Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

FRAKTUR LE FORT

Pembimbing :
dr. Bayu Lesmono, SpTHT-KL

Disusun Oleh:
Dira Adhitiya Ningrum (1102014077)
Dyah Sri Anawati (1102014081)
M. Faisal Alvianto (1102013179)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG


TENGGOROK, KEPALA DAN LEHER (THT-KL)
RSPAD GATOT SOEBROTO
PERIODE 02 SEPTEMBER 2019 – 05 OKTOBER 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut Reksoprodjo, fraktur adalah suatu keadaan dimana tulang retak, pecah, atau
patah, baik tulang maupun tulang rawan. Bentuk dari patah tulang bisa hanya retakan saja,
sampai hancur berkeping-keping.(Bailey Rekso)

Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang
frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula. Fraktur maksilofasial lebih
sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang datngnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan.
Tujuan utama perawatan fraktur maksilofasial adalah rehabilitasi penderita secara maksimal
yaitu penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian fungsi okuler, fungsi pengunyah, fungsi
hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi
estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurang rasa sakit akibat adanya mobilitas segmen
tulang.

Wajah dapat dibagi menjadi tiga daerah (sub-unit), setiap daerah memiliki kegunaan
yang berbeda-beda. Sub-unit paling atas terdiri dari tulang frontal yang secara prinsip berfungsi
sebagai pelindung otak bagian lobus anterior tetapi juga sebagai pembentuk atap mata. Sub-
unit bagian tengah wajah memiliki struktur yang sangat berbeda, dengan ciri struktur dengan
integritas yang rendah dan disatukan oleh kerangka tulang yang terdiri dari pilar-pilar atau
penopang. Pilar-pilar ini disebut juga buttresses yang terdiri dari pilar frontonasal maksila pada
anteromedial, zigomatiko-maksila sebagai pilar lateral dan procesus pterigoid sebagai pilar
posterior. Sub-unit bagian bawah adalah mandibula. Bagian ini memilki struktur integritas
yang paling baiksebagai konsekuensi dari fungsinya dan berhubungan dengan perlekaan otot-
otot. Masalah yang paling spesifik pada fraktur mandibula dihubungkan dengan fraktur
midfasial adalah peranan mandibula untuk mengembalikan lebar wajah secara tepat.
Manson yang dikutip oleh Mahon dkk menggambarkan fraktur panfasial dengan
membagi daerah wajah menjadi dua bagian yang dibatasi oleh garis fraktur Le Fort I. Setengah
wajah bagian bawah dibagi menjadi dua bagian yaitu daerah oklusal yang terdiri dari prosesus
alveolaris maksila dan mandibula serta tulang palatum dan bagian bawah terdiri dari vertikal
ramus dan horisontal basal mandibula. Setengahwajah bagian atas terdiri dari tulang frontal
dan daerah midfasial.
Sutura palatina memiliki struktur yang sama dengan sutura daerah kranial. Pearsson dan
Thilendar menemukan bahwa sinostosis pada sutura palatina akan terjadi pada usia antara 15
dan 19 tahun, yang akan menyatukan segmen lateral palatal, sehingga jika terjadi trauma akan
menimbulkan fraktur para sagital yang merupakan daerah tulang yang tipis. Seperti yang
dikemukakan oleh Manson bahwa fraktur sagital lebih sering terjadi pada individu yang lebih
mugah sedangkan fraktur para sagital lebih sering terjadi pada orang dewasa.
Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami gangguan
penyembuhan fraktur baik itu malunion ataupun ununion. Ada beberapa faktor risiko yang
secara specifik berhubungan dengan fraktur mandibula dan berpotensi untuk menimbulkan
terjadinyamalunion ataupun non-union. Faktor risiko yang paling bedar adalah infeksi,
kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda
asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada
mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan fungsi.
Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan osteotomi secara tepat
untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibula.
Terjadinya gangguan bentuk lengkukng pada fraktur mandibula seringkali merupakan
akibat dari reduksi yang kurang adekuat. Kegagalan pada penyusunan kembali bentuk
lengkung secara anatomis akan menimbulkan keadaan prematur kontak dan gangguan fungsi
pengunyahan. Kurang tepatnya aposisi segmen fraktur ini merupakan akibat dari perawatan
yang terlambat ataupun fraktur yang tidak dilakukan perawatan. Pada beberapa kasus untuk
untuk membantu reduksi fraktur dilakukan pembuatan model studi pra-operasi dan juga
pembuatan model studi bedah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kepala


a. Cranium
1) Aspek Anterior
Pada aspek tengkorak dapat dikenali os frontale dan kedua os zygomaticum,
kedua orbita, daerah hidung, maxilla, dan mandibula. Os frontale membentuk
kerangka dahi yang ke inferior berhubungan dengan os nasale dan os. zygomaticum.
titik temu antara os frontale dan kedua os nasale dikenal sebagai nasion.
Pada margo supra orbitalis ossis frontalis terdapat sebuah foramen supra
orbitale. Dalam kedua orbita terdapat fissure orbitalis superior, Fissura orbitalis
Inferior, dan Canalis Opticus. Di sebelah bawah masing-masing orbita terdapat
sebuah foramen infra orbitale pada maxilla. kedua os zygomaticum membentuk
tonjolan-tonjolan pipi.
Di sebelah bawah dari os nasale terdapat aperture piriformis (nasalis anterior)
yang jorong. Melalui lubang ini dapat diamati sekat hidung berupa tulang yang
membagi rongga hidung menjadi bagian kanan dan kiri. Pada dinding lateral
masing-masing bagian rongga hidung terdapat lempeng-lempeng tulang yang
lengkung, yaitu concha nasalis.
Rahang atas dibentuk oleh kedua maxilla yang bersatu; processus alveolaris
tulang-tulang ini membentuk tulang penunjang bagi gigi maksilar.
Processus Alveolaris mandibula menyediakan tempat bagi gigi-gigi
mandibular.Protuberentia mentalis adalah sebuah lempeng berbentuk segitiga yang
meninggi dibagian symphisis mandibula, daerah persatuan kedua belah tulang fetal.
2) Aspek lateral
Aspek lateral tengkorak terdiri dari tulang-tulang cranium dan tulang-tulang
wajah. Fossa temporalis dibatasi ke atas dan ke belakang oleh linea temporalis
superior et inferior os parietale, ke depan oleh os frontale dan os zygomaticum, dan
kebawah oleh arcus zygomaticus. Arcus zygomaticus dibentuk melalui persatuan
prosesus temporalis os temporalis. Mandibula terdiri dari dua bagian : bagian
Horizontal yakni corpus mandibula dan bagian vertical yakni ramus mandibulae.
3) Aspek Posterior
Aspek posterior dibentuk oleh Os. Occipital, bagian kedua os parietale, dan
bagian mastoidal kedua os temporal.
4) Aspek Superior
Keempat tulang yang membentuk tengkorak bersatu membentuk calvaria
yaitu: Os frontal disebelah anterior, Kedua os parietal disebelah lateral kiri dan
kanan, dan os occipital dibagian posterior.
Sutura Coronalis memisahkan os frontale dari os parietale. Sutura sagitalis
memisahkan kedua tulang ubun-ubun sutura lambdoidea memisahkan os parietale
dan os temporal dari os occipital.
5) Aspek Inferior
Aspek Inferior setelah mandibula diangkat, memperlihatkan processus
palatines maxilla dan os palatinum, os sphenoidale, vomer, os temporal dan os
Occipitale.

b. Otot – Otot Wajah


Otot wajah menggerakkan kulit dan mengubah ekspresi wajah sesuai dengan
suasana hati. Otot-otot wajah utama yaitu:
(1) M. Orbicularis oculi : menutup kelopak mata
(2) M. Nasalis : menarik sayap (sisi) hidung ke arah septum nasi
(3) M. Orbicularis Oris : merapatkan bibir
(4) M. Levator labii superioris : mengangkat bibir, melebarkan cuping hidung
(5) Platysma : menarik mandibula ke bawah dan menegangkan kulit wajah bawah dan
leher
(6) M.Mentalis : mengangkat bibir bawah
(7) M. Bucinator : menekan pipi pada gigi geraham, membantu untuk mengunyah.
Semua otot wajah di inervasi secara motoris oleh Nervus facialis (Nervus cranialis
VII).
c. Inervasi
Saraf sensoris utama untuk wajah berasal dari Nervus Trigeminus (N.V). Nervus
ophtalmicus (N.V1) menginervasi daerah mata, N. Maxillaris (N.V2) menginervasi
daerah maxilla, sedangkan N.Mandibularis (N.V3) menginervasi daerah mandibulla.
d. Vaskularisasi
Arteri facialis adalah pemasok darah arterial utama untuk wajah. A. facialis merupakan
cabang dari A.carotis externa. distribusi A.facialis adalah untuk vaskularisasi otot-otot
untuk ekspresi wajah dan otot wajah.
Arteri facialis kemudian akan bercabang membentuk A. labialis superior et inferior, A.
nasalis lateralis, dan A. Angularis.
2.2. Fraktur Le Fort
a. Definisi Fraktur Le Fort
Fraktur Le Fort (LeFort Fractures) merupakan tipe fraktur tulang-tulang wajah
yang klasik terjadi pada trauma-trauma di wajah. Fraktur Le Fort diambil dari nama
seorang ahli bedah Perancis René Le Fort (1869-1951) yang mendeskripsikannya
pertama kali di awal abad 20. Braun Stein melaporkan di USA kasus trauma kepala
dan wajah terjadi kira-kira 72, 1 %. Trauma wajah meliputi : trauma pada soft tissue,
organ – organ khusus dan tulang – tulang. Hal ini merupakan suatu kegawat daruratan
yang memerlukan tindakan emergency karena dapat menyebabkan sumbatan jalan
nafas, cedera otak berat, dan mungkin fraktur vertebra cervikalis. Tujuan awal terapi
adalah membebaskan jalan nafas.
Pada Fraktur Le Fort dua dan tiga terjadi pergerakan tulang bagian wajah ke
bawah, bagian kranium bagian depan membentuk bidang miring sehingga
menyebabkan perdarahan atau memperpanjang wajah, mendorong molar atas ke
bagian bawah, mendorong molar palatum mole ke arah lidah hal ini menyebabkan
obstruksi.
Fraktur pada sepertiga tengah wajah pasien mempunyai gambaran yang tidak
menguntungkan karena dapat menyebabkan:
1) Sering terjadi fraktur multipel berbentuk fragmen 50 atau lebih.
2) Cedera pada saraf cranial yaitu pada: saraf gigi infraorbital dan superior.
3) Ethmoid, mungkin terjadi fraktur atau duramater robek yang menyebabkan
rhinorrhea
4) Orbita, mungkin terjadi fraktur orbital blow out syndrome
5) Sirkulasi pada mata terganggu sehingga menyebabkan opthalmic canal syndrome.
6) Sinus maksilaris mungkin penuh dengan darah.
7) Duktus nasolakrimalis mungkin cedera
Gambar 1. Fraktur Le Fort

b. Klasifikasi
Fraktur Le Fort dibagi atas 3, yaitu :
1) Fraktur Le Fort 1
Pada Fraktur Le Fort I, garis fraktur dalam jenis fraktur transverses rahang atas melalui
lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas dasar sinus maksilaris, dan meluas ke posterior
yang melibatkan pterygoid plate. Garis Fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian
bawah sampai dengan bawah rongga hidung. Fraktur ini memungkinkan maksila dan
palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang
terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur “guerin”. (Budiharja,
Bauman, Fraioli)
Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari anteroposterior bawah
dapat mengenai: (Soepardi)
a) Nasomaksila dan zigomatikomaksiala vertical buttress
b) Bagian bawah lamina pterigoid
c) Anterolateral maksila
d) Palatum durum
e) Dasar hidung
f) Septum nasi
g) Apertura piriformis
Gerakan tidak nomal akibat fraktur ini dpaat dirasakan dengan menggerakkan
dengan jari pada saat pemeriksaan palpasi. Garis fraktur yang mengarahke vertikal,
yang biasanya terdaat pada garis tengah,membagi muka menjadi dua bagian (palatal
split). (Soepardi)
Gambar 2. Le Fort 1

Tanda dan gejala Le Fort I:


(a) Mobilitas seluruh segmen bantalan gigi rahang atas
(b) Oklusi terganggu
(c) Teraba krepitasi di sulkus bukal atas
(d) Suara “Cracked pot” pada perkusi gigi atas
(e) Hematoma intra-oral lebih dari akar zygoma
(f) Hematoma di palatum
(g) Fraktur di puncak tulang gigi pipi
(h) Memar pada bibir atas dan bagian bawah midface

2) Fraktur Le Fort II
Pada tipe dua terdapat ketidakstabilan setinggi os. Nasal. Garis fraktur melalui
tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan
menyeberang ke bagian atas dari sinus maksilaris juga ke arah lamina pterigoid
sampai ke fossa pterigo palatine. Disebut juga fraktur “pyramid”. Fraktur ini dapat
merusak system lakrimalis, karena sangat mudah digerakkan maka disebut juga
fraktur ini sebagai “floating maxilla (maksila yang melayang)”. (Soepradi)
Tanda dan gejala Le Fort II:
(a) Maksila dapat digerakkan
(b) Tersedak pada gigi posterior
(c) Gigitan terbuka depan
(d) Hematoma/ekimosis periorbital
(e) Hidung bersatu atau terpisah
(f) Mata - diplopia, perdarahan subkonjungtiva
(g) Kerusakan saraf infra-orbital

Gambar 3. Le Fort II

3) Fraktur Le Fort III


Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang
memisahkan secara lengkap antara tulang dan tulang kranial. (Soepardi) Garis Fraktur
melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melalui fissure
orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatikum
frontal dan sutura temporo-zigomatikum. Merupakan fraktur yang memisahkan secara
lengkap sutura tulang dan tulang cranial. Fraktur ini biasanya bersifat kominutif yang
disebut kelainan dishface. Komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur ini adalah
keluarnya cairan otak melalui atap ethmoid dan lamina cribiformis.(Soepardi)

Gambar 4. Fraktur Le Fort III


Tanda dan gejala Le Fort III: (Ebenezer)
(a) Sepertiga tengah wajah dapat digerakkan
(b) Tersedak pada gigi posterior
(c) Gigitan terbuka depan
(d) Hematoma/ekimosis periorbital
(e) Hidung bersatu atau terpisah
(f) Mata - diplopia, perdarahan subkonjungtiva
(g) Kerusakan saraf infra-orbital
(h) Pemisahan pada sutura frontozigomatika
(i) CSF Rhinorrhea

2.3. Diagnosis dan Gambaran Klinis


Mobilitas dan maloklusi merupakan hallmark adanya fraktur maksila. Namun,
kurang dari 10 % fraktor Le Fort dapat terjadi tanpa mobilitas maksila. Gangguan
oklusal biasanya bersifat subtle, ekimosis kelopak mata bilateral biasanya merupakan
satu-satunya temuan fisik. Hal ini dapat terjadi pada Le Fort II dan III dimana disrupsi
periosteum tidak cukup untuk menimbulkan mobilitas maksila.
Anamnesis. Jika memungkinkan, riwayat cedera seharusnya didapatkan sebelum
pasien tiba di departemen emergency. Pengetahuan tentang mekanisme cedera
memungkinkan dokter untuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera primer. Waktu
diantara cedera atau penemuan korban dan inisiasi treatment merupakan informasi yang
amat berharga yang mempengaruhi resusitasi pasien.
Tanda-tanda patah pada tulang rahang meliputi :
a. Dislokasi, berupa perubahan posisi rahang yg menyebabkan maloklusi atau tidak
berkontaknya rahang bawah dan rahang atas
b. Pergerakan rahang yang abnormal, dapat terlihat bila penderita menggerakkan
rahangnya atau pada saat dilakukan
c. Rasa sakit pada saat rahang digerakkan
d. Pembengkakan pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur.
e. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang yang
fraktur bila rahang digerakkan
f. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
g. Discolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
h. Disability, terjadi gangguan fungsional berupa penyempitan pembukaan mulut.
i. Hipersalivasi dan Halitosis, akibat berkurangnya pergerakan normal mandibula dapat
terjadi stagnasi makanan dan hilangnya efek “self cleansing” karena gangguan fungsi
pengunyahan.
j. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah nervus
alveolaris.
k. Inspeksi. Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema, dan
hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan belakang
mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada pergigian posterior.
l. Palpasi. Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura
zygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior.
m. Manipulasi Digital. Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang
dengan kuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan keempat jari lainnya,
sedangkan tangan yang satunya menjaga agar kepala pasien tidak bergerak. Jika
maksila digerakkan maka akan terdengar suara krepitasi jika terjadi fraktur.
n. Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea. Cairan serebrospinal dapat mengalami
kebocoran dari fossa kranial tengah atau anterior (pneumochepalus) yang dapat dilihat
pada kanal hidung ataupun telinga. Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior
biasanya terjadi pada cedera yang parah. Hal tersebut dapat dilihat melalui
pemeriksaaan fisik dan radiografi.
o. Maloklusi Gigi. Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuat
ke arah fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama pola oklusal gigi
sebelumnya akan membantu diagnosis dengan tanda maloklusi ini. Pada Le Fort III
pola oklusal gigi masih dipertahankan, namun jika maksila berotasi dan bergeser
secara signifikan ke belakang dan bawah akan terjadi maloklusi komplit dengan
kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain.
Fraktur pada sepertiga tengah wajah pasien mempunyai gambaran yang tidak
menguntungkan karena dapat menyebabkan:
a. Sering terjadi fraktur multipel berbentuk fragmen 50 atau lebih.
b. Cedera pada saraf cranial yaitu pada: saraf gigi infraorbital dan superior.
c. Ethmoid, mungkin terjadi fraktur atau duramater robek yang menyebabkan rhinorrhea
d. Orbita, mungkin terjadi fraktur orbital blow out syndrome
e. Sirkulasi pada mata terganggu sehingga menyebabkan opthalmic canal syndrome.
f. Sinus maksilaris mungkin penuh dengan darah.
g. Duktus nasolakrimalis mungkin cedera
2.5 Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan Radiologi, pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara klinis,
pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan radiologi
dapat berupa foto polos, namun CT scan merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostik.
Teknik yang dipakai pada foto polos diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan
lateral view.
Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin akan
kita dapat dari foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus maksila,
pemisahan pada rima orbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan daerah nasofrontal.
Dari film lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng pterigoid. Diantara pemeriksaan CT
scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur maksila adalah dari potongan aksial.
Namun potongan koronal pun dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan
cukup baik. Adanya cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan kecurigaan adanya
fraktur maksila.
Dibawah ini merupakan foto CT scan koronal yang menunjukkan fraktur Le Fort
I,II, dan III bilateral. Dimana terjadi fraktur pada buttress maksilari medial dan lateral di
superior maupun inferior (perpotongan antara panah hitam dan putih). Perlu dilakukan foto
CT scan aksial untuk mengkonfirmasi diagnosis dengan mengamati adanya fraktur pada
zygomatic arch dan buttress pterigomaksilari.

Gambar 6. CT Scan Koronal


Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur maksila, membuat
klasifikasi ini cukup sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan tugas dalam
mengklasifikasikan fraktur maksila, terdapat tiga langkah yang bisa diterapkan.
Pertama, selalu memperhatikan prosesus pterigoid terutama pada foto CT scan
potongan koronal. Fraktur pada prosesus pterigoid hampir selalu mengindikasikan bahwa
fraktur maksila tersebut merupakan salah satu dari tiga fraktur Le Fort. Untuk terjadinya
fraktur Le Fort, prosesus pterigoid haruslah mengalami disrupsi.
Kedua, untuk mengklasifikasikan fraktur tipe Le Fort, perhatikan tiga struktur tulang
yang unik untuk masing-masing tipe yaitu; margin anterolateral nasal fossa untuk Le Fort
I, rima orbita inferior untuk Le Fort II, dan zygomatic arch untuk Le Fort III. Jika salah
satu dari tulang ini masih utuh, maka tipe Le Fort dimana fraktur pada tulang tersebut
merupakan ciri khasnya, dapat dieksklusi. Ke-tiga, jika salah satu tipe fraktur sudah
dicurigai akibat patahnya komponen unik tipe tersebut, maka selanjutnya lakukan
konfirmasi dengan cara mengidentifikasi fraktur-fraktur komponen tulang lainnya yang
seharusnya juga terjadi pada tipe itu.
Skema di bawah ini menunjukkan komponen unik untuk masing-masing tipe Le
Fort. Pada Le Fort I, margin anterolateral nasal fossa (tanda panah) mengalami fraktur,
struktur ini tetap utuh pada Le Fort II dan III. Sedangkan pada Le Fort II, rima orbita
inferior (tanda panah) yang mengalami fraktur, tapi utuh pada Le Fort I dan III. Pada Le
Fort III, yang mengalami fraktur adalah zygomatic arch (tanda panah) namun utuh pada
Le Fort I dan II.

Gambar 7. Komponen Unik Masing-Masing Tipe Le Fort

.2.2.3. Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologi Fraktur Le Fort meliputi Foto Polos Cranium 3 posisi : AP, Lateral
Fraktur Le fort II

Fraktur Le Fort II posisi AP


DAFTAR PUSTAKA
Bailey H. Ilmu bedah gawat darurat Ed. II. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992.

Reksoprodjo S. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: Binarupa Aksara, 1995.

Budiharja AS, Rahmat M. Trauma oral dan maksilofasial. Juwono L: Editor. Jakarta: EGC, 2011: p.33-
171.

Baumann A, Troulis MJ, Kaban LB. Facial traumaII : dentoalveolar injuries and mandibular fractures.
In: Kaban LB, Troulis MJ, Pediatric oral and maxillofacial surgery. USA: Elsevier Science, 2004 : p.446.

Fraioli Rebecca E. Facial Fractures: Beyond Le Fort. Otolaryngol Clin N Am. 2008; 41:51-76.
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DW. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017.h.181-5.

Ebenezer, et al. 2014. Management of Lefort Fractures. Biomedical & Pharmacoogy Journal : 7(1).

Anda mungkin juga menyukai