Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN FRAKTUR TIBIA

Tugas Mandiri Stase Keperawatan Medikal Bedah

Dosen Pembimbing :
Ns. Zahra Maulidia, S.Kep
Septimar, S.Kep, M.Kep

Disusun Oleh :

LIDIA ROSARIA

23030045

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

UNIVERSITAS YATSI MADANI

TAHUN 2023
Konsep Fraktur Tibia

A. Definisi Fraktur
Fraktur atau patah tulang merupakan suatu kondisi terputusnya kontinuitas tulang
dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa dan juga
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma
( (Sjamsuhidayat, 2010).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari
yang dapat diabsorbsinya (Brunner & Suddart, 2013)
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan
umumnya dikarenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008). Fraktur adalah rupturnya
kontinuitas struktur dari tulang atau kartilago dengan tanpa disertai subluksasi
fragmen yang terjadi karena trauma atau aktivitas fisik dengan tekanan yang
berlebihan (Ningsih, 2011).
. Tulang tibia merupakan tulang yang terletak pada tungkai bawah. Tulang tibia
merupakan tulang terbesar kedua di tubuh yang terletak di bagian depan kaki. Tulang
Fibula adalah tulang betis yang berada disebelah lateral tungkai bawah. (Sastrawan et
al., 2017).

B. Etiologi
Etiologi fraktur berdasarkan klasifikasinya antara lain :
1. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya.
b. Cedara tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebakan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.

C. Klasifikasi
Fraktur dibedakan menjadi:
1. Fraktur Tertutup adalah fraktur dengan kulit yang tidak tembus oleh fragmen tulang,
sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan.
2. Fraktur Terbuka adalah fraktur dengan kulit ekstremitas yang terlibat telah tembus,
dan terdapat hubungan antara fragmen tulang dan dunia luar. Karena adanya
perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibagi atas 3 derajat, yaitu:
a. Grade I : sakit jelas dan sedikit kerusakan kulit, luka <1 cm, kerusakan jaringan,
tidak ada tanda luka remuk, fraktur sederhana, komunikatif ringan, kontaminasi
minimal.
b. Grade II : Fraktur terbuka dan sedikit kerusakan kulit, laserasi <1 cm, kerusakan
jaringan lunak tidak luas, flap, komunikatif sedang, kontaminasi sedang.
c. Garde III : Banyak sekali jenis kerusakan kulit, otot jaringan saraf dan pembuluh
darah serta luka sebesar 6-8 cm.
(Sjamsuhidayat, 2010 dalam wijaya & putri, 2013).

D. Manifestasi Klinis
Tanda gejala yang muncul menurut Mansjoer, Arif (2014) pada pasien fraktur tibia
secara umum:
1. Nyeri karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang meningkat karena
penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.
2. Deformitas (perubahan struktur dan bentuk) disebakan oleh ketergantungan
fungsional otot pada kesetabilan otot.
3. Pembengkakan akibat vasodilatasi, eksudasi plasma dan adanya peningkatan leukosit
pada jaringan disekitar tulang.
4. Saat ektremitas diperiksa di tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5. Kurang sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf, dimana saraf ini
dapat terjadi atau terputus oleh fragmen tulang.
6. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang, nyeri atau
spasme otot.
7. Krepitasi sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur sehingga menyebabkan
kerusakan jaringan sekitarnya.
8. Pergerakan abnormal.
9. Spasme otot karena tingkat kecatatan, kekuatan otot yang sering disebabkan karena
tulang menekan otot.
E. Patofisiologi
Fraktur biasanya disebabkan karena cedera, trauma, ruda paksa dimana penyebab
utamanya adalah trauma langsung yang mengenai tulang seperti kecelakaan mobil,
olah raga, jatuh, latihan berat. Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang
menyebabkan fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka
tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Selain itu fraktur juga bisa akibat stress
fatique yaitu kecelakaan akibat tekanan berulang dan proses penyakit patologis.
Perubahan fragmen tulang yang menyebabkan kerusakan pada jaringan dan pembuluh
darah mengakibatkan pendarahan yang biasanya terjadi disekitar tempat patah dan
kedalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut, maka dapat terjadi penurunan
volume darah dan jika COP menurun maka terjadilah perubahan perfusi jaringan
(Mahartha et al., 2019).
Selain itu perubahan perfusi perifer dapat terjadi akibat dari edema di sekitar
tempat patahan sehingga pembuluh darah di sekitar mengalami penekanan dan 10
berdampak pada penurunan perfusi jaringan ke perifer. Akibat terjadinya hematoma
maka pembuluh darah vena akan mengalami pelebaran sehingga terjadi penumpukan
cairan dan kehilangan leukosit yang berakibat terjadinya perpindahan, menimbulkan
inflamasi atau peradangan yang menyebabkan pembengkakan di daerah fraktur yang
menyebabkan terhambatnya dan berkurangnya aliran darah ke daerah distal yang
berisiko mengalami disfungsi neuromuskuler perifer yanng ditandai dengan warna
jaringan pucat, nadi lemah, sianosis, kesemutan di daerah distal. (Aldo Yuliano, 2019)
Nyeri pada fraktur juga dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tertutup yang
mengenai serabut saraf sehingga menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain
itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri
gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Kerusakan pembuluh darah kecil atau besar
pada waktu terjadinyafraktur mengakibatkan terjadinya perdarahan hebat yang
menyebabkan tekanan darah menjadi turun, begitu pula dengan suplay darah ke otak
sehingga kesadaran pun menurun yang berakibat syok hipovolemik. Ketika terjadi
fraktur terbuka yang mengenai jaringan lunak sehingga terdapat luka dan kman akan
mudah masuk sehingga kemungkinan dapat terjadi infeksi dengan terkontaminasinya
dengan udara luar dan lama kelamaan akan berakibat delayed union dan mal union
sedangkan yang tidak terinfeksi mengakibatkan non union. Selain itu, akibaat dari
kerusakan jaringan lunak akan menyebabkan terjadinya kerusakan integritasa kulit
(Wirawan et al., 2017).
Sewaktu tulang patah, perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan
kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-
sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran
darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa- sisa sel mati dimulai.
Ditempat patahan terbentuk fibrin (hematoma fraktur) yang berfungsi sebagai jala-jala
untuk melakukan aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati (Aldo Yuliano, 2019).

F. Pathways
G. Penatalaksaan
Penatalaksanaan menurut Muttaqin (2018) ada 2 yaitu :
1. Penatalaksanaan konservatif
a) Proteksi adalah proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut
dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat
pada anggota gerak bawah.
b) Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan bidai eksterna
hanya memberikan imobilisasi. Biasanya menggunakan Gips atau dengan
macam-macam bidai dari plastik atau metal.
c) Reduksi tertutup dengan menggunakan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang
menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi dilakukan
dengan pembiusan umum dan lokal.
d) Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan ini
mempunyai tujuan utama, yaitu beberapa reduksi yang bertahap dan imobilisasi.

2. Penatalaksanaan pembedahan
Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) atau Reduksi terbuka dengan Fiksasi
Internal akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan untuk
memasukan paku, sekrup atau pen kedalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-
bagian tulang pada fraktur secara bersamaan. Fiksasi internal sering digunakan
untuk merawat fraktur pada tulang pinggul yang sering terjadi pada orang tua.

Indikasi ORIF (Open Reduksi Fiksasi Internal) meliputi :


1. Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani dengan metode
terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang memuaskan.
2. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur intra-artikular
disertai pergeseran.
3. Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada struktur otot
tendon.
Kontraindikasi ORIF (Open Reduksi Fiksasi Internal) meliputi :
1. Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan
2. Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk
3. Terdapat infeksi
4. Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi.
(Barbara J. Gruendemann dan Billie Fernsebner, 2005)

Metode Fiksasi Internal

Terdapat 5 metode fiksasi internal yang digunakan, antara lain:

1. Pemasangan kawat antartuang


Biasanya digunakan untuk fraktur yang relatif stabil, terlokalisasi dan tidak bergeser
pada kranium. Kawat kurang bermanfaat pada fraktur parah tak stabil karena
kemampuan tulang berputar mengelilingi kawat, sehingga fiksasi yang dihasilkan
kurang kuat.
2. Lag screw
Menghasilkan fiksasi dengan mengikatkan dua tulang bertumpuk satu sama lain.
Dibuat lubang-lubang ditulang bagian dalam dan luar untuk menyamai garis tengah
luar dan dalam sekrup. Teknik yang menggunakan lag screw kadang-kadag disebut
sebagai kompresi antarfragmen tulang. Karena metode ini juga dapat menyebabkan
rotasi tulang, biasanya digunakan lebih dari satu sekrup untuk menghasilkan fiksasi
tulang yang adekuat. Lag screw biasanya digunakan pada fraktur bagian tengan wajah
dan mandibula serta dapat digunakan bersama dengan lempeng mini dan lempeng
rekonstruktif
3. Lempeng mini dan sekrup
Digunakan terutama untuk cedera wajah bagian tengah dan atas. Metode ini
menghasilkan stabilitas tiga dimensi yaitu tidak terjadi rotasi tulang. Lempeng mini
(miniplate) difiksasi diujung-ujungnya untuk menstabilkan secara relatif segmen-
segmen tulang dengan sekrup mini dan segmen-segmen tulang dijangkarkan kebagian
tengah lempeng juga dengan sekrup mini.

4. Lempeng kompresi
Karena lebih kuat dari lempeng mini, maka lempeng ini serring digunakan untuk
fratur mandibula. Lempeng ini menghasilkan kompresi di tempat fraktur.
5. Lempeng konstruksi
Lempeng yang dirancang khusus dan dapat dilekuk serta menyerupai bentuk
mandibula. Lempeng ini sering digunakan bersama dengan lempeng mini. Lag screw
dan lempeng kompresi.
(Barbara J. Gruendemann dan Billi Fernsebner,2015).
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Parahita et al., 2018) pemeriksaan diagnostik pada pasien fraktur
yaitu :
a. Pemeriksaan radiologi
Berbagai pemeriksaan radiologi antara lain foto polos tulang, foto polos dengan media
kontras, serta pemeriksaan radiologis khususnya seperti CT scan, MRI, pindai
radioisotopi, serta unltrasonografi. Pada foto polos tulang perlu diperhatikan keadaan
densitas tulang baik setempat maupun menyeluruh, keadaan korteks dan medula,
hubungan antara kedua tulang pada sendir, kontinuitas kontur, besar rang sendi,
perubahan jaringan lunak, pemeriksaan foto polos dengan media kontras antara lain
sinografi (untuk melihat batas dan lokasi sinus), artografi (untuk melihat batas ruang
sendi), mielografi (dengan memasukkan cairan media ke dalam teka spinalis), dan
arteriografi (untuk melihat susunan pembuluh darah). Dilakukan pengambilan foto x-
ray anteroposterior dan lateral. Pada x-ray harus tampak adanya sendi ankle dan lutut
untuk melihat adanya fraktur yang meluas hingga ke sendi. Beberapa hal penting yang
harus diperhatikan pada foto x-ray:
1. Lokasi dan morfologi fraktur
2. Adanya garis fraktur sekunder yang dapat menjadi displaced selama operasi
3. Adanya comminutif menunjukkan gaya penyebab fraktur yang besar
4. Jarak fragmen tulang dari lokasi normal. Hal ini menunjukkan keadaan jaringan
lunak
5. Kondisi tulang. Dilihat adanya osteopenia, metastasis, atau adanya fraktur
sebelumnya
6. Adanya osteoarthritis
7. Adanya gas pada jaringan menunjukkan fraktur terbuka atau gas gangrene, fasciitis
nekrotik dan infeksi anaerob yang lain Jika secara klinis didapatkan cedera vascular
maka diperlukan pemeriksaan arteriografi.

b. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien fraktur yaitu HB Hematokrit rendah
akibat pendarahan, lanju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak
sangat luas. Hitung darah lengkap, urin rutin, pemeriksaan cairanserebrospinal, cairan
sinovial, AGD, dan pemeriksaan cairan abormal lainnya.
d. Pemeriksaan artroskopi
Memperlihatkan kelainan pada sendi
e. Pemeriksaan elektrodiagnosis
Berguna untuk mengetahui fungsi saraf dan otot dengan menggunakan metode
elektrik

I. Komplikasi
1. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam
posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring
2. Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
3. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
4. Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang
berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu
tempat.
5. Shock,
6. Fat embalism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor
resiko terjadinya emboli lemakada fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40
tahun, usia 70 sam pai 80 fraktur tahun.
7. Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada individu
yang imobiil dalm waktu yang lama karena trauma atau ketidak mampuan
lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi
paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedil
8. Infeksi
9. Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau necrosis
iskemia.
10. Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf
simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena
nyeri, perubahan tropik dan vasomotor instability.
J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga
dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g. Riwayat Penyakit Lingkunagan
Pada pengkajian ini membahas kondisi tempat tinggal, dan lokasi, meliputi:
apakah lokasi dekat dengan pabrik, jalan raya, atau pedesaan, dan keadaan rumah
redup atau terang, suasana rumah ramai atau tenang.
h. Pengkajian Primer
1) Airway
Kaji: bersihan jalan nafas, ada/tidaknya sumbatan pada jalan nafas, distress
pernafasan, tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring
2) Breathing
Kaji: frekuensi nafas, usaha, dan pergerakan dinding dada, suara pernafasan
melalui hidung dan mulut, udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
3) Circulation
Kaji: denyut nadi karotis, tekanan darah, warna dan kelembaban kulit, tanda-
tanda perdarahan eksternal dan internal
4) Disability
Kaji: tingkat kesadaran, gerakan ekstremitas, GCS, ukuran pupil dan
responnya terhadap cahaya
5) Exposure
Kaji: tanda-tanda trauma yang ada
i. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu: pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam. Gambaran umum perlu menyebutkan: Keadaan umum: baik atau
buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti: Kesadaran penderita: apatis,
sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien. Kesakitan,
keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin.
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
a) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normocephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri dan tidak ada lesi.
b) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
c) Wajah
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tidak edema.
d) Mata
Konjungtiva anemis jika terjadi perdaraha hebat dan tidak ada sekret.
e) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
f) Hidung
Tidak ada deformitas, simetris, tidak ada pernafasan cuping hidung dan
tidak ada sekret.
g) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
h) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
i) Paru-paru
Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan
lainnya.
Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
j) Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Perkusi : tidak ada pembesaran jantung.
Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
k) Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : Tugor baik, tidak ada benjolan, tidak ada defands
muskuler, hepar tidak teraba.
Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
l) Genetalia-Anus
Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran lymphe, tidak ada kesulitan
BAB.

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan


a) Pre Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan kepada pasien diharapkan nyeri berkurang
atau hilang dengan kriteria hasil:
- Keluhan nyeri menurun (3-5)
- Meringis menurun (3-5)
- Ketegangan otot menurun (3-5)
- Frekuensi nadi dan pola napas, Tekanan darah dbn
- Gelisah menurun (4-5)
Intervensi :
1. Identifikasi faktor pencetus pereda nyeri, Monitor kualitas nyeri (mis. terasa tajam,
tumpul, diremas-remas, ditimpa beban berat), lokasi dan penyebaran nyeri, intensitas nyeri
dengan menggunakan skala, dan durasi dan frekuensi nyeri
2. Jelaskan penyebab periode, dan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis (relaksasi nafas dalam) untuk mengurangi rasa nyeri
6. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi
7. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik
8. Monitor efektivitas analgesik

2) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi (prosedur


pembedahan)
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan kepada pasien diharapkan ansietas
berkurang dengan kriteria hasil:
- Verbalisasi kebingungan menurun ( 3-5)
- Perilaku tegang menurun (3-5)
- Pucat menurun (3-5)
- Frekuensi nadi dbn
- Pola berkemih membaik (4-5)
- Tekanan darah dbn
- Verbalisasi khawatir menurun ( 4-5)
Intervensi :
1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis. kondisi, waktu, stressor)
2. Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
3. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal)
4. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
5. Dengarkan dengan penuh perhatian
6. Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan, dan prognosis
7. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, Jika perlu
8. Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai kebutuhan
9. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
10. Latih teknik relaksasi

b) Pasca Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan kepada pasien diharapkan nyeri berkurang
atau hilang dengan kriteria hasil:
- Keluhan nyeri menurun (3-5)
- Meringis menurun (3-5)
- Ketegangan otot menurun (3-5)
- Frekuensi nadi dan pola napas, Tekanan darah dbn
- Gelisah menurun (4-5)

Intervensi :
1. Identifikasi faktor pencetus pereda nyeri, Monitor kualitas nyeri (mis. terasa tajam,
tumpul, diremas-remas, ditimpa beban berat), lokasi dan penyebaran nyeri, intensitas
nyeri dengan menggunakan skala, dan durasi dan frekuensi nyeri
2. Jelaskan penyebab periode, dan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis (relaksasi nafas dalam) untuk mengurangi rasa nyeri
6. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi
7. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik
8. Monitor efektivitas analgesik

2.) Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil : Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi, jumlah leukosit dalam batas normal,
menunjukkan perilaku hidup sehat
Intervensi :
1. Ajarkan klien hand hygiene
2. Pertahankan lingkungan aseptik
3. Tingkatkan intake nutrisi
4. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
5. Kolaborasi pemberian antibiotik

3) Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Kerusakan integritas struktur


tulang
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan kepada pasien diharapkan tidak ada
gangguan mobilitas fitik dengan kriteria hasil:
- Pergerakan ekstremitas meningkat
- Rentang gerak (ROM) meningkat
- Nyeri berkurang
- Gerakan tidak terkoordinasi berkurang
- Gerakan terbatas berkurang
- Kelemahan fisik berkurang
Intervensi :
1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
3. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
4. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis.tongkat, kruk)
5. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
6. Anjurkan melakukan ambulasi dini
7. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis. berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai toleransi

4) Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan Tindakan Pembedahan


Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan kepada pasien diharapkan tidak ada
gangguan integritas kulit dengan kriteria hasil:
- Hidrasi kulit membaik
- Kerusakan jaringan kulit membaik
- Kemerahan berkurang
- Perfusi jaringan adekuat
- Tidak ada perdarahan
- Nekrosis tidak ada
Intervensi :
1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
2. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
3. Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu
4. Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama periode diare
5. Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak pada kulit kering
6. Anjurkan menggunakan pelembab (mis. lotion, serum)
7. Anjurkan minum air yang cukup
8. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
9. Monitor karakteristik luka (mis. drainase, warna, ukuran, bau)
10. Monitor tanda-tanda infeksi
11. Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih nontoksik, sesuai kebutuhan
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2013). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC

Helmi, Zairin Noor. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba
Medika

Nanda NIC-NOC. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan diagnosa medis. Yogyakarta:


Media Action Publishing

Ningsih, Lukman N. 2011. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika

Syamsuhidayat, et.al.(2014). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Jakarta : EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI)
Edisi 1, Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SIKI) Edisi
1, Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI)
Edisi 1, Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai