Anda di halaman 1dari 110

LAPORAN PENDAHULUAN

SNAKE BIT (gigitan ular)

A. Definisi
Gigitan ular adalah suatu keadan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa. Bisa ular adalah
kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek fisiologik yang luas atau bervariasi. Yang
mempengaruhi sistem multiorgan, terutama neurologik, kardiovaskuler, dan sistem pernapasan.
(Suzanne Smaltzer dan Brenda G. Bare, 2001: 2490)
.
B. Etiologi
Secara garis besar ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:
- Colubridae (Mangroce cat snake, Boiga dendrophilia, dan lain-lain)
- Elapidae (King cobra, Blue coral snake, Sumatran spitting cobra, dll)
- Viperidae (Borneo green pit viper, Sumatran pit viper , dan lain-lain).

C. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang umum ditemukan pada pasien bekas gigitan ular adalah :
- Tanda-tanda bekas taring, laserasi
- Bengkak dan kemerahan, kadang-kadang bulae atau vasikular
- Sakit kepala, mual, muntah
- Rasa sakit pada otot-otot, dinding perut
- Demam

- Keringat dingin

D. Patofisiologi
Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut bersifat:
- Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena paralise otot-otot
lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat
kesadaran menurun sampai dengan koma.
- Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau
menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat
lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus
berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal.
- Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan dengan haemotoksin.
Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel
otot.
- Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
-

Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat

terganggunya kardiovaskuler.
- Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat
patukan
- Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa

E. Pathway

F. Komplikasi
a. Syokhipovolemik
b. Edema paru
c. Kematian
d. Gagal napas

G. Derajat Gigitan Ular


1.

Derajat 0

- Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam


- Pembengkakan minimal, diameter 1 cm
2.

Derajat I

- Bekas gigitan 2 taring


- Bengkak dengan diameter 1 5 cm
- Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
3.

Derajat II

- Sama dengan derajat I


- Petechie, echimosis
- Nyeri hebat dalam 12 jam
4.

Derajat III

- Sama dengan derajat I dan II


- Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh tubuh
5.

Derajat IV

- Sangat cepat memburuk

H. Pemeriksaan penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang gigitan ular antara lain :
a. Pemeriksaan laboratorium dasar,
b. Pemeriksaaan kimia darah,
c. Hitung sel darah lengkap,
d. Penentuan golongan darah dan uji silang,
e. Waktu protrombin,
f. Waktu tromboplastin parsial,
g. Hitung trombosit,
h. Urinalisis,

i. Penentuan kadar gula darah,


j. BUN,
k. elektrolit.
Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu
pembekuan, dan waktu retraksi bekuan.

I. Kegawatan
a. Pertolongan pertama, jangan menunda pengiriman ke rumah sakit. Apabila penanganan medis
tersedia dalam beberapa jam, satu-satunya tindakan dilapangan adalah immobilisasi pasien dan
pengiriman secepatnya. Jika penanganan lebih dari 3-4 jam dan jika envenommasi sudah pasti,
melakukan pemasangan torniket limfatik dengan segera dan insisi dan penghisapan dalam 30
menit sesudah gigitan, immobilisasi, dan pengiriman secepatnya, lebih baik pada suatu usungan,
merupakan tindakan yang paling berguna. Bila memungkinkan, pertahankan posisi ekstremitas
setinggi jantung. Jika dapat dikerjakan dengan aman, bunuhlah ular tersebut untuk identifikasi.
b. Lakukan evaluasi klinis lengkap dan pesanlah untuk pemeriksaan laboratorium dasar, hitung
sel darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protombin, waktu
tromboplastinparsial, hitung trombosit, urinalisis, dan penentuan kadar gula darah, BUN, dan
elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah,
waktu pembekuan, dan waktu retraksi bekuan.
c. Derajat envenom masih harus dinilai, dan observasi 6 jam untuk menghindari penilaian keliru
dan envenomasi yang berat.
d. Mulai larutan salin IV pada semua pasien; berikan oksigen, dan tangani syok jika ada.

e. Pertahan kan posisi ekstremitas setinggi jantung; turniket di lepas hanya bila syok sudah
diatasi dan antibiotik bisa diberikan.
f. Beberapa sumber menganjurkan eksplorsi bedah dini untuk menentukan kedalaman dan
jumlah jaringan yang rusak.

DAFTAR PUSTAKA

Nana,Sufyan.2012.Askepgigitan

(online)http://sufyannana.blogspot.com/2012/12/askep-gigitan-ular.html,

ular,
diakses

Oktober

pada

10
2014.

- http://aniza92.blogspot.com/2011/11/askep-gadar-gigitan-ular.html diakses pada 10 oktober


2014.
- Nanda nic-noc.2013.panduan penyusunan asuhan keperawatan professional

KONSEP
1.

DASAR

PENYAKIT
Pengertian

Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Daya toksin bias ular
tergantung pula pada jenis dan macam ular. Racun binatang adalah merupakan campuran dari
berbagai macam zat yang berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda
pada

manusia.

Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu organ ; beberapa mempunyai efek pada
hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang
dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun tergantung dari
bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut bersifat ofensif yang bertujuan
melumpuhkan mangsanya;sering kali mengandung factor letal. Racun ekor bersifat defensive
dan bertujuan mengusir predator; racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit
jaringan.

2.

Penyebab

Karena gigitan ular yang berbisa, yang terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae,
Hidrophidae, dan Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan local, seperti edema dan
pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan local, tetapi tetap dilokasi pada anggota
badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam
waktu 8 jam . Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada 2 macam :
a.
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine ( dinding
sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus

pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender)


pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b.
Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan- jaringan sel saraf sekitar luka gigitan
yang menyebabkan jaringan- jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar
luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya
mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf
pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limphe.

4. Tanda dan gejala


Gejala-gejala awal terdiri dari satu atau lebih tanda bekas gigitan ular,rasa terbakar, nyeri ringan,
dan pembengkakan local yang progresif. Bila timbul parestesi, gatal, dan mati rasa perioral, atau
fasikulasi otot fasial, berarti envenomasi yang bermakna sudah terjadi. Bahaya gigitan ular racun
pelarut darah adakalanya timbul setelah satu atau dua hari, yaitu timbulnya gejala-gejala
hemorrhage (pendarahan) pada selaput tipis atau lender pada rongga mulut, gusi, bibir, pada

selaput lendir hidung, tenggorokan atau dapat juga pada pori-pori kulit seluruh tubuh.
Pendarahan alat dalam tubuh dapat kita lihat pada air kencing (urine) atau hematuria, yaitu
pendarahan melalui saluran kencing. Pendarahan pada alat saluran pencernaan seperti usus dan
lambung dapat keluar melalui pelepasan (anus). Gejala hemorrhage biasanya disertai keluhan
pusing-pusing kepala, menggigil, banyak keluar keringat, rasa haus,badan terasa lemah,denyut
nadi kecil dan lemah, pernapasan pendek, dan akhirnya mati.
5. Komplikasi
a. Syok hipovolemik
b. Edema paru
c. Kematian
d. Gagal napas
6. Pemeriksaan penunjang / diagnostic
Pemeriksaan laboratorium dasar, Pemeriksaaan kimia darah, Hitung sel darah lengkap,
penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial,hitung
trombosit, urinalisis, dan penentuan kadar gula darah, BUN, dan elektrolit. Untuk gigitan yang
hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu pembekuan, dan waktu
retraksi bekuan.
7. Penatalaksanaan Medik
a. Pertolongan pertama, jangan menunda pengiriman kerumah sakit. Apabila penanganan medis
tersedia dalam beberapa jam, satu-satunya tindakan dilapangan adalah immobilisasi pasien dan
pengiriman secepatnya. Jika penanganan lebih dari 3-4 jam dan jika envenomasi sudah pasti,
melakukan pemasangan torniket limfatik dengan segera dan insisi dan penghisapan dalam 30
menit sesudah gigitan, immobilisasi, dan pengiriman secepatnya, lebih baik pada suatu usungan,

merupakan tindakan yang paling berguna. Bila memungkinkan, pertahankan posisi ekstremitas
setinggi jantung. Jika dapat dikerjakan dengan aman, bunuhlah ular tersebut untuk identifikasi.

b. Lakukan evaluasi klinis lengkap dan pesanlah untuk pemeriksaan laboratorium dasar, hitung
sel darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protombin, waktu
tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis, dan penentuan gadar gula darah, BUN, dan
elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah,
waktu pembekuan, dan waktu retraksi bekuan.

c. Derajat envenomasi harus dinilai, dan observasi 6 jam untuk menghindari penilaian keliru dan
envenomasi yang berat.
d. Mulai larutan salin IV pada semua pasien; berikan oksigen, dan tangani syok jika ada.
e. Pertahankan posisi ekstremitas setinggi jantung; turniket di lepas hanya bila syok sudah
diatasi dan anti bisa diberikan.
f. Beberapa sumber menganjurkan eksplorsi bedah dini untuk menentukan kedalaman dan
jumlah jaringan yang rusak.

B.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1.

Pengkajian

Gejala tak segera muncul tetapi 15 menit sampai 2 jam kemudian setelah korban digigit ular.
Kondisi korban setelah digigit :
a. Reaksi emosi yang kuat, penglihatan kembar, mengantuk

b. Sakit kepala, pusing, dan pingsan


c. Mual atau muntah dan diare, gigitan biasanya pada tungkai atau kaki
d. Daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar
e. Sukar bernapas dan berkeringat banyak

2.

Diagnosa Keperawatan

a.Gangguan Jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin


b.Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin pada hipotalamus
c.Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh tak adekuat

3. Rencana Tindakan
a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan reaksi endotoksin
Intervensi :
- Auskultasi bunyi nafas
- Pantau frekuensi pernapasan
- Atur posisi klien dengan nyaman dan atur posisi kepala lebih tinggi
- Motivasi / Bantu klien latihan nafas dalam
- Observasi warna kulit dan adanya sianosis
- Kaji adanya distensi abdomen dan spasme otot
- Batasi pengunjung klien
- Pantau seri GDA
- Bantu pengobatan pernapasan (fisioterapi dada)
- Beri O2 sesuai indikasi (menggunakan ventilator)

b.Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin pada hipotalamus


Intervensi :
- Pantau suhu klien, perhatikan menggigil atau diaforesis
- Pantau suhu lingkungan, batasi linen tempat tidur
- Beri kompres mandi hangat
- Beri antipiretik
- Berikan selimut pendingin

c. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh tak adekuat
Intervensi :
- Berikan isolasi atau pantau pengunjung sesuai indikasi
- Cuci tangan sebelum dan sesudah aktivitas terhadap klien
- Ubah posisi klien sesering mungkim minimal 2 jam sekali
-Batasi penggunaan alat atau prosedur infasive jika memungkinkan
- Lakukan insfeksi terhadap luka alat infasif setiap hari
- Lakukan tehnik steril pada waktu penggantian balutan
- Gunakan sarung tangan pada waktu merawat luka yang terbuaka atau antisipasi dari kontak
langsung dengan ekskresi atau sekresi
- Pantau kecenderungan suhu mengigil dan diaforesis
- Inspeksi flak putih atau sariawan pada mulut
- Berikan obat antiinfeksi (antibiotic)

4.

Evaluasi

a. Menunjukan GDA dan frekuensi dalam batas normal dengan bunyi nafas vesikuler
b. Tidak mengalami dispnea atau sianosis
c. Mendemontrasikan suhu dalam batas normal
d. Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan
e. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi

DAFTAR PUSTAKA

Anonym.http://www.scribd.com/doc/33696167/LAPORAN-PENDAHULUAN-ICU

Daley eMedicine Snakebite : Article by Brian James, MD, MBA, FACS, 2006 available at
URL : http://www.emedicine.com/med/topic2143.htm

Hafid, Abdul, dkk., editor : Sjamsuhidajat,R. dan de Jong, Wim, Bab 2 : Luka, Trauma, Syok,
Bencana., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta, Mei 1997. Hal. 99-100. 2.

BAB I
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Gigitan ular adalah suatu keadan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa.
Bisa ular adalah kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek fisiologik yang luas atau
bervariasi. Yang mempengaruhi sistem multiorgan, terutama neurologik, kardiovaskuler, dan
sistem pernapasan.
(Suzanne Smaltzer dan Brenda G. Bare, 2001: 2490)
Ular berbisa dapat dibagi menurut reaksi bisanya yaitu:
1. Neurotoksik
2. Hemolitik
3. Neurotoksik dan hemolitik
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus
juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi,
yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu
modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang
mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
B. Macam-Macam Ular
1. Ular jenis Neurotoksik
Ular yang tergolong berbisa neurotoksik ialah keluarga Epiladae yaitu: ular kobra, ular
kraits, dan ular karang.
Gejala yang ditimbulkan :
1. Jantung berdenyut tak teratur, diikuti dengan kelemahan seluruh badan dan berakhir dengan
syok
2. Sakit kepala hebat, pusing, mengigau, pikiran terganggu sehingga tidak sadar

3. Otot tidak terkordinasi, sehingga tidak dapat mengambil atau memindahkan benda kecil
4. Sesak nafas karena terjadi kelumpuhan pernapasan
5. Mual, muntah dan mencret
2. Ular jenis Hemolitik
Ular jenis hemolitik termasuk dalam keluarga Krotaluidae, sering disebut juga keluarga
pit viper yaitu Rattelesnaker (crotalus), ular Copperhead (Angkis-Trodon)
Gejala yang ditimbulkan
1. Daerah yang digigit dalam waktu 3-5 menit akan membengkak hebat dan terjadi ganggren.
Hal ini disebabkan ular itu selalu mengeluarkan racun dan enzim proteolitik.
2. sakit yang hebat di daerah gigitan
3. daerah yang dihancurkan menembus dinding pembuluh lalu berkumpul di jaringan sekitarnya
4. Sakit kepala hebat dan haus
5. Terjadinya perdarahan dalam usus dan ginjal sehingga terjadi melena dan hematuria.
3. Ular Jenis Neurotoksik dan Hemolitik
Ular laut tergolong pada jenis neurotoksik dan hemolitik.
Tanda-tanda ular beracun:
1. diantara mata dan hidungnya terdapat cekungan.
2. Mempunyai 2 taring.
3. Pupil lonjong.
4. Dibawah ekornya terdapat sebaris lempengan.

Tanda-tanda Ular tidak Beracun:


1. pupilnya bundar.
2. Tidak mempunyai taring atau cekungan antara mata dan hidung.
3. Dibawah ekornya terdapat 2 baris lempengan.
C. Etiologi
Secara garis besar ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:
Colubridae (Mangroce cat snake, Boiga dendrophilia, dan lain-lain)
Elapidae (King cobra, Blue coral snake, Sumatran spitting cobra, dll)
Viperidae (Borneo green pit viper, Sumatran pit viper , dan lain-lain).
Bisa ular dapat menyebabkan perubahan local, seperti edema dan pendarahan. Banyak bisa yang
menimbulkan perubahan local, tetapi tetap dilokasi pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan

beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam . Daya toksik bisa
ular yang telah diketahui ada 2 macam :
a.

Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)

Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine ( dinding
sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender)
pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b.

Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)

Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan- jaringan sel saraf sekitar luka gigitan
yang menyebabkan jaringan- jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar
luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya
mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf
pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limphe.
D. Patofisiologi
Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut bersifat:
Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena paralise otot-otot
lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat
kesadaran menurun sampai dengan koma.
Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau
menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat
lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus
berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal.
Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan dengan mhaemotoksin.
Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel
otot.
Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardiovaskuler.

Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat
patukan
Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa

E. Pathway
Bisa ular masuk ke dalam tubuh

Daya toksik menyebar melalui peredaran darah

Gangguan sistin neurologi

Gangguan pernafasan

Gangguan pd sistem

Mengenai saraf yg b.d

kardiovaskuler

syok hipofolemik

Sistem pernafasan

Koagulapati hebat

Oedem saluran pernapasan

toksik masuk kepmbuluh darah


Gagal Napas

Sukar bernafas

hipotensi

F. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang umum ditemukan pada pasien bekas gigitan ular adalah :

Tanda-tanda bekas taring, laserasi


Bengkak dan kemerahan, kadang-kadang bulae atau vasikular
Sakit kepala, mual, muntah
Rasa sakit pada otot-otot, dinding perut
Demam
Keringat dingin
Bisa Neuro Toksik :
Kelumpuhan otot pernafasan
Kardiovaskuler terganggu
Kesadaran menurun sampai koma
Bisa Haemolytik :
Luka bekas patukan yang terus berdarah
Haematoma pada tiap suntikan IM
Haematuria
Haemoptisis/haematemesis
Kegagalan ginjal
Efek yang ditimbulkan akibat gigitan ular dapat dibagi tiga :
1. Efek lokal
Beberapa spesies seperti coral snakes, krait akan memberikan efek yang agak sulit di deteksi dan
hanya bersifat minor tetapi beberapa spesies, gigitannyadapat menghasilkan efek yang cukup
besar seperti: bengkak, melepuh, perdarahan, memar sampai dengan nekrosis. Yang mesti
diwaspadai adalahterjadinya syok hipovolemik sekunder yang diakibatkan oleh
berpindahnyacairan vaskuler ke jaringan akibat efek sistemik bisa ular tersebut.
2.

Efek sistemik

Gigitan ular ini akan menghasilkan efek yang non-spesifik seperti: nyeri kepala,mual dan
muntah, nyeri perut, diare sampai pasien menjadi kolaps. Gejalayang ditemukan seperti ini
sebagai tanda bahaya bagi petugas kesehatan untuk memberi petolongan segera.
3. Efek sistemik spesifik

Efek sistemik spesifik dapat dibagi berdasarkan:


Koagulopati
Beberapa spesies ular dapat menyebabkan terjadinya koagulopati. Tanda tanda klinis yang dapat
ditemukan adalah keluarnya darah terus menerusdari tempat gigitan, venipuncture dari gusi dan
bila berkembang akan menimbulkan hematuria, haematomesis, melena dan batuk darah.
Neurotoksik
Gigitan ular ini dapat menyebabkan terjadinya flaccid paralysis. Ini biasanya berbahaya bila
terjadi paralisis pada pernafasan. Biasanya tanda-tandayang pertama kali dijumpai adalah pada
saraf kranial seperti ptosis,oftalmoplegia progresif bila tidak mendapat anti venom akan
terjadikelemahan anggota tubuh dan paralisis pernafasan. Biasanya full paralysis akan memakan
waktu + 12 jam, pada beberapa kasus biasanya menjadilebih cepat, 3 jam setelah gigitan.
Miotoksisitas
Miotoksisitas hanya akan ditemukan bila seseorang diserang atau digigitoleh ular laut. Ular yang
berada didaratan biasanya tidak ada yang menyebabkan terjadinya miotoksisitas berat. Gejala
dan tanda adalah :nyeri otot, tenderness, mioglobinuria dan berpotensi untuk terjadinya
gagalginjal, hiperkalemia dan kardiotoksisitas
G.
1.

Derajat Gigitan Ular


Derajat 0

Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam


Pembengkakan minimal, diameter 1 cm
2.

Derajat I

Bekas gigitan 2 taring


Bengkak dengan diameter 1 5 cm
Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
3.

Derajat II

Sama dengan derajat I


Petechie, echimosis
Nyeri hebat dalam 12 jam
4.

Derajat III

Sama dengan derajat I dan II

Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh tubuh


5.

Derajat IV

Sangat cepat memburuk


H.

Pengelolaan Dan Penanganan

Prinsip Pengelolaan :
1.
2.

Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa


Membuang toksin

3.

Menetralkan bisa

4.

Mengobati komplikasi

Penatalaksanaan:
1.

Pertama kali yang ditangani adalah kondisi gawat yang mengancam nyawa ( prinsip

ABC) kesulitan bernafas memerlukan ETT (endo tracheal tube) dan ventilator. Gangguan
sirkulasi darah memerlukan cairan intra vena dan mungkin berbagai obat untuk menanggulangi
gejala yang timbul : nyeri, kesemutan, pembengkakan.
2.

Monitor tanda tanda kegawatan pernafasan dan kardiovaskuler.

3.

Siapkan ICU /ventilator bila sewaktu waktu terjadi gangguan pernafasan.

4.

Pasang intra venous line dengan jarum besar, berikan SABU 2 ampul / dalam 500 cc

Dextrose 5% / NaCL fisiologis, minimal 2000 cc per 24 jam. Maksimum pemberian SABU 20
ampul per 24 jam. Bila jenis ular yang mengigit diketahui dan ada SABU yang sesuai berarti
SABU monovalen diberikan, atau alternatif bila ular penggigit tidak diketahui dapat diberikan
bisa polivalen.
5.

Rawat /tutup luka dengan balutan steril dan salep / kasa antibiotic /antiseptic.

6.

Waspadai terjadi kompartemen sindrom : 5P (pain, pallor, pulselessness, paralysis,

pale)
7.

Berikan terapi suportif : tetanus toxoid, antibiotik

Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari pertolongan
medis jangan tinggalkan korban. selanjutnya lakukan prinsip :
R = Reassure

yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban, kepanikan akan menaikan tekanan
darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. terkadang pasien pingsan /
panik karena kaget.
I = Immobilisation
jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu
30 menit pertolongan medis tidak datang: lakukan tehnik balut tekan ( pressure-immoblisation )
pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut
tekan)

G = Get

bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.

T =Tell the Doctor

informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul pada korban.

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GIGITAN ULAR


A. Pengkajian
1. Primary survey
Nilai tingkat kesadaran
Lakukan penilaian ABC :
A airway: kaji apakah ada muntah, perdarahan
B breathing: kaji kemampuan bernafas akibat kelumpuhan otot-otot pernafasan
C circulation

: nilai denyut nadi dan perdarahan pada bekas patukan, Hematuria,

Hematemesis /hemoptisis
Intervensi primer
Bebaskan jalan nafas bila ada sumbatan, suction kalau perlu
Beri O2, bila perlu Intubasi

Kontrol perdarahan, toniquet dengan pita lebar untuk mencegah aliran getah bening (Pita
dilepaskan bila anti bisa telah diberikan). Bila tidak ada anti bisa, transportasi secepatnya ke
tempat diberikannya anti bisa.
Catatan : tidak dianjurkan memasang tourniquet untuk arteriel dan insisi luka
Pasang infus
2. Secondary survey dan Penanganan Lanjutan :
Penting menentukan diagnosa patukan ular berbisa
Bila ragu, observasi 24 jam. Kalau gejala keracunan bisa nyata, perlu pemberian anti bisa
Kolaborasi pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein,
maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa
bersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular. Serum antibisa ini
hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal yang luas.
Bila alergi serum kuda :
- Adrenalin 0,5 mg/SC
- ABU IV pelan-pelan
Bila tanda-tanda laringospasme, bronchospasme, urtikaria hypotensi : adrenalin 0,5 mg/IM,
hydrokortison 100 mg/IV
Anti bisa diulang pemberiannya bila gejala-gejala tak menghilang atau berkurang. Jangan
terlambat dalam pemberian ABU, karena manfaat akan berkurang.
Kaji Tingkat kesadaran
Nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
Ukur tanda-tanda vital
B.
a.

Diagnosa Keperawatan
Pola

napas

tidak

efektif

berhubungan

dengan

reaksi

endotoksin

b. Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin pada

hipotalamus

c.Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh tak adekuat
d. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur
isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.
C. Intervensi Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin


Intervensi :
Auskultasi bunyi nafas
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan
indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
Pantau frekuensi pernapasan
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan sirkulasi endotoksin.
Atur posisi klien dengan nyaman dan atur posisi kepala lebih tinggi
Motivasi / Bantu klien latihan nafas dalam
Observasi warna kulit dan adanya sianosis
Kaji adanya distensi abdomen dan spasme otot
Batasi pengunjung klien
Pantau seri GDA
Bantu pengobatan pernapasan (fisioterapi dada)
Beri O2 sesuai indikasi (menggunakan ventilator)
(Nanda, 2005: 4)

2. Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin pada hipotalamus


Intervensi :

Pantau suhu klien, perhatikan menggigil atau diaforesis


Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
Pantau suhu lingkungan, batasi linen tempat tidur
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati
normal.
Beri kompres mandi hangat
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat membuat kulit kering.
Beri antipiretik
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.

Berikan selimut pendingin


Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.

3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh tak adekuat
Intervensi :

Berikan isolasi atau pantau pengunjung sesuai indikasi


Cuci tangan sebelum dan sesudah aktivitas terhadap klien
Ubah posisi klien sesering mungkim minimal 2 jam sekali
Batasi penggunaan alat atau prosedur infasive jika memungkinkan
Lakukan insfeksi terhadap luka alat infasif setiap hari
Lakukan tehnik steril pada waktu penggantian balutan
Gunakan sarung tangan pada waktu merawat luka yang terbuaka atau antisipasi dari kontak
langsung dengan ekskresi atau sekresi
Pantau kecenderungan suhu mengigil dan diaforesis
Inspeksi flak putih atau sariawan pada mulut
Berikan obat antiinfeksi (antibiotic)
4. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur
isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.
Intervensi:
Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur perawatan.
Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas, memperjelas
kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.
Tunjukkan keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila prosedur bebas dari
nyeri.
Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan tersedia dan
bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya merawat luka.
Kaji status mental, termasuk suasana hati/afek.

Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi untuk menurunkan
dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien menunjukkan tenang dan status mental
waspada, menunjukkan disosiasi kenyataan, yang juga merupakan mekanisme perlindungan.
Dorong pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.
Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk membuat beberapa
rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan
jawaban terbuka/jujur.
Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat membantu
pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang terjadi.

D. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Jika tujuan tidak
tercapai, maka perlu dikaji ulang letak kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa
yang ditemukan, serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
a.

Menunjukan GDA dan frekuensi dalam batas normal dengan bunyi nafas vesikuler

b.

Tidak mengalami dispnea atau sianosis

c.

Mendemontrasikan suhu dalam batas normal

d.

Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan

e.

Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prinsip Pertolongan Pertama pada korban gigitan ular adalah, meringankan sakit, menenangkan
pasien dan berusaha agar bisa ular tidak terlalu cepat menyebar ke seluruh tubuh sebelum dibawa
ke rumah sakit. Pada beberapa tahun yang lalu penggunaan torniket dianjurkan. Seiring
berkembangannya ilmu pengetahuan kini dikembangkan metode penanganan yang lebih baik
yakni metode pembalut dengan penyangga. Idealnya digunakan pembalut dari kain tebal, akan
tetapi jika tidak ada dapat juga digunakan sobekan pakaian atau baju yang disobek menyerupai
pembalut. Metode ini dikembangkan setelah dipahami bahwa bisa menyebar melalui pembuluh
limfa dari korban. Diharapkan dengan membalut bagian yang tergigit maka produksi getah
bening dapat berkurang sehingga menghambat penyebaran bisa sebelum korban mendapat
ditangani secara lebih baik di rumah sakit
B.

Saran

Segera bawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Informasikan kepada dokter
mengenai penyakit yang diderita pasien seperti asma dan alergi pada obat obatan tertentu, atau
pemberian antivenom sebelumnya. Ini penting agar dokter dapat memperkirakan kemungkinan
adanya reaksi dari pemberian antivenom selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Hugh A. F. Dudley (Ed), Hamilto Bailey, Ilmu Bedah, Edisi XI, Gajah Mada University Press,
1992
Diane C. Baugman, Joann C. Hackley, Medical Surgical Nursing, Lippincott, 1996
Donna D. Ignatavicius, at al., Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, 2nd
Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1991.
Susan Martin Tucker, at al., Standar Perawatan Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan
Evaluasi, Edisi V, Volume 2, EGC, Jakarta, 1998.
Joice M. Black, Esther Matassarin Jacobs, Medical Surgical Nursing : Clinical Management for
Contuinity of Care, 5th Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1997.
Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
1990
(Zulfikar. 2012. Askep Gigitan Ular, (Online)
http://zulfikar.blogspot.com/2012/12/askep-gigitan-ular.html,diakses27November 2012).
http://yafet-geu.blogspot.com .kumpulan askep gawat darurat.diakses 27November 2012

VULNUS MORSUM ( GIGITAN ULAR DAN ANJING )


A. Pengertian
-

Luka adalah suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh yang terjadi akibat

kekerasan (Mansjoer, 2000)

Jejas gigit (Bite Mark) dapat berupa luka lecet tekan berbentuk garis lengkung

terputus-putus hematoma tau luka robek dengan tepi rata, luka gigitan umumnya masih
baik strukturnya sampai 3 jam pasca trauma, setelah itu dapat beruba bentuk akibat
elastisitas kulit (Mansjoer,2000)
-

Vulnus morsum merupakan luka yang tercabik-cabik yang dapat berupa memar yang

disebabkan oleh gigitan binatang atau manusia (Morison J,2003)


B. Etiologi
1.

Gigitan ular berbisa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a.

Famili Elipadae, terdiri dari :

Najabungarus (King Cobra), berwarna coklat hijau dan terdapat di Sumatra dan

Jawa

Najatripudrat sputatrix (Cobra Hitam, ular sendok) panjangnya sekitar 1,5 meter

terdapat di Sumatra dan di Jawa

Najabungarus Candida (Ular sendok berkaca mata) sangat berbahaya dan terdapat di

India
b. Famili Viperidae, terdiri dari :

Ancistrodon rodostom (Ular tanah)

Lacheis Graninius (Ular hijau pohon)

Micrurus Fulvius (Ular batu koral)

c.

Famili Hydrophydae

2.

Gigitan Anjing, virus rabies yang bersifat neurotropik dan menyebabkan ensefalitis

virus serta infeksi melalui saliva dan gigitan anjing, kucing, rubah, srigala, kelelawar yang
menderita rabies

C.
1.

Manifestasi Klinik
Gigitan Ular

Keluhan dan gejala tergantung pada jenis ular :


-

Pada gigitan ular family elapidae keluhan dan gejala berupa nyeri, edema, pitosis,

sengau, kelumpuhan lidah dan faring, mual, muntah, salivasi, hematuri, melena,
kelumpuhan leher dan kelumpuhan anggota gerak serta pernafasan
-

Gigitan ular family viperdae, keluhan dan gejalanya berupa nyeri, ekimosis, gagal

ginjal akut, sputum bercampur darah


-

Gigitan ular hydrophydae, keluhan dan gejala berupa nyeri, kekakuan otot, nyeri

pada otot sampai pada 1 jam setelah gigitan, kelumpuhan otot, oftalmoplegi, disfagia,
mioglobinuri (3 sampai 6 jam setelah gigitan)
Klasifikasi keracunan akibat gigitan ular berbisa :
-

Derajat 0

Dengan tanda-tanda tidak keracunan, hanya ada bekas taring dan gigitan ular, nyeri
minimal dan terdapat edema dan eritema kurang dari 1 inci dalam 12 jam, pada umumnya
gejala sistemik yang lain tidak ada
-

Derajat 1

Terjadi keracunan minimal, terdapat bekas taring dan gigitan, terasa sangat nyeri dan
edema serta eritema seluas 1-5 inci dalam 12 jam, tidak ada gejala sistemik
-

Derajat 2

Terjadi keracunan tingkat sedang terdapat bekas taring dan gigitan, terasa sangat nyeri
dan edema serta eritemayang terjadi meluas antara 6-12 inci dalam 12 jam. Kadangkadang dijumpai gejala sistemik seperti mual, gejalaneurotoksi, syok, pembesaran kelenjar
getah beningregional
-

Derajat 3

Terdapat gejala keracunan yang hebat, bekas taring dan gigitan, terasa sangat nyeri,
edema dan eritema yang terjadi luasnya lebih dari 12 inci dalam 12 jam. Juga terdapat
gejala sistemik seperti hipotensi, petekhiae, dan ekimosis serta syok
-

Derajat 4

Gejala keracunan sangat berat, terdapat bekas taring dan gigitan yang multiple, terdapat
edema dan lokal pada bagian distal ekstremitas dan gejala sistemik berupa gagal ginjal,
koma sputum berdarah.

2.

Gigitan Anjing

Terdiri dari beberapa stadium :


-

Stadium Prodromal

Pada stadium ini gejalanya tidak spesifik, nyeri kepala, demam yang kemudian diikuti
dengan anoreksia, mual muntah, malaise, kulit hipersensitif, serak dan pembesaran
kelenjar limfe regional
-

Masa Perangsangan Akut (Agitasi), stadium ini ditandai adanya kecemasan,

berkeringat, gelisah oleh suara atau cahaya terang, salvias, insomnia, nervouseness,
spasme otot kerongkongan, tercekik, sukar menelan cairan atau ludah, hidrofobia, kejangkejang, kaku
-

Masa Kelumpuhan, terjadi akibat kerusakan sel saraf, penderita menjadi

kebingungan, sering kejang-kejang, inkontinensiaurin, stupor, koma, kelumpuhan otototot dan kematian.
D. Komplikasi
-

Gigitan ular, gejala sistemik berupa gagal ginnjal, syok dan koma dan bisa

menyebabkan kematian
-

Gigitan anjing, kerusakan sel syaraf, kelumpuhan otot-otot serta kematian

E. Pemeriksaan Diagnostik
1.

Gigitan ular

Pada pemeriksaan darah dapat dijumpai hipoprototrombinemia, trombositopenia,

hipofibrinogenemia dan anemia


-

Pada foto rontgen thoraks dapat dijumpai emboli paru dan atau edema paru

2. Gigitan anjing
- Diagnosis pada manusia ditegakkan dengan tes antibodi netraslisasi rabies yang positif
dan
- Diagnosis pada hewan ditegakkan dengan pemeriksaan otak secara otopsi. Pada otopsi
otak akan ditemukan badan inklusivirus (Negris bodies) didalam sel saraf

F. Penatalaksanan
a.

Gigitan ular

Cegah penyebaran bisa dari daerah gigitan


-

Pasang tourniquet didaerah proksimal daerah gigitan atau pembengkakan untuk

membendung sebagian aliran limfe dan vena


-

Letakkan daerah gigitan lebih rendah dari tubuh

Boleh diberikan kompres es local

Usahakan penderita setenang mungkin, bisa diberikan petidine 50 mg im untuk

menghilangkan nyeri
Perawatan luka
-

Hindari kontak luka dengan larutan asam KmnO4, yodium, atau benda panas

Zat anestetik disuntikkan disekitar luka, jangan kedalam luka bila perlu pengeluaran

dibantu dengan penghisapan melalui breast pump


1. Bila mungkin berikan suntikkan anti bisa (antivenin) dengan dosis 4-5 ampul dewasa,
anak-anak dengan dosis yang lebih besar (2-3 kali)
2. Perbaikan sirkulasi
-

Kopi pahit pekat

Kafein Na benzoate 0,5 g/iv

Bila perlu diberikan vasokonstriktor, misal epedrin 10-25 mg dalam 500-100 ml

cairan/drip
3.

Obat lain

ATS 1500-3000 ui

Toksoid tetanus 1ml

Antibiotik

b. Gigitan anjing
1. Luka dibersihkan dengan sabun dan air berulang-ulang
2. Irigasi dengan larutan betadine, bila perlu lakukan debridement
3. Jangan melakukan anestesi infiltrasi local tetapi anestesi dengan cara blok atau umum
4. Balut luka secara longgar dan observasi luka 2 kali sehari

5. Berikan ATS atau HTIG


6. Bila luka gigitan berat berikan suntikkan infiltrasi serum anti rabies disekitar luka

PATOFLOW
Etiologi vulnus morsum
( gigitan manusia, binatang,
dll )

Kerusakan kulit

Rusaknya barier tubuh

Terpapar dengan lingkungan

Resti infeksi

Traumatik jaringan

Terputusnya kontinuitas
jaringan

Kerusakan syaraf perifer

Menstimulasi pengeluaran
neurotransmitter
(prostaglandin, histamine,
bradikinin, serotonin)

Serabut eferen

Medula spinalis

Korteks serebri

Serabut aferen

Perdarahan berlebih

Perpindahan cairan
intravaskuler ke
ekstravaskuler

Keluarnya cairan tubuh


(ketidakseimbangan)

Kekurangan volume cairan

Resti syok hipovolemik

Nyeri

Kemempuan ambang batas


tubuh tidak menahan

Stress

Ansietas

Syok neurogenik

Gangguan pola
istirahat dan tidur
Aktifitas motorik terbatas

Kekuatan otot menurun

Gangguan mobilisasi
fisik

Defisit
perawatan diri

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kedaruratan


A.

Pengkajian

B. Diagnosa keperawatan
1.

Gangguan perfusi jaringan perifer b.d adanya edema

2.

Kekurangan volume cairan b.d anoreksia, nausea vomiting dan intake tidak adekuat

3.

Nyeri b.d terputusnya kontinuitas jaringan kulit

C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan selama perawatan , gangguan perfusi jaringan perifer tidak
terjadi dengan kriteria :
-

Nadi teratur (60-100 x/menit)

TD dalam batas normal

Tidak ada edema

No
Intervensi
Rasional
1 Obsevasi warna, sensasi, gerakan nadiPembentukan odema dapat
perifer melalui dopler dan pengisiansecara
cepat
menekan
kapiler
pada
ekstremitas
luka,pembuluh darah sehingga
bandingakan dengan ekstremitas yangmempengaruhi sirkulasi
tidak sakit
2 Tinggikan eksteremitas yang sakit denganMeningkatkan
sirkulasi
tepat
sistemik atau aliran balik
vena dan dapat menurunkan
edema
3 Ukur TD
pada ekstremitas yang Dapat mengetahui secara
mengalami luka, lepaskan manset TDberkesinambungan TD dan
setelah mendapatkan hasil
menentukan intervensi yang
tepat,
dengan
dibiarkan
manset pada tempatnya dapat
meningkatkan pembentukan
edema
4 Dorong latihan gerak aktif pada bagianMeningkatkan sirkulasi local
tubuh yang tidak sakit
dan sistemik
5 Observasi nadi secara tertur
Disritmia
jantung
dapat
terjadi akibat perpindahan
elektrolit
Diagnosa 2
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan selama perawatan kebutuhan cairan terpenuhi dengan kriteria
:
-

TTV dalam batas normal

Menunjukan perbaikan keseimbangan cairan

Haluaran urine normal


No Intervensi
Rasional
1 Awasi tanda vital, CVP, perhatikanMemberi pedoman untuk
pengisian kapiler dan kekuatan nadipenggantian
cairan
dan
perifer
mengkaji
respon
kardiovaskuler
2 Awasi haluaran urine dan observasiPenggantian cairan harus
warna urine
difiltrasi untuk meyakinkan
rata-rata
atau
balance
haluaran
urine
dan
pemasukan

3
4

Observasi mual muntah


frekuensinya

sesuai denganUntuk mengobservasi output


cairan dan menyesuaikan
intake cairan
Berikan penggantian cairan IV yangResusitasi
cairan
dihitung, elektrolit, plasma dan albumin menggantikan
kehilangan
cairan
elektrolit
dan
membantu
pencegahan
komplikasi
Observasi pemeriksaan laboratoriumMengidentifikasi kehilangan
( Hb, Ht, elektrolit dan natrium urine )
darah atau kerusakan sel
darah merah dan kebutuhan
penggantian
cairan
dan
elektrolit

Diagnosa 3
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keprawtan, nyeri berkurang dengan kriteria :
-

Ekspresi wajah atau postur tubuh rileks

Dapat beristirahat dengan tepat

Nyeri berkurang/ terkontrol dengan TTV dalam keasaan normal.


No
Intervensi
1 Tutup luka sesegera mungkin
2

3
4

Rasional
Suhu dan gerakan udara
dapat menyebabbkan nyeri
pada pemajanan ujung saraf
Observasi keluhan nyeri, perhatikanPerubahan lokasi/ karakter/
lokasi atau karakter, intensitas
intersitas
nyeri
dapat
mengidentifikasi
terjadinya
komplikasi
Jelaskan prosedur/ berikan informasiDukungan
empati
dapat
setelah debridement luka
membantu mengurangi nyeri
atau meningkatkan relaksasi
Dorong ekspresi perasaan teentang nyeri Pernyataan
memungkinkan
pengungkapan emosi dan
dapat
meningkatkan
mekanisme koping
Dorong penggunaan tekhnik manajemenMemfokuskan
kembali
stress dan tekhnik relaksasi
perhatian dan meningkatkan
relaksasi

DAFTAR PUSTAKA
Aziz (2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.Salemba Medika : Jakarta
Brunner and suddarth. 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Edisi 8. Volume 1.
Jakarta : EGC
................................ 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta :
EGC
................................ 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta :
EGC
Cecily. L. Betz (2002). Buku Saku Keperawatan pediatrik. Edisi 3. Jakarta : ECG
Corwin. J. Elizabeth (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Doenges. Marilynn E. 2000. Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : EGC
Donna L Wong (2003). Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EGC
Gallo and hudak. 1997. Keperawatan kritis pendekatan holistik jilid 1. Jakarta : EGC
......................... 1997. Keperawatan kritis pendekatan holistik jilid 1. Jakarta : EGC
Halloway. Brenda. 2003. Rujukan Cepat Keperawatan Klinis. EGC : Jakarta
EGMansjoer. Arif. 2000. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta : EGC
Nelson (1999). Ilmu Kesehatan Anak.Edisi 14. Jakarta : EGC
Ngastiyah (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Oman. Kathleen.2008. Panduan Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Purwandianto.Agus. 1979. Kedaruratan Medik Pedoman Penatalaksanaan praktis edisi 3. PT
Bina Rupa Aksara: Jakarta
Sumiardi. 1995. Bedah Minor. Hipocrates: Jakarta
Sylvia. A. 1997. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta : EGC
Tambunan. 1990. Buku panduan penatalaksanaan gawat darurat. Fakultas kedokteran
universitas indonesia. Jakarta
Tantowo. 2007. Keperawatan medikal bedah, gangguan sistem pernafasan. Sagung seto.
Jakarta
Tim Training dan Tim Pengkaji Medis Internasional SOS. 2008. PPGD (Pertolongan
Pertama Gawat Darurat) Level 2. International SOS Training Departement: Jakarta

Patofisiologi
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut
menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai system. Seperti,
sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan.

Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang
berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada saluran
pernapasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat
mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan dapat mengakibatkan syok
hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas.
Pathway
- Sukar bernapas
- Bisa ular masuk ke dalam tubuh
- Daya toksik menyebar melalui peredaran darah
- Gangguan system
- Neuroligist
- Gangguan system
- Kardiovaskuler
- Gangguan system
- Pernapasan
- Oedema pada saluran pernapasan
- Toksik masuk pembuluh darah
- Koagulopati hebat
- Hipotensi
- Gagal napas

- Mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem pernapasan


- Syok hipovolemik
Manifestasi Klinis
Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan ular.
Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena
darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit).
Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu
terjadi oedem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor
(muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness
(denyutan).
Tanda dan gejala khusus pada gigitan family ular :
a. Gigitan Elapidae
Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral
snakes, mambas, kraits), cirinya:
1) Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada
kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2) Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3) 15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10 jam muncul paralisis urat-urat
di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah menelan, otot lemas,
kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di
sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24 jam.

b.

Gigitan Viperidae/Crotalidae

Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di
dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
2) Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam.
3) Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2
jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c. Gigitan Hydropiidae
Misalnya, ular laut, cirinya:
1.

Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.

2.

Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri

menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang
ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti
jantung.
d. Gigitan Crotalidae
Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1.

Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di

daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae antivenin.
2.

Anemia, hipotensi, trombositopeni.

Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori:
a. Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa

sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat
berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar
sisi gigitan luka.
b.

Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat

menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen. Korban
dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka yang lama.
Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan kematian.
c. Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada sistem
saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat menghentikan otototot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat
menderita masalah visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan kesemutan.
d. Kematian otot, bisa dari russells viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa
elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa area
tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba menyaring
protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
e. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata
korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada mata

SNAKEBITE
Disusun Oleh
Muhammad Akbar

1.

Komposisi, Sifat dan Mekanisme Kerja Bisa ular

Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat
diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%)
adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein nontoksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu
enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam
bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma
venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan
trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam
jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya
rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang
bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel
vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase,
kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006)
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5
nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini
menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis
atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar
sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998)
Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti
neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan,
kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang
jaringan untuk menghasikan zat zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat
lambat (Sudoyo, 2006).

2.

Jenis jenis ular berbisa

Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira kira ratusan
jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa
yang berbahaya bagi manusia. (de Jong, 1998)

Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar
250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli
utama yaitu:

Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai

Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo

Familli Hydrophidae, misalnya ular laut

Familli Colubridae, misalnya ular pohon

Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu
rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:
Ciri ciri ular tidak berbisa:

Bentuk kepala segi empat panjang

Gigi taring kecil

Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung

Ciri ciri ular berbisa:

Kepala segi tiga

Dua gigi taring besar di rahang atas

Dua luka gigitan utama akibat gigi taring

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia
adalah jenis ular :

Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular

tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan
kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan)

Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra,

ular laut.
Neurotoksin pascasinaps seperti -bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin
pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti -bungarotoxin, crotoxin, taipoxin
dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada
neuromuscular junction.
Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara
spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.

3.

Patofisiologi

Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini disimpan
di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa
yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan
yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas
dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan.
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease,
colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin
terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah
(1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan
mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk
efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim
trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan
menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik (Warrell,2005).

4.

Gejala klinis

Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jarinagan yang luas dan hemolisis. Gejala
dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem,
petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau
perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular
berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa
lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang
timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada
pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti
nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang
kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998)
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan
memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):

Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24 jam)

Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi,

muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur

Gejala khusus gigitan ular berbisa :

Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum,

otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri,
koagulasi intravaskular diseminata (KID)
o

Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis

oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma


o

Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma

Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor,

paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006)


Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
Derajat

Venerasi

Luka gigit

Nyeri

Udem/ Eritem

Tanda sistemik

+/-

<3cm/12>

+/-

3-12 cm/12 jam

II

+++

>12-25 cm/12 jam

+
Neurotoksik,
Mual, pusing, syok

III

++

+++

>25 cm/12 jam

++
Syok, petekia,
ekimosis

IV

+++

+++

>ekstrimitas

++
Gangguan faal ginjal,
Koma, perdarahan

Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :

Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat

penyakit sebelumnya.

Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.

Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular:


Gigitan Elapidae

Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan,

sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika
dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak
dekat gigitan melebar.

Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada

kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.

Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk

paralisis dari urat urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar
bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah,

pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan
sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak
sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat
dalam waktu satu jam dapat timbul gejala gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24
jam.
Gigitan Viperidae:

Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat

gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan

Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah,

berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring
ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan
faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan
jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat.
Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau
ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hidropiidae:

Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah

Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,

spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis,
mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk
diagnostik), ginjal rusak, henti jantung
Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:

Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah

gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen
crotalidae antivenin

Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting

Gigitan Coral Snake:


Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius
antivenin) (Sudoyo, 2006)

Tanda dan gejala lokal


1.

Tanda gigi taring

2.

Nyeri lokal

3.

Pendarahan lokal

4.

Bruising

5.

lymphangitis

6.

Bengkak, merah, panas

7.

Melepuh

8.

Necrosis

Gejala dan tanda sistemik umum


Umum
mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration
Kardiovascular (Viperidae)
Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia cardiac,
oedema pulmo, oedema conjungtiva
Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae)

Perdarahan dari luka gigitan

Perdarahan sitemik spontan dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena,

hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura, Ecchymoses
dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intrakranial
Neurologik (Elapidae, Russells viper)
Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, heavy eyelids, ptosis,
ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang di inervasi oleh nervus
kranialis, aphonia, difficulty in swallowing secretions, respiratory and generalised flaccid
paralysis
Otot rangka (sea snakes, Russells viper)
Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia,
cardiac arrest, gagal ginjal akut
Ginjal (Viperidae, sea snakes)
LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan
gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest pain)
Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russells viper)
Fase akut: syok, hypoglycaemia
Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of secondary sexual
hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism. (Warrell, 1999)

5.

Pemeriksaan

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu

perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar,
golongan darah dan uji cocok silang

Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)

EKG

Foto dada

6.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :

Anafilasis

Trombosis vena bagian dalam

Trauma vaskular ekstrimitas

Scorpion Sting

Syok septik

Luka infeksi

7.

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah

Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular

Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah

Mengatasi efek lokal dan sistemik (Sudoyo, 2006)

Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya taring
ular sepanjang dan sedalam cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia
alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan
akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan
berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak cm dari lubang gigitan,
sampai kedalaman fasia otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa centimeter di
proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan tekanan yang cukup
untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua
jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada
pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es.
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau intra arteri
yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda
yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat
tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada
bahaya syok anafilaksis.
Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian vasopresor untuk
menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem
pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator
untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi
pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom
kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan
bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit.
Bila ragu ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena
kadang efek keracunan bisa timbul lambat.

Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan infeksi. (de
Jong, 1998)

Tindakan Pelaksanaan
1.

Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan

adalah

Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan

Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang

mengandung alkohol

Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat

daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan
lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan
menahan aliran vena atau ateri.
2.

Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:

Penatalaksanaan jalan napas

Penatalaksanaan fungsi pernapasan

Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid

Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas

luka, imobilisasi (dengan bidai)

Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-

dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK.
Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati

Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection

Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan),

polivalen 1 ml berisi:

10-50 LD50 bisa Ankystrodon

25-50 LD50 bisa Bungarus

25-50 LD50 bisa Naya Sputarix

Fenol 0.25% v/v

Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan
kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak
dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat

meningkat maka diberikan SABU

Derajat II: 3-4 vial SABU

Derajat III: 5-15 vial SABU

Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU


Pedoman terapi SABU menurut Luck
align=
Derajat

Beratnya
evenomasi

Taring atau
gigi

Ukuran zona edema/ Gejala sistemik


eritemato kulit (cm)

Jumlah vial
venom

Tidak ada

<>

Minimal

2-15

II

Sedang

15-30

10

III

Berat

>30

++

15

IV

Berat

<>

+++

15

Pedoman terapi SABU menurut Luck

Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit

Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom


Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu

pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1
dan 3 jam berikutnya, dst.
Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu

pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk
memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani
operasi minimal 2 minggu setelah gigitan

Terapi suportif lainnya pada keadaan :

Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan

antivenin)

Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah,

fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit

Hipotensi: beri infus cairan kristaloid

Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat

Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota

badan

Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi

Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase),

diawali dengan sulfas atropin

Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan

Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari

penggunaan obat obatan narkotik depresan

Terapi profilaksis
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang

dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis

Beri toksoid tetanus

Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)

Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular

Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai

sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi
pada daerah paha bagian bawah sampai kaki

Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular

Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak semak

Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti

Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat

kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006)

DAFTAR PUSTAKA
Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care,
University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com.
De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta

Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East
Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine, Faculty of
Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ 2005;
331:1244-1247 (26 November), doi:10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Insiden kira kira 8000 orang terkena gigitan ular berbisa setiap tahun di Amerika Serikat,
dengan lebih 98% dari gigitan mengenai ekstremitas. Sejak tahun 1960, rata- rata 14 korban
setiap tahun meninggal di Amerika Serikat karena gigitan ular, dengan 70% kebanyakan di lima
daerah serikat termasuk Texas, Georgia, Florida, Alabama, dan California Selatan.
Di Amerika Utara ular beracun merupakan anggota keluarga Crotalidae atau pit viper atau dari
keluarga elipidae atau ular karang. Keluarga ular Rattle bertanggung jawab atas kira-kira 70%
kematian karena gigitan ular, sementara kematian karena gigitan ular jenis kepala kuning
tembaga (copperhead) sangat jarang.
Ular berbisa dibandingkan ular tak berbisa pit viper dinamakan demikian karena memiliki ciri
lekukan yang sensitif terhadap panas terletak antara mata dan lubang hidung pada tiap sisi
kepala. Pit viper juga memiliki pupil berbentuik elips, berlainan dengan pupil bulatyang
memiliki ular jenis tak bebahaya. Sebaliknya, ular karang memiliki pupil bulat dan sedikit

lekukan pada muka. Pit viper memiliki gigi taring panjang dan sederet gigi subkaudal. Ular tak
berbisa banyak memiliki gigi dibanding dengan taring dan mempunyai dua deret gigi subkaudal.
Untuk membedakan ular karang berbisa dengan ular lain yang mirip warnanya, harus diingat
bahwa ular karang memiliki hidung berwarna hitam dan memiliki juga guratan cincin warna
merah yang berdampingan dengan warna kuning.
Bisa dari ular berbisa mengandung hialuronidase, yang menyebabkan bisa dapat menyebar
dengan cepat melalui jaringan limfatik superfisisal. Toksin lain yang terkandung dalam bisa ular,
antara lain neurotoksin, toksin hemoragik dan trombogenik, toksin hemolitik, sitotoksin, dan
antikoagulan.
1.2 Tujuan
a. Tujuan umum
Mahasiswa mampu memahami tentang gigitan ular dan mampu memberikan asuhan keperawatan
pada klien tersebut dalam kegawat daruratan.
b. Tujuan khusus
Mahasiswa mampu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Memahami tentang definisi ggigitan ular


Memahami tentang etiologi gigitan ular
Memahami tentang patofisiologi gigitan ular
Memahami tentang manifestasi klinis gigitan ular
Memahami tentang komplikasi klien gigitan ular
Memahami tentang penatalaksanaan gigitan ular
Melakukan pengkajian gawat darurat pada klien dengan gigitan ular
Memberikan asuhan keperawatan gawat darurat pada klien dengan gigitan ular

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gigitan ular adalah suatu keadan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa. Bisa ular adalah
kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek fisiologik yang luas atau bervariasi. Yang
mempengaruhi sistem multiorgan, terutama neurologik, kardiovaskuler, dan sistem pernapasan.
(Suzanne Smaltzer dan Brenda G. Bare, 2001: 2490)
.
2.2 Etiologi
Secara garis besar ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:
Colubridae (Mangroce cat snake, Boiga dendrophilia, dan lain-lain)
Elapidae (King cobra, Blue coral snake, Sumatran spitting cobra, dll)
Viperidae (Borneo green pit viper, Sumatran pit viper , dan lain-lain).
2.3 Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang umum ditemukan pada pasien bekas gigitan ular adalah :
Tanda-tanda bekas taring, laserasi
Bengkak dan kemerahan, kadang-kadang bulae atau vasikular
Sakit kepala, mual, muntah
Rasa sakit pada otot-otot, dinding perut
Demam
Keringat dingin
2.4 Patofisiologi
Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut bersifat:
Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena paralise otot-otot
lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat
kesadaran menurun sampai dengan koma.
Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau
menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat
lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus
berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal.
Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan dengan haemotoksin.
Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel
otot.
Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.

Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat


terganggunya kardiovaskuler.
Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat
patukan
Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa
2.5 Pathway
Terlampir
2.6 Komplikasi
a. Syokhipovolemik
b. Edema paru
c. Kematian
d. Gagal napas
2.7 Derajat Gigitan Ular
1.

Derajat 0
Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
Pembengkakan minimal, diameter 1 cm

2.

Derajat I
Bekas gigitan 2 taring
Bengkak dengan diameter 1 5 cm
Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam

3.

Derajat II
Sama dengan derajat I
Petechie, echimosis
Nyeri hebat dalam 12 jam

4.

Derajat III
Sama dengan derajat I dan II
Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh tubuh

5.

Derajat IV
Sangat cepat memburuk

2.8 Pemeriksaan penunjang


Adapun pemeriksaan penunjang gigitan ular antara lain :
a. Pemeriksaan laboratorium dasar,
b. Pemeriksaaan kimia darah,
c. Hitung sel darah lengkap,
d. Penentuan golongan darah dan uji silang,
e. Waktu protrombin,
f. Waktu tromboplastin parsial,
g. Hitung trombosit,
h. Urinalisis,
i. Penentuan kadar gula darah,
j. BUN,
k. elektrolit.
Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu
pembekuan, dan waktu retraksi bekuan.
2.9 Kegawatan
a. Pertolongan pertama, jangan menunda pengiriman ke rumah sakit. Apabila penanganan
medis tersedia dalam beberapa jam, satu-satunya tindakan dilapangan adalah immobilisasi pasien
dan pengiriman secepatnya. Jika penanganan lebih dari 3-4 jam dan jika envenommasi sudah
pasti, melakukan pemasangan torniket limfatik dengan segera dan insisi dan penghisapan dalam
30 menit sesudah gigitan, immobilisasi, dan pengiriman secepatnya, lebih baik pada suatu
usungan, merupakan tindakan yang paling berguna. Bila memungkinkan, pertahankan posisi
ekstremitas setinggi jantung. Jika dapat dikerjakan dengan aman, bunuhlah ular tersebut untuk
identifikasi.
b. Lakukan evaluasi klinis lengkap dan pesanlah untuk pemeriksaan laboratorium dasar, hitung
sel darah lengkap,

penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protombin, waktu

tromboplastinparsial, hitung trombosit, urinalisis, dan penentuan kadar gula darah, BUN, dan
elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah,
waktu pembekuan, dan waktu retraksi bekuan.
c. Derajat envenom masih harus dinilai, dan observasi 6 jam untuk menghindari penilaian
keliru dan envenomasi yang berat.
d. Mulai larutan salin IV pada semua pasien; berikan oksigen, dan tangani syok jika ada.
e. Pertahan kan posisi ekstremitas setinggi jantung; turniket di lepas hanya bila syok sudah
diatasi dan antibiotik bisa diberikan.
f. Beberapa sumber menganjurkan eksplorsi bedah dini untuk menentukan kedalaman dan
jumlah jaringan yang rusak.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas
a) Identitas klien
b) Identitas penanggung jawab
2. Riwayat keperawatan
a) Alasan masuk RS
b) Keluhan utama
c) Riwayat kesehatan sekarang
d) Riwayat kesehatan masa lalu
e) Riwayat kesehatan keluarga
f) Riwayat alergi
3. Pengkajian ABC
1. Primary survey
Nilai tingkat kesadaran
Lakukan penilaian ABC :
A airway: kaji apakah ada muntah, perdarahan
B breathing: kaji kemampuan bernafas akibat kelumpuhan otot-otot pernafasan
C circulation : nilai denyut nadi dan perdarahan pada bekas patukan, Hematuria,
Hematemesis /hemoptisis
Intervensi primer
Bebaskan jalan nafas bila ada sumbatan, suction kalau perlu
Beri O2, bila perlu Intubasi
Kontrol perdarahan, toniquet dengan pita lebar untuk mencegah aliran getah bening (Pita
dilepaskan bila anti bisa telah diberikan). Bila tidak ada anti bisa, transportasi secepatnya ke
tempat diberikannya anti bisa.
Catatan : tidak dianjurkan memasang tourniquet untuk arteriel dan insisi luka
Pasang infus
2. Secondary survey dan Penanganan Lanjutan :
Penting menentukan diagnosa patukan ular berbisa
Bila ragu, observasi 24 jam. Kalau gejala keracunan bisa nyata, perlu pemberian anti bisa
Kolaborasi pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein,
maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa
bersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular.
Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal yang luas.
Bila alergi serum kuda :

- Adrenalin 0,5 mg/SC


- ABU IV pelan-pelan
Bila tanda-tanda laringospasme, bronchospasme, urtikaria hypotensi : adrenalin 0,5 mg/IM,
hydrokortison 100 mg/IV
Anti bisa diulang pemberiannya bila gejala-gejala tak menghilang atau berkurang. Jangan
terlambat dalam pemberian ABU, karena manfaat akan berkurang.
Kaji Tingkat kesadaran
Nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
Ukur tanda-tanda vital
3.2 Analisa Data
Tgl/jam

Data Fokus
DS :

Problem

Etiologi

DO:
Data subyektif dan Data obyektif sesuai dengan data yang ditemukan pada saat pengkajian
3.3 Diagnosa keperawatan
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan cairan darah pada paru
2) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan paralisis otot
3.4 Intervensi (tujuan dan kriteria hasil)
1)
Pola
napas tidak efektif
b/d

penumpukan

cairan

darah

pada

paru.

Intervensi :
Auskultasi bunyi nafas
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan
indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
Pantau frekuensi pernapasan
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan sirkulasi endotoksin.
Atur posisi klien dengan nyaman dan atur posisi kepala lebih tinggi
Motivasi / Bantu klien latihan nafas dalam
Observasi warna kulit dan adanya sianosis
Kaji adanya distensi abdomen dan spasme otot
Batasi pengunjung klien
Pantau seri GDA
Bantu pengobatan pernapasan (fisioterapi dada)
Beri O2 sesuai indikasi (menggunakan ventilator)
(Nanda, 2005: 4)
2. Intoleransi aktifitas b/d paralisis otot
Intervensi:
Ajarkan tekhnik alih baring setiap 2 jam sekali
Rasional: menghindari adanya luka dekubitus.

Ajarkan tekhnik latihan otot ringan


Rasional: menghindari adanya kekauan otot berkepanjangan.
Ajarkan pasien untuk memenuhi kebutuhan pribadi ringan
Rasional: mengurangi tingkat ketergantungan kepada orang lain.
3.5 Implementasi
Mencantumkan tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan prioritas ABCD, dengan
urutan tindakan yang dilakukan di IGD (sesuai fakta yang dilakukan/ aplikasi), dilengkapi
dengan waktu.
3.6 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Jika tujuan tidak
tercapai, maka perlu dikaji ulang letak kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa
yang ditemukan, serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
a. Menunjukan GDA dan frekuensi dalam batas normal dengan bunyi nafas vesikuler
b. Tidak mengalami dispnea atau sianosis
c. Mendemontrasikan suhu dalam batas normal
d. Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan
e. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi

BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Prinsip Pertolongan Pertama pada korban gigitan ular adalah, meringankan sakit, menenangkan
pasien dan berusaha agar bisa ular tidak terlalu cepat menyebar ke seluruh tubuh sebelum dibawa
ke rumah sakit. Pada beberapa tahun yang lalu penggunaan torniket dianjurkan. Seiring
berkembangannya ilmu pengetahuan kini dikembangkan metode penanganan yang lebih baik
yakni metode pembalut dengan penyangga. Idealnya digunakan pembalut dari kain tebal, akan
tetapi jika tidak ada dapat juga digunakan sobekan pakaian atau baju yang disobek menyerupai

pembalut. Metode ini dikembangkan setelah dipahami bahwa bisa menyebar melalui pembuluh
limfa dari korban. Diharapkan dengan membalut bagian yang tergigit maka produksi getah
bening dapat berkurang sehingga menghambat penyebaran bisa sebelum korban mendapat
ditangani secara lebih baik di rumah sakit
5.2 Saran
Segera bawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Informasikan kepada dokter
mengenai penyakit yang diderita pasien seperti asma dan alergi pada obat obatan tertentu, atau
pemberian antivenom sebelumnya. Ini penting agar dokter dapat memperkirakan kemungkinan
adanya reaksi dari pemberian antivenom selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
-

Nana,Sufyan.2012.Askepgigitan ular,

(online)http://sufyannana.blogspot.com/2012/12/askep-gigitan-ular.html,

diakses

pada

10

Oktober 2014.
-

http://aniza92.blogspot.com/2011/11/askep-gadar-gigitan-ular.html diakses pada 10 oktober

2014.
- Nanda nic-noc.2013.panduan penyusunan asuhan keperawatan profesiona

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.

Konsep Dasar

1. Pengertian
Bisa ular adalah kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek
fisiologik yang luas atau bervariasi. Yang mempengaruhi sistem multiorgan,
terutama neurologik, kardiovaskuler sistem pernapasan. (Suzanne Smaltzer dan
Brenda G. Bare, 2001: 2490)
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun
binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang
dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian
kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa mempunyai efek pada
hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat
farmakologis yang dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan.
Komposisi racun tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya.
Racun mulut bersifat ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali
mengandung faktor letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir
predator, racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan. (Retno
Aldo. 2010. Askep Gigitan Ular, (Online),
http://retnoaldo.blogspot.com/2010/10/askep-gigitan-ular.html, diakses 18 Juli
2011).
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar
yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang
terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya
terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama

protein, yang memiliki aktivitas enzimatik. (Ifan. 2010. Penatalaksanaan Keracunan


Akibat Gigitan Ular Berbisa, (Online), http://ifan. 050285. wordpress.
com/2010/03/24/penatalaksanaan - keracunan - akibat - gigitan-ular-berbisa,
diakses 18 Juli 2011).

2. Ciri-Ciri Ular Berbisa Dan Tidak Berbisa


Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa
spesies ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa
ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara
yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk
kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas
taring.

Tabel 2.1. Ciri-ciri ular berbisa dan tidak berbisa


Ciri Ular

Tidak Berbisa

Berbisa

Bentuk Kepala

Bulat

Elips

Gigi Taring

Gigi kecil

2 Gigi Taring Besar

Bekas Gigitan

Lengkung Seperti U Terdiri dari 2 Titik

Warna

Warna-Warni

Gelap

(Dokter Yuda Bedah. 2011. Snake Bite, (Online), http : // dokter yuda
bedah.com/snake-bite-gigitan-ular/, diakses 18 Juli 2011).

3. Etiologi
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan Viperidae.
Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan pendarahan.
Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi pada anggota
badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi
gigitan dalam waktu 8 jam .
Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan
stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan
larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan
timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan,
dan lain-lain.

b. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)

Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar
luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan
tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis).
Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan
jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan jantung.
Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe.
c. Bisa ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan maemotoksin.
Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat
kerusakan sel-sel otot.
d. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
e. Bisa ular yang bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardiovaskuler.
f.

Bisa ular yang bersifat cytolitik


Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat
gigitan.

g. Enzim-enzim

Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa.


(Deddyrin. 2009. Intoxicasi. (Online), http : // deddyrn. blogspot.
Com/2009/09/intoxicasi.html, diakses 18 Juli 2011).

Tabel 2.1 Klasifikasi ular berbisa, lokasi, dan sifat bisa


Famili

Lokasi Sifat

Elapidae

Seluruh dunia, kecuali


Eropa

Hydrophidae

Pantai perairan AsiaPasifik

Bisa
Neurotoksik dan nekrosis
(ular cobra)
Myotoksik

Viperidae:
Viperonae

Crotalidae

Seluruh dunia kecuali


Amerika dan Asia- Pasifik

Vaskulotoksik

Asia dan Amerika

(Dona. 2009. Gigitan Ular Berbisa. (Online), http : // askepterlengkap.


blogspot.com/ 2009/08/gigitan-ular-berbisa.html?zx=5ed0a49ebb52d550, diaksesk
18 Juli 2011).

4. Patofisiologi
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik
tersebut menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai
system. Seperti, sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan.

Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang
berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada
saluran pernapasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang
dapat mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan dapat
mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat
mengakibatkan gagal napas.

Bagan 2.1 Pohon masalah Snake Bite

Sukar
bernapas
Bisa ular masuk ke dalam
tubuh
Daya toksik menyebar melalui
peredaran darah
Gangguan
system
neuroligist
Gangguan
system
kardiovaskule
r
Gangguan
system
pernapasan
Oedema pada saluran
pernapasan

Toksik masuk pembuluh


darah
Koagulopati
hebat
Hipote
nsi
Gagal
napas
Mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem
pernapasan
Syok
hipovolemik

(Retno Aldo. 2010. Askep Gigitan Ular, (Online),


http://retnoaldo.blogspot.com/2010/10/askep-gigitan-ular.html, diakses 18 Juli
2011).
5. Manifestasi Klinis
Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan
ular. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan
karena darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit).
Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular
berbisa, yaitu terjadi oedem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P:
pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan
otot), pulselesness (denyutan).
Tanda dan gejala khusus pada gigitan family ular :
a. Gigitan Elapidae
Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular cabai,
coral snakes, mambas, kraits), cirinya:
1)

Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku
pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.

2)

Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.

3)

15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10 jam muncul paralisis
urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah menelan,
otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan
kabur, mati rasa di sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24 jam.

b. Gigitan Viperidae/Crotalidae
Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1)

Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di
dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.

2)

Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam.

3)

Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam
waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

c. Gigitan Hydropiidae
Misalnya, ular laut, cirinya:
1)

Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.

2)

Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang
ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak,
henti jantung.

d. Gigitan Crotalidae
Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:

1)

Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di


daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae
antivenin.

2)

Anemia, hipotensi, trombositopeni.


(Ifan. 2010. Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa, (Online), http://
ifan 050285 .wordpress. com/2010/03/24/ penatalaksanaan - keracunan - akibat gigitan-ular-berbisa/, diakses 18 Juli 2011).

Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa
kategori:
a. Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa
sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat
berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan
sekitar sisi gigitan luka.
b.

Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat
menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen.
Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka
yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan
kematian.

c. Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada
sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat
menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat
perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara dan
bernafas, dan kesemutan.
d. Kematian otot, bisa dari russells viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa
elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa
area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba
menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
e. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata
korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada mata.
(Deddyrin. 2009. Intoxicasi. (Online), http : // deddyrn. blogspot. Com/2009/
09/intoxicasi.html, diakses 18 Juli 2011).

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel darah
lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula darah, BUN
dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas
sel darah merah, waktu pembekuan dan waktu retraksi bekuan. (Retno Aldo. 2010.
Askep Gigitan Ular, (Online), http://retnoaldo.blogspot.com/2010/10/askep-gigitanular.html, diakses 18 Juli 2011.)

7. Penatalaksanaan
a. Prinsip penanganan pada korban gigitan ular:
1)

Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular.

2)

Menetralkan bisa.

3)

Mengobati komplikasi.
(Masmamad. 2009. Penatalaksanaan Gigitan Ular, (Online),
http://masmamad.blogspot.com/2009/09/penatalaksanaan-gigitan-ular-snakebite.html, diakses 18 Juli 2011).

b. Pertolongan pertama :
Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari
pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya lakukan prinsip RIGT,
yaitu:
R: Reassure: Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban, kepanikan
akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat menyebar
ke tubuh. Terkadang pasien pingsan/panik karena kaget.
I: Immobilisation: Jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak
berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang,
lakukan tehnik balut tekan (pressure-immoblisation) pada daerah sekitar gigitan
(tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan).
G: Get: Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
T: Tell the Doctor: Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul ada korban.

c. Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan):


1) Balut tekan pada kaki:
a) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
b) Keringkan sekitar luka gigitan.
c) Gunakan pembalut elastis.
d) Jaga luka lebih rendah dari jantung.
e) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik ke atas.
f) Biarkan jari kaki jangan dibalut.
g) Jangan melepas celana atau baju korban.
h) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai menghambat
aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang tetap pink).
i)

Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.

2) Balut tekan pada tangan:


a) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut).
b) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.
c) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan.
d) Pasang papan sebagai fiksasi.
e) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.

(Foruniverse, Nursing. 2010. Pertolongan Pertama Pada Gigitan Ular, (Online),


http://nursing foruniverse. blogspot. Com/2010/01/pertolongan-pertama-padagigitan-ular_18.html, diakses 17 Juli 2011).
d. Penatalaksanaan selanjutnya:
1)

Insisi luka pada 1 jam pertama setelah digigit akan mengurangi toksin 50%.

2)

IVFD RL 16-20 tpm.

3)

Penisillin Prokain (PP) 1 juta unit pagi dan sore.

4)

ATS profilaksis 1500 iu.

5)

ABU 2 flacon dalam NaCl diberikan per drip dalam waktu 30 40 menit.

6)

Heparin 20.000 unit per 24 jam.

7)

Monitor diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2 flacon
ABU lagi. ABU maksimal diberikan 300 cc (1 flacon = 10 cc).

8)

Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau hipotensi


berikan adrenalin 0,5 mg IM, hidrokortisone 100 mg IV.

9)

Kalau perlu dilakukan hemodialise.

10) Bila diathese hemorhagi membaik, transfusi komponen.


11) Observasi pasien minimal 1 x 24 jam
Catatan: Jika terjadi syok anafilaktik karena ABU, ABU harus dimasukkan secara
cepat sambil diberi adrenalin.

(http : // masmamad. blogspot.com/2009/09/penatalaksanaan - gigitan-ular- snake bite. html, diakses 18 Juli 2011).
e. Pemberian ABU
Tabel 2.2 Pemberian ABU sesuai derajat parrish
Derajat Parrish

Pemberian ABU

0-1

Tidak perlu

5-20 cc (1-2 ampul)

3-4

40-100 cc (4-10 ampul)

Tabel 2.3 Klasifikasi derajat parrish


Derajat
Parrish
0

Ciri

1. Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam pasca


gigitan.
2. Pembengkakan minimal, diameter 1 cm

1. Bekas gigitan 2 taring


2. Bengkak dengan diameter 1-5 cm.
3. Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam

II

1. Sama dengan derajat I


2. Petechie, echimosis

3. Nyeri hebat dalam 12 jam


III

1. Sama dengan derajat I dan II


2. Syok dan distress napas, echimosis seluruh tubuh

IV

Sangat cepat memburuk.

(Masmamad. 2009. Penatalaksanaan Gigitan Ular, (Online),


http://masmamad.blogspot.com/2009/09/penatalaksanaan-gigitan-ular-snakebite.html, diakses 18 Juli 2011).

B.

Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan Marilynn E. Doenges (2000: 871-873), dasar data
pengkajian pasien, yaitu:
a. Aktivitas dan Istirahat
Gejala: Malaise.
b. Sirkulasi
Tanda: Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama hasil
curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer hiperdinamik),
lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
c. Integritas Ego
Gejala: Perubahan status kesehatan.
Tanda: Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal,
menarik diri.
d. Eliminasi
Gejala: Diare.
e. Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah.
Tanda: Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot (malnutrisi).
f.

Neorosensori

Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan.


Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
g. Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/pruritus umum.
h. Pernapasan
Tanda: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.
Gejala: Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal,
kadang subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama sembuh.
i.

Seksualitas
Gejala: Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.

j.

Integumen
Tanda: Daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar, kulit teraba hangat.

k. Penyuluhan
Gejala: Masalah kesehatan kronis/melemahkan, misal: hati, ginjal, sakit jantung,
kanker, DM, keadaan klien sudah membaik.

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan
sepsis. Maka rencana keperawatan menurut Marilynn E. Doenges (2000), yaitu:
a. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.

Gangguan Jalan napas tidak efektif adalah ketidakmampuan dalam membersihkan


sekresi atau obstruksi dari saluran pernapasan untuk menjaga dari gangguan jalan
napas. (Nanda, 2005: 4).
b. Nyeri akut berhubungan dengan luka bakar kimia pada mukosa gaster, rongga
oral, respon fisik, proses infeksi, misalnya gambaran nyeri, berhati-hati dengan
abdomen, postur tubuh kaku, wajah mengkerut, perubahan tanda vital.
Nyeri akut adalah. Keadaan ketika individu mengalami dan melaporkan adanya
sensasi tidak nyaman yang parah, yang berlangsung satu detik sampai kurang dari
6 bulan. (Lynda Juall Carpenito, 2009: 209).
c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan
pada regulasi temperatur, proses infeksi.
Hipertermi adalah keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalami
peningkatan suhu tubuh yang terus menerus lebih tinggi dari 37,8 oC secara oral dan
38,8oC secara rectal yang disebabkan oleh berbagai faktor eksternal. (Lynda Jual
Carpenito, 2009: 152).
d. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.
Ketakutan/ansietas adalah keadaan dimana seorang individu/kelompok mengalami
suatu perasaan gangguan fisiologis/emosional yang berhubungan dengan suatu
sumber yang dapat diidentifikasi yang dirasakan sebagai bahaya. (Lynda Juall
Carpenito, 2009: 134).

e. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk


mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
Resiko infeksi adalah resiko untuk terinvasi oleh organisme pathogen. (Nanda,
2005: 121).

3. Perencanaan
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang biasa muncul pada klien dengan infeksi
gigitan ular. Maka rencana keperawatan menurut Marilynn E. Doenges (2000).
a. Diagnosa I
Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Menunjukkan bunyi napas jelas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, bebas
dispnea/sianosis.
Intervensi:
1)

Pertahankan jalan napas klien.


Rasional: Meningkatkan ekspansi paru-paru.

2)

Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan.

Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan sirkulasi


endotoksin.
3)

Auskultasi bunyi napas.


Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan
indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.

4)

Sering ubah posisi.


Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi
ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.

5)

Berikan O2 melalui cara yang tepat, misal masker wajah.


Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis. Pelembaban menurunkan
pengeringan saluran pernapasan dan menurunkan viskositas sputum.

b. Diagnosa II
Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh
tubuh rileks, berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi
selanjutnya.

2) Kaji karakteristik nyeri.


Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui penyebab
nyeri.
3) Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenang.

4) Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.


Rasional: Menurunkan spasme otot.
5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk membantu
penyembuhan luka.
c. Diagnosa III
Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan
pada regulasi temperatur, proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36-37,5oC), bebas dari kedinginan.
Intervensi:
1) Pantau suhu klien.

Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.


2) Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang disukai untuk
mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu menurunkan suhu
tubuh.
3) Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu
mendekati normal.
4) Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan alkohol.
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat membuat
kulit kering.
5) Berikan selimut pendingin.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.
6) Berikan Antiperitik sesuai program.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.
d. Diagnosa IV
Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:


Menyatakan kesadaran perasaan dan menerimanya dengan cara yang sehat,
mengatakan ansietas/ketakutan menurun sampai tingkat dapat ditangani,
menunjukkan keterampilan pemecahan masalah dengan penggunaan sumber yang
efektif.
Intervensi:
1)

Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur perawatan.


Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas,
memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.

2)

Tunjukkan keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila prosedur
bebas dari nyeri.
Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan
tersedia dan bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya
merawat luka.

3)

Kaji status mental, termasuk suasana hati/afek.


Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi untuk
menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien menunjukkan
tenang dan status mental waspada, menunjukkan disosiasi kenyataan, yang juga
merupakan mekanisme perlindungan.

4)

Dorong pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.

Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk
membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
5)

Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan
berikan jawaban terbuka/jujur.
Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat
membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang
terjadi.

e. Diagnosa V
Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:


Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bebas eksudat purulen dan tidak demam.
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda infeksi.
Rasional: Sebagai diteksi dini terjadinya infeksi.
2) Lakukan tindakan keperawatan secara aseptik dan anti septik.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan mencegah terpajan pada organisme
infeksius.
3) Ingatkan klien untuk tidak memegang luka dan membasahi daerah luka.

Rasional: Mencegah kontaminasi luka.


4) Ajarkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.
5) Periksa luka setiap hari, perhatikan/catat perubahan penampilan, bau luka.
Rasional: Mengidentifikasi adanya penyembuhan (granulasi jaringan) dan
memberikan deteksi dini infeksi luka.
6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
Rasional: Untuk menghindari pemajanan kuman.

4. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan tindakan yang sudah direncanakan
dalam rencana tindakan keperawatan yang mencakup tindakan tindakan
independen (mandiri) dan kolaborasi. Akan tetapi implementasi keperawatan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi pasien. Tindakan mandiri adalah aktivitas
perawatan yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan
merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi

adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan bersama seperti dokter dan
petugas kesehatan lain. (Tarwoto Wartonah, 2004: 6).

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak kesalahannya, dicari
jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan, serta apakah perlu dilakukan
perubahan intervensi. (Tarwoto Wartonah, 2004: 7).

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komposisi, Sifat dan Mekanisme Kerja Bisa ular
Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat
diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%)
adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein nontoksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu
enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam
bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma
venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan
trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam
jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya
rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang
bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel
vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase,
kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006)
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5
nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini
menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis
atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar
sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998)
Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti
neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan,
kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang
jaringan untuk menghasikan zat zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat

lambat (Sudoyo, 2006).


2.2 Jenis jenis ular berbisa
Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira kira ratusan
jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa
yang berbahaya bagi manusia. (de Jong, 1998)
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar
250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli
utama yaitu:
Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai
Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo
Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
Familli Colubridae, misalnya ular pohon
Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu
rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:
Ciri ciri ular tidak berbisa:
Bentuk kepala segi empat panjang
Gigi taring kecil
Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
Ciri ciri ular berbisa:
Kepala segi tiga
Dua gigi taring besar di rahang atas
Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia
adalah jenis ular :
Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular tanah),
aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan
endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular
laut.
Neurotoksin pascasinaps seperti -bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin
pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti -bungarotoxin, crotoxin, taipoxin
dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada
neuromuscular junction.
Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara
spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.
2.3 Patofisiologi
Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini disimpan
di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa
yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan
yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas

dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan.
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease,
colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin
terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah
(1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan
mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk
efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim
trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan
menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik (Warrell,2005).
2.4 Gejala klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis. Gejala
dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem,
petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau
perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular
berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa
lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang
timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada
pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti
nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang
kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998)
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan
memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):
Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24 jam)
Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah,
nyeri kepala, dan pandangan kabur
Gejala khusus gigitan ular berbisa :
o Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi,
hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi
intravaskular diseminata (KID)
o Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis
otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma
o Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
o Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor, paresthesia,
paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006)
Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :
Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat
penyakit sebelumnya.
Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.
Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular:
Gigitan Elapidae
Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit
atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan

beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat
gigitan melebar.
Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak
mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.
Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk
paralisis dari urat urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar
bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah,
pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan
sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak
sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat
dalam waktu satu jam dapat timbul gejala gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24
jam.
Gigitan Viperidae:
Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat gigitan
untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan
Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah, berkeringat,
kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring ular), hidung
berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal
pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan
jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat.
Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau
ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hidropiidae:
Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah
Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme
pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis,
mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk
diagnostik), ginjal rusak, henti jantung
Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:
Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan
merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen crotalidae
antivenin
Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting
Gigitan Coral Snake:
Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius
antivenin) (Sudoyo, 2006)
Tanda dan gejala lokal
1. Tanda gigi taring
2. Nyeri lokal
3. Pendarahan lokal

4. Bruising
5. lymphangitis
6. Bengkak, merah, panas
7. Melepuh
8. Necrosis
Gejala dan tanda sistemik umum
Umum
mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration
Kardiovascular (Viperidae)
Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia cardiac,
oedema pulmo, oedema conjungtiva
Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan dari luka gigitan
Perdarahan sitemik spontan dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena, hematuri,
perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura, Ecchymoses dan pada
mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intrakranial
Neurologik (Elapidae, Russells viper)
Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, heavy eyelids, ptosis,
ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang di inervasi oleh nervus
kranialis, aphonia, difficulty in swallowing secretions, respiratory and generalised flaccid
paralysis
Otot rangka (sea snakes, Russells viper)
Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia,
cardiac arrest, gagal ginjal akut
Ginjal (Viperidae, sea snakes)
LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan
gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest pain)
Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russells viper)
Fase akut: syok, hypoglycaemia
Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of secondary sexual
hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism.
(Warrell, 1999)
2.5 Pemeriksaan
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu perdarahan,
waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar, golongan darah
dan uji cocok silang
Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)

EKG
Foto dada
2.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :
Anafilasis
Trombosis vena bagian dalam
Trauma vaskular ekstrimitas
Scorpion Sting
Syok septik
Luka infeksi
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
Mengatasi efek lokal dan sistemik (Sudoyo, 2006)
Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya taring
ular sepanjang dan sedalam cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia
alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan
akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan
berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak cm dari lubang gigitan,
sampai kedalaman fasia otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa centimeter di
proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan tekanan yang cukup
untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua
jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada
pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es.
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau intra arteri
yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda
yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat
tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada
bahaya syok anafilaksis.
Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian vasopresor untuk
menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem
pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator
untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi
pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom
kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan
bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit.
Bila ragu ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena
kadang efek keracunan bisa timbul lambat.
Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan infeksi. (de
Jong, 1998)

Tindakan Pelaksanaan
A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah
Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol
Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal
dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit
pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau
ateri.
B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:
Penatalaksanaan jalan napas
Penatalaksanaan fungsi pernapasan
Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi
(dengan bidai)
Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan
Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu
pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection
Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi:
10-50 LD50 bisa Ankystrodon
25-50 LD50 bisa Bungarus
25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
Fenol 0.25% v/v
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan
kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak
dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Pedoman terapi SABU menurut Luck
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap
memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya,
dst.
Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor
ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya. Monitor
dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk
penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah
gigitan
Terapi suportif lainnya pada keadaan :
Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)

Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi
trombosit
Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin
Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat obatan
narkotik depresan
Terapi profilaksis
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa,
Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
Beri toksoid tetanus
Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)
Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular
Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu
dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada
daerah paha bagian bawah sampai kaki
Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak semak
Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian
semacam itu. (Sudoyo, 2006)
DAFTAR PUSTAKA
Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care,
University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com.
De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East
Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine, Faculty of
Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ 2005;
331:1244-1247 (26 November), doi:10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com.
sorces : http://sanirachman.blogspot.com/2009/10/snake-bite-pedomanpenatalaksanaan.html#ixzz4OkOSaECv
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial

Gigitan Ular Berbisa (Poisonous Snake Bite)

Ular merupakan salah satu jenis hewan melata (reptilia) yang sangat umum berada di sekitar kita.
Mereka menghuni hampir sebagian besar wilayah mulai kawasan pegunungan, pemukiman
penduduk, persawahan, kawasan karst hingga di sekitar kawasan pesisir. Beberapa jenis ular
dikenal berbahaya bagi manusia karena bisa (venom) yang mereka miliki. Banyak kasus gigitan
ular yang berakibat fatal telah tercatat di berbagai wilayah di Indonesia dalam beberapa dekade

terakhir ini. Fakta ini mengakibatkan image yang buruk mengenai ular. Banyak yang
menganggap bahwa semua ular berbisa, sehingga kebanyakan orang akan takut saat berjumpa
dengan ular. Faktanya, hanya ular berbisa dan hanya sebagian dari kelompok ular tersebut yang
mematikan bagi manusia.
Bisa ular terdiri dari terutama protein yang mempunyai efek fisiologik yang luas dan bervariasi.
Sistim multiorgan, terutama neurologik, kardiovaskuler, sistim pernapasan mungkin terganggu.
Bantuan awal pertama pada daerah gigitan ular meliputi mengistirahatkan korban, melepaskan
benda yang mengikat seperti cincin, memberikan kehangatan, membersihkan luka, menutup luka
dengan balutan steril, dan imobilisasi bagian tubuh di bawah tinggi jantung. Es atu torniquet
tidak digunakan. Evaluasi awal di departemen kedaruratan dilakukan:
-

Menentukan apakah ular berbisa atau tidak.

Menentukan dimana dan kapan gigitan terjadi dan sekitar gigitan.

Menetapkan urutan kejadian, tanda dan gejala (bekas gigi, nyeri, edema, dan eritema

jaringan yang digigit dan di dekatnya).


-

Menentukan keparahan dampak keracunan.

Memantau tanda vital.

Mengukur dan mencatat lingkar ekstremitas sekitar gigitan atau area pada beberapa titik

Dapatkan data laboratorium yang cepat seperti HDL, urinalisis, dan pemeriksaan

pembekuan.

Patofisiologi
Bisa ular masuk ke dalam tubuh

Daya toksik menyebar melalui perdaran darah

Gangguan sistem neurologis

Mengenai syaraf yang berhubungan dengan sistem pernafasan

Gagal nafas

Gangguan pernafasan

Oedema saluran pernafasan

Sukar bernafas

Gangguan pada sistem kardiovaskuler

Toksik masuk ke pembuluh darah

Koagulopati hebat

Syok hipovolemik

Hipotensi

Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut bersifat:
1.

Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena paralise otot-

otot lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu,
derajat kesadaran menurun sampai dengan koma.
2.

Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau

menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat
lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus
berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal.
3.

Myotoksin:

mengakibatkan

rhabdomiolisis

yang

sering

berhubungan

dengan

mhaemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat


kerusakan sel-sel otot.
4.

Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.

5.

Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat

terganggunya kardiovaskuler.
6.

Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat

patukan.
7.

Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa.

Derajat Gigitan Ular (Parrish)


1.

Derajat 0

Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam

Pembengkakan minimal, diameter 1 cm

2.

Derajat I

Bekas gigitan 2 taring

Bengkak dengan diameter 1 5 cm

Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam

3.

Derajat II

Sama dengan derajat I

Petechie, echimosis

Nyeri hebat dalam 12 jam

4.

Derajat III

Sama dengan derajat I dan II

Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh tubuh

5.
-

Derajat IV
Sangat cepat memburuk

Penatalaksanaan
a.

Pre-hospital

Prinsip Pertolongan Pertama pada korban gigitan ular adalah, meringankan sakit, menenangkan
pasien dan berusaha agar bisa ular tidak terlalu cepat menyebar ke seluruh tubuh sebelum dibawa
ke rumah sakit. Seiring berkembangannya ilmu pengetahuan kini dikembangkan metode
penanganan yang lebih baik yakni metode pembalut dengan penyangga. Idealnya digunakan
pembalut dari kain tebal, akan tetapi jika tidak ada dapat juga digunakan sobekan pakaian atau
baju yang disobek menyerupai pembalut. Metode ini dikembangkan setelah dipahami bahwa bisa
menyebar melalui pembuluh limfa dari korban. Diharapkan dengan membalut bagian yang
tergigit maka produksi getah bening dapat berkurang sehingga menghambat penyebaran bisa
sebelum korban mendapat ditangani secara lebih baik di rumah sakit. Adapun langkah langkah
penanganannya adalah sebagai berikut:
a.

Jika terpatuk, langsung gunakan pembalut atau bahan lain yang serupa dan bebatkan

dengan kencang. Bebatkan seluas mungkin daerah yang dipatuk. Usahakan menggunakan
penyangga atau kain penggantung. Kurangi aktifitas atau gerakan korban untuk mencegah
penyebaran bisa. Selalu posisikan daerah yang terpatuk lebih rendah dari jantung.
b.

Jangan pernah memperlebar luka bekas gigitan karena dapat menyebabkan infeksi dan

trauma pada korban. Juga jangan pernah menghisap darah dari bekas luka patukan. Selain
beresiko jika ada luka pada mulut penolong, juga tidak terlalu efektif dalam mengurangi jumlah
bisa yang masuk.
c.

Penting untuk meyakinkan korban bahwa kemungkinan selamatnya tinggi karena telah

banyak antivenom (baik monovalent maupun polivalent) di rumah sakit.

d.

Jangan pernah izinkan pasien untuk meminum alkohol.

e.

Segera bawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Informasikan kepada dokter

mengenai penyakit yang diderita pasien seperti asma dan alergi pada obat obatan tertentu, atau
pemberian antivenom sebelumnya. Ini penting agar dokter dapat memperkirakan kemungkinan
adanya reaksi dari pemberian antivenom selanjutnya.
f.

Kenali jenis ular yang mematuk. Apabila anda ragu dan agar lebih amannya maka

bunuhlah ular yang mematuk agar hasil identifikasi lebih positif. Hal ini penting untuk
menentukan pemberian antivenom yang monovalent, sehingga efeknya lebih tepat dan cepat.
Jika tidak pun tidak apa apa, sebab ada antivenom polyvalent yang dapat menetralisir bisa dari
berbagai jenis ular.

b.

Intra-hospital

Proses dan prognosis gigitan ular bergantung pada jenis dan jumlah bisa dimana terjadi gigitan,
dan kesehatan umum, usia serta ukuran korban. Tidak ada protokol khusus untuk
penatalaksanaan gigitan ular. Prinsipnya:
a.

Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular

b.

Menetralkan bisa

c.

Mengobati komplikasi

Pedoman umum meliputi:


1.
2.

1. Incisi luka pada 1 jam pertama setelah digigit akan mengurangi toksin 50%
Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau hipotensi berikan

adrenalin 0,5 mg IM
3.

Kalau perlu dilakukan hemodialise

4.
5.

Dapatkan data dasar laboratorium


Jangan gunakan es, torniquet, heparin, atau kortikosteroid selama tahap akut. Kortikosteroid

dikontraindikasikan 6-8 jam pertama setelah gigitan karena agens ini mendepresi produksi
antibodi dan menyembunyikan kerja antivenin (antitoksin untuk bisa ular)
6.

Cairan parenteral dapat digunakan untuk penatalaksanaan hipotensi. Jika vasopresin

digunakan untuk penanganan hipotensi, penggunaan harus dalam jangka pendek


7.

Bedah eksplorasi terhadap gigitan jarang diindikasikan

8.

Observasi pasien dengan teliti selama 6 jam, pasien tidak pernah dibiarkan tanpa

perhatian

Pemberian antivenin (antitoksin). Antivenin paling efektif diberikan dalam 12 jam dari gigitan
ular. Dosis bergantung pada tipe ular dan perkiraan keparahan gigitan. Anak membutuhkan lebih
banyak antivenin daripada orang dewasa karena tubuhnya lebih kecil dan lebih rentan terhadap
efek toksik bisa. Uji kulit atau mata harus dilakukan sebelumnya untuk dosis awal untuk
mendeteksi alergi terhadap antivenin.
Sebelum memberikan antivenin dan 15 menit setelahnya, sekitar bagian yang terkena diperiksa.
Antivenin diberikan dengan tetesan IV kapanpun mungkin, meskipun pemberian ini dapat
dilakukan. Bergantung pada keparahan gigitan antivenin dicairkan dengan 500-1000 ml normal
saline; volume cairan mungkin diturunkan untuk anak. Infus dimulai perlahan dan kecepatan
meningkat setelah 10 menit jika tidak ada reaksi. Dosis total harus diinfus selama 4-5 jam
pertama setelah keracunan. Dosis awal diulang sampai gejala menurun. Setelah gejala menurun,
sekitar daerah yang terkena harus diukur 30-60 menit selama 48 jam kemudian.

Penyebab paling umum dari reaksi serum adalah infus antivenin yang terlalu cepat, meskipun
sekitar 3% dari pasien dengan uji kulit negatif mengembangkan reaksi tidak berhubungan dengan
kecepatan infus. Reaksi terdiri dari perasaan penuh di wajah, urtikaria, pruritus, keletihan, dan
khawatir. Gejala ini munkin diikuti denga takikardia, napas pendek, hipotensi, dan syok. Pada
situasi ini, infus harus dihentikan segera dan diberikan dipenhidramin IV. Vasopresor digunakan
jika terdapat syok. Resusitasi kedaruratan harus siap pada saat antivenin diberikan.

Daftar Pustaka

Brunner, Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan-Medikal Bedah Edisi 8 Volume 3. Jakarta:
EGC
Litbang

KSH.

2009.

Penanganan

Ular

Berbisa

dan

Penanganannya.

(http://ksh.biologi.ugm.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=16:penangananularberbisa&catid=1:berita&Itemid=25)
diakses tanggal 01 Oktober 2010
Kusuma,

Monte

Selvanus

Luigi,

dr.

2009.

Gigitan

(http://pkugombong.blogspot.com/2009/02/gigitan-ular-snake-bite.html)

Ular

(Snake

diakses

Bite).

tanggal

02

Oktober 2010
(http://www.scribd.com/doc/33696167/LAPORAN-PENDAHULUAN-ICU) diakses tanggal 02
Oktober 2010

Anda mungkin juga menyukai