FRAKTUR LE FORT
Pembimbing :
dr. Bayu Lesmono, SpTHT-KL
Disusun Oleh:
Dira Adhitiya Ningrum (1102014077)
Dyah Sri Anawati (1102014081)
M. Faisal Alvianto (1102013179)
Menurut Reksoprodjo, fraktur adalah suatu keadaan dimana tulang retak, pecah, atau
patah, baik tulang maupun tulang rawan. Bentuk dari patah tulang bisa hanya retakan saja,
sampai hancur berkeping-keping.(Bailey Rekso)
Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang
frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula. Fraktur maksilofasial lebih
sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang datngnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan.
Tujuan utama perawatan fraktur maksilofasial adalah rehabilitasi penderita secara maksimal
yaitu penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian fungsi okuler, fungsi pengunyah, fungsi
hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi
estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurang rasa sakit akibat adanya mobilitas segmen
tulang.
Wajah dapat dibagi menjadi tiga daerah (sub-unit), setiap daerah memiliki kegunaan
yang berbeda-beda. Sub-unit paling atas terdiri dari tulang frontal yang secara prinsip berfungsi
sebagai pelindung otak bagian lobus anterior tetapi juga sebagai pembentuk atap mata. Sub-
unit bagian tengah wajah memiliki struktur yang sangat berbeda, dengan ciri struktur dengan
integritas yang rendah dan disatukan oleh kerangka tulang yang terdiri dari pilar-pilar atau
penopang. Pilar-pilar ini disebut juga buttresses yang terdiri dari pilar frontonasal maksila pada
anteromedial, zigomatiko-maksila sebagai pilar lateral dan procesus pterigoid sebagai pilar
posterior. Sub-unit bagian bawah adalah mandibula. Bagian ini memilki struktur integritas
yang paling baiksebagai konsekuensi dari fungsinya dan berhubungan dengan perlekaan otot-
otot. Masalah yang paling spesifik pada fraktur mandibula dihubungkan dengan fraktur
midfasial adalah peranan mandibula untuk mengembalikan lebar wajah secara tepat.
Manson yang dikutip oleh Mahon dkk menggambarkan fraktur panfasial dengan
membagi daerah wajah menjadi dua bagian yang dibatasi oleh garis fraktur Le Fort I. Setengah
wajah bagian bawah dibagi menjadi dua bagian yaitu daerah oklusal yang terdiri dari prosesus
alveolaris maksila dan mandibula serta tulang palatum dan bagian bawah terdiri dari vertikal
ramus dan horisontal basal mandibula. Setengahwajah bagian atas terdiri dari tulang frontal
dan daerah midfasial.
Sutura palatina memiliki struktur yang sama dengan sutura daerah kranial. Pearsson dan
Thilendar menemukan bahwa sinostosis pada sutura palatina akan terjadi pada usia antara 15
dan 19 tahun, yang akan menyatukan segmen lateral palatal, sehingga jika terjadi trauma akan
menimbulkan fraktur para sagital yang merupakan daerah tulang yang tipis. Seperti yang
dikemukakan oleh Manson bahwa fraktur sagital lebih sering terjadi pada individu yang lebih
mugah sedangkan fraktur para sagital lebih sering terjadi pada orang dewasa.
Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami gangguan
penyembuhan fraktur baik itu malunion ataupun ununion. Ada beberapa faktor risiko yang
secara specifik berhubungan dengan fraktur mandibula dan berpotensi untuk menimbulkan
terjadinyamalunion ataupun non-union. Faktor risiko yang paling bedar adalah infeksi,
kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda
asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada
mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan fungsi.
Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan osteotomi secara tepat
untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibula.
Terjadinya gangguan bentuk lengkukng pada fraktur mandibula seringkali merupakan
akibat dari reduksi yang kurang adekuat. Kegagalan pada penyusunan kembali bentuk
lengkung secara anatomis akan menimbulkan keadaan prematur kontak dan gangguan fungsi
pengunyahan. Kurang tepatnya aposisi segmen fraktur ini merupakan akibat dari perawatan
yang terlambat ataupun fraktur yang tidak dilakukan perawatan. Pada beberapa kasus untuk
untuk membantu reduksi fraktur dilakukan pembuatan model studi pra-operasi dan juga
pembuatan model studi bedah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Klasifikasi
Fraktur Le Fort dibagi atas 3, yaitu :
1) Fraktur Le Fort 1
Pada Fraktur Le Fort I, garis fraktur dalam jenis fraktur transverses rahang atas melalui
lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas dasar sinus maksilaris, dan meluas ke posterior
yang melibatkan pterygoid plate. Garis Fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian
bawah sampai dengan bawah rongga hidung. Fraktur ini memungkinkan maksila dan
palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang
terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur “guerin”. (Budiharja,
Bauman, Fraioli)
Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari anteroposterior bawah
dapat mengenai: (Soepardi)
a) Nasomaksila dan zigomatikomaksiala vertical buttress
b) Bagian bawah lamina pterigoid
c) Anterolateral maksila
d) Palatum durum
e) Dasar hidung
f) Septum nasi
g) Apertura piriformis
Gerakan tidak nomal akibat fraktur ini dpaat dirasakan dengan menggerakkan
dengan jari pada saat pemeriksaan palpasi. Garis fraktur yang mengarahke vertikal,
yang biasanya terdaat pada garis tengah,membagi muka menjadi dua bagian (palatal
split). (Soepardi)
Gambar 2. Le Fort 1
2) Fraktur Le Fort II
Pada tipe dua terdapat ketidakstabilan setinggi os. Nasal. Garis fraktur melalui
tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan
menyeberang ke bagian atas dari sinus maksilaris juga ke arah lamina pterigoid
sampai ke fossa pterigo palatine. Disebut juga fraktur “pyramid”. Fraktur ini dapat
merusak system lakrimalis, karena sangat mudah digerakkan maka disebut juga
fraktur ini sebagai “floating maxilla (maksila yang melayang)”. (Soepradi)
Tanda dan gejala Le Fort II:
(a) Maksila dapat digerakkan
(b) Tersedak pada gigi posterior
(c) Gigitan terbuka depan
(d) Hematoma/ekimosis periorbital
(e) Hidung bersatu atau terpisah
(f) Mata - diplopia, perdarahan subkonjungtiva
(g) Kerusakan saraf infra-orbital
Gambar 3. Le Fort II
Budiharja AS, Rahmat M. Trauma oral dan maksilofasial. Juwono L: Editor. Jakarta: EGC, 2011: p.33-
171.
Baumann A, Troulis MJ, Kaban LB. Facial traumaII : dentoalveolar injuries and mandibular fractures.
In: Kaban LB, Troulis MJ, Pediatric oral and maxillofacial surgery. USA: Elsevier Science, 2004 : p.446.
Fraioli Rebecca E. Facial Fractures: Beyond Le Fort. Otolaryngol Clin N Am. 2008; 41:51-76.
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DW. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017.h.181-5.
Ebenezer, et al. 2014. Management of Lefort Fractures. Biomedical & Pharmacoogy Journal : 7(1).