Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

CRUSH INJURY

I. Konsep Crush Injury


1.1 Definisi
Crush injury berasal dari bahasa Inggris Crush “ hancur” dan Injuri “ luka”,
yang didefinisikan sebagai luka yang hancur pada extremitas atau anggota badan
lain yang mengakibatkan terjadinya kerusakan yang serius, meliputi; kulit dan
jaringan lunak dibawa kulit, kerusakan pembuluh darah, persarafan, tendon, fascia,
bone joint (lokasi penghubung antara tulang), kerusakan tulang serta komponen
didalam tulang. Crush injury lebih sering mengenai anggota gerak dibanding
anggota tubuh yang lain. (Doenges, Marilyn E, dkk, 2001)

Crush injury didefinisikan sebagai kompresi dari ekstremitas atau bagian lain
dari tubuh yang menyebabkan pembengkakan otot dan/atau gangguan saraf di area
tubuh yang terkena. Biasanya area tubuh yang terkena adalah ekstremitas bawah
(74%), ekstremitas atas (10%), dan badan (9%). (Doenges, Marilyn E, dkk, 2001)

1.2 Etiologi
Penyebab utama dari crush injury adalah banyak faktor antara lain ; tertindih
oleh objek berat, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja pada industri, kecelakaan
kerja lain yang menyebabkan luka hancur yang serius. (Doenges, Marilyn E, dkk,
2001)

1.3 Manifestasi Klinis


Crush injury memiliki beberapa tanda dan gejala yang dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu :
Hipotensi
 Munculnya ruang ketiga yang masif,memerlukan penggantian cairan yang cukup
dalam 24 jam pertama; terjadinya penumpukan cairan pada ruang ketiga ini
mencapai > 12 L selama periode 48-jam
 Ruang ketiga dapat mengakibatkan komplikasi sekunder seperti sindrom
kompartemen, yang merupakan pembengkakan dalam ruang anatomi tertutup;
yang seringkali membutuhkan fasiotomi
 Hipotensi juga berperan dalam insidensi gagal ginjal
Kegagalan Ginjal
 Rhabdomyolysis melepaskan mioglobin, kalium, fosfor, dan kreatinin ke
sirkulasi
 Myoglobinuria dapat mengakibatkan nekrosis tubular ginjal jika tidak ditangani
 Pelepasan elektrolit dari otot yang iskemik menyebabkan kelainan metabolic

Kelainan Metabolic
 Kalsium mengalir ke dalam sel otot melalui membran yang bocor, menyebabkan
hypocalcemia sistemik
 Kalium dilepaskan dari otot iskemik ke dalam sirkulasi sistemik, menyebabkan
hyperkalemia. Asam laktat dilepaskan dari otot iskemik ke dalam sirkulasi
sistemik, menyebabkan asidosis metabolic
 Ketidakseimbangan kalium dan kalsium dapat menyebabkan aritmia jantung
yang mengancam jiwa, termasuk cardiac arrest; dan asidosis metabolik dapat
memperburuk kondisi pasien ini. (Clifton Rd, 2009)

Secara umum, ada beberapa tanda dan gejala lain yaitu :


 Cedera Kulit
 Bengkak
 Kelumpuhan –> menyebabkan seringkali crush injury keliru diartikan sebagai
cedera sumsum tulang belakang.
 Parestesia, mati rasa dapat menutupi derajat cedera (masking effect).
 Nyeri –> seringkali memberat pada pembebasan crush injury.
 Nadi –> pulsasi distal mungkin ada atau tidak ada.
 Myoglobinuria –> urin dapat menjadi berwarna merah tua atau coklat,
menunjukkan adanya myoglobin. (Vitriana, 2002)

Beberapa tanda dan gejala yang cukup signifikan yaitu :


Hiperkalemia
Seperti disebutkan sebelumnya, hiperkalemia sering hadir pada pasien dengan crush
injury. Dengan tidak adanya analisis laboratorium, tingkat hiperkalemia dapat
diperkirakan secara kasar dengan elektrokardiogram (EKG). Lebih baik
dilaksanakan EKG serial.Perubahan elektrokardiografi adalah sebagai berikut:

 Hiperkalemia ringan (5,5-6,5 mEq/L)


Gelombang T meninggi.
 Hiperkalemia Sedang (6,5-7,5 mEq/L)
PR interval memanjang, penurunan amplitude gelombang P, depresi atau elevasi
segmen ST, sedikit pelebaran QRS kompleks.
 Hiperkalemia berat (7,5-8,5 mEq/L)
Pelebaran lebih lanjut dari QRS karena blok pada bundle cabang atau
intraventricular, gelombang P yang datar dan lebar.
 Mengancam kehidupan hiperkalemia (> 8,5 mEq/ L)
Hilangnya gelombang P; blok AV; disritmia ventrikel; pelebaran lebih lanjut
dari kompleks QRS, akhirnyamembentuk pola sinusoid. (Vitriana, 2002)

Sindrom Kompartemen
Seperti disebutkan pada patofisiologi, sindrom kompartemen dapat terjadi
bersamaan dengan crush injury. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan ini
meliputi:
 Nyeri yang berat pada ekstremitas yang terlibat.
 Nyeri pada peregangan pasif otot-otot yang terlibat.
 Penurunan sensasi pada saraf tepi yang terlibat.
 Peningkatan tekanan intracompartmental pada direct manometry. (Vitriana,
2002)

1.4 Patofisiologi
Pada crush injury kerusakan lapisan kulit dan subkutan dapat mempermudah
masuknya kuman melalui lokasi luka yang terbuka sehingga sangat penting pada
ada anamnesis dapat diketahui mengenai mekanisme trauma dan lokasi kejadian,
agar dapat mengetahui risiko terjadinya infeksi. (Mychael.B. Straut, 2003).
Kerusakan pembuluh darah dapat disebabkan oleh kekuatan crush injury yang
mengakibatkan hilangnya suplai darah ke otot. Biasanya otot dapat bertahan selama
4 jam tanpa aliran darah (warm ischemia time) masuk dalam sel otot, kemudian sel-
sel otot akan mati. Selanjutnya terjadi kebocoran membrane plasma sel otot serta
kerusakan pembuluh darah yang akan mengakibatkan cairan intravaskuler akan
terakumulasi ke jaringan yang cedera. Hal ini dapat dapat menyebabkan
hipovelemia yang signifikan sehingga mengakibatkan terjadi syok hipovolemik,
serta kehilangan ion calcium (Ca+) sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya
hipokalsemia. (Mychael.B. Straut, 2003).
Kerusakan saraf tibialis, dapat mengakibatkan hilangnya reflek neurologis
yang signfikan pada sebelah distal regio cruris, sebab cabang n.Tibialis dapat
menginervasi regio pedis.
Jika tulang patah maka periosteum dan pembuluh darah pada kortek, sumsum
dan jaringan lunak sekitarnya mengalami gangguan / kerusakan. Perdarahan terjadi
dari ujung tulang yang rusak dan dari jaringan lunak (otot) yang ada disekitarnya.
Hematoma terbentuk pada kannal medullary antara ujung fraktur tulang dan bagian
bawah periosteum. Jaringan nekrotik ini menstimulasi respon inflamasi yang kuat
yang dicirikan oleh vasodilasi, eksudasi plasma dan lekosit , dan infiltrasi oleh sel
darah putih lainnya. Kerusakan pada periosteum dan sum-sum tulang dapat
mengakibatkan keluarnya sumsum tulang terutama pada tulang panjang, sumsum
kuning yang keluar akibat fraktur masuk ke dalam pembuluh darah dan mengikuti
aliran darah sehingga mengakibatkan terjadi emboli lemak (Fat emboly). Apabila
emboli lemak ini sampai pada pembuluh darah kecil, sempit, dimana diameter
emboli lebih besar dari pada diameter pembuluh darah maka akan terjadi hambatan
aliran-aliran darah yang mengakibatkan perubahan perfusi jaringan. Emboli lemak
dapat berakibat fatal apabila mengenai organ-organ vital seperti otak, jantung, dan
paru-paru. (Mychael.B. Straut, 2003).
Kerusakan pada otot dan jaringan lunak juga dapat menimbulkan nyeri yang
hebat karena adanya spasme otot. Sedangkan kerusakan pada tulang itu sendiri
mengakibatkan terjadinya perubahan ketidakseimbangan dimana tulang dapat
menekan persyarafan pada daerah yang terkena fraktur sehingga dapat
menimbulkan penurunan fungsi syaraf, yang ditandai dengan kesemutan, rasa baal
dan kelemahan. Selain itu apabila perubahan susunan tulang dalam keadaan stabil
atau benturan akan lebih mudah terjadi proses penyembuhan fraktur dapat
dikembalikan sesuai dengan anatominya. (Mychael.B. Straut, 2003).
Biasanya jika penanganan awal tidak dilakukan dengan baik, akan
berkembang timbul tanda-tanda dari crush syndrome yang mana akibat kerusakan
sel-sel otot sebagai akibat dari crush injury. Crush syndrome ditandai dengan
adanya gangguan sistemik.

1.5 Komplikasi
1) Hypotensi
2) Crush Syndrome
3) Renal failure
4) Compartmen Syndrome
5) Cardiac Arrest (Doenges, Marilyn E, dkk, 2001)
1.6 Penatalaksanaan
Pada crush injury, perlu adanya penanganan yang segera, karena lebih dari 6-
8 jam setelah kejadian, jika tidak dapat ditangani dengan baik akan menyebabkan
kondisi pasien semakin memburuk dan terjadi banyak komplikasi lain yang dapat
memperberat kondisi pasien dan penanganan selanjutnya menjadi semakain sulit.
Penanganan pada crush injury dapat dimulai dari tempat kejadian yaitu
dengan prinsip primary surface ( ABC) terutama mempertahankan atau
mengurangi perdarahan dengan cara bebat tekan sementara dilarikan ke rumah
sakit.
Penanganan di rumah sakit harus di awali dengan prinsip ATLS. Pemberian
oksigen (O2) guna mencegah terjadinya hipoksia jaringan serta terutama organ-
organ vital. Kemudian dilanjutkan dengan terapi cairan, terapi cairan awal harus
diarahkan untuk mengoreksi takikardia atau hipotension dengan memperluas
volume cairan tubuh dengan cepat dengan menggunakan cairan NaCl ( isotonic)
atau ringer laktat diguyur dan kemudian dilanjutkan perlahan ± 1-1.5 L/jam
(Malinoski et Al., 2004; Stewart, 2005).
Untuk mencegah gagal ginjal dengan hidrasi yang sesuai, anjuran terapi
akhir–akhir ini berupa pemberian cairan intravena dan manitol untuk
mempertahankan diuresis minimal 300- 400 mL/jam, dalam hal ini penting
dipasang folley cateter guna menghitung balance cairan masuk dan cairan keluar
(Malinoski et Al., 2004). Volume agresif ini dapat mencegah kematian yang cepat
dan dikenal sebagai penolong kematian, dimana dapat memperbaiki perfusi
jaringan yang iskemik sebagai akibat crush injury.
Natrium bikarbonat berguna pada pasien dengan Crush Syndrome. Ini akan
mengembalikan asidosis yang sudah ada sebelumnya yang sering timbul dan juga
sebagai salah satu langkah pertama dalam mengobati hiperkalemia. Hal ini juga
akan meningkatkan pH urin, sehingga menurunkan jumlah mioglobin yang
mengendap di ginjal. Masukkan natrium bikarbonat intravena sampai pH urine
mencapai 6,5 untuk mencegah mioglobin dan endapan sama urat di ginjal.
Disarankan bahwa 50-100 mEq bikarbonat, tergantung pada tingkat keparahan.
Selain natrium bikarbonat, perawatan lain mungkin diperlukan untuk
memperbaiki hiperkalemia, tergantung pada cedera yang mengancam, biasanya
diberikan:
1. Insulin dan glukosa.
2. Kalsium - intravena untuk disritmia.
3. Beta-2 agonists - albuterol, metaproterenol sulfat (Alupent), dll
4. Kalium-pengikat resin seperti natrium sulfonat polystyrene (Kayexalate).
5. Dialisis, terutama pada pasien gagal ginjal akut (James R. Dickson, 2007)

Pemberian manitol intravena memiliki tindakan yang menguntungkan


beberapa korban crush syndrome guna melindungi ginjal dari efek rhabdomyolisis,
peningkatan volume cairan ekstraselular, dan meningkatkan kontraktilitas jantung.
Selain itu, intravena manitol selama 40 menit berhasil mengobati sindrom
kompartemen, dengan menghilangkan gejala dan mengurangi bengkak ( edema).
(James R. Dickson, 2007)
Manitol dapat diberikan dalam dosis 1 gram / kg atau ditambahkan ke cairan
intravena pada pasien sebagai infuse lanjutan. Dosis maksimum adalah 200 gm/d,
dosis yang lebih tinggi dari ini dapat merusak fungsi ginjal. Mannitol boleh
diberikan hanya setelah aliran urin baik yang dikoreksi dengan cairan IV lain
sebelumnya.
Luka harus dibersihkan, debridemen, dan ditutup dengan dressing sterile
dengan kain kasa. Lokasi cedera diangkat lebih tinggi dari posisi jantung akan
membantu untuk membatasi edema dan mempertahankan perfusi. Antibiotik
intravena sering digunakan guna mencegah infeksi, obat-obatan untuk mengontrol
rasa sakit ( analgetik) dapat diberikan yang sesuai. Torniket yang kontroversial
perlu jika perdarahan aktif , namun biasanya jarang digunakan. (James R. Dickson,
2007)
Amputasi di lapangan atau tempat kejadian digunakan hanya sebagai upaya
terakhir. Ini mungkin sesuai strategi penyelamatan untuk pasien yang hidupnya
berada dalam bahaya langsung dan yang tidak dapat melepaskan diri dengan cara
lain. Ini merupakan bidang yang sulit dengan prosedur yang sangat meningkatkan
risiko infeksi dan perdarahan pada pasien. Amputasi dirumah sakit harus dilakukan
oleh dokter ahli yang berkompeten berdasarkan keahlian. (James R. Dickson,
2007)
Pada amputasi bawah lutut dapat dilakukan jika ada kerusakan yang sulit
untuk dipertahan lagi dan kerusakan fungsi komponen yang terdapat pada daerah
bawah lutut (under of knee) yang melibatkan kerusakan kulit , soft tissue, otot,
vaskularisasi, persarafan, tendon, fascia serta tulang. Sehingga amputasi pada
daerah bawah lutut dapat dilakukan dengan cara mempertahankan otot dan
komponen lainnya serta kondilus tulang paha, namun pada kasus crush injury
(Regio cruris) yang kerusakannya mencapai tulang patella, dapat dilakukan
tindakan amputasi daerah diatas lutut (Amputation above the knee). Pastikan
tindakan ini membantu pasien untuk berlatih seketika setelah amputasi, supaya
dapat memperkuat: otot adductor sisa, mencegah prosthesis gerakkan keluar ketika
ia berjalan, dan otot extensors, sebab kedua fungsi otot ini akan melebarkan
pinggul pasien dan prosthesis, yang mana untuk membentuk lututnya dan juga
harus belajar untuk menyeimbangkan pinggulnya sebagai ganti otot yang
diamputasi. Tujuan operasi amputasi bawah lutut adalah untuk menghasilkan
sebuah alat gerak yang padat, berbentuk silindris, bebas dari jaringan parut yang
sensitif dengan tulang yang cukup baik ditutupi oleh otot dan jaringan subkutan
yang sesuai dengan panjangnya. Ujung puntung sebaiknya dilapisi oleh jaringan
kulit, subkutan, fasia dan otot yang sehat dan tidak melekat. (Edward J. Newton,
MD, 2009)
Dalam hal ini sangat penting pengetahuan yang lebih mengenai anatomi dan
fisiologi pada lokasi amputasi. Oleh karena itu tindakan ini harus dilakukan oleh
ahli orthopedic.

Adapun indikasi yang sangat penting diketahui yaitu :


(1) Live saving (menyelamatkan jiwa), contoh trauma disertai keadaan yang
mengancam jiwa (perdarahan dan infeksi). Sangat mengancam nyawa bila
dibiarkan, misalnya pada crush injury, sepsis yang berat, dan adanya tumor
ganas.
(2) Limb saving (memanfaatkan kembali kegagalan fungsi ekstremitas secara
maksimal), seperti pada kelainan kongenital dan keganasan. Anggota gerak
tidak berfungsi sama sekali, sensibilitas anggota gerak hilang sama sekali,
adanya nyeri yang hebat, malformasi hebat atau ostemielitis yang disertai
dengan kerusakan tulang hebat. Serta kematian jaringan baik akibat diabetes
melitus (DM), penyakit vaskuler, setelah suatu trauma, dapat di indikasikan
amputasi. (Edward J. Newton, MD, 2009)
II. Asuhan Keperawatan Crush Injury
2.1 Pemeriksaan fisik: data focus
2.1.1 Primery survey
a. Airway: Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya sumbatan atau
obstruksi,
b. Breathing: memastikan irama napas normal atau cepat, pola napas teratur,
tidak ada dyspnea, tidak ada napas cuping hidung,dan suara napas
vesikuler,
c. Circulation: nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan darah
dibawah normal bila terjadi syok, pucat oleh karena perdarahan,
sianosis, kaji jumlah perdarahan dan lokasi, capillary refill >2 detik
apabila ada perdarahan.
d. Disability: kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil anisokor
apabila adanya diskontinuitas saraf yang berdampak pada medulla
spinalis.
e. Exposure/Environment: crush injury pada ekstremitas, luka laserasi pada
wajah dan tangan, memar pada abdomen, perut semakin menegang.

2.1.2 Secondary survey


a. Fokus Asesment
1) Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga, dan
mulut. Temuan yang dianggap kritis: Pupil tidak simetris, midriasis
tidak ada respon terhadap cahaya ?
Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi, terbuka/tertutup)?
Robekan/laserasi pada kulit kepala?
Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
Cairan serebro spinal di telinga atau di hidung?
Battle sign dan racoon eyes?
2) Leher: lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher
bagian belakang. Temuan yang dianggap kritis: Distensi vena
jugularis, deviasi trakea atau tugging, emfisema kulit
3) Dada: Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-otot
asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan yang dianggap kritis:
Luka terbuka, sucking chest wound, Flail chest dengan gerakan dada
para doksikal, suara paru hilang atau melemah, gerakan dada sangat
lemah dengan pola napas yang tidak adekuat (disertai dengan
penggunaaan otot-otot asesoris).
4) Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak semakin tegang,
lakukan auskultasi dan palpasi dan perkusi pada abdomen. Temuan
yang dianggap kritis ditekuannya penurunan bising usus, nyeri tekan
pada abdomen bunyi dullness.
5) Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri tekan.
Temuan yang dianggap kritis: Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan
tidak stabil serta pembengkakan di daerah pubik
6) Extremitas: ditemukan crush injury pada ekstremitas. Anggota gerak
atas dan bawah, denyut nadi, fungsi motorik, fungsi sensorik.
Temuan yang dianggap kritis: Nyeri, melemah atau menghilangnya
denyut nadi, menurun atau menghilangnya fungsi sensorik dan
motorik.
7) Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi, pernafasan
dan tekanan darah.
Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow
Coma Scale): terjadi penurunan kesadaran pada pasien.

2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa 1 : Nyeri akut (NANDA NIC-NOC, 2015: 317 [45])
2.2.1 Definisi : Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau
digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association
for the study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan
hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan
berlangsung < 6 bulan.
2.2.2 Batasan karakteristik
1) Perubahan selera makan
2) Perubahan tekanan darah
3) Perubahan frekuensi jantung
4) Perubahan frekuensi pernapasan
5) Laporan isyarat
6) Diaforesis
a) Perilaku distraksi (mis. Berjalan mondar-mandir mencari orang lain dan
atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang)
b) Mengekspresikan perilaku (mis. Gelisah, merengek, menangis)
c) Masker wajah (mis. Mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan
mata berpencar atau tetap pada satu focus meringis).
d) Sikap melindungi area nyeri
e) Fokus menyempit (mis. gangguan persepsi nyeri, hambatan proses
berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
f) Indikasi nyeri yang dapat diamati
g) Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
h) Sikap tubuh melindungi
i) Dilatasi pupil
j) Melaporkan nyeri secara verbal
k) Gangguan tidur

2.2.3 Faktor yang berhubungan


Agen cedera (mis. biologis, zat kimia, fisik, psikologis)

Diagnosa 2 : Hambatan mobilitas fisik (NANDA NIC-NOC, 2011: 472)


2.2.4 Definisi : keterbatasan dalam, pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh
atau satu ekstremitas atau lebih (sebutkan tingkatnya) :
Tingkat 0 : mandiri total
Tingkat 1 : memerlukan penggunaan peralatan atau alat bantu
Tingkat 2 : memerlukan bantuan dari orang lain untuk pertolongan,
pengawasan, atau pengajaran
Tingkat 3 : membutuhkan bantuan dari orang lain dan peralatan atau alat
bantu
Tingkat 4 : ketergantungan, tidak berpartisipasi dalam aktivitas

2.2.5 Batasan karaktersitik


Objektif
1) Penurunan waktu reaksi
2) Kesulitan membolak balik tubuh
3) Asyik dengan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan (misalnya
peningkatan perhatian terhadap aktivitas orang lain, perilaku
mengendalikan, berfokus pada kondisi sebelum sakit atau ketunadayaan
aktivitas)
4) Dispnea saat beraktivitas
5) Perubahan cara berjalan (misalnya penurunan aktivitas dan kecepatan
berjalan, kesulitan untuk memulai berjalan, langkah kecil, berjalan
dengan menyeret kaki, pada saat berjalan badan mengayun ke samping)
6) Pergerakan menyentak
7) Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus
8) Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar
9) Keterbatasan rentang pergerakan sendi
10) Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
11) Ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas aktivitas
kehidupan sehari-hari)
12) Melambatnya pergerakan
13) Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi

2.2.6 Faktor yang berhubungan


1) Intoleransi aktivitas
2) Perubahan metabolism selular
3) Ansietas
4) Indeks masa tubuh di atas perentil ke 75 sesuai usia
5) Gangguan kognitif
6) Konstraktur
7) Kepercayaan budaya tentang aktivitas sesuai usia
8) Fisik tidak bugar
9) Penurunan ketahanan tubuh
10) Penurunan kendali otot
11) Penurunan massa otot
12) Malnutrisi
13) Gangguan muskuloskeletal
14) Gangguan neuromuskular, nyeri
15) Agens obat
16) Penurunan kekuatan otot
17) Kurang pengetahuan tentang aktivitas fisik
18) Keadaan mood depresif
19) Keterlambatan perkembangan
20) Ketidaknyamanan
21) Disuse, kaku sendi
22) Kurang dukungan lingkungan (misal fisik atau sosial)
23) Keterbatasan ketahanan kardiovaskuler
24) Kerusakan integritas struktur tulang
25) Program pembatasan gerak
26) Keengganan memulai pergerakan
27) Gaya hidup monoton
28) Gangguan sensori perseptual

2.3 Intervensi
No. Tujuan & Kriteria Hasil
Intervensi (NIC) Rasional
Dx (NOC)

1. Setelah dilakukan asuhan 1. Pemberian analgesik 1. Menggunakan agen-agen


keperawatan selama … x farmakologi untuk mengurangi
24 jam diharapkan pasien atau menghilangkan nyeri
tidak mengalami nyeri 2. Manajemen medikasi 2. Memfasilitasi penggunaan
dengan kriteria hasil : obat resep atau obat bebas
1. Memperlihatkan teknik secara aman dan efektif
relaksasi secara 3. Manajemen nyeri 3. Meringankan atau mengurangi
individual yang efektif nyeri sampai pada tingkat
untuk mencapai kenyamanan yang dapat
keamanan diterima oleh pasien
2. Mempertahankan 4. Manajemen sedasi 4. Memberikan sedative,
tingkat nyeri pada __ memantau respon pasien, dan
atau kurang memberikan dukungan
3. Melaporkan nyeri pada fisiologis yang dibutuhkan
penyedia layanan selama prosedur diagnostic
kesehatan atau terapeutik
4. Tidak mengalami
gangguan dalam
frekuensi pernapasan,
frekuensi jantung atau
tekanan darah
2. Setelah dilakukan asuhan Exercice therapy : ambulation
keperawatan selama … x 1. Monitoring vital sign 1. Mencegah terjadinya
24 jam diharapkan pasien sebelum/sesudah latihan penurunan kondisi atau cedera
tidak mengalami hambatan dan lihat respon pasien pada pasien saat dilakukan
mobilitas fisik dengan saat latihan tindakan.
kriteria hasil : 2. Konsultasikan dengan 2. Meningkatkan mobilitas
1. Klien meningkat dalam terapi fisik tentang rencana pasien sesuai kondisi pasien
aktivitas fisik ambulasi sesuai dengan
2. Mengerti tujuan dari kebutuhan.
peningkatan mobilitas 3. Bantu pasien untuk 3. Membantu meningkatkan
3. Memverbalisasikan menggunakan tongkat saat kekuatan dan ketahanan otot.
perasaan dalam berjalan dan cegah
meningkatkan kekuatan terhadap cedera
dan kemampuan 4. Ajarkan pasien atau tenaga 4. Mampu melakukan tindakan
berpindah kesehatan lain tentang secara mandiri dan termotivasi
4. Memperagakan teknik ambulasi untuk meningkatkan mobilitas
kemampuan alat 5. Kaji kemampuan pasien 5. Mengetahui sejauh mana
5. Bantu untuk mobilisasi dalam mobilisasi peningkatan mobilisasi.
(walker) 6. Latih pasien dalam 6. Agar pasien mampu
pemenuhan kebutuhan melakukan aktivitas secara
ADLs secara mandiri mandiri.
sesuai kemampuan
7. Dampingi dan bantu pasien 7. Meningkatkan motivasi pasien
saat mobilisasi dan bantu dalam melakukan aktivitas
pemenuhan kebutuhan sehari-hari
ADLs pasien
8. Berikan alat bantu jika 8. Mampu melakukan aktivitas
pasien memerlukan secara mandiri guna
9. Ajarkan pasien bagaimana meningkatkan mobilitas
merubah posisi dan berikan 9. Meningkatkan kesejahteraan
bantuan jika diperlukan fisologis dam psikologis

III. Daftar Pustaka

Clifton Rd. (2009). Crush Injury and Crush Syndrome. USA: Centers for Disease
Control and Prevention;
http://www.bt.cdc.gov/masscasualties/blastinjuryfacts.asp

Darren J. Malinoski, MD, Matthew S. Slater, MDc, Richard J. Mullins, MD “Crush


injury and rhabdomyolysis”Department of Surgery, Oregon Health &
Science University” D.J. Malinoski et al / Crit Care Clin 20 (2004) 171–
192. http://www.thedenverclinic.com/services/mangled/extremity-trauma-
home/35-news/50-crush-injury-to-lower-legs.html

Doenges, Marilyn E, dkk,. 2001. Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa


Keperawatan. Jakarta : EGC

Edward J. Newton, MD. (2009) “Acute Complications of Extremity Trauma”


Department of Emergency Medicine, Keck School of Medicine, LACþUSC
Medical Center, Building GNH 1011, 1200 North State Street, Los Angeles,
CA 90033, USA.
http://www.thedenverclinic.com/services/mangled/extremity-trauma-
home/35-news/50-crush-injury-to-lower-legs.html
James R. Dickson M. D., FACEP, (2007) Crush Injury
http://www.bt.cdc.gov/masscasualties/blastinjuryfacts.asp

Mychael.B. Straut. (2003). Lower Leg Amputation”


http://search.mywebsearch.com/mywebsearch/redirect.jhtml?searchfor
Leg+ Amputation+Surgery.

Vitriana. (2002). Bagian Ilmu Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi Fk-Unpad /


Rsup.Dr.Hasan Sadikin Fk-Ui / R supn Dr.Ciptomangunkusumo.

Anda mungkin juga menyukai