Oleh
BAGAS IMAN BAHREISY
A. PENGERTIAN
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik dan sudut
dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000).
Plate screw adalah prosedur penyatuan fraktur tulang dengan cara mereposisi fraktur,
kemudian memasang plate dan memfiksasi dengan screw sesuai dengan kondisi tulang dan
fraktur, yang dilakukan dengan insisi seminimal mungkin.
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah reduksi terbuka dari fiksasi internal dimana
dilakukan insisi pada tempat yang mengalami fraktur.
Tindakan pemasangan plate dan screw pada fraktur tibia beserta teknik instrumentasinya.
B. KLASIFIKASI FRAKTUR
Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu :
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2. Fraktur terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur
c. Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang seperti terlihat pada foto.
d. Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti :
Hair Line Fraktur ( patah retak rambut )
Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang
spongiosa di bawahnya
Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi
pada tulang panjang.
e. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengn mekanisme trauma
1. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang
dan merupakan akibat trauma angulasinya.
3. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang di sebabkan
trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang ke arah permukaan lain.
5. Fraktur Avulsi: fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.
f. Berdasarkan jumlah garis patah
1. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
2. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan
3. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
sama.
g. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
1. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum masih utuh
2. Fraktur Displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga di sebut
lokasi fragmen, terbagi atas:
Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping)
Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh)
h. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang
i. Fraktur Patologis: fraktur yang di akibatkan karena proses patologis tulang.
j. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya
2. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan
3. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan
4. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartement.
C. ETIOLOGI
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
a. Cidera atau benturan
b. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena
tumor, kanker dan osteoporosis.
c. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang baru saja menambah
tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan bersenjata atau orang-orang
yang baru mulai latihan lari.
D. PATOFISIOLOGI
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare, 2002). Sewaktu
tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar
tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya
timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan
aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang
disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya
serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom compartment (Brunner dan
Suddarth, 2002). Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak
disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan
Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara
lain: nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat
terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi mengakibatkan berkurangnyan kemampuan perawatan diri
(Carpenito, 2007).
e. KONTRA INDIKASI
a. Pasien dengan gangguan hemodinamik.
b. Infeksi pada luka
LAPORAN KASUS
A. PERSIAPAN LINGKUNGAN
1. Mengatur dan mengecek fungsi mesin suction, couter, lampu operasi, meja operasi, meja
instrument, meja mayo dan viewer foto rontgent
2. Memasang perlak dan doek pada meja operasi, sarung meja mayo, mempersiapkan linen steril dan
instrument yang akan digunakan
3. Menempatkan tempat sampah pada tempat yang sesuai sehingga mudah digunakan.
B. PERSIAPAN PASIEN
1. Pasien dipersiapkan dalam kondisi bersih dan mengenakan pakaian khusus masuk kamar operasi
dan tidak mengenakan pakaian dalam.
2. Pasien telah memberikan inform consent, menanggalkan gigi palsu dan semua perhiasan
3. Mengatur posisi prone (tengkurap) di meja operasi
4. Apakah pasien sudah diberi antibiotik profilaksis
5. Perlu atau tidak perlu skiren
6. Apakah pasien memakai perhiasan, gigi palsu, atau prostase lainnya
7. Perlengkapan oprasi yang perlu dibawa pasien
8. Site marking area operasi
9. Pemeriksaan laboraturium dan radiologi
10. Pasien sudah mandi dengan sabun antiseptik dan memakai baju operasi
11. Pasien tidak boleh memakai cat kuku
12. Apakah pasien perlu huknah/ lavement atau tidak
13. Apakah pasien sudah memakai kateter atau belum
D. TEKNIK INSTRUMENTASI
Long, B.C. 2000. Perawatan Medikal Bedah Edisi VII. Yayasan Alumni Pendidikan Keperawatan
Padjajaran: Bandung
Mansjoer, A, 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III. Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius
Price Sylvina, 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jilid 2. Edisi 4. Jakarta.
EGC
Smeltzer Suzanne, C 2000. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisii 8. Jakarta: EGC