Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis Medis

2.1.1 Defenisi Fraktor

Fraktur mandibula adalah putusnya kontiunitas tulang mandibula,

Hilangnya kontiunitas pada rahang bawah (Mandibula) dan dapat berakibat fatal

bila tidak ditangani dengan benar. Mandibula adalah tulang rahang bawah pada

manusia dan fungsi sebagai tempat menempelnya gigi geligi. Faktor etiologi

geografis, namun kecelakaan bermotor menjadi penyebab paling umum. Beberapa

penyebab lain berupa kelainan patologis seperti keganasan pada Mandibula,

kecelakaan saat kerja dan kecelakaan akibat olahraga (Sjamsuhidajat,2005)

2.1.2 Anatomi Fisiologi Mandibula

1. Anatomi Mandibula

Mandibula adalah tulang rahang bawah pada manusia dan berfungsi

sebagai tempat menempelnya gigi geligi. Mengubah perhubungan dengan basis

kranii dengan adanya temporo-mandibula joint (TMJ) dan disanggah oleh otot-

otot mengunyah. Mandibula terdiri dari korpus berbentuk tupal kuda dan sepasang

ramus. Corpus mandibula bertemu dengan rumus masing-masing sisi pada

angulus mandibula. Pada permukaan luar garis tengan corpus mandibula terdapat

sebuah rigi yang menunjukkan garis fusi dari kedua belahan selama
perkembangan yaitu simfisis mandibula. Foramen mental dapat dilihat dibawa

gigi premoral kedua.

Gambar 2.1. Anatomi Otot Pengunyah

Dari lubang ini keluar arteri, vena, dan nervus alveolaris. Fraktur

mandibula sangat penting di hubungkan dengan adanya adanya otot yang berorigo

atau berinsersio pada mandibula ini. Otot tersebut adalah otot elevator, otot

depressor dan otot protrusor (snell R, 2006).

Mandibula dipersarafi oleh saraf mandibula, alveolar inferior, pleksus

dental inferior dan nervus mentalis, sistem vaskularisasi pada mandibula

dilakukan oleh arteri alveolar inferior, dan arteri mentalis. Pergerakan dalam

proses pengunyahan terjadi karena gerakan kompleks dari beberapa otot

pengunyah. otot-otot utama yang terlihat langsung dalam pengunyahan adalah

musculus masseter, musculus temporalis, musculus pterigoideus lateralis dan

musculus pterigoideus medialis. Selain itu juga ada otot-otot tambahan yang juga

mendukung proses pengunyahan yaitu musculus milihiodeus, musculus digastrik,


musklus geniohiodeus, musculus stilohioideus, musculus infrahyodeus, musculus

buksinator dan labium oris. Gerakan mandibula selama proses pengunyahan

dimulai dari gerakan membuka mandibula yang dilakukan oleh kontraksi

muskulus pterigoideus lateralis. Pada saat bersamaan musculus temporalis, dan

musculus ptegiodeus medialis tidak mengalami aktiftas atau mengalami relaksasi.

2. Fisiologi mengunyah

Mandibula berfungsi dalam proses mengunyah, penelaan dan bicara.

Kejadian cidera mandibula yang menojol pada tulang wajah sering terjadi. Hal

tersebut di sebabkan oleh posisi mandibula yang menonjol pada tulang wajah .

Mandibula merupakan tulang rahang yang umum menerima bentur, baik yang

disengaja maupun yang tidak disengaja. Benturan yang keras dapat menyebabkan

fraktur pada mandibula tersebut . Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya

kontiunitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan luasnya (smeltzer S.C & Bare

B,G, 2001) atau setiap retak atau patah tulang yang utuh (Reeves C,J, Roux G &

R, 2001).

Matini menyebutnya frenkuensi rata-rata berdsarkan lokasi fraktur pada

mandibula, meliputi: korpus 30,9%, kondilus 16.1%, angulus 12,1%, shimphisis

27,5%, ramus 4%, prosessu skoronaideu 2%, prosessus alveolar 7,4% (Iswadi

2007).

Sistem pengunyahan merupakan satu unit fungsional dari sistem

stomatognati. Pengunyahan dilakukan untuk mempersiapakan makanan manjadi


partikel yang lebih kecil agar makanan mudah ditelan. Pengunyahan terjadi karena

interaksi yang kompleks antara otot-otot pengunyahan dan otot pendukungnya,

gigi geligi, dan TMJ. Adanya makanan yang masuk kedalam rongga mulut untuk

memberikan stimulasi pada otot-otot untuk membuka mandibula.

Sistem pengunyahan merupakan unit fungsional yang terdiri dari gigi

geligi, Tempo Mandibular Join (TMJ), otot-otot yang mendukung pengunyahan

baik secara langsung maupun tidak langsung serta pembuluh darah dan saraf yang

mendukung seluruh jaringan pendukung sistem pengunyahan. Otot-otot

pengunyahan yang utama adalah musculus pterigoideus medialis, musculus

masseter, musculus temporalis, dan musculus petrigoideus. Peran otot-otot ini

dalam pergerakan membuka dan menutup mulut sangat penting untuk

mengkoordinasikan pergerakan mandibula sehingga gigi dapat berfungsi optimal.

2.1.3 Patofiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan untuk menahan

tekanan (Apley, A. Graham 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang

lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang

yang mengakibatkan rusaknya dan putusnya kontiunitas tulang (Crapnito, dkk,

1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam

konteks, marrow dan juga jaringan lunak yang membungkus tulang rusuk.

Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma

dirongga medulla tulang. Jaringan tulang segera berdekatan kebagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon

inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan

ilfiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses

penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, dkk, 1993).

Fraktur mandibula merupakan fraktur kedua tersering pada kerangka

wajah, hal ini disebabkan kondisi mandibula yang terpisah dari cranium.

Diagnosis fraktur mandibula dapat ditunjukan dengan adanya rasa sakit,

pembengkakan, nyeri tekan, dan maloklusi. Patahnya gigi, adanya gab, tidak

ratanya gigi, tidak simetrisnya arcus dentalis, adanya laserasi intra oral, gigi yang

longgar dan krepitasi menunjukkan kemungkinan adanya fraktur mandibula.

Selain hal itu mungkin juga terjadi tremus. Evaluasi radiografis pada mandibula

mencakup foto polos, bila perlu dilakukan foto waters, CT scan dan pemeriksaan

panoramik (Adams G,L, dkk, 1997).

2.1.4 Etiologi

Faktor etiologi utama bervariasi berdasarkan lokasi geografis. Pada

beberapa investigasi seperti jordan, Nigeria, New zealand, Denmark, Yunani, dan

Japan dilaporkan kecelakaan akibat kendraan bermotor paling sering di jumpai.

Peneliti di negara-negara seperti yordania, Singapura, Nigeria, Selandia baru,

Denmark, Yunani, dan Jepang melaporkan kecelakaan kendaraan bermotor

menjadi penyebab paling umum (Heardman, T.H. 2012). Fraktur mandibula dapat
terjadi karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan industri atau kecelakaan kerja,

kecelakaan rumah tangga, mabuk dan perkelahian atau kekerasan fisik.

Menurut servei pada Distrik of columbia Hospital, dari 540 kasus fraktur,

69% kasus akibat kekrasan fisik (perkelahian), 27% akibat kecelakaan lalulintas,

12% akibat kecelakaan kerja, 2% akibat kecelakaan saat olahraga dan 4% sebab

patologi (Smeltzer & Bare. 1996). Setiap pukulan keras pada muka

mengakibatkan terjadinya suatu fraktur pada mandibula. Daya tahan mandibula

terhadap kekuatan impact adalah lebih besar dibangdingkan dengan tulang wajah

lainnya. Meskipun demikian fraktur mandibula lebih sering terjadi dibandingkan

dengan bagian skeleton muka lainnya (Ajmal,2007).

2.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi fraktur mandibula diantarnya adalah (Bare BG.,Smeltzer. 2001) :

a. Menunjukkan regio-regio pada mandibula yaitu: corpus, simfisi, sudut,

rumus, proseseus koronoid, prosesus kondilator, prosesus alveolar. Fraktur

yang terjadi dapat pada satu dua atau lebih pada regio mandibula ini.

b. Berdasarkan ada tidaknya gigi. Klasifikasi berdasarkan gigi pasien penting

diketahui karena akan menentukan jenis terapi yang akan kita ambil. Dengan

adanya gigi, penyatuan fraktur dapat dilkukan dengan jalan pengikat gigi

dengan menggunakan kawat.


Berikut derajat mandibula berdasarkan ada tidaknya gigi:

1. fraktur kelas 1 : gigi terdapat 2 sisi fraktur, penanganan pada fraktur kelas ini

dapat melalui interdertal wiring (memasang kawat pada gigi)

2. fraktur kelas 2 : gigi hanya terdapat di salah satu fraktur

3. fraktur kelas 3 : tidak terdapat gigi di dua sisi fraktur, pada keadaan ini

dilakukan melalui open reduction, kemudian dipasangkan plate and screw,

atau bisa juga dengan cara intermaxillary fixation.

Dengan melihat cara perawatan, pola fraktur mandibula dapat digolongkan

menjadi :

1. Fraktur uniteral biasanya hanya tunggal, tetapi kadang menjadi lebih dari satu

fraktur yang dapat dijumpai pada satu sisi mandibula dan bila hal ini terjadi

sering didapatkan pemindahan fragmen secara nyata. Suatu fraktur korps

mandibula unilateral sering terjadi.

2. Fraktur bilateral adalah suatu kombinasi antara kecelakaan langsung. Fraktur

ini umumnya akibat mekanisme yang menyangkut angulus dan bagian leher

kondilar yang berlawanan atau daerah gigi kanius dan angulus yang

berlawanan.

3. Multiple fracture adalah gabungan yang sempurna dari kecelakaan langsung

dan tidak langsung dapat menimbulkan terjadinya fraktur multipel. Pada

umumnya fraktur ini terjadi karena trauma tepat mengenai titk tengah dagu

yang mengakibatkan fraktur pada simpisis dan kedua kondilus.


4. Fraktur komunitif, fraktur ini hampir selalu diakibatkan oleh kecelakaan

langsung yang cukup keras pada daerah fraktur, seperti pada kasus kecelakaan

kena peluru saat perang, dalam sehari-hari, fraktur ini sering terjadi pada

simfinis dan parasimfinis. Fraktur yang disebabkan oleh kontruksi muskulus

yang berlebihan. Kadang fraktur pada proses koronoid terjadi karena adanya

kontraksi refleks yang datang mungkin juga menjadi penyebab terjadinya

fraktur pada leher kondilar. Oikarienen dan malstrom (1968), dalam

serangkaian 600 fraktur mandibula menemukan 49,1% fraktur tunggal, 39,9%

mempunyai dua fraktur, 9,4% mempunyai tiga fraktur, 1,2% mempunyai

empat fraktur, dan 0,4% mempunyai lebih dari empat fraktur.

Pathway Fraktur
Trauma langsung dan
trauma tidak langsung,
kondisi stress, maupun
patologik pada tulang.

Rusak / terputusnya kontiunitas tulang Fragment tulang menembus kulit


Fragment tulang tidak menembus kulit

Close fracture

Open

Kerusakan fragmen tulang cidera jaringan


lunak

Pembuluh darah terputus

Perdarahan

Pengumpulan darah
(Hematoma)

Devitaslisasi(HB)

Dilatasi pembulu

Tekanan kapiler
otot naik

Histamin menstimulasi

Spasme otot

Vasokontriksi
pembuludarah
Metabolisme
anaerob

2.1.6 Tanda dan Gejala Fraktur Mandibula

Tanda dan gejala yang timbul berupa:

2 Dislokasi, yaitu berupa perubahan posisi rahang yang menyebabkan muklusi

atau tidak berkontaknya rahang bawah dan rahang atas. Jika penderita
mengalami pergerakan abnormal pada rahang dan rasa yang sakit jika

menggerakan rahang, pembengkakan pada posisi fraktur juga dapat

menentukan lokasi fraktur pada pasien.

3 Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung

tulang bila rahang digerakan laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukosa

mulut dan daerah sekitar fraktur, perubahan pada daerah fraktur akibat

pembengkaan, terjadi pula gangguan funsional berupa penyempitan

pembukaan mulut, hipersalifasi dan halitosis, akibat berkurang nya

pergerakan normal mandibula dapat terjadi stagnasi makanan dan hilangnya

efek self cleaning karena gangguan fungsi pengunyahan (Thapliyal C. dkk.

2007)

4 Gangguan jalan nafas pada fraktur mandibula juga dapat terjadi akibat

kerusakan hebat pada mandibula menyebabkan perubahan posisi, trimus,

hematom, edema pada jaringan lunak. Jika terjadi obstruksi hebat saluran

nafas harus segera dilakukukan trakeostomi, selain itu juga dapat terjadi

anasthesi pada satu sisi bibir bawah, pada gusi atau gigi di mana terjadi

kerusakan pada nervus alveolaris inferior (Topcu. dkk. 2012)

2.1.7 Diagnosis

a. Anamnesis
Diagnosis pasien dengan fraktur mandibula dapat dilakukan dengan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Setiap fraktur

mempunyai riwayat trauma. Posisi waktu kejadian merupakan informasi yang

penting sehingga dapat menggambarkan tipe fraktur yang terjadi. Bila trauma

ragu-ragu atau tidak ada maka kemungkian fraktur patologis tetap perlu

dipikirkan. Riwayat penderita harus dilengkapi apakah ada trauma daerah lain

(kepala, torak, abdomen, pelvis, dll).Pertanyaan-pertanyaan kepada penderita

maupun pada orang yang lebih mengetahui harus jelas dan terarah, sehingga

diperoleh informasi menganai; keadaan kardiovaskuler maupun sistem respirasi,

apakah penderita merupakan penderita diabetes, atau penderita dengan terapi

steroid yang lama maupun meminum obat-obat lain, alergi terhadap obat, makan

atau minum terakhir dengan penggunaan obat-obat anestesi (Ulrich dkk., 2009).

b. Pemeriksaan fisik (Bhagol dkk., 2013)

1) Inspeksi: deformitas angulasi medial, lateral, posterior atau anterior,

diskrepensi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan, apakah ada bengkak atau

kebiruan, pada luka yang mengarah ke fraktur terbuka harus diidentifikasi dan

ditentukan menurut derajatnya menurut klasifikasi Gustillo dkk.

2) Palpasi: Nyeri tekan pada daerah faktur, nyeri bila digerakkan. Krepitasi:

biasanya penderita sangat nyeri oleh sebab itu pemeriksaan ini harus gentle

dan bila perlu dapat ditiadakan.

3) Gerakan: Gerakan sendi di sekitarnya terbatas karena nyeri, akibatnya fungsi

terganggu.

4) Pemeriksaan trauma di tempat lain seperti kepala, toraks, abdomen, traktus,

urinarius dan pelvis.


5) Pemeriksaan maloklusi fraktur seperti neurovaskuler bagian distal fraktur

yang berupa pulsus arteri, warna kulit, temperatur kulit, pengembalian darah

ke kapiler.

2.1.8 Pemeriksaan Radiologi

Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan

untuk memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur.

Pemeriksaan radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan

perspektif yang berbeda.

a. Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto

radiografis panoramic view, postero-anterior view, lateral oblique

view.Biasanya bila foto kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga

digunakan foto oklusal dan periapikal. Computed TomographyScan dapat juga

memberi informasi bila terjadi trauma yang dapat menyebabkan tidak

memungkinkannyadilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak pasien

dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT scan untuk

menilai gangguan neurologi, selain itu CT scan dapat juga digunakan sebagai

tambahan penilaian radiografi. Pemeriksaanradiografis untuk fraktur sepertiga

tengah wajah dapat menggunakan Water’s view,lateral skull view,

posteroanterior skull view, dan submental vertex view.

b. Pemeriksaan Foto AP dan Lateral

Bila perlu dilakukan foto waters dan panoramik. Untuk pencitraan wajah

digunakan proyeksi Waters sehingga bayangan bagian wajah tidak terganggu atau

disamarkan oleh struktur tulang dasar tengkorak olah struktur tulang dasar

tengkorak dan tulang servikal. Identitas penderita dan tanggal pemeriksaan


dengan sinar penting dikerjakan sesudah tindakan atau pada tindak lanjut

(followup) penderita guna menentukan apakah sudah terlihat kalus, posisi fragmen

dan sebagainya. Jadi pemeriksaan dapat berfungsi memperkuat diagnosis, menilai

hasil dan tindak lanjut penderita(Bhagol et al, 2013).

c. Foto Panoramik

Foto panoramik merupakan foto ekstra oral yang menghasilkan gambaran

yang memperlihatkan struktur fasial termasuk mandibula dan maksila beserta

struktur pendukungnya. Struktur periodontal yang teridentifikasi dalam radiografi

meliputi lamina dura, tulang alveolar, ligamen periodontal dan sementum.

Gambaran panoramik adalah sebuah teknik untuk menghasilkan sebuah gambaran

tomografi yang memperlihatkan struktur fasial mencakup rahang maksila dan

mandibula beserta struktur pendukungnya dengan distorsi dan overlap minimal

dari detail anatomi pada sisi kontralateral. Radiografi panoramik dikenal juga

dengan panorex atau orthopantomogram adalah sebuah teknik dimana gambaran

seluruh jaringan gigi ditemukan dalam satu film.

2.1.9 Penatalaksanaan

Prinsip penanganan fraktur mandibula pada langkah awal bersifat

kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi darah

termasuk penanganan syok (circulation), penaganan luka jaringan lunak dan

imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap

kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen

fraktur secara tertutup (close reduction) dan secara terbuka (open reduction),

fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi, sehingga fragmen tulang yang telah
dikembalikan tidak bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang

selesai (ACS, 2008).

a. Teknik dari reduksi secara tertutup dan fiksasi dari fraktur mandibula memiliki

berbagai variasi. Penempatan Ivy loop menggunakan kawat 24-gauge antara 2

gigi yang stabil, dengan penggunaan kawat yang lebih kecil untuk memberikan

fiksasi maxillomandibula antaraloop Ivy, telah berhasil. Arch bar dengan kabel

24 – dan 26-gauge yang fleksibel dan sering digunakan digunakan. Pada

edentulousmandibula, gigipalsu dapat ditranfer ke rahangdengankabel

circummandibula. Gigitiruan rahangatas dapat ditempelkan kelangitlangit.

Setiap screw dari maxillofacial set dapat digunakan sebagai lag screw. Arch

bar dapat ditempatkan dan intermaxillary fixation (IMF) dapat tercapai.

Gunning Splints juga telah digunakan pada kasus ini karena memberikan

fiksasi dan dapat diberikan asupan makanan. Pada kasus fraktur kominutif,

rekonstruksi mandibula mungkin diperlukan untuk mengembalikan posisi

anatomis dan fungsi. Pada sebuah penelitian menemukan bahwa 13,7% dari

gigi yang di ekstraksi pada garis fraktur mengalami komplikasi, sementara,

16,1% mengalami maloklusi dari gigi yang tetap pada garis fraktur. Beberapa

literatur lain menyatakan pemberian antibiotik yang adekuat pada gigi non

infeksius pada garis fraktur dapat dipertahankan. Setelah tinjauan literatur,

Shetty dan Freymiller membuat rekomendasi berikut mengenai gigi di garis

fraktur mandibular (Busuito, Freymiller E, 2006):

1) Gigi yang utuh dalam garisfraktur harus dibiarkan jika tidak menunjukkan

bukti melonggar atau terjadi proses inflamasi.

2) Gigi dengan akar retak harus dihilangkan.


b. Lakukan ekstraksi primer ketika ada kerusakan period ontal luas. Cara paling

sederhana yang paling mungkin untuk mengurangi maloklusi dan menangani

fraktur mandibula. Karena reduksi secara terbuka (open reduction)

meningkatkan resiko morbiditas, reduksi secara tertutup digunakan pada

kondisi – kondisi sebagai berikut:

1) Fraktur Non Displace

2) Fraktur kominutif yang sangat nyata

3) Edentulousfracture (menggunakan prostesis mandibula)

4) Fraktur pada anak dalam masa pertumbuhan gigi.

5) Frakturkoronoid dan frakturkondilar. Indikasi untuk reduksi secara terbuka:

a) Displaceyang tidak baik padaangulus, body, atau fraktur parasimfisis.

b) Fraktur multiple pada wajah.

c) FrakturCondylarBilateral.

d) Fraktur padaedentulousmandibula

2.1.10 Komplikasi

Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur mandibula

umumnya jarang terjadi. Komplikasi terjadi pasca ORIF adalah maloklusi,

malunion, infeksi atau osteomyelitis, yang nantinya dapat menyebabkan berbagai

kemungkinan komplikasi lainnya. Namun maloklusi merupakan komplikasi

paling sering terjadi (Thapliyal, 2007). Tulang mandibula merupakan daerah yang

paling sering mengalami gangguan penyembuhan fraktur baik itu malunion

ataupun non-union, hal ini akan memberi keluhan berupa rasa sakit dan tidak

nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang TMJ oleh karena
perubahan posisi dan ketidakstabilan antara sendi rahang kiri dankanan. Hal ini

tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot pengunyahan dan otot sekitar

wajah juga dapat memberikan respon nyeri (myofascial pain). Terlebih jika pasien

mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah dalam hubungan oklusi yang

tidak normal. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh pasien patah rahang

yang tidak dilakukan perbaikan atau penangnanan secara adekuat (Topcu, et

al.,2012).

Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik berhubungan dengan fraktur

mandibula dan berpotensi untuk menimbulkan terjadinya maloklusi pasca ORIF.

Faktor risiko yang paling besar adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang

baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang

tidak menguntungkan pada segmen fraktur. Maloklusi yang berat pada mandibula

akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan

fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan

osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibula (Vike D.

2012).

2.2 Asuhan Keperawatan Pasien Pasca Operasi

2.2.1. Pengkajian Pasca Operasi

Periode pasca operasi kemudian dimulai ketika klien tiba di kamar rumah

sakit atau unit perawatan pasca bedah. Karena perawat dapat mengantisipasi,

mencegah, atau meminimalkan banyak masalah pasca operasi, ia harus mendekati

perawatan klien secara sistematis. Penilaian selama periode ini meliputi fungsi

pernapasan; kondisi umum; tanda-tanda vital; fungsi kardiovaskular dan status


cairan; tingkat nyeri; eliminasi usus dan urin; dan dressing, tabung, saluran air,

dan jalur IV.

a. Pernafasan. Perawat fokus pada mempromosikan pertukaran gas dan

mencegah atelektasis. Hipoventilasi terkait dengan anestesi, posisi pasca

operasi, dan nyeri adalah masalah umum. Instruksi pra operasi dan pasca

operasi termasuk mengajarkan klien untuk bernafas dalam dan batuk, dan cara

membelat sayatan untuk meminimalkan rasa sakit. Klien yang menjalani

pembedahan perut atau dada memiliki kesulitan yang lebih besar untuk

mengambil napas dalam-dalam dan batuk. Beberapa klien membutuhkan

oksigen tambahan. Manajemen keperawatan untuk mencegah masalah

pernapasan pasca operasi termasuk mobilitas dini, perubahan posisi yang

sering, pernapasan dalam dan latihan batuk, dan penggunaan spirometer

insentif.

Cegukan (singultus) juga dapat mengganggu pernapasan. Mereka hasil

dari spasme diafragma intermiten dan dapat terjadi setelah operasi, terutama

operasi perut. Mereka mungkin ringan dan bertahan hanya beberapa menit.

Cegukan berkepanjangan tidak hanya tidak menyenangkan tetapi juga dapat

menyebabkan rasa sakit atau ketidaknyamanan. Mereka dapat menyebabkan luka

dehiscence atau pengeluaran isi, ketidakmampuan untuk makan, mual dan

muntah, kelelahan, dan ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-basa. Jika

cegukan berlanjut, perawat perlu memberi tahu dokter.

b. Sirkulasi. Perawat harus menilai TD klien dan status peredaran darah

sesering mungkin. Meskipun masalah dengan perdarahan pasca operasi

berkurang seiring waktu pemulihan, klien masih berisiko mengalami


perdarahan. Beberapa klien mengalami sinkop ketika bergerak ke posisi

tegak. Untuk mencegah hal ini (dan bahaya jatuh), perawat membantu klien

bergerak perlahan ke posisi berdiri atau berdiri.

Klien juga berisiko mengalami gangguan sirkulasi vena yang berkaitan

dengan imobilitas. Ketika klien berbaring diam dalam waktu lama tanpa

menggerakkan kaki, darah dapat mengalir lamban melalui vena (stasis vena).

Stasis vena merupakan predisposisi klien terhadap inflamasi vena dan

pembentukan bekuan darah di vena (tromboflebitis), atau pembentukan bekuan

darah dengan inflamasi minimal atau tidak ada (flebotrombosis). Kedua kondisi

ini paling umum di ekstremitas bawah. Jika gumpalan bergerak dalam aliran darah

(embolus), mungkin menghambat sirkulasi ke organ vital, seperti paru-paru, dan

menyebabkan gejala parah dan kemungkinan kematian.

Untuk mencegah stasis vena dan komplikasi sirkulasi lainnya, perawat

mendorong klien untuk sering menggerakkan kakinya dan melakukan latihan

kaki. Perawat juga tidak menempatkan bantal di bawah lutut atau betis klien

kecuali dipesan. Ia menghindari tekanan pada ekstremitas bawah klien,

menggunakan perban elastis atau stocking antiembolisme seperti yang

diperintahkan, mengatur klien seperti yang diperintahkan, dan mengelola heparin

subkutan dosis rendah setiap 12 jam seperti yang diperintahkan.

c. Manajemen Nyeri. Kebanyakan klien mengalami rasa sakit setelah operasi,

dan berbagai analgesik pasca operasi biasanya dipesan. Nyeri pasca operasi

mencapai puncaknya antara 12 dan 36 jam setelah operasi dan berkurang

secara signifikan setelah 48 jam. Nyeri menciptakan berbagai tingkat

kecemasan dan emosi. Jika disertai dengan rasa takut yang hebat, tingkat rasa
sakit dapat meningkat. Klien harus menerima penghilang rasa sakit dan

ketidaknyamanan. Ketika analgesia yang dikendalikan pasien (PCA)

digunakan, klien memberikan analgesik mereka sendiri. Perawat menilai efek

samping analgesik, waktu pengobatan dalam kaitannya dengan aktivitas lain,

efek tindakan kenyamanan lain, kontraindikasi, dan sumber rasa sakit.

Kebutuhan akan obat pereda nyeri tergantung pada jenis dan luasnya operasi,

dan klien. Nyeri yang tidak hilang dengan pengobatan dapat menandakan

komplikasi yang berkembang, yang menggarisbawahi perlunya penilaian

menyeluruh tentang penyebab dan jenis nyeri.

d. Cairan dan Nutrisi. Cairan IV biasanya diberikan setelah operasi. Lama

pemberian tergantung pada jenisnya operasi dan kemampuan klien untuk

mengambil cairan oral. Itu Perawat memonitor laju aliran cairan IV dan

menyesuaikannya sesuai kebutuhan. Ia juga menilai tanda-tanda kelebihan

atau kekurangan cairan dan memberi tahu dokter tentang tanda-tanda tersebut.

Banyak klien mengeluh haus pada awal pasca operasi periode pemulihan.

Karena anestesi memperlambat gerak peristaltik, menelan cairan sebelum

aktivitas usus dapat berlanjut mual dan muntah. Obat nyeri juga dapat

menyebabkan mual dan muntah. Pedoman Perawatan mencakup faktor-faktor

untuk dipertimbangkan sebelum melanjutkan cairan oral. Setelah peristaltik

kembali dan klien mentolerir cairan bening, perawat membantu klien untuk

meningkatkan diet asupan. Perkembangan diet (dari cairan bening menjadi

penuh, padat diet) sering tergantung pada jenis operasi, kemajuan klien, dan

preferensi dokter. Cairan IV biasanya dihentikan ketika klien dapat

mengambil cairan dan makanan oral, dan kebutuhan nutrisi terpenuhi


e. Integritas Kulit / Penyembuhan Luka. Sayatan bedah adalah luka atau

cedera integritas kulit. Awalnya klien mungkin memiliki luka atau tiriskan

insisional, yang merupakan tabung yang keluar dari daerah peri-insisional ke

dalam alat pembalut luka atau pengisap luka portabel. Ada tiga jenis alat luka:

Penrose, Jackson-Pratt, dan drainase Hemovac Saat menilai luka, perawat

memeriksa perkiraan tepi luka, keutuhan staples atau jahitan, kemerahan,

kehangatan, pembengkakan, nyeri tekan, perubahan warna , atau drainase. Ia

juga mencatat reaksi apa pun terhadap pita atau pembalut tersebut. Fase

pertama penyembuhan luka adalah tahap inflamasi, yaitu ketika gumpalan

darah terbentuk, terjadi pembengkakan, dan fagosit menelan puing-puing dari

jaringan yang rusak dan gumpalan darah. Fase ini berlangsung 1 hingga 4 hari.

Fase kedua adalah fase proliferatif, di mana kolagen diproduksi dan jaringan

granulasi terbentuk. Itu terjadi lebih dari 5 hingga 20 hari. Fase terakhir

disebut sebagai fase pematangan atau renovasi dan berlangsung dari 21 hari

hingga beberapa bulan dan bahkan 1 hingga 2 tahun. Selama fase ini, kekuatan

tarik luka meningkat melalui sintesis kolagen oleh fibroblas dan lisis oleh

enzim kolagenase.

Perawat harus berhati-hati ketika mengganti pembalut untuk menghindari

kerusakan jaringan baru serta menyebabkan klien merasa tidak nyaman.

Menggunakan salin normal untuk merendam pembungkus dan pembalut yang

menempel pada dasar luka dapat memudahkan pengangkatan.

Perawat secara ketat memonitor klien untuk tanda dan gejala infeksi luka, seperti

peningkatan nyeri insisional; kemerahan, bengkak, dan panas di sekitar sayatan;

drainase purulen; demam dan kedinginan; sakit kepala; dan anoreksia. Perawatan
infeksi luka termasuk antibiotik, perawatan luka, dan langkah-langkah untuk

mempromosikan penyembuhan seperti nutrisi yang cukup dan istirahat. Akun

infeksi situs bedah (SSI) untuk hampir 20% infeksi didapat di rumah sakit

(Daniels, 2007).

Komplikasi lain dari penyembuhan luka adalah dehiscence dan pengeluaran isi.

Dehiscence luka adalah pemisahan tepi luka tanpa tonjolan organ. Pengeluaran isi

terjadi ketika luka benar-benar terpisah dan organ menonjol. Komplikasi ini

kemungkinan besar terjadi dalam 7 hingga 10 hari setelah operasi.

f. Aktivitas. Jika memungkinkan, klien memulai aktivitas rawat jalan sesaat

setelah operasi. Faktor-faktor seperti toleransi nyeri, respons terhadap

analgesik, kondisi fisik umum, dan keinginan untuk berpartisipasi

memengaruhi kemampuan klien untuk aktif. Beberapa klien membutuhkan

dorongan. Perawat harus menekankan pentingnya meningkatkan aktivitas. Ia

membantu klien ke posisi duduk di samping tempat tidur. Jika klien menjadi

pusing lebih lama dari pada sesaat, perawat mengembalikan klien ke posisi

terlentang. Ketika klien bisa berdiri, perawat membantu dan mendukung klien.

Perawat terus membantu dengan ambulasi sampai klien dapat berjalan tanpa

bantuan. Beberapa klien mengalami kelelahan sedang hingga berat setelah

operasi. Untuk klien ini, perawat melakukan kegiatan seperti ambulasi dan

perawatan pribadi sepanjang hari.

Jika klien telah menerima anestesi regional, aktivitas awalnya mungkin

dibatasi. Pada awalnya, klien mengalami mati rasa dan perasaan berat di daerah

yang dianestesi. Meyakinkan klien bahwa mati rasa adalah tipikal dan akan

mereda segera mungkin diperlukan. Kecuali dipesan sebaliknya, klien yang telah
menerima anestesi spinal tetap rata selama 6 hingga 12 jam. Jika diizinkan,

perawat mengubah klien dari sisi ke sisi setidaknya setiap 2 jam. Ketika anestesi

memudar, klien mulai memiliki sensasi 'pin-dan-jarum' di bagian teranestesi dan

merasakan sakit di daerah operasi. Klien yang mengalami sakit kepala setelah

anestesi spinal mungkin harus tetap berbaring dalam waktu yang lama.

g. Eliminasi usus. Sembelit dapat berkembang setelah klien mulai mengambil

makanan padat. Penyebab sembelit ini termasuk tidak aktif, diet, dan analgesik

narkotika. Beberapa klien mungkin mengalami diare akibat diet, obat-obatan

seperti antibiotik, atau prosedur bedah. Perawat menyimpan catatan

pergerakan usus dan memberi tahu dokter tentang kedua masalah tersebut.

Distensi perut terjadi akibat akumulasi gas (flatus) di usus karena kegagalan

usus untuk mendorong gas melalui saluran usus oleh peristaltik.

h. Eliminasi Urin. Beberapa klien mengalami kesulitan berkemih setelah

operasi, khususnya operasi perut bagian bawah dan panggul. Trauma operatif

di daerah dekat kandung kemih dapat sementara mengurangi sensasi

berkemih. Ketakutan akan rasa sakit juga menyebabkan ketegangan dan

kesulitan berkemih. Jika klien memiliki kateter yang tinggal di dalam, perawat

sering memantau keluaran urin. Jika klien tidak memiliki kateter, perawat

menilai kemampuan klien untuk membatalkan dan mengukur output urin. Jika

klien tidak dapat membatalkan dalam waktu 8 jam setelah operasi, perawat

memberi tahu dokter kecuali ada perintah kateterisasi. Tanda dan gejala

distensi kandung kemih termasuk gelisah, sakit perut bagian bawah,

ketidaknyamanan atau distensi, dan asupan cairan tanpa keluaran urin.


i. Status Psikososial. Banyak klien mengalami kecemasan dan ketakutan

setelah operasi, serta ketidakmampuan untuk mengatasi perubahan citra tubuh,

gaya hidup, dan faktor lainnya. Perawat menilai apa yang dialami klien dan

bagaimana klien menangani masalah-masalah itu. Banyak klien memerlukan

rujukan untuk konseling, kelompok pendukung, dan layanan sosial. Perawat

bertindak sebagai pendengar yang efektif, mengidentifikasi bidang yang

menjadi perhatian, dan bekerja dengan profesional kesehatan lainnya untuk

membantu klien dan keluarga untuk mengatasi masalah. Karena obat

penenang memengaruhi memori untuk kejadian di sekitar administrasi

mereka, perawat harus meninjau instruksi pemulangan dengan orang dewasa

yang akan bertanggung jawab untuk klien setelah pemulangan. Ia

menginstruksikan klien untuk tidak minum minuman beralkohol untuk jangka

waktu tertentu setelah prosedur dan untuk melanjutkan obat resep dan

nonresep bila diperlukan. Perawat harus menginstruksikan klien tentang kapan

waktu yang tepat untuk mulai mengambil obat penghilang rasa sakit, karena

mereka mungkin memiliki efek aditif dengan obat penenang yang diberikan.

Untuk klien yang telah menjalani operasi rawat jalan, unit bedah

menggunakan kriteria hasil untuk menentukan apakah kondisi klien stabil dan

apakah ia dapat dengan aman meninggalkan rumah sakit atau pengaturan rawat

jalan. Kriteria ini termasuk klien :

 Memiliki fungsi kardiovaskular yang stabil dan jalan napas paten.

 Mudah terangsang.

 Memiliki refleks pelindung yang utuh.

 Bisa berbicara.
 Dapat duduk tanpa bantuan.

 Cukup terhidrasi

2.2.2. Diagnosis Keperawatan

Berdasarkan data penilaian, diagnosis keperawatan utama mungkin termasuk yang

berikut ini:

a. Risiko untuk pembersihan jalan napas yang tidak efektif terkait dengan

depresi fungsi pernapasan, nyeri, dan tirah baring

b. Nyeri akut yang terkait dengan sayatan bedah

c. Penurunan curah jantung terkait dengan syok atau perdarahan

d. Risiko intoleransi aktivitas terkait dengan generalisasi kelemahan sekunder

untuk operasi

e. Gangguan integritas kulit terkait dengan sayatan bedah dan saluran air

f. Termoregulasi yang tidak efektif terkait dengan lingkungan bedah dan agen

anestesi

g. Risiko gizi tidak seimbang, kurang dari kebutuhan tubuh terkait dengan

penurunan asupan dan peningkatan kebutuhan untuk nutrisi sekunder setelah

operasi

h. Risiko konstipasi terkait efek obat, operasi, perubahan pola makan, dan

imobilitas

i. Risiko retensi urin terkait dengan agen anestesi

j. Risiko cedera terkait dengan prosedur / posisi bedah atau agen anestesi

k. Kecemasan terkait dengan prosedur bedah


l. Risiko untuk manajemen rejimen terapi yang tidak efektif terkait dengan

perawatan luka, pembatasan diet, aktivitas rekomendasi, obat-obatan,

perawatan lanjutan, atau tanda dan gejala komplikasi.

2.2.3. Intervensi Keperawatan

1. Risiko untuk pembersihan jalan napas yang tidak efektif terkait

dengan depresi fungsi pernapasan, nyeri, dan tirah baring

Intervensi

 Kaji keadaan umum pasien

 Kaji TTV

 Manajemen jalan nafas

 Monitor pernapasan

 Beri O2

Rasional

 Untuk mengetahui keadaan pasien

 Untuk mengetahui RR pasien

 Untuk mengetaui masalah pernapasan pasien

 Supaya membantuk pasien dalam memenuhi O2

2. Nyeri akut yang terkait dengan sayatan bedah

Intervensi

 Kaji tingkat nyeri yang komprehensif : lokasi, durasi, karakteristik, frekuensi.

intensitas, factor pencetus sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan

 Monitor skala nyeri dan observasi tanda non verbal dari ketidaknyamanan

 Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum menjadi berat


 Kelola nyeri pasca operasi dengan pemberian analgesik tiap 4 jam, dan

monitor keefektifan tindakan mengontrol nyeri

 Kontrol faktor lingkungan yaag mempengaruhi respon klien terhadap

ketidaknyamanan : suhu ruangan, cahaya, kegaduhan.

 Ajarkan tehnik non farmakologiskepada klien dan keluarga : relaksasi,

distraksi, terapi musik, terapi bermain,terapi aktivitas, akupresur, kompres

panas/ dingin, masase. Imajinas terbimbing(guidedimagery),hipnosis

(hipnoterapy) dan pengaturan posisi.

 Informasikan kepada klien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri :

misal klien cemas, kurang tidur, posisi tidak rileks.

 Ajarkan pada klien dan keluarga tentang penggunaan analgetik dan efek

sampingnya

 Kolaborasi medis untuk pemberian analgetik, fisioterapis/ akupungturis.

3. Penurunan curah jantung terkait dengan syok atau perdarahan

Intervensi

 Kaji tekanan darah, sianosis,status pemafasan dan status mental

 Kaji toleransi aktivitas : mulainya nafas pendek, nyeri, palpitasi,

atau pusing

 Monitor denyut jantung, irama dan nadi Monitor efektifitas

pemberian O2

 Monitor status mental: gelisah, cemas

 Atur posisi tidur sesuai kondisi klien.

 Hindari Valsafa Manuver : mengejan, bersin, menahan bowel,

menahan bab/bak
 Jelaskan penggunaan, dosis, efek samping pengobatan kepada

klien dan keluarga.

 Berikan informasi meliputi pembatasan aktifitas, perubahan diet

kepada klien dan keluarga.

 Kolaborasi : medis (untuk pemberian antiaritmia, nitrogliserin,

vasodilator, anti koagulan, terapi cairan & oksigenasi), sosial

pastoral, ahli gizi.

 Risiko intoleransi aktivitas terkait dengan generalisasi

kelemahan sekunder untuk operasi

4. Resikon intoleransi aktivitas terkait dengan generalisasi kelemahan

sekunder untuk operasi

 Bantu klien melakukan ambulasi yang dapat ditoleransi.

 Rencanakan jadwal antara aktifitas dan istirahat.

 Bantu dengan aktifitas fisik teratur : misal: ambulasi, berubah

posisi, perawatan personalsesuai kebutuhan.

 Minimalkan anxietas dan stress. dan berikali istirahat yang

adekuat

 Kolaborasi dengan medis untuk pemberian terapi, sesuai indikasi


a. Mencegah Komplikasi Pernafasan

Efek depresi pernapasan dari obat-obatan opioid, penurunan ekspansi paru-

paru sekunder karena rasa sakit, dan penurunan mobilitas bergabung untuk

menempatkan pasien pada risiko komplikasi pernapasan yang umum, terutama

atelektasis (kolaps alveolar; ekspansi paru yang tidak sempurna), pneumonia, dan

hipoksemia (Rothrock, 2007 ). Atelektasis tetap menjadi risiko bagi pasien yang

tidak bergerak dengan baik atau ambulasi atau yang tidak melakukan latihan

pernapasan dalam dan batuk atau menggunakan spirometer insentif. Tanda dan

gejalanya meliputi penurunan bunyi napas di area yang terkena, radang, dan

batuk. Pneumonia ditandai oleh kedinginan dan demam, takikardia, dan takipnea.

Batuk mungkin ada atau tidak ada dan mungkin atau mungkin tidak produktif.

Kemacetan paru hipostatik, yang disebabkan oleh melemahnya sistem

kardiovaskular yang memungkinkan stagnasi sekresi di pangkalan paru, dapat

berkembang; kondisi ini paling sering terjadi pada pasien usia lanjut yang tidak

dimobilisasi secara efektif. Gejala-gejalanya seringkali tidak jelas, dengan

mungkin sedikit peningkatan suhu, denyut nadi, dan laju pernapasan, serta batuk.

Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya kusam dan kresek di dasar paru-paru. Jika

kondisi berlanjut, hasilnya mungkin berakibat fatal.

Jenis-jenis hipoksemia yang dapat mempengaruhi pasien pasca operasi

adalah subakut dan episodik. Hipoksemia subakut adalah tingkat saturasi oksigen

rendah yang konstan ketika pernapasan tampak normal. Hipoksemia episodik

terjadi secara tiba-tiba, dan pasien mungkin berisiko mengalami disfungsi

serebral, iskemia miokard, dan henti jantung. Risiko hipoksemia meningkat pada

pasien yang telah menjalani mayor pembedahan (terutama perut), mengalami


obesitas, atau memiliki masalah paru yang sudah ada sebelumnya. Hipoksemia

dideteksi oleh oksimetri nadi yang mengukur saturasi oksigen darah. Faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi keakuratan pembacaan oksimetri nadi termasuk

ekstremitas dingin, tremor, fibrilasi atrium, kuku akrilik, dan cat kuku hitam atau

biru (warna-warna ini mengganggu fungsi oksimeter pulsa; warna-warna lain

tidak).

Tindakan pencegahan dan pengenalan tanda dan gejala yang tepat waktu

membantu mencegah komplikasi paru. Kresek menunjukkan sekresi paru statis

yang perlu dimobilisasi dengan latihan batuk dan pernapasan dalam. Ketika

sumbat lendir menghalangi salah satu bronkus seluruhnya, jaringan paru di luar

sumbat runtuh, menghasilkan atelektasis.

Untuk membersihkan sekresi dan mencegah pneumonia, perawat

mendorong pasien untuk sering berbalik, menarik napas dalam-dalam, batuk, dan

menggunakan spirometer insentif setidaknya setiap 2 jam. Latihan paru ini harus

dimulai segera setelah pasien tiba di unit klinis dan berlanjut sampai pasien

dipulangkan. Bahkan jika dia tidak sepenuhnya terbangun dari anestesi, pasien

dapat diminta untuk mengambil napas dalam-dalam. Ini membantu mengeluarkan

agen anestesi residu, memobilisasi sekresi, dan mencegah atelektasis.

Pembedahan yang hati-hati pada tempat sayatan perut atau dada membantu pasien

mengatasi ketakutan bahwa aktivitas batuk akan membuka sayatan. Agen

analgesik diberikan untuk memungkinkan batuk yang lebih efektif, dan oksigen

diberikan sesuai resep untuk mencegah atau meredakan hipoksia. Untuk

mendorong ekspansi paru-paru, pasien didorong untuk menguap atau mengambil

inspirasi maksimal yang berkelanjutan untuk membuat intrathoracic negatif


tekanan 40 mm Hg dan memperluas volume paru ke kapasitas total. Terapi fisik

dada dapat diresepkan jika diindikasikan.

Batuk merupakan kontraindikasi pada pasien yang mengalami cedera kepala

atau yang telah menjalani operasi intrakranial (karena risiko peningkatan tekanan

intrakranial), serta pada pasien yang telah menjalani operasi mata (karena risiko

peningkatan tekanan intraokular) atau operasi plastik (karena risiko untuk

meningkatkan ketegangan pada jaringan halus).

Ambulasi dini meningkatkan metabolisme dan aerasi paru dan, secara

umum, meningkatkan semua fungsi tubuh. Pasien didorong untuk keluar dari

tempat tidur sesegera mungkin (yaitu, pada hari operasi, atau selambat-lambatnya

hari pertama pasca operasi). Praktik ini sangat berharga dalam mencegah

komplikasi paru pada pasien yang lebih tua.

b. Menghilangkan Rasa Sakit

Kebanyakan pasien mengalami rasa sakit setelah prosedur pembedahan.

Tidak adanya rasa sakit sama sekali di daerah sayatan bedah mungkin tidak terjadi

selama beberapa minggu, tergantung pada lokasi dan sifat operasi, tetapi intensitas

nyeri pasca operasi secara bertahap mereda pada hari-hari berikutnya. Sekitar

sepertiga dari pasien melaporkan nyeri parah, sepertiga nyeri sedang, dan

sepertiga sedikit atau tanpa rasa sakit. Ini tidak berarti bahwa pasien dalam

kelompok terakhir tidak merasakan sakit; sebaliknya, mereka muncul untuk

mengaktifkan mekanisme psikodinamik yang mengganggu registrasi rasa sakit

(teori “penutupan gerbang” dan penularan nosiseptif). Banyak faktor (motivasi,

afektif, kognitif, emosional, dan budaya) mempengaruhi pengalaman nyeri.


Tingkat dan keparahan nyeri pasca operasi dan toleransi pasien untuk

nyeri tergantung pada lokasi sayatan, sifat prosedur bedah, tingkat trauma bedah,

jenis anestesi, dan rute pemberian. Persiapan pra operasi yang diterima oleh

pasien (termasuk informasi tentang apa yang diharapkan, kepastian, dukungan

psikologis, dan pengajaran teknik komunikasi spesifik yang berhubungan dengan

nyeri) merupakan faktor signifikan dalam mengurangi kecemasan, ketakutan,

jumlah nyeri pasca operasi, dan PONV (Barash, et al., 2006).

Nyeri hebat merangsang respons stres, yang berdampak buruk pada

jantung dan sistem kekebalan tubuh. Ketika impuls nyeri ditransmisikan,

ketegangan otot dan vasokonstriksi lokal meningkat, selanjutnya merangsang

reseptor nyeri. Ini meningkatkan permintaan miokard dan konsumsi oksigen.

Respons stres hipotalamus juga menghasilkan peningkatan viskositas darah dan

agregasi trombosit, meningkatkan risiko trombosis dan emboli paru. Seringkali

dokter meresepkan obat atau dosis yang berbeda untuk mengatasi berbagai tingkat

rasa sakit. Perawat mendiskusikan opsi – opsi ini dengan pasien untuk

menentukan obat terbaik. Perawat menilai efektivitas obat secara berkala, mulai

30 menit setelah pemberian, atau lebih cepat jika obat tersebut diberikan oleh

analgesia yang dikendalikan pasien (PCA).

Anda mungkin juga menyukai