Anda di halaman 1dari 11

A.

DEFINISI

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
atau tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun
parsial, yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan
tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma
pada wajah sering melibatkan tulang-tulang pembentuk wajah, diantaranya
mandibula.

Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula.


Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula), yang diakibatkan trauma
oleh wajah ataupun keadaan patologis, dapat berakibat fatal bila tidak ditangani
dengan benar.

Gambar1. Anatomi tulang mandibula

B. ANATOMI FISIOLOGI
Mandibula merupakan tulang yang besar dan paling kuat pada daerah muka,
terdapat barisan gigi. Mandibula dibentuk oleh dua bagian simetris, yang
mengadakan fusi dalam tahun pertama kehidupan. Tulang ini terdiri dari korpus
yaitu suatu lengkungan tapal kuda dan sepasang ramus yang pipih dan lebar, yang
mengarah keatas pada bagian belakang dari korpus. Pada ujung dari masing-masing
ramus didapatkan dua buah penonjolan disebut prosesus kondiloideus dan prosesus
koronoideus. Prosesus kondiloideus terdiri dari kaput dan kolum. Permukaan luar
dari korpus mandibula pada garis median, didapatkan tonjolan tulang halus yang
disebut simfisis mentum, yang merupakan tempat pertemuan embriologis dari dua
buah tulang.
Bagian atas korpus mandibula membentuk tonjolan disebut prosesus
alveolaris, yang mempunyai 16 buah lubang untuk tempat gigi. Bagian bawah
korpus mandibula mempunyai tepi yang lengkung dan halus. Pada pertengahan
korpus mandibula, kurang lebih 1 inci dari simfisis, didapatkan foramen mentalis
yang dilalui oleh vasa dan nervus mentalis. Permukaan dalam dari korpus
mandibula cekung dan didapatkan linea milohiodea yang merupakan pertemuan
antara tepi belakang ramus mandibula. Angulus mandibula terletak subkutan dan
mudah diraba pada 2-3 jari di bawah lobulus aurikularis.
Prosesus koronoideus yang tipis dan tajam merupakan tempat insersio
m.temporalis. Prosesus kondiloideus membentuk persendian dengan fossa
artikularis permukaan infratemporalis dari skuama os temporalis. Kartilago
artikuler melapisi bagian superior dan anterior dari prosesus kondiloideus,
sedangkan bagian posterior tidak. Permukaan lateral dari prosesus kondiloideus
ditutupi oleh kelenjar parotis dan terletak di depan tragus. Antara prosesus
koronoideus dan prosesus kondiloideus membentuk sulkus mandibula dimana lewat
vasa dan nervus. Kira-kira ditengah dari permukaan medial ramus mandibula
didpatkan foramen mandibula. Melalui foramen ini masuk kedalam kanal yang
mengarah ke bawah depan di dalam jaringan tulang, dimana dilalui oleh vasa
pembuluh darah dan saluran limfe.
Mandibula mendapat nutrisi dari a.alveolaris inferior cabang pertama dari
a.maksillaris yang masuk melalui foramen mandibularis, bersama vena dan
n.alveolaris. A.alveolaris inferior memberi cabang-cabang ke gigi-gigi bawah serta
gusi sekitarnya, kemudian di foramen mentalis keluar sebagai a.mentalis. Sebelum
keluar dari foramen mentalis bercabang insisivus yang berjalan ke depan di dalam
tulang. A.mentalis beranastomosis dengan a.fasialis, a.submentalis, a.labii inferior.
A.submentalis dan a.labii inferior merupakan cabang dari a.facialis.
a.mentalis memberi nutrisi ke dagu. Sedangkan aliran balik dari mandibula melalui
v.alveolaris inferior ke v.fasialis posterior. V.mentalis mengalirkan darah ke
v.submentalis yang selanjutnya mengalirkan darah ke v.fasialis anterior. V. fasialis
posterior dan v.fasialis comunis mengalirkan darah ke v.jugularis interna.
Aliran limfe ,mandibula menuju ke limfe node submandibularis yang
selanjutnya menuju ke rantai jugularis interna. N.alveolaris inferior cabang dari
n.mandibularis berjalan bersama arteri dan vena alveolaris inferior masuk melalui
foramen mandibularis berjalan di kanalis mandibularis memberi cabang sensoris ke
gigi bawah, dan keluar di foramen sebagai n.mentalis, merupakan araf sensoris
daerah dagu dan bibir bawah.
Ada 4 pasang otot yang disebut sebagai otot pengunyah, yaitu m.masseter,
m.temporalis, m.pterigoideus lateralis dan m.pterigoideus medialis. Sedangkan
m.digastrikus, walaupun tidak termasuk otot-otot pengunyah, namun mempunyai
fungsi yang penting pada mandibula. Bila otot digastrikus kanan dan kiri
berkontraksi mandibula bergerak ke bawah dan tertarik ke belakang dan gigi-gigi
terbuka. Saat mandibula terstabilisasi m.digastrikus dan m.suprahyoid mengangkat
os hyoid, keadaan ini penting untuk proses menelan.
Gerakan mandibula pada waktu mengunyah mempunyai 2 arah, yaitu :
1. Rotasi melalui sumbu horisontalyang melalui senteral dari kondilus
2. Sliding atau gerakan ke arah lateral dari mandibula pada persendian
temporomandibuler.
Mengunyah merupakan suatu proses terdiri dari 3 siklus, yaitu :
1. Fase membuka.
2. Fase memotong, menghancurkan, menggiling. Otot-otot mengalami
kontraksi isotonic atau relaksasi. Kontraksi isometric dari elevbator hanya
terjadi bila gigi atas dan bawah rapat atau bila terdapat bahan yang keras
diantaranya akhir fase menutup.
3. Fase menutup
Pada akhir fase menutup dan fase oklusi didapatkan kenaikan tonus
pada otot elevator.Setelah makanan menjadi lembut berupa suatu bolus
dilanjutkan dengan proses menelan. Untuk fungsi buka, katub mulut,
mengunyah dan menelan yang baik dibutuhkan :
1. Tulang mandibula yang utuh dan rigid
2. Oklusi yang ideal
3. Otot-otot pengunyah beserta persarafan serta
4. Persendian temporomandibular (TMJ) yang utuh.
C. ETIOLOGI
1.  Trauma langsung: benturan pada tulang mengakibatkan fraktur ditempat
tersebut.
2. Trauma tidak langsung: tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh
dari area benturan.
3.  Fraktur patologis: fraktur yang disebabkan trauma yamg minimal atau tanpa
trauma.Contoh fraktur patologis: Osteoporosis, penyakit metabolik, infeksi
tulang dan tumor tulang.

D. TANDA DAN GEJALA


1. Nyeri
Rasa nyeri yang hebat dapat dirasakan saaat pasien mencoba menggerakkan
rahang untuk berbicara, mengunyah atau menelan.
2. Perdarahan dari rongga mulut.
3. Maloklusi
Keadaan dimana rahang tak dapat dikatupkan, mulut seperti keadaan sebelum
trauma.
4. Trismus
Ketidakmampuan membuka mulut lebih dari 35 mm, batas terendah nilai normal
adalah 40 mm.
5. Pergerakan Abnormal.
a. Ketidakmampuan membuka rahang membuat dugaan pergesekan pada
prosesus koronoid dalam arkus zygomatikcus.
b. Ketidakmampuan menutup rahang menandakan fraktur pada prosessus
alveolar, angulus, ramus dari simfisis.
6. Krepitasi tulang
Krepitasi tulang tulang adalah bunyi berciut yang terdengar jika tepian-tepian
fraktur bergesakan saat berlangsungnya gerakan mengunyah, bicara, atau
menelan.
7. Mati rasa pada bibir dan pipi
Patognomonis untuk fraktur distal dari foramen mandibula.
8. Oedem daerah fraktur dan wajah tidak simetris.

E. PATOFISIOLOGI

Fraktur disebabkan oleh adanya trauma (langsung dan tidak langsung), stress 
fatique (kelelahan akibat tekanan berulang) dan pathologis. Karena adanya tekanan
atau daya yang mengenai tulang  maka akan mengakibatkan terjadinya fraktur dan
perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patahan dan kedalam jaringan lunak
disekitar tulang tersebut. Bila terjadi hematoma maka pembuluh darah vena akan
mengalami pelebaran sehingga terjadi penumpukan cairan dan kehilangan leukosit
yang berakibat terjadinya perpindahan, menimbulkan implamasi atau peradangan
yang menyebabkan bengkak dan akhirnya terjadi nyeri. Selain itu karena kerusakan
pembuluh darah kecil atau besar pada waktu terjadi fraktur menyebabkan tekanan
darah menjadi turun, begitupula dengan suplai darah ke otak sehingga kesadaran
pun menurun yang mengakibatkan syok hipovolemi. Bila mengenai jaringan lunak
maka akan terjadi luka dan kuman akan mudah untuk masuk sehingga mudah
terinfeksi dan lama kelamaan akan berakibat delayed union dan mal union dan yang
tidak terinfeksi mengakibatkan non union. Apabila fraktur mengenai peristeum atau
jaringan tulang dan korteks maka akan mengkibatkan deformitas, krepitasi dan
pemendekan ekstremitas. Berdasarkan proses diatas tanda dan gejalanya yaitu
nyeri/tenderness, deformitas/perubahan bentuk, bengkak, peningkatan suhu
tubuh/demam, krepitasi, kehilangan fungsi dan apabila hal ini tidak teratasi, maka
akan menimbulkan komplikasi yaitu komplikasi umum misalnya : syok, sindrom
remuk dan emboli lemak. Komplikasi dini misalnya : cedera syaraf, cedara arteri,
cedera organ vital, cedera kulit dan jaringan lunak, sedangkan komplikasi lanjut
misalnya : delayed union, mal union, non union, kontraktur sendi dan miossitis
ossifycans, avaseural necrosis dan osteo arthritis.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan
mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap: Hb menurun terutama fraktur terbuka,
peningkatan leukosit adalah respon stres normal setelah trauma.
4. Pemeriksaan klinis ekstraoral
Tampak diatas tempat terjadinya fraktur biasanya terjadi ekimosis dan
pembengkakan. Seringpula terjadi laserasi jaringan lunak dan bisa terlihat jelas
deformasi dari kontur mandibula yang bertulang. Jika terjadi perpindahan
tempat dari fragmen-fragmen itu pasien tidak bisa menutup geligi anterior, dan
mulut menggantung kendur dan terbuka. Pasien sering kelihatan menyangga
rahang bawah dengan tangan. Dapat pula air ludah bercampur darah menetes
dari sudut mulut pasien
5. Palpasi lembut dengan ujung-ujung jari dilakukan terhadap daerah kondilus
pada kedua sisi, kemudian diteruskan kesepanjang perbatasan bawah
mandibula. Bagian-bagian melunak harus ditemukan pada daerah-daerah
fraktur, demikian pula terjadinya perubahan kontur dan krepitasi tulang. Jika
fraktur mengenai saraf mandibula maka bibir bawah akan mengalami mati
rasa.
6. Pemeriksaan klinis intraoral
Setiap serpihan gigi yang patah harus dikeluarkan. Dari dalam mulut. Sulkus
bukal diperiksa adanya ekimosis dan kemudian sulkus lingual. Hematoma
didalam sulkus lingual akibat trauma rahang bawah hampir selalu
patognomonik fraktur mandibula.

G. PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan fraktur rahang pada langkah awal penanganan pada hal
yang bersifat kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing),
sirkulasi darah termasuk penanganan syok (circulaation), penaganana luka jaringan
lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak.
Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu reduksi/reposisi
fragmen fraktur fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi, sehingga fragmen tulang
yang telah dikembalikan tidak bergerak sampai fase penyambungan dan
penyembuhan tulang selesai.
Secara khusus penanganan fraktur tulang rahang dan tulang pada wajah
(maksilofasial) mulai diperkenalkan olah hipocrates (460-375 SM) dengan
menggunakan panduan oklusi (hubungan yang ideal antara gigi bawah dan gigi-gigi
rahang atas), sebagai dasar pemikiran dan diagnosis fraktur rahang. Pada
perkembangan selanjutnya oleh para klinisi berat menggunakan oklusi sebagai
konsep dasar penanganan fraktur rahang dan tulang wajah (maksilofasial) terutama
dalam diagnostik dan penatalaksanaannya. Hal ini diikuti dengan perkembangan
teknik fiksasi mulai dari penggunaan pengikat kepala (head bandages), pengikat
rahang atas dan bawah dengan kawat (intermaxilari fixation), serta fiksasi dan
imobilisasi fragmen fraktur dengan menggunakan plat tulang (plate and screw).
Prosedur penanganan fraktur mandibula :

1. Fraktur yang tidak ter-displace dapat ditangani dengan jalan reduksi tertutup
dan fiksasi intermaxilla. Namun pada prakteknya, reduksi terbuka lebih disukai
paada kebanyakan fraktur.

2. Fraktur dikembalikan ke posisi yang sebenarnya dengan jalan reduksi tertutup


dan arch bar dipasang ke mandibula dan maxilla.

3. Kawat dapat dipasang pada gigi di kedua sisi fraktur untuk menyatukan fraktur

4. Fraktur yang hanya ditangani dengan jalan reduksi tertutup dipertahankan


selama 4-6 minggu dalam posisi fraktur intermaxilla.

5. Kepada pasien dapat tidak dilakukan fiksasi intermaxilla apabila dilakukan


reduksi terbuka, kemudian dipasangkan plat and screw.

Oleh sebab itu ilmu oklusi merupakan dasar yang penting bagi seorang
Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial dalam penatalaksanan kasus patah rahang
atau fraktur maksilofasial. Dengan prinsip ini diharapkan penyembuhan atau
penyambungan fragmen fraktur dapat kembali ke hubungan awal yang normal dan
telah beradaptasi dengan jaringan lunak termasuk otot dan pembuluh saraf disekitar
rahang dan wajah.

Patah rahang dan tulang wajah yang tidak ditangani dengan baik akan
memberikan gangguan dan keluhan pada pasien dalam jangka pendek dan jangka
panjang. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus patah rahang yang adalah
infeksi pada jaringan lunak dan tulang rahang. Infeksi tersebut dapat menyebabkan
kehilangan jaringan lunak dan keras yang banyak. Komplikasi lain, jika
penyambungan tidak adekuat (malunion)dan oklusi rahang atas dan bawah tidak
tercapai maka akan memberi keluhan berupa rasa sakit dan tidak nyaman
(discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang (Temporomandibular joint)
oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan antara sendi rahang kiri dan
kanan.

Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot pengunyahan dan otot
sekitar wajah juga dapat memberikan respon nyeri (myofascial pain) Terlebih jika
pasien mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah dalam hubungan oklusi
yang tidak normal. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh pasien patah rahang
yang tidak dilakukan perbaikan atau penangnanan secara adekuat. Komplikasi
setelah pembedahan yang dapat terjadi pada semua operasi penyambungan tulang
adalah terlambatnya penyambungan dan penyembuhan tulang (delayed union) atau
kegagalan penyambungan tulang (nonunion)yang sering disebabkan tidak stabilnya
fragmen fraktur karena immobilisasi yang kurang baik. Komplikasi yang secara
klinis dan estetik nampak adalah perubahan bentuk dan proporsi wajah.

Penatalaksanaan pada fraktur mandibula mengikuti standar penatalaksanaan


fraktur pada umumnya. Pertama periksalah A(airway), B(Breathing) dan
C(circulation). Bila pada ketiga topik ini tidak ditemukan kelainan pada pasien,
lakukan penanganan terhadap fraktur mandibula pasien. Bila pada pasien terdapat
perdarahan aktif, hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri
maka dapat diberi analgetik untuk membantu
H. ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Pengkajian pada klien fraktur menurut Doengoes, (2000) diperoleh data sebagai
berikut :
1.  Aktivitas (istirahat)
Tanda : Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin
segera fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan
jaringan nyeri)
2. Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap
nyeri) atau hipotensi ( kehilangan darah), takikardia ( respon stress,
hipovolemia), penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera :
pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena pembengkakan
jaringan atau massa hepatoma pada sisi cedera.
3.  Neurosensori
Gejala : Hilang sensasi, spasme otot, kebas / kesemutan (panastesis)
Tanda : Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi,
spasme otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi, agitasi (mungkin berhubungan
dengan nyeri atau trauma)
4.  Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada
area jaringan / kerusakan tulang : dapat berkurang pada imobilisasi ; tidak ada
nyeri akibat kerusakan saraf, spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
5. Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulse jaringan, perubahan warna, pendarahan,
pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)
6.Penyuluhan
Gejala : Lingkungan cedera
7. Pemeriksaan Diagnostik
a   Pemeriksaan rontgen : Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b.  Scan tulang, tomogram, skan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi jaringan lunak
c.  Arteriogram : Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d.  Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi).
Peningkatan jumlah SOP adalah respon stress setelah trauma.
e.   Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kirens ginjal.
f.    Profil koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple atau cedera hati.
A. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pre Operasi
a. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis
situasi, perubahan status kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pa
da ADL atau menghadapi prosedur bedah.
b. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
2. Intra Operasi
a. Hipotermi berhubungan dengan pemajanan lingkungan, penggunaan zat
anestesi
b. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan terjadinya sianosis,
perdarahan
c. Risiko perdarahan berhubungan dengan insisi pembedahan
3. Post Operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan dengan spasme otot,gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/ immobilisasi
b. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer;
kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Penerbit buku kedokteran


EGC; Jakarta

Guyton & Hall. (1997). Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta; EGC.

Nanda International. 2011. Diagnosis Keperawatan 2009-2011.penerbit buku


kedokteran EGC; Jakarta

Syaifudin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperwatan. Penerbit buku


kedokteran EGC; Jakarta

Sylvia, A. (1995). Patofisiologi : Konsep klinis proses penyakit. Edisi 5. Jakarta; EGC.

Anda mungkin juga menyukai