Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FRAKTUR RADIUS

SINISTRA DI RUANG EDELWEIS RST dr. SOEDJONO


MAGELANG

Disusun Oleh :
LIDIYA SAPUTRI (203203081)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
YOGYAKARTA
2020
A. Pengertian Fraktur
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Norvell, 2017; Keany 2015). Fraktur femur yang digambarkan
sesuai lokasi, dapat dikelompokkan menjadi 3, meliputi proksimal atau ujung
atas dekat panggul, shaft/poros tulang, dan distal atau ujung bawah dekat lutut
(Avruskin, 2013; Romeo, 2018)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon,
kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya.

Gambar 1. Fraktur Radius

B. Etiologi Fraktur
Nurafif dan Kusuma (2015) menjelaskan bahwa etiologi fraktur adalah
sebagai berikut:
1. Faktor traumatik
Kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat terjadi patah
pada tempat yang terkena, akan mengakibatkan kerusakan pada
jaringan lunak disekitarnya. Fraktur karena trauma ada 2 yaitu:
a. Trauma langsung adalah benturan pada tulang yang berakibat
ditempat tersebut.
b. Trauma tidak langsung adalah titik tumpu benturan dengan
terjadinya fraktur yang berjauhan.
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah
menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang
yang baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di
terima dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai
latihan lari.

C. Manifestasi Klinis
Belleza (2016) menjelaskan bahwa manifestasi klinis fraktur adalah
sebagai berikut:
1. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Kehilangan fungsi
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran
fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnyaotot.
3. Pemendekan ekstremitas
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempatfraktur.Saat
ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yanglainya.
4. Edema dan ecchymosis lokal
Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

D. Patofisiologi dan Clinical Pathway


Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup
bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter & Bare, 2002).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah
fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang
dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsi dan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan
serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani
dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan
syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia
mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini
di namakan sindrom compartment (Smeltzer & Bare, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur
tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti
tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2002). Pasien
yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara
lain: nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang
perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi,
mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri
(Carpenito,2012).Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen-
fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun
pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu
sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya
tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price & Wilson, 2006).

E. Klasifikasi Fraktur
1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma,
yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade
yaitu :
1) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
3) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
2. Berdasarkan posisi fragmen :
- Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
- Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen

F. Komplikasi
Belleza (2016) menjelaskan bahwa komplikasi yang dapat terjadi pada
pasien dengan fraktur adalah:
1. Syok hipovolemik
Kondisi ini terjadi akibat adanya perdarahan berlebih yang sering
ditemukan pada pasien trauma akibat fraktur pada tulang pelvis, femur,
atau fraktur lain dengan jenis fraktur terbuka. Tanda dan gejalanya
meliputi:
a. Berkeringat berlebihan
b. kelelahan, mual, pusing
c. kulit yang dingin dan pucat
d. takikardia, napas cepat
e. tidak sadarkan diri
2. Fat embolism syndrome
Kondisi ini terjadi akibat fraktur pada tulang panjang, atau fraktur
lain yang menyebabkan jaringan sekitar hancur, sehingga emboli lemak
dapat terjadi.Fat embolism syndrome ditandai dengan gangguan
pernafasan, takikardi, hipertensi, takipneu dan demam.
3. Compartement syndrome
Kondisi ini merupakan keadaan yang mengancam ekstremitas yang
terjadi ketika tekanan perfusi turun atau lebih rendah daripada tekanan
jaringan. Hal ini disebabkan karena penurunan ukuran compartment otot
karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau
balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena
edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya :
iskemi,dan cidera remuk). Compartement syndrome ditandai dengan nyeri
berat yang tidak membaik setelah melakukan elevasi pada area yang
mengalami cedera atau setelah mengonsumsi obat, kesemutan dan
pembengkakan otot
4. Osteomyelitis
Kondisi tulang yang mengalami fraktur merupakan salah satu faktor
resiko terjadinya osteomyelitis. Penyakit ini merupakan infeksi pada
tulang yang penatalaksanaannya melalui terapi medikasi dengan antibiotik,
serta pembedahan ketika infeksi bersifat persisten. Osteomyelitis ditandai
dengan area infeksi berwarna merah dan bengkak, area yang terinfeksi
menjadi kaku atau tidak bisa digerakkan, keluarnya cairan dari area
infeksi, lemas, demam dan menggigil.

G. Pemeriksaan Penunjang
Belleza (2016) menjelaskan bahwa periksaan yang dapat dilakukan pada
pasien dengan diagnosa fraktur femur adalah:
1) Pemeriksaan X ray, berfungsi untuk menentukan lokasi dan luas fraktur
2) Bone scans, tomograms, computed tomography (CT) atau Magnetig
Resonance Imaging (MRI), bertujuan untuk memfisualisasi fraktur,
perdarahan, kerusakan jaringan, dan membedakan antara ftaktur akibat
trauma dengan neoplasma tulang
3) Arteriogram, yaitu pemeriksaan yang dapat dilakukan aabila dicurigai
terjadi kerusakan pembuluh darah okuli
4) Complete Blood Cound (CBC). Jika hasil pemeriksaan hitung darah
lengkap menunjukkan bahwa hematokrit mengalami peningkatan atau
penurunan (hemokonsentrasi) menunjukkan adanya perdarahan pada
lokasi fraktur atau organ di sekitar lokasi trauma. Hasil pemeriksaan
hitung darah lengkap yang menunjukkan peningkatan sel darah putih
(WBC) merupakan tanda respon stres normal setelah trauma atau
terjadinya fraktur
5) Urine creatinine (Cr) clearance, untuk mengetahui trauma atau Fraktur
yang terjadi menyebabkan meningkatnya Cr pada ginjal
6) Coagulation profile, bertujuan untuk mengetahui perubahan akibat
kehilangan darah.

H. Penatalaksanaan
Norvell (2017) menjelaskan bahwa penatalaksanaan pada pasien dengan
fraktur adalah melalui metode RICE, yaitu:
1. Rest
Nyeri merupakan sinyal tubuh bahwa telah terjadi suatu masalah.
Hal yang harus dilakukan ketika mengalami nyeri adalah menghentikan
kegiatan fisik dan yang paling penting harus dilakukan 2 hari pertama
2. Ice
Kompres menggunakan es pada hari pertama hingga hari kedua
pasca terjadinya trauma bertujuan untuk mengurangi nyeri atau rasa sakit,
dan menghentikan perdarahan.
3. Compression
Pemberian tekanan pada tubuh yang mengalami trauma dapat
dilakukan menggunakan elastic medical bandage atau ACE bandage.
4. Elevation
Hal terakhir yang bisa dilakukan untuk menangani fraktur adalah
dengan mengelevasikan bagian yang trauma lebih tinggi dari jantung. Hal
ini bertujuan untuk melancarkan sirkulasi.
5. Manajemen nyari
- Farmakologi
a. Pemberian analgesik
Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum pasien
merasakan nyeri yang berat dibandingkan setelah mengeluh nyeri.
b. Plasebo
Plasebo merupakan obat yang tidak mengandung komponen
obat analgesik seperti gula, larutan garam/ normal saline, atau
air. Terapi ini dapat menurunkan rasa nyeri, hal ini karena faktor
persepsi kepercayaan pasien.
- Non-farmakologi
a. Distraksi pendengaran
Distraksi pendengaran merupakan salah satu tindakan untuk
mengatasi nyeri pada fraktur, individu yang mengalami kesakitan
akan merasa rileks saat mendengarkan musik atau sejenisnya.
pelepasan opioid endogen, atau disasosiasi. Musik atau sejenisnya
memberikan efek distraksi dan sisasosiasi opiat endogen di
beberapa fosi didalam otak, termasuk hipotalamus dan sistem
limbik (Joyce & Jane, 2014).
Musik merupakan sebuah rangsangan pendengaran yang
terorganisir yang terdiri atas melodi, ritme, harmoni, timbre,
bentuk dan gaya. Jenis musik yang efektif dalam mengatasi nyeri
adalah musik klasik karena musik klasik memiliki tempo yang
berkisar antara 60-80 beats per menit setara dengan detak jantung
manusia. Musik klasik bermanfaat untuk membuat seseorang
menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera,
melepaskan rasa gembira dan sedih (Ani & Diah, 2016).
b. Relaksasi nafas dalam
Relaksasi nafas dalam dapat memberikan perubahaan yang
dirasakan pada oleh tubuh secara fisiologis yang bersifat
emosional serta sensorik. Relaksasi nafas dalam merupakan salah
satu terapi non farmakologi yang mmberikan efek relaksasi yang
dapat menurunkan skala nyeri dengan merangsang susunan saraf
pusat yaitu otak dan sumsum tulang belakang guna untuk
memproduksi pengeluaran hormone edorphine yang membantu
untuk menurunkan skala nyeri yang dirasakan oleh individu (S.B.
AJI, 2015). Selain menurunkan nyeri pada pasien fraktur
relaksasi nafas dalam juga dapat menurunkan berbagai macam
nyeri yang dirasakan oleh pasien misalnya nyeri yang dirasakan
oleh pasien post section Caesar.
c.Kompres dingin
Kompres dingin merupakan salah satu tindakan
keperawatan dan banyak digunakan untuk menurunkan nyeri.
Sensasi dingin yang dirasakan memberikan efek fisiologis yang
dapat menurunkan respon inflamasi, menurunkan alirah darah,
mampu menurunkan edema serta mengurangi rasa nyeri local.
Secara fisiologis, 10-15 menit setelah diberikan kompres dingin
terjadi proses vasokonstriksi dari efek releks otot polos yang
dapat timbul akibat stimulasi system saraf otonom serta mampu
menstimulasi pengeluaran hormone endorphine (Novita, 2010).
d. Range of motion (ROM)
ROM merupakan upaya pengobatan yang
penatalaksanaannya menggunakan latihan gerak baik secara aktif
maupun secara pasif. ROM diberikan untuk mengatasi gangguan
ungsi gerak, mecegah komplikasi, mengurangi nyeri dan edema
dan melatih aktivitas akibat operasi. Rom diberikan pada bagian
yang mudah kontraski dan relaksasi sehingga pasien yang telah
menjalani operasi fraktur tidak mengalami kekakuan otot
(Hendrik, 2012).
I. Tindakan Yang Dilakukan Pada Open Fraktur
1. Pembersihan luka
Kontaminan yang dapat berupa tanah, material pakaian, maupun
material lainnya harus diirigasi dengan Nacl. Material yang masih
menempel setelah irigasi harus diambil hingga bersih.
2. Debridement
Jaringan yang telah kehilangan suplai darahnya dapat menghambat
proses penyembuhan luka dan merupakan media yang baik untuk
tumbuhnya kuman. Oleh karena itu, jaringan yang sudah mati seperti kulit,
lemak subkutan, fasia, otot, dan fragmen tulang yang kecil harus dieksisi.
Beberapa prinsip debridement pada open fraktur yang harus diperhatikan
yaitu :
a. Kulit : eksisi semua kulit mati dan reseksi tepi hingga berdarah.
Perluas luka untuk mengevaluasi jaringan lunak di dasarnya. Insisi
yang terbaik adalah insisi longitudinal
b. Subcutis dan lemak : eksisi semua jaringan mati. Semua jaringan
subcutis dan lemak yang terlibat harus dieksisi. Jaringan ini memiliki
vaskularisasi yang baik
c. Fascia : fascia yang terkontaminasi juga harus dieksisi
d. Otot : otot merupakan lingkungan yang sempurna bagi bakteri untuk
tumbuh sehingga debridement jaringan yang terkontaminasi harus
benar-benar tuntas. Perhatikan viabilitas otot dengan memperhatikan
“4C” yang dapat digunakan sebagai acuan: warna (colour), konsitensi
(consistency), kontraktilitas (contractility), and vaskularisasi (capacity
to bleed). Tendon dan ligamen sebaiknya dibersihkan dahulu dan
dilakukan debridement ulang jika terbukti mati (devitalized).
e. Tulang : Hilangkan semua tulang yang mati. Ujung dari tulang harus
diangkat dan dbersihkan. Fragmen tulang yang mati dibuang. Tulang
kanselus yang besar dapat dibersihkan dan digunakan sebagai bahan
cangkok tulang (bone graft)jika tulang tersebut bersih (tergantung
penilaian klinis saat operasi)
3. Penanganan fraktur
Pada frakturterbuka tipe I dengan luka yang kecil, frakturdapat
direduksi secara tertutup setelah luka dibersihkan, debridement, dan
dibiarkan terbuka. Namun bila luka yang terjadi cukup besar, biasanya
dibutuhkan traksi skeletal atau reduksi terbuka dengan fiksasi skeletal.
Secara umum, fiksasi internal dapat digunakan bila tidak menyebabkan
trauma lebih lanjut dan meningkatkan risiko infeksi.
J. Persiapan Klien Pre Operatif
1. Persiapan fisik
a. Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan
status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat
penyakit seperti kesehatan masalalu, riwayat kesehatan keluarga,
pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status hemodinamik, status
kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik, fungsi
endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain. Selain itu pasien harus
istirahat yang cukup, karena dengan istirahat dan tidur yang cukup
pasien tidak akan mengalam stres fisik, tubuh lebih rileks sehingga
bagi pasien yang memiliki riwayat hipertensi, tekanan darahnya dapat
stabil dan bagi pasien wanita tidak akan memicu terjadinya haid lebih
awal.
b. Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mngukur tinggi badan dan
berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah
(albumin dan globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk
defisiensi nutrisi harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk
memberikan protein yang cukup untuk perbaikan jaringan.
c. Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input
dan output cairan. Demikian juga kadar elektrolit serum harus berada
dalam rentang normal. Kadar elektrolit yang biasanya dilakukan
pemeriksaan diantaranya adalah natrium, kalium dan kadar kreatinin.
Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal.
Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan eksresi
metabolit obat-obatan anstesi.

d. Kebersihan lambung dan kolon


Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi
keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien dipuasakan
dan dilakukan tindakan pengosongan lambung dan kolon dengan
tindakan enema/lavement. Lamanya puasa berkisar antara 7 sampai 8
jam (biasanya puasa dilakukan mulai pukul 24.00 WIB). Tujuan dari
pengosongan lambung dan kolon adalah untuk menghindari aspirasi
(masuknya cairan lambung ke paru-paru) dan menghindari
kontaminasi feses ke area pembedahan sehingga menghindarkan
terjadinya infeksi pasca pembedahan. Khusus pada pasien yang
membutuhkan operasi CITO (segera), seperti pada pasien kecelakaan
lalu lintas, maka pengosongan lambung dapat dilakukan dengan cara
pemasangan NGT (naso gastric tube).
e. Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan
pemasangan kateter. Selain untuk pengongan isi bladder tindakan
kateterisasi juga diperlukan untuk mengobservasi balance cairan.
f. Persiapan mental/emosional.
Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya
dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap
atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Masalah
mental yang biasa muncul pada pasien preoperasi adalah
kecemasan.Pasien yang cemas sering mengalami ketakutann atau
perasaan tidak tenang. Berbagai bentuk ketakutan muncul seperti
keakuratan akan hal yang tidak diketahui, misalnya terhadap
pembedahan, anestesi, masa depan, keunangan, dan tanggung jawab
keluarga. Bagian terpenting dari pengkajian kecemasan praoperatif
adalah untuk menggali peran orang terdekat, baik dari keluarga
maupun sahabat pasien. Adanya sumber dukungan orang dekat akan
menurnkan kecemasan.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operatif : Ansietas berhubungan dengan stresor (proses
pembedahan)
b. Intra Operatif : Resiko infeksi berhubungan dengan paparan
lingkungan prosedur invasive
c. Post Operatif : Resiko Jatuh berhubungan dengan efek agen
farmakologi (anestesi)
3. Intervensi Keperawatan
a. Pre Operatif

No Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


. Pre Operatif
1. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pengurangan (kecemasan 5820)
dengan stresor (proses selama 1x15menitkecemasan pada 1. Gunakan pendekatan yang tenag dan meyakinkan
pembedahan) pasien dapat berkurang, dengan kriteria 2. Jelaskan semua prosedur termasuk sensasi yang
hasil: akan dirasakan yang munkin akan dialami klien
Tingkat Ansietas (09093) selama prosedur
 Perilaku gelisah 3. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa
 Perilaku tegang aman dan mengurangi ketakutan

 Keluhan pusing 4. Dorong keluarga untuk mendampingi klien

 Frekuensi nadi dengan cara yang tepat


5. Berikan aktivitas pengganti yang bertujuan untuk
 Frekuensi pernafasan
mengurangi tekanan
 Frekuensi darah
6. Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang
 Pucat
memicu kecemasan
 Kontak mata
7. Kontrol stimulus untuk kebutuhan klien secara
tepat
8. Atur penggunaan obat- obatan untuk mengurangi
kecemasan secara tepat
9. Kaji untuk tanda ferbal dan non verbal kecemasan

b. Intra Operatif

No Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


. IntraOperatif
1. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perlindungan infeksi(6550)
berhubungan dengan selama 1x45menitresiko infeksi pada 1. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
paparan lingkungan pasien dapat berkurang, dengan kriteria sistemik dan lokal
prosedur invasive hasil: 2. Monitor kerentanan terhadap infeksi
Pemulihan Pembedahan : 3. Berikan perawatan kulit yang tepat untuk
Penyembuhan (12106) area yang terdapat luka
a. Area luka operasi 4. Periksa kulit dan selaput lendir untuk
b. Waktu penyembuhan adanya kemerahan, kehangatan ekstrime,
c. Kesadaran atau drainase
d. Suhu tubuh 5. Periksa kondisi setiap sayatan bedah atau
e. Tekanan darah sistolik luka
f. Tekanan darah diastolic 6. Kolaborasi untuk pemberian antibiotic
g. Integritas jaringan 7. Batasi jumlah orang di araea operasi
8. Pertahankan sterilisasi kamar operasi dan
Kontrol Resiko (14128) instrumen
a. Kemampuan mengenali
perubahan status kesehatan
b. Kemampuan mengidentifikasi
factor resiko
c. Penggunaan fasilitas kesehatan
d. Kemampuan mencari informasi
tentang factor resiko

c. Post Operatif
No Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
. Post Operatif
1. Resiko Jatuh berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan jatuh (14540)
dengan efek agen selama 1x10menitresiko jatuh pada a. Identifikasi factor risiko jatuh
farmakologi (anestesi) pasien dapat berkurang, dengan kriteria b. Pastikan roda tempat tidur dalam kondisi
hasil: terkunci
Tingkat Cidera (14136) c. Pasang handrell pada tempat tidur
a. Kejadian cidera d. Tempatkan pasien beresiko tinggi dekat
b. Fraktur dengan pantauan perawat
c. Luka/lecet
d. Perdarahan
e. Gangguan mobilisasi
f. Ekspresi wajah kesakitan
DAFTAR PUSTAKA

Belleza, M. 2016. Fracture. https://nurseslabs.com/fracture/ [Diakses pada


October 6, 2018].
Biology, D. 2011. Bone Anatomy. https://askabiologist.asu.edu/bone-anatomy
[Diakses pada October 6, 2018].
Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan. Dialih bahasakan oleh Nampira R. Jakarta:
Salemba Emban PatriaXCarpenito, L.J. 2012. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan. Edisis 13. Jakarta: EGC.
Dermawan, D., & Jamil, M. A. (2013). Keterampilan dasar keperawatan (konsep
dan prosedur). Yogykarta: Gosyen Publising.
Desiartama, A., & Arayana, I. W. (2017). Gambaran karakteristik pasien fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas pada orang dewasa di rumah sakit umum
pusat sanglah denpasar tahun 2013. E-Jurnal Medika udayana, 6(5).
Hardisman. (2014). Gawat darurat medis praktis. Yogyakarta: Gosyen Publising.
Hendrik. H. Damping, (2012). Pengaruh penatalaksanaan terapi latihan terhadap
kepuasan pasien fraktur di Irna A. RSUP. Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado. JUIPERDO.
Joyce M. Black & Jane Hokanson Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah :
Manajemen Klinis Untuk Hasil Yang Diharapkan Edisi 8 Buku 1.
Terjemah. Songapore: Salemba Medika.
Kaufmann, L. Mike, M. Philip, M.-G. Katie, Q. Devon, dan R. A. Jon. 2018.
Anatomy & Physiology. Oregon, USA: Open Oregon State, Oregon
State University.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan.
Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Noorisa, R., Apriliwati , D., Aziz, A., & Bayusentono, S. (2017). The
Characteristic Of Patients With Femoral Fracture In Department Of
Orthopaedic And Traumatology Rsud Dr. Soetomo Surabaya 2013-
2016. Journal of Orthopedi & Traumatology Surabaya, 6(1).
Novita Intan. (2010). Dasar-Dasar Fisioterapi pada Cedera Olahraga. Yogyakarta
Norvell, J. G. 2017. Tibia and Fibula Fracture in the ED.
https://emedicine.medscape.com/article/826304-overview#a6 [Diakses
pada October 7, 2018].
Nurafif, A. H. dan H. Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Bersarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC. Edisi MediAction. Yogyakarta.
Risnanto dan U. Insani. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Sietem
Muskuloskeletal. Yogyakarta: Deepublish.
Romeo, M. Nicholas. 2018. Femur Injuries and Fracture.
https://emedicine.medscape.com/article/90779-overview#a7 [Diakses
pada October 14, 2018].
Singh, A. P. 2016. Bone Anatomy and Physiology.
https://boneandspine.com/bone-anatomy-and-physiology/ [Diakses
pada October 6, 2018].
Smeltzer, S. C. dan B. G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai