Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN CA SERVIKS DI RUANG

NIFAS RSUD dr. SOEBANDI JEMBER


PERIODE 15 – 20 FEBRUARI 2021

Dosen Pembimbing

Ns. Siti Kholifah S.Kp.,M.Kep

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Tugas di Stase


Keperawatan Maternitas

OLEH:
Angga Trisna Nugraha S.Kep
NIM. 2001031039

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2021
LAPORAN PENDAHULUAN CARSINOMA SERVIKS

A. Definisi
Kanker serviks merupakan kanker yang menyerang area serviks atau leher
rahim, yaitu area bawah pada rahim yang menghubungkan rahim dan
vagina (Nurarif, 2015).
Kanker leher rahim atau kanker serviks (cervical cancer) merupakan
kanker yang terjadi pada serviks uterus, suatu daerah pada organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang
terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina)
(Wuriningsih, 2016).
B. Etiologi
Penyebab terjadinya kelainan pada sel - sel serviks tidak diketahui secara
pasti, tetapi terdapat beberapa faktor resiko yang berpengaruh terhadap
terjadinya kanker serviks yaitu:
1. HPV (Human papilloma virus)
HPV adalah virus penyebab kutil genetalis (Kandiloma akuminata)
yang ditularkan melalui hubungan seksual. Varian yang sangat
berbahaya adalah HPV tipe 16, 18, 45, dan 56.
2. Merokok
Tembakau merusak sistem kekebalan dan mempengaruhi kemampuan
tubuh untuk melawan infeksi HPV pada serviks.
3. Hubungan seksual pertama dilakukan pada usia dini.
4. Berganti-ganti pasangan seksual.
5. Suami/pasangan seksualnya melakukan hubungan seksual pertama
pada usia di bawah 18 tahun, berganti - berganti pasangan dan pernah
menikah dengan wanita yang menderita kanker serviks.
6. Pemakaian DES (Diethilstilbestrol) pada wanita hamil untuk
mencegah keguguran (banyak digunakan pada tahun 1940-1970).
7. Gangguan sistem kekebalan
8. Pemakaian Pil KB.
9. Infeksi herpes genitalis atau infeksi klamidia menahun.
10. Golongan ekonomi lemah (karena tidak mampu melakukan pap smear
secara rutin).
(Nurarif, 2015) (Saminun, 2019)
C. Klasifikasi
Stadium klinis menurut FIGO membutuhkan pemeriksaan pelvic, jaringan
serviks (biopsi konisasi untuk stadium IA dan biopsi jaringan serviks
untuk stadium kliniknya), foto paru-paru, pielografi, intravena, (dapat
digantikan dengan foto CT-scan). Untuk kasus stadium lanjut diperlukan
pemeriksaan sistoskopi, protoskopi dan barium enema (Prawirohardjo,
2011).
Stadium 0 Karsinoma insitu, karsinoma intraepitel
Stadium I Karsinoma masih terbatas pada daerah serviks
(penyebaran ke korpus uteri diabaikan)
Stadium IA Invasi kanker ke stroma hanya dapat didiagnosis
secara mikroskopik. Lesi yang dapat dilihat secara
makroskopik walau dengan invasi yang superficial
dikelompokkan pada stadium IB
Stadium I AI Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih 3 mm
dan lebar horizontal tidak lebih 7 mm.
Stadium IA2 Invasi ke stroma lebih dari 3 mm tapi kurang dari 5
mm dan perluasan horizontal tidak lebih 7 mm.
Stadium I B Lesi yang tampak terbatas pada serviks atau secara
mikroskopik lesi lebih dari stadium I A2
Stadium I BI Lesi yang tampak tidak lebih dari 4 cm dari dimensi
terbesar.
Stadium I B2 Lesi yang tampak lebih dari 4 cm dari diameter
terbesar
Stadium II Tumor telah menginvasi di luar uterus, tetapi belum
mengenai dinding panggul atau sepertiga distal/
bawah vagina
Stadium II A Tanpa invasi ke parametrium
Stadium II B Sudah menginvasi ke parametrium
Stadium III Tumor telah meluas ke dinding panggul dan/ atau
mengenai sepertiga bawah vagina dan/ atau
menyebabkan hidronefrosis atau tidak berfungsinya
ginjal
Stadium III A Tumor telah meluas ke sepertiga bagian bawah vagina
dan tidak menginvasi ke parametrium tidak sampai
dinding panggul
Stadium III B Tumor telah meluas ke dinding panggul dan/ atau
menyebabkan hidronefrosis atau tidak berfungsinya
ginjal
Stadium IV Tumor telah meluas ke luar organ reproduksi
Stadium IV A Tumor menginvasi ke mukosa kandung kemih atau
rectum dan/ atau keluar rongga panggul minor
Stadium IV B Metastasis jauh penyakit mikroinvasif: invasi stroma
dengan kedalaman 3 mm atau kurang dari membrane
basalis epitel tanpa invasi ke rongga pembuluh darah/
limfe atau melekat dengan lesi kanker serviks.
(Prawirohardjo, 2011)
D. Manifestasi Klinis
Menurut (Nurarif, 2015) gejala kanker leher rahim adalah sebagai berikut:
1. Keputihan, makin lama makin berbau akibat infeksi dan nekrosis
jaringan.
2. Perdarahan yang terjadi diluar senggama (tingkat II dan III).
3. Perdarahan setelah senggama (75-80%).
4. Perdarahan spontan saat defekasi
5. Perdarahan spontan pervaginam.
Pada tahap lanjut keluhan dapat berupa:
1. Cairan pervaginam yang berbau busuk
2. Nyeri tulang panggul dan tulang belakang.
3. Nyeri disekitar vagina.
4. Sering berkemih
5. Sakit ketika BAB dan BAK
6. Gejala penyakit yang redidif (nyeri pinggang, edema kaki unilateral,
dan obstruksi ureter).
7. Sakit waktu hubungan seks.
8. Pada fase invasif dapat keluar cairan kekuning-kuningan, berbau dan
bercampur dengan darah.
9. Anemia (kurang darah) karena perdarahan yang sering timbul.
10. Rasa nyeri akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf.
11. Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus kering karena kurang gizi,
edema kaki, timbul iritasi kandung kencing dan poros usus besar
bagian bawah (rectum), terbentuknya fistel vesikovaginal atau
rectovaginal, atau timbul gejala-gejala akibat metastasis jauh.
E. Deteksi Dini Ca Serviks
Kanker serviks sebenarnya merupakan penyakit yang dapat dicegah dan
dapat cepat ditangani apabila diketahui adanya perubahan pada daerah
servik dengan cara pemeriksaan sitologi menggunakan tes papsmear dan
kolposkopi. Kolposkopi jarang dianjurkan karena memerlukan biaya yang
lebih mahal, kurang praktis dan memerlukan biopsi. Bentuk pemeriksaan
yang lain yaitu Papanicolou smear (pap-smear). Pap smear ini termasuk
cepat dan tidak sakit namun belum dapat menjangkau seluruh kalangan.
Metode lain dalam deteksi dini kanker servik adalah dengan cara inspeksi
vagina dengan asam cuka. Cara ini dianggap lebih mudah, murah dengan
harapan dapat menjangkau seluruh masyarakat, terutama kelompok miskin
M.N Bustan (2007) dalam (Riyadini, 2016).
Deteksi dini kanker serviks dapat dilakuakan dengan melakukan skrining.
Skrining merupakan sebuah proses untuk mengidentifikasi suatu penyakit
atau kelainan yang tidak dikenal, melalui tes yang dilakukan secara cepat
pada lingkup yang luas Imam Rasjidi (2010) dalam Riyadini (2016)
menyebutkan program pemeriksaan atau skrining yang dianjurkan WHO
(2002) untuk kanker serviks yaitu sebagai berikut:
1. Skrining pada setiap wanita minimal satu kali pada usia 35 tahun -40
tahun.
2. Kalau fasilitas tersedia lakukan setiap 10 tahun pada usia 35-55 tahun.
3. Lakukan skrining tiap 5 tahun pada usia 35-55 tahun jika fasilitas
memadai.
4. Ideal atau optimal lakukan setiap 3 tahun pada wanita usia 25-60
tahun.
F. Penatalaksanaan
Menurut Wijaya (2010) dalam Jannah (2019) terdapat berbagai tindakan
klinis yang bisa dipilih untuk mengobati kanker serviks sesuai dengan
tahap perkembangannya masing-masing, yaitu:
1. Stadium 0 (Carsinoma in Situ)
Pilihan metode pengobatan kanker serviks untuk stadium 0 antara
lain:
a. Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) yaitu presedur
eksisi dengan menggunakan arus listrik bertegangan rendah untuk
menghilangkan jaringan abnormal serviks.
b. Pembedahan Laser.
c. Konisasi yaitu mengangkat jaringan yang mengandung selaput
lendir serviks dan epitel serta kelenjarnya.
d. Cryosurgery yaitu penggunaan suhu ekstrem (sangat dingin) untuk
menghancurkan sel abnormal atau mengalami kelainan.
e. Total histerektomi (untuk wanita yang tidak bisa atau tidak
menginginkan anak lagi).
f. Radiasi internal (untuk wanita yang tidak bisa dengan
pembedahan).
2. Stadium I A
Alternatif pengobatan kanker serviks stadium IA meliputi:
a. Total histerektomi dengan atau tanpa bilateral
salpingoophorectomy.
b. Konisasi yaitu mengangkat jaringan yang mengandung selaput
lendir serviks dan epitel serta kelenjarnya.
c. Histerektomi radikal yang dimodifikasi dan penghilangan kelenjar
getah bening.
d. Terapi radiasi internal.

3. Stadium I B
Alternatif pengobatan kanker serviks stadium IB meliputi:
a. Kombinasi terapi radiasi internal dan eksternal.
b. Radikal histerektomi dan pengangkatan kelenjar getah bening.
c. Radikal histerektomi dan pengangkatan kelenjar getah bening
diikuti terapi radiasi dan kemoterapi.
d. Terapi radiasi dan kemoterapi.
4. Stadium II
Alternatif pengobatan kanker serviks stadium II meliputi:
a. Kombinasi terapi radiasi internal dan eksternal serta kemoterapi
b. Radikal histerektomi dan pengangkatan kelenjar getah bening
diikuti terapi radiasi dan kemoterapi.
5. Stadium II B
Alternatif pengobatan kanker serviks stadium II B meliputi terapi
radiasi internal dan eksternal yang diikuti dengan kemoterapi.
6. Stadium III
Alternatif pengobatan kanker serviks stadium III meliputi terapi radiasi
internal dan eksternal yang dikombinasikan dengan kemoterapi.
7. Stadium IV A
Alternatif pengobatan kanker serviks stadium IV A meliputi terapi
radiasi internal dan eksternal yang dikombinasikan dengan kemoterapi.
8. Stadium IV B
Alternatif pengobatan kanker serviks stadium IVB meliputi:
a. Terapi radiasi sebagai terapi paliatif untuk mengatasi gejalagejala
yang disebabkan oleh kanker dan untuk meningkatkan kualitas
hidup.
b. Kemoterapi
c. Tindakan klinis dengan obat-obatan anti kanker baru atau obat
kombinasi.
G. Patofisiologi
Puncak insedensi karsinoma insitu adalah usia 20 hingga usia 30 tahun.
Faktor resiko mayor untuk kanker serviks adalah infeksi Human
Paipilloma Virus (HPV) yang ditularkan secara seksual. Faktor resiko lain
perkembangan kanker serviks adalah aktivitas seksual pada usia muda,
paritas tinggi, jumlah pasangan seksual yang meningkat, status sosial
ekonomi yang rendah dan merokok. Karsinoma sel skuamosa biasanya
muncul pada taut epitel skuamosa dan epitel kubus mukosa endoserviks
(persambungan skuamokolumnar atau zona tranformasi). Pada zona
transformasi serviks memperlihatkan tidak normalnya sel progresif yang
berakhir sebagai karsinoma servikal invasif. Displasia servikal dan
karsinoma in situ atau High-grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL)
mendahului karsinoma invasif. Karsinoma serviks terjadi bila tumor
menginvasi epitelium masuk ke dalam stroma serviks. Kanker servikal
menyebar luas secara langsung kedalam jaringan para servikal.
Pertumbuhan yang berlangsung mengakibatkan lesi yang dapat dilihat dan
terlibat lebih progresif pada jaringan servikal. Karsinoma servikal invasif
dapat menginvasi atau meluas ke dinding vagina, ligamentum kardinale
dan rongga endometrium. Invasi ke kelenjar getah bening dan pembuluh
darah mengakibatkan metastase ke bagian tubuh yang jauh Price (2012)
dalam Jannah (2019).
H. Pathway

Proses Dysplasia serviks Ca serviks


- Berhubungan seks 17 th
- Merokok
- Hygene seks yang kurang
- Virus HIV Tahap awal Tahap lanjut Terapi
- Sering melahirkan dg
persalinan bermasalah Nekrosis jaringan
serviks Menyebar ke pelvik Pembesaran massa
- Berganti-ganti pasangan
- Herediter
Malu Tekanan intrapelvik Penipisan sel epitel

Hambatan Tekanan abdomen Rusaknya permeabilitas


interaksi sosial pembuluh darah
Nyeri akut
Pendarahan

Resiko kekurangan volume cairan

Radiasi Kemoterapi Pembedaham/histerektomi

Pre Post Mempercepat pertumbuhan


sel normal Pre Post
Ansietas Gastrointestinal Anoreksia
Kurang Aktivitas
Memperpendek usia akar
Tekanan gaster pengetahuan fisik terbatas
Ketidakseimbangan nutrisi rambut
kurang dari kebutuhan Ansietas
Gangguan citra tubuh Intoleransi
Mual,muntah tubuh Alopecia aktivitas
(Nurarif, 2015)
I. Konsep Asuhan Keperawatan
Konsep asuhan keperawatan yang pada pasien dengan carsinoma servikal sama
sepeti asuhan keperawatan yang lainnya, yaitu terdapat pengkajian, diagnosa,
intervensi, implementasi, dan evaluasi. Adapun konsep asuhan keperawatan
yang dapat dilakukan pada pasien dengan ca serviks menurut Hutahen (2010)
dalam Jannah (2019) yaitu:
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan sebuah pemikiran dasar dari proses keperawatan
yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien,
supaya dapat mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan
dan keperawatan pasien, baik secara fisik, mental sosial dan lingkungan.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pengkajian ini adalah mengumpulkan
data, seperti riwayat keperawatan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan data
sekunder lainnya (catatan, hasil pemeriksaan diagnostik, dan literatur).
2. Diagnosa
Setelah dilakukan pengkajian dan analisa data, maka tahap selanjutnya
adalah penegakan diagnosa. Diagnosa keperawatan adalah terminologi
yang digunakan oleh perawat profesional untuk menjelaskan masalah
kesehatan, tingkat kesehatan, respon klien terhadap penyakit atau kondisi
klien (aktual/potensial) sebagai akibat dari penyakitt yang diderita.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah mevalidasi data, mengoreksi
dan mengelompokkan data, menginterpretasikan data, mengidentifikasi
masalah dari kelompok data, dan merumuskan diagnosis keperawatan.
Menurut NANDA (2015-2017), kemungkinan masalah yang muncul adalah
sebagai berikut:
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (penekanan sel
syaraf)
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kurang asupan makanan
c. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan menurun
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan agens farmaseutikal
e. Resiko infeksi berhubungan dengan imunosupresi
f. Disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan struktur tubuh
g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan program pengobatan
h. Resiko pendarahan berhubungan dengan Koagulopati inheren
(trombositopenia)
i. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
j. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme tubuh
3. Perencanaan
Tahap perencanaan dilakukan setelah ditegakkan diagnosis keperawatan.
Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap ini yaitu menyusun prioritas
masalah, merumuskan tujuan dan kriteria hasil, memilih strategi/tindakan
asuhan keperawatan yang akan diberikan kepada klien, melakukan
konsultasi dengan tenaga kesehatan lain, dan menuliskan atau
mendokumentasikan renacana asuhan keperawatan. Pada diagnosa nyeri
hal yang dapat dilakukan menurun NIC, yaitu:
Manajemen nyeri:
a. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya
nyeri dan faktor pencetus
b. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan
terutama pada mereka yang tidak dapat berkomunikasi secara efektif
c. Gunakan strategi komunikasi terapeutik
d. Kaji pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai nyeri
e. Kaji bersama pasien faktor-faktor yang dapat menurunkan atau
memperberat nyeri
f. Berikan informasi mengenai nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat
prosedur
g. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
h. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi (terapi relaksasi)
i. Evaluasi keefektifan dari tindakan pengontrol nyeri yang dipakai
selama pengkajian nyeri dilakukan
j. Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk membantu penurunan nyeri
dan lakukan kolaborasi pemberian analgesik.

Resiko kekurangan volume cairan:


a. Monitor intake/asupan dan asupan cairan secara tepat
b. Monitor tanda-tanda dehidrasi
c. Monitor intake dan output
d. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk mengembangkan rencana
perawatan dengan melibatkan pasien dan orang-orang terdekatnya
dengan tepat
e. Kolaborasi dengan tim medis lainnya terkait dengan pemberian cairan
intravena.
4. Pelaksanaan
Tahap implementasi merupakan tahap melakukan rencana yang telah dibuat
pada klien. Adapun kegiatan yang ada dalam tahap implementasi meliputi
pengkajian ulang, memperbaharui data dasar, meninjau dan merevisi
rencana asuhan yang telah dibuat, dan melaksanakan intervensi
keperawatan yang telah direncanakan.
5. Evaluasi
Tahap akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi. Pada tahap ini,
kegiatan yang dilakukan adalah mengkaji respon klien setelah dilakukan
intervensi keperawatan, membandingkan respon klien dengan kriteria hasil,
memodifikasi asuhan keperawatan sesuai dengan hasil evaluasi, dan
mengkaji ulang asuhan keperawatan yang telah diberikan (Hutahaen,
2010). Pemeriksaan fisik dilakukan dengan empat cara yaitu inspeksi,
perkusi, palpasi, dan auskultasi (IPPA). Inspeksi dilakukan dengan
menggunakan indra penglihatan, memerlukan bantuan pencahayaan yang
baik, dan pengamatan yang teliti. Perkusi adalah pemeriksaan yang
menggunakan prinsip vibrasi dan getaran udara, dengan cara mengetuk
permukaan tubuh dengan tangan pemeriksa untuk memperkirakan densitas
organ tubuh/jaringan yang diperiksa. Palpasi menggunakan serabut saraf
sensori di permukaan telapak tangan untuk mengetahui kelembaban, suhu,
tekstur, adanya massa, dan penonjolan, lokasi dan ukuran organ, serta
pembengkakan. Auskultasi menggunakan indera pendengaran, bisa
menggunakan alat bantu (stetoskop) ataupun tidak. Suara di dalam tubuh
dihasilkan oleh gerakanudara (misalnya suara nafas) atau gerakan organ
(misalnya peristaltik usus).
DAFTAR PUSTAKA

Jannah, R, S. (2019). Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Ca.Serviks Di Ruang


Mawar Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Diploma Thesis. Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jurusan
Keperawatan Keperawatan Samarinda.
Nurarif, A, Huda, & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Media dan Nanda Nic Noc edisi revisi Jilid 1.
Jogjakarta: Mediaction Jogja.
Prawirohardjo, S. (2011). Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: Pt. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Riyadini, M, Savitri. (2016). Analisis Implementasi Program Deteksi Dini Kanker
Servik Dengan Metode Inspeksi Visual Asam Asetat (Iva) Di Puskesmas
Kota Semarang Tahun 2015. Skripsi: Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang.
Saminun, Z. (2019). Penerapan Askep Dengan Gangguan Sistem Reproduksi Ca
Serviks Dalam Pemenuhan Kebutuhan Rasa Nyaman (Nyeri) Di Rsud
Labuang Baji Makassar. Jurnal Media Keperawatan: Politeknik Kesehatan
Makassar Vol. 10 No. 01 2019 e-issn : 2622-0148, p-issn : 2087-0035
Wuriningsih. (2016). Potret Asuhan Keperawatan Maternitas Pada Klien Dengan
Kanker Serviks Melalui Pendekatan Konservasi Dan Efikasi Diri.
Nurscope. Jurnal Keperawatan dan Pemikiran Ilmiah Keperawatan, 2(2),
49-6

Anda mungkin juga menyukai