CRUSH INJURY
Crush injury didefinisikan sebagai kompresi dari ekstremitas atau bagian lain
dari tubuh yang menyebabkan pembengkakan otot dan/atau gangguan saraf di area
tubuh yang terkena. Biasanya area tubuh yang terkena adalah ekstremitas bawah
(74%), ekstremitas atas (10%), dan badan (9%). (Doenges, Marilyn E, dkk, 2001)
1.2 Etiologi
Penyebab utama dari crush injury adalah banyak faktor antara lain ; tertindih
oleh objek berat, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja pada industri, kecelakaan
kerja lain yang menyebabkan luka hancur yang serius. (Doenges, Marilyn E, dkk,
2001)
Kelainan Metabolic
Kalsium mengalir ke dalam sel otot melalui membran yang bocor, menyebabkan
hypocalcemia sistemik
Kalium dilepaskan dari otot iskemik ke dalam sirkulasi sistemik, menyebabkan
hyperkalemia. Asam laktat dilepaskan dari otot iskemik ke dalam sirkulasi
sistemik, menyebabkan asidosis metabolic
Ketidakseimbangan kalium dan kalsium dapat menyebabkan aritmia jantung
yang mengancam jiwa, termasuk cardiac arrest; dan asidosis metabolik dapat
memperburuk kondisi pasien ini. (Clifton Rd, 2009)
Sindrom Kompartemen
Seperti disebutkan pada patofisiologi, sindrom kompartemen dapat terjadi
bersamaan dengan crush injury. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan ini
meliputi:
Nyeri yang berat pada ekstremitas yang terlibat.
Nyeri pada peregangan pasif otot-otot yang terlibat.
Penurunan sensasi pada saraf tepi yang terlibat.
Peningkatan tekanan intracompartmental pada direct manometry. (Vitriana,
2002)
1.4 Patofisiologi
Pada crush injury kerusakan lapisan kulit dan subkutan dapat mempermudah
masuknya kuman melalui lokasi luka yang terbuka sehingga sangat penting pada
ada anamnesis dapat diketahui mengenai mekanisme trauma dan lokasi kejadian,
agar dapat mengetahui risiko terjadinya infeksi. (Mychael.B. Straut, 2003).
Kerusakan pembuluh darah dapat disebabkan oleh kekuatan crush injury yang
mengakibatkan hilangnya suplai darah ke otot. Biasanya otot dapat bertahan selama
4 jam tanpa aliran darah (warm ischemia time) masuk dalam sel otot, kemudian sel-
sel otot akan mati. Selanjutnya terjadi kebocoran membrane plasma sel otot serta
kerusakan pembuluh darah yang akan mengakibatkan cairan intravaskuler akan
terakumulasi ke jaringan yang cedera. Hal ini dapat dapat menyebabkan
hipovelemia yang signifikan sehingga mengakibatkan terjadi syok hipovolemik,
serta kehilangan ion calcium (Ca+) sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya
hipokalsemia. (Mychael.B. Straut, 2003).
Kerusakan saraf tibialis, dapat mengakibatkan hilangnya reflek neurologis
yang signfikan pada sebelah distal regio cruris, sebab cabang n.Tibialis dapat
menginervasi regio pedis.
Jika tulang patah maka periosteum dan pembuluh darah pada kortek, sumsum
dan jaringan lunak sekitarnya mengalami gangguan / kerusakan. Perdarahan terjadi
dari ujung tulang yang rusak dan dari jaringan lunak (otot) yang ada disekitarnya.
Hematoma terbentuk pada kannal medullary antara ujung fraktur tulang dan bagian
bawah periosteum. Jaringan nekrotik ini menstimulasi respon inflamasi yang kuat
yang dicirikan oleh vasodilasi, eksudasi plasma dan lekosit , dan infiltrasi oleh sel
darah putih lainnya. Kerusakan pada periosteum dan sum-sum tulang dapat
mengakibatkan keluarnya sumsum tulang terutama pada tulang panjang, sumsum
kuning yang keluar akibat fraktur masuk ke dalam pembuluh darah dan mengikuti
aliran darah sehingga mengakibatkan terjadi emboli lemak (Fat emboly). Apabila
emboli lemak ini sampai pada pembuluh darah kecil, sempit, dimana diameter
emboli lebih besar dari pada diameter pembuluh darah maka akan terjadi hambatan
aliran-aliran darah yang mengakibatkan perubahan perfusi jaringan. Emboli lemak
dapat berakibat fatal apabila mengenai organ-organ vital seperti otak, jantung, dan
paru-paru. (Mychael.B. Straut, 2003).
Kerusakan pada otot dan jaringan lunak juga dapat menimbulkan nyeri yang
hebat karena adanya spasme otot. Sedangkan kerusakan pada tulang itu sendiri
mengakibatkan terjadinya perubahan ketidakseimbangan dimana tulang dapat
menekan persyarafan pada daerah yang terkena fraktur sehingga dapat
menimbulkan penurunan fungsi syaraf, yang ditandai dengan kesemutan, rasa baal
dan kelemahan. Selain itu apabila perubahan susunan tulang dalam keadaan stabil
atau benturan akan lebih mudah terjadi proses penyembuhan fraktur dapat
dikembalikan sesuai dengan anatominya. (Mychael.B. Straut, 2003).
Biasanya jika penanganan awal tidak dilakukan dengan baik, akan
berkembang timbul tanda-tanda dari crush syndrome yang mana akibat kerusakan
sel-sel otot sebagai akibat dari crush injury. Crush syndrome ditandai dengan
adanya gangguan sistemik.
1.5 Komplikasi
1) Hypotensi
2) Crush Syndrome
3) Renal failure
4) Compartmen Syndrome
5) Cardiac Arrest (Doenges, Marilyn E, dkk, 2001)
1.6 Penatalaksanaan
Pada crush injury, perlu adanya penanganan yang segera, karena lebih dari 6-
8 jam setelah kejadian, jika tidak dapat ditangani dengan baik akan menyebabkan
kondisi pasien semakin memburuk dan terjadi banyak komplikasi lain yang dapat
memperberat kondisi pasien dan penanganan selanjutnya menjadi semakain sulit.
Penanganan pada crush injury dapat dimulai dari tempat kejadian yaitu
dengan prinsip primary surface ( ABC) terutama mempertahankan atau
mengurangi perdarahan dengan cara bebat tekan sementara dilarikan ke rumah
sakit.
Penanganan di rumah sakit harus di awali dengan prinsip ATLS. Pemberian
oksigen (O2) guna mencegah terjadinya hipoksia jaringan serta terutama organ-
organ vital. Kemudian dilanjutkan dengan terapi cairan, terapi cairan awal harus
diarahkan untuk mengoreksi takikardia atau hipotension dengan memperluas
volume cairan tubuh dengan cepat dengan menggunakan cairan NaCl ( isotonic)
atau ringer laktat diguyur dan kemudian dilanjutkan perlahan ± 1-1.5 L/jam
(Malinoski et Al., 2004; Stewart, 2005).
Untuk mencegah gagal ginjal dengan hidrasi yang sesuai, anjuran terapi
akhir–akhir ini berupa pemberian cairan intravena dan manitol untuk
mempertahankan diuresis minimal 300- 400 mL/jam, dalam hal ini penting
dipasang folley cateter guna menghitung balance cairan masuk dan cairan keluar
(Malinoski et Al., 2004). Volume agresif ini dapat mencegah kematian yang cepat
dan dikenal sebagai penolong kematian, dimana dapat memperbaiki perfusi
jaringan yang iskemik sebagai akibat crush injury.
Natrium bikarbonat berguna pada pasien dengan Crush Syndrome. Ini akan
mengembalikan asidosis yang sudah ada sebelumnya yang sering timbul dan juga
sebagai salah satu langkah pertama dalam mengobati hiperkalemia. Hal ini juga
akan meningkatkan pH urin, sehingga menurunkan jumlah mioglobin yang
mengendap di ginjal. Masukkan natrium bikarbonat intravena sampai pH urine
mencapai 6,5 untuk mencegah mioglobin dan endapan sama urat di ginjal.
Disarankan bahwa 50-100 mEq bikarbonat, tergantung pada tingkat keparahan.
Selain natrium bikarbonat, perawatan lain mungkin diperlukan untuk
memperbaiki hiperkalemia, tergantung pada cedera yang mengancam, biasanya
diberikan:
1. Insulin dan glukosa.
2. Kalsium - intravena untuk disritmia.
3. Beta-2 agonists - albuterol, metaproterenol sulfat (Alupent), dll
4. Kalium-pengikat resin seperti natrium sulfonat polystyrene (Kayexalate).
5. Dialisis, terutama pada pasien gagal ginjal akut (James R. Dickson, 2007)
2.3 Intervensi
No. Tujuan & Kriteria Hasil
Intervensi (NIC) Rasional
Dx (NOC)
Clifton Rd. (2009). Crush Injury and Crush Syndrome. USA: Centers for Disease
Control and Prevention;
http://www.bt.cdc.gov/masscasualties/blastinjuryfacts.asp