Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN TEKNIK INSTRUMENTASI ORIF (OPEN REDUCTION INTERNAL

FIXATION) PLATE SCREW TIBIA FIBULA PADA TN. R DENGAN OPEN


FRAKTUR TIBIA FIBULA DEXTRA 1/3 DISTAL
INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Oleh
BAGAS IMAN BAHREISY

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN MALANG
2017
TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik dan sudut
dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000).
Plate screw adalah prosedur penyatuan fraktur tulang dengan cara mereposisi fraktur,
kemudian memasang plate dan memfiksasi dengan screw sesuai dengan kondisi tulang dan
fraktur, yang dilakukan dengan insisi seminimal mungkin.
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah reduksi terbuka dari fiksasi internal dimana
dilakukan insisi pada tempat yang mengalami fraktur.
Tindakan pemasangan plate dan screw pada fraktur tibia beserta teknik instrumentasinya.

B. KLASIFIKASI FRAKTUR
Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu :
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2. Fraktur terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur
c. Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang seperti terlihat pada foto.
d. Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti :
 Hair Line Fraktur ( patah retak rambut )
 Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang
spongiosa di bawahnya
 Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi
pada tulang panjang.
e. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengn mekanisme trauma
1. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang
dan merupakan akibat trauma angulasinya.
3. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang di sebabkan
trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang ke arah permukaan lain.
5. Fraktur Avulsi: fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.
f. Berdasarkan jumlah garis patah
1. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
2. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan
3. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
sama.
g. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
1. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum masih utuh
2. Fraktur Displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga di sebut
lokasi fragmen, terbagi atas:
 Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping)
 Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
 Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh)
h. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang
i. Fraktur Patologis: fraktur yang di akibatkan karena proses patologis tulang.
j. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya
2. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan
3. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan
4. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartement.

C. ETIOLOGI
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
a. Cidera atau benturan
b. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena
tumor, kanker dan osteoporosis.
c. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang baru saja menambah
tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan bersenjata atau orang-orang
yang baru mulai latihan lari.

D. PATOFISIOLOGI
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare, 2002). Sewaktu
tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar
tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya
timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan
aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang
disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya
serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom compartment (Brunner dan
Suddarth, 2002). Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak
disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan
Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara
lain: nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat
terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi mengakibatkan berkurangnyan kemampuan perawatan diri
(Carpenito, 2007).

E. INDIKASI DILAKUKAN ORIF


a. Fraktur yang baik stabil secara bawaan.
b. Fraktur patologik.
c. Fraktur multiple.
d. Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya (paraplegi, lansia).

e. KONTRA INDIKASI
a. Pasien dengan gangguan hemodinamik.
b. Infeksi pada luka
LAPORAN KASUS

A. PERSIAPAN LINGKUNGAN
1. Mengatur dan mengecek fungsi mesin suction, couter, lampu operasi, meja operasi, meja
instrument, meja mayo dan viewer foto rontgent
2. Memasang perlak dan doek pada meja operasi, sarung meja mayo, mempersiapkan linen steril dan
instrument yang akan digunakan
3. Menempatkan tempat sampah pada tempat yang sesuai sehingga mudah digunakan.

B. PERSIAPAN PASIEN
1. Pasien dipersiapkan dalam kondisi bersih dan mengenakan pakaian khusus masuk kamar operasi
dan tidak mengenakan pakaian dalam.
2. Pasien telah memberikan inform consent, menanggalkan gigi palsu dan semua perhiasan
3. Mengatur posisi prone (tengkurap) di meja operasi
4. Apakah pasien sudah diberi antibiotik profilaksis
5. Perlu atau tidak perlu skiren
6. Apakah pasien memakai perhiasan, gigi palsu, atau prostase lainnya
7. Perlengkapan oprasi yang perlu dibawa pasien
8. Site marking area operasi
9. Pemeriksaan laboraturium dan radiologi
10. Pasien sudah mandi dengan sabun antiseptik dan memakai baju operasi
11. Pasien tidak boleh memakai cat kuku
12. Apakah pasien perlu huknah/ lavement atau tidak
13. Apakah pasien sudah memakai kateter atau belum

C. PERSIAPAN ALAT DAN BAHAN


a. Alat di meja mayo
1. Desinfeksi klem :1
2. Pinset chirurgis :2
3. Pinset anatomis :2
4. Gunting metzemboum :1
5. Gunting kasar bengkok :1
6. Handle mess no. 3 dan 4 :2
7. Mosquito klem :1
8. Kockher lurus :1
9. Pean manis / Chrome klem :1
10. Nald voeder :2
11. Gunting benang :1
12. Langenbeck :2
13. Canule suction logam :2
14. Knable tang :2
15. Disector :1
16. King kocher :2
17. Spreader/Retraktor :2

b. Alat di meja instrument 1 (Extra set)


1. Bone Curetttage (besar/kecil) : 1/1
2. Raspatorium besar/kecil : 1/1
3. Elevator :1
4. Reduction forsep (Besar/kecil) : 2/2
5. Langenback besar :2
6. Drill sleave (d=2,5 & 4,5) :1
7. Bonetang besar/kecil : 1/1
8. Hoffman/Cobra besar/kecil : 2/2
9. Ferbuger :2
10. Plate Narrow (Dynamic Compression Plate) 12 hole/6 hole (1/3 tubular) : 1/1
11. Mata boor Ø 4,5 / 3,2 mm : 1/1
12. Sleave looking :1
13. Depth gauge / pengukur besar : 1/1
14. Tapper for cortex & conselous (d=3,5 & 4,0) : 1/1
15. Screw Driver besar (d=4,5) : 1/1
16. Canule suction :1
17. Screwing set small :1
18. Bor baterai :1

c. Persiapan Bahan Habis Pakai


1. Mess no.10 dan No.22 : 1/1
2. Handscoen Semua Ukuran : Seperlunya
3. Water For Irigasi :3
4. Tensocrap/softband : 1/1
5. Spuit 10 cc :1
6. Kassa Kecil : 40
7. Sufratule / Peran gulung : 1/1
8. Underpad Steril :3
9. Underpad On Steril :2
10. Hipafix :1
11. Safil/vicryl /2-0 (Polyglicolic Acid, Polyfilament, absorbable) : 2/2
12. Premilene 3-0 (Polyprofeline, Monofilament, Non absorbable) : 2
13. Cairan Desinfektan : 100 cc
14. Opsite 45x28 (steril Drape) :1
15. Povidone Iodine 10% : Secukupnya
16. Deppers : 10
17. Kateter no.16/urobag : 1/1

d. Persiapan Linen Steril


1. Duk Besar :4
2. Duk Panjang :4
3. Duk kecil :4
4. Sarung meja mayo :1
5. Handuk :5
6. Scort :5

D. TEKNIK INSTRUMENTASI

1. Pasien datang, cek kelengkapan data pasien.


2. Menulis identitas pasien di buku register , SSC (Surgical safety checklist) dan lembar
depo farmasi
3. Perawat sirkuler membacakan Sign In (Identitas pasien, area operasi, tindakan operasi,
lembar persetujuan, penandaan area operasi,kesiapan mesin, obat-obatan anastesi, pulse
oksimetri, riwayat alergi serta penyulit airway atau resiko operasi)
4. Bantu memindahkan pasien ke meja operasi yang sudah dialasi underpad on steril di
bawah kaki sebelah kanan.
5. Pasang arde di betis kaki sebelah kiri.
6. Tim anesthesi melakukan induksi dengan anestesi general anasthesi
7. Perawat sirkuler mencuci area operasi dengan habiscrub, ulangi lagi dengan alkohol
70%, keringkan dengan duk kecil steril.
8. Perawat instrument melakukan cuci tangan, memakai gaun operasi, dan memakai sarung
tangan steril.
9. Perawat instrument memakaikan gaun operasi dan sarung tangan steril kepada tim
operasi
10. Antisepsis area operasi dengan povidon iodine 10% dalam cucing yang berisi deppers
dengan menggunakan desinfeksi klem.
11. Melakukan drapping:
12. Berikan U-Pad steril di bawah kaki sebelah kanan, Pasang duk besar di atasnya.
13. Pasang duk sedang (1) letakkan di atas duk besar. Pasang duk kecil buat segitiga pada
lutut/ paha sebelah kiri.
14. Pasang duk besar dan sedang pada bagian atas.
15. Gabungkan duk sedang bagian bawah dan atas, fiksasi dengan towel klem sebelah kanan
dan kiri.
16. Tutup jari- jari kaki sebelah kiri dengan sarung tangan steril.
17. Pasang op site pada daerah operasi.
18. Dekatkan meja mayo dan meja instrument ke dekat area operasi, pasang kabel couter,
slang suction, ikat dengan kasa lalu fiksasi dengan towel klem. Pasang canule suction,
cek fungsi kelayakan couter dan suction
19. Perawat sirkuler membacakan Time Out (Perkenalan tim operasi dan tugas masing-
masing, konfirmasi nama pasien, jenis tindakan dan area operasi, pemberian antibiotik
profilaksis, antisipasi kejadian kritis dan kebutuhan instrumen radiologi) dilanjutkan
berdoa yang dipimpin oleh dokter operator.
20. Berikan mess 1 (handvat mees dan paragon no 22) untuk insisi kulit area tibia.
21. Berikan double pincet kepada operator dan asisten serta couter untuk merawat
perdarahan.
22. Berikan mess 2 (handvat mees dan paragon no 10) untuk membuka fascia dan otot, kalau
perlu berikan gunting metzenboum untuk ekspose lapis demi lapis. Berikan langen back
kepada asisten untuk memperluas lapang pandang area operasi saat insisi sampai terlihat
tulang.
23. Setelah tulang terlihat, berikan cobra besar kepada operator untuk elevasi tulang agar
terlihat lebih jelas. Berikan raspatorium untuk membersihkan jaringan yang menempel
pada tulang.
24. Berikan bone reduction besar kepada operator untuk memegang tulang proksimal yang
patah agar fragmennya terlihat dengan jelas.
25. Berikan kuret tulang untuk membersihkan fragmen tulang dari kalus yang timbul supaya
tidak ada ganjalan saat menyatukan tulang yang patah kalau perlu berikan juga knable
untuk menghilangkan tulang yang mengganjal penyatuan fragmen tulang. Spoel dengan
cairan NS 0,9% dalam spuit 10cc.
26. Setelah fragmen tulang bersih, ulangi langkah no 20-21 untuk fragmen tulang tibia
distalnya.
27. Satukan kedua fragmen tulang tibia yang patah dengan mencocokkan garis fraktur
hingga sesuai satu dengan yang lain menggunakan bone reduction (fase reposisi).
28. Berikan T locking Plate 8 hole kepada operator untuk dipasang ditulang sebelumnya
Plate dibending dengan menggunakan bender disesuaikan dengan tulang tibia. Plate
dipasang pada bagian medial. Berikan needle untuk menentukan batas intra artikular.
Berikan klem kocher untuk menggeser plate disesuaikan dengan tempat yang akan
dipasang.
29. Berikan verburge kepada operator untuk menfiksasi T locking Plate pada tulang.
30. Berikan bor listrik yang telah dipasang mata bor untuk screw locking ukuran 4,3 mm
kepada operator, berikan juga sleave ɸ 4,3 mm untuk memfixkan mata bor pada plate.
Semprot dengan NS 0,9% dalam spuit 10cc agar tidak terjadi combus pada tulang serta
membersihkan serpihan tulang yang dibor.
31. Berikan pengukur screw untuk menentukan ukuran screw lalu berikan locking screw ɸ
5,0 mm sesuai ukuran kedalaman saat pengukuran dan langsung dipasangkan pada
screw drivernya. Hal ini diulang pada lubang plate yang lain yang akan dipasang srew
locking untuk memfixkan plate pada tulang.
32. Berikan bor listrik yang telah dipasang mata bor ukuran 3,2 mm kepada operator, berikan
juga sleave ɸ 3,2 untuk melindungi jaringan di sekitarnya. Semprot dengan NS 0,9%
dalam spuit 10cc agar tidak terjadi combus pada tulang serta membersihkan serpihan
tulang yang dibor.
33. Berikan pengukur screw untuk menentukan ukuran screw, lalu berikan
cortical/councellous tapper ɸ 4,5 untuk membuat alur. Berikan cortical screw ɸ 4,5 dan
councelluos screw ɸ 6,5 sesuai ukuran kedalaman saat pengukuran dan langsung
dipasangkan pada screw drivernya. Hal ini diulang sampai dengan jumlah screw yang
diminta terpasang semua. Cuci dengan NS 0,9% dengan menggunakan spuit 50 cc
hingga bersih, hisap dengan suction. Tutup dengan kasa bersih luka operasi
34. Berikan mess 1 (handvat mess dan paragon no 22) untuk insisi kulit daerah fibula
35. Berikan double pincet kepada operator dan asisten serta couter untuk merawat
perdarahan.
36. Berikan mess 2 (handvat mees dan paragon no 10) untuk membuka fascia dan otot, kalau
perlu berikan gunting metzenboum untuk ekspose lapis demi lapis. Berikan langen back
kepada asisten untuk memperluas lapang pandang area operasi saat insisi sampai terlihat
tulang.
37. Setelah tulang terlihat, berikan cobra kecil kepada operator untuk elevasi tulang agar
terlihat lebih jelas. Berikan raspatorium untuk membersihkan jaringan yang menempel
pada tulang.
38. Berikan bone reduction kecil kepada operator untuk memegang tulang bagian proksimal
yang patah agar fragmennya terlihat dengan jelas.
39. Berikan kuret tulang untuk membersihkan fragmen tulang dari kalus yang timbul supaya
tidak ada ganjalan saat menyatukan tulang yang patah kalau perlu berikan juga knable
untuk menghilangkan tulang yang mengganjal penyatuan fragmen tulang. Spoel dengan
cairan NS 0,9% dalam spuit 10cc.
40. Setelah fragmen tulang bersih, ulangi langkah no 34-35 untuk fragmen tulang fibula
bagian distalnya.
41. Satukan kedua fragmen tulang yang patah dengan mencocokkan garis fraktur hingga
sesuai satu dengan yang lain menggunakan bone reduction (fase reposisi).
42. Berikan 1/3 tubular plate 6 hole kepada operator untuk dipasang. Sebelumnya Plate
dibending dengan menggunakan bender disesuaikan dengan tulang tibia. Plate dipasang
pada bagian medial. Berikan needle untuk menentukan batas intra artikular. Berikan
klem kocher untuk menggeser plate disesuaikan dengan tempat yang akan dipasang.
43. Berikan verburge kepada operator untuk menfiksasi 1/3 tubular Plate pada tulang.
44. Berikan bor listrik yang telah dipasang mata bor ukuran 2,7 mm kepada operator, berikan
juga sleave ɸ 2,7 untuk melindungi jaringan di sekitarnya. Semprot dengan NS 0,9%
dalam spuit 10cc agar tidak terjadi combus pada tulang serta membersihkan serpihan
tulang yang dibor.
45. Berikan pengukur screw untuk menentukan ukuran screw, lalu berikan cortical tapper ɸ
2,7 untuk membuat alur. Berikan cortical screw ɸ 3,5 sesuai ukuran kedalaman saat
pengukuran dan langsung dipasangkan pada screw drivernya. Hal ini diulang sampai
dengan jumlah screw yang diminta terpasang semua. Cuci dengan NS 0,9% dengan
menggunakan spuit 50 cc hingga bersih, hisap dengan suction
46. Berikan pean manis dan kassa kepada operator serta couter kepada asisten untuk
merawat perdarahan.
47. Berikan bengkok, letakkan di bawah kaki lalu cuci luka dengan NS 0,9%, hisap dengan
suction, operator membersihkan dengan kassa.
48. Perawat sirkuler melakukan sign out dengan membacakan ( jenis tindakan, kecocokan
alat/kasa/ jarum, adakah spesimen untuk di PA, adakah permasalahan pada alat,
perhatian khusus selama di RR)
49. Hitung jumlah alat dan kassa sebelum area operasi ditutup. Pastikan semua dalam
keadaan lengkap.
50. Jahit luka operasi lapis demi lapis. Siapkan naldvoeder dan pincet chirurgis, berikan
kepada operator. Bagian otot dan subcutis dijahit dengan benang safil no.0 (untuk bagian
tibia)dan safil no.2-0 (untuk bagian fibula), dan bagian kulit dijahit dengan menggunakan
benang premiline 3-0. Berikan klem manis dan gunting benang kepada asisten.
51. Bersihkan luka dengan kassa basah dan keringkan.
52. Tutup luka dengan sofratul, kassa kering, fiksasi dengan hepavix dan terakhir balut
dengan softban 15cm dan tensocrep 15cm.
53. Operasi selesai, bereskan semua instrument, bor listrik, selang suction dan kabel couter
dilepas.
54. Rapikan pasien, bersihkan bagian tubuh pasien dari bekas betadin yang masih menempel
dengan menggunakan kassa basah dan keringkan.
55. Pindahkan pasien ke brankart, dorong ke ruang recovery.
56. Semua instrument didekontaminasi menggunakan larutan presep 2.5 gram (9 buah)
dalam 5 liter air. Rendam selama 10 menit lalu cuci, kemudian cuci dengan detergent
enzymatic lalu bersihkan, bilas dan keringkan, kemudian alat diinventaris dan diset
kembali bungkus dengan kain dan beri indicator lalu siap untuk disterilkan.
57. Bersihkan ruangan dan lingkungan kamar operasi, rapikan dan kembalikan alat- alat
yang dipakai pada tempatnya.
58. Inventaris bahan habis pakai pada depo farmasi.

E. PENYELESAIAN (Dekontaminasi Alat dan Pengepakan)


1. Alat yang sudah dipergunakan dirapikan dan dibawa semua ke ruang pencucian alat
2. Alat – alat yang kotor (terkontaminasi cairan tubuh pasien) direndam dengan ALKAZYM
1 bungkus ( 25 g ) dalam 1 liter air selama 15 menit, kemudian rendam dalam larutan
Enzimatic Detergen (CIDECYM) selama 1 menit
3. Cuci alat dengan cara menyikat alat hingga bersih, lakukan penyemprotan untuk alat
berongga
4. Bilas alat dengan air mengalir kemudian di keringkan
5. Inventarisai alat
6. Lakukan pengepakan alat kemudian diberi indicator dan keterangan isi dari alat
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes Marilyn, E.2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Long, B.C. 2000. Perawatan Medikal Bedah Edisi VII. Yayasan Alumni Pendidikan Keperawatan
Padjajaran: Bandung

Mansjoer, A, 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III. Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius

Price Sylvina, 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jilid 2. Edisi 4. Jakarta.
EGC

Smeltzer Suzanne, C 2000. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisii 8. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai