DI SUSUN OLEH
CI LAHAN CI INSTITUSI
(___________________) ( )
A. DEFINISI
Fraktur atau patah tulang adalah ganguan dari kontinuitas yang normal
dari suatu tulang (Black 2015). Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas
tulang mandibular. Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula), dapat
berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar. Mandibula adalah tulang
rahang bawah pada manusia dan berfungsi sebagai tempat menempelnya gigi
geligi. Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan pada letak anatomi dari fraktur
mandibula dapat terjadi pada daerah-daerah dento alveolar, kondilus,
koronoideus, ramus, sudut mandibula, korpus mandibula, simfisis, dan
parasimfisis (Hakim, 2016).
Fraktur mandibula merupakan kondisi diskontinuitas tulang mandibula
yang diakibatkan oleh trauma wajah ataupun keadaan patologis. Pukulan keras
pada muka dapat mengakibatkan terjadinya suatu fraktur pada mandibula
(Reksodiputro, 2017). Fraktur dapat meimbulkan pembengkakan, hilangnya
fungsi normal, deformitas, kemerahan, krepitasi ,dan rasa nyeri(Ghassani, 2016).
JENIS/KLASIFIKASI
1. Lokasi fraktur
Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan pada letak anatomi dari
fraktur mandibula dapat terjadi pada daerah-daerah sebagai
berikut :
a. Dentoalveolar
b. Kondilus
c. Koronoideus
d. Ramus
e. Sudut mandibula
f. Korpus mandibula
g. Simfisis
h. Parasimfisis
Mandibula merupakan tulang yang besar dan paling kuat pada daerah
muka, terdapat barisan gigi. Mandibula dibentuk oleh dua bagian simetris, yang
mengadakan fusi dalam tahun pertama kehidupan. Tulang ini terdiri dari korpus
yaitu suatu lengkungan tapal kuda dan sepasang ramus yang pipih dan lebar,
yang mengarah keatas pada bagian belakang dari korpus. Pada ujung dari
masing-masing ramus didapatkan dua buah penonjolan disebut prosesus
kondiloideus dan prosesus koronoideus. Prosesus kondiloideus terdiri dari kaput
dan kolum. Permukaan luar dari korpus mandibula pada garis median,
didapatkan tonjolan tulang halus yang disebut simfisis mentum, yang merupakan
tempat pertemuan embriologis dari dua buah tulang.
Bagian atas korpus mandibula membentuk tonjolan disebut prosesus
alveolaris, yang mempunyai 16 buah lubang untuk tempat gigi. Bagian bawah
korpus mandibula mempunyai tepi yang lengkung dan halus. Pada pertengahan
korpus mandibula, kurang lebih 1 inci dari simfisis, didapatkan foramen
mentalis yang dilalui oleh vasa dan nervus mentalis. Permukaan dalam dari
korpus mandibula cekung dan didapatkan linea milohiodea yang merupakan
pertemuan antara tepi belakang ramus mandibula. Angulus mandibula terletak
subkutan dan mudah diraba pada 2-3 jari di bawah lobulus aurikularis.
Prosesus koronoideus yang tipis dan tajam merupakan tempat insersio
m.temporalis. Prosesus kondiloideus membentuk persendian dengan fossa
artikularis permukaan infratemporalis dari skuama os temporalis. Kartilago
Tekanan kekerasan
langsung/stress berulang
Reaksi inflamasi
Pengeluaran histamin
Tulang tdk dpt berfungsi
dgn baik perdarahan
Nyeri Pembengkakan
Gangguan mobilitas hematoma (tumor) &
rubor
Tindakan op.
Penatalaksanaan medis Devitalisasi (HB , HT )
Nyeri akut
Gangguan integritas
Penolakan Tindakan op. Dilatasi pembuluh darah kulit
Prosedur pemasangan kapiler
fiksasi eksternal
darah banyak
keluar
Resiko tinggi Tek. Kapiler otot naik
infeksi
Gangguan body
image HB
Tek. Kapiler otot naik
Perfusi jaringan
Histamin menstimulasi otak menurun
Metabolisme anaerob
Nyeri
G. KOMPLIKASI
Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur mandibula
umumnya jarang terjadi. Komplikasi yang paling umum terjadi pada fraktur
mandibula adalah infeksi atau osteomyelitis, yang nantinya dapat menyebabkan
berbagai kemungkinan komplikasi lainnya.
Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami
gangguan penyembuhan fraktur baik itu malunion ataupun non-union. Ada
beberapa faktor risiko yang secara spesifik berhubungan dengan fraktur
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2) Scan tulang, tomogram, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan
mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak
3) Pemeriksaan darah lengkap: Hb menurun terutama fraktur terbuka,
peningkatan leukosit adalah respon stres normal setelah trauma.
4) Pemeriksaan klinis ekstraoral
Tampak diatas tempat terjadinya fraktur biasanya terjadi ekimosis dan
pembengkakan. Seringpula terjadi laserasi jaringan lunak dan bisa terlihat
jelas deformasi dari kontur mandibula yang bertulang. Jika terjadi
perpindahan tempat dari fragmen-fragmen itu pasien tidak bisa menutup
geligi anterior, dan mulut menggantung kendur dan terbuka. Pasien sering
I. PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan fraktur rahang pada langkah awal penanganan pada
hal yang bersifat kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan
(breathing), sirkulasi darah termasuk penanganan syok (circulaation),
penaganana luka jaringan lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi
terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur
secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur fiksasi fragmen fraktur dan
imobilisasi, sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak bergerak
sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai.
Secara khusus penanganan fraktur tulang rahang dan tulang pada wajah
(maksilofasial) mulai diperkenalkan olah hipocrates (460-375 SM) dengan
menggunakan panduan oklusi (hubungan yang ideal antara gigi bawah dan gigi-
gigi rahang atas), sebagai dasar pemikiran dan diagnosis fraktur rahang. Pada
perkembangan selanjutnya oleh para klinisi berat menggunakan oklusi sebagai
konsep dasar penanganan fraktur rahang dan tulang wajah (maksilofasial)
terutama dalam diagnostik dan penatalaksanaannya. Hal ini diikuti dengan
perkembangan teknik fiksasi mulai dari penggunaan pengikat kepala (head
bandages), pengikat rahang atas dan bawah dengan kawat (intermaxilari
1. Fraktur yang tidak ter-displace dapat ditangani dengan jalan reduksi tertutup
dan fiksasi intermaxilla. Namun pada prakteknya, reduksi terbuka lebih
disukai paada kebanyakan fraktur.
3. Kawat dapat dipasang pada gigi di kedua sisi fraktur untuk menyatukan
fraktur
Oleh sebab itu ilmu oklusi merupakan dasar yang penting bagi seorang
Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial dalam penatalaksanan kasus patah
rahang atau fraktur maksilofasial. Dengan prinsip ini diharapkan penyembuhan
atau penyambungan fragmen fraktur dapat kembali ke hubungan awal yang
normal dan telah beradaptasi dengan jaringan lunak termasuk otot dan pembuluh
saraf disekitar rahang dan wajah.
Patah rahang dan tulang wajah yang tidak ditangani dengan baik akan
memberikan gangguan dan keluhan pada pasien dalam jangka pendek dan
jangka panjang. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus patah rahang yang
adalah infeksi pada jaringan lunak dan tulang rahang. Infeksi tersebut dapat
menyebabkan kehilangan jaringan lunak dan keras yang banyak. Komplikasi
lain, jika penyambungan tidak adekuat (malunion)dan oklusi rahang atas dan
bawah tidak tercapai maka akan memberi keluhan berupa rasa sakit dan tidak
nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang
Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot pengunyahan dan otot
sekitar wajah juga dapat memberikan respon nyeri (myofascial pain) Terlebih
jika pasien mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah dalam hubungan
oklusi yang tidak normal. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh pasien
patah rahang yang tidak dilakukan perbaikan atau penangnanan secara adekuat.
Komplikasi setelah pembedahan yang dapat terjadi pada semua operasi
penyambungan tulang adalah terlambatnya penyambungan dan penyembuhan
tulang (delayed union) atau kegagalan penyambungan tulang (nonunion)yang
sering disebabkan tidak stabilnya fragmen fraktur karena immobilisasi yang
kurang baik. Komplikasi yang secara klinis dan estetik nampak adalah
perubahan bentuk dan proporsi wajah.
J. PENCEGAHAN
Pencegahan fraktur
Fraktur umumnya terjadi karena cedera akibat jatuh atau kecelakaan, dan
osteoporosis. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya fraktur, Anda perlu
menghindari penyebab tersebut serta menghindari berbagai faktor yang dapat
meningkatkan risikonya.
a. Sistem Pernapasan
Pada klien fraktur mandibula post operasi ORIF, adanya mengi/ronkhi
menunjukan sekret tertahan, mengidentifikasi kebutuhan intervensi lebih
agresif (Doenges, 2012).
b. Sistem Kardiovaskuler
d) Ideal diri
Persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya bertingkah laku
berdasarkan standar pribadi.
e) Harga diri
Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis
seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan dirinya.
3) Mekanisme koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari
pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologik.
Mekanisme koping terdiri dari :
a. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya
untuk menanggulangi ansietas.
b. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
c. Menarik diri
4) Data sosial dan budaya
Pengkajian ini menyangkut pada pola komunikasi, gaya hidup, hubungan
sosial, faktor sosiokultural.
5) Data spiritual
Menyangkut agama yang dianut klien, kegiatan agama dan kepercayaan
yang dilakukan klien selama ini apakah ada gangguan aktivitas beribadah
selama sakit. Dan juga bagaimana sikap klien terhadap petugas kesehatan dan
keyakinan klien terhadap penyakit yang dideritanya.
6) Data penunjang
Data penunjang meliputi foto ronsen wajah : menyatakan luasnya fraktur
(Doengos, 2012).
3. Diagnosa Keperawatan
4. Rencana Keperawatan
N Rencana Keperawatan
o Diagnosa
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
DAFTAR PUSTAKA