Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN CLOSE FRAKTUR FEMUR

DI OK 602 (ORTHOPEDI)
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Oleh :
ABIDIN

PELATIHAN PERIOPERATIF KAMAR BEDAH


RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR MALANG

2022
1
TINJAUAN PUSTAKA / TEORI
A. Definisi
 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. yang berlebihan pada tulang Fraktur dapat diklasifikasikan menurut garis
fraktur (transversal, spiral, oblik, segmental, komunitif), lokasi (diafise, metafise,
epifise) dan integritas dari kulit serta jaringan lunak yang mengelilingi (terbuka
atau compound dan tertutup).
 Fraktur humerus adalah salah satu fraktur yang cukup sering terjadi. Insiden
terjadinya Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma atau aktivitas fisik dimana
terdapat tekanan fraktur shaft humerus adalah 1-4% dari semua kejadian
fraktur. Fraktur shaft humerus dapat terjadi pada sepertiga proksimal, tengah dan
distal humerus.
 Fraktur tulang humerus adalah adanya diskontinuitas atau hilangnya struktur dari
humerus yang terbagi atas :
1) Fraktur suprakondilar humerus
2) Fraktur interkonditer humerus
3) Fraktur batang humerus
4) Fraktur kolum humerus
Klasifikasi
Menurut Rosyidi (2013) pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang
berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu :
5) Tingkat 0 : Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
6) Tingkat 1 : Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
7) Tingkat 2 : Fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
8) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindrom kompartement.
B. Etiologi
Etiologi Terjadinya Fraktur Menurut Rosyidi (2013) yaitu :
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan.Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan.Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran,penekukan, dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan
C. Anatomi gambar normal
D. Perubahan bentuk anatomi

Tanda dan gejala


Tanda dan gejala fraktur adalah sebagai berikut :
1) Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang di
imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk memanimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2) Kehilangan fungsi
Setelah terjadi fraktur , Bagian-bagian yang mengalami tak dapat digunakan
dan cenderung bergerak secara tidak almiah (Gerakan luar biasa) bukannya
tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstrimitas yang
bisa diketahui dengan membandingkan ekstrimitas normal. Ekstrimitas tak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3) Pemendekan ekstrimitas
Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekkan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inci)
4) Krepitus
Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan,teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainny. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat.
5) Pembengkakan lokal dan perubahan warna
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.
Secara khusus untuk fraktur humerus menurut Arif Manjoer, Dkk tahun 2015
dapat terjadi :
1) Fraktur suprakondilar humerus
a. Tipe ekstensi. Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi,
lengan bawah dalam posisi supinasi. Hal ini menyebabkan fraktur pada
suprakondilar, fragmen distal humerus akan mengalami dislokasi
keanterior dari fragmen proksimalnya.
b. Tipe fleksi. Trauma terjadi ketika posisi siku dalam keadaan fleksi, sedang
lengan bawah dalam keadaan pronasi. Hal ini megakibatkan fragmen distal
humerus mengalami dislokasi keposterior dari fragmen proksimalnya.
E. Patofisiologo (patway)
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan
tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang,
maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow,
dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut
dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi
yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. ini
merupakan dasar penyembuhan tulang.

Patway

F. Penatalaksanaan medis
Reduksi terbuka adalah tindakan reduksi dan melakukan kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan
deseksi atau pemajanan tulang yang patah. Fiksasi Interna adalah stabilisasi tulang yang sudah patah yang telah direduksi
dengan skrup, plate, dan pin logam. Maka dapat ditarik kesimpulan Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah
prosedur bedah medis yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang diperlukan pada
beberapa patah tulang. Fiksasi Internal mengacu pada fiksasi skrup untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan
(Brunner & Suddart, 2003).
Plate-Screw adalah suatu prosedur fiksasi tulang setelah dilakukan reposisi interna dengan menggunakan plate dan screw
(Brunner & Suddarth, 2003).
INDIKASI
a. Pasien dengan frakture femur, patella dan condyle
b. Fraktur segmental
c. Fraktur complicate/ multiple fragment
d. Fraktur patologis.
KONTRA INDIKASI
a. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang
b. Pada pasien dengan fraktur terbuka, karena diperlukan debridement hingga cukup bersih untuk dilakukan pemasangan
ORIF
c. Pasien dengan GCS (Glass Gow Coma Scale) di bawah 15.
d. Pasien dengan penurunan kesehatan atau prognosis jelek
e. Pasien yang mengalami kelemahan

G. Tehnik Instrumentasi

1. PERSIAPAN LINGKUNGAN:
1) Menata ruangan dan mengatur penempatan kursi,mesin couter, mesin suction, meja instrument, troley, waskom,
meja mayo.
2) Memastikan mesin suction, mesin ESU, dan lampu operasi dalam keadaan baik.
3) Mengatur suhu ruangan.
4) Memberi alas underpad dan linen pada meja operasi.

2. PERSIAPAN PASIEN
1. Pastikan ketepatan identifikasi pasien
2. Cek informed consent pembedahan dan anestesi
3. Cek penandaan area operasi
4. Cek kelengkapan data lain sesuai checklist lembar serah terima pasien
5. Menanggalkan semua perhiasan yang digunakan pasien (bila ada) dan diserahkan pada keluarga pasien.
6. Persiapan psikologis pasien.

3. PERSIAPAN ALAT
a) Alat non steril
1. Meja operasi : 1 buah
2. Lampu operasi : 1 buah
3. Mesin suction : 1 buah
4. Troli waskom : 2 buah
5. Standart infus : 1 buah
6. Mesin couter : 1 buah
7. Meja mayo : 1 buah
8. Meja instrument : 1 buah
9. Tempat sampah : 1 buah
10. Gunting verban : 1 buah
11. Meja traksi : 1 set
12. C-Arm

b) Alat steril
a. Instrumen dasar / meja mayo
1. Duk klem : 5 buah
2. Desinfeksi klem : 1 buah
3. Pinset cirurgis : 2 buah
4. Pinset anatomis : 2 buah
5. Scalpel handle no 3 / no 4: 1/1 buah
6. Musquito klem : 1 buah
7. Pean bengkok : 2 buah
8. Kocher : 1 buah
9. Gunting Metzenboum : 1 buah
10. Gunting kasar/ Mayo : 1 buah
11. Needle holder : 2 buah
12. Haak tajam : 2 buah
13. Langen beck : 2 buah
14. Haak femur : 2 buah
15. Raspatorium : 1 buah
16. Elevator : 1 buah
17. Hofmann ( cobra ) : 2 buah
18. Bone tang/bone reduction : 2 buah
19. Knable tang : 1 buah
20. Bone Curet : 1 buah
21. Verburgge : 2 buah

b. Instrument penunjang
1. Bor listrik : 1 buah
 Baterai
 chuky key ( kunci bor )
2. Screwing set locking
 mata bor 4,3mm : 1 buah
 penduga (depht gauge) : 1 buah
 Sleave locking : 1 buah
 screw driver locking ( obeng) : 1 buah
 tapper cortical locking : 1 buah
 tapper cancelous locking : 1 buah
3. Screwing set non locking
 mata bor 3,2mm : 1 buah
 sleave : 1 buah
 screw driver non locking : 1 buah
 tapper cortical : 1 buah
 tapper cancelous : 1 buah
4. Trochanter plate locking 12 hole : 1 buah
5. Waskom, bengkok, cucing : 1/1/1
6. Couter : 1 buah
7. Canule suction : 1 buah

c. Peralatan dimeja instrument


1. Kassa/ big kas : 20/ 5
2. Depres : 5 buah
3. Cucing desinfektan : 1 buah
4. Doek besar : 4 buah
5. Doek sedang : 4 buah
6. Doek kecil : 4 buah
7. Sarung meja mayo : 1 buah
8. Slang suction : 1 buah
9. Gaun operasi : 5 buah
10. Handuk kecil : 5 buah

c) Bahan Habis Pakai


1. Hand scoen steril : secukupnya
2. Hand scoen orthopedic/maxi : secukupnya
3. Mess no 22/10 : 1/1 buah
4. Spuit 10 cc : 2 buah
5. U-pad steril : 4 buah
6. U-pad on : 2 buah
7. Supratule : 1 buah
8. Drain vacuum ukuran 14 : 1 buah
9. Foley catheter no 16 : 1 buah
10. Urobag : 1 buah
11. Benang Vicril 1/0/2-0 : 1/1/1 buah
12. Benang Premiline 3-0 : 2 buah
13. EMP : 1 buah
14. Soft ban ukuran 15 : 1 buah
15. Elastic bandage ukuran 15 : 1 buah
16. NaCl 0,9% ukuran 1 liter : 3 liter
17. Kasa steril : 40 buah
18. Deppres : 6 buah
19. Kasa gulung : 1 buah
20. Betadine : 150 cc
21. Handscoen on : 4 pasang

4. TEKNIK INSTRUMENTASI
 Saat pasien berada di ruang premedikasi, lakukan proses sign in sebelum dilakukan induksi anestesi, meliputi:
 Konfirmasi identitas, area operasi, tindakan operasi, dan lembar persetujuan operasi.
 Penandaan area operasi
 Kesiapan mesin anestesi dan obat-obatannya
 Kesiapan fungsi pulse oksimeter
 Riwayat alergi pasien
 Adanya penyulit airway atau resiko aspirasi
 Resiko kehilangan darah
 Pindahkan pasien ke kamar operasi, dekatkan brankart dengan meja operasi
 Pasang underpad on di atas meja operasi
 Pindahkan pasien dari brankart ke meja operasi
 Pasang plat diatermi pada paha kanan pasien
 Atur posisi pasien dalam posisi supinasi untuk dilakukan regional anestesi
 Pasang kateter yang telah terhubung dengan urobag.
 Atur posisi pasien supine
 Cuci area operasi dengan hibis scub yang telah dicampur dengan air untuk mengurangi kotoran yang menempel di area
operasi pasien selama pasien dari ruangan rawat inap hingga pasien berada di instalasi bedah sentral.
 Keringkan dengan duk atau handuk steril.
 Instrumentator melakukan scrubing, gowning, dan gloving
 Instrumentator membantu operator dan asisten melakukan scrubing, gowning, dan gloving
 Perawat instrumen memberikan desinfeksi klem dan cucing yang didalamnya telah diberi deppers dan povidon iodine
pada operator untuk desinfeksi dengan povidone iodine dan deppers yang telah dituang perawat sirkuler ke dalam cucing
 Lakukan draping area oprasi, meliputi:
1. Pasang underpad steril 2 ( dari pangkal paha sampai bawah telapak kaki )
2. Berikan duk besar untuk draping bagian bawah sampai menutupi kaki dan handle traksi.
3. Berikan duk sedang untuk menutup bagian kaki sebelahnya.
4. Berikan dua duk kecil yang dikaitkan dengan duk klem untuk melingkar pangkal paha.
5. Berikan duk besar lagi untuk menggandakan lapisan draping bagian bawah.
6. Berikan duk besar untuk draping bagian atas
7. Fiksasi antar duk dengan towel klem
 Pasang opsite pada area yang akan di lakukan insisi.
 Pasang kabel couter dan conection suction yang disatukan dengan kasa steril dan difiksasi ke duk menggunakan towel
klem.
 Lakukan time out sebelum dilakukan insisi.
(konfirmasi nama tim operasi, pemberian antibiotik profilaksis 60 menit sebelum operasi, tindakan darurat di luar
standart operasi, estimasi lama operasi, antisipasi kehilangan darah, perhatian khusus selama pembiusan, sterilitas alat
instrumen bedah)
 Marking daerah insisi dengan menggunakan pinset cirugis.
 Insisi dengan memberikan pinset cirugis dan mess 1 pada operator.
 Berikan pean cantik dan kassa serta cotter untuk merawat perdarahan dan hak gigi tajam untuk membuka area insisi.
 Setelah fasia terlihat berikan mess 2 dan pinset cirurgis untuk membuka fasia dan otot, kemudian berikan gunting
metzenboum untuk insisi lebih dalam, berikan hack femur dan langenback pada asisten agar operator menginsisi sampai
terlihat plat.
 Rawat perdarahan berikan operator pean manis dan cotter, berikan asisten suction.
 Berikan cobra pada operator untuk membuka area yang terpasang plat agar plat yang menempel pada tulang terlihat
lebih jelas dan berikan raspatorium pada operator untuk membersihkan jaringan yang menempel pada plat.
 Setelah plat terlihat bersih dari jaringan yang mengikat berikan operator screw driver 4,5 untuk melepas screw satu demi
satu dan taruh pada bengkok. Hitung jumlah screw yang diambil dan cocokkan dengan jumlah yang terlihat di rontgen.
 Berikan currete dan knable tang untuk membersihkan garis patahan tulang & bekas lubang screw sekaligus lakukan
spooling dengan NaCl 0,9 % lalu lakukan suction
 Reduksi tulang humerus dengan 2 buah bone tang
 Berikan trochanter plate locking 12 hole lalu letakkan secara tepat dengan bantuan elevator
 Reposisi fraktur femur yang terjadi dengan bantuan trochanter plate locking 12 hole yang dijepit dengan bone reduction
kemudian fiksasi dengan verburgge
 Teknik pemasangan screw locking
1. Pasang sleave khusus untuk locking dengan memutarkan sleave secara tegak lurus terhadap hole locking pada plate.
Sehingga uliran sleave dan uliran hole locking terpasang secara tepat.
2. Berikan bor listrik pada operator beserta mata bor locking 4.3 mm.
3. Berikan penduga atau depht gauge untuk menentukan arah lubang yang akan dipasang dan untuk mengetahui
kedalaman lubang pada tulang untuk disesuaikan dengan panjang screw yang akan dipasang.
4. Pasang cortrical screw locking 5,0 mm dengan screw driver.
5. Lakukan berulang kali hingga screw yang dipasang cukup kuat untuk menahan patahan tulang.
 Teknik pemasangan screw non locking
1. Berikan bor listrik pada operator beserta mata bor 3,2 mm dan sleave 3,2 mm.
2. Berikan penduga atau depht gauge untuk menentukan arah lubang yang akan dipasang dan untuk mengetahui
kedalaman lubang pada tulang untuk disesuaikan dengan panjang screw yang akan dipasang.
3. Berikan taper 4,5 mm untuk memberi alur screw guna memudahkan pemasangan screw.
4. Pasang screw 4,5 mm dengan screw driver.
5. Lakukan berulang kali hingga screw yang dipasang cukup kuat untuk menahan patahan tulang.
 Lakukan cuci dengan menggunakan NaCl 0,9 % 1 liter sebanyak 2 botol / secukupnya.
 Pasang drain ukuran 14 di bawah fasia dan fiksasi drain pada daerah kulit di sekitar tertembus jarum drain dengan
premiline ( non absorbable ) ukuran 3-0
 Lakukan sign out
1. Jenis tindakan yang dilakukan
2. Kecocokan jumlah instrumen, kasa, dan jarum sebelum dan sesudah operasi.
3. Perhatian khusus pada masa pemulihan
4. Ada atau tidaknya permasalahan pada alat-alat yang digunakan
 Jahit fasia dengan benang vicril ( absorbable ) ukuran 1
 Jahit lemak dan sub kutis dengan vikril ( absorbable ) ukuran 2-0
 Jahit kulit dengan benang premiline ( non absorbable ) ukuran 3-0
 Lepas opsite dan bersihkan bekas povidone iodine
 Tutup luka dengan sofra-tulle lalu tutup dengan kasa kering
 Tutup dengan plester
 Bersihkan pasien dengan tisu towel
 Balut dengan softband 15 cm,
 Balut dengan elastic bandage 15 cm
 Operasi selesai
 Rapikan alat dan rapikan pasien.

5. PENYELESAIAN
Dekontaminasi Alat dan Pengepakan
1) Alat yang sudah dipergunakan dan dibawa semua ke ruang pencucian alat
2) Alat – alat yang kotor (terkontaminasi cairan tubuh pasien) direndam dengan ALKAZINE 1 bungkus ( g ) dalam 1
liter air selama 15 menit
3) Alat yang sudah direndam kemudian di cuci dengan CIDECYM
4) Bilas alat dengan air mengalir kemudian di keringkan
5) Inventarisasi alat.
6) Lalukan pengepakan alat kemudian diberi indikator dan keterangan isi dari alat
E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Rosyidi, 2013) pemeriksaan penunjang yang dilakukan sebagai berikut :
1) Pemeriksaan Rontgen: Menentukan lokasi atau luasnya Fraktur atau trauma,
dan jenis fraktur.
2) Sken tulang, tomogram, CT SCAN/MRI: memperlihatkan tingkat keparahan fraktur,
juga dapat untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3) Arteriogram:dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4) Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multiple trauma).Peningkatan jumlah SDP adalah proses stress normal setelah
trauma.
5) Kreatinin : Trauma otot meningkat beban kreatinin untuk klien ginjal.
6) Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
multiple atau cidera hati
F. Penatalaksanaan
1) Reduksi fraktur, berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya
dan rotasi anatomis
a. Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya
dengan manipulasi dan traksi manual.
b. Traksi digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya
traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
c. Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat
fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam
yang dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya
sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
2) Imobilisasi fraktur, mempertahnkan reduksi sampai terjadi penyembuhan. Setelah
fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam
posisi dan kesejajaran yang benar sampai trejadi penyatuan. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips atau
fiksator eksterna. Sedangkan fiksasi interna dapat digunakan implant logam yang
dapat berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
3) Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi setelah dilakukan
reduksi dan imobilisasi
G. Prognosis
Prognosis jangka pendek dan panjang sedikit banyak bergantung pada berat
ringannya trauma yang dialami, bagaimana pengananan yang tepat dan usia
penderita. Pada anak prognosis sangat baik karena proses penyembuhan sangat
cepat, sementara pada orang dewasa prognosis tergantung dari penanganan, jika
penaganan baik maka komplikasi dapat diminamilasir, begitupun sebaliknya
Daftar Pustaka

Adi Mahartha Gde Rastu, Dkk. 2013. Manajemen Fraktur Pada Trauma
Muskuloskeletal. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Brunner, Suddarth. 2012. Buku Ajar keperawatan medikal bedah, edisi 8 vol.3.

EGC. Jakarta Mansjoer Arif, dkk. 2012. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:

Media Aesculapius.

Price S.A, Wilson L.M. 2006. Patofifisiologi Konsepklinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta : EGC

Rendy, M Clevo dan Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan


Medikal Bedah Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika

Nurarif & Kusuma. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc. Jilid 2.Yogyakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai