A. Definisi
Gigitan ular adalah suatu keadan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa. Bisa ular adalah
kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek fisiologik yang luas atau bervariasi. Yang
mempengaruhi sistem multiorgan, terutama neurologik, kardiovaskuler, dan sistem pernapasan.
(Suzanne Smaltzer dan Brenda G. Bare, 2001: 2490)
.
B. Etiologi
Secara garis besar ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:
- Colubridae (Mangroce cat snake, Boiga dendrophilia, dan lain-lain)
- Elapidae (King cobra, Blue coral snake, Sumatran spitting cobra, dll)
- Viperidae (Borneo green pit viper, Sumatran pit viper , dan lain-lain).
C. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang umum ditemukan pada pasien bekas gigitan ular adalah :
- Tanda-tanda bekas taring, laserasi
- Bengkak dan kemerahan, kadang-kadang bulae atau vasikular
- Sakit kepala, mual, muntah
- Rasa sakit pada otot-otot, dinding perut
- Demam
- Keringat dingin
D. Patofisiologi
Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut bersifat:
- Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena paralise otot-otot
lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat
kesadaran menurun sampai dengan koma.
- Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau
menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat
lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus
berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal.
- Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan dengan haemotoksin.
Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel
otot.
- Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
-
terganggunya kardiovaskuler.
- Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat
patukan
- Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa
E. Pathway
F. Komplikasi
a. Syokhipovolemik
b. Edema paru
c. Kematian
d. Gagal napas
Derajat 0
Derajat I
Derajat II
Derajat III
Derajat IV
H. Pemeriksaan penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang gigitan ular antara lain :
a. Pemeriksaan laboratorium dasar,
b. Pemeriksaaan kimia darah,
c. Hitung sel darah lengkap,
d. Penentuan golongan darah dan uji silang,
e. Waktu protrombin,
f. Waktu tromboplastin parsial,
g. Hitung trombosit,
h. Urinalisis,
I. Kegawatan
a. Pertolongan pertama, jangan menunda pengiriman ke rumah sakit. Apabila penanganan medis
tersedia dalam beberapa jam, satu-satunya tindakan dilapangan adalah immobilisasi pasien dan
pengiriman secepatnya. Jika penanganan lebih dari 3-4 jam dan jika envenommasi sudah pasti,
melakukan pemasangan torniket limfatik dengan segera dan insisi dan penghisapan dalam 30
menit sesudah gigitan, immobilisasi, dan pengiriman secepatnya, lebih baik pada suatu usungan,
merupakan tindakan yang paling berguna. Bila memungkinkan, pertahankan posisi ekstremitas
setinggi jantung. Jika dapat dikerjakan dengan aman, bunuhlah ular tersebut untuk identifikasi.
b. Lakukan evaluasi klinis lengkap dan pesanlah untuk pemeriksaan laboratorium dasar, hitung
sel darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protombin, waktu
tromboplastinparsial, hitung trombosit, urinalisis, dan penentuan kadar gula darah, BUN, dan
elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah,
waktu pembekuan, dan waktu retraksi bekuan.
c. Derajat envenom masih harus dinilai, dan observasi 6 jam untuk menghindari penilaian keliru
dan envenomasi yang berat.
d. Mulai larutan salin IV pada semua pasien; berikan oksigen, dan tangani syok jika ada.
e. Pertahan kan posisi ekstremitas setinggi jantung; turniket di lepas hanya bila syok sudah
diatasi dan antibiotik bisa diberikan.
f. Beberapa sumber menganjurkan eksplorsi bedah dini untuk menentukan kedalaman dan
jumlah jaringan yang rusak.
DAFTAR PUSTAKA
Nana,Sufyan.2012.Askepgigitan
(online)http://sufyannana.blogspot.com/2012/12/askep-gigitan-ular.html,
ular,
diakses
Oktober
pada
10
2014.
KONSEP
1.
DASAR
PENYAKIT
Pengertian
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Daya toksin bias ular
tergantung pula pada jenis dan macam ular. Racun binatang adalah merupakan campuran dari
berbagai macam zat yang berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda
pada
manusia.
Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu organ ; beberapa mempunyai efek pada
hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang
dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun tergantung dari
bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut bersifat ofensif yang bertujuan
melumpuhkan mangsanya;sering kali mengandung factor letal. Racun ekor bersifat defensive
dan bertujuan mengusir predator; racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit
jaringan.
2.
Penyebab
Karena gigitan ular yang berbisa, yang terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae,
Hidrophidae, dan Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan local, seperti edema dan
pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan local, tetapi tetap dilokasi pada anggota
badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam
waktu 8 jam . Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada 2 macam :
a.
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine ( dinding
sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus
selaput lendir hidung, tenggorokan atau dapat juga pada pori-pori kulit seluruh tubuh.
Pendarahan alat dalam tubuh dapat kita lihat pada air kencing (urine) atau hematuria, yaitu
pendarahan melalui saluran kencing. Pendarahan pada alat saluran pencernaan seperti usus dan
lambung dapat keluar melalui pelepasan (anus). Gejala hemorrhage biasanya disertai keluhan
pusing-pusing kepala, menggigil, banyak keluar keringat, rasa haus,badan terasa lemah,denyut
nadi kecil dan lemah, pernapasan pendek, dan akhirnya mati.
5. Komplikasi
a. Syok hipovolemik
b. Edema paru
c. Kematian
d. Gagal napas
6. Pemeriksaan penunjang / diagnostic
Pemeriksaan laboratorium dasar, Pemeriksaaan kimia darah, Hitung sel darah lengkap,
penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial,hitung
trombosit, urinalisis, dan penentuan kadar gula darah, BUN, dan elektrolit. Untuk gigitan yang
hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu pembekuan, dan waktu
retraksi bekuan.
7. Penatalaksanaan Medik
a. Pertolongan pertama, jangan menunda pengiriman kerumah sakit. Apabila penanganan medis
tersedia dalam beberapa jam, satu-satunya tindakan dilapangan adalah immobilisasi pasien dan
pengiriman secepatnya. Jika penanganan lebih dari 3-4 jam dan jika envenomasi sudah pasti,
melakukan pemasangan torniket limfatik dengan segera dan insisi dan penghisapan dalam 30
menit sesudah gigitan, immobilisasi, dan pengiriman secepatnya, lebih baik pada suatu usungan,
merupakan tindakan yang paling berguna. Bila memungkinkan, pertahankan posisi ekstremitas
setinggi jantung. Jika dapat dikerjakan dengan aman, bunuhlah ular tersebut untuk identifikasi.
b. Lakukan evaluasi klinis lengkap dan pesanlah untuk pemeriksaan laboratorium dasar, hitung
sel darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protombin, waktu
tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis, dan penentuan gadar gula darah, BUN, dan
elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah,
waktu pembekuan, dan waktu retraksi bekuan.
c. Derajat envenomasi harus dinilai, dan observasi 6 jam untuk menghindari penilaian keliru dan
envenomasi yang berat.
d. Mulai larutan salin IV pada semua pasien; berikan oksigen, dan tangani syok jika ada.
e. Pertahankan posisi ekstremitas setinggi jantung; turniket di lepas hanya bila syok sudah
diatasi dan anti bisa diberikan.
f. Beberapa sumber menganjurkan eksplorsi bedah dini untuk menentukan kedalaman dan
jumlah jaringan yang rusak.
B.
1.
Pengkajian
Gejala tak segera muncul tetapi 15 menit sampai 2 jam kemudian setelah korban digigit ular.
Kondisi korban setelah digigit :
a. Reaksi emosi yang kuat, penglihatan kembar, mengantuk
2.
Diagnosa Keperawatan
3. Rencana Tindakan
a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan reaksi endotoksin
Intervensi :
- Auskultasi bunyi nafas
- Pantau frekuensi pernapasan
- Atur posisi klien dengan nyaman dan atur posisi kepala lebih tinggi
- Motivasi / Bantu klien latihan nafas dalam
- Observasi warna kulit dan adanya sianosis
- Kaji adanya distensi abdomen dan spasme otot
- Batasi pengunjung klien
- Pantau seri GDA
- Bantu pengobatan pernapasan (fisioterapi dada)
- Beri O2 sesuai indikasi (menggunakan ventilator)
c. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh tak adekuat
Intervensi :
- Berikan isolasi atau pantau pengunjung sesuai indikasi
- Cuci tangan sebelum dan sesudah aktivitas terhadap klien
- Ubah posisi klien sesering mungkim minimal 2 jam sekali
-Batasi penggunaan alat atau prosedur infasive jika memungkinkan
- Lakukan insfeksi terhadap luka alat infasif setiap hari
- Lakukan tehnik steril pada waktu penggantian balutan
- Gunakan sarung tangan pada waktu merawat luka yang terbuaka atau antisipasi dari kontak
langsung dengan ekskresi atau sekresi
- Pantau kecenderungan suhu mengigil dan diaforesis
- Inspeksi flak putih atau sariawan pada mulut
- Berikan obat antiinfeksi (antibiotic)
4.
Evaluasi
a. Menunjukan GDA dan frekuensi dalam batas normal dengan bunyi nafas vesikuler
b. Tidak mengalami dispnea atau sianosis
c. Mendemontrasikan suhu dalam batas normal
d. Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan
e. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
DAFTAR PUSTAKA
Anonym.http://www.scribd.com/doc/33696167/LAPORAN-PENDAHULUAN-ICU
Daley eMedicine Snakebite : Article by Brian James, MD, MBA, FACS, 2006 available at
URL : http://www.emedicine.com/med/topic2143.htm
Hafid, Abdul, dkk., editor : Sjamsuhidajat,R. dan de Jong, Wim, Bab 2 : Luka, Trauma, Syok,
Bencana., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta, Mei 1997. Hal. 99-100. 2.
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Gigitan ular adalah suatu keadan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa.
Bisa ular adalah kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek fisiologik yang luas atau
bervariasi. Yang mempengaruhi sistem multiorgan, terutama neurologik, kardiovaskuler, dan
sistem pernapasan.
(Suzanne Smaltzer dan Brenda G. Bare, 2001: 2490)
Ular berbisa dapat dibagi menurut reaksi bisanya yaitu:
1. Neurotoksik
2. Hemolitik
3. Neurotoksik dan hemolitik
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus
juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi,
yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu
modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang
mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
B. Macam-Macam Ular
1. Ular jenis Neurotoksik
Ular yang tergolong berbisa neurotoksik ialah keluarga Epiladae yaitu: ular kobra, ular
kraits, dan ular karang.
Gejala yang ditimbulkan :
1. Jantung berdenyut tak teratur, diikuti dengan kelemahan seluruh badan dan berakhir dengan
syok
2. Sakit kepala hebat, pusing, mengigau, pikiran terganggu sehingga tidak sadar
3. Otot tidak terkordinasi, sehingga tidak dapat mengambil atau memindahkan benda kecil
4. Sesak nafas karena terjadi kelumpuhan pernapasan
5. Mual, muntah dan mencret
2. Ular jenis Hemolitik
Ular jenis hemolitik termasuk dalam keluarga Krotaluidae, sering disebut juga keluarga
pit viper yaitu Rattelesnaker (crotalus), ular Copperhead (Angkis-Trodon)
Gejala yang ditimbulkan
1. Daerah yang digigit dalam waktu 3-5 menit akan membengkak hebat dan terjadi ganggren.
Hal ini disebabkan ular itu selalu mengeluarkan racun dan enzim proteolitik.
2. sakit yang hebat di daerah gigitan
3. daerah yang dihancurkan menembus dinding pembuluh lalu berkumpul di jaringan sekitarnya
4. Sakit kepala hebat dan haus
5. Terjadinya perdarahan dalam usus dan ginjal sehingga terjadi melena dan hematuria.
3. Ular Jenis Neurotoksik dan Hemolitik
Ular laut tergolong pada jenis neurotoksik dan hemolitik.
Tanda-tanda ular beracun:
1. diantara mata dan hidungnya terdapat cekungan.
2. Mempunyai 2 taring.
3. Pupil lonjong.
4. Dibawah ekornya terdapat sebaris lempengan.
beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam . Daya toksik bisa
ular yang telah diketahui ada 2 macam :
a.
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine ( dinding
sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender)
pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b.
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan- jaringan sel saraf sekitar luka gigitan
yang menyebabkan jaringan- jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar
luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya
mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf
pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limphe.
D. Patofisiologi
Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut bersifat:
Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena paralise otot-otot
lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat
kesadaran menurun sampai dengan koma.
Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau
menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat
lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus
berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal.
Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan dengan mhaemotoksin.
Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel
otot.
Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardiovaskuler.
Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat
patukan
Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa
E. Pathway
Bisa ular masuk ke dalam tubuh
Gangguan pernafasan
Gangguan pd sistem
kardiovaskuler
syok hipofolemik
Sistem pernafasan
Koagulapati hebat
Sukar bernafas
hipotensi
F. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang umum ditemukan pada pasien bekas gigitan ular adalah :
Efek sistemik
Gigitan ular ini akan menghasilkan efek yang non-spesifik seperti: nyeri kepala,mual dan
muntah, nyeri perut, diare sampai pasien menjadi kolaps. Gejalayang ditemukan seperti ini
sebagai tanda bahaya bagi petugas kesehatan untuk memberi petolongan segera.
3. Efek sistemik spesifik
Derajat I
Derajat II
Derajat III
Derajat IV
Prinsip Pengelolaan :
1.
2.
3.
Menetralkan bisa
4.
Mengobati komplikasi
Penatalaksanaan:
1.
Pertama kali yang ditangani adalah kondisi gawat yang mengancam nyawa ( prinsip
ABC) kesulitan bernafas memerlukan ETT (endo tracheal tube) dan ventilator. Gangguan
sirkulasi darah memerlukan cairan intra vena dan mungkin berbagai obat untuk menanggulangi
gejala yang timbul : nyeri, kesemutan, pembengkakan.
2.
3.
4.
Pasang intra venous line dengan jarum besar, berikan SABU 2 ampul / dalam 500 cc
Dextrose 5% / NaCL fisiologis, minimal 2000 cc per 24 jam. Maksimum pemberian SABU 20
ampul per 24 jam. Bila jenis ular yang mengigit diketahui dan ada SABU yang sesuai berarti
SABU monovalen diberikan, atau alternatif bila ular penggigit tidak diketahui dapat diberikan
bisa polivalen.
5.
Rawat /tutup luka dengan balutan steril dan salep / kasa antibiotic /antiseptic.
6.
pale)
7.
Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari pertolongan
medis jangan tinggalkan korban. selanjutnya lakukan prinsip :
R = Reassure
yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban, kepanikan akan menaikan tekanan
darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. terkadang pasien pingsan /
panik karena kaget.
I = Immobilisation
jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu
30 menit pertolongan medis tidak datang: lakukan tehnik balut tekan ( pressure-immoblisation )
pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut
tekan)
G = Get
Hematemesis /hemoptisis
Intervensi primer
Bebaskan jalan nafas bila ada sumbatan, suction kalau perlu
Beri O2, bila perlu Intubasi
Kontrol perdarahan, toniquet dengan pita lebar untuk mencegah aliran getah bening (Pita
dilepaskan bila anti bisa telah diberikan). Bila tidak ada anti bisa, transportasi secepatnya ke
tempat diberikannya anti bisa.
Catatan : tidak dianjurkan memasang tourniquet untuk arteriel dan insisi luka
Pasang infus
2. Secondary survey dan Penanganan Lanjutan :
Penting menentukan diagnosa patukan ular berbisa
Bila ragu, observasi 24 jam. Kalau gejala keracunan bisa nyata, perlu pemberian anti bisa
Kolaborasi pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein,
maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa
bersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular. Serum antibisa ini
hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal yang luas.
Bila alergi serum kuda :
- Adrenalin 0,5 mg/SC
- ABU IV pelan-pelan
Bila tanda-tanda laringospasme, bronchospasme, urtikaria hypotensi : adrenalin 0,5 mg/IM,
hydrokortison 100 mg/IV
Anti bisa diulang pemberiannya bila gejala-gejala tak menghilang atau berkurang. Jangan
terlambat dalam pemberian ABU, karena manfaat akan berkurang.
Kaji Tingkat kesadaran
Nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
Ukur tanda-tanda vital
B.
a.
Diagnosa Keperawatan
Pola
napas
tidak
efektif
berhubungan
dengan
reaksi
endotoksin
hipotalamus
c.Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh tak adekuat
d. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur
isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.
C. Intervensi Keperawatan
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh tak adekuat
Intervensi :
Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi untuk menurunkan
dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien menunjukkan tenang dan status mental
waspada, menunjukkan disosiasi kenyataan, yang juga merupakan mekanisme perlindungan.
Dorong pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.
Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk membuat beberapa
rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan
jawaban terbuka/jujur.
Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat membantu
pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang terjadi.
D. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Jika tujuan tidak
tercapai, maka perlu dikaji ulang letak kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa
yang ditemukan, serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
a.
Menunjukan GDA dan frekuensi dalam batas normal dengan bunyi nafas vesikuler
b.
c.
d.
e.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prinsip Pertolongan Pertama pada korban gigitan ular adalah, meringankan sakit, menenangkan
pasien dan berusaha agar bisa ular tidak terlalu cepat menyebar ke seluruh tubuh sebelum dibawa
ke rumah sakit. Pada beberapa tahun yang lalu penggunaan torniket dianjurkan. Seiring
berkembangannya ilmu pengetahuan kini dikembangkan metode penanganan yang lebih baik
yakni metode pembalut dengan penyangga. Idealnya digunakan pembalut dari kain tebal, akan
tetapi jika tidak ada dapat juga digunakan sobekan pakaian atau baju yang disobek menyerupai
pembalut. Metode ini dikembangkan setelah dipahami bahwa bisa menyebar melalui pembuluh
limfa dari korban. Diharapkan dengan membalut bagian yang tergigit maka produksi getah
bening dapat berkurang sehingga menghambat penyebaran bisa sebelum korban mendapat
ditangani secara lebih baik di rumah sakit
B.
Saran
Segera bawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Informasikan kepada dokter
mengenai penyakit yang diderita pasien seperti asma dan alergi pada obat obatan tertentu, atau
pemberian antivenom sebelumnya. Ini penting agar dokter dapat memperkirakan kemungkinan
adanya reaksi dari pemberian antivenom selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hugh A. F. Dudley (Ed), Hamilto Bailey, Ilmu Bedah, Edisi XI, Gajah Mada University Press,
1992
Diane C. Baugman, Joann C. Hackley, Medical Surgical Nursing, Lippincott, 1996
Donna D. Ignatavicius, at al., Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, 2nd
Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1991.
Susan Martin Tucker, at al., Standar Perawatan Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan
Evaluasi, Edisi V, Volume 2, EGC, Jakarta, 1998.
Joice M. Black, Esther Matassarin Jacobs, Medical Surgical Nursing : Clinical Management for
Contuinity of Care, 5th Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1997.
Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
1990
(Zulfikar. 2012. Askep Gigitan Ular, (Online)
http://zulfikar.blogspot.com/2012/12/askep-gigitan-ular.html,diakses27November 2012).
http://yafet-geu.blogspot.com .kumpulan askep gawat darurat.diakses 27November 2012
Luka adalah suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh yang terjadi akibat
Jejas gigit (Bite Mark) dapat berupa luka lecet tekan berbentuk garis lengkung
terputus-putus hematoma tau luka robek dengan tepi rata, luka gigitan umumnya masih
baik strukturnya sampai 3 jam pasca trauma, setelah itu dapat beruba bentuk akibat
elastisitas kulit (Mansjoer,2000)
-
Vulnus morsum merupakan luka yang tercabik-cabik yang dapat berupa memar yang
a.
Najabungarus (King Cobra), berwarna coklat hijau dan terdapat di Sumatra dan
Jawa
Najatripudrat sputatrix (Cobra Hitam, ular sendok) panjangnya sekitar 1,5 meter
Najabungarus Candida (Ular sendok berkaca mata) sangat berbahaya dan terdapat di
India
b. Famili Viperidae, terdiri dari :
c.
Famili Hydrophydae
2.
Gigitan Anjing, virus rabies yang bersifat neurotropik dan menyebabkan ensefalitis
virus serta infeksi melalui saliva dan gigitan anjing, kucing, rubah, srigala, kelelawar yang
menderita rabies
C.
1.
Manifestasi Klinik
Gigitan Ular
Pada gigitan ular family elapidae keluhan dan gejala berupa nyeri, edema, pitosis,
sengau, kelumpuhan lidah dan faring, mual, muntah, salivasi, hematuri, melena,
kelumpuhan leher dan kelumpuhan anggota gerak serta pernafasan
-
Gigitan ular family viperdae, keluhan dan gejalanya berupa nyeri, ekimosis, gagal
Gigitan ular hydrophydae, keluhan dan gejala berupa nyeri, kekakuan otot, nyeri
pada otot sampai pada 1 jam setelah gigitan, kelumpuhan otot, oftalmoplegi, disfagia,
mioglobinuri (3 sampai 6 jam setelah gigitan)
Klasifikasi keracunan akibat gigitan ular berbisa :
-
Derajat 0
Dengan tanda-tanda tidak keracunan, hanya ada bekas taring dan gigitan ular, nyeri
minimal dan terdapat edema dan eritema kurang dari 1 inci dalam 12 jam, pada umumnya
gejala sistemik yang lain tidak ada
-
Derajat 1
Terjadi keracunan minimal, terdapat bekas taring dan gigitan, terasa sangat nyeri dan
edema serta eritema seluas 1-5 inci dalam 12 jam, tidak ada gejala sistemik
-
Derajat 2
Terjadi keracunan tingkat sedang terdapat bekas taring dan gigitan, terasa sangat nyeri
dan edema serta eritemayang terjadi meluas antara 6-12 inci dalam 12 jam. Kadangkadang dijumpai gejala sistemik seperti mual, gejalaneurotoksi, syok, pembesaran kelenjar
getah beningregional
-
Derajat 3
Terdapat gejala keracunan yang hebat, bekas taring dan gigitan, terasa sangat nyeri,
edema dan eritema yang terjadi luasnya lebih dari 12 inci dalam 12 jam. Juga terdapat
gejala sistemik seperti hipotensi, petekhiae, dan ekimosis serta syok
-
Derajat 4
Gejala keracunan sangat berat, terdapat bekas taring dan gigitan yang multiple, terdapat
edema dan lokal pada bagian distal ekstremitas dan gejala sistemik berupa gagal ginjal,
koma sputum berdarah.
2.
Gigitan Anjing
Stadium Prodromal
Pada stadium ini gejalanya tidak spesifik, nyeri kepala, demam yang kemudian diikuti
dengan anoreksia, mual muntah, malaise, kulit hipersensitif, serak dan pembesaran
kelenjar limfe regional
-
berkeringat, gelisah oleh suara atau cahaya terang, salvias, insomnia, nervouseness,
spasme otot kerongkongan, tercekik, sukar menelan cairan atau ludah, hidrofobia, kejangkejang, kaku
-
kebingungan, sering kejang-kejang, inkontinensiaurin, stupor, koma, kelumpuhan otototot dan kematian.
D. Komplikasi
-
Gigitan ular, gejala sistemik berupa gagal ginnjal, syok dan koma dan bisa
menyebabkan kematian
-
E. Pemeriksaan Diagnostik
1.
Gigitan ular
Pada foto rontgen thoraks dapat dijumpai emboli paru dan atau edema paru
2. Gigitan anjing
- Diagnosis pada manusia ditegakkan dengan tes antibodi netraslisasi rabies yang positif
dan
- Diagnosis pada hewan ditegakkan dengan pemeriksaan otak secara otopsi. Pada otopsi
otak akan ditemukan badan inklusivirus (Negris bodies) didalam sel saraf
F. Penatalaksanan
a.
Gigitan ular
menghilangkan nyeri
Perawatan luka
-
Hindari kontak luka dengan larutan asam KmnO4, yodium, atau benda panas
Zat anestetik disuntikkan disekitar luka, jangan kedalam luka bila perlu pengeluaran
cairan/drip
3.
Obat lain
ATS 1500-3000 ui
Antibiotik
b. Gigitan anjing
1. Luka dibersihkan dengan sabun dan air berulang-ulang
2. Irigasi dengan larutan betadine, bila perlu lakukan debridement
3. Jangan melakukan anestesi infiltrasi local tetapi anestesi dengan cara blok atau umum
4. Balut luka secara longgar dan observasi luka 2 kali sehari
PATOFLOW
Etiologi vulnus morsum
( gigitan manusia, binatang,
dll )
Kerusakan kulit
Resti infeksi
Traumatik jaringan
Terputusnya kontinuitas
jaringan
Menstimulasi pengeluaran
neurotransmitter
(prostaglandin, histamine,
bradikinin, serotonin)
Serabut eferen
Medula spinalis
Korteks serebri
Serabut aferen
Perdarahan berlebih
Perpindahan cairan
intravaskuler ke
ekstravaskuler
Nyeri
Stress
Ansietas
Syok neurogenik
Gangguan pola
istirahat dan tidur
Aktifitas motorik terbatas
Gangguan mobilisasi
fisik
Defisit
perawatan diri
Pengkajian
B. Diagnosa keperawatan
1.
2.
Kekurangan volume cairan b.d anoreksia, nausea vomiting dan intake tidak adekuat
3.
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan selama perawatan , gangguan perfusi jaringan perifer tidak
terjadi dengan kriteria :
-
No
Intervensi
Rasional
1 Obsevasi warna, sensasi, gerakan nadiPembentukan odema dapat
perifer melalui dopler dan pengisiansecara
cepat
menekan
kapiler
pada
ekstremitas
luka,pembuluh darah sehingga
bandingakan dengan ekstremitas yangmempengaruhi sirkulasi
tidak sakit
2 Tinggikan eksteremitas yang sakit denganMeningkatkan
sirkulasi
tepat
sistemik atau aliran balik
vena dan dapat menurunkan
edema
3 Ukur TD
pada ekstremitas yang Dapat mengetahui secara
mengalami luka, lepaskan manset TDberkesinambungan TD dan
setelah mendapatkan hasil
menentukan intervensi yang
tepat,
dengan
dibiarkan
manset pada tempatnya dapat
meningkatkan pembentukan
edema
4 Dorong latihan gerak aktif pada bagianMeningkatkan sirkulasi local
tubuh yang tidak sakit
dan sistemik
5 Observasi nadi secara tertur
Disritmia
jantung
dapat
terjadi akibat perpindahan
elektrolit
Diagnosa 2
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan selama perawatan kebutuhan cairan terpenuhi dengan kriteria
:
-
3
4
Diagnosa 3
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keprawtan, nyeri berkurang dengan kriteria :
-
3
4
Rasional
Suhu dan gerakan udara
dapat menyebabbkan nyeri
pada pemajanan ujung saraf
Observasi keluhan nyeri, perhatikanPerubahan lokasi/ karakter/
lokasi atau karakter, intensitas
intersitas
nyeri
dapat
mengidentifikasi
terjadinya
komplikasi
Jelaskan prosedur/ berikan informasiDukungan
empati
dapat
setelah debridement luka
membantu mengurangi nyeri
atau meningkatkan relaksasi
Dorong ekspresi perasaan teentang nyeri Pernyataan
memungkinkan
pengungkapan emosi dan
dapat
meningkatkan
mekanisme koping
Dorong penggunaan tekhnik manajemenMemfokuskan
kembali
stress dan tekhnik relaksasi
perhatian dan meningkatkan
relaksasi
DAFTAR PUSTAKA
Aziz (2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.Salemba Medika : Jakarta
Brunner and suddarth. 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Edisi 8. Volume 1.
Jakarta : EGC
................................ 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta :
EGC
................................ 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta :
EGC
Cecily. L. Betz (2002). Buku Saku Keperawatan pediatrik. Edisi 3. Jakarta : ECG
Corwin. J. Elizabeth (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Doenges. Marilynn E. 2000. Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : EGC
Donna L Wong (2003). Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EGC
Gallo and hudak. 1997. Keperawatan kritis pendekatan holistik jilid 1. Jakarta : EGC
......................... 1997. Keperawatan kritis pendekatan holistik jilid 1. Jakarta : EGC
Halloway. Brenda. 2003. Rujukan Cepat Keperawatan Klinis. EGC : Jakarta
EGMansjoer. Arif. 2000. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta : EGC
Nelson (1999). Ilmu Kesehatan Anak.Edisi 14. Jakarta : EGC
Ngastiyah (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Oman. Kathleen.2008. Panduan Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Purwandianto.Agus. 1979. Kedaruratan Medik Pedoman Penatalaksanaan praktis edisi 3. PT
Bina Rupa Aksara: Jakarta
Sumiardi. 1995. Bedah Minor. Hipocrates: Jakarta
Sylvia. A. 1997. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta : EGC
Tambunan. 1990. Buku panduan penatalaksanaan gawat darurat. Fakultas kedokteran
universitas indonesia. Jakarta
Tantowo. 2007. Keperawatan medikal bedah, gangguan sistem pernafasan. Sagung seto.
Jakarta
Tim Training dan Tim Pengkaji Medis Internasional SOS. 2008. PPGD (Pertolongan
Pertama Gawat Darurat) Level 2. International SOS Training Departement: Jakarta
Patofisiologi
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut
menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai system. Seperti,
sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan.
Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang
berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada saluran
pernapasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat
mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan dapat mengakibatkan syok
hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas.
Pathway
- Sukar bernapas
- Bisa ular masuk ke dalam tubuh
- Daya toksik menyebar melalui peredaran darah
- Gangguan system
- Neuroligist
- Gangguan system
- Kardiovaskuler
- Gangguan system
- Pernapasan
- Oedema pada saluran pernapasan
- Toksik masuk pembuluh darah
- Koagulopati hebat
- Hipotensi
- Gagal napas
b.
Gigitan Viperidae/Crotalidae
Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di
dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
2) Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam.
3) Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2
jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c. Gigitan Hydropiidae
Misalnya, ular laut, cirinya:
1.
Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2.
Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang
ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti
jantung.
d. Gigitan Crotalidae
Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1.
daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae antivenin.
2.
Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori:
a. Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa
sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat
berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar
sisi gigitan luka.
b.
Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat
menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen. Korban
dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka yang lama.
Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan kematian.
c. Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada sistem
saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat menghentikan otototot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat
menderita masalah visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan kesemutan.
d. Kematian otot, bisa dari russells viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa
elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa area
tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba menyaring
protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
e. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata
korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada mata
SNAKEBITE
Disusun Oleh
Muhammad Akbar
1.
Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat
diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%)
adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein nontoksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu
enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam
bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma
venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan
trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam
jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya
rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang
bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel
vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase,
kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006)
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5
nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini
menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis
atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar
sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998)
Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti
neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan,
kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang
jaringan untuk menghasikan zat zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat
lambat (Sudoyo, 2006).
2.
Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira kira ratusan
jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa
yang berbahaya bagi manusia. (de Jong, 1998)
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar
250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli
utama yaitu:
Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai
Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo
Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu
rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:
Ciri ciri ular tidak berbisa:
Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia
adalah jenis ular :
tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan
kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra,
ular laut.
Neurotoksin pascasinaps seperti -bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin
pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti -bungarotoxin, crotoxin, taipoxin
dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada
neuromuscular junction.
Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara
spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.
3.
Patofisiologi
Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini disimpan
di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa
yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan
yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas
dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan.
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease,
colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin
terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah
(1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan
mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk
efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim
trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan
menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik (Warrell,2005).
4.
Gejala klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jarinagan yang luas dan hemolisis. Gejala
dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem,
petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau
perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular
berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa
lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang
timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada
pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti
nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang
kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998)
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan
memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):
Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24 jam)
otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri,
koagulasi intravaskular diseminata (KID)
o
Venerasi
Luka gigit
Nyeri
Udem/ Eritem
Tanda sistemik
+/-
<3cm/12>
+/-
II
+++
+
Neurotoksik,
Mual, pusing, syok
III
++
+++
++
Syok, petekia,
ekimosis
IV
+++
+++
>ekstrimitas
++
Gangguan faal ginjal,
Koma, perdarahan
Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat
penyakit sebelumnya.
Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.
Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan,
sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika
dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak
dekat gigitan melebar.
Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada
kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.
Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk
paralisis dari urat urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar
bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah,
pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan
sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak
sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat
dalam waktu satu jam dapat timbul gejala gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24
jam.
Gigitan Viperidae:
Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat
gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan
Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah,
berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring
ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan
faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan
jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat.
Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau
ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hidropiidae:
Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah
Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis,
mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk
diagnostik), ginjal rusak, henti jantung
Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:
Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah
gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen
crotalidae antivenin
2.
Nyeri lokal
3.
Pendarahan lokal
4.
Bruising
5.
lymphangitis
6.
7.
Melepuh
8.
Necrosis
hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura, Ecchymoses
dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intrakranial
Neurologik (Elapidae, Russells viper)
Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, heavy eyelids, ptosis,
ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang di inervasi oleh nervus
kranialis, aphonia, difficulty in swallowing secretions, respiratory and generalised flaccid
paralysis
Otot rangka (sea snakes, Russells viper)
Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia,
cardiac arrest, gagal ginjal akut
Ginjal (Viperidae, sea snakes)
LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan
gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest pain)
Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russells viper)
Fase akut: syok, hypoglycaemia
Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of secondary sexual
hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism. (Warrell, 1999)
5.
Pemeriksaan
Pemeriksaan penunjang
perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar,
golongan darah dan uji cocok silang
EKG
Foto dada
6.
Diagnosis Banding
Anafilasis
Scorpion Sting
Syok septik
Luka infeksi
7.
Penatalaksanaan
Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya taring
ular sepanjang dan sedalam cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia
alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan
akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan
berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak cm dari lubang gigitan,
sampai kedalaman fasia otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa centimeter di
proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan tekanan yang cukup
untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua
jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada
pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es.
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau intra arteri
yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda
yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat
tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada
bahaya syok anafilaksis.
Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian vasopresor untuk
menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem
pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator
untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi
pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom
kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan
bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit.
Bila ragu ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena
kadang efek keracunan bisa timbul lambat.
Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan infeksi. (de
Jong, 1998)
Tindakan Pelaksanaan
1.
Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan
adalah
mengandung alkohol
Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat
daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan
lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan
menahan aliran vena atau ateri.
2.
Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:
Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas
dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK.
Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan),
polivalen 1 ml berisi:
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan
kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak
dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
Beratnya
evenomasi
Taring atau
gigi
Jumlah vial
venom
Tidak ada
<>
Minimal
2-15
II
Sedang
15-30
10
III
Berat
>30
++
15
IV
Berat
<>
+++
15
pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1
dan 3 jam berikutnya, dst.
Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu
pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk
memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani
operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
antivenin)
badan
Terapi profilaksis
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang
Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai
sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi
pada daerah paha bagian bawah sampai kaki
Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak semak
Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat
DAFTAR PUSTAKA
Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care,
University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com.
De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East
Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine, Faculty of
Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ 2005;
331:1244-1247 (26 November), doi:10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Insiden kira kira 8000 orang terkena gigitan ular berbisa setiap tahun di Amerika Serikat,
dengan lebih 98% dari gigitan mengenai ekstremitas. Sejak tahun 1960, rata- rata 14 korban
setiap tahun meninggal di Amerika Serikat karena gigitan ular, dengan 70% kebanyakan di lima
daerah serikat termasuk Texas, Georgia, Florida, Alabama, dan California Selatan.
Di Amerika Utara ular beracun merupakan anggota keluarga Crotalidae atau pit viper atau dari
keluarga elipidae atau ular karang. Keluarga ular Rattle bertanggung jawab atas kira-kira 70%
kematian karena gigitan ular, sementara kematian karena gigitan ular jenis kepala kuning
tembaga (copperhead) sangat jarang.
Ular berbisa dibandingkan ular tak berbisa pit viper dinamakan demikian karena memiliki ciri
lekukan yang sensitif terhadap panas terletak antara mata dan lubang hidung pada tiap sisi
kepala. Pit viper juga memiliki pupil berbentuik elips, berlainan dengan pupil bulatyang
memiliki ular jenis tak bebahaya. Sebaliknya, ular karang memiliki pupil bulat dan sedikit
lekukan pada muka. Pit viper memiliki gigi taring panjang dan sederet gigi subkaudal. Ular tak
berbisa banyak memiliki gigi dibanding dengan taring dan mempunyai dua deret gigi subkaudal.
Untuk membedakan ular karang berbisa dengan ular lain yang mirip warnanya, harus diingat
bahwa ular karang memiliki hidung berwarna hitam dan memiliki juga guratan cincin warna
merah yang berdampingan dengan warna kuning.
Bisa dari ular berbisa mengandung hialuronidase, yang menyebabkan bisa dapat menyebar
dengan cepat melalui jaringan limfatik superfisisal. Toksin lain yang terkandung dalam bisa ular,
antara lain neurotoksin, toksin hemoragik dan trombogenik, toksin hemolitik, sitotoksin, dan
antikoagulan.
1.2 Tujuan
a. Tujuan umum
Mahasiswa mampu memahami tentang gigitan ular dan mampu memberikan asuhan keperawatan
pada klien tersebut dalam kegawat daruratan.
b. Tujuan khusus
Mahasiswa mampu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gigitan ular adalah suatu keadan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa. Bisa ular adalah
kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek fisiologik yang luas atau bervariasi. Yang
mempengaruhi sistem multiorgan, terutama neurologik, kardiovaskuler, dan sistem pernapasan.
(Suzanne Smaltzer dan Brenda G. Bare, 2001: 2490)
.
2.2 Etiologi
Secara garis besar ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:
Colubridae (Mangroce cat snake, Boiga dendrophilia, dan lain-lain)
Elapidae (King cobra, Blue coral snake, Sumatran spitting cobra, dll)
Viperidae (Borneo green pit viper, Sumatran pit viper , dan lain-lain).
2.3 Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang umum ditemukan pada pasien bekas gigitan ular adalah :
Tanda-tanda bekas taring, laserasi
Bengkak dan kemerahan, kadang-kadang bulae atau vasikular
Sakit kepala, mual, muntah
Rasa sakit pada otot-otot, dinding perut
Demam
Keringat dingin
2.4 Patofisiologi
Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut bersifat:
Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena paralise otot-otot
lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat
kesadaran menurun sampai dengan koma.
Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau
menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat
lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus
berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal.
Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan dengan haemotoksin.
Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel
otot.
Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
Derajat 0
Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
Pembengkakan minimal, diameter 1 cm
2.
Derajat I
Bekas gigitan 2 taring
Bengkak dengan diameter 1 5 cm
Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
3.
Derajat II
Sama dengan derajat I
Petechie, echimosis
Nyeri hebat dalam 12 jam
4.
Derajat III
Sama dengan derajat I dan II
Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh tubuh
5.
Derajat IV
Sangat cepat memburuk
tromboplastinparsial, hitung trombosit, urinalisis, dan penentuan kadar gula darah, BUN, dan
elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah,
waktu pembekuan, dan waktu retraksi bekuan.
c. Derajat envenom masih harus dinilai, dan observasi 6 jam untuk menghindari penilaian
keliru dan envenomasi yang berat.
d. Mulai larutan salin IV pada semua pasien; berikan oksigen, dan tangani syok jika ada.
e. Pertahan kan posisi ekstremitas setinggi jantung; turniket di lepas hanya bila syok sudah
diatasi dan antibiotik bisa diberikan.
f. Beberapa sumber menganjurkan eksplorsi bedah dini untuk menentukan kedalaman dan
jumlah jaringan yang rusak.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas
a) Identitas klien
b) Identitas penanggung jawab
2. Riwayat keperawatan
a) Alasan masuk RS
b) Keluhan utama
c) Riwayat kesehatan sekarang
d) Riwayat kesehatan masa lalu
e) Riwayat kesehatan keluarga
f) Riwayat alergi
3. Pengkajian ABC
1. Primary survey
Nilai tingkat kesadaran
Lakukan penilaian ABC :
A airway: kaji apakah ada muntah, perdarahan
B breathing: kaji kemampuan bernafas akibat kelumpuhan otot-otot pernafasan
C circulation : nilai denyut nadi dan perdarahan pada bekas patukan, Hematuria,
Hematemesis /hemoptisis
Intervensi primer
Bebaskan jalan nafas bila ada sumbatan, suction kalau perlu
Beri O2, bila perlu Intubasi
Kontrol perdarahan, toniquet dengan pita lebar untuk mencegah aliran getah bening (Pita
dilepaskan bila anti bisa telah diberikan). Bila tidak ada anti bisa, transportasi secepatnya ke
tempat diberikannya anti bisa.
Catatan : tidak dianjurkan memasang tourniquet untuk arteriel dan insisi luka
Pasang infus
2. Secondary survey dan Penanganan Lanjutan :
Penting menentukan diagnosa patukan ular berbisa
Bila ragu, observasi 24 jam. Kalau gejala keracunan bisa nyata, perlu pemberian anti bisa
Kolaborasi pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein,
maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa
bersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular.
Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal yang luas.
Bila alergi serum kuda :
Data Fokus
DS :
Problem
Etiologi
DO:
Data subyektif dan Data obyektif sesuai dengan data yang ditemukan pada saat pengkajian
3.3 Diagnosa keperawatan
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan cairan darah pada paru
2) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan paralisis otot
3.4 Intervensi (tujuan dan kriteria hasil)
1)
Pola
napas tidak efektif
b/d
penumpukan
cairan
darah
pada
paru.
Intervensi :
Auskultasi bunyi nafas
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan
indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
Pantau frekuensi pernapasan
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan sirkulasi endotoksin.
Atur posisi klien dengan nyaman dan atur posisi kepala lebih tinggi
Motivasi / Bantu klien latihan nafas dalam
Observasi warna kulit dan adanya sianosis
Kaji adanya distensi abdomen dan spasme otot
Batasi pengunjung klien
Pantau seri GDA
Bantu pengobatan pernapasan (fisioterapi dada)
Beri O2 sesuai indikasi (menggunakan ventilator)
(Nanda, 2005: 4)
2. Intoleransi aktifitas b/d paralisis otot
Intervensi:
Ajarkan tekhnik alih baring setiap 2 jam sekali
Rasional: menghindari adanya luka dekubitus.
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Prinsip Pertolongan Pertama pada korban gigitan ular adalah, meringankan sakit, menenangkan
pasien dan berusaha agar bisa ular tidak terlalu cepat menyebar ke seluruh tubuh sebelum dibawa
ke rumah sakit. Pada beberapa tahun yang lalu penggunaan torniket dianjurkan. Seiring
berkembangannya ilmu pengetahuan kini dikembangkan metode penanganan yang lebih baik
yakni metode pembalut dengan penyangga. Idealnya digunakan pembalut dari kain tebal, akan
tetapi jika tidak ada dapat juga digunakan sobekan pakaian atau baju yang disobek menyerupai
pembalut. Metode ini dikembangkan setelah dipahami bahwa bisa menyebar melalui pembuluh
limfa dari korban. Diharapkan dengan membalut bagian yang tergigit maka produksi getah
bening dapat berkurang sehingga menghambat penyebaran bisa sebelum korban mendapat
ditangani secara lebih baik di rumah sakit
5.2 Saran
Segera bawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Informasikan kepada dokter
mengenai penyakit yang diderita pasien seperti asma dan alergi pada obat obatan tertentu, atau
pemberian antivenom sebelumnya. Ini penting agar dokter dapat memperkirakan kemungkinan
adanya reaksi dari pemberian antivenom selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
-
Nana,Sufyan.2012.Askepgigitan ular,
(online)http://sufyannana.blogspot.com/2012/12/askep-gigitan-ular.html,
diakses
pada
10
Oktober 2014.
-
2014.
- Nanda nic-noc.2013.panduan penyusunan asuhan keperawatan profesiona
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
Konsep Dasar
1. Pengertian
Bisa ular adalah kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek
fisiologik yang luas atau bervariasi. Yang mempengaruhi sistem multiorgan,
terutama neurologik, kardiovaskuler sistem pernapasan. (Suzanne Smaltzer dan
Brenda G. Bare, 2001: 2490)
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun
binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang
dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian
kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa mempunyai efek pada
hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat
farmakologis yang dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan.
Komposisi racun tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya.
Racun mulut bersifat ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali
mengandung faktor letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir
predator, racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan. (Retno
Aldo. 2010. Askep Gigitan Ular, (Online),
http://retnoaldo.blogspot.com/2010/10/askep-gigitan-ular.html, diakses 18 Juli
2011).
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar
yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang
terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya
terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama
Tidak Berbisa
Berbisa
Bentuk Kepala
Bulat
Elips
Gigi Taring
Gigi kecil
Bekas Gigitan
Warna
Warna-Warni
Gelap
(Dokter Yuda Bedah. 2011. Snake Bite, (Online), http : // dokter yuda
bedah.com/snake-bite-gigitan-ular/, diakses 18 Juli 2011).
3. Etiologi
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan Viperidae.
Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan pendarahan.
Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi pada anggota
badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi
gigitan dalam waktu 8 jam .
Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan
stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan
larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan
timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan,
dan lain-lain.
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar
luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan
tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis).
Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan
jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan jantung.
Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe.
c. Bisa ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan maemotoksin.
Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat
kerusakan sel-sel otot.
d. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
e. Bisa ular yang bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardiovaskuler.
f.
g. Enzim-enzim
Lokasi Sifat
Elapidae
Hydrophidae
Bisa
Neurotoksik dan nekrosis
(ular cobra)
Myotoksik
Viperidae:
Viperonae
Crotalidae
Vaskulotoksik
4. Patofisiologi
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik
tersebut menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai
system. Seperti, sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan.
Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang
berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada
saluran pernapasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang
dapat mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan dapat
mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat
mengakibatkan gagal napas.
Sukar
bernapas
Bisa ular masuk ke dalam
tubuh
Daya toksik menyebar melalui
peredaran darah
Gangguan
system
neuroligist
Gangguan
system
kardiovaskule
r
Gangguan
system
pernapasan
Oedema pada saluran
pernapasan
Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku
pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2)
3)
15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10 jam muncul paralisis
urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah menelan,
otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan
kabur, mati rasa di sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
b. Gigitan Viperidae/Crotalidae
Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1)
Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di
dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
2)
3)
Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam
waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c. Gigitan Hydropiidae
Misalnya, ular laut, cirinya:
1)
Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2)
Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang
ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak,
henti jantung.
d. Gigitan Crotalidae
Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1)
2)
Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa
kategori:
a. Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa
sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat
berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan
sekitar sisi gigitan luka.
b.
Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat
menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen.
Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka
yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan
kematian.
c. Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada
sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat
menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat
perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara dan
bernafas, dan kesemutan.
d. Kematian otot, bisa dari russells viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa
elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa
area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba
menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
e. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata
korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada mata.
(Deddyrin. 2009. Intoxicasi. (Online), http : // deddyrn. blogspot. Com/2009/
09/intoxicasi.html, diakses 18 Juli 2011).
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel darah
lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula darah, BUN
dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas
sel darah merah, waktu pembekuan dan waktu retraksi bekuan. (Retno Aldo. 2010.
Askep Gigitan Ular, (Online), http://retnoaldo.blogspot.com/2010/10/askep-gigitanular.html, diakses 18 Juli 2011.)
7. Penatalaksanaan
a. Prinsip penanganan pada korban gigitan ular:
1)
2)
Menetralkan bisa.
3)
Mengobati komplikasi.
(Masmamad. 2009. Penatalaksanaan Gigitan Ular, (Online),
http://masmamad.blogspot.com/2009/09/penatalaksanaan-gigitan-ular-snakebite.html, diakses 18 Juli 2011).
b. Pertolongan pertama :
Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari
pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya lakukan prinsip RIGT,
yaitu:
R: Reassure: Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban, kepanikan
akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat menyebar
ke tubuh. Terkadang pasien pingsan/panik karena kaget.
I: Immobilisation: Jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak
berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang,
lakukan tehnik balut tekan (pressure-immoblisation) pada daerah sekitar gigitan
(tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan).
G: Get: Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
T: Tell the Doctor: Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul ada korban.
Insisi luka pada 1 jam pertama setelah digigit akan mengurangi toksin 50%.
2)
3)
4)
5)
ABU 2 flacon dalam NaCl diberikan per drip dalam waktu 30 40 menit.
6)
7)
Monitor diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2 flacon
ABU lagi. ABU maksimal diberikan 300 cc (1 flacon = 10 cc).
8)
9)
(http : // masmamad. blogspot.com/2009/09/penatalaksanaan - gigitan-ular- snake bite. html, diakses 18 Juli 2011).
e. Pemberian ABU
Tabel 2.2 Pemberian ABU sesuai derajat parrish
Derajat Parrish
Pemberian ABU
0-1
Tidak perlu
3-4
Ciri
II
IV
B.
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan Marilynn E. Doenges (2000: 871-873), dasar data
pengkajian pasien, yaitu:
a. Aktivitas dan Istirahat
Gejala: Malaise.
b. Sirkulasi
Tanda: Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama hasil
curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer hiperdinamik),
lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
c. Integritas Ego
Gejala: Perubahan status kesehatan.
Tanda: Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal,
menarik diri.
d. Eliminasi
Gejala: Diare.
e. Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah.
Tanda: Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot (malnutrisi).
f.
Neorosensori
Seksualitas
Gejala: Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.
j.
Integumen
Tanda: Daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar, kulit teraba hangat.
k. Penyuluhan
Gejala: Masalah kesehatan kronis/melemahkan, misal: hati, ginjal, sakit jantung,
kanker, DM, keadaan klien sudah membaik.
2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan
sepsis. Maka rencana keperawatan menurut Marilynn E. Doenges (2000), yaitu:
a. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
3. Perencanaan
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang biasa muncul pada klien dengan infeksi
gigitan ular. Maka rencana keperawatan menurut Marilynn E. Doenges (2000).
a. Diagnosa I
Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Menunjukkan bunyi napas jelas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, bebas
dispnea/sianosis.
Intervensi:
1)
2)
4)
5)
b. Diagnosa II
Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh
tubuh rileks, berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi
selanjutnya.
2)
Tunjukkan keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila prosedur
bebas dari nyeri.
Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan
tersedia dan bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya
merawat luka.
3)
4)
Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk
membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
5)
Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan
berikan jawaban terbuka/jujur.
Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat
membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang
terjadi.
e. Diagnosa V
Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
4. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan tindakan yang sudah direncanakan
dalam rencana tindakan keperawatan yang mencakup tindakan tindakan
independen (mandiri) dan kolaborasi. Akan tetapi implementasi keperawatan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi pasien. Tindakan mandiri adalah aktivitas
perawatan yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan
merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi
adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan bersama seperti dokter dan
petugas kesehatan lain. (Tarwoto Wartonah, 2004: 6).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak kesalahannya, dicari
jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan, serta apakah perlu dilakukan
perubahan intervensi. (Tarwoto Wartonah, 2004: 7).
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komposisi, Sifat dan Mekanisme Kerja Bisa ular
Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat
diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%)
adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein nontoksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu
enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam
bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma
venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan
trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam
jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya
rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang
bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel
vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase,
kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006)
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5
nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini
menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis
atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar
sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998)
Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti
neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan,
kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang
jaringan untuk menghasikan zat zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat
dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan.
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease,
colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin
terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah
(1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan
mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk
efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim
trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan
menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik (Warrell,2005).
2.4 Gejala klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis. Gejala
dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem,
petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau
perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular
berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa
lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang
timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada
pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti
nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang
kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998)
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan
memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):
Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24 jam)
Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah,
nyeri kepala, dan pandangan kabur
Gejala khusus gigitan ular berbisa :
o Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi,
hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi
intravaskular diseminata (KID)
o Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis
otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma
o Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
o Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor, paresthesia,
paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006)
Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :
Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat
penyakit sebelumnya.
Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.
Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular:
Gigitan Elapidae
Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit
atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan
beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat
gigitan melebar.
Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak
mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.
Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk
paralisis dari urat urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar
bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah,
pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan
sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak
sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat
dalam waktu satu jam dapat timbul gejala gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24
jam.
Gigitan Viperidae:
Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat gigitan
untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan
Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah, berkeringat,
kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring ular), hidung
berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal
pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan
jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat.
Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau
ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hidropiidae:
Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah
Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme
pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis,
mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk
diagnostik), ginjal rusak, henti jantung
Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:
Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan
merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen crotalidae
antivenin
Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting
Gigitan Coral Snake:
Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius
antivenin) (Sudoyo, 2006)
Tanda dan gejala lokal
1. Tanda gigi taring
2. Nyeri lokal
3. Pendarahan lokal
4. Bruising
5. lymphangitis
6. Bengkak, merah, panas
7. Melepuh
8. Necrosis
Gejala dan tanda sistemik umum
Umum
mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration
Kardiovascular (Viperidae)
Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia cardiac,
oedema pulmo, oedema conjungtiva
Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan dari luka gigitan
Perdarahan sitemik spontan dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena, hematuri,
perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura, Ecchymoses dan pada
mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intrakranial
Neurologik (Elapidae, Russells viper)
Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, heavy eyelids, ptosis,
ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang di inervasi oleh nervus
kranialis, aphonia, difficulty in swallowing secretions, respiratory and generalised flaccid
paralysis
Otot rangka (sea snakes, Russells viper)
Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia,
cardiac arrest, gagal ginjal akut
Ginjal (Viperidae, sea snakes)
LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan
gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest pain)
Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russells viper)
Fase akut: syok, hypoglycaemia
Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of secondary sexual
hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism.
(Warrell, 1999)
2.5 Pemeriksaan
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu perdarahan,
waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar, golongan darah
dan uji cocok silang
Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
EKG
Foto dada
2.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :
Anafilasis
Trombosis vena bagian dalam
Trauma vaskular ekstrimitas
Scorpion Sting
Syok septik
Luka infeksi
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
Mengatasi efek lokal dan sistemik (Sudoyo, 2006)
Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya taring
ular sepanjang dan sedalam cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia
alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan
akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan
berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak cm dari lubang gigitan,
sampai kedalaman fasia otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa centimeter di
proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan tekanan yang cukup
untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua
jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada
pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es.
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau intra arteri
yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda
yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat
tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada
bahaya syok anafilaksis.
Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian vasopresor untuk
menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem
pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator
untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi
pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom
kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan
bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit.
Bila ragu ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena
kadang efek keracunan bisa timbul lambat.
Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan infeksi. (de
Jong, 1998)
Tindakan Pelaksanaan
A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah
Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol
Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal
dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit
pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau
ateri.
B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:
Penatalaksanaan jalan napas
Penatalaksanaan fungsi pernapasan
Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi
(dengan bidai)
Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan
Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu
pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection
Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi:
10-50 LD50 bisa Ankystrodon
25-50 LD50 bisa Bungarus
25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
Fenol 0.25% v/v
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan
kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak
dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Pedoman terapi SABU menurut Luck
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap
memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya,
dst.
Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor
ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya. Monitor
dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk
penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah
gigitan
Terapi suportif lainnya pada keadaan :
Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)
Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi
trombosit
Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin
Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat obatan
narkotik depresan
Terapi profilaksis
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa,
Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
Beri toksoid tetanus
Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)
Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular
Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu
dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada
daerah paha bagian bawah sampai kaki
Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak semak
Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian
semacam itu. (Sudoyo, 2006)
DAFTAR PUSTAKA
Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care,
University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com.
De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East
Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine, Faculty of
Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ 2005;
331:1244-1247 (26 November), doi:10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com.
sorces : http://sanirachman.blogspot.com/2009/10/snake-bite-pedomanpenatalaksanaan.html#ixzz4OkOSaECv
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial
Ular merupakan salah satu jenis hewan melata (reptilia) yang sangat umum berada di sekitar kita.
Mereka menghuni hampir sebagian besar wilayah mulai kawasan pegunungan, pemukiman
penduduk, persawahan, kawasan karst hingga di sekitar kawasan pesisir. Beberapa jenis ular
dikenal berbahaya bagi manusia karena bisa (venom) yang mereka miliki. Banyak kasus gigitan
ular yang berakibat fatal telah tercatat di berbagai wilayah di Indonesia dalam beberapa dekade
terakhir ini. Fakta ini mengakibatkan image yang buruk mengenai ular. Banyak yang
menganggap bahwa semua ular berbisa, sehingga kebanyakan orang akan takut saat berjumpa
dengan ular. Faktanya, hanya ular berbisa dan hanya sebagian dari kelompok ular tersebut yang
mematikan bagi manusia.
Bisa ular terdiri dari terutama protein yang mempunyai efek fisiologik yang luas dan bervariasi.
Sistim multiorgan, terutama neurologik, kardiovaskuler, sistim pernapasan mungkin terganggu.
Bantuan awal pertama pada daerah gigitan ular meliputi mengistirahatkan korban, melepaskan
benda yang mengikat seperti cincin, memberikan kehangatan, membersihkan luka, menutup luka
dengan balutan steril, dan imobilisasi bagian tubuh di bawah tinggi jantung. Es atu torniquet
tidak digunakan. Evaluasi awal di departemen kedaruratan dilakukan:
-
Menetapkan urutan kejadian, tanda dan gejala (bekas gigi, nyeri, edema, dan eritema
Mengukur dan mencatat lingkar ekstremitas sekitar gigitan atau area pada beberapa titik
Dapatkan data laboratorium yang cepat seperti HDL, urinalisis, dan pemeriksaan
pembekuan.
Patofisiologi
Bisa ular masuk ke dalam tubuh
Gagal nafas
Gangguan pernafasan
Sukar bernafas
Koagulopati hebat
Syok hipovolemik
Hipotensi
Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut bersifat:
1.
Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena paralise otot-
otot lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu,
derajat kesadaran menurun sampai dengan koma.
2.
Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau
menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat
lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus
berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal.
3.
Myotoksin:
mengakibatkan
rhabdomiolisis
yang
sering
berhubungan
dengan
Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
5.
terganggunya kardiovaskuler.
6.
Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat
patukan.
7.
Derajat 0
2.
Derajat I
3.
Derajat II
Petechie, echimosis
4.
Derajat III
5.
-
Derajat IV
Sangat cepat memburuk
Penatalaksanaan
a.
Pre-hospital
Prinsip Pertolongan Pertama pada korban gigitan ular adalah, meringankan sakit, menenangkan
pasien dan berusaha agar bisa ular tidak terlalu cepat menyebar ke seluruh tubuh sebelum dibawa
ke rumah sakit. Seiring berkembangannya ilmu pengetahuan kini dikembangkan metode
penanganan yang lebih baik yakni metode pembalut dengan penyangga. Idealnya digunakan
pembalut dari kain tebal, akan tetapi jika tidak ada dapat juga digunakan sobekan pakaian atau
baju yang disobek menyerupai pembalut. Metode ini dikembangkan setelah dipahami bahwa bisa
menyebar melalui pembuluh limfa dari korban. Diharapkan dengan membalut bagian yang
tergigit maka produksi getah bening dapat berkurang sehingga menghambat penyebaran bisa
sebelum korban mendapat ditangani secara lebih baik di rumah sakit. Adapun langkah langkah
penanganannya adalah sebagai berikut:
a.
Jika terpatuk, langsung gunakan pembalut atau bahan lain yang serupa dan bebatkan
dengan kencang. Bebatkan seluas mungkin daerah yang dipatuk. Usahakan menggunakan
penyangga atau kain penggantung. Kurangi aktifitas atau gerakan korban untuk mencegah
penyebaran bisa. Selalu posisikan daerah yang terpatuk lebih rendah dari jantung.
b.
Jangan pernah memperlebar luka bekas gigitan karena dapat menyebabkan infeksi dan
trauma pada korban. Juga jangan pernah menghisap darah dari bekas luka patukan. Selain
beresiko jika ada luka pada mulut penolong, juga tidak terlalu efektif dalam mengurangi jumlah
bisa yang masuk.
c.
Penting untuk meyakinkan korban bahwa kemungkinan selamatnya tinggi karena telah
d.
e.
Segera bawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Informasikan kepada dokter
mengenai penyakit yang diderita pasien seperti asma dan alergi pada obat obatan tertentu, atau
pemberian antivenom sebelumnya. Ini penting agar dokter dapat memperkirakan kemungkinan
adanya reaksi dari pemberian antivenom selanjutnya.
f.
Kenali jenis ular yang mematuk. Apabila anda ragu dan agar lebih amannya maka
bunuhlah ular yang mematuk agar hasil identifikasi lebih positif. Hal ini penting untuk
menentukan pemberian antivenom yang monovalent, sehingga efeknya lebih tepat dan cepat.
Jika tidak pun tidak apa apa, sebab ada antivenom polyvalent yang dapat menetralisir bisa dari
berbagai jenis ular.
b.
Intra-hospital
Proses dan prognosis gigitan ular bergantung pada jenis dan jumlah bisa dimana terjadi gigitan,
dan kesehatan umum, usia serta ukuran korban. Tidak ada protokol khusus untuk
penatalaksanaan gigitan ular. Prinsipnya:
a.
b.
Menetralkan bisa
c.
Mengobati komplikasi
1. Incisi luka pada 1 jam pertama setelah digigit akan mengurangi toksin 50%
Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau hipotensi berikan
adrenalin 0,5 mg IM
3.
4.
5.
dikontraindikasikan 6-8 jam pertama setelah gigitan karena agens ini mendepresi produksi
antibodi dan menyembunyikan kerja antivenin (antitoksin untuk bisa ular)
6.
8.
Observasi pasien dengan teliti selama 6 jam, pasien tidak pernah dibiarkan tanpa
perhatian
Pemberian antivenin (antitoksin). Antivenin paling efektif diberikan dalam 12 jam dari gigitan
ular. Dosis bergantung pada tipe ular dan perkiraan keparahan gigitan. Anak membutuhkan lebih
banyak antivenin daripada orang dewasa karena tubuhnya lebih kecil dan lebih rentan terhadap
efek toksik bisa. Uji kulit atau mata harus dilakukan sebelumnya untuk dosis awal untuk
mendeteksi alergi terhadap antivenin.
Sebelum memberikan antivenin dan 15 menit setelahnya, sekitar bagian yang terkena diperiksa.
Antivenin diberikan dengan tetesan IV kapanpun mungkin, meskipun pemberian ini dapat
dilakukan. Bergantung pada keparahan gigitan antivenin dicairkan dengan 500-1000 ml normal
saline; volume cairan mungkin diturunkan untuk anak. Infus dimulai perlahan dan kecepatan
meningkat setelah 10 menit jika tidak ada reaksi. Dosis total harus diinfus selama 4-5 jam
pertama setelah keracunan. Dosis awal diulang sampai gejala menurun. Setelah gejala menurun,
sekitar daerah yang terkena harus diukur 30-60 menit selama 48 jam kemudian.
Penyebab paling umum dari reaksi serum adalah infus antivenin yang terlalu cepat, meskipun
sekitar 3% dari pasien dengan uji kulit negatif mengembangkan reaksi tidak berhubungan dengan
kecepatan infus. Reaksi terdiri dari perasaan penuh di wajah, urtikaria, pruritus, keletihan, dan
khawatir. Gejala ini munkin diikuti denga takikardia, napas pendek, hipotensi, dan syok. Pada
situasi ini, infus harus dihentikan segera dan diberikan dipenhidramin IV. Vasopresor digunakan
jika terdapat syok. Resusitasi kedaruratan harus siap pada saat antivenin diberikan.
Daftar Pustaka
Brunner, Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan-Medikal Bedah Edisi 8 Volume 3. Jakarta:
EGC
Litbang
KSH.
2009.
Penanganan
Ular
Berbisa
dan
Penanganannya.
(http://ksh.biologi.ugm.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=16:penangananularberbisa&catid=1:berita&Itemid=25)
diakses tanggal 01 Oktober 2010
Kusuma,
Monte
Selvanus
Luigi,
dr.
2009.
Gigitan
(http://pkugombong.blogspot.com/2009/02/gigitan-ular-snake-bite.html)
Ular
(Snake
diakses
Bite).
tanggal
02
Oktober 2010
(http://www.scribd.com/doc/33696167/LAPORAN-PENDAHULUAN-ICU) diakses tanggal 02
Oktober 2010