
darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan
memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak
dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit
membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil
yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya
yang sangat cepat dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu
setelah cidera, gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardi dan
pireksia.
C. Sindrom Kompertemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam
kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra
kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan
tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi
jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot,
saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta
otot-otot individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom
kompartemen ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat,
disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar
kompartemen terletak di anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh
trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.
D. Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia
tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini
sering dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid,
os. Lunatum, dan os. Talus (Suratum, 2008).
E. Atropi Otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran
normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel-
sel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada
pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse)
sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot
(Suratum, dkk, 2008).

1.8 Penatalaksanaan
Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan lokasi serta
usia. Berikut adalah tindakan pertolongan awal pada penderita fraktur :
a. Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang terjadi
karena benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang menjadi alasan
kuat pasien mengalami fraktur.
b. Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptik dan
bersihkan perdarahan dengan cara dibebat atau diperban.
c. Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal ini
tidak boleh dilakukan secara paksa dan sebaiknya dilakukan oleh para
ahli dengan cara operasi oleh ahli bedah untuk mengembalikan tulang
pada posisi semula.
d. Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau papan
dari kedua posisi tulang yang patah untuk menyangga agar posisi tetap
stabil.
e. Berikan analgetik untuk mengaurangi rasa nyeri pada sekitar perlukaan.
f. Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post
operasi.
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang
ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi). (Sjamsuhidajat & Jong, 2005
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :
1) Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden
period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan : pembersihan luka,
exici, hecting situasi, antibiotik.
Ada bebearapa prinsipnya yaitu :
a. Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang
membahayakan jiwa airway, breathing, circulation.
b. Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang
memerlukan penanganan segera yang meliputi pembidaian,
menghentikan perdarahan dengan perban tekan, menghentikan
perdarahan besar dengan klem.
c. Pemberian antibiotika.
d. Debridement dan irigasi sempurna.
e. Stabilisasi.
f. Penutup luka.
g. Rehabilitasi.
h. Life saving
Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai
penderita dengan kemungkinan besar mengalami cidera ditempat
lain yang serius. Hal ini perlu ditekankan mengingat bahwa untuk
terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya yang cukup kuat
yang sering kali tidak hanya berakibat total, tetapi berakibat multi
organ. Untuk life saving prinsip dasar yaitu : airway, breath and
circulation.
i. Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang
tersebut terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui
bahwa periode 6 jam sejak patah tulang tebuka luka yang terjadi
masih dalam stadium kontaminsi (golden periode) dan setelah
waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena itu
penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum
golden periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah
tulang terbuka, tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas
penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan prioritas
ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis,
penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.
j. Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat
bervariasi tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian
antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai
pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas
untuk kuman gram positif maupun negatif.
k. Debridemen dan irigasi
Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah
patah terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal
yang mati. Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman dengan
cara mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah
banyak baik dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
l. Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan
stabilisasi fragmen tulang, cara stabilisasi tulang tergantung
pada derajat patah tulang terbukanya dan fasilitas yang ada.
Pada derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan fiksasi
dalam secara primer. Untuk derajat 3 dianjurkan pemasangan
fiksasi luar. Stabilisasi ini harus sempurna agar dapat segera
dilakukan langkah awal dari rahabilitasi penderita.
2) Seluruh Fraktur
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
c. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi
fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan rotasfanatomis.
d. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu
dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open
reduction and external fixation=OREF) sehingga diperoleh
stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah
memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak
sekitar dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan
pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk
mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah
lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan
bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa
tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara sempurna),
sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak;
baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada
kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan).

e. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan
internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF
untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu
dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra
Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang
dengan tipe fraktur tranvers.
f. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna
atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
g. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala
upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri,
perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu
segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
1.8 Pathway
II. Rencana Asuhan Klien Dengan Fraktur Femur
2.1 Pengkajian
A. Pemeriksaan fisik: data fokus
1) Primery survey
a. Airway: Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya
sumbatan atau obstruksi,
b. Breathing: memastikan irama napas normal atau cepat, pola
napas teratur, tidak ada dyspnea, tidak ada napas cuping
hidung,dan suara napas vesikuler,
c. Circulation: nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan
darah dibawah normal bila terjadi syok, pucat oleh karena
perdarahan, sianosis, kaji jumlah perdarahan dan lokasi,
capillary refill >2 detik apabila ada perdarahan.
d. Disability: kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil
anisokor apabila adanya diskontinuitas saraf yang berdampak
pada medulla spinalis.
e. Exposure/Environment: fraktur terbuka di femur dekstra, luka
laserasi pada wajah dan tangan, memar pada abdomen, perut
semakin menegang.
2) Secondary survey
a. Fokus Asesment
1. Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata,
telinga, dan mulut. Temuan yang dianggap kritis:
Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap
cahaya ?
Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi,
terbuka/tertutup)?
Robekan/laserasi pada kulit kepala?
Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
Cairan serebro spinal di telinga atau di hidung?
Battle sign dan racoon eyes?
2. Leher: lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot
leher bagian belakang. Temuan yang dianggap kritis:
Distensi vena jugularis, deviasi trakea atau tugging,
emfisema kulit
3. Dada: Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-
otot asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan yang
dianggap kritis: Luka terbuka, sucking chest wound, Flail
chest dengan gerakan dada para doksikal, suara paru hilang
atau melemah, gerakan dada sangat lemah dengan pola
napas yang tidak adekuat (disertai dengan penggunaaan
otot-otot asesoris).
4. Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak semakin
tegang, lakukan auskultasi dan palpasi dan perkusi pada
abdomen. Temuan yang dianggap kritis ditekuannya
penurunan bising usus, nyeri tekan pada abdomen bunyi
dullness.
5. Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri
tekan. Temuan yang dianggap kritis: Pelvis yang lunak,
nyeri tekan dan tidak stabil serta pembengkakan di daerah
pubik
6. Extremitas: ditemukan fraktur terbuka di femur dextra dan
luka laserasi pada tangan. Anggota gerak atas dan bawah,
denyut nadi, fungsi motorik, fungsi sensorik.Temuan yang
dianggap kritis: Nyeri, melemah atau menghilangnya
denyut nadi, menurun atau menghilangnya fungsi sensorik
dan motorik.
7. Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi,
pernafasan dan tekanan darah.
Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale):
terjadi penurunan kesadaran pada pasien.

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 : Nyeri akut (NANDA NIC-NOC, 2015: 317 [45])
A. Definisi : Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau
digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International
Association for the study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari
intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau
diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.
B. Batasan karakteristik
1) Perubahan selera makan
2) Perubahan tekanan darah
3) Perubahan frekuensi jantung
4) Perubahan frekuensi pernapasan
5) Laporan isyarat
6) Diaforesis
7) Perilaku distraksi (mis. Berjalan mondar-mandir mencari orang
lain dan atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang)
8) Mengekspresikan perilaku (mis. Gelisah, merengek, menangis)
9) Masker wajah (mis. Mata kurang bercahaya, tampak kacau,
gerakan mata berpencar atau tetap pada satu focus meringis)
10) Sikap melindungi area nyeri
11) Fokus menyempit (mis. gangguan persepsi nyeri, hambatan
proses berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan
lingkungan)
12) Indikasi nyeri yang dapat diamati
13) Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
14) Sikap tubuh melindungi
15) Dilatasi pupil
16) Melaporkan nyeri secara verbal
17) Gangguan tidur
C. Faktor yang berhubungan
Agen cedera (mis. biologis, zat kimia, fisik, psikologis)

Diagnosa 2 : Hambatan mobilitas fisik (NANDA NIC-NOC, 2011: 472)


A. Definisi : keterbatasan dalam, pergerakan fisik mandiri dan terarah pada
tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (sebutkan tingkatnya) :
Tingkat 0 : mandiri total
Tingkat 1 : memerlukan penggunaan peralatan atau alat bantu
Tingkat 2 : memerlukan bantuan dari orang lain untuk pertolongan,
pengawasan, atau pengajaran
Tingkat 3 : membutuhkan bantuan dari orang lain dan peralatan atau alat
bantu
Tingkat 4 : ketergantungan, tidak berpartisipasi dalam aktivitas
B. Batasan karaktersitik
Objektif
1) Penurunan waktu reaksi
2) Kesulitan membolak balik tubuh
3) Asyik dengan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan
(misalnya peningkatan perhatian terhadap aktivitas orang lain,
perilaku mengendalikan, berfokus pada kondisi sebelum sakit atau
ketunadayaan aktivitas)
4) Dispnea saat beraktivitas
5) Perubahan cara berjalan (misalnya penurunan aktivitas dan
kecepatan berjalan, kesulitan untuk memulai berjalan, langkah
kecil, berjalan dengan menyeret kaki, pada saat berjalan badan
mengayun ke samping)
6) Pergerakan menyentak
7) Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik
halus
8) Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar
9) Keterbatasan rentang pergerakan sendi
10) Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
11) Ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas aktivitas
kehidupan sehari-hari)
12) Melambatnya pergerakan
13) Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi
C. Faktor yang berhubungan
1) Intoleransi aktivitas
2) Perubahan metabolism selular
3) Ansietas
4) Indeks masa tubuh di atas perentil ke 75 sesuai usia
5) Gangguan kognitif
6) Konstraktur
7) Kepercayaan budaya tentang aktivitas sesuai usia
8) Fisik tidak bugar
9) Penurunan ketahanan tubuh
10) Penurunan kendali otot
11) Penurunan massa otot
12) Malnutrisi
13) Gangguan muskuloskeletal
14) Gangguan neuromuskular, nyeri
15) Agens obat
16) Penurunan kekuatan otot
17) Kurang pengetahuan tentang aktivitas fisik
18) Keadaan mood depresif
19) Keterlambatan perkembangan
20) Ketidaknyamanan
21) Disuse, kaku sendi
22) Kurang dukungan lingkungan (misal fisik atau sosial)
23) Keterbatasan ketahanan kardiovaskuler
24) Kerusakan integritas struktur tulang
25) Program pembatasan gerak
26) Keengganan memulai pergerakan
27) Gaya hidup monoton
28) Gangguan sensori perseptual

3.1 Perencanaan

No. Tujuan & Kriteria Hasil


Intervensi (NIC) Rasional
Dx (NOC)
1. Setelah dilakukan asuhan 1. Pemberian analgesik 1. Menggunakan agen-agen
keperawatan selama … x farmakologi untuk mengurangi
24 jam diharapkan pasien atau menghilangkan nyeri
tidak mengalami nyeri 2. Manajemen medikasi 2. Memfasilitasi penggunaan
dengan kriteria hasil : obat resep atau obat bebas
1. Memperlihatkan teknik secara aman dan efektif
relaksasi secara 3. Manajemen nyeri 3. Meringankan atau mengurangi
individual yang efektif nyeri sampai pada tingkat
untuk mencapai kenyamanan yang dapat
keamanan diterima oleh pasien
2. Mempertahankan 4. Manajemen sedasi 4. Memberikan sedative,
tingkat nyeri pada __ memantau respon pasien, dan
atau kurang memberikan dukungan
3. Melaporkan nyeri pada fisiologis yang dibutuhkan
penyedia layanan selama prosedur diagnostic
kesehatan atau terapeutik
4. Tidak mengalami
gangguan dalam
frekuensi pernapasan,
frekuensi jantung atau
tekanan darah
2. Setelah dilakukan asuhan Exercice therapy : ambulation
keperawatan selama … x 1. Monitoring vital sign 1. Mencegah terjadinya
24 jam diharapkan pasien sebelum/sesudah latihan penurunan kondisi atau cedera
tidak mengalami hambatan dan lihat respon pasien pada pasien saat dilakukan
mobilitas fisik dengan saat latihan tindakan.
kriteria hasil : 2. Konsultasikan dengan 2. Meningkatkan mobilitas
1. Klien meningkat dalam terapi fisik tentang rencana pasien sesuai kondisi pasien
aktivitas fisik ambulasi sesuai dengan
2. Mengerti tujuan dari kebutuhan.
peningkatan mobilitas 3. Bantu pasien untuk 3. Membantu meningkatkan
3. Memverbalisasikan menggunakan tongkat saat kekuatan dan ketahanan otot.
perasaan dalam berjalan dan cegah
meningkatkan kekuatan terhadap cedera
dan kemampuan 4. Ajarkan pasien atau tenaga 4. Mampu melakukan tindakan
berpindah kesehatan lain tentang secara mandiri dan termotivasi
4. Memperagakan teknik ambulasi untuk meningkatkan mobilitas
kemampuan alat 5. Kaji kemampuan pasien 5. Mengetahui sejauh mana
5. Bantu untuk mobilisasi dalam mobilisasi peningkatan mobilisasi.
(walker) 6. Latih pasien dalam 6. Agar pasien mampu
pemenuhan kebutuhan melakukan aktivitas secara
ADLs secara mandiri mandiri.
sesuai kemampuan
7. Dampingi dan bantu pasien 7. Meningkatkan motivasi pasien
saat mobilisasi dan bantu dalam melakukan aktivitas
pemenuhan kebutuhan sehari-hari
ADLs pasien
8. Berikan alat bantu jika 8. Mampu melakukan aktivitas
pasien memerlukan secara mandiri guna
meningkatkan mobilitas
9. Ajarkan pasien bagaimana 9. Meningkatkan kesejahteraan
merubah posisi dan berikan fisologis dam psikologis
bantuan jika diperlukan

3.1 Diagnosa
Diagnosa yang sering muncul pada pasien dengan femur dextra adalah:
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
b. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit
c. Resiko jatuh berhubungan dengan penggunaan alat bantu jalan
3.2 intervensi keperawatan

Diagnosa Intervensi Implementasi Rasional


Nyeri b.d Agen Setelah dilakukan intervensi 3 x 24 O: - Mengetahui lokasi
Pencedera Fisiologis jam diharapkan tingkat nyeri menurun. - Identifikasi lokasi, karekteristik, durasi,
Dengan kriterial hasil karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
- Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas, itensitas intensitas nyeri
- Meringis menurun nyeri
- Gelisha menurun - Identifikasi skala nyeri - Mengetahui skala nyeri
- Kesulitan tidur menurun T:
- Dapat mengurangi rasa nyeri
- Muntah menurun - Berikan teknik
- Mual menurun nonfarmkologis untuk
- Tekanan darah membaik mengurangi rasa nyeri
- Nafsu makan membaik E:
- Pola tidur membaik - Jelaskan penyebab, periode, - Mengetahui penyebab,
dan pemicu nyeri periode dan pemicu nyeri
- Ajarkan teknik - Mengetahui cara meredakan
nonfarmakologis untuk rasa nyeri
untuk mengurangi rasa nyeri
K:
- Kolaborasikan pemberian - Kolaborasi dalam
analgetik mengurangi rasa nyeri
Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan intervensi 3x24 jam O:
b.d gejala penyakit didapatka kriteria hasil: - Identifikasi teknik relaksasi - Mengetahui teknik relaksasi
- Kesejahteraan fisik meningkat yang efektif dan berguna yang efektif dan berguna
- Dukungan sosial dari keluarga - Monitor respon terhadap - Mengetahui respon terhadap
dan kerabat meningkat terapi relaksasi terapi relaksi
- Keluhan tidak nyaman T:
menurun - Ciptakan lingkungan tenang - Dapatmembuat pasien
- Kebisingan menurun dan tanpa gangguan dengan tenang dan nyaman
- Sulit tidur menurun pencahayaan dan suhu
- Pola tidur membaik raungan yang nyaman
E:
- Jelaksan tujuan dan teknik - Agar pasien mengerti dan
relaksi yang tersedia memahami tujuan relaksasi
- Anjurkan mengambil posisi - Agar pasien merasa nyaman
nyaman Agar pasien merasa rileks
Anjurkan rileks dan ,merasakan dengan merasakan sensasi
sensasi relaksasi relaksasi

Risiko jatuh Setelah dilakukan intervensi 3x24 jam O:


berhubungan dengan
tingkat jatuh menurun dengan kriteria - Identifikasi kebutuhan - Untuk mengetahui apa yang
penggunakan alat bantu
jalan hasil: keselamatan (mis.kondisi pasien butuhkan
- Jatuh dari tempat tidur fisik)
menurun (5) - Monitor perubahan status - Agar pasien tidah mudah
- Jatuh saat berdiri menurun (5) keselamatan lingkungan jatuh
- Jatuh saat berdiri menurun (5) T:
- Jatuh saat dipindahkan - Memodifikasi lingkungan - Pastikan lingkungan pasien
menurun (5) untuk bahaya risiko dalam keadaan aman
- Sediakan alat bantu -pastikan tempat tidur pasien
lingkungan dalam keadaan terkunci
- Gunakan perangkat - agar pasien tidah jatuh
lingkungan
- Fasilitasi relokasi - Pastikan lantai kamar pasien
lingkungan yang aman tidak licin
E: - Keluarga dapat
- Anjarkan individu keluarga memastikan bahwa
dan kelompok risiko tinggi lingkungan pasien aman
bahaya lingkungan
K:
\
Daftar Pustaka
Ahern, N. R & Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan
Edisi 9 Edisi Revisi. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

M a n s j o e r , A . ( 2 0 0 0 ) . Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2.


Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Nurarif, A. H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 2.
Yogyakarta: Penerbit Mediaction.

Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta:
EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai