DISUSUN OLEH :
JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nyeri merupakan alasan paling umum bagi pasien untuk datang ke tempat
perawatan kesehatan dan melakukan pengobatan terhadap diri sendiri. Menurut
The International Association for the Study of Pain, nyeri dapat digambarkan
sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenangkan yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan atau potensial menyebabkan kerusakan
jaringan. Pada dasarnya nyeri merupakan reaksi fisiologis yang disebabkan oleh
reaksi protektif terhadap tubuh untuk menghindari stimulus yang membahayakan.
Nyeri dapat disebabkan karena adanya kerusakan jaringan dalam tubuh sebagai
akibat dari adanya cedera, kecelakaan, maupun tindakan medis seperti operasi
(1,2).
Dari segi waktu berjalannya penyakit, nyeri digolongkan menjadi dua yaitu
nyeri akut dan nyeri kronik. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda
sehingga terapi yang digunakan pun berbeda. Nyeri kronis merupakan nyeri yang
dapat berlangsung tiga bulan atau lebih tanpa diketahui penyebabnya dan
mempengaruhi aktivitas normal pasien sehari-hari, sedangkan nyeri akut
merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang serta
berlangsung tidak lebih dari 6 bulan (3).
Pada umumnya hampir semua orang pernah merasakan nyeri/sakit. Rasa
nyeri/sakit merupakan salah satu gejala dari banyak penyakit yang memerlukan
penanganan secepat mungkin dengan menggunakan obat antinyeri (analgesik). Hal
tersebut memicu peningkatan penggunaan obat analgesik secara swamedikasi
(pengobatan sendiri tanpa konsultasi dokter), sehingga memiliki korelasi positif
terjadinya kesalahan penggunaan obat tidak diinginkan (3).
Saat ini penggunaan analgesik oleh masyarakat semakin tinggi baik melalui
resep ataupun over the counter (OTC). Obat analgesik sering disalahgunakan
ataupun digunakan kurang tepat karena kurangnya pelayanan informasi obat serta
cenderung tidak dilakukan oleh tenaga kefarmasian. Kesalahan penggunaan obat
dapat mengakibatkan timbulnya reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) hingga
dapat menyebabkan pasien masuk rumah sakit dan membutuhkan pengobatan
yang lebih serius sehingga biaya kesehatan akan bertambah besar. Oleh karena itu,
tenaga kefarmasian harus memberikan pelayanan informasi obat yang rasional
meliputi: tepat obat, tepat dosis, tepat indikasi, tepat cara pemakaian dan waspada
efek samping, serta biaya terjangkau kepada pasien sehingga dapat menekan biaya
pengobatan dan diperoleh hasil terapi yang optimal (4).
B. PERUMUSAN MASALAH
Penyalahgunaan penggunaan analgesik dikalangan masyarakat semakin hari
semakin meningkat, hal ini disebabkan karena minimnya pelayanan informasi obat
yang diberikan tenaga kefarmasian kepada pasien sehingga dapat menimbulkan
reaksi obat tidak diinginkan. Oleh karena itu, perumusan masalah dalam makalah
ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan nyeri?
2. Bagaimana tingkatan nyeri pada pasien?
3. Bagaimana tatalaksana pengobatan nyeri?
4. Bagaimana peran Apoteker dalam memberikan konseling, informasi, dan
edukasi tentang nyeri kepada pasien?
C. TUJUAN
1. Mengetahui definisi nyeri
2. Mengetahui tingkatan nyeri pada pasien
3. Memahami tatalaksana pengobatan nyeri
4. Mengetahui peran Apoteker dalam memberikan konseling, informasi,
dan
edukasi tentang nyeri kepada pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan, bersifat sangat
subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda dalam hal skala maupun
tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau
mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Tetty, 2015). Nyeri merupakan
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan sebagai akibat dari
kerusakan jaringan yang actual dan potensial, yang menyakitkan tubuh serta
diungkapkan oleh individu yang mengalaminya. Ketika suatu jaringan mengalami
cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan-bahan yang dapat
menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamine, ion kalium, bradikinin,
prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier dkk,
2009).
Nyeri merupakan fenomena multidimensional sehingga sulit untuk
didefinisikan. Nyeri merupakan pengalaman personal dan subjektif, dan tidak ada
dua individu yang merasakan nyeri dalam pola yang identik. Nyeri dapat
didefinisikan dengan berbagai cara. Nyeri biasanya dikaitkan dengan beberapa jenis
kerusakan jaringan, yang merupakan tanda peringatan, namun pengalaman nyeri
lebih dari satu. International Association for the Study of Pain (IASP) memberikan
definisi medis nyeri yang sudah diterima sebagai pengalaman sensori dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan, actual ataupun
potensial, atau digambarkan sebagai kerusakan yang sama.
B. Klasifikasi nyeri
1. Berdasarkan waktu durasi
a. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau
intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang
bervariasi (ringan sampai berat), dan berlangsung untuk waktu yang singkat.
Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan akan menghilang
tanpa pengobatan setelah area yang rusak pulih kembali. Pada penelitian ini
termasuk nyeri akut karena nyeri pemasangan infus adalah nyeri yang
berdurasi singkat atau kurang dari enam bulan.
3. Berdasarkan Etiologi
a. Nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif rangsangan timbul oleh mediator nyeri, seperti pada trauma
pasca operasi dan luka bakar
b. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik rangsangan timbul akibat kerusakan saraf atau disfungsi
saraf yang disebabkan oleh penyakit lain misalnya diabetes melitus, herpes
zoster.
C. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
1. Usia
Usia merupakan hal yang terpenting dalam mempengaruhi nyeri pada individu.
Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan prosedur
yang dilakukan perawat yang menyebabkan nyeri, sedang pada lansia untuk
menginterpretasi nyeri dapat mengalami komplikasi dengan keberadaan berbagai
penyakit disertai gejala samar-samar yang mungkin mengenai tubuh yang sama
(Potter & Perry, 2006).
2. Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon
terhadap nyeri, toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh factor-faktor biokimia
tanpa memperhatikan jenis kelamin (Nugroho, 2010).
3. Kebudayaan
Individu mempelajari apa yang diharapkan dan diterima oleh kebudayaan
mereka, hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry,
2006).
4. Makna nyeri
Dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu yang akan
mempersepsikan nyeri secara berbeda-beda.
5. Perhatian
Perhatian yang meningkat dikaitkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan
upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.
6. Ansietas
Seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan
suatu perasaan ansietas, pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan
ansietas, sulit untuk memisahkan dua sensasi.
7. Keletihan
Rasa lelah menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping.
8. Pengalaman
Klien yang tidak pernah merasakan nyeri, maka persepsi pertama nyeri dapat
mengganggu koping terhadap nyeri.
9. Gaya koping
Klien yang memiliki focus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai
individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu
peristiwa, seperti nyeri (Potter & Perry 2006).
10.Dukungan sosial dan keluarga
Klien dari kelompok sosio-budaya yang berbeda memiliki harapan yang berbeda
tentang orang, tempat mereka menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri,
klien yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau
teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Apabila
tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien
semakin tertekan (Potter & Perry 2006).
D. Tanda dan Gejala Nyeri
Tanda dan gejala nyeri ada bermacam–macam perilaku yang tercermin dari pasien.
Secara umum orang yang mengalami nyeri akan didapatkan respon psikologis
berupa :
1. Suara: Menangis, merintih, menarik/menghembuskan nafas
2. Ekspresi wajah: Meringis menahan rasa sakit
3. Menggigit lidah, mengatupkan gigi, dahi berkerut, tertutup rapat/membuka mata
atau mulut, menggigit bibir
4. Pergerakan tubuh: Kegelisahan, mondar –mandir, gerakan menggosok atau
berirama, bergerak melindungi bagian tubuh, immobilisasi, otot tegang.
5. Interaksi sosial: Menghindari percakapan dan kontak sosial,berfokus aktivitas
untuk mengurangi nyeri, disorientasi waktu (Mohamad, 2012)
E. Patofisiologi Nyeri
Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi maupun
rendah seperti perenggangan dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami
nekrotik akan merilis K + dan protein intraseluler. Peningkatan kadar K + ekstra
seluler akan menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa
keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan/
inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin
E2, dan histamin yang akan merangasang nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya
dan tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia).
Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin
dan serotonin akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi
pembuluh darah maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K
+ekstraseluler dan H + yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin,
bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan
meningkat dan juga terjadi perangsangan nosiseptor. Bila nosiseptor terangsang
maka mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitoningen terkait peptida
(CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan
vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Vasokonstriksi
(oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab untuk
serangan migrain . Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri.
(Silbernagl & Lang,2000)
Gambar. Mekanisme Nyeri
F. Pengkajian Nyeri
1. Subyektif (self report)
a. NRS (Numeric Rating Scale)
Merupakan alat penunjuk laporan nyeri untuk mengidentifikasi tingkat nyeri
yang sedang terjadi dan menentukan tujuan untuk fungsi kenyamanan bagi
klien dengan kemampuan kognitif yang mampu berkomunikasi atau
melaporkan informasi tentang nyeri (Kuntono, 2011).
2. Obyektif
Pada pasien yang tidak dapat mengkomunikasikan rasa nyerinya, yang perlu
diperhatikan adalah perubahan perilaku pasien. CPOT (Critical Care Pain
Observation Tool) dan BPS (Behavioral Pain Scale) merupakan instrument yang
dapat digunakan untuk menilai adanya perubahan perilaku tersebut.
a. Behavioral pain scale (BPS)
BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada prosedur
yang menyakitkan seperti tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. BPS
terdiri dari tiga penilaian yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas, dan
komplians dengan mesin ventilator. Setiap sub skala di skoring dari 1 (tidak
ada respon) hingga 4 (respon penuh). Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak
nyeri) hingga 12 (nyeri maksimal). Skor BPS sama dengan 6 atau lebih
dipertimbangkan sebagai nyeri yang tidak dapat diterima (unacceptable
pain) (Kuntono, 2011).
Tabel The Behavioral Pain Scale (BPS)
b. Critical care pain observation tool (CPOT)
CPOT dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi antara lain: mengalami
penurunan kesadaran dengan GCS >4, tidak mengalami brain injury,
memiliki fungsi motoric yang baik. CPOT terdiri dari empat domain yaitu
ekspresi wajah, pergerakan, tonus otot dan toleransi terhadap ventilator atau
vokalisasi 9 pada pasien yang tidak menggunakan ventilator). Penilaian
CPOT menggunakan skor 0-8, dengan total skor ≥ 2 menunjukkan adanya
nyeri (Kuntono, 2011).
Tabel Critical Care Pain Observation Tool (CPOT)
Indikator kondisi Skor Keterangan
Tidak ada
Rileks 0
ketegangan otot
Mengerutkan
Ekspresi Wajah Kaku 1
kening
Menggigit selang
Meringis 2
ETT
Tidak Ada
Gerakan 0 Tidak bergerak
Gerakan
G. Golongan Obat
1. Analgesik Opioid
2. Analgesik Non-Opioid
Masyarakat menggunakan obat analgesik untuk mengurangi atau menekan rasa
nyeri. Obat - obat analgesik yang biasanya digunakan oleh masyarakat adalah
golongan obat analgesik yang berjenis nonopioid seperti NSAID serta
parasetamol karena obat analgesik golongan nonopioid tidak bersifat adiktif
seperti obat analgesik golongan opioid (1). Obat analgesic non-opioid yang
sering digunakan adalah Paracetamol, berikut merupakan penjelasan mengenai
paracetamol:
a. Nama Sediaan (2)
1) Biogesic
Tablet : 500 mg
Sirup : 150 mg/ 5 mL
2) Bodrex
Tablet : 500 mg
3) Bodrexin
Sirup : 160 mg/5 mL
4) Sanmol
Sirup : 120 mg/ 5 mL, 250mg/5ml
Tablet : 500 mg
Drop : 60mg/0,6 ml
b. Mekanisme Kerja
Parasetamol efektif dalam menghambat sintesis prostanoid pada sel endotel
vaskular dan neuron yang memiliki HETEs basal yang rendah,sehingga
mampu memberi efek antipiretik dan analgesik dengan menghambat
produksi prostaglandin di lokasi tersebut. Pada target supraspinal akan
mengaktivasi jalur bulbospinal serotoninergik yang berperan dalam modulasi
nyeri, dimana pada tahap akhir memberikan efek analgesik (3).