Oleh :
Veronika
NIM : 2017.C.09a.0912
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas,
setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau
lebih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan menetek di susul dengan
kejang-kejang (WHO, 2010 )
Tetanus Neonatorum merupakan tetanus yang terjadi pada bayi yang dapat disebabkan adanya
infeksi melalui tali pusat yang tidak bersih.Masih merupakan masalah di indonesia dan di negara
berkembang lain, meskipun beberapa tahun terakhir kasusnya sudah jarang di indonesia. Angka
kematian tetanus neonatorum tinggi dan merupakan 45 – 75 % dari kematian seluruh penderita
tetanus. Penyebab kematian terutama akibat komplikasi antara lain radang paru dan sepsis, makin
muda umur bayi saat timbul gejala, makin tinggi pula angka kematian. (Maryunani, 2013)
1.1.2 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena clostridium tetani yang bersifat anaerob dimana kuman
tersebut berkembang tanpa adanya oksigen. Tetanus pada bayi ini dapat disebabkan karena tindakan
pemotongan tali pusat yang kurang steril, untuk penyakit ini masa inkubasinya antara 5 – 14 hari
(Hidayat, 2008)
1.1.3 Klasifkasi
1. Grade 1 (ringan): trimus ringan,kaku,tidak ada gangguan pernafasan, tidak ada spasme,tidak
ada disfagis
2. Grade 2 (sedang) : trismun sedang,rigiditas,spasma dengan durasi singkat,disfagia
ringan,keterlibatan sistem pernafasan ,RR >30
3. Grade 3 (berat) : trismun berat, rigiditas seluruh tubuh, spasma berkepanjangan,disfegia
berat,gejala apnea,denyut nadi > 120
4. Grade 4 (sangat berat): Grade 3 dengan instabilitas sistem saraf otonom.
1.1.4 Patofisiologi
Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril akan memudahkan
spora Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan
berikatan dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian bergerak melalui
sistem transpor aksonal retrograd melalui sel-sel neuron hingga ke medula spinalis dan batang otak,
seterusnya menyebabkan gangguan sistim saraf pusat (SSP) dan sistim saraf perifer.
Pada sistim saraf otonom yang diserang tetanospasmin akan menyebabkan gangguan proses
pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, pencernaan, perkemihan, dan pergerakan otot.
Kekakuan laring, hipertensi, gangguan irama jantung, berkeringat secara berlebihan (hiperhidrosis)
merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom. Kejadian gejala penyulit ini jarang dilaporkan
karena penderita sudah meninggal sebelum gejala tersebut timbul.
1.1.5 Manifestasi Klinis
Penatalaksanaan tetanus neonatorum adalah perawatan tali pusat dengan alat – alat yang steril.
(Deslidel, 2011)
Pengobatan tetanus ditujukan pada :
a. Netralisasi tosin yang masih ada di dalam darah sebelum kontak dengan sistem saraf, dengan
serum antitetanus (ATS teraupetik)
b. Membersihkan luka tempat masuknya kuman untuk menghentikan produksi toksin
c. Pemberian antibiotika penisilin atau tetrasiklin untuk membunuh kuman penyebab
d. Pemberian nutrisi, cairan dan kalori sesuai kebutuhan
e. Merawat penderita ditempat yang tenang dan tidak terlalu terang
f. Mengurangi serangan dengan memberikan obat pelemas otot dan sesedikit mungkin
manipulasi pada penderita. (Maryunani , 2010)
g. Di berikan cairan melalui intravena
h. Obat ATS 10.000 untuk perhari di berkan selama 2hari berturut-turut dengan IM untuk
neonatus bisa di berikan IV apa bila tersedia dapat di berikan human
tetanus immununoglobulin(HTIG) 3000-6000IU.im.
i. Ampisilin 100mg/kg/BB hari di bagi 4dosis
j. Tali pusat dibersihkan atau dikompres dengan alkohol betadine 10%
k. Memberikan suntikan anti kejang, obat yang dipakai ialah kombinasi fenobarbital dan
largaktil. Fenobarbital dapat diberikan mula-mula 30-60 mg parenteral, kemudian dilanjutkan
dengan dosis maksimum 10 mg per hari. Largaktil dapat diberikan bersama luminal, mula-
mula 7,5 mg parenteral, kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg setiap hari. Kombinasi
yang lain ialah Kloralhidrat yang diberikan lewat anus
l. Imunisasi aktif dengan pemberian DPT, booster dose (untuk balita) jika terjadi luka lagi,
dilakukan booster ulang
m. Imunisasi pastif, pemberian ATS profilaksis 1500-4500 UI (dapat bertahan 7-10 hari).
Pemberian imunisasi ini sering menyebabkan syok anafilaksis ehinngga harus dilakukan skin
test terlebih dahulu. Jika pda lokasi skin test tidak terjadi kemerahan, gatal, dan
pembengkakan maka imunisasi dapat diinjeksikan, anak-anak diberikan setengah dosis (750-
1250 UI). HyperTet 250 UI dan dosis untuk anak-anak diberikan setengahnya (12,5 UI) bila
tidak tahan ATS
n. Pencegahan pada luka, toiletisasi (pembersihan luka) memakai perhidrol (hydrogen peroksida
–H2O2), debridemen, bilas dengan NaCl, dan jahit.
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian Keperawatan
2.2.1.1 Identitas pasien
Nama : Tn.D
Umur : 8 hari
Pendidikan : -
Agama : Islam
No. RM :
2.2.1.2 Keluhan Utama
Bayinya panas, tidak mau menyusu dan mulut bayinya mencucu seperti mulut ikan disertai kejang.
2.2.1.3 Riwayat Kesehatan Sekarang
Ibu mengatakan bayinya panas, kejang dan mulut bayi mencucu seperti mulut ikan. anak tampak
lemah dan gelisah, Kesadaran composmentis .Tanda-tanda vital, Nadi: 124 x/mnt , Temp: 38,60C, RR
: 48 x/mnt, PB/BB: 49 cm/2600 gr. Bayi lahir pada tanggal 8 November 2007 didukun desa dengan
keadaan normal.
1.2.1.4 Riwayat Kesehatan Dahulu
Bayi lahir aterm, tidak ada kelainan
2.2.1.5 Riwayat Persalinan
Lama dan
Hamil Thn Penolong Keadaan
jenis BBL
ke lahir dan tempat anak
persalinan
2.2.1.6 Imunisasi
Ibu mengatakan anaknya telah diimunisasi pada hari ke-2 setelah persalinan
2.2.1.7 Aktivitas
Aktivitas melemah, menangis terus
41.2.1.8 Riwayat Kesehatan Keluarga
Ayah dan ibu mengaku tidak pernah menderita penyakit menular ataupun penyakit keturunan.
1.2.2 Diagnosa Keperawatan
KH :
1. Ibu Klien mengerti tentang tetanus neonatorum
2. Ibu klien dapat mengerti tindakan yang dapat menurunkan hipertermia
3. Ibu klien dapat melakukan tindakan yang diajarkan oleh perawat
Intervensi
1. Identifikasi penyebab hipertemia
2. Longgarkan atau lepas pakaian
3. Lakukan pendiginan eksternal (kompres dingin pada dahi,leher,dada,perut dan aksila)
4. Observasi suhu tubuh setiap 2 jam
5. Kolaborasi Pemberian cairan dan elektrolit intervena
Rasional
1. Untuk mengetahui penyebab hipertermia
2. Untuk pasien merasa nyaman
3. Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara
konduksi
4. Untuk memantau agar suhu tubuh tetap normal
5. Untuk pemberian obat
2.2.3.2 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan refleks
menghisap bayi tidak adekuat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2X24 jam, kebutuhan nutrisi terpenuhi
KH :
1. Ibu pasien mengerti kenapa terjadi kelemahan otot tubuh
2. ibu pasien mengerti penyebab bayi tidak mau menyusu
3. ibu pasien dapat mengerti tentang kebutuhan nutrisi bayinya
Intervensi
1. observasi intake dan output pasien dan bb pasien
2. anjurkan ibu klien menyusui bayinya setiap 2 jam sekali
3. edukasi tentang penyebab bayinya tidak mau menyusu dan kabutuhan nutrisi bayi
4. kolaborasi dengan dokter dalam pemeberian terapi iv
Rasional :
Etiologi
ii
Clostridium tetani anaerob
Eksotoksin
Tetanus Neonatorium
B1 B2 B3 B4 B5 B6
Deslidel, H. (2011). Buku Ajar Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta: EGC.
Hidayat, A. A. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data . Jakarta: Salemba
Medika.
Ismoedijanto, & Darmowandowo. (2006). Pediatrik . Retrieved april 8, 2016, from Pediatrik Web
site: http//www.pediatrik.com
Maryunani, Anik, & Nurhayati. (2008). Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit pada Neonatus.
Jakarta : Trans Info Media.
Surasmi, A., Handayani, S., & Kusuma, H. N. (2006). Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta: EGC.
Risk Analyses Factor of Infant Mortality Caused by Tetanus Neonatorum in East Java
ABSTRAK
Tetanus neonatorum (TN) adalah infeksi pada bayi berusia < 28 hari, karena bakteri
Clostridium tetani yang masuk ke tubuh melalui luka. Tetanus neonatorum merupakan salah satu
penyebab kematian neonatus di dunia. Kasus tetanus neonatorum terdapat pada 14 provinsi di
Indonesia, Jawa Timur memiliki kasus tetanus neonatorum tertinggi kedua. Faktor yang
memengaruhi kematian bayi penderita TN antara lain meliputi status imunisasi TT ibu, tingkat
paritas, kecepatan pertolongan TN, dan perawatan tali pusat. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis hubungan status imunisasi TT ibu, tingkat paritas, kecepatan pertolongan TN, dan
perawatan tali pusat dengan kematian pada bayi penderita TN. Penelitian ini menggunakan
rancang bangun cross sectional dengan menggunakan 59 responden yang diperoleh dari laporan
T2 ke Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2014-2016. Hasil penelitian dengan
menggunakan uji chi square dan α = 0,05 diperoleh status imunisasi TT ibu hamil (p = 0,257),
tingkat paritas ibu (p = 0,034; PR = 0,39; 95% CI 0,16-0,98), kecepatan pertolongan TN (p =
0,061), dan perawatan tali pusat (p = 0,007; PR= 2,31; 95% CI 1,29-4,15). Kesimpulan dari
penelitian ini adalah terdapat hubungan antara tingkat paritas ibu dan perawatan tali pusat
dengan kematian bayi penderita TN, serta tidak terdapat hubungan antara status imunisasi TT
ibu dan kecepatan pertolongan TN dengan kematian bayi penderita TN di Jawa Timur tahun
2014-2016. Saran penelitian, upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi risiko kematian
bayi yaitu melakukan penyuluhan terkait imunisasi TT pada ibu hamil, mengatur kehamilan,
melakukan persalinan dan perawatan tali pusat dengan bersih.
Kata kunci: faktor risiko, kecepatan pertolongan, kematian tetanus neonatorum, paritas dan
perawatan tali pusat, status imunisasi ibu
ABSTRACT
Keywords: risk factors, delay admission, mortality of tetanus neonatorum, parity, and
umbilical cord care, maternal immunization
©2017 FKM_UNAIR All right reserved. Open access under CC BY–SA license
doi:10.20473/jbe.v5i2.2017.195-206 Received 05 July 2017, Received in Revised Form
28 July 2017, Accepted 08 August 2017, Published online: 31 August 2017
Selvy Novita Sari, Analisis Faktor Risiko Kematian Bayi Penderita Tetanus … 196
Jumlah kasus tetanus neonatorum di 2014 dengan kematian mencapai 54 orang atau
Indonesia cenderung mengalami kondisi yang 64,3%. Provinsi Jawa Timur turut bertanggung
menurun dari tahun 2007–2011. Meskipun jawab terhadap kasus tetanus neonatorum di
sempat mengalami kenaikan pada tahun 2008, Indonesia. Provinsi Jawa Timur memiliki
kasus tetanus neonatorum kembali menurun jumlah kasus tetanus neonatorum sebesar 17
hingga tahun 2011. Angka kematian (case kasus dengan kematian 7 orang atau CFR
fatality rate) tetanus neonatorum dari tahun 41,2% (Pusat Data dan Informasi Kemenkes
kecepatan dan hidup 15,3%. hasil analisis pada tinggi karena pada
pertolongan < 2 hari dengan status kali lebih besar diagnosis. Kondisi
7(2). Tersedia di: district, Uganda. Umbilical cord M.F., Sania, A.,
http:// Paediatrics & Child antiseptics for Vogel, J.P., Adair, L.,
Perilaku Ibu hamil Hatkar, N., Shah, N., lm.nih. mortality: a meta-
10 Juni 2017]. 4(40), pp. 6967- Public Health, Wills, B., et al.
Grant, E., Munube, 6973. Tersedia di: 13(322). Tersedia 2015. Prognosis of
umbilical cord care R.M.M., Senen, K.A.A., 322 [Sitasi: 26 Mei International
Selvy Novita Sari, Analisis Faktor Risiko Kematian Bayi Penderita Tetanus … 216