B. JENIS FRAKTUR
a.Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar.
b.Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga
derajat,yaitu:
1. Derajat I
Luka kurang dari 1 cm
kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
Kontaminasi ringan.
2. Derajat II
Leserasi lebih dari 1cm
Kerusakan jaringan lunak,tidak luas,avulse.
Fraktur komuniti sedang.
3. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c.Fraktur complete
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergerseran bergeser dari
posisi normal.
d. Fraktur incomplete
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
e.Jenis khusus fraktur
1. Bentuk garis patah
Garis patah melintang
Fraktur multiple, garis patah lebih dari satu tetapi pada pada tulang yang
berlainan.
3. Bergeser-tidak bergeser
Fraktur undisplaced, garis fraktur komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser
Fraktur displaced, terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur
D. ETIOLOGI
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan daya
pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat :
a. Peristiwa trauma tunggal
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba – tiba dan berlebihan, yang
dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisi
miring, pemuntiran, atau penarikan. Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah
pada tempat yang terkena; jaringan lunak juga pasti rusak. Pemukulan (pukulan
sementara) biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya;
penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan
jaringan lunak yang luas. Bila terkena kekuatan tak langsung tulang dapat mengalami
fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan
lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada. Kekuatan dapat berupa :
1. Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur spiral
2. Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang menyebabkan fraktur
melintang
3. Penekukan dan Penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian melintang
tetapi disertai fragmen kupu – kupu berbentuk segitiga yang terpisah
4. Kombinasi dari pemuntiran, penekukan dan penekanan yang menyebabkan
fraktur obliq pendek
5. Penatikan dimana tendon atau ligamen benar – benar menarik tulang sampai
terpisah
b. Tekanan yang berulang – ulang
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti halnya pada logam dan benda lain, akibat tekanan
berulang – ulang.
c. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik)
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh
tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh.
E. PATOFISIOLOGI
Trauma langsung dan trauma tidak langsung serta kondisi patologis pada tulang dapat
menyebabkan fraktur pada tulang. Fraktur merupakan diskontinuitas tulang atau pemisahan
tulang. Pemisahan tulang ke dalam beberapa fragmen tulang menyebabkan perubahan pada
jaringan sekitar fraktur meliputi laserasi kulit akibat perlukaan dari fragmen tulang tersebut,
perlukaan jaringan kulit ini memunculkan masalah keperawatan berupa kerusakan integritas kulit.
Perlukaan kulit oleh fragmen tulang dapat menyebabkan terputusnya pembuluh darah vena dan
arteri di area fraktur sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan pada vena dan arteri yang
berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan cukup lama dapat menimbulkan penurunan volume
darah serta cairan yang mengalir pada pembuluh darah sehingga akan muncul komplikasi berupa
syok hipovolemik jika perdarahan tidak segera dihentikan.
Perubahan jaringan sekitar akibat fragmen tulang dapat menimbulkan deformitas pada
area fraktur karena pergerakan dari fragmen tulang itu sendiri. Deformitas pada area ekstremitas
maupun bagian tubuh yang lain menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan untuk beraktivitas
akibat perubahan dan gangguan fungsi pada area deformitas tersebut sehingga muncul masalah
keperawatan berupa gangguan mobilitas fisik. Pergeseran fragmen tulang sendiri memunculkan
masalah keperawatan berupa nyeri.
Beberapa waktu setelah fraktur terjadi, otot-otot pada area fraktur akan melakukan
mekanisme perlindungan pada area fraktur dengan melakukan spasme otot. Spasme otot
merupakan bidai alamiah yang mencegah pergeseran fragmen tulang ke tingkat yang lebih parah.
Spasme otot menyebabkan peningkatan tekanan pembuluh darah kapiler dan merangsang tubuh
untuk melepaskan histamin yang mampu meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga
muncul perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial. Perpindahan cairan intravaskuler ke
interstitial turut membawa protein plasma. Perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial yang
berlangsung dalam beberapa waktu akan menimbulkan edema pada jaringan sekitar atau
interstitial oleh karena penumpukan cairan sehingga menimbulkan kompresi atau penekanan pada
pembuluh darah sekitar dan perfusi sekitar jaringan tersebut mengalami penurunan. Penurunan
perfusi jaringan akibat edema memunculkan masalah keperawatan berupa gangguan perfusi
jaringan.
Masalah gangguan perfusi jaringan juga bisa disebabkan oleh kerusakan fragmen tulang
itu sendiri. Diskontinuitas tulang yang merupakan kerusakan fragmen tulang meningkatkan
tekanan sistem tulang yang melebihi tekanan kapiler dan tubuh melepaskan katekolamin sebagai
mekanisme kompensasi stress. Katekolamin berperan dalam memobilisasi asam lemak dalam
pembuluh darah sehingga asam-asam lemak tersebut bergabung dengan trombosit dan
membentuk emboli dalam pembuluh darah sehingga menyumbat pembuluh darah dan
mengganggu perfusi jaringan.
F. Pathway
Diskontinuitas tulang
Resiko Infeksi
Perubahan jaringan
sekitar luka
Laserasi
Terputusnya kontinuitas
jaringan
Hipovolemia
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk memperjelas dan menegakkan diagnosis pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
H. PENATALAKSANAAN
Ada empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan untuk menangani fraktur, yaitu:
a. Rekoknisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kecelakaan dan selanjutnya di
rumah sakit dengan melakukan pengkajian terhadap riwayat kecelakaan, derajat keparahan,
jenis kekuatan yang berperan pada pristiwa yang terjadi serta menentukan kemungkinan
adanya fraktur melalui pemeriksaan dan keluhan dari klien
b. Reduksi fraktur (pengembalian posisi tulang ke posisi anatomis)
1. Reduksi terbuka. Dengan pembedahan, memasang alat fiksasi interna (missal
pen, kawat, sekrup, plat, paku dan batang logam)
2. Reduksi tertutup. Ekstremitas dipertahankan dengan gip, traksi, brace, bidai
dan fiksator eksterna
c. Imobilisasi. Setelah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam
posisi dan kesejajaran yang benar hingga terjadi penyatuan. Metode imobilisasi dilakukan
dengan fiksasi eksterna dan interna
d. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi:
1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
2. Meninggikan daerah fraktur untuk meminimalkan pembengkakan
3. Memantau status neuromuskuler
4. Mengontrol kecemasan dan nyeri
5. Latihan isometric dan setting otot
6. Kembali ke aktivitas semula secara bertahap
I. KOMPLIKASI
a. Komplikasi awal:
1. Syok : dapat terjadi berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema. Shock terjadi
karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi
pada fraktur
2. Emboli lemak : dapat terjadi 24-72 jam. Fat Embolism Syndrom (FES) adalah
komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena
sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi,
hypertensi, tachypnea,
demam.
3. Sindrom kompartemen : perfusi jaringan dalam otot kurang dari kebutuhan.
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari
luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat. Gejala klinis yang terjadi pada sindrom
kompartemen
dikenal dengan 5P, yaitu:
Pain (nyeri)
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma
langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri
tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau
memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada
kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
Pallor (pucat)
Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut.
Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
Parestesia (rasa kesemutan)
Paralysis: Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut
dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom
kompartemen.
4. Infeksi dan tromboemboli : System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat
5. Koagulopati intravaskuler diseminata
b. Komplikasi lanjut
1. Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
2. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang
lebih lambat dari keadaan normal.
3. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
4. Nekrosis avaskular tulang: Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkman’s Ischemia
5. Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Akibat robekan pembuluh darah kecil yang melewati kanalikuli-kanalikuli system haversi
sehingga terjadi ekstravasasi ke dalam jaringan lunak, yang menimbulkan suatu daerah cincin
avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.
b. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan andosteal
Terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan. Terbentuk kalus
eksterna yang belum mengandung tulang sehingga secara radiology bersifat radiolusen
c. Fase pembentukan kalus
Terbentuk woven bone atau kalus yang telah mengandung tulang. Fase ini merupakan indikasi
radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur
d. Fase konsolidasi
Woven bone membentuk kalus primer
e. Fase remodeling
Union telah lengkap dan terbentuk tulang kompak yang berisi system haversi dan
terbentuk rongga sumsum.
Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :
a. Usia klien
b. Immobilisasi
c. Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan penyembuhan lebih lama.
Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.
- Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
- Cape au lait spot (birth mark).
- Fistulae.
- Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
- Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
- Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
- Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral
(posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua
arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:
A. Diagnosa Keperawatan
Beradsarkan diagnosa medis yang telah dijelaskan, berikut beberapa diagnosa keperawatan
yang dapat diambil untuk memberikan asuhan keperawatan :
1. Nyeri akut b.d trauma langsung dan pasca prosedur operasi
2. Hipovolemia b.d kehilangan cairan secara aktif
3. Hipertermia b.d respon trauma
4. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d faktor mekanis
5. Resiko infeksi b.d kerusakan jaringan
B. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosis
OUTCOME INTERVENSI
NO Keperawatan
(SLKI) (SIKI)
(SDKI)
DAFTAR REFERENSI
Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine. (2005). Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Krisanty, Paulina, Dkk. (2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: CV. Trans
Info Media.
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan. Edisi 8. Jakarta: Salemba Medika.
Jitowiyono, S dan Kristiyanasari, W. 2012, Asuhan Keperawatan Post Operasi Dengan
Pendekatan Nanda, NIC, NOC. Yogyakarta: Nuha Medika.
Wiarto, G. (2017). Nyeri Tulang dan Sendi. Yogyakarta: Gosyen Publishing.