Anda di halaman 1dari 50

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir ini. Penulisan
tugas akhir ini di lakukan dalam rangka menyelesaikan program studi diploma
tiga keperawatan. Penulis menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada :
1. WarjidinAliyanto, SKM., M.Kes, Selaku Direktur Politeknik Kesehatan
Tanjung Karang.
2. Gustop Amatiria, S.Kp.M.Kes, Selaku Ketua Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Tanjung Karang.
3. Ns. Musiana, S.Kep., M.Kes, Selaku Ketua Program Studi DIII
Keperawatan Politeknik Kesehatan Tanjung Karang.
4. Tori Rihiantoro,S.Kep.,M.Kep Selaku Pembimbing utama yang telah
memberikan bimbingan, saran, masukan, serta motivasi kepada penulis
dalam menyelesaikan penyusunan Laporan Tugas Akhir.
5. Ns. Efa Trisna, S.Kep.,M.Kes Selaku Pembimbing pendamping yang selalu
memberikan masukkan dalam penyusunan dan penulisan Laporan Tugas
Akhir.
6. Ayah dan ibu, seluruh anggota keluarga, orang yang saya sayangi, sahabat
dan teman-teman angkatan 32 terkhusus regular 1 yang telah memotivasi
saya selama menyusun Laporan Tugas Akhir.
Dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir penulis berharap semoga
Laporan Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas akhir ini masih jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan serta saran dari
semua pihak, semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Mei 2019

Penulis

ii
BIODATA PENULIS
Nama : Wahyu Miftakh Irvan
NIM : 1614401018
Tempat & Tanggal Lahir : Sritejo Kencono, 21-03-1998
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status mahasiswa : Reguler 1
Alamat : Dusun V, RT/RW 002/009, Desa Sritejo Kencono,
Kecamatan Kota Gajah, Lampung Tengah

RIWAYAT PENDIDIKAN
TK (2003-2004) : TK Pertiwi
SD (2004-2010) : SDN 1 Sritejo Kencono
SMP (2010-2013) : MTs Muhammadiyah Wonosari
SMA (2013-2016) : SMK Muhammadiyah 3 Metro
D III (2016-Sekarang) : Politeknik Kesehatan Tanjung Karang Jurusan
Keperawatan

iii
LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan Tugas Akhir

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN KEBUTUHAN AKTIVITAS


PADA KLIEN STROKE NONHEMORAGIK DI RUANG SYARAF
RSUD. JENDRAL AHMAD YANI KOTA METRO
TAHUN 2019

Penulis

WAHYU MIFTAKH IRVAN/1614401018

Telah diperiksa dan disetujui oleh Tim Pembimbing Laporan Tugas Akhir Prodi
Diploma III Politeknik Kesehatan Tanjungkarang Jurusan Keperawatan
Tanjungkarang

Bandar Lampung, Mei 2019


Tim Pembimbing LTA
Pembimbing Utama

Tori Rihiantoro, S.Kp.,M.Kes


NIP: 197111291994021001

Pembimbing Pendamping

Ns. Efa Trisna, S.Kep.,M.Kes


NIP: 196810081989032002

iv
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Tugas Akhir


ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN KEBUTUHAN AKTIVITAS
PADA KLIEN STROKE NONHEMORAGIK DI RUANG SYARAF
RS. AHMAD YANI METRO
TAHUN 2019
Penulis

WAHYU MIFTAKH IRVAN/ NIM: 1614401018


Telah diperiksa dan disetujui oleh Tim Penguji Laporan Tugas Akhir
Prodi D III Keperawatan Tanjungkarang

Bandar Lampung, 21 mei 2019


Tim Penguji Laporan Tugas Akhir
Ketua Penguji

Ririn Sri Handayani, M.Kep,Ns.Sp.Kep.MB


NIP. 197502141998032002

Anggota Penguji I

Tori Rihiantoro, S.Kp.,M.Kes


NIP: 197111291994021001

Anggota Penguji II

Ns. Efa Trisna, S.Kep.,M.Kes


NIP: 196810081989032002
Mengetahui,

Ketua Jurusan Keperawatan Tanjungkarang

Politeknik Kesehatan Tanjungkarang

GUSTOP AMATIRIA, S.Kp., M.Kes

NIP.197008071993031002

v
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : WAHYU MIFTAKH IRVAN

NIM : 1614401018

Program Studi : D III Keperawatan Tanjungkarang

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan plagiat dalam penulisan Laporan Tugas
Akhir yang berjudul :

“ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN KEBUTUHAN AKTIVITAS


PADA KLIEN STROKE NONHEMORAGIK DI RUANG SYARAF
RS. AHMAD YANI METRO TAHUN 2019”

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya
akan menerima sanksi yang telah ditetapkan.

Demikian surat pernyataan saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bandar Lampung, 23 Mei 2019

Pembuat Pernyataan

Wahyu Miftakh Irvan

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut laporan data dari WHO (World Health Organization) tahun
2017 diperkirakan 17,7 juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskuler,
mewakili 31% dari semua kematian diseluruh dunia. Lebih dari ¾ kematian
akibat penyakit kardiovaskuler terjadi dinegara berkembang yang
berpenghasilan rendah maupun sedang. Dari jumlah kematian yang ada,
diperkirakan 7,4 juta jiwa meninggal diakibatkan oleh penyakit jantung
koroner dan 6,7 juta jiwa lainnya disebabkan oleh penyakit stroke (WHO,
2017).
Berdasarkan laporan data dari American Heart Association/ American
Stroke Association (AHA/ASA) dalam heart disease and stroke statistics-
2017 updetes, menyebutkan bahwa di Amerika rata-rata setiap 40 detik
seorang mengalami stroke dan setiap 4 menit sesorang meninggal dunia akibat
stroke (Roger et al.,2017).
Stroke adalah penyebab kematian utama ketiga dinegara maju, dimana
10 sampai 12% dari semua kematian disebabkan oleh stroke dengan angka
kematian 50 sampai 100/100000 pasien. (Hutajulu et al., 2015).
Jumlah keseluruhan penyakit stroke di Indonesia berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan sebanyak 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga
kesehatan sebesar 12,1 per mil. Jumlah keseluruhan penyakit Stroke
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Sulawesi Utara (10,8‰),
diikuti DI Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-
masing 9,7 per mil. Jumlah keseluruhan penyakit Stroke berdasarkan
terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan
(17,9‰), DI Yogyakarta (16,9‰), Sulawesi Tengah (16,6‰), diikuti Jawa
Timur sebesar 16 per mil. Jumlah keseluruhan penyakit stroke di Lampung
berdasarkan yang terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala (5.4%).
(KEMENKES, 2014).

1
2

Berdasarkan data 10 besar penyakit rawat inap RSUD Jendral Ahmad


Yani Metro, stroke merupakan penyakit terbesar ke 8 pada tahun 2017 yaitu
sebanyak 229 kasus dengan tidak menyebutkan kategori stroke hemoragik
ataupun non hemoragik (RSUD Jend. A Yani Metro, 2017).
Penyakit Stroke merupakan penyakit yang menyerang sistem saraf
pusat, namun efek yang ditimbulkan dari penyakit stroke dapat berpengaruh
pada seluruh bagian tubuh. Menurut National Institute of Neurological
Disorders and Stroke (NINDS) efek yang mungkin dapat terjadi akibat
penyakit stroke dapat berupa paralisis, defisit fungsi kognitif, defisit bahasa,
defisit emosional dan rasa sakit. Gangguan aliran darah otak akibat stroke
dapat merusak jalur motorik ini, rusaknya jalur motorik ini dapat
menyebabkan pasien stroke mengalami disfungsi motorik hemiplegia
(kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh) atau hemiparesis (kelemahan yang
terjadi pada satu sisi tubuh). Disfungsi motorik ini dapat menyebabkan pasien
stroke mengalami kemunduran fungsi mobilitas, keterbatasan kemampuan
melakukan motorik halus dan motorik kasar. Fungsi mobilitas meliputi
kemampuan mobilitas ditempat tidur, berpindah, jalan atau ambulasi, dan
mobilitas dengan alat adaptasi (Sari, Agianto Dan Wahid, 2015 ).
Penderita stroke harus dimobilisasi sedini mungkin ketika kondisi
klinis neurologis dan hemodinamik pasien sudah mulai stabil. Mobilisasi
dilakukan secara rutin dan berkelanjutan untuk mencegah terjadinya
komplikasi pada penyakit stroke, terutama kontraktur. Latihan Range Of
Motion (ROM) merupakan salah satu bentuk latihan dalam proses rehabilitasi
yang dinilai masih cukup efektif untuk mencegah terjadinya kecacatan pada
pasien dengan penyakit stroke.
Latihan ini adalah salah satu bentuk intervensi mendasar yang dapat
dilakukan oleh perawat. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat kenaikan nilai
kekuatan otot sesudah diberikan latihan ROM, hal ini menunjukan bahwa
latihan ROM pasif maupun ROM aktif berpengaruh terhadap peningkatan
kekuatan otot pasien stroke. Meskipun terdapat perbedaan peningkatan
kekuatan otot antara responden yang melakukan latihan ROM pasif dan
latihan ROM aktif. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa latihan ROM aktif
3

meningkatkan kekuatan otot lebih baik dibandingkan dengan latihan ROM


pasif (Cahyani, Hastono,& Nurachmah, 2013).
Hasil penelitian tersebut didukung oleh studi kasus yang dilakukan
Pradana (2016), tindakan Range Of Motion (ROM), perawatan alih baring dan
pengubahan posisi setiap 2 jam terbukti efektif untuk mencegah kekakuan otot
pada pasien stroke. Dengan segera melakukan tindakan Range Of Motion atau
tindakan latihan mobilisasi maka dapat mencegah timbulnya komplikasi
(Pradana, 2016). Peranan perawat sangat besar dalam dukungan dan asuhan
keperawatan kepada pasien stroke. Peran perawat dimulai dari tahap akut
hingga tahap rehabilitasi serta mencegah terjadinya komplikasi pada pasien
penyakit stroke. Perawat berperan sebagai fasilitator keluarga mengenai
informasi dalam mencegah masalah yang dapat timbul akibat stroke dan juga
memberikan pendidikan kesehatan baik untuk pasien maupun keluarga.
Perawat dapat melakukan mobilisasi sedini mungkin dalam rangka mencegah
kekakuan sendi dan untuk mengembalikan kemampuan fisik pasien (Tiyani,
2016).
Gangguan mobilitas fisik merupakan salah satu diagnosa yang sering
muncul pada pasien stroke. Klien yang dirawat di ruang syaraf rsud ahmad
yani dengan stroke rata-rata akan mengalami tirah baring lama yang dapat
menyebabkan terjadinya defisit perawatan diri, kerusakan integritas kulit
hingga dekubitus. Hal ini dapat mengakibatkan klien yang akan pulang
mengalami kesulitan untuk beraktivitas. Untuk itu, perlu adanya tatalaksana
asuhan keperawatan untuk pasien-pasien stroke.
Kriteria stroke yang ada di Ruang syaraf RSUD Ahmad Yani terdiri
dari stroke hemoragik dan non hemoragik. Subyek yang dipilih pada asuhan
keperawatan ini adalah stroke non hemoragik yang sudah masuk pada fase
rehabilitatif atau lebih dari 3 hari perawatan.
Berdasarkan penjelasan yang telah ada, penulis tertarik untuk
mengangkat kasus tentang perawatan klien dengan stroke sehingga penulis
mengambil laporan tugas akhir dengan judul “Asuhan Keperawatan Gangguan
Kebutuhan Aktivitas Pada Klien Stroke Non hemoragik” di Rumah Sakit
Umum Daerah Jendral Ahmad Yani Kota Metro untuk memenuhi persyaratan
4

Laporan Tugas Akhir di Politeknik Kesehatan Tanjungkarang Program Studi


D III Keperawatan Tanjungkarang Tahun 2019.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana proses asuhan keperawatan gangguan kebutuhan aktivitas
pada klien stroke, khususnya pada klien dengan stroke nonhemoragik di
RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengambarkan asuhan keperawatan gangguan kebutuhan aktivitas
pada klien stroke non hemoragik dengan menggunakan pendekatan
manajemen keperawatan secara benar, tepat dan sesuai dengan standar
keperawatan secara professional.
2. Tujuan Khusus
a. Menggambarkan pengkajian keperawatan gangguan kebutuhan
aktivitas pada klien stroke non hemoragik.
b. Menggambarkan analisa kasus dan rumusan masalah keperawatan
gangguan kebutuhan aktivitas pada klien stroke non hemoragik.
c. Menggambarkan intervensi asuhan keperawatan gangguan kebutuhan
aktivitas pada klien stroke non hemoragik.
d. Menggambarkan implementasi atau pelaksanaan tindakan keperawatan
gangguan kebutuhan aktivitas pada klien stroke non hemoragik.
e. Menggambarkan evaluasi asuhan keperawatan gangguan kebutuhan
aktivitas pada klien stroke non hemoragik.

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang asuhan
keperawatan gangguan kebutuhan aktivitas pada klien stroke
nonhemoragik sebagai penyelesaian tugas akhir pada program
pendidikan D III.
5

b. Sebagai bahan masukan dan referensi mahasiswa, perawat dan khalayak


umum yang membutuhkan untuk melakukan asuhan keperawatan
gangguan kebutuhan aktivitas pada klien stroke non hemoragik.
2. Manfaat Praktis
a. Karya tulis ilmiah ini dapat dijadikan salah satu contoh hasil dalam
melakukan asuhan keperawatan bagi pasien khususnya dengan gangguan
kebutuhan aktivitas pada klien stroke non hemoragik.
b. Manfaat praktis bagi instansi akademik yaitu dapat digunakan sebagai
referensi bagi institusi pendidikan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan tentang asuhan keperawatan gangguan kebutuhan aktivitas
pada klien stroke non hemoragik.
c. Karya tulis ilmiah ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan terutama pada klien dengan gangguan
kebutuhan aktivitas.

E. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini membahas tentang gangguan kebutuhan
aktivitas di RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro provinsi Lampung tahun
2018. Laporan tugas akhir ini hanya berfokus pada gangguan kebutuhan
aktivitas dan berfokus pada pasien stroke nonhemoragik di Ruang Syaraf
RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro provinsi Lampung pada tahun 2019.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjuan Konsep Kebutuhan Dasar


1. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
Kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow atau yang
disebut dengan Hierarki kebutuhan dasar maslow yang meliputi lima
kategori kebutuhan dasar, yaitu:
a) Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis memiliki prioritas tertinggi dalam hierarki
maslow. Umumnya, seseorang yang memiliki beberapa kebutuhan
yang belum terpenuhi akan lebih dulu memenuhi kebutuhan
fisiologisnya dibandingkan kebutuhan lainnya. Berikut adalah macam-
macam kebutuhan dasar fisiologis menurut hierarki maslow meliputi
kebutuhan oksigen dan pertukaran gas, kebutuhan cairan dan
elektrolit, kebutuhan makanan, kebutuhan eliminasi urine , kebutuhan
istirahat tidur, kebutuhan aktivitas, kebutuhan kesehatan temperature
tubuh, dan kebutuhan seksual. Apabila kebutuhan fisiologis ini
terpenuhi, maka seseorang akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan
lain yang lebih tinggi dan begitu seterusnya.
b) Kebutuhan Keselamatan dan Rasa Aman
Kebutuhan Keselamatan dan Rasa Aman adalah kebutuhan untuk
melindungi diri dari berbagai macam bahaya yang mengancam, baik
yang mengancam fisik dan psikososial. Ancaman terhadap fisik dalam
kebutuhan ini adalah ancaman mekanik, kimia, termal, dan bakteri.
Keselamatan dan keamanan dalam konteks secara fisiologis
berhubungan dengan sesuatu yang mengancam tubuh seseorang dan
kehidupanya. Ancaman itu bisa berbentuk nyata ataupun berbentuk
imajinasi, misalnya penyakit, nyeri, cemas dan lain sebagainya.

6
7

c) Kebutuhan Rasa Cinta, Memiliki dan Dimiliki


Kebutuhan rasa cinta adalah kebutuhan saling memiliki dan dimiliki
terdiri dari memberi dan menerima kasih sayang, perasaan dimiliki
dan hubungan yang berarti dengan orang lain, kehangatan,
persahabatan, mendapat tempat atau diakui dalam keluarga, kelompok
serta lingkungan sosial. Rasa cinta juga dapat diartikan sebagai
keadaan untuk saling mengerti secara dalam dan menerima sepenuh
hati.
d) Kebutuhan Harga Diri
Kebutuhan Harga Diri adalah penilaian individu terhadap kehormatan
diri, melalui sikap terhadap dirinya sendiri yang menggambarkan
sejauuh mana individu tersebut menilai dirinya.
e) Kebutuhan Aktualisasi Diri
Aktualisasi Diri merpakan kemampuan sesorang untuk mengatur diri
sendiri sehiga bebas dari berbagai tekanan, baik tekanan yang berasal
dari dalam diri maupun tekanan dari luar diri. Kebutuhan aktualisasi
diri merupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi menurut maslow
dan kalish. Oleh karenanya untuk mencapai tingkat kebuthan
aktualisasi diri banyak hambatan yang harus dilalui.(Adinda & Yuni
Fitriani,2017).
Dalam buku Kebutuhan Dasar Manusia, konsep hierarki maslow
ini menjelaskan bahwa manusia memiliki sifat yang selalu berubah
menurut kebutuhannya. Jika seseorang merasa puas terhadap
kebutuhanya, ia akan menikmati kesejahteraan dan bebas untuk
berkembang menuju potensi yang lebih besar. Sebaliknya, jika proses
pemenuhan kebutuhan ini mengalami gangguan maka akan timbul
kondisi patologis. Oleh karena itu, dengan konsep kebutuhan dasar
maslow akan diperoleh persepsi yang sama bahwa untuk beralih ke
kebutuhan yang lebih tinggi, kebutuhan dasar yang ada dibawahnya
harus terpenuhi terlebih dahulu (Stevens P.J.M, dalam Mubarak
2015).
8

2. Konsep Dasar Aktivitas


Dikutip dalam buku ajar ilmu keperawatan dasar (Wahit Iqbal
Mubarak & Lilis Indawati,2015) kebanyakan orang menilai tingkat
kesehatan seseorang berdasarkan kemampuannya untuk melakukan
aktivitas sehari-hari. Kemampuan beraktivitas merupakan kebutuhan
dasar manusia yang diharapkan oleh setiap manusia. Kemampuan tersebut
meliputi berdiri, berjalan, bekerja dan sebagainya. Dengan beraktivitas
tubuh akan menjadi sehat, seluruh sistem tubuh dapat berfungsi dengan
baik dan metabolisme tubuh dapat menjadi lebih optimal. Disamping itu,
kemampuan bergerak (mobilisasi) juga dapat mempengaruhi harga diri
dan citra tubuh. Dalam hal ini, kemampuan aktivitas tubuh tidak lepas
dari sistem muskuloskeletal dan persarafan yang adekuat.
3. Sistem Tubuh yang Berperan dalam Aktivitas
Sistem tubuh yang berperan membantu dalam aktivitas adalah
sistem muskuloskelatal dan sistem persarafan.
a. Sistem Muskuloskeletal
Sistem muskuloskeletal terdiri atas tulang (rangka), otot dan sendi.
Gabungan dari tiga organ tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya
aktivitas dan pergerakan.
1) Tulang (rangka)
Secara umum fungsi dari tulang (rangka) adalah sebagai berikut:
a. Menyokong jaringan tubuh, termasuk memberi bentuk pada
tubuh (postur tubuh)
b. Melindungi bagian tubuh yang lunak, seperti otak, paru-paru,
hati dan medulla spinalis
c. Sebagai tempat melekatnya otot dan tendon, termasuk juga
ligament
d. Sebagai sumber mineral, seperti garam, fosfat dan lemak.
e. Berperan dalam proses hematopoiesis (produksi sel darah)
(Wahit Iqbal Mubarak & Lilis Indawati,2015).
9

2) Sendi
Sendi adalah hubungan diantara tulang. Setiap sendi di
klasifikasikan sesuai dengan struktur dengan tingkat mobilisasinya.
Terdapat empat klasifikasi sendi, yaitu sinostatik, kartilago gonus,
fibrosa dan sinovial.
a) Sendi sinostatik
Sendi sinostotik adalah sendi yang menghubungkan antara
tulang. Sendi sinostotik ini adalah salah satu jenis sendi diam,
jaringan tulang yang memberikan kekuatan dan stabilitas.
b) Sendi kartilago
Sendi kartilago atau sendi sinkondrosis ini berfungsi untuk
menggabungkan komponen tulang. Sendi kartilago dapat
ditemukan ketika tulang mengalami penekanan yang konstan,
seperti sendi, kostosternal antara sternum dan iga.
c) Sendi fibrosa
Sendi fibrosa adalah sendi tempat kedua permukaan tulang
disatukan dengan ligament atau membran. Serat atau
ligamennya fleksibel dan dapat diregangkan, dapat bergerak
dengan jumlah terbatas. Misalnya, sepasang tulang pada kaki
bawah (tibia dan fibula) adalah sendi sindesmotik.
3) Otot
Gerakan tulang dan sendi merupakan proses aktif yang harus
terintegrasi secara hati-hati untuk mencapai koordinasi. Otot skelet,
karena kemampuannya untuk berkontraksi dan berelaksasi,
merupakan elemen kerja dari pergerakan. Elemen kontraktil otot
skelet dicapai oleh struktur anatomis dan ikatannya pada skelet.
Kontraksi otot dirangsang oleh impuls elektrokimia yang berjalan
dari saraf ke otot melalui sambungan mioneural. Impuls
elektrokimia menyebabkan aktin tipis yang mengandung filamen.
menjadi memendek, kemudian otot berkontraksi. Adanya stimulus
tersebut membuat otot relaksasi.
10

Ada dua tipe kontraksi otot yaitu:


a. Isotonik, jenis kontraksi ini tidak terjadi pemendekan otot
selama kontraksi, karena tidak memerlukan sliding myofibril,
tetapi terjadi secara paksa. Misalnya, saat kita mengangkat
barang yang sangat berat, mendorong meja, dengan tangan
lurus sehingga terjadi tegangan.
b. Isometrik, kontraksi isotonik adalah kontraksi yang terjadi
pemendekan otot teatapi tegangan pada otot tetap konstan.
Kontraksi ini memerlukan energi yang cukup besar. Contoh
jenis kontraksi ini adalah saat mengangkat beban
menggunakan otot bisep, branchii, kegiatan makan, menyisir,
dan lainnya.
4) Sistem Persarafan
Secara spesifik, sistem persarafan memiliki beberapa fungsi, yaitu:
a) Saraf aferen (reseptor), berfungsi menerima rangsangan dari
luar kemudian meneruskannya ke susunan saraf pusat
b) Sel saraf atau neuron, berfungsi membawa impuls dari bagian
tubuh satu ke bagian tubuh lainnya
c) Sistem saraf pusat (SSP), berfungsi memproses impuls dan
kemudian memberikan respon melalui saraf eferen.
d) Saraf eferen, berfungsi menerima respon dari SSP kemudian
meneruskan ke otot rangka.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas
Menurut Wahit Iqbal Mubarak & Lilis Indawati,(2015) Faktor
yang mempengaruhi aktivitas diantaranya adalah :
a) Perumbuhan dan perkembangan
Usia serta perkembangan sistem muskuloskeletal dan persarafan akan
berperan terhadap postur tubuh, proporsi tubuh, massa tubuh,
pergerakan, serta refleks tubuh seseorang.
11

b) Kesehatan fisik
Gangguan pada sistem muskuloskeletal atau persarafan dapat
menyebabkan dampak yang negatif pada pergerakan dan mekanika
tubuh seseorang. Adanya penyakit, trauma, atau kecacatan dapat
mengganggu sistem pergerakan dan struktur tubuh.
c) Status mental
Gangguan mental atau afektif seperti depresi atau stres kronis dapat
memengaruhi seseorang untuk bergerak. Individu yang mengalami
depresi cenderung tidak antusias dalam mengikuti kegiatan tertentu,
bahkan kehilangan energi untuk melakukan perawatan hygiene.
Demikian juga dengan stres yang berkepanjangan, kondisi ini dapat
menguras energi sehingga individu kehilangan semangat untuk
beraktivitas.
d) Gaya hidup
Gaya hidup, perubahan pola hidup seseorang dapat menimbulkan stres
dan kemungkinan besar akan menimbulkan kecerobohan dalam
melakukan aktivitas, sehingga dapat menganggu kordinasi antara
sistem muskuloskeletal dan neurologi, yang dapat menyebabkan
perubahan mekanika tubuh.
e) Sikap dan nilai personal
Nilai-nilai yang tertanam dalam keluarga dapat memengaruhi aktivitas
yang akan dilakukan oleh individu. Sebagai contoh, anak-anak yang
tinggal dalam lingkungan keluarga yang senang melakukan kegiatan
olahraga sebagai contoh rutinitas akan belajar menghargai aktivitas
fisik.
f) Nutrisi
Nutrisi berfungsi bagi organ tubuh untuk mempertahankan status
kesehatan. Apabila pemenuhan nutrisi tidak adekuat, hal ini dapat
mengakibatkan kelelahan atau kelemahan otot yang akan
mengakibatkan penurunan aktivitas atau pergerakan.
12

Sebaliknya, kondisi nutrisi yang berlebih dapat menyebabkan


terbatasnya pergerakan tubuh sehingga individu menjadi mudah lelah.
g) Stress
Status emosi seseorang akan berpengaruh terhadap aktivitas tubuhnya.
Perasaan tertekan, cemas, dan depresi dapat menurunkan semangat
seseorang untuk beraktivitas. Kondisi ini ditandai dengan penurunan
nafsu makan, perasaan tidak bergairah, dan pada akhirnya menyendiri.
h) Faktor sosial
Individu dengan tingkat kesibukan yang tinggi secara tidak langsung
akan sering menggerakkan tubuhnya. Sebaliknya, inidividu yang
jarang berinteraksi dengan lingkungan sekitar tentu akan lebih sedikit
beraktivitas atau menggerakkan tubuhnya.
5. Konsep dasar gangguan mobilitas fisik
Menurut standar diagnosis keperawatan indonesia gangguan
mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam melakukan gerakan fisik dari
satu atau lebih ekstremitas secara mandiri (SDKI, 2016).
6. Batasan karakteristik gangguan mobilitas fisik
Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (2016) batasan
karakterisktik meliputi, gejala mayor dan gejala minor, yaitu:
a. Gejala dan tanda mayor:
1) Mengeluh sulit menggerakan ekstremitas
2) Kekuatan otot menurun
3) Rentang gerak (ROM) menurun
b. Gejala dan tanda minor:
1) Nyeri saat bergerak
2) Enggan melakukan pergerakan
3) Merasa cemas saat bergerak
4) Sendi kaku
5) Gerakan tidak terkoordinasi
6) Gerakan terbatas
7) Fisik lemah
13

7. Penyebab gangguan mobilitas fisik


a. Kerusakan integritas struktur tulang
b. Perubahan metabolisme
c. Ketidakbugaran fisik
d. Penurunan kendali otot
e. Penurunan massa otot
f. Penurunan kekuatan otot
g. Keterlambatan perkembangan
h. Kekakuan sendi
i. Kontraktur
j. Malnutrisi
k. Gangguan muskuloskeletal
l. Gangguan neuromuskular
m. Indeks masa tubuh (IMT) diatas persentil ke-75 sesuai usia
n. Efek agen farmakologis
o. Program pembatasan gerak
p. Nyeri
q. Kecemasan
r. Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik
s. Gangguan kognitif
t. Keengganan melakukan pergerakan
u. Gangguan sensoripersepsi
8. Kondisi klinis terkait gangguan mobilitas fisik
a. Stroke
b. Cidera medula spinalis
c. Trauma
d. Fraktur
e. Osteoarthritis
f. Osteomalasia
14

B. Tinjauan Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan pada pasien stroke dengan gangguan
kebutuhan aktivitas meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial (Dr. Lyndon
Saputra, 2013).
a. Anamnesis
Anamnesis meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit
saat ini, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga.
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnosis
medis.
2) Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak
dapat berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.
3) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai
tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau
gangguan fungsi otak lain. Adanya penurunan atau perubahan pada
tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam intrakranial.
Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan
koma.
4) Riwayat penyakit dahhulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes
militus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala,
kontrasepsi oral lama, penggunaan obat anti koagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan.
15

Pengkajian pemakaian obat yang sering digunakan klien, seperti


penggunaan obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta,
dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan
penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
5) Riwayat penyakit keluarga
Umumnya pada penderita stroke terdapat riwayat keluarga yang
menderita hipertensi, diabetes militus, atau adanya riwayat stroke
dari generasi terdahulu.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan brain atau otak yang terarah dan
dihibungkan dengan keluhan-keluhan klien.
1) Keadaan umum
Umumnya mengalami penurunan kesadaran, kadang mengalami
gangguan bicara yaitu sulit dimengerti, kadang tidak bisa bicara
dan pada tanda-tanda vital tekanan darah meningkat, dan denyut
nadi bervariasi.
2) Pengkajian tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling
mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan
pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat
perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Pada keadaan
lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat
letargi, strupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami
koma maka penilaian Glascow Coma Scale (GCS) sangat penting
16

untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk


pemantauan pemberi asuhan.
3) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual,
kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
a) Status mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap
lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
b) Fungsi intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan
berhitung dan kalkulasi. Pada bebrapa kasus klien mengalami
brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal persamaan dan
perbedaan yang tidak begitu nyata.
c) Kamampuan bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung pada daerah lesi
yang memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada daerah
hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari girus
temporalis superior (area Wernicke) didapatkan difasia
reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau
bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus
frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif,
yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan
tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan bicara),
ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang
disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk
menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk
melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti
terlihat klien mengambil sisir dan berusaha menyisir
rambutnya.
17

d) Lobus frontal
Kerusaakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan jika
kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori
atau fungsi intelektual yang lebih tinggi mungkin rusak.
Disfungsi ini dapat ditunjukan dalam lapang perhatian terbatas,
kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang
menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalam
program rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan
mungkin diperberat oleh respon alamiah klien terhadap
penyakit katastrofik. Masalah psikologis lain jua umum terjadi
dan dimanifestasikan oleh emosi yang labil, bermusuhan,
frustasi, dendam, dan kurang kerjasama.
e) Hemisfer
Stroke hemisfer kanan didapatkan hemiprase sebelah kiri
tubuh, penilaian buruk dan mempunyai kerentanan terhadap
sisi kolateral sehingga memungkinkan terjatuh ke sisi yang
berlawanan tersebut. Pada stroke hemisfer kiri, mengalami
hemiprase kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati,
kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia,
dan mudah frustasi.
4) Pemeriksaan saraf kranial
a) Saraf I, biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada
fungsi penciuman.
b) Saraf II, disfungsi persepsi visual karena gangguan jarak
sensori primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan
hubungan visual la-spasial (mendapatkan hubungan dua atau
lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada hemiplegia
kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokan pakaian
ke bagian tubuh.
18

c) Saraf III, IV, dan VI, jika akibat stroke menyebabkan paralisis,
pada satu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan
kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
d) Saraf V, pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis
saraf trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi ispilateral,
serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan
eksternus.
e) Saraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yag sehat.
f) Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi
g) Saraf IX dan X, kemampuan menelan kurang baik dan
kesulitan membuka mulut.
h) Saraf XI, tidak ada atrofi otot sternokleudomastoideus dan
trapezius
i) Saraf XII, lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi, serta indra pengecapan normal.
5) Pengkajian sistem motorik
Stroke merupakan penyakit saraf motorik atas, dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena
saraf motorik atas bersilangan, gangguan kontrol motor volunter
pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukan kerusakan pada saraf
di sisi yang berlawanan.
a) Inspeksi umum didapatkan hemiplagia (paralisis pada salah
satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda
yang lain.
b) Fasikulasi didapatlan pada otot-otot ekstremitas.
c) Hasil pemeriksaan tonus otot didapatkan menurun.
19

d) Kekuatan otot pada penilaian dengan menggunakan tingkat


kekuatan otot pada sisi yang sakit didapatkan tingkat nol.
e) Keseimbangan dan koordinasi didapatkan mengalami
gangguan karena hemiprase dan hemiplegia
6) Pengkajian refleks
Pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan hilang.
Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan refleks patologis.
7) Pengkajian sistem sensorik
Dapat terjadi hemihiprestisi. Pada persepsi terdapat
ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi
persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer diantara mata
dan korteks visual. Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa
kerusakan sentuhan ringgan atau mungkin lebih berat, dengan
kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan
gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan
stimulasi visual, taktil, dan auditorius.
8) Keadaan lokal
Pemeriksaan fisik
a) Look (inspeksi)
Perhatikan yang dilihat:
(1) sikatrik
(2) birth mark
(3) Fistula
(4) Warna (kemerahan, kebiruan/livide, hiperpigmentasi)
(5) Benjolan, pembengkakan, cekukan dengan hal-hal yang
tidak biasa, misalnya ada rambut diatasnya
(6) Posisi serta bentuk dari ekstremitas (deformitas)
(7) Cara jalan pasien (gait, sewaktu masuk kamar periksa)
20

b) Feel (palpasi)
Sebelum dilakukan palpasi, terlebih dahulu perbaiki posisi
penderita agar di mulai dari posisi netral/posisi anatomi.
Pemeriksaan ini memberikan informasi dua arah bagi
pemeriksa dan penderita. Karena itu perlu diperhatikan wajah
penderita atau menanyakan perasaan penderita. Yang perlu
dicatat pada palpasi adalah:
(1) Perubahan suhu terhadap sekitarnya serta kelembaban
kulit
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
hanya oedema terutama pada daerah persendian.
(3) Nyeri tekan (terderness), krepitasi, catat adanya kelainan
Otot: tonus otot pada waktu relaksasi atau kontraksi
benjolan yang terdapat di permukaan tulang atau melekat
pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler.
Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu ditentukan
permukaannya, konsistensinya dan pergerakan terhadap
permukaan atau dasar, nyeri atau tidak dan ukurannya.
c) Move (pergerakan)
Setelah memeriksa feel, pemeriksaan diteruskan dengan
menggerakkan anggota gerak dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pada pemeriksaan move,
periksalah anggota bagian tubuh yang normal terlebih dahulu.
Selain untuk mendapatkan kerjasama dari penderita juga untuk
mengetahui gerakan normal penderita, evaluasi keadaan
sebelum dan sesudah dilakukan pergerakan.
(1) Apabila ada fraktur akan terdapat gerakan abnormal di
daerah fraktur (kecuali fraktur incomplete)
(2) Pergerakan yang perlu dilihat adalah pergerakan aktif
dan pasif
21

(3) Pemeriksaan sendi


(a) Bandingkan antara bagian kiri dan kanan tentang
bentuk, ukuran, tanda radang
(b) Adanya nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri sumbu
(c) Adanya bunyi krepitasi
(d) Adanya kontraktur sendi
(e) Nilai Range Of Motion (ROM) secara aktif dan
pasif. Pemeriksaan Range Of Motion (ROM)
adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan
pengukuran luas gerakan sendi (derajat) yang
terjadi dari kontraksi dan pergerakan otot.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara meminta klien
untuk menggerakkan masing-masing persendian
sesuai gerakan normal baik aktif maupun pasif.
Jenis gerakan: fleksi, ekstensi, hiperekstensi, rotasi,
sirkumduksi, supinasi, pronasi, abduksi, adduksi,
oposisi. Sendi yang di gerakkan: ROM aktif
(seluruh tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki
oleh klien secara aktif). ROM pasif (seluruh
persendian tubuh atau hanya pada bagian
ektremitas yang terganggu dan klien tidak mampu
melaksanakan secara mandiri (Oktadoni Saputra
dan Rizki Hanriko, 2016).
c. Kemampuan fungsi motorik
Pengkajian fungsi mototrik antara lain dilakukan pada tangan kanan,
tangan kiri, kaki kanan, kaki kiri untuk menilai ada tidaknya
kelamahan, kekuatan, atau spatis.
Derajat kekuatan otot dapat ditentukan berdasarkan tabel berikut:
22

Tabel 2.1 Derajat kekuatan otot (dr. Lindon Saputra, 2013).


Skala Presentase kekuatan normal Karakteristik
0 Pralisi sempurna
0
10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot
1 dapat dipalpasi atau dilihat
25 Gerakan otot penuh melawan
2 gravitasi topangan
50 Gerakan normal melawan gravitasi
3
75 Gerkan penuh normal melawan
4 tahanan minimal
100 Kekuatan normal, gerakan penuh
5 yang normal melawan gravitasi dan
tahanan penuh

d. Kemampuan Mobilisasi
Kemampuan mobilisasi dilakukan untuk menilai kemampuan individu
untuk bergerak dan beraktivitas. Kategori tingkat kemampuan
aktivitas sebagai berikut.
Tabel 2.2 Tingkat kemampuan aktivitas (dr. Lindon Saputra, 2013).
Tingkat Kategori
aktivitas/mobilitas
Mampu merawat diri secara penuh
Tingkat 0
Memerlukan alat untuk mobilisasi
Tingkat 1
Memerlukan bantuan untuk pengawasan orang lain untuk
Tingkat 2 mobilisasi
Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan
Tingkat 3 peralatan untuk mobilisasi

Tingkat 4 Sangat tergantung pada bantuan alat dan orang lain serta
tidak dapat melakukan atau berpatisipasi dalam
perawatan
23

2. Diagnosis keperawatan
Menurut SDKI (2016) Diagnosis keperawatan yang sering muncul
pada klien gangguan kebutuhan aktivitas adalah:
a. Gangguan mobilitas fisik
Menurut (SIKI, 2018) intervensi yang dilakukan pada pasien dengan
gangguan kebutuhan aktivitas yaitu ada intervensi Dukungan
Ambulasi dan intervensi Dukungan Mobilisasi.
Berdasarkan klasifikasi NANDA (2015) diagnosia keperawatan yang
sering muncul pada klien dengan stroke adalah:
1) Gangguan mobilitas fisik b.d hemiparesis, kehilangan
keseimbangan dan koordinasi.
3. Rencana keperawatan
Adapun rencana keperawatan menurut Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI) adalah:
a. Gangguan mobilitas fisik
1) Dukungan ambulasi
Definisi: memfasilitasi pasien untuk meningkatkan berpindah.
Tindakan observasi:
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainya
Rasional: Membantu menentukan derajat kerusakan dan
kesulitan terhadap keadaan yang dialami.
b) Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
Rasional: Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan.
c) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
ambulasi
Rasional: Mengidentifikasikan adanya perubahan tekanan
darah dan frekuensi jantung sebelum dan sesudah dilakukan
ambulasi.
24

d) Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi


Rasional: Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan
potensial peningkatan tekanan darah.
Tindakan terpeutik:
a) Fasilitasi aktifitas ambulasi dengan alat bantu (mis: tongkat,
kruk).
Rasional: Membantu dalam peningkatan aktifitas dengan
menggunkan alat bantu.
b) Fasilitasi melakukan ambulasi dini
Rasional: Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
mencegah terjadinya kontraktur.
Tindakan edukasi:
a) Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
Rasional: Memberikan pemahaman mengenai manfaat
tindakan yang didahulukan.
b) Anjurkan melakukan ambulasi dini
Rasional: Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
mencegah terjadinya kontraktur.
c) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (Mis:
Berjalan dari tempat tidur kekursi roda, berjalan dari tempat
tidur kekamar mandi,berjalan sesuai toleransi).
Rasional: Membantu kembali jaras saraf, meningkatkan respon
propioseptif dan motorik.
2) Dukungan mobilisasi
Definisi: memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas
pergerakan fisik.
Tindakan observasi:
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainya
Rasional: Membantu menentukan derajat kerusakan dan
kesulitan terhadap keadaan yang dialami.
25

b) Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan


Rasional: Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan.
Tindakan terapeutik:
a) Fasilitas aktivitas mobiltas dengan alat bantu (Mis: pagar
tempat tidur)
Rasional: Membantu dalam peningkatan aktifitas dengan
menggunkan alat bantu.
b) Fasilitas melakukan pergerakan, jika perlu
Rasional: Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
mencegah terjadinya kontraktur.
Tindakan edukasi:
a) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
Rasional: Memberikan pemahaman mengenai manfaat
tindakan yang didahulukan.
b) Anjurkan melakukan mobilisasi dini
Rasional: Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
mencegah terjadinya kontraktur.
c) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (Mis:
duduk ditempat tidur, duduk disisi tempat tidur, pindah dari
tempat tidur kekursi).
Rasional: Membantu kembali jaras saraf, meningkatkan respon
propioseptif dan motorik.
26

Tabel 2.3 Tabel Intervensi Keperawatan dengan Diagnosa Gangguan


Mobilitas Fisik (NANDA, 2015)
Hambatan mobilitas fisik Kriteria hasil a) Nic Rasional
Definisi : keterbatasan pada 1. Klien meningkat dalam Excercise therapy : 1. Untuk mengetahui keadaan
pergerakan fisik tubuh atau satu atau aktivitas fisik ambulation umum klien
lebih ekstremitas secara mandiri dan 2. Mengerti tujuan dari 1. Monitoring vital sign 2. Program yang khusus dapat
terarah. peningkatan mobilitas sebelum/sesudah latihan dan dikembangkan untuk
Batasan karakteristik 3. Memverbalisasikan perasaan lihat respon pasien saat latihan menemukan kebutuhan klien
1. Penurunan waktu reaksi dalam meningkatkan 2. Konsultasikan dengan terapi 3. Membantu kembali jaras saraf,
2. Kesulitan membolak-balik kekuatan dan kemampuan fisik tentang rencana ambulasi meningkatkan respon
posisi berpindah sesuai dengan kebutuhan propioseptif dan motorik
3. Melakukan aktivitaslain sebagai 4. Memperagakan 3. Bantu klien untuk menggunakan 4. Meminimalkan atrofi otot,
pengganti pergerakan (mis., penggunanaan alat tongkat saat berjalan dan cegah meningkatkan sirkulasi,
meningkatkan perhatian pada 5. Bantu untuk mobilisasi terhadap cedera mencegah terjadinya kontraktur
aktivitas orang lain, (walker) 4. Ajarkan pasien atau tenaga 5. Mengidentifikasi kekuatan atau
mengendalikan perilaku, fokus kesehatan lain tentang teknik kemampuan dan dapat
pada ketunadayaan/aktivitas ambulasi memberikan informasi
sebelum sakit) 5. Kaji kemampuan pasien dalam mngenai pemulihan
4. Dispnea setelah beraktivitas mobilisasi 6. Menurunkan resiko terjadinya
5. Perubahan cara berjalan 6. Latih pasien dalam pemenuhan kontraktur otot
6. Gerakan bergetar kebutuhan Activiti Daily 7. Meningkatkan harapan
7. Keterbatasan kemampuan Living(ADL) secara mandiri terhadap
melakukan keterampilan sesuai kemampuan perkembangan/peningkatan dan
motorik halus 7. Dampingi dan bantu pasien saat memberikan perasaan
8. Keterbatasan kemampuan mobilisasi dan bantu penuhi kontrol/kemandirian
melakukan keterampilan kebutuhan adls pasien 8. Perangkat ini dapat
motorik kasar 8. Berikan alat bantu jika klien mengkompensasi gangguan
9. Keterbatasan rentang memerlukan fungsi dan meningkatkan
pergerakan sendi 9. Mengajarkan pasien bagaimana tingkat aktivitas
10. Tremor akibat Spergerakan merubah posisi dan berikan 9. Menurunkan risiko terjadinya
11. Ketidakstabilan postur bantuan jika diperlukan trauma/iskemia jaringan
12. Pergerakan lambat
13. Pergerakan tidak
27

4. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana keperawatan untuk mencapai tujuan
yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana keperawatan disusun dan
ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu, rencana keperawatan yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien. Tujuan
dari implementasi adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan
kesehatan dan memfasilitasi koping. Perencanaan keperawatan dapat dilaksanakan
dengan baik jika klien mempunyai keinginan untuk berpartisispasi dalam
implementasi keperawatan. (Nursalam, 2009).
Dalam hal ini implemntasi yang perlu dilakukan terhadap klien dengan gangguan
mobilitas fisik terdiri dari Dukungan ambulasi dan dukungan mobilisasi. Dukungan
ambulasi meliputi beberapa tindakan yaiutu : Mengidentifikasi adanya nyeri atau
keluhan fisik yang dialami oleh klien, mengidentifikasi toleransi fisik klien dalam
melakukan ambulasi, memonitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
melakukan aktivitas ambulasi, monitor kondisi umum selama malukakn ambulasi,
memfasilitasi aktivitas ambulasi menggunakan alat bantu seperti tongkat dan kruk.
Memfasilitasi klienumtuk melakukan mobilisasi fisik, melibatkan keluarga untuk
membantu klien dalam meningkatkan ambulasi. Menjelaskan tujuan dan prosedur
tindakan ambulasi kepada pasien atau keluarga, menganjurkan klien melakukan
ambulasi dini, mengajarkan klien melakukan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan (seperti, berjalan dari tempat tidur berpindah kekursi roda, berjalan dari
tempat tidur berpindah ke kamar mandi, berjalan sesuai kebutuhan).

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tindakan untuk melengakapi proses keperawatan yang dapat
dilihat dari perkembangan dan hasil kesehatan klien. Tujuannya untuk mengetahui
sejauh mana perawatan dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan. (Nursalam, 2009).
Langkah-langkah evaluasi adalah sebagi berikut:
a) Daftar tujuan klien
28

b) Lakukan pengkajian apakah pasien dapat melakukan sesuatu


c) Bandingkan antara tujuan dan kemampuan klien
d) Diskusikan dengan klien, apakah tujuan dapat tercapai atau tidak
Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik ini yaitu,
klien dapat mengerti tujuan dan peningkatan dari mobilitas fisik. Klien dapat
mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas. Klien dapat memverbalisasikan
perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah. Dan klien
dapat memperagakanpenggunaan alat.(NANDA. NIC-NOC, 2015)

C. Tinjauan Konsep Penyakit


1. Definisi stroke
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang dengan
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-gejala yang berlangsung
selama 24 jam atau lebih yang mengakibatkan kematian tanpa adanya penyebab lain
yang jelas selain vaskular.
2. Etiologi stroke
a. Trombosis serebral
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
mengakibatkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan
kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang
tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis
dan penurunan tekanan darah yang dapat mengakibatkan iskemi serebral. Tanda
dan gejala neurologis sering kali memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan trombosis diantaranya:
aterosklerosis, hiperkoagulasi pada polisitemia, arteritis (radang pada arteri) dan
emboli.
b. Hemoragi
Pendarahan intrakranial atau intraserebral termasuk pendarahan dalam ruang
subaraknoid atau ke dalam jaringan otak sendiri. Pendarahan ini dapat terjadi
karena aterosklerosis dan hipertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah dalam
otak yang menyebabkan pembesaran darah ke dalam parenkim otak yang dapat
mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang
berdekatan, sehingga otak akan mengalami pembengkakan, jaringan otak
29

mengalami tekanan, sehingga terjadi infark otak, edema dan mungkin herniasi
otak.
c. Hipoksia umum
Adapun beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum ialah:
hipertensi, henti jantung-paru, curah jantung turun akibat aritmia.
d. Hipoksia setempat
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah:
spasme arteri serebral (yang disertai dengan pendarahan subaraknoid),
vasokonstriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.
3. Klasifikasi stroke
1) Stroke Hemoragik
Merupakan pendarahan serebral dan mungkin pendarahan subaraknoid.
Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah dibagian otak di area otak tertentu.
Biasanya pecah pembuluh darah terajdi saat melakukan aktivitas atau saat aktif,
namun bisa juga terjadi ketika sedang beristirahat. Kesadaran klien umumnya
menurun.

2) Stroke Non Hemoragik


Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi saat
setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak mengalami
pendarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya
dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik.
4. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya asupan darah ke bagian tententu di otak.
Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh
darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang di suplai oleh pembuluh
darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (semakin lambat atau semakin
cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, pendarahan dan spasme vaskular) atau
karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis
sering sebagai faktor penyebab infark pada otak. Trombus dapat berasal dari plak
aterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah
mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi.
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah dan terbawa sebagai emboli
dalam aliran darah. Trombus megakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh
30

pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema
ini mengakibatkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema
dapat berkurang dalam waktu beberapa jam atau terkadang sesudah beberapa hari.
Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukan perbaikan. Oleh karena trombosis
biasanya tidak fatal, tidak terjadi pendarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah
serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis yang diikuti trombosis. Jika
terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah, maka akan terjadi abses
atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat
menyebabkan dilatasi aneurisma darah. Hal ini menyebabkan pendarahan serebral, jika
aneurisma pecah atau ruptur.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume pendarahan yang cukup banyak akan
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi otak serta
gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasokatif darah yang keluar dan kaskade
iskemik akibat menurunnya tekaran perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena
darah dan sekitarnya tertekan lagi.
31

Gambar 2.1 pathway stroke

5. Manifestasi Klinik
Gejala neuroligik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung
pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokalisasinya. Gejala utama stroke
iskemik akibat trombosis serebri adalah timbulnya defisit neurologik secara mendadak,
didahului gejala prodormal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran
biasanya tidak menunrun. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Pada fungsi
lumbal, lukuol serebrospinalis jernih, tekanan normal dan eritrosit kurang dari 500.
32

Pemeriksaan scan temografik dapat ditemukan adanya daerah hipodens yang


menunjukan infark/iskemik dan edema.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang stroke non hemoragik didasarkan atas hasil:
a. Penemuan klinis berupa :
1) Adanya defisit neurologik lokal terutama terjadi secara mendadak
2) Ditemukan faktor resiko (hipertensi, kelainan jantung, dll)
3) Bising pada auskultasi atau kelainan pada pembuluh darah lainnya
b. Pemeriksaan diagnostik
1) Angiografi serebral untuk membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik, seperti pendarahan, atau obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau
ruptur.
2) Computerized tomography(CT) scan untuk memperlihatkan adanya edema,
hematoma, iskemia, dan adanya infark (mungkin tidak dengan segera
menunjukan semua perubahan tersebut).
3) Fungsi lumbal untuk menunjukan adanya tekanan normal dan biasanya ada
trombosis, emboli serebral, dan transient ischemic attack (TIA). Tekanan
meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya
hemoragik subaraknoid atau pendarahan intrakranial. Kadar protein total
meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan adanya proses
inflamasi.
4) Magnetic Resonance Imaging(MRI) untuk mennunjukan daerah yang
mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena (MAV).
5) Ultrasonografi doppler untuk mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah
sistem arteri karotis/aterosklerosis).
6) Eleketro Encepalo Gram (EEG) untuk mengidentifikasi masalah didasarkan
pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang
spesifik.
7) Sinar X tengkorak untuk mellihat gambaran perubahan kelenjar lempeng
pineal daerah yang berlawanan dari masa yang meluas, klasifikasi karotis
interna terdapat pada trombosis serebral, klasifikasi parsial dinding
aneurisma pada pendarahan subaraknoid.
7. Penatalakasanaan
Menurut Tarwoto (2013), penatalaksanaan stroke terbagi atas :
33

a. Penatalaksanaan umum
1) Pada fase akut
a) Terapi cairan, stroke berisko terjdinya dehidrasi karena penurunan
kesadaran atau megalami disfagia. Tetapi cairan ini penting untuk
mempertahankan sirkulasi darah dan tekanan darah. The American Heart
Association sudah menganjurkan normal saline 50 ml/jam selama jam-
jm pertama dari stroke iskemik akut. Segera setelah hemodinamik stabil,
terapi cairan rumatan bisa diberikan sebagai KAEN 3B/KAEN 3A.
Kedua laurtan ini lebih baik dari pada dehidrasi hipertonik serta
memenuhi kebutuhan hemoestasis kalium dan natrium. Setelah fase akut
stroke, lauratan rumatan bisa diberikan untuk memelihara hemoestasis
elektrolit, khususnya kalium dan natrium.
b) Terapi oksigen, pasien stroke iskemik dan hemoragik mengalami
gangguan aliran darah ke otak. Sehingga kebutuhan oksigen sangat
penting untuk mengurangi hipoksia dan juga untuk mempertahankan
metabolisme otak. Perthankan jalan napas, pemberian oksigen,
penggunaan ventilator, merupakan tindakan yang dapat dilakukan sesuai
hasil pemeriksaan analisa gas darah atau oksimetri.
c) Pelaksanaan peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK)
Peningkatan intra kranial bisanya disebabkan karena edema srebri, oleh
karena itu pengurangan edema penting dilakukan misalnya dengan
pemberin monitol, control atau pengendalian tekanan darah
d) Monitor fungsi pernapasan : Analisa Gas Darah
e) Monitor jantung dan tanda-tanda vital, pemeriksaan Elektro Kardio
Gram (EKG)
f) Evaluasi status cairan dan elektrolit
g) Kontrol kejang jika ada dengan pemeberian antiknvulsan,dan cegah
resiko injuri.
h) Lakukan pemasangan Naso Gastric Tube (NGT) untuk mengurangi
kompresi lambung dan pemberian makanan
i) Cegah emboli paru dan tromboplebitis dengan antikoagulan
j) Monitor tanda-tanda nurologi seperti tingkat kesadaran, keadaan pupil,
fungsi sensorik dan motorik, nervus cranial dan reflek.
2) Fase rehabilitasi
34

a) Pertahankan nutrisi yang adekuat


b) Program manejemen blader dan bowel
c) Mempertahankan keseimbangn tubuh dan rentang gerak seni Range Of
Motion(ROM)
d) Pertahankan integritas kulit
e) Perthankan komunnikai efektif
f) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari
g) Persiapan pasien pulang
3) Pembedahan
Dilakukan jika perdarahan serebrum lebih dari 3 cm atau volume lebih dari
50 ml untuk dekompresi atau pemasangan pintasan ventrikuloperioneal bila
ada hidrosefalus obstuksis akut.
4) Terapi obat-obatan
a) Anthipertensi: kaptopil, antogonisis kalsium
b) Diuretic: manitol 20%,furosemid
c) Antikolvusan: fenition
Sedangkan menurut Batticaca (2008), tetapi perdarahan dan perawatan pembuluh
darah pada pasien stroke perdarahan adalah:
1) Antifibrinolitik untuk meningkatkan mikrosiskulasi dosis kecil
a) Aminocaproic acid 1 100-500 ml% dalam cairan isotonic 2 kali selama
3-5 hari, kemudian 1 kali selama 1-3 hari
b) Antagonis untuk pencegahan permanen: gordox dosis pertama 300.000
IU kemudian 100.000 International Unit(IU) 4 kali perhari Intra Vena
(IV): contircal dosis pertama 30.000, kemudian 10.000 2 kali per hari
selama 5-10 hari
2) Natrii etamsylate (dyone) 250 mg x 4 hari Intra Vena (IV sempai 10 hari
3) Kalsium mengandung obat: rutinium, vicasolum, ascorbicum
4) Profilaksis vasospasme
a) Calciium-chanel antagonis (nimstop 50 ml[10 mg per hari Ivdiberikan 2
mg perjam selama 10-14 hari])
b) Berikan dexason 8 4 4 4 MiliGram(MG) Intra Vena (IV) atau omotic
diuretic (dua hari sekali rheugloman(manitol) 15% 200 MiliGram(MG)
Intra Vena (IV) diikuti 20 mg lasix minimal 10-15 hari kemudian
27

BAB III
METODE

A. Fokus Asuhan Keperawatan


Pada laporan tugas akhir ini penulis menggunakan pendekatan asuhan
keperawatan yang berfokus pada asuhan keperawatan gangguan kebutuhan
aktivitas: gangguan mobilitas fisik pada pasien stroke nonhemoragik.

B. Subyek Asuhan
Subyek asuhan keperawatan adalah dua klien dengan masalah
gangguan kebutuhan aktivitas pada pasien stroke nonhemoragik di RSUD
Jendral Ahmad Yani Kota Metro. Kriteria inklusi adalah kriteria dan ciri-ciri
yang harus dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai
sampel. Sedangkan kriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang
tidak dapat diambil sebagai sampel. (Notoatmodjo, 2010).
Adapun kriteria inklusi pada subyek asuhan laporan tugas akhir ini
sebagai berikut:
1. Klien memahami bahasa indonesia
2. Klien dewasa berumur 40 s/d 70 Tahun
3. Klien mengalami penurunan tingkat kekuatan otot
4. Klien berada diruang syaraf RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro
5. Klien bersedia mengikuti secara sukarela dengan menandatangani lembar
persetujun informed consent

C. Lokasi dan Waktu


1. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro.
2. Waktu penelitian
Waktu penelitian akan dilakukan pada bulan April 2019.

36
37

D. Pengumpulan Data
1. Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan format pengkajian dan alat pemeriksaan fisik.
Alat pemeriksaan fisik yang digunakan penulis adalah alat pengukuran TTV.
2. Teknik Pengumpulan data
a. Pengumpulan Data
Menurut Nursalam (2002) dalam Arif Muttaqin (2011), pengumpulan data
secara umum merupakan hal yang mutlak dilakukan perawat dalam melakukan
pengkajian keperawatan. Pengumpulan data dapat dilihat dari tipe dan
karakteristik data. Ada dua tipe data pada pengkajian yaitu data subjektif dan data
objektif.
1) Data subjektif adalah data yang didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat
terhadap suatu situasi dan kejadian. informasi tersebut tidak dapat ditentukan
oleh perawat secara independen, tetapi melalui suatu interaksi atau
komunikasi.
2) Data objektif adalah data yang dapat diobservasi dan diukur. Informasi
tersebut biasanya diperoleh melalui “senses” : 2s (sight, smell) dan HT
(hearing dan touch atau taste) selama pemeriksaan fisik.
b. Wawancara dan Observasi
Wawancara dan observasi digunakan untuk menggali masalah atau data dasar
yang lengkap dan akurat agar dapat membantu memfokuskan perhatian selama
pemeriksaan fisik pada sistem tubuh atau gejala tertentu. Penting bagi perawat
melakukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada permasalahan yang
paling aktual dikeluhkan klien.
c. Pemeriksaan fisik
Dalam melakukan pemeriksaan fisik perawat perlu membekali kemampuan
dalam melakukan pemeriksaan fisik secara sistematis dan rasional. Pada
pemeriksaan fisik di perlukan modalitas dasar yang digunakan yaitu :
a) Look (inspeksi)
Perhatikan yang dilihat:
1) Sikatrik
2) Birth mark
3) Fistula
4) Warna (kemerahan, kebiruan/livide, hiperpigmentasi)
38

5) Benjolan, pembengkakan, cekukan dengan hal-hal yang tidak biasa,


misalnya ada rambut diatasnya
6) Posisi serta bentuk dari ekstremitas (deformitas)
7) Cara jalan pasien (gait, sewaktu masuk kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Sebelum dilakukan palpasi, terlebih dahulu perbaiki posisi penderita agar di
mulai dari posisi netral/posisi anatomi. Pemeriksaan ini memberikan
informasi dua arah bagi pemeriksa dan penderita. Karena itu perlu
diperhatikan wajah penderita atau menanyakan perasaan penderita. Yang
perlu dicatat pada palpasi adalah:
1) Perubahan suhu terhadap sekitarnya serta kelembaban kulit
2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau hanya
oedema terutama pada daerah persendian.
3) Nyeri tekan (terderness), krepitasi, catat adanya kelainan Otot: tonus otot
pada waktu relaksasi atau kontraksi benjolan yang terdapat di permukaan
tulang atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
ditentukan permukaannya, konsistensinya dan pergerakan terhadap
permukaan atau dasar, nyeri atau tidak dan ukurannya.
c) Move (pergerakan)
Setelah memeriksa feel, pemeriksaan diteruskan dengan menggerakkan
anggota gerak dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.
Pada pemeriksaan move, periksalah anggota bagian tubuh yang normal
terlebih dahulu. Selain untuk mendapatkan kerjasama dari penderita juga
untuk mengetahui gerakan normal penderita, evaluasi keadaan sebelum dan
sesudah dilakukan pergerakan.
1) Apabila ada fraktur akan terdapat gerakan abnormal di daerah fraktur
(kecuali fraktur incomplete)
2) Pergerakan yang perlu dilihat adalah pergerakan aktif dan pasif
3) Pemeriksaan sendi
i. Bandingkan antara bagian kiri dan kanan tentang bentuk, ukuran,
tanda radang
ii. Adanya nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri sumbu
iii. Adanya bunyi krepitasi
39

iv. Adanya kontraktur sendi


v. Nilai Range Of Motion (ROM) secara aktif dan pasif

3. Sumber Data
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah klien. Sebagai sumber data primer, bila kliem dalam
keadaan tidak sadar, mengalami gangguan bicara, atau pendengaran, klien masih
bayi, atau karena beberapa sebab klien tidak dapat memberikan data subjektif
secara langsung, perawat dapat menggunakan data objektif untuk menegakkan
diagnosis keperawatan. Namun, bila diperlukan klarifikasi data subkjetif
hendaknya perawat melakukan anamnesis pada keluarga.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui media perantara, yaitu
keluarga, orang terdekat, teman dan orang lain yang tahu tentang status kesehatan
klien. Selain itu, tenaga kesehatan yang lain seperti dokter, ahli gizi, ahli
fisioterapi, laboratorium, radiologi juga termasuk sumber data sekunder.
4. Pengolahan Data
a. Menganalisis hasil pengkajian setelah sebelumnya dikumpulkan secara akurat,
menyeluruh, dan berkesinambungan untuk menetapkan diagnosa keperawatan.
b. Menetapkan diagnosis keperawatan setelah menganalisis, menginterpretasi data,
dan mengidentifikasi masalah berdasarkan SDKI 2016.
c. Menetapkan rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah dan
meningkatkan kesehatan klien. Perencanaan terdiri dari penetapan prioritas
masalah, tujuan, dan rencana tindakan.
d. Mengimpletasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam asuhan keperawatan.
Kriteria proses dalam implementasi adalah:
1) Bekerja sama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
2) Berkolaborasi dengan profesi kesehatan lain untuk meningkatkan kesehatan
lain.
3) Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah kesehatan klien.
4) Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai konsep
keterampilan asuhan diri.
40

5) Mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan dalam pencapaian tujuan dan


merevisi data dasar serta perencanaan, serta mendokumentasi hasil evaluasi
dan memodifikasi perencanaan.
E. Penyajian Data
1. Narasi, yaitu data yang diperoleh dari hasil pengkajian disajikan dalam bentuk uraian.
Untuk data yang disajikan dalam bentuk narasi adalah data pengkajian dan diagnosis
keperawatan.
2. Tabel, digunakan untuk menjelaskan hasil yang menggunakan angka-angka atau kalimat
agar lebih mudah dipahami. Adapun data yang disajikan dalam bentuk tabel antara lain:
analisa data, intervensi, implementasi, dan evaluasi.

F. Prinsip Etik
Prinsip etika yang digunakan penulis dalam membuat dan melaksanakan asuhan
keperawatan fokus tindakan keperawatan ini adalah prinsip etika keperawatan dalam
memberikan layanan keperawatan kepada individu, kelompok / keluarga dan masyarakat,
yaitu:
1. Autonomi (Otonomi)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Penulis menggunakan prinsip ini untuk
memberikan hak kepada pasien dalam meberikan keputusan sendiri untuk ikut serta
sebagai sasaran asuhan penulis.
2. Beneficience (Berbuat Baik)
Prinsip ini menuntut penulis untuk melakukan hal yang baik dengan begitu dapat
mencegah kesalahan atau kejahatan. Penulis menggunakan prinsip ini sebagai perawat
untuk memberikan tindakan dalam asuhan keperawatan kepada pasien dengan baik.
3. Justice (Keadilan)
Nilai ini direfleksikan dalam praktik profesional ketika perawat bekerja untuk terapi
yang benar sesuai hukum, standar praktik dan keyakinan yang benar untuk
memperoleh kualitas pelayanan kesehatan. Penulis akan menuliskan hasil didalam
dokumentasi asuhan keperawatan sesuai dengan hukum dan standart praktik
keperawatan.
41

4. Nonmaleficince (Tidak Merugikan)


Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
Penulis akan sangat memperhatikan kondisi lansia agar tidak menimbulkan bahaya
atau cidera fisik pada saat dilakukan tindakan keperawatan.
5. Veracity (Kejujuran)
Nilai ini bukan cuman dimiliki oleh perawat namun harus dimiliki oleh seluruh
pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setia klien untuk
meyakinkan agar klien mengerti. Informasi yang diberikan harus akurat,
komprehensif, dan objektif. Penulis akan menggunakan kebenaran yang merupakan
dasar membina hubungan saling percaya. lansia memiliki otonomi sehingga mereka
berhak mendapatkan informasi yang ia ingin tahu dari penulis.
6. Fidelity (Menepati Janji)
Tanggung jawab besar seorang perawat adalah meningkatkan kesehatan, mencegah
penyakit, memulihkan kesehatan, dan meminimalkan penderitaan. Untuk mencapai itu
penulis harus memiliki komitmen menepati janji dan menghargai komitmennya
kepada orang lain.
7. Confidentiality (Kerahasiaan)
Penulis akan menjaga informasi tentang lansia Dokumentasi tentang keadaan
kesehatan lansia hanya bisa dibaca guna keperluan pengobatan dan peningkatan
kesehatan lansia. Diskusi tentang pasien diluar area pelayanan harus dihindari.
8. Accountability (Akuntabilitasi)
Akuntabilitas adalah standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat
dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanda tekecuali. Penulis menggunakan
prinsip ini untuk memberikan jawaban kepada otoritas yang lebih tinggi atas tindakan
yang telah diberikan oleh penulis kepada pasien. Masalah etika penelitian
keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, mengingat
penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia maka segi penelitian
harus diperhatikan. Masalah etika penelitian yang harus diperhatikan adalah sebagai
berikut:
9. Anonimity (Tanpa Nama)
Merupakan etika dalam penelitian keperawatan dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode
pada lembar pengumpulan data atau hasil laporan yang disajikan.
10. Kerahasiaan (Confidentiality)
42

Merupakan etika dalam penelitian untuk menjamin kerahasiaan dari hasil laporan baik
informasi maupun masalah-masalah lainnya, semua informasi yang telah
dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh penulis, hanya kelompok data tertentu
yang dilaporkan pada hasil laporan.
70

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil dari pengumpulan data dan pembahasaan maka
penulis menyimpulkan secara umum sebagai berikut:
1. Pengkajian keperawatan
Hasil dari pengkajian menunjukkan bahwa kedua subyek masuk
dengan diagnosa stroke non hemoragik, dengan masalah keperawatan
gangguan mobilitas fisik. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan bahwa
kedua subyek memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas
dikarenakan adanya kelemahan anggota gerak dan hambatan
komunikasi. Hal tersebut sesuai dengan teori yang ada bahwa efek yang
mungkin terjadi akibat stroke dapat berupa paralisis, defisit fungsi
kognitif, defisit bahasa, defisit emosional dan rasa sakit. Gangguan
aliran darah otak akibat stroke dapat merusak jalur motorik ini,
rusaknya jalur motorik ini menyebabkan pasien stroke mengalami
disfungsi motorik hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi tubuh) atau
hemiparesis (kelemahan yang terjadi pada satu sisi tubuh). Disfungsi
motorik ini menyebabkan pasien stroke mengalami kemunduran fungsi
mobilitas, keterbatasan kemampuan melakukan motorik halus dan
motorik kasar.

2. Masalah Keperawatan
Masalah keperawatan yang penulis angkat pada laporan tugas akhir
ini pada kedua subyek asuhan adalah gangguan mobilitas fisik yang
berhubungan dengan hemiplegia.

3. Rencana Keperawatan
Berdasarkan data yang diuraikan sebelumnya, rencana keperawatan
yang dilakukan pada kedua subyek asuhan disusuan dari berbagai
sumber teori yang telah dikemukaan oleh penulis pada BAB II dan

70
71

diberikan rencana keperawatan yang komprehensif dengan


Memfokuskan pada masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik
tanpa mengabaikan masalah keperawatan yang lainnya.

4. Implementasi
Implementasi yang dilakukan sesuai dengan rencana yang disusun
dan diberikan kepada kedua subyek asuhan selama tiga hari berturut-
turut.

5. Evaluasi
Berdasarkan data setelah diberikan rencana dan implementasi
keperawatan, didapatkan hasil atau evalusi sebagai berikut:
Hasil pada subyek asuhan 1 :
a. Tidak tampak tanda-tanda adanya kontraktur sendi.
b. Pada saat awal pengkajian klien belum mengerti tentang gerakan
ROM yang benar. Sehingga klien belum mampu melakukan gerakan
aktif
c. Tidak terjadi peningkatan kekuatan otot. Namun, klien mampu
melakukan gerak aktif yang diajarkan.
d. Klien menunjukan adanya kemampuan tindakan untuk
meningkatkan mobilitas dengan cara mengubah posisi miring kanan
atau kiri, dan melakukan gerak aktif pada ekstremitas yang sakit.
e. Klien mampu ikut serta dalam program latihan gerak aktif untuk
ekstremitas yang mengalami kelemahan.

Hasil pada subyek asuahn 2 :


a. Tidak tampak adanya tanda-tanda kontraktur sendi
b. Belum nampak adanya peningkatan kekuatan otot ataupun
menunjukan pergerakan pada ekstremitas kiri selama tindakan
asuhan keperawatan
c. Klien belum mampu untuk ikut serta dalam program latihan gerak
pasif
72

B. Saran
1. Saran Teoritis
a. Menerapkan asuhan keperawatan pada klien stroke nonhemoragik
dengan masalah gangguan mobilitas fisik secara benar, tepat dan
sesuai dengan standar keperawatan secara professional.
b. Menghasilkan asuhan keperawatan yang bervariasi dan
komprehensif dalam asuhan keperawatan klien stroke
nonhemoragik dengan masalah gangguan mobilitas fisik.
c. Mempublikasikan hasil asuhan terkait pada klien stroke
nonhemoragik dengan masalah gangguan mobilitas fisik guna
perkembangan asuhan keperawatan.
2. Saran Aplikatif
a. Bagi Perawat
Diharapkan dengan adanya laporan tugas akhir ini perawat dapat
meningkatkan pemberian asuhan khususnya pada klien stroke
nonhemoragik dengan masalah gangguan mobilitas fisik guna
mencegah terjadinya kecacatan dan meningkatkan kemampuan
mobilitas klien.
b. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan Rumah Sakit Ahmad Yani khususnya Ruang Syaraf
mampu memberikan asuhan keperawatan secara fokus pada klien
stroke nonhemoragik dengan masalah gangguan mobilitas fisik
c. Bagi Akademik
Diharapkan dengan adanya laporan ini dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan kepada semua civitas akademika Poltekkes
Tanjungkarang khususnya Jurusan Keperawatan
d. Bagi Klien dan Keluarga
Diharapkan dengan adanya laporan ini klien dan keluarga penderita
penyakit stroke nonhemoragik dengan masalah gangguan mobilitas fisik
mampu merawat keluarga dirumah untuk mencegah terjadinya rawat ulang
kembali.
73

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. (2017, March 7). Heart Disease and Stroke
Statistic 2017 Update. American Heart Association, Inc.

Cahyati, Y., Hastono, S. P., & Nurachmah, E. (2013, March). Perbandingan


Peningkatan Kekuatan Otot Pasien Hemiparese Melalui Latihan Range of
Motion Unilateral dan Bilateral. Ttasikmalaya: Poltekkes Kemenkes
Tasikmalaya

Doengoes, Marilynn E. 2013. Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC

Haswita & Reni S. 2017. Kebutuhan Dasar Manusia untuk mahasiswa


keperawatan dan kebidanan. Jakarta: CV.Trans Info Media
Kemenkes RI. (2014). Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia

Mubarak, W. I., & Chayatin, N. (2008). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta:


ECG

Muttaqin, A. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

NANDA. (2015). Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &


NANDA. Jakarta: Mediaction.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta.

Pradana, M. D. (2016). Upaya Peningkatan Mobilitas Fisik Pada Pasien


Stroke Nonhemoragik di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta

RSUD Jend. A. Yani Metro. (2017). Dipetik Februari 2017, dari Pemerintah
Daerah Kota Metro RSUD Jend. Ahmad Yani Kota Metro:
http://rsuay.metrokota.go.id/10-besar-penyakit-rawat-inap-rsud-jend-a-yani-metro-
semester-1-tahun-2017/

Sari, S. H., Agianto, & Wahid, A. (2015, March). Batasan Karakteristik Dan
Faktor Yang Berhubungan (Etiologi) Diagnosa Keperawatan: Hambatan
Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat

SDKI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan


Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat.

Tiyani, S. (2016). Peran Tenaga Perawat Dalam Mencegah Serangan Ulang


Stroke. Jambi: Universitas Jambi

Anda mungkin juga menyukai