TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai
kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan. Menurut (Apley & Solomon,
2018), Fraktur terjadi karena kelebihan beban mekanis pada suatu tulang, saat
tekanan yang diberikan pada tulang terlalu banyak dibandingkan yang mampu
ditanggungnya. Jumlah gaya pasti yang diperlukan untuk menimbulkan suatu 14
fraktur dapat bervariasi, sebagian bergantung pada karakteristik tulang itu
sendiri. Fraktur dapat terjadi karena gaya secara langsung, seperti saat sebuah
benda bergerak menghantam suatu area tubuh di atas tulang. Fraktur batang
radius dan ulna biasanya terjadi karena cedera langsung pada lengan bawah,
kecelakaan lalu lintas, atau jatuh dengan lengan teregang. Fraktur radius dan
ulna biasanya merupakan akibat cedera hebat. Cedera langsung biasanya
menyebabkan fraktur transversa pada tinggi yang sama, biasanya di sepertiga
tengah tulang (Hartanto, 2013).
7
2.1.3 Patofisiologi
Trauma langsung dan tidak langsung serta kondisi patologis pada tulang
dapat menyebabkan patah tulang. Fraktur adalah diskontinuitas atau pemisahan
tulang menjadi beberapa fragmen tulang yang menyebabkan perubahan jaringan
di sekitar fraktur, termasuk laserasi kulit akibat fragmen tulang tersebut,
kerusakan jaringan kulit ini dapat memicu perawatan berupa gangguan integritas
kulit. Kerusakan kulit akibat pecahan tulang dapat menyebabkan terputusnya
pembuluh darah vena dan arteri di daerah yang retak, yang dapat menyebabkan
perdarahan. Perdarahan vena dan arteri yang menetap dan cukup lama
mengakibatkan penurunan volume darah dan aliran cairan dalam pembuluh
darah, yang dapat menimbulkan komplikasi syok hipovolemik jika perdarahan
tidak segera dihentikan (Joyce Hawks, 2014).
Perubahan jaringan di sekitarnya yang disebabkan oleh fragmen tulang
dapat menyebabkan kelainan bentuk pada daerah fraktur akibat pergerakan
fragmen tulang itu sendiri. Deformitas pada area ekstremitas dan bagian tubuh
lainnya menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan mobilitas akibat
perubahan dan disfungsi pada area deformitas tersebut, sehingga menimbulkan
masalah keperawatan berupa gangguan mobilitas fisik. Pergeseran fragmen
tulang itu sendiri dapat menyebabkan masalah perawatan berupa rasa sakit.
Setelah fraktur terjadi, otot-otot di lokasi fraktur akan melindungi lokasi
fraktur melalui spasme otot. Spasme otot adalah splint alami yang mencegah
perpindahan fragmen tulang ke tingkat yang lebih parah dan menyebabkan
peningkatan tekanan darah kapiler dan merangsang tubuh untuk melepaskan
histamin, yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan memungkinkan
cairan intravaskular berpindah ke ruang interstisial. Pergerakan cairan
intravaskular ke dalam ruang interstisial juga membawa protein plasma (Noor Z,
2016). Pemindahan cairan intravaskuler ke interstitium dalam jangka waktu
tertentu akan menyebabkan edema jaringan perifer atau interstisial akibat
penimbunan cairan, menyebabkan pembuluh darah perifer terkompresi atau
terhambat, dan perfusi jaringan perifer berkurang.
Penurunan perfusi jaringan akibat edema dapat menimbulkan masalah
keperawatan berupa gangguan perfusi jaringan. Masalah dengan gangguan
perfusi
8
jaringan juga dapat disebabkan oleh kerusakan pada fragmen tulang itu sendiri.
Diskontinuitas tulang adalah pemecahan fragmen tulang yang meningkatkan
tekanan sistem tulang melebihi tekanan kapiler, dan tubuh melepaskan
katekolamin sebagai mekanisme kompensasi stres. Katekolamin berperan dalam
memobilisasi asam lemak di pembuluh darah, memungkinkan asam lemak ini
berikatan dengan trombosit dan membentuk emboli di pembuluh darah,
menyumbat pembuluh darah dan mengganggu perfusi jaringan (Noor Z, 2016).
2.1.4 Pathway
9
2.1.5 Manifestasi Klinis
Gejala umum fraktur menurut (Lukman, 2013), adalah sebagai berikut:
1) Rasa sakit yang menetap dan bertambah parah sampai fragmen tulang
bergerak. Kejang otot yang menyertai patah tulang adalah bentuk alami
belat yang dirancang untuk meminimalkan gerakan di antara fragmen.
2) Setelah patah, bagian yang patah tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak wajar (gerakan tidak normal) bukannya stabil seperti biasa.
Perpindahan fragmen pada fraktur lengan dan tungkai mengakibatkan
deformitas ekstremitas (terlihat atau teraba) yang dapat diidentifikasi
dengan membandingkan tungkai normal. Anggota badan tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi otot yang normal tergantung pada
integritas tulang tempat otot tersebut melekat.
3) Pada fraktur tulang panjang, tulang justru memendek karena kontraksi otot-
otot di atas dan di bawah tempat fraktur. Potongan biasanya saling tumpang
tindih dengan 2,5-5 cm (1-2 inci).
4) Saat memeriksa lokasi fraktur, dapat teraba bunyi derik tulang yang disebut
krepitus karena gesekan antar fragmen.
5) Pembengkakan lokal dan perubahan warna kulit akibat trauma dan
perdarahan setelah patah tulang. Tanda-tanda ini mungkin muncul beberapa
jam atau hari setelah cedera (Kusumayanti, 2015).
2.1.6 Komplikasi
1) Komplikasi Awal
a. Syok: Mungkin fatal dalam beberapa jam setelah edema. Syok disebabkan
oleh penurunan oksigenasi karena kehilangan darah yang masif dan
peningkatan permeabilitas kapiler. Ini biasanya terjadi pada patah tulang
(Smeltzer bare, 2019).
b. Emboli lemak: Dapat terjadi 24-72 jam. Fat embolism syndrome (FES)
merupakan komplikasi serius yang sering terjadi pada patah tulang
panjang. FES terjadi ketika sumsum tulang kuning menghasilkan sel-sel
lemak yang masuk ke aliran darah dan menyebabkan kadar oksigen darah
rendah, yang ditandai dengan masalah pernapasan, takikardia, tekanan
darah tinggi, sesak napas, dan demam..
10
1
4) Fase Konsolidasi
Women bone untuk membentuk kalus primer
5) Fase Remodeling
Penyatuannya utuh, membentuk tulang padat yang mengandung sistem Havers, dan membentuk ron
h. Resiko cidera
2
tulang Fisik
meningkat dengan kriteria hasil :
28
2. Program pembatasan gerak h. Pergerakan ekstremitas meningkat b) Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
3. Nyeri i. Kekuatan otot meningkat c) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
d/d j. Rentang gerak meningkat sebelummemulai ambulasi
1. Mengeluh sulit menggerakkan k. Nyeri menurun d) Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
ekstremitas l. Kecemasan menurun Terapeutik
2. Kekuatan otot menurun m. Gerakan terbatas menurun a) Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu
3. Rentang gerak (ROM) menurun n. Kelemahan fisik menurun (mis.tongkat, kruk)
4. Nyeri saat bergerak b) Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
5. Enggan melakukan pergerakan c) Libatkan keluarga untuk membantu pasien
6. Merasa cemas saat bergerak dalammeningkatkan ambulasi
7. Sendi kaku Edukasi
8. Gerakan tidak terkoordinasi a) Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
9. Gerakan terbatas b) Anjurkan melakukan ambulasi dini
10. Fisik lemah c) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan
(mis.berjalan dari tempat tidur ke kursi roda,
berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai toleransi)