1. Definisi
- Rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau
tidak langsung.
- Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial, yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa.
Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung.
Trauma pada wajah sering melibatkan tulang-tulang pembentuk wajah, diantaranya mandibula.
Mandibula merupakan bagian dari tulang wajah yang sering mengalami cedera karena posisinya yang
menonjol, dan merupakan sasaran pukulan dan benturan.
Trauma yang terjadi pada mandibula sering menimbulkan farktur yang menganggu fungsi pengunyahan.
Fraktur mandibula adalah salah satu cedera wajah yang sering ditemukan dan biasanya disebabkan oleh
trauma langsung.
Penyebab utama dari fraktur di seluruh dunia adalah kecelakaan lalu lintasdankekerasan.
Sepertiga fraktur mandibula terjadi di daerah kondilar-subkondilar, sepertiga terjadi di daerah angulus,
dan sepertiga lainnya terjadi di daerah korpus, simfisis, dan parasimfisis. Daerah-daerah tersebut
merupakan daerah lemah pada mandibula. Angulus diperlemah oleh adanya gigi molar ketiga dan ke
anterior, daerah parasimfisis diperlemah oleh akar gigi taring yang panjang, dan daerah subkondilar
merupakan daerahyangtipis.
Oleh karena mandibula bagian tersering mengalami fraktur pada trauma dibagian wajah, penting untuk
mengetahui dengan tepat penanganan awal, tindakan perbaikan serta mewaspadai komplikasi yang
akan terjadi, dari teknik yang dipilih untuk kesembuhan yang sempurna baik dari segi fungsi
pengunyahan dan estetika wajah.
Penatalaksanaan fraktur mandibula dilakukan berdasarkan beberapa prinsip dental dan ortopedi
meliputi : 1) reduksi dari sisi yang fraktur sesuai bentuk anatomi yang benar; 2) restorasi oklusi yang
salah; 3) imobilisasi untuk menunjang kesembuhan; 4) restorasi fungsi seoptimal dan seawal mungkin
serta 5) pencegahan infeksi. (3,4)
- Fraktur atau patah tulang rahang adalah hilangnya kontuinitas pada rahang. Pada daerah rahang
meliputi tulang rahang atas (maxilla), rahang bawah (mandibula) yang diakibatkan oleh trauma pada
wajah ataupun keadaan patologis, dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar.
- Fraktur mandibula adalah rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat disebabkan oleh trauma
baik secara langsung atau tidak langsung. Fraktur mandibula dapat terjadi pada bagian korpus, angulus,
ramus maupun kondilus (emedicine,2011)
- Fraktur adalah discontinuitas dari jaringan tulang yang biasanya disebabkan oleh adanya kecelakaan
yang timbul secara langsung.
- Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula. Hilangnya kontinuitas pada rahang
bawah (mandibula), yang diakibatkan trauma oleh wajah ataupun keadaan patologis, dapat berakibat
fatal bila tidak ditangani dengan benar.
2. Anatomi (emedicine,2011)
- Mandibula adalah tulang rahang bawah pada manusia dan berfungsi sebagai tempat menempelnya gigi
geligi rahang bawah. Mandibula berhubungan dengan basis kranii dengan adanya temporo-mandibular
joint dan disangga oleh otot otot mengunyah.
3. Etiologi
(emedicine,2011)
- Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda
motor. Sebab lain yang umum adalah trauma pada muka akibat kekerasan, olahraga. Berdasarkan
penelitian didapatkan data penyebab tersering fraktur mandibula adalah :
- Kecelakaan berkendara 43%
- Kekerasan 34%
- Kecelakaan kerja 7%
- Jatuh 7%
- Olahraga 4%
- Sebab lain 5%
Fraktur mandibula dapat juga disebabkan oleh adanya kelainan sistemik yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur patologis seperti pada pasien dengan osteoporosis imperfekta.
- Setiap pukulan keras pada muka dapat mengakibatkan terjadinya suatu fraktur pada mandibula. Daya
tahan mandibula terhadap kekuatan impak adalah lebih besar dibandingkan dengan tulang wajah
lainnya (Nahum, 1995). Meskipun demikian fraktur mandibula lebih sering terjadi dibandingkan dengan
bagian skeleton muka lainnya.
- Fraktur mandibula dapat terjadi karena kecelakaan lalulintas, kecelakaan industri atau kecelakaan
kerja, kecelakaan rumah tangga, mabuk dan perkelahian atau kekerasan fisik. Menurut survey di District
of Columbia Hospital, dari 540 kasus fraktur, 69% kasus terjadi akibat kekerasan fisik (perkelahian), 27%
akibat kecelakaan lalu-lintas, 12% akibat kecelakaan kerja, 2% akibat kecelakaan saat olahraga dan 4%
karena sebab patologi.
- Arah serta tipe impak lebih penting dalam mempertimbangkan fraktur mandibula dibandingkan
dengan fraktur di daerah lain pada skeleton fasial, karena faktor ini dipakai untuk menentukan pola
injuri mandibular. Fraktur mandibula adalah akibat dari :
Kecelakaan langsung (direct violence)
Kecelakaan tidak langsung (indirect violence)
Kontraksi otot yang sagat berlebihan
Dilihat dari bentuk mandibula, maka setiap kecelakaan langsung yang mengenai satu tempat, akan
menghasilkan kekuatan dimensi tidak langsung yang mengenai bagian lain dan biasanya pada bagian
yang berlawanan dari tulang. Kecelakaan tidak langsung sudah cukup untuk menyebabkan terjadinya
fraktur yang kedua atau ketiga.
5. Klasifikasi (emedicine,2011)
- Menurut R. Dingman dan P.Natvig pada tahun 1969 fraktur pada mandibula dibagi menjadi beberapa
kategori, yakni :
a. Menurut arah fraktur (horizontal/vertikal) dan apakah lebih menguntungkan dalam perawatan atau
tidak
b. Menurut derajat keparahan fraktur (simpel/tertutup/mengarah ke rongga mulut atau kulit).
c. Menurut tipe fraktur (Greenstick/kompleks/kominutiva/impaksi/depresi)
Gambar 15. Tipe fraktur mandibula (emedicine,2011)
d. Menurut ada atau tidaknya gigi dalam rahang (dentulous, partially dentulous, edentulous)
e. Menurut lokasi (regio simfisis, regio kaninus, regio korpus, angulus, ramus, prosesus kondilus,
prosesus koronoid)
3. Fraktur komunitif
Fraktu yang menimbulkan lebih dari dua fragmen.
4. Fraktur kompresi
Fraktur ini umumnya terjadi di daerah tulang kanselus.
Tersebut diatas merupakan klasifikasi fraktur secara umum. Sedangkan klasifikasi fraktur mandibula
diantaranya adalah:
KLASIFIKASI FRAKTUR MANDIBULA
1. Menunjukkan regio-regio pada mandibulaA
Gambar regio pada tulang mandibula
2. Menunjukkan frekuensi fraktur di masing-msing regio tersebut
Gambar frekuensi fraktur pada masing-masing regio mandibula
Frekuensi terjadinya fraktur pada mandibula adalah : 2% pada regio koronoid, 36% pada regio kondilus,
3% pada regio ramus, 20% pada regio angulus, 21% pada regio korpus,12% pada regio simfisis, 3% pada
regio alveolus.
3. Berdasarkan ada tidaknya gigi
Klasifikasi berdasarkan gigi pasien penting diketahui karena akan menentukan jenis terapi yang akan kita
ambil. Dengan adanya gigi, penyatuan fraktur dapat dilakukan dengan jalan pengikatan gigi dengan
menggunakan kawat. Penjelasan gambar tentang klasifikasi fraktur di atas :
1. Fraktur kelas 1 : gigi terdapat di 2 sisi fraktur, penanganan pada fraktur kelas 1 ini dapat melalui
interdental wiring (memasang kawat pada gigi)
2. Fraktur kelas 2 : gigi hanya terdapat di salah satu fraktur
3. Fraktur kelas 3 : tidak terdapat gigi di kedua sisi fraktur, pada keadaan ini dilakukn melalui open
reduction, kemudian dipasangkan plate and screw, atau bisa juga dengan cara intermaxillary fixation.
4. Berdasarkan tipe fraktur mandibula:
a. Simple
b. Greenstick
c. Comminuted
d. Class I
e. Class II
f. Class III
Dengan melihat cara perawatan, maka pola fraktur mandibula dapat digolongkan menjadi :
1. Fraktur Unilateral
Fraktur ini biasanya hanya tunggal, tetapi kadang terjadi lebih dari satu fraktur yang dapat dijumpai
pada satu sisi mandibula dan bila hal ini terjadi, sering didapatkan pemindahan frakmen secara nyata.
Suatu fraktur korpus mandibula unilateral sering terjadi
2. Fraktur Bilateral
Fraktur bilateral sering terjadi dari suatu kombinasi antara kecelakaan langsung dan tidak langsung.
Fraktur ini umumnya akibat mekanisme yang menyangkut angulus dan bagian leher kondilar yang
berlawanan atau daerah gigi kanius dan angulus yang berlawanan.
3. Fraktur Multipel
Gabungan yang sempurna dari kecelakaan langsungdan tidak langsung dapat menimbulkan terjadinya
fraktur multipel. Pada umumnya fraktur ini terjadi karena trauma tepat mengenai titik tengah dagu yang
mengakibatkan fraktur pada simpisis dan kedua kondilus.
4. Fraktur Berkeping-keping (Comminuted)
Fraktur ini hampir selalu diakibatkan oleh kecelakaan langsung yang cukup keras pada daerah fraktur,
seperti pada kasus kecelakaan terkena peluru saat perang. Dalam sehari-hari, fraktur ini sering terjadi
pada simfisis dan parasimfisis. Fraktur yang disebabkan oleh kontraksi muskulus yang berlebihan.
Kadang fraktur pada prosesus koronoid terjadi karena adanya kontraksi refleks yang datang sekonyong-
konyong mungkin juga menjadi penyebab terjadinya fraktur pada leherkondilar.
Oikarinen dan Malstrom (1969), dalam serangkaian 600 fraktur mandibula menemukan 49,1% fraktur
tunggal, 39,9% mempunyai dua fraktur, 9,4% mempunyai tiga fraktur, 1,2% mempunyai empat fraktur,
dan 0,4% mempunyai lebih dari empat fraktur.
Klasifikasi
1. Berdasarkan Tipe
a. Single fraktur
Pada kasus single fraktur, tulang hanya mengalami fraktur pada satu daerah. Fraktur semacam ini
bersifat unilateral. Pada mandibula, kasus ini paling sering terjadi dibeberapa lokasi berikut : (6)
- Angulus, khususnya jika ada gigi molar ke-3 yang tidak bererupsi.
- Foramen mentale, dan
- Leher kondilus.
b. Multiple fraktur
Pada multiple farktur, tulang mengalami fraktur pada dua daerah atau lebih. Multiple fraktur biasanya
bilateral. Tipe fraktur inilah yang paling sering terjadi pada mandibula. Multiple fraktur dapat pula
bersifat unilateral, dimana tulang yang mengalami fraktur terbagi menjadi beberapa bagian pada salah
satu sisi.(6)
c. Simple fraktur
Simple fraktur adalah fraktur ang tidak berhubungan dengan lingkungan luar intraoral maupun
ekstraoral. Fraktur semacam ini dapat terjadi dimana saja pada ramus mandibula, mulai dari kondilus
hingga angulus.(6)
d. Compound fraktur
Compound fraktur merupakan fraktur yang memiliki hubungan dengan lingkungan luar karena disertai
dengan pembentukan luka terbuka. Fraktur ini paling sering terjadi disebelah anterior angulus.(6)
e. Comminuted fraktur
Comminuted fraktur paling sering terjadi didaerah simfisis mandibula. Pada kasus fraktur ini tulang
terbagi menjadi beberapa bagian atau hancur.(6)
f. Complicated fraktur
Fraktur yang sekaligus terjadi pada maxilla dan mandibula, juga fraktur yang terjadi pada keadaan
dimana maxilla atau mandibula mengalami edentulisem, digolongkan dalam complicated fraktur.(6)
2. Berdasarkan Lokasi
a. Fraktur dento-alveolar
Fraktur dento-alveolar terdiri dari afusi, subluksasi atau fraktur gigi dengan maupun tanpa disertai
fraktur alveolar. Fraktur ini dapat saja ditemukan sebagai satu-satunya fraktur yang terjadi pada
mandibula, dapat pula berkombinasi atau berhubungan dengan fraktur dibagian lain pada mandibula.(6)
b. Fraktur Kondilus
Fraktur condilus dapat terjadi secara intracapsul, tetapi lebih sering terjadi secara ekstracapsul, dengan
atau tanpa dislokasi kepala kondilus. Fraktur pada daerah ini biasanya gagal terdeteksi melalui
pemeriksaan sederhana.(6)
c. Fraktur processus koronoid
Fraktur processus koronoid jarang terjadi, dan biasanya ditemukan saaat dilakukannya operasi kista
besar. Fraktur ini sulit terdiagnosis secara pasti pada pemeriksaan klinis.(6)
d. Fraktur ramus
Otot pterygiomasseter menghasilkan efek splinting yang kuat sehingga fraktur pada daerah ramus
jarang terjadi.(6)
e. Fraktur angulus
Daerah ini umumnya mengalami karena tulang pada daerah ini lebih tipis jika dibandingkan dengan
tulang pada daerah korpus. Relative tingginya insiden impaksi molar ke tiga menyebabkan daerah ini
menjadi lemah. (6)
f. Fraktur korpus
Keberadaan gigi kaninus pada kasus fraktur korpus menyebabkan daerah ini menjadi lemah. Tidak
bererupsinya gigi molar ke tiga juga berhubungan dengan kejadian fraktur ini.(6)
g. Fraktur simfisis dan parasimfisis
Fraktur pada daerah simfisis dan parasimfisis jarang terjadi. Ketebalan mandibula pada daerah ini
menjamin bahwa fraktur pada daerah simfisis dan para simfisis hanyalah berupa keretakan halus.
Keadaan ini akan menghilang jika posisi tulang tetap stabil dan oklusi tidakterganggu.(6)
6. Frekuensi (emedicine,2011)
Secara umum, paling sering terjadi pada korpus mandibula, angulus dan kondilus, sedangkan pada
ramus dan prosesus koronoideus lebih jarang terjadi. Berdasarkan penelitian, dapat diurutkan seperti
berikut
a. Korpus 29 %
b. Kondilus 26%
c. Angulus 25%
d. Simfisis 17%
e. Ramus 4%
f. Proc.Koronoid 1%
7. Patofisiologi (emedicine,2011)
Derajat keparahan fraktur sangat bergantung pada kekuatan trauma. Karena itu fraktur kominutiva
dapat dipastikan terjadi karena adanya kekuatan energi yang besar yang menyebabkan trauma.
Berdasarkan penelitian pada 3002 pasien dengan fraktur mandibula, diketahui bahwa adanya gigi molar
3 bawah meningkatkan resiko terjadinya fraktur angulus mandibula sampai 2 kali lipat.
9. Diagnosis (emedicine,2011)
10. Diagnosis
Diagnosis fraktur mandibula dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dari riwayat kejadian,
pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan radiologis.(14)
I. Anamnesis
Pada anamnesis keluhan subyektif berkaitan dengan fraktur mandibula dicurigai dari adanya nyeri,
pembengkakan oklusi abnormal, mati rasa pada distribusi saraf mentalis, pembengkakan, memar,
perdarahan dari soket gigi, gigi yang fraktur atau tunggal, trismus, ketidakmampuan mengunyah.(8)
Selain itu keluhan biasanya disertai riwayat trauma seperti kecelakaan lalu lintas, kekerasan, terjatuh,
kecelakaan olah raga ataupun riwayat penyakit patologis.(12)
II. Pemeriksaan Klinis
a. Pemeriksaan klinis pasien secara umum
Umumnya trauma maksilofasial dapat diketahui keberadaannya pada pemeriksaan awal (primary
survey) atau pemeriksaan sekunder (secondary survey). (2) Pemeriksaan saluran napas merupakan
suatu hal penting karena trauma dapat saja menyebabkan gangguan jalan napas. Penyumbatan dapat
disebabkan oleh terjatuhnya lidah kearah belakang, dapat pula oleh tertutupnya saluran napas akibat
adanya lendir, darah, muntahan, dan benda asing.(11)
b. Pemeriksaan local fraktur mandibula
1. Pemeriksaan klinis ekstraoral
Tampak diatas tempat terjadinya fraktur biasanya terjadi ekimosis dan pembengkakan. Seringpula
terjadi laserasi jaringan lunak dan bisa terlihat jelas deformasi dari kontur mandibula yang bertulang.
Jika terjadi perpindahan tempat dari fragmen-fragmen itu pasien tidak bisa menutup geligi anterior, dan
mulut menggantung kendur dan terbuka. Pasien sering kelihatan menyangga rahang bawah dengan
tangan. Dapat pula air ludah bercampur darah menetes dari sudut mulut pasien.(11)
Palpasi lembut dengan ujung-ujung jari dilakukan terhadap daerah kondilus pada kedua sisi, kemudian
diteruskan kesepanjang perbatasan bawah mandibula. Bagian-bagian melunak harus ditemukan pada
daerah-daerah fraktur, demikian pula terjadinya perubahan kontur dan krepitasi tulang. Jika fraktur
mengenai saraf mandibula maka bibir bawah akan mengalami mati rasa.(11)
2. Pemeriksaan klinis intraoral
Setiap serpihan gigi yang patah harus dikeluarkan. Dari dalam mulut. Sulkus bukal diperiksa adanya
ekimosis dan kemudian sulkus lingual. Hematoma didalam sulkus lingual akibat trauma rahang bawah
hampir selalu patognomonik fraktur mandibula.(11)
Dengan hati-hati dilakukan palpasi pada daerah dicurigai farktur ibu jari serta telunjuk ditempatkan di
kedua sisi dan ditekan untuk menunjukkan mobilitas yang tidak wajar pada daerah fraktur.(11)
3. Pemeriksaan Radiologis
Evaluasi radiografis dibutuhkan untuk mempertegas bukti dan memberikan data yang lebih akurat.(5)
Adapun pemeriksaan radiologist yang dapat dilakukan yaitu 14)
a. Foto panoramic dapat memperlihatkan keseluruhan mandibula dalam satu foto. Pemerikasaan ini
memerlukan kerjasama pasien, dan sulit dilakukan pada pasien trauma, selain itu kurang
memperlihatkan TMJ, pergeseran kondilus medial dan fraktur prosessus alveolar.
b. Pemeriksaan radiografik defenitif terdiri dari fotopolos mandibula, PA, oblik lateral.
c. CT Scan baik untuk fraktur kondilar yang sulit dilihat dengan panorex.
- Diagnosis pasien dengan fraktur mandibula dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pertama tama melakukan inspeksi
menyeluruh untuk melihat adanya deformitas pada muka, memar dan pembengkakan. Langkah berikut
yang dilakukan adalah dengan mencoba merasakan tulang rahang dengan palpasi pada pasien. Setelah
itu lakukan pemeriksaan gerakan mandibula. Setelah itu dilanjutkan dengan memeriksa bagian dalam
mulut. Pasien dapat diminta untuk menggigit untuk melihat apakah ada maloklusi atau tidak. Setelah itu
dapat dilakukan pemeriksaan satbilitas tulang mandibula dengan meletakkan spatel lidah diantara gigi
dan lihat apakah pasien dapat menahan spatel lidah tersebut. Untuk pemeriksaan penunjang, yang
paling penting untuk dilakukan adalah adalah rontgen panoramik, sebab dengan foto panoramik kita
dapat melihat keseluruhan tulang mandibula dalam satu foto. Namun pemeriksaan ini memberikan
gambaran yang kurang detil untuk melihat temporo-mandibular joint, regio simfisis dan alevolar.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan foto rontgen polos. Dapat dilakukan untuk
melihat posisi oblik-lateral, oklusal, posteoanterior dan periapikal. Foto oblik-lateral dapat membantu
mendiagnosa fraktur ramus, angulus dan korpus posterior. Namun regio kondilus, bikuspid dan
simfisis seringkali tidak jelas. Foto oklusal mandibula dapat memperlihatkan adanya diskrepansi pada
sisi medial dan lateral fraktur korpus mandibula. Posisi posteroanterior Caldwell dapat
memperlihatkan adanya dislokasi medial atau lateral dari fraktur ramus, angulus, korpus maupun
simfisis. Pemeriksaan CT-scan juga dapat digunakan untuk membantu diagnosa fraktur mandibula.CT-
scan dapat membantu untuk melihat adanya fraktur lain pada daerah wajah termasuk os.frontal,
kompleks naso-ethmoid-orbital, orbital dan seluruh pilar penopang kraniofasial baik horizontal
maupun vertikal. CT-scan juga ideal untuk melihat adanya fraktur kondilus.
Diagnosis
1. Riwayat
Setiap fraktur mempunyai riwayat trauma. Posisi waktu kejadian merupakan informasi yang penting
sehingga dapat menggambarkan tipe fraktur yang terjadi. Bila trauma ragu-ragu atau tidak ada maka
kemungkian fraktur patologis tetap perlu dipilkirkan. Riwayat penderita harus dilengkapi apakah ada
trauma daerah lain (kepala, torak, abdomen, pelvis dll). Pertanyaan-pertanyaan kepada penderita
maupun pada orang yang lebih mengetahui harus jelas dan terarah, sehingga diperoleh informasi
menganai : keadaan kardiovaskuler maupun sistem respirasi, apakah penderita merupakan penderita
diabetes, atau penderita dengan terapi steroid yang lama maupun meminum obat-obat lain, alergi
terhadap obat, makan atau minum terakhir dengan penggunaan obat-obat anestesi.
2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi : deformitas angulasi medial, lateral, posterior atau anterior, diskrepensi, rotasi, perpendekan
atau perpanjangan, apakah ada bengkak atau kebiruan, pada luka yang mengarah ke fraktur terbuka
harus diidentifikasi dan ditentukan menurut derajatnya menurut klasifikasi Gustillo et. al., 1990
Palpasi : Nyeri tekan pada daerah faktur, nyeri bila digerakkan. Krepitasi : biasanya penderita sangat
nyeri oleh sebab itu pemeriksaan ini harus gentle dan bila perlu dapat ditiadakan.
Gerakan : gerakan luar biasa pada daerah fraktur. Gerakan sendi di sekitarnya terbatas karena nyeri,
akibatnya fungsi terganggu
Pemeriksaan trauma di tempat lain seperti kepala, torak, abdomen, traktus, urinarius dan pelvis
Pemeriksaan komplikasi fraktur seperti neurovaskuler bagian distal fraktur yang berupa : pulsus arteri,
warna kulit, temperatur kulit, pengembalian darah ke kapiler
3. Pemeriksaan Penunjang dengan sinar X
Foto Waters
Pemeriksaan sinar-X A-P, lateral. Bila perlu dilakukan foto waters. Untuk pencitraan wajah digunakan
proyeksi Waters sehingga bayangan bagian wajah tidak terganggu atau disamarkan oleh struktur tulang
dasar tengkorak olah struktur tulang dasar tengkorak dan tulang servikal. Identitas penderita dan
tanggal pemeriksaan dengan sinar penting dikerjakan sesudah tindakan atau pada tindak lanjut (folow
up) penderita guna menentukan apakah sudah terlihat kalus, posisi fragmen dan sebagainya.
Jadi pemeriksaan dapat berfungsi memperkuat diagnosis, menilai hasil dan tindak lanjut penderita.
Gambar diatas menunjukkan cara pemeriksaan untun penegaan diagnosis fraktur mandibula dan
menyingkirkan diagnosis bandingnya (fraktur maxilla dan fraktur zygoma).
- Diagnosis fraktur mandibula dapat ditunjukkan dengan adanya : rasa sakit, pembengkaan, nyeri tekan,
dan maloklusi. Patahnya gigi, adanya gap, tidak ratanya gigi, tidak simetrisnya arcus dentalis, adanya
laserasi intra oral, gigi yang longgar dan krepitasi menunujukkan kemungkinan adanya fraktur
mandibula. Selain hal itu mungkin juga terjadi trismus (nyeri waktu rahang digerakkan). Evaluasi
radiografis pada mandibula mencakup foto polos, scan dan pemeriksaan panoreks. Tapi pemeriksaan
yang baik, yang dapat menunjukkan lokasi serta luas fraktur adalah dengan CT Scan. Pemeriksaan
panoreks juga dapat dilakukan, hanya saja diperlukan kerja sama antara pasien dan fasilitas kedokteran
gigi yang memadai.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
X.Ray
Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
CCT kalau banyak kerusakan otot
Penatalaksanaan (emedicine,2011)
Prinsip penanganan fraktur rahang pada langkah awal penanganan pada hal yang bersifat kedaruratan
seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi darah termasuk penanganan syok
(circulaation), penaganana luka jaringan lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap
kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu
reduksi/reposisi fragmen fraktur fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi, sehingga fragmen tulang yang
telah dikembalikan tidak bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai.
Secara khusus penanganan fraktur tulang rahang dan tulang pada wajah (maksilofasial) mulai
diperkenalkan olah hipocrates (460-375 SM) dengan menggunakan panduan oklusi (hubungan yang
ideal antara gigi bawah dan gigi-gigi rahang atas), sebagai dasar pemikiran dan diagnosis fraktur rahang.
Pada perkembangan selanjutnya oleh para klinisi berat menggunakan oklusi sebagai konsep dasar
penanganan fraktur rahang dan tulang wajah (maksilofasial) terutama dalam diagnostik dan
penatalaksanaannya. Hal ini diikuti dengan perkembangan teknik fiksasi mulai dari penggunaan pengikat
kepala (head bandages), pengikat rahang atas dan bawah dengan kawat (intermaxilari fixation), serta
fiksasi dan imobilisasi fragmen fraktur dengan menggunakan plat tulang (plate and screw).
Komplikasi (emedicine,2011)
- Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur mandibula umumnya jarang terjadi.
Komplikasi yang paling umum terjadi pada fraktur mandibula adalah infeksi atau osteomyelitis, yang
nantinya dapat menyebabkan berbagai kemungkinan komplikasi lainnya.
Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami gangguan penyembuhan fraktur
baik itu malunion ataupun non-union. Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik berhubungan
dengan fraktur mandibula dan berpotensi untuk menimbulkan terjadinya malunion ataupun non-union.
Faktor risiko yang paling besar adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi
segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan pada segmen fraktur.
Malunion yang berat pada mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai
gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan osteotomi
secara tepat untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibula.
Faktor faktor lain yang dapat mempengaruhi kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain sepsis
oral, adanya gigi pada garis fraktur, penyalahgunaan alkohol dan penyakit kronis, waktu mendapatkan
perawatan yang lama, kurang patuhnya pasien dan adanya dislokasi segmen fraktur.
- Adapun komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1. Komplikasi yang timbul selama perawatan
- Infeksi
- Kerusakan saraf
- Gigi yang berpindah tempat
- Komplikasi pada daerah ginggival dan periodontal
- Reaksi terhadap obat
2. Komplikasi lanjut
- Malunion
- Union yang tertunda
- Nonunion
BAB I
PENDAHULUAN
Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula
merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada
daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang
menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada
proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik.
1
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat
terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja , kecelakaan akibat olah raga,
kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi
penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.
1
Skeleton fasial secara kasar dapat dibagi menjadi 3 daerah, yaitu sepertiga
bawah atau mandibula, sepertiga atas yang dibentuk oleh tulang dahi, dan sepertiga
tengah daerah yang membentang dari tulang dahi menuju kepermukaan gigi
geligi atas, bila pasien tidak mempunyai gigi pada alveolus atas.
2
Fraktur yang terjadi pada daerah sepertiga tengah disebut juga fraktur rahang
atas atau fraktur maksila, tetapi istilah ini tidak tepat benar oleh karena fraktur
sepertiga tengah juga diikuti dengan fraktur tulang didekatnya. Fraktur yang terjadi
pada sepertiga tengah dan atau mandibula, dikenal pula sebagai "maxillo fascial
injury".
2
Bila dibandingkan dengan fraktur mandibula, frekuensi terjadinya fraktur
maksilla lebih sedikit. Row dan Kinley (1955) dan Converse (1974), pada
penelitiannya mendapat-kan perbandingan fraktur mandibula dan fraktur maksila
ber-banding 4 : 1. Pada penelitian terakhir, didapatkan adanya peningkatan
kejadian fraktur maksila. Meskipun fraktur maksila jarang dijumpai, tetapi sering
memberikan komplikasi kosmetik, fungsi penglihatan dan oral yang buruk.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur
maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang
frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula.
1
Maksilla dibentuk oleh tulang maksilla dan palatum, meru-pakan tulang terbesar
setelah mandibula. Masing-masing maksi-la mempunyai bagian:
1,2
1. Corpus : yang berbentuk pyramid dengan 4 permukaan dinding
a. Faeies orbitalis yang ikut membentuk dasar cavum orbi
b. Facies nasalis yang ikut membentuk dinding lateral ca-vum nasi.
c. Facies infra temporalis yang menghadap postero-lateral.
d. Facies anterior.
2. Processus, ada 4 proscessus yaitu :
a. Proc. frontalis yang bersendi dengan os. frontale,nasal , dan lacrimale.
b. Proc. zygomaticus yang bersendi dengan os. zygomaticus.
c. Proc. alveolaris yang ditempati akar gigi.
d. Proc. palatinus yang memisahkan cavum nasi dengan cavum oris.
2
Corpus maksilla merupakan bangunan berongga,berdinding tipis, terutama pada
facies nasalis. Rongga ini disebut sinus maksi-laris, yang merupakan salah satu dan
yang terbesar dari ke empat sinus paranasalis yang ada. Besar sinus bervariasi ter-
gantung usia dan perluasan ke processus. Di bawah mukosanya , pada dinding
posterior dan anterior, terdapat anyaman saraf yang dibentuk cabang n.
maksilaris yang masuk sinus melalui canalis alveolaris dan canalis infra orbitalis
bersama-sama dengan vasanya, untuk mensarafi gigi rahang atas. Akar gigi yang
3
tumbuh pada proc. alveolaris maksila kadang-kadang da-pat menembus sinus,
yaitu akar gigi dari Ml, tetapi dapat ju-ga akar gigi M2, M3, Pl, P2.
2
Terdapat otot-otot kecil dan tipis yang melekat pada mak sila dan termasuk dalam
golongan otot mimik yang mendapat persarafan motorik dari N.VIII. Secara
mikroskopis, maksilla merupakan tulang kanselous, dimana pada fraktur akan
terjadi penyebuhan primer.
2
2.2. Epidemiologi
Fraktur pada midface seringkali terjadi akibat kecelakan kendaraan bermotor,
terjatuh, kekerasan, dan akibat trauma benda tumpul lainnya. Untuk fraktur
maksila sendiri, kejadiannya lebih rendah dibandingkan dengan fraktur midface
lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Rowe dan Killey pada tahun
1995, rasio antara fraktur mandibula dan maksila melebihi 4:1. Beberapa studi
terakhir yang dilakukan pada unit trauma rumah sakit-rumah sakit di beberapa
negara menunjukkan bahwa insiden fraktur maksila lebih banyak terkait dengan
fraktur mandibula. Data lainnya juga dilaporkan dari trauma centre level 1, bahwa
diantara 663 pasien fraktur tulang wajah, hanya 25.5% berupa fraktur maksila.
1
Di University of Kentucky Medical Centre, dari 326 pasien wanita dewasa
dengan facial trauma, sebanyak 42.6% trauma terjadi akibat kecelakan kendaraan
bermotor, 21.5% akibat terjatuh, akibat kekerasan 13.8%, penyebab yang tidak
ingin diungkapkan oleh pasien 10,7%, cedera saat berolahraga 7,7%, akibat
kecelakaan lainnya 2,4%,dan luka tembak sebagai percobaan bunuh diri serta
akibat kecelakan kerja masing-masing 0.6%. Diantara 45 pasien korban
kekerasan, 19 orang diantaranya mengalami trauma wajah akibat intimate partner
violence (IPV) atau kekerasan dalam rumah tangga.6 Disamping mekanisme yang
disebutkan di atas, osteoporosis ternyata juga berpengaruh terhadap insiden
fraktur maksilofasial termasuk maksila. Hal tersebut didapatkan dari review
retrospektif yang dilakukan pada 59 pasien fraktur maksilofasial yang berusia 60
tahun ke atas di sebuah trauma centre antara tahun 1989 dan 2000.
2
4
Didapat bahwa semakin parah kondisi osteoporosis, semakin besar
kemungkinan jumlah fraktur maksilofasial yang dialami. Oleh karena itu,
benturan yang lebih ringan akibat terjatuh bisa menimbulkan fraktur maksilofasial
multiple sebagaimana yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor jika
pasien mengalami osteoporosis yang parah.
1
2.3. Etiologi
Fraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses patologis.
3
1) Traumatic fracture
Traumatic fracture adalah fraktur yang disebabkan oleh pukulan pada:
- Perkelahian
- Kecelakaan
- Tembakan
2) Pathologic fracture
Fraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang dalam
keadaan sakit, tulang tipis atau lemah, sehingga bila ada trauma ringan
seperti berbicara, makan dan mengunyah dapat terjadi fraktur. Terjadi
karena:
a) Penyakit tulang
setempat
- Kista
- Tumor tulang jinak atau ganas
- Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali sehingga
dengan atau tanpa trauma dapat terjadi fraktur, misalnya pada
osteomielitis
b) Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang mudah
patah.
- Osteomalacia
- Osteoporosis
5
- Atrofi tulang secara umum
2.4. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur dapat berupa:
2,3
1. Single fracture
Fraktur dengan satu garis fraktur
2. Multiple fracture
Terdapat dua atau lebih garis fraktur yang tidak berhubungan satu sarna
lain. Misalnya:
Unilateral = jika kedua garis fraktur terletak pada satu sisi
Bilateral = jika 1 garis fraktur pada 1 sisi dan garis fraktur lain
pada sisi lain.
3. Communited fracture
Tulang hancur atau remuk menjadi beberapa fragmen kecil 1 atau
berkeping-keping, misalnya symphis mandibularis dan di daerah anterior
maxila.
4. Complicated fracture
Terjadi suatu dislokasi/ displacement dari tulang sehingga mengakibatkan
kerusakan tulang-tulang yang berdekatan, gigi, dan jaringan lunak yang
berdekatan
5. Complete fracture
Tulang patah semua secara lengkap menjadi 2 bagian atau lebih.
6. Incomplete fracture
Tulang tidak patah sarna sekali, tetapi hanya retak juga penyatuan tulang
tidak terganggu. Dalam keadaan seperti ini lakukan dengan bandage dan
rahang diistirahatkan 1-3 minggu.
7. Depressed fracture
6
Bagian tulang yang fraktur masuk ke dalam suatu rongga. Sering pada
fraktur maxilla yaitu pada permukaan fasial dimana fraktur tulang
terdorong masuk ke sinus maxillaris.
8. Impacted fracture
Dimana fraktur yang 1 didorong masuk ke fragmen tulang lain. Sering
pada tulang zygomaticus.
Fraktur maksila dapat diklasifikasikan menjadi:
3,4
1. Dento Alveolar Fracture
Suatu fraktur di daerah processus maxillaris yang belum mencapai daerah Le
Fort I dan dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Fraktur ini meliputi processus
alveolaris dan gigi-gigi.
Gejala klinik:
Extra oral :
a. Luka pada bibir atas yang dalam dan luas. Luka laserasi pada bibir sering
disertai perdarahan, kadang-kadang terdapat patahan gigi dalam bibir yang
luka tersebut.
b. Bibir bengkak dan edematus
c. Echymosis dan hematoma pada muka
Intra oral :
a. Luka laserasi pada gingiva daerah fraktur dan sering disertai perdarahan.
b. Adanya subluxatio pada gigi sehingga gigi tersebut bergerak, kadang-
kadang berpindah tempat.
c. Adanya alvulatio gigi, kadang-kadang disertai tulang alveolusnya
d. Fraktur corona gigi dengan atau tanpa terbukanya kamar pulpa
2. Le Fort I:
Pada fraktur ini, garis fraktur berada di antara dasar dari sinus maxillaris dan
dasar dari orbita. Pada Le Fort I ini seluruh processus alveolaris rahang atas,
palatum durum, septum nasalis terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang
7
rahang dapat digerakkan ke segala arah. Karena tulang-tulang ini diikat oleh
jaringan lunak saja, maka terlihat seperti tulang rahang tersebut mengapung
(floating fracture). Fraktur dapat terjadi unilateral atau bilateral. Suatu tambahan
fraktur pada palatal dapat terjadi, dimana terlihat sebagai suatu garis echymosis.
Gejala Klinik
Extra oral :
a. Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum
b. Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris
c. Hematoma atau echymosis pada daerah yang terkena fraktur, kadang-
kadang terdapat infraorbital echymosis dan subconjunctival echymosis
d. Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior rahang atas dan
rahang bawah telah kontak lebih dulu.
Intra oral :
a. Echymosis pada mucobucal rahang atas
b. Vulnus laceratum, pembengkakan gingiva, kadang-kadang disertai
goyangnya gigi dan lepasnya gigi.
c. Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi yang luka, gigi
fraktur atau lepas.
d. Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah.
3. Le Fort II :
8
Garis fraktur meliputi tulang maxillaris, nasalis, lacrimalis, ethmoid, sphenoid
dan sering tulang vomer dan septum nasalis terkena juga.
Gejala klinik
Extra oral :
a. Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada daerah tersebut terasa
sakit.
b. Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas hidung.
c. Bilateral circum echymosis, subconjunctival echymosis.
d. Perdarahan dari hi dung yang disertai cairan cerebrospinal.
Intra oral:
a. Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke depan
b. Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar mengunyah.
c. Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum lidah tertekan
sehingga timbul kesukaran bernafas.
d. Terdapatnya kelainan gigi berupa fraktur, avultio,luxatio.
e. Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerakkan, pada bagian
hidung terasa adanya step atau bagian yang tajam dan terasa sakit.
4. Le Fort III
9
Fraktur ini membentuk garis fraktur yang meliputi tulang-tulang nasalis,
maxillaris, orbita, ethmoid, sphenoid dan zygomaticus arch. Sepertiga bagian
tengah muka terdesak ke belakang sehingga terlihat muka rata yang disebut "Dish
Shape Face". Displacement ini selalu disebabkan karena tarikan ke arah belakang
dari M.pterygoideus dimana otot ini melekat pda sayap terbesar tulang sphenoid
dan tuberositas maxillary.
Gejala klinik
Extra oral :
a. Pembengkakan hebat pada muka dan hidung
b. Perdarahan pada palatum, pharinx, sinus maxillaris, hidung dan telinga.
c. Terdapat bilateral circum echymosis dan subconjunctival echymosis.
d. Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan N.opticus dan saraf
motoris dari mata yang menyebabkan diplopia, kebutaan dan paralisis bola
mata yang temporer.
e. Deformitas hidung sehingga mata terlihat rata.
f. Adanya cerebrospinal rhinorrhoea dan umumnya bercampur darah
g. paralisis N.Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen yang
menyebabkan Bells Palsy.
Intra oral :
a. Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang berat.
b. Rahang atas dapat lebih mudah digerakkan
10
c. Perdarahan pada palatum dan pharynx.
d. Pernafasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah.
5. Zygomaticus Complex Fracture
Tulang zygoma adalah tulang yang kokoh pada wajah dan jarang mengalami
fraktur. Namun tempat penyambungan dari lengkungnya sering fraktur. Yang
paling sering mengalami fraktur adalah temporal sutura dari lengkung rahang.
Fraktur garis sutura rim infra orbital, garis sutura zygomatic frontal dan
zygomatic maxillaris.
Fraktur ini biasanya unilateral, sering bersifat multiple dan communited, tetapi
karena adanya otot zygomatic dan jaringan pelindung yang tebal, jarang bersifat
compound. Displacement terjadi karena trauma, bukan karena tarikan otot.
Trauma/pukulan biasanya mendorong bagian-bagian yang patah ke dalam.
Gejala klinik:
a. Penderita mengeluh sukar membuka rahang, merasa ada sesuatu yang
menahan, waktu membuka mulut ke depan condyle seperti tertahan.
b. Bila cedera sudah beberapa hari dan pembengkakan hilang, terlihat
adanya depresi yang nyata sekeliling lengkung dengan lebar 1 atau 2 jari
yang dapat diraba.
c. Pembengkakan periobital, echymosis.
11
d. Palpasi lunak
e. Rasa nyeri
f. Epistaksis, perdarahan hidung disebabkan karena cedera, tersobeknya
selaput lendir antral oleh depresi fraktur zygomatic dengan perdarahan lebih
lanjut ke antrum melalui ostium maxilla ke rongga hidung.
g. Rasa baal di bawah mata, rasa terbakar dan paraesthesia
h. Perdarahan di daerah konjungtiva
i. Gangguan penglihatan diplopia, kabur.
2.5. Diagnosis
Mobilitas dan maloklusi merupakan hallmark adanya fraktur maksila. Namun,
kurang dari 10 % fraktor Le Fort dapat terjadi tanpa mobilitas maksila. Gangguan
oklusal biasanya bersifat subtle, ekimosis kelopak mata bilateral biasanya
merupakan satu-satunya temuan fisik. Hal ini dapat terjadi pada Le Fort II dan III
dimana disrupsi periosteum tidak cukup untuk menimbulkan mobilitas maksila.
4,5
a. Anamnesis
Jika memungkinkan, riwayat cedera seharusnya didapatkan sebelum pasien
tiba di departemen emergency. Pengetahuan tentang mekanisme cedera
memungkinkan dokter untuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera
primer. Waktu diantara cedera atau penemuan korban dan inisiasi treatment
merupakan informasi yang amat berharga yang mempengaruhi resusitasi
pasien.
b. Inspeksi
Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema, dan
hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan
belakang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada pergigian posterior.
c. Palpasi
Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura
zygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior.
12
d. Manipulasi Digital
Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang dengan kuat
bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan keempat jari lainnya,
sedangkan tangan yang satunya menjaga agar kepala pasien tidak bergerak.
Jika maksila digerakkan maka akan terdengar suara krepitasi jika terjadi
fraktur.
e. Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea
Cairan serebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa kranial tengah
atau anterior (pneumochepalus) yang dapat dilihat pada kanal hidung ataupun
telinga. Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior biasanya terjadi pada
cedera yang parah. Hal tersebut dapat dilihat melalui pemeriksaaan fisik dan
radiografi.
f. Maloklusi Gigi
Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuat ke arah
fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama pola oklusal gigi
sebelumnya akan membantu diagnosis dengan tanda maloklusi ini. Pada Le
Fort III pola oklusal gigi masih dipertahankan, namun jika maksila berotasi
dan bergeser secara signifikan ke belakang dan bawah akan terjadi maloklusi
komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain.
g. Pemeriksaan Radiologi
Pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara klinis, pemeriksaan
radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan radiologi
digunakan untuk menunjang diagnosa. Untuk menegakkan diagnosa yang
tepat sebaiknya digunakan beberapa posisi pengambilan foto, karena tulang
muka kedudukannya sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan kita
untuk melihatnya dari satu posisi saja. Pemeriksaan Ro Foto untuk fraktur
maxilla antara lain :
1. PA position
2. Waters position
13
3. Lateral position
4. Occipito Mental Projection
5. Zygomaticus
6. Panoramic
7. Occlusal view dari maxilla
8. Intra oral dental
Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos, namun CT scan merupakan
pilihan untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik yang dipakai pada foto polos
diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view. Jika terjadi
fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin akan kita dapat
dari foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus maksila,
pemisahan pada rima orbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan daerah
nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng pterigoid.
Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur
maksila adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapat
digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya cairan
pada sinus maksila bilateral menimbulkan kecurigaan adanya fraktur maksila.
Dibawah ini merupakan foto CT scan koronal yang menunjukkan fraktur Le
Fort I,II, dan III bilateral. Dimana terjadi fraktur pada buttress maksilari medial
dan lateral di superior maupun inferior (perpotongan antara panah hitam dan
putih). Perlu dilakukan foto CT scan aksial untuk mengkonfirmasi diagnosis
dengan mengamati adanya fraktur pada zygomatic arch dan buttress
pterigomaksilari.
14
Gambar 7. CT Scan Koronal
Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur maksila, membuat
klasifikasi ini cukup sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan tugas dalam
mengklasifikasikan fraktur maksila, terdapat tiga langkah yang bisa diterapkan.
Pertama, selalu memperhatikan prosesus pterigoid terutama pada foto CT scan
potongan koronal. Fraktur pada prosesus pterigoid hampir selalu mengindikasikan
bahwa fraktur maksila tersebut merupakan salah satu dari tiga fraktur Le Fort.
Untuk terjadinya fraktur Le Fort, prosesus pterigoid haruslah mengalami disrupsi.
Kedua, untuk mengklasifikasikan fraktur tipe Le Fort, perhatikan tiga struktur
tulang yang unik untuk masing-masing tipe yaitu; margin anterolateral nasal fossa
15
untuk Le Fort I, rima orbita inferior untuk Le Fort II, dan zygomatic arch untuk
Le Fort III. Jika salah satu dari tulang ini masih utuh, maka tipe Le Fort dimana
fraktur pada tulang tersebut merupakan ciri khasnya, dapat dieksklusi. Ketiga, jika
salah satu tipe fraktur sudah dicurigai akibat patahnya komponen unik tipe
tersebut, maka selanjutnya lakukan konfirmasi dengan cara mengidentifikasi
fraktur-fraktur komponen tulang lainnya yang seharusnya juga terjadi pada tipe
itu.
Fraktur fasial sekunder yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermototor
berkecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur servikal atau trauma
jaringa saraf. Karena itu, pemeriksaan servikal harus dilakukan. Pemeriksaan pada
seluruh nervus kranial juga harus dilakukan. Trauma lain yang juga biasa
ditemukan adalah trauma pada mata.
2.6. Tatalaksana
Prinsip penanganan fraktur maksila pada langkah awal penanganan pada hal
yang bersifat kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing),
sirkulasi darah termasuk penanganan syok (circulaation), penanganan luka
jaringan lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan
cedera otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu
reduksi/reposisi fragmen fraktur. Fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi,
sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak bergerak sampai fase
penyambungan dan penyembuhan tulang selesai.
5,6
1. Perawatan jalan nafas.
Adanya pergeseran dan pecahan tulang akibat fraktur maksila, serta jaringan
lunak, bekuan darah, gigi/patahan gigi atau benda asing lain akan menyebabkan
sumbatan jalan nafas. Jalan nafas harus dipastikan bersih dari benda asing, dan di-
lakukan perawatan perdarahan pada nasal dan oral. Jika terjadi edema pharing atau
terjadi gangguan jalan nafas akibat per geseran struktur tulang maka harus segera
dilakukan tracheostomi.
16
2. Perawatan perdarahan.
Pada umumnya fraktur maksilla akan disertai dengan laserasi mukosa oral dan
kulit sehingga timbul perdarahan hebat a. palatina mayor atau a. maksilaris
interna dapat mengalami ruptur akibat gaya geseran dari segmen maksila.
Perdarahan dapat terjadi karena robekan mukosa nasal dan sinus maksila.
Perdarahan dapat diatasi dengan melakukan penekanan, berupa tampon pada
tempat luka ataupun dengan melakukan tampon pada pharing posterior. Jika
perdarahan yang terjadi tidak dapat dihentikan, dapat dilakukan ligasi a.
karotis eksterna.
3. Perawatan Fraktur
Perawatan fraktur ditujukan pada penempatan ujung tulang yang fraktur
pada hubungan yang benar sehingga ujung tulang tersebut bersentuhan dan
dipertahankan pada posisi tersebut sampai penyembuhan terjadi.
Reposisi/reduksi fraktur ada 2 cara
1) Close reduction
Banyak terdapat cara reposisi. Cara yang mudah adalah reposisi tertutup
yaitu manipulasi tulang dengan tarikan yang dilakukan di bawah kulit yang
intact sampai fraktur berada pada posisi yang benar. Fraktur yang dapat
dilakukan reposisi tertutup, bila garis fraktur simpel, posisi cukup baik dan
terjadinya fraktur masih baru.
a) Reduksi yang dilakukan pada fraktur dengan cara manipulasi. Cara ini
dilakukan pada fraktur yang masih baru dan mudah dikembalikan pada
tempat semula. Caranya : raba permukaan tulang yang patah melalui intra
dan ekstra oral, lalu perhatikan oklusinya. Setelah kawat fiksasi dipasang,
baru reduksi dikerjakan yaitu dengan manipulasi bagian-bagian tulang yang
patah itu sampai kedudukannya seperti semula.
b) Reduksi dengan tarikan
Yang paling sering dipakai yaitu intermaxillary traction yaitu penarikan
rahang bawah dan rahang atas. Cara ini dilakukan bila displacement sukar
17
dimanipulasi pada tempat-tempat yang diinginkan yang mungkin oleh
karena adanya spasmus otot dan fraktur yang sudah lama sehingga terjadi
malunion yang sukar dikembalikan ke keadaan semula.
2) Open reduction (dengan cara operasi)
Cara ini dipakai jika reduksi tertutup tidak dapat dikerjakan, lebih sering
dikerjakan untuk fiksasi dari pada untuk reduksi fraktur.
4. Fiksasi dan Immobilisasi
Pada fraktur yang dilakukan reposisi tertutup ketika tulang rahang dan gigi
sudah terletak pada posisi yang tepat, maka dapat dipertahankan dengan
menggunakan kawat Arch Bar, membebat gigi, pita elastic atau kawat yang
menghubungkan mandibula dan maksila. Fiksasi dapat dilakukan langsung pada
gigi atau otot-otot sekitar rahang, sehingga dapat dibagi menjadi:
1) Indirect dental fixation
Mengikat rahang atas dan rahang bawah bersama-sama dalam keadaan
oklusi dengan mempergunakan pengikat atau elastic band. Pada fiksasi
harus diperhatikan oklusi gigi atas dan bawah harus baik. Ada 2 macam
cara :
a) Kombinasi wiring dengan intermaxillary fixaton menurut cara Gilmer
atau Ivy.
b) Kombinasi arch bar dengan intermaxillary fixation.
c) Macam-macam arch bar : Jelenko, Erich, Winter
2) Direct Dental Fixation
Immobilisasi dari fragmen-fragmen dengan menggunakan splint bar atau wire
di antara dua atau lebih gigi pada daerah fraktur. Wiring merupakan cara yang
paling mudah. Tekniknya : Mengelilingi dua gigi yang berdekatan kemudian
menuju garis fraktur dengan sepotong kawat dengan mengikatnya kuat-kuat.
Cara ini kurang stabil dan tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga
jarang dipakai.
3) Indirect Skletal Fixation
18
Yang termasuk cara ini :
- Denture atau gurting splint dengan head bandage
- Circumferential wiring
- External fixation
3. Perawatan Definitif Fraktur Maxilla
A) Fraktur Dentoalveolar
Beberapa kemungkinan dapat terjadi :
1) Korona gigi patah tanpa mengenai pulpa
- Buat Ro foto dan tes pulpanya
- Vitalitas pulpa perlu diikuti perkembangannya di kemudian hari
- Kematian pulpa dapat berakibat dental granuloma atau kista
radikularis di kemudian hari.
2) Patah korona gigi dan mengenai pulpa
- Ro foto dan perawatan endodontik
- Bila giginya remuk atau patah akarnya sebaiknya dicabut. Patah akar gigi
yang kurang dari 1/3 apikal dapat dicoba dipertahankan.
3) Gigi yang dislokasi
- Ro foto dalam keadaan reposisi dan fiksasi
- Bila gigi terlepas, diadakan pengisian seluruh akar secara retrograd atau
konvensional dan diadakan replantasi. Biasanya gigi ini dapat bertahan
beberapa tahun meskipun akhirnya terjadi ankilosis dan resorpsi.
4) Fraktur tulang alveolar
- Seringkali diperlukan debridement untuk membersihkan
kepingan tulang yang terlepas, jaringan nekrotik dan benda asing.
- Bila sebagian tulang alveolar terlepas sarna sekali dari muko-
periosteum, sebaiknya diangkat. Bila masih melekat dapat direposisi dan
fiksasi.
- Umumnya fiksasi dengan Arch Bar memberikan hasil yang
memuaskan, intermaxillary fixation tidak diperlukan keculai pada
19
fraktur tulang alveolar regia molar dan premolar. Fiksasi dengan eyelet,
baik jenis Ivy dan Stout's jarang memuaskan.
B) Fraktur Le Fort I, II, III
Penanganan fraktur langsung pada memposisikan kembali maxilla pada
hubungan yang tepat dengan mandibula serta dengan dasar tengkorak dan
mengimmobilisasikannya. Secara garis besar immobilisasi dapat dibagi dalam 2
golongan besar :
1) Immobilisasi extra oral = External fixation
Termasuk apa yang disebut sekarang ini sebagai modern concept merupakan
suatu cara rutin dalam perawatan fraktur 1/3 tengah tulang muka. Di Barat
teknik ini kurang sesuai dengan situasi di Indonesia, karena peralatan yang
mahal dan laboratorium yang kurang memadai. Ditinjau dari segi stabilitas,
alat ini sangat ideal tetapi secara psikologis sering tidak dapat diterima
secara baik oleh penderita. Ini disebabkan bentuk alat yang menakutkan bagi
penderita yang harus terus memakainya selama perawatan. Berarti dia harus
tinggal di RS selama pemakaian alat tersebut. Meskipun demikian peralatan
itu tetap diperlukan pada perawatan fraktur 1/3 tengah tulang muka yang
parah dan rumit. Secara singkat teknik ini sebagai berikut :
- Maxilla yang mengalami fraktur ditahan Plaster of Paris Head Cap
dengan bantuan bar penghubung (connecting bar), cap splint, dan extention
rodnya. Maxilla yang dihubungkan dengan head cap disebut
Craniomaxillary fixa tion. Bi la mandibu1a yang dihubungkan dengan head
cap disebut Cranio-mandibula fixation.
- Selain itu dapat diperkuat dengan menambahkan transbucal check wire.
Bila cap splint pada gigi ge1igi tidak dapat dibuat dapat diganti dengan Arch
Bar pada maxilla dan mandibula dan disatukan dengan IMF. Arch bar
mandibula perlu diperkuat dengan circumferential wiring pada 3/3 dan
dihubungkan dengan head cap melalui transbuccal check wire.
20
- Head cap dapat diganti dengan haloframe yang mempunyai fungsi sarna
dengan head cap tetapi jauh lebih stabile Frame ditempatkan di sekitar
cranium dengan 4 buah paku.
Supraorbital pins adalah pilihan lain dari head cap. Dua buah pin di tempatkan
pada supraorbital ridge kanan dan kiri. Kedua pin ini dihubungkan dengan sebuah
bar yang melengkung. Bar ini kemudian dihubungkan dengan perantaraan suatu
connecting bar lurus dengan extension rod dari alat-alat fiksasi pada rahang.
Immobilisasi dalam jaringan Jenis ini dapat berupa
a. Fiksasi langsung dengan transosseus wiring pada garis fraktur
b. Teknik suspensi dari kawat (internal wire suspension technique)
Teknik fiksasi ini tidak memerlukan alat-alat yang mahal atau fasilitas
laboratorium yang mutakhir. Teknik ini dapat diterima dengan baik oleh
penderita karena peralatan fiksasi tidak tampak dari luar sehingga penderita dapat
meninggalkan RS lebih cepat. Pada teknik ini maksila ditahan dengan kawat
pada bagian tulang muka yang tidak mengalami cedera yang berada di a tas garis
fraktur. Kawat suspensi ini dihubungkan dengan kawat fiksasi/arch bar pada
mandibula. Untuk memperkuat arch bar mandibula terhadap tarikan kawat
suspensi, dianjurkan pemakaian circumferential wiring pada 3/3. Dengan
demikian maksila terjepit di antara mandibula dan bagian tulang muka yang
stabil. Teknik suspensi dengan kawat ini dapat berupa:
6,7
a) Circumzygomatic
Kawat penggantung/penahan melalui atau meliputi arcus zygomaticus
b) Zygomatic-mandibula
Kawat melalui lubang pada tulang zygoma
c) Inferior orbital border-mandibula
Kawat melalui lubang pada lower orbital rim
d) Fronto-mandibular
Kawat melalui lubang pada zygomatic processus pada tulang frontal
e) Pyriform fossa mandibular
21
Kawat me1alui lubang pada fossa pyriformis. Ini hanya untuk perawatan Le
Fort I dan sangat kurang stabil.
f) Nasal septum-mandibular
Fiksasi ini sangat tidak stabil. Pada beberapa keadaan, suspensi langsung
terhadap maksila dapat dilakukan yaitu apabila artikulasi gigi geligi yang tepat
tidak mutlak diperlukan , misalnya pada :
a) Salah satu rahang tidak bergigi
b) Immobilisasi mandibula tidak diperlukan
c) Suatu keadaan dimana immobilisasi mandibula merupakan
kontraindikasi, misalnya pada obstruksi nasal yang berat.
3) Fraktur zygomatic komplex
Cara ekstra oral
a. Teknik Gillies
lnsisi dibuat di daerah temporal sepanjang 2 cm di antara bifurkasi V.
temporalis superfisialis membentuk sudut kira-kira 45 dengan bidang
oklusal. Fascia temporalis diexposed, diinsisi dan Bristow's Elevator
dimasukkan untuk mengungkit tulang zygoma pada kedudukan yang
normal.
b. External incision langsung dilakukan di antara fraktur.
Sebuah hook khusus dimasukkan ke bawah tulang dan diungkit ke posisi
yang normal.
Cara intra oral :
Insisi dibuat pada sulcus bucalis, lalu sebuah elevator dimasukkan untuk
mengungkit bagian-bagian fraktur ke posisi semula. Fraktur yang tidak stabil
diperlukan transusseus wiring langsung pada daerah yang patah tersebut.
Intermaxillary fixation biasanya tidak diperlukan. Fraktur pada daerah arcus
zygomaticus biasanya tidak memerlukan fiksasi karena keseimbangan otot-otot
antara M.maseter di bawah dan fascia temporalis di atasnya.
5. Lamanya fiksasi
22
Yang dimaksud dengan sembuh yaitu tidak terdapatnya mobilitas pada daerah
fraktur bila dilakukan manipulasi dengan tangan.
- RA (maksila) 4 minggu
- RB (mandibula) 5-9 minggu
- Fracture condyle 2 minggu
Mengingat cepatnya penyembuhan fraktur dipengaruhi banyak faktor, misalnya
hebatnya fraktur, keadaan umum penderita, gizi penderita, ketrampilan operator
dan berbagai faktor lokal, maka sebelum dilakukan pembukaan alat-alat fiksasi,
diperlukan suatu pengamatan lebih dulu terhadap penyembuhan fraktur tersebut.
6. Perawatan Pasca bedah
A) Perawatan segera setelah operasi
Setelah operasi dengan narkose, ahli anestesi akan mengangkat endotrakeal
tube, bila reflek batuk sudah pulih. Bila keadaan jalan nafas penderita
mengkhawatirkan, nasopharingeal tube dapat dipertahankan sampai 24 jam,
ini dapat kita diskusikan dengan ahli anestesi. Alat penyedot dan alat
pemotong kawat harus selalu tersedia bilamana diperlukan. Seharusnya
seorang perawat yang berpengalaman mengawasi di sisi pasien sampai
pasien sadar betul.
B) Antibiotika dan analgetik
Pemberian antibiotik sangat perlu sekali bagi setiap fraktur rahang, apalagi
setelah dilakukan tindakan reposisi dan fiksasi. Pemberian dalam bentuk
kapsul atau tablet adalah sulit karena adanya IMF. Obat dalam bentuk
cairan lebih baik bagi penderita. Pemberian secara parenteralpum dapat
dilakukan. Bila fiksasi baik analgetik biasanya tidak mutlak diberikan.
C) Pemberian makanan
Makanan umumnya dalam bentuk cairan atau setengah cairan. Makan dapat
diberikan melalui celah yang ada antara gigi atau pada fossa retromolar.
D) Kebersihan mulut
23
Pembersihan gigi dan kawat fiksasi adalah sangat penting untuk mengurangi
terjadinya infeksi.
E) Pemberian vitamin A, D, B compleks, mineral Ca, fosfat.
2.7. Komplikasi
Adapun komplikasi setelah perawatan fraktur antara lain:
6,7
1) Infeksi
2) Delayed
Union,sebab:
- Reduksi kurang baik
- Adanya interposisi dari serat-serat otot, fragmen
- tulang yang keci1-kecil atau adanya gigi pada garis fraktur
- Adanya fokal infeksi
- Reaksi penyembuhan dari tubuh yang rendah
- Penyakiy -penyakit sistemik seperti sifilis, TBC, dan
- lain-lain.
- Fiksasi dan imobilisasi yang tidak baik
Perawatan terhadap delayed union
- Hilangkan semua faktor penyebab
- Bila perlu lakukan operasi ulang
3) Malunion
Sebab :
- Reduksi yang tidak tepat
- Alat fiksasi dan immobilisasi yang tidak baik Perawatan
malunion :
- Refracturing, kemudian ulangi reduksi, immobilisasi dan fiksasi
- Bila union sudah kuat, perlu tindakan osteotomi melalui garis
fraktur semula
4) Non union
24
Sebab :
- Menangguhkan perawatan yang terlalu lama
- Reduksi yang buruk
- Fiksasi dan immobilisasi yang tidak baik
- Alat fiksasi terlalu cepat dibuka
- Adanya benda asing di garis fraktur
5) Kerusakan saraf
Dapat terjadi paraesthesia karena kerusakan n.alveolaris inferior pada RB,
kerusakan n.infra orbitalis, n.alveolaris superior serta cabang-cabangnya
pada RA.
6) Trismus
Penderita sukar membuka mulut.
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya komplikasi fraktur:
1,7
1) Besarnya trauma yang terjadi
Bila trauma yang terjadi begitu besar sehingga selain kerusakan tulang juga
terjadi kerusakan jaringan.
2) Daerah fraktur yang terbuka
Pada fraktur kemungkinan terjadi sebagian daerah fraktur yang terbuka,
yang memudahkan terjadinya infeksi. Dengan adanya infeksi kemungkinan
terjadinya kerusakan jaringan makin lebih besar.
3) Fraktur tidak dirawat atau perawatan yang tidak sempurna
Pada fraktur yang tidak dirawat dapat terjadi komplikasi seperti malunion,
delayed union dan keadaan yang lebih berat. Demikian juga pada perawatan
yang tidak sempurna, keadaan yang lebih berat dapat terjadi dengan
timbulnya infeksi akibat komplikasi yang terjadi dan ini berpengaruh pada
penyembuhan yang diharapkan.
4) Keadaan gigi-geligi
25
Keadaan gigi yang kurang baik seperti anatomi gigi, posisi gigi yang kurang
baik dan adanya gigi yang gangren dapat mernpermudah tirnbulnya
komplikasi bila terjadi fraktur di regio tersebut.
2.8. Prognosis
Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah satu
yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan sesegera
mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat
fraktur dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini dapat
membatasi pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan belakang,
sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang baru
akan ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami
penyembuhan secara parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full
open reduction, bahkan kalaupun dilakukan tetap sulit untuk direduksi.
7
BAB III
KESIMPULAN
Fraktur maksila merupakan salah satu bentuk trauma pada wajah yang cukup
sering terjadi dimana kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab
utama. Penanganan fraktur maksila tidak hanya mempertimbangkan masalah
fungsional tapi juga estetika. Pola fraktur yang terjadi tidak selalu mengikuti pola
Le Fort I, II, maupun III secara teoritis, namun lebih sering merupakan kombinasi
26
klasifikasi tersebut. Adapun beberapa hal mendasar mengenai fraktur maksila
diantaranya ;
1. Untuk terjadinya fraktur maksila baik itu Le Fort I, II, maupun III,
prosesus pterigoid harus mengalami disrupsi.
2. Adanya mobilitas dan maloklusi pada pemeriksaan fisik merupakan
hallmark dari fraktur maksila walaupun tidak semua fraktur maksila
menimbulkan mobilitas.
3. Pemerikasaan radiologi baik itu foto polos maupun CT scan diperlukan
untuk mengkonfirmasi diagnosis, namun CT scan merupakan pilihan utama.
4. Fraktur maksila umumnya memiliki prognosis yang cukup baik apabila
penanganan dilakukan dengan cepat dan tepat, namun dapat timbul komplikasi
yang dapat menimbulkan kecacatan maupun kematian apabila tidak tertangani
dengan baik.
5. Fraktur maksila pada anak berbeda dengan dewasa karena adanya
pertumbuhan dan perkembangan yang lebih menonjol pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Banks P : Fraktur sepertiga tengah skeleton fasial, terjemahan, ed 4, 1992, Gajah
Mada University Press..
2. Vibha Singh, et al, 2012, The Maxillofacial Injuries, Departments of Oral
and Maxillofacial Surgery, Anaesthesia, K.G. Medical University, Lucknow,
India, National Journal of Maxillofacial Surgery Vol 3.
27
3. Anne, Margareth, et al, 2012, Risk factors associated with facial fractures,
Department of Dentistry, School of Biological and Health Sciences, Federal
University of Jequitinhonha and Mucuri Valleys, Diamantina, MG, Brazil.
4. Converse JP! : Reconstructive Plastic Surgery, Vol 2,Ed 2 WB Saunders company,
London. 1977.
5. Dingman RO, Natvig P : Surgery of facial fractures, WB Saunders Company,
London, 1964 : 111-266.
6. Tizziano, T, 2008, Maxillary Sinus Surgery And Alternatives In Treatment,
Journal Of Maxillary Sinus Surgery And Alternatives In Treatment.
7. Chetan B. Raval and Mohd. Rashiduddin, Airway management in patients
with maxillofacial trauma A retrospective study of 177 cases, Saudi J
Anaesth. 2011 Jan-Mar; 5(1): 914.
28