Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

DENGAN BATUK REJAN (PERTUSIS)

DISUSUN OLEH :

1. AMALINDA YUSIA MANIK (19034)


2. ANINDITYA DEWI PRABANDARI (19036)
3. EVA RAHMANDA VINANTI (19050)
4. LEILA RIZKY AMALIA (19056)

AKADEMI KEPERAWTAN GIRI SATRIA HUSADA

WONOGIRI

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah “Laporan
Pendahuluan Pada Anak dengan Batuk Rejan (Pertusis)”. Kami sangat berharap makalah ini
dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Batuk
Rejan atau Pertusis.

Ucapan terimakasih dan penghargaan kami sampaikan kepada:

a. Dosen pembimbing: Ibu Marni S.Kep, Ns, M.Kes.


b. Teman-teman tingkat II B Akademi Keperawatan Giri Satria Husada Wonogiri.
c. Orang tua kami tercinta, yang telah memberi dorongan dan semangat sehingga dapat
menyelesaikan tugas ini.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-
kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa sarana yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.

Wonogiri, April 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Depan

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Batuk Rejan


B. Penyebab
C. Gambaran Manifestasi Klinis
D. Patofisiologi
E. Pemeriksaan Penunjang
F. Penatalaksanaan
G. Komplikasi
H. Asuhan Keperawatan

BAB III TINJAUAN KASUS

A. Kasus
B. Analisa Data
C. Pengkajian
D. Diagnosa Keperawatan
E. Intervensi Keperawatan
F. Implementasi dan Evaluasi

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada makalah ini akan dijelaskan tentang Batuk Rejan pada Anak serta
bagaimana asuhan keperawatan Pertusis Pada Anak. Pertusis adalah suatu infeksi akut
saluran nafas yang mengenai setiap pejamu yang rentan, tetapi paling sering dan
serius pada anak-anak. (Behrman, 1992).
Penyakit ini ditandai dengan demam dan perkembangan batuk semakin berat.
Batuk adalah gejala khas  dari batuk rejan atau pertusis. Seranagn batuk terjadi tiba-
tiba dan berlanjut terus tanpa henti hingga seluruh udara di dalam paru-paru terbuang
keluar. Akibatnya saat napas berikutnya pasien pertusis telah kekurangan udara
shingga bernapas dengan cepat, suara pernapasan berbunyi separti pada bayi yang
baru lahir berumur kurang dari 6 bulan dan pada orang dewasa bunyi ini sering tidak
terdengar. Batuk pada pertusis biasanya sangat parah hingga muntah-muntah dan
penderita sangat kelelahan setelah serangan batuk.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah hal-hal apa saja yang berkaitan
dengan asuhan keperawatan pertusis pada anak.
C. Tujuan Penulisan
A. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Keperawatan Anak yang berupa makalah tentang asuhan keperawatan
pertusis pada anak.
B. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian dan penyebab dari Batuk Rejan.
2. Untuk mengetahui manifestasi klinis dan patofisiologi dari Batuk Rejan.
3. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan dari Batuk
Rejan.
4. Untuk mengetahui komplikasi dari Batuk Rejan.
5. Untuk mengetahuai bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan
Batuk Rejan.
D. Manfaat Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
informasi dalam bidang Keperawatan Anak tentang Asuhan Keperawatan Pada Anak
Dengan Batuk Rejan atau Pertusis.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh bakteri Bordetella
pertusis. Nama lain penyakit ini adalah tussis quinta, whooping cough, batuk rejan,
batuk 100 hari. (Arif Mansjoer, 2000)
Pertusis adalah penyakit infeksi yang ditandai dengan radang saluran nafas
yang menimbulkan serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir dengan
inspirasi berbising. (Ramali, 2003)
Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat
menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat
spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan, 1993)
Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu
yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman, 1992)
Penyakit ini ditandai dengan demam dan perkembangan batuk semakin berat.
Batuk adalah gejala khas  dari batuk rejan atau pertusis. Seranagn batuk terjadi tiba-
tiba dan berlanjut terus tanpa henti hingga seluruh udara di dalam paru-paru terbuang
keluar. Akibatnya saat napas berikutnya pasien pertusis telah kekurangan udara
shingga bernapas dengan cepat, suara pernapasan berbunyi separti pada bayi yang
baru lahir berumur kurang dari 6 bulan dan pada orang dewasa bunyi ini sering tidak
terdengar. Batuk pada pertusis biasanya sangat parah hingga muntah-muntah dan
penderita sangat kelelahan setelah serangan batuk.
B. PENYEBAB
Pertusis biasanya disebabkan diantaranya Bordetella pertussis (Hemophilis
pertusis). Suatu penyakit sejenis telah dihubungkan dengan infeksi oleh bordetella
para pertusis, B. Bronchiseptiea dan virus.
Bordetella pertussis merupakan bakteri gram negatif, tidak  bergerak,  dan
ditemukan  dengan  melakukan  swab  pada  daerah nasofaring dan ditanamkan pada
media agar Bordet-Gengou. (Arif Mansjoer, 2000).

Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain :


1. Berbentuk batang (coccobacilus)
2. Tidak dapat bergerak
3. Bersifat gram negative.
4. Tidak berspora, mempunyai kapsul
5. Mati pada suhu 55 º C selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º- 10º C)
6. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik
7. Tidak sensitive terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten terhdap
penicillin
8. Menghasilkan 2 macam toksin antara lain :
a. Toksin tidak yahan panas (Heat Labile Toxin)
b. Endotoksin (lipopolisakarida)
C. GAMBARAN MANIFESTASI KLINIS
Pada Pertusis, masa inkubasi 7-14 hari, penyakit berlangsung 6-8 minggu atau lebih
dan berlangsung dalam 3 stadium yaitu :
1. Stadium kataralis / stadium prodomal / stadium pro paroksimal
a. Lamanya 1-2 minggu
b. Gejala permulaannya yaitu timbulnya gejala infeksi saluran pernafasan
bagian atas, yaitu timbulnya rinore dengan lender yang jernih:
1) Kemerahan konjungtiva, lakrimasi
2) Batuk dan panas ringan
3) Anoreksia kongesti nasalis
c. Selama masa ini penyakit sulit dibedakan dengan common cold
d. Batuk yang timbul mula-mula malam hari, siang hari menjadi semakin hebat,
sekret pun banyak dan menjadi kental dan lengket
2. Stadium paroksimal / stadium spasmodic
a. Lamanya 2-4 minggu
b. Selama stadium ini batuk menjadi hebat ditandai oleh whoop (batuk yang
bunyinya nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik nafas pada
akhir serangan batuk. Batuk dengan sering 5 – 10 kali, selama batuk anak tak
dapat bernafas dan pada akhir serangan batuk anak mulai menarik nafas
denagn cepat dan dalam. Sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan
diakhiri dengan muntah.
c. Batuk ini dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa
adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat.
d. Selama serangan, wajah merah, sianosis, mata tampak menonjol, lidah terjulur,
lakrimasi, salvias dan pelebaran vena leher.
e. Batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosional missal menangis dan aktifitas
fisik (makan, minum, bersin dll).
3. Stadium konvaresens
a. Terjadi pada minggu ke 4 – 6 setelah gejala awal
b. Gejala yang muncul antara lain : Batuk berkurang
c. Nafsu makan timbul kembali, muntah berkurang
d. Anak merasa lebih baik
e. Pada beberapa penderita batuk terjadi selama berbulan-bulan akibat gangguan
pada saluran pernafasan.
D. PATOFISIOLOGI
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme pathogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya
timbul penyakit sistemik. Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada
perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella
pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran
nafas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia.
Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan
menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit
B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan sub unit A
yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi
limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan
meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkn konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus ). Penumpukan
mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat
ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat
mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin
ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotic
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan
infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.
Cara penularan pertusis, melalui:
a. Droplet infection
b. Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
c. Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-
percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin.
d. Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari
kuman-kuman penyakit tersebut.

Tanpa dilakukan perawatan, orang yang menderita pertusis dapat


menularkannya kepada orang lain selama sampai 3 minggu setelah batuk dimulai.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan sputum
b. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis
c. ELISA
Elisa dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap
“filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA
dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena
menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau
vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling
sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif
daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi natural dan tidak terlihat
sesudah imunisasi pertussis.
d. Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut selama stadium
1 (catarrhal) dan stadium 2 (paroxysmal).
e. Didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis)
f. Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme Bordetella pertussis pada apus
nasofaring posterior (bahan media Bordet-Gengou).
g. Polymerase chain reaction (PCR) assay memiliki keuntungan sensitivitasnya
lebih tinggi daripada kultur pertusis konvensional.
h. Foto toraks
Infiltrat perihiler (perihilar infiltrates), edema (atau mild interstitial edema)
dengan berbagai tingkat atelektasis yang bervariasi, mild peribronchial cuffing,
atau empiema.Konsolidasi (consolidation) merupakan indikasi adanya infeksi
bakteri sekunder atau pertussis pneumonia (jarang).Adakalanya pneumothorax,
pneumomediastinum, atau udara di jaringan yang lunak dapat terlihat.
Radiography tidak diindikasikan pada pasien dengan tanda-tanda vital (vital
signs) yang normal. Vital signs ini meliputi: tekanan darah, nadi, heart rate,
respiration rate, dan suhu tubuh.
F. PENATALAKSANAAN
Menurut Garna, et.al. (2005), terapi pertusis adalah :
a. Suportif
1) Isolasi (1-2 minggu).
2) Mencegah faktor yang merangsang batuk (debu, asap rokok).
3) Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi.
4) Oksigen bila sesak nafas.
5) Pengisapan lendir.
6) Obat untuk mengurangi batuk paroksismal dengan kortikosteroid
(betametason) dan salbutamol (albuterol).
b. Eradikasi bakteri
Pilihan obat yang dapat diberikan adalah :
1) Eritromisin
Dosis: 40-50 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 2 gram/hari, p.o., dibagi
dalam 4 dosis selama 14 hari.
2) Klaritromisin
Dosis: 15-20 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 1 gram/hari, p.o., dibagi
dalam 2 dosis selama 7 hari.
3) Azitromisin
Dosis: 10 mg/Kg berat badan/hari, sehari 1x, p.o., dibagi selama 5 hari.
4) Kotrimoksasol
Dosis: 50 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 2 dosis, selama 14 hari.
5) Ampisilin
Dosis: 100 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 4 dosis selama 14
hari.

Sedangkan Guinto-Ocampo (2006) mengusulkan penatalaksanaan pertusis sebagai


berikut :

a. Antibiotik
1) Erythromycin
a) Nama Dagang di Amerika: EES, E-Mycin, Eryc, Ery-Tab, Erythrocin.
b) Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi peptidyl
tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein synthesis
berhenti.
c) Dosis dewasa:
250 mg (erythromycin stearate/base) atau 400 mg (ethylsuccinate) PO
q6h 1 h ac, atau 500 mg (stearate/base) q12h.
Alternatif lainnya, 333 mg (stearate/base) q8h, dapat ditingkatkan hingga
4 g/hari tergantung dari beratnya infeksi.
d) Dosis anak-anak
40-50 mg/kg/hari (stearate/base) PO dibagi qid; tidak melebihi 2 g/hari.
Garam estolate dapat digunakan pada bayi karena penyerapan yang lebih
efektif.
2) Azithromycin
a) Nama Dagang di Amerika: Zithromax
b) Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi peptidyl
tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein synthesis
berhenti.
c) Dosis dewasa:
500 mg PO pada hari pertama, lalu 250 mg/hari selama 4 hari berikutnya
(total 5 hari)
d) Dosis anak-anak
10-12mg/kg/hari PO selama 5 hari.
3) Clarithromycin
a) Nama Dagang di Amerika: Biaxin
b) Mekanisme kerja
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi peptidyl
tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein synthesis
berhenti.
c) Dosis dewasa:
500 PO bid untuk 7-10 hari.
d) Dosis anak-anak
15-20 mg/kg PO dibagi bid selama 5-7 hari; tidak melebihi g/hari.
4) Trimethoprin-sulfamethoxazole
a) Nama Dagang di Amerika:Bactrim, Septra, Cotrim
b) Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghambat sintesis
dihydrofolic acid. Obat alternatif, namun kemanjurannya (efficacy) belum
terbukti untuk pertusis.
c) Dosis dewasa:
160 mg (trimethoprim component) / 800 mg (sulfamethoxazole
component) PO bid selama 7-10 hari (misalnya: 1 DS tab bid)
d) Dosis anak-anak
<2 bulan: kontraindikasi.
>2 bulan: 6-10 mg/kg/hari (berdasarkan komponen trimethoprim) PO
dibagi q12h untuk 7-10 hari.
b. Vaksin
Imunisasi aktif meningkatkan kekuatan melawan (resistance) infeksi. Vaksin
terdiri dari mikroorganisme atau komponen seluler yang bertindak sebagai
antigen. Pemberian vaksin menstimulasi produksi antibodi dengan specific
protective properties.
Semua anak berusia kurang dari 7 tahun haruslah menerima vaksin pertusis.
Di Amerika Serikat, vaksin pertusis acellular direkomendasikan dan biasanya
dikombinasikan dengan diphtheria and tetanus toxoids (DTaP).
Vaksin tidak dapat mencegah pertusis seluruhnya, namun terbukti dapat
memperingan durasi dan tingkat keparahan pertusis.
1) DtaP
a) Nama Dagang di Amerika: Tripedia, Certiva, Infanrix.
b) Dosis Dewasa:
0,5 mL IM toksoid tetanus dan difteri (Td) dan dosis menurut riwayat
vaksin.
c) Dosis anak-anak
0,5 mL IM pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. 7-18 tahun
jadwal catch-up untuk imunisasi primer: 0,5 mL IM Td untuk 3 dosis.
Berilah jarak 4 minggu di antara dosis pertama dan kedua, dan 6 bulan di
antara dosis kedua dan ketiga; ikuti dengan dosis booster 6 bulan setelah
dosis ketiga (boleh mengganti Tdap untuk dosis jika usia sesuai)
d) Dosis booster remaja (10-18 tahun): Tdap 0,5 mL IM sekali, dosis
tunggal.
2) Tdap
a) Nama Dagang di Amerika: Adacel, Boostrix.
b) Dosis dewasa:
0,5 mL IM sekali sebagai dosis tunggal, diberikan melalui musculus
deltoideus. Booster dengan Td direkomendasikan q10y
Lebih dari 65 tahun: tidak diindikasikan.
c) Dosis anak-anak
<10 tahun: tidak diindikasikan.
10-18 tahun: diberikan sesuai dengan dosis dewasa.
Pertussis-specific immune globulin merupakan produk investigational
yang mungkin efektif untuk mengurangi batuk paroksismal namun masih
memerlukan evaluasi lebih lanjut.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi dari pertusis adalah sebagai berikut:
1. Pada saluran pernafasan
a. Bronkopnemonia
Infeksi saluran nafas atas yang menyebar ke bawah dan menyebabkan
timbulnya pus dan bronki, kental sulit dikeluarkan, berbentuk gumpalan yang
menyumbat satu atau lebih bronki besar, udara tidak dapat masuk kemudian
terinfeksi dengan bakteri. Paling sering terjadi dan menyebabkan kematian
pada anak dibawah usia 3 tahun terutama bayi yang lebih muda dari 1 tahun.
Gejala ditandai dengan batuk, sesak nafas, panas, pada foto thoraks terlihat
bercak-bercak infiltrate tersebar.
b. Otitis media / radang rongga gendang telinga
Karena batuk hebat kuman masuk melalui tuba eustaki yang menghubungkan
dengan nasofaring, kemudian masuk telinga tengah sehingga menyebabkan
otitis media. Jika saluran terbuka maka saluran eustaki menjadi tertutup dan
jika penyumbat tidak dihilangkan pus dapat terbentuk yang dapat dipecah
melalui gendang telinga yang akan meninggalkan lubang dan menyebabkan
infeksi tulang mastoid yang terletak di belakang telinga.
c. Bronkhitis
Batuk mula-mula kering, setelah beberapa hari timbul lender jernih yang
kemudian berubah menjadi purulen.
d. Atelaktasis
Timbul akibat lender kental yang dapat menyumbat bronkioli.
e. Emphisema Pulmonum
Terjadi karena batuk yang hebat sehingga alveoli pecah dan menyebabkan
adanya pus pada rongga pleura.
f. Bronkhiektasis
Terjadi pelebaran bronkus akibat tersumbat oleh lender yang kental dan
disertai infeksi sekunder.
g. Aktifitas Tuberkulosa
h. Kolaps alveoli paru akibat batuk proksimal yang lama pada anak-anak
sehingga dapat menebabklan hipoksia berat dan pada bayi dapat menyebabkan
kematian mendadak.
2. Pada saluran pencernaan
a. Emasiasi dikarenakan oleh muntah-muntah berat.
b. Prolapsus rectum / hernia dikarenakan tingginya tekanan intra abdomen.
c. Ulkus pada ujung lidah karena tergosok pada gigi atau tergigit pada saat batuk.
d. Stomatitis.
3. Pada system syaraf pusat Terjadi karena kejang :
a. Hipoksia dan anoksia akibat apneu yang lama
b. Perdarahan sub arcknoid yang massif
c. Ensefalopat, akibat atrof, kortika yang difus
d. Gangguan elektrolit karena muntah
H. ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Data subyek :
a. Paling banyak terdapat pada tempat yang padat penduduknya Usia yang paling
rentan terkena penyakit pertusis adalah anak dibawah usia 5 tahun
b. Cara penularanya yang sangat cepat
c. Imunisasi dapat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan oleh
pertusis
d. Batuk ini disebabkan karena bordetella pertusis
e. Disalah satu Negara yang belum melaksanakan prosedur imunisasi rutin, masih
banyak terdapat penyakit pertusis
2. Data obyek :
a. Anak tiba-tiba batuk keras secara terus menerus
b. Batuk yang sukar berhenti
c. Muka menjadi merah
d. Batuk yang sampai keluar air mata
e. Kadang sampai muntah disertai keluarnya sedikit darah, karna batuk yang
sangat keras.
f. Biasanya terjadi pada malam hari
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d banyaknya mucus.
2. Pola napas tidak efektif b/d dispnea.
3. Resiko tinggi infeksi terhadap (penyebaran). Factor resiko ketidak adekuatan
pertahanan utama.
4. Nyeri b/d agens cidera.
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d faktor biologis.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d banyaknya mucus.
Tujuan : Status ventilasi saluran pernafasan baik, dengan cara mampu
membersihkan secret yang menghambat dan menjaga kebersihan jalan nafas.
Kriteria hasil :
a. Rata-rata pernafasan normal
b. Sputum keluar dari jalan nafas
c. Pernafasan menjadi mudah
d. Bunyi nafas normal
e. Sesak nafas tidak terjadi lagi
Intervensi :
a. Kaji frekuensi/ kedalamn pernafasan dan gerakan dada .
Rasional : takipnea, pernapasan dangkal,dan gerakan dada tak simetriks sering
terjadi karena ketidak nyamanan gerakan dinding dada dan/ cairan paru
b. Auskultasi area paru,catat area penurunan/tak ada aliran udara dan bunyi
napas atventisius misalnya krekes,mengi.
Rasional : penurunan aliran udara terjadi pada area konsulidasi dengan cairan.
Bunyi napas bronchial (normal pada bronkus) dapat juga terjadi pada area
konsulodasi. Krekes,ronki,dan mengi terdengar pada inspirasi dan/ ekspirasi pada
respon terhadap pengumoulan cairan, secret .
c. Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/ bantu pasien melakukan batuk,
misalnya menekan dada dan batuk efektif.
Rasional : napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-paru/jalan napas
lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan napas alami, membantu
silia untuk mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya napas lebih dalam
dan kuat.
d. Pengisapan sesuai indikasi
Rasional : merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada
pasien yang tak mampu melakukan karena
e. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air
hangat daripada dingin.
Rasional : cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan
secret.
f. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
Rasional : untuk menurunkan sekresi secret dijalan napas dan menurunkan resiko
keparahan
2. Pola napas tidak efektif b/d dispnea
Tujuan : Menunjukkan pola napas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam
rentang normal dan paru jelas atau bersih
Kriteria hasil:
a. Frekuensi pernapasan normal
b. Bunyi paru jelas/bersih
c. Kedalaman paru dalam rentang normal
d. Bunyi napas normal
e. Pengembangan dada normal antara inspirasi dan ekspirasi
Intervensi :
a. Kaji frekuensi,kedalaman pernafasan, ekspansi dada. Catat upaya pernafasan,
termasuk penggunaan otot bantu/ pelebaran masal.
Rasional : kecepatan biasanya meningkat. Dispnea dan terjadi peningkatan kerja
napas Kedalaman pernafasan biasanya bervariasi tergantung derajat gagal napas.
Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan/ nyeri dada
pleuritik.
b. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius, seperti
krekels, mengi, gesekan pleural.
Rasional : bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder
terhadap perdarahan,bekuan atau kolaps jalan napas kecil (atelaktasis). Ronki dan
mengi menyertai obstruksi jalan napas/kegagalan pernafasan
c. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun tempat
tidur dan ambulasi sesegera mungkin
Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru memudahkan pernafasan.
Pengubahan posisi dan ambulasi meningkatkan pengisian udara segmen paru
berbeda sehingga memperbaiki difusi gas
d. Observasi pola batuk dan karakter secret
Rasional : kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering/iritasi. Sputu berdarah
dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan (infark paru) atau antikoagulan
berlebihan
e. Dorong/bantu pasien dalam napas dalam dan latihan batuk. Pengisapan peroral
atau naso trakeal bila diindikasikan.
Rasional : dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan ventilasi dan
ditambah ketidak nyamanan upaya bernafas.
f. Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan bila diindikasikan.
Rasional : memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
3. Resiko tinggi infeksi terhadap ( penyebaran ). Factor resiko ketidak
adekuatan pertahanan utama (penurunan kerja silia)
Tujuan : Tidak terjadi resiko infeksi
Kriteria hasil :
a. Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi
b. Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi
Intervensi :
a. Pantau tanda vital dengan ketat,khususnya selama awal terapi.
Rasional : selama periode waktu ini, potensial terjadi komplikasi
b. Anjurkan klien untuk memperhatikan pengeluaran secret (misalnya
meningkatkan pengeluaran daripada menelannya) dan melaporkan perubahan
warna, jumlah dan secret.
Rasional : meskipun pasien dapat menemukan pengeluaran dan upaya infeksi atau
menghindarinya, penting bahwa sputum harus dikeluarkan dengan cara aman.
Perubahan karakteristik sputum menunjukkan terjadinya infeksi sekunder.
c. Dorong teknik mencuci tangan baik
Rasional : menurunkan resiko penyebaran infeksi
a. Batasi pengunjung sesuai indikasi.
Rasional : menurunkan pajanan terhadap pathogen infeksi lain.
b. Kolaborasi berikan antimicrobial sesuai indikasi dengan hasil kultur
sputum/darah, misalnya eritromisin.
Rasional : obat ini digunakan untuk membunuh kebanyakan mikrobial
4. Nyeri berhubungan dengan agens cidera
Tujuan : mengurangi rasa nyeri
Kriteria hasil : Nyeri berkurang
Intervensi :
a. Kaji skala nyeri yang dialami klien.
Rasional : mengetahui tingkat skala nyeri yang di alami klien.
b. Berikan hiburan untuk mengalihkan rasa nyeri
Rasional : nyeri dapat berkurang.
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologis.
Tujuan : meningkatkan nutrisi dan berat badan menjadi normal.
Kriteria hasil :
a. Brat badan normal
b. Nutrisi terpenuhi
c. Peningkatan nafsu makan
Intervensi :
a. Pantau berat badan klien
Rasional : timbat berat badan dan catat peningkatan yang ada.
b. Berikan makanan yang bernutrisi kolaborasi dengan nutrien
Rasional : memenuhi kebutuhan nutrisi klien
c. Berikan makanan yang menarik perhatian klien
Rasional : meningkatkan nafsu makan klien
BAB III

TINJAUAN KASUS
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai