Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
Ginjal merupakan salah satu organ vital manusia untuk keberlangsungan proses
metabolisme tubu. Ginjal pula yang mengatur keseimbangan cairan di dalam tubuh. Gagal
ginjal kronik (GGK) atau End Stage Renal Disease (ESRD) merupakan peurunan fungsi
ginjal yang kronik. Untuk membantu mempertahankan dan membantu fungsinya, diperlukan
alat yang di sebut hemodialisa. Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi
pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari
peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat,
dan zat-zat lain melalui membran semi permeable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat
pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi. Pasien dengan
hemodialisa mendapatkan kualitas hidup yang cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang adalah selama 14 tahuun.1
Agar prosedur hemodialisis dapat berlangsung, sebelumnya perlu dibuatkan akses
untuk keluar dan masuknya darah dari tubuh, berdasarkan tipe, lokasi, dan akses vaskular
yang bertahan lama. Akses untuk hemodialisis dapat bersifat sementara dan dapat pula
permanen. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah dibuatkan fistula
(benjolan).Terdapat shunt (aliran) darah arteri ke vena sehingga vena akan membesar dan
mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini disebut juga fistula cimino. Dengan cara ini, pasien
dapat bertahan bertahun-tahun dan komplikasinya hampir tidak ada.1,2
Angka kejadian ESRD di Indonesia sekitar 0,4 %, sehingga dibutuhkan yang terapi
adekuat. Selain dengan obat farmakologi, bisa dilakukan hemodialisa yang saat ini memiliki
angka keberhasilan yang tinggi. Hemodialisa tidak terlepas dengan tindakan bedah untuk
mencari Acces Vascular, guna memberikan acces ke ginjal. Hal inilah yang melatarbelakangi
penulis untuk referat ini. Mengingat RSUP Fatmawati merupakan salah satu RS rujukan di
Jakarta. Sehingga perlu untuk melakukan tindakan yang optimal 9.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Fungsi ginjal manusia yang telah rusak karena penyakit atau trauma dapat dibantu
dengan perawatan menggunakan ginjal buatan. Apabila fungsi ginjal sudah sangat menurun
(lebih dari 90 persen) sehingga tidak lagi mampu untuk menjaga kelangsungan hidup
individu, maka perlu dilakukan terapi pengganti ginjal, yaitu salah satunya dengan dialisis.2,3
Dialisis adalah metode terapi yang bertujuan untuk menggantikan fungsi/kerja ginjal,
yaitu membuang zat-zat sisa dan kelebihan cairan dari tubuh. Hemodialisa merupakan salah
satu cara dari dialisis.
Hemodialisis (HD) adalah dialisis dengan menggunakan mesin dialiser yang
berfungsi sebagai "ginjal buatan". Pada HD, darah dipompa keluar dari tubuh, masuk ke
dalam mesin dialiser. Di dalam mesin dialiser, darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui
proses difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu cairan khusus untuk dialisis), lalu dialirkan
kembali ke dalam tubuh. Proses HD dilakukan 1-3 kali seminggu di rumah sakit dan setiap
kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam.2
Mesin hemodialisis (hemo berarti darah) menghilangkan kotoran dari aliran darah dan
mengatur cairan tubuh serta keseimbangan kimia dalam darah. Sebuah perangkat akses
pembuluh darah menghubungkan aliran darah pasien, atau sirkulasi darah ke mesin. Darah
mengalir dari pasien ke mesin, dibersihkan, dan dikembalikan. Perangkat akses sementara
adalah tabung plastik (kateter) yang dimasukkan langsung ke pembuluh darah besar.
Perangkat akses yang lebih permanen diperoleh dengan cara membuat koneksi aliran yang
tinggi antara arteri dan vena, biasanya di lengan pasien, yang dapat dihubungkan dengan
cepat dan mudah ke mesin dialisis.
Sirkulasi terdiri dari sebuah pompa (jantung), dan pembuluh darah. Arteri membawa
darah dari jantung ke jaringan-jaringan dengan tekanan tinggi; vena mengembalikan darah ke
jantung dengan tekanan rendah. Aliran pada arteri dan vena ginjal biasanya dapat mencapai
(satu perempat) dari output jantung, kira-kira satu liter per menit. Demikian pula dengan
mesin dialisis yang membutuhkan aliran darah tinggi (setidaknya satu sepertiga sampai
setengah liter per menit) untuk menggantikan fungsi ginjal.3
Hemodialisa pada gagal ginjal akut dan kronik di indikasikan bagi:4
1. Hiperkalemia (>6meq/L)
2. Fluid overload
2

3. Worsening asidosis akibat kegagalan ginjal dalam ekskresi hidrogen dan resorbdi
karbonat
4. Drug overdose
5. Uremic sign and symtoms
2.1. Akses Vaskular untuk Dialisis
The Kidney Dialysis Outcome Quality Initiative (DOQI) merekomendasikan
tatalakasana manajemen penatalaksanaan akses vaskular berupa AV Shunt pada tahun 1997.
Hal ini melibatkan berbagai disiplin ilmu antara lain ahli nefrologi, ahli bedah, dan ahli
radiologi intervensi.
Operasi A-V shunt dilakukan secara side to side anastomosis atau side to
endanastomosis atau end to end anastomosis antara arteri radialis dan vena cephalica pada
lengan non dominan terlebih dahulu. Operasi dilakukan pada lokasi paling distal sehingga
memungkinkan dilakukan operasi lebih proksimal jika gagal. Dapat dilakukan pada
ekstremitas bawah jika operasi gagal atau tidak dapat dilakukan pada ekstremitas atas.
Prosedur dari akses hemodialisa ini merupakan prosedur operasi vaskular yang umum
di Amerika Serikat. Sejak tahun 1972 telah ada sekuritas sosial yang menjamin prosedur ini
bagi pasien dengan end stage renal disease dan harus menjalani proses hemodialisa.
Akses hemodialisa atau pembuatan arteri vena shunt merupakan tindakan bedah
yang dilakukan untuk mempermudah hemodialisa dengan tujuan meningkatkan aliran vena
sehingga dapat dilakukan kanulasi aliran darah ke mesin hemodialisa dengan kecepatan
sekitar 200 cc/menit, 3 kali seminggu. Pada dasarnya akses ini harus dipersiapkan sebelum
pasien menjalani hemodialisa sehingga hasil dari av shunt ini baik, di samping
mempermudah pemilihan arteri dan vena yang sesuai.4
Syarat :
1. Memudahkan akses berulang ke sirkulasi
2. Aliran darah dapat ditutup secara cepat dengan relatif mudah.
3. Tahan lama dalam pemakaian dengan sedikit interfensi.
4. Bebas dari komplikasi mayor.
5. Tahan terhadap infeksi.
Namun sampai saat ini tak ada vaskular akses yang memenuhi kriteria ini.
Scribner pada tahun 1960 pertama kali berusaha untuk mendesain alat dengan kriteria
di atas berupa pintasan. Alat ini berupa pipa teflon yang dipasang pada arteri radialis dan
3

vena terdekat berbentuk loop. Namun pintasan ini hanya bisa bertahan untuk penggunaan 1-5
kali, kecenderungan untuk trombosis dan memudahkan infeksi, sehingga alat ini tidak dipakai
lagi. Teknik yang dipilih harus disesuaikan dengan klinis dari pasien, apakah dibutuhkan
cepat atau pun dengan melihat kondisi arteri dan venanya.4,5
Hemodialisis adalah suatu upaya untuk membersihkan sisa-sisa metabolisme tubuh
dan kelebihan cairan dari darah yang menggunakan mesin berfiltrasi (Morton, Fontaine,
Hudak dan Gallo, 2005). Hemodialisa bekerja dengan menggunakan prinsip osmosis dan
filtrasi. Untuk pelaksanaan Hemodialisa diperlukan suatu akses jangka panjang yang adekuat.
Akses vaskular pada pasien dengan End Stage Renal Disease (ESRD) terbagi menjadi dua,
yaitu akses vaskular akut (sementara) dan akses vaskular kronik (permanen).
2.1.1. Akses Vaskular Akut, dibagi menjadi:
a. Fistula Eksternal Arteriovenousus
Fistula eksternal arteriovenousus diperkenalkan oleh Scribner dan Quinton
pada tahun 1960, nama lainnya adala shunt Scribner. Shunt Scribner dibuat dengan
memasang selang Silastic dengan ujung Teflon yang sesuai ke dalam arteri radialis
dan vena cephalika pada pergelangan tangan atau ke dalam arteri tibialis posterior dan
vena saphenousus pada pergelangan kaki. Bila shunt ingin digunakan, maka selang
Silastic dihubungkan secara langsung dengan selang darah dan mesin dialisa, jika
tidak digunakan maka selang dihubungkan dengan konektor Teflon. Ada kerugian
karena pemakaian shunt Scribner adalah thrombosis, mudah tercabut dan perdarahan.
Karena banyaknya kekurangan shunt Scribner tersebut, maka shunt ini sekarang
sudah jarang dipakai untuk hemodialisis.
b. Kateter Double-Lumen Hemodialisis
Kateter double lumen adalah sebuah alat yang terbuat dari bahan plastic PVC
mempunyai 2 cabang, selang merah (arteri) untuk keluarnya darah dari tubuh ke
mesin dan selang biru (vena) untuk masuknya darah dari mesin ke tubuh (Allen R.
Nissenson,dkk, 2004)
Kateter

double-lumen

hemodialisis

merupakan

alat

akses

vaskular

hemodialisis akut. Kateternya terbuat dari polyurethane, polyethylene atau


polytetrafluoethylene.

Fig. Double Cateter

c. Tunneled Cuffed Catheter


Tunneled cuffed catheter adalah kateter double lumen silastic atau silicon
dengan cuff dapat digunakan sebagai akses temporary pada hemodialisis dimana
fistulanya belum siap digunakan. Keuntungannya kateter ini dapat segera digunakan,
tidak ada resiko menembus arteri dan tidak diperlukan jarum bila memerlukan
hemodialisis. Kerugiannya adalah resiko bakteremia dan infeksi yang menjalar karena
pemakaian kateter dan kecepatan aliran darah yang rendah secara persisten yang
menyebabkan hemodialisis tidak adekuat.

Fig. Tunneled Cuffed Catheter

2.1.2. Akses Vaskular Permanen


a. Fistula Arteriovenousus Primer
AV fistula primer pertama-tama diperkenalkan oleh Cimino dan Brescia
pada tahun 1961. Fistula ini dibuat dengan membuat anastomosis end to side vena
ke arteri pada vena cephalika dan arteri radialis dan memerlukan waktu 2-6 bulan
untuk matur sehingga dapat digunakan. Jenis fistula primer lainnya adalah fistula
brachiocephalica pada siku dan diubah menjadi fistula brachiobasilica. Perubahan
fistula brachiobasilica dibuat dengan membuat insisi dari lengan bawah ke axial
sepanjang rute vena basilica dan dibuat anastomosis dengan arteri brachialis.
Keuntungannya adalah pemakaian AV fistula dapat digunakan untuk waktu
beberapa tahun, sedikit terjadi infeksi, aliran darahnya tinggi dan memiliki sedikit
komplikasi seperti thrombosis. Sedangkan kerugiannya adalah memerlukan waktu
cukup lama sekitar 6 bulan atau lebih sampai fistula siap dipakai dan dapat gagal
karena fistula tidak matur atau karena gangguan masalah kesehatan lainnya

Fig AV Fistule

b. Graft Arteriovenousus Sintetis


AV graft sintetis adalah suatu tindakan pembedahan dengan menempatkan
graft polytetrafluoroethylene (PTFE) pada lengan bawah atau lengan atas (arteri
brachialis ke vena basilica proksimal). Keuntungannya graft ini dapat dipakai
dalam waktu lebih kurang 3 minggu untuk bias dipakai. Kerugiannya dapat terjadi
thrombosis dan infeksi lebih tinggi daripada pemakaian AV fistula primer. Akhirakhir ini di temukan bahwa graft PTFE dilakukan pada dinding dada (arteri
6

aksilaris ke vena aksilaris atau arteri aksilaris ke vena jugularis) atau pada paha
(arteri femoralis ke vena femoralis).

Fig. AV graft

Sistem Vena superfisial pada ekstremitas atas

Internal A-V shunt


Internal a-v shunt lebih banyak dipilih karena persiapannya mudah, bisa digunakan
dalam waktu lama dan memiliki risiko infeksi yang lebih kecil dibanding yang lainnya. Shunt
ini dapat dikerjakan side to side maupun end to side. Keuntungan side to side adalah
memberikan suplai darah yang lebih baik ke distal dan ada lebih dari satu vena yang dapat
digunakan sebagai akses HD.4,5
Internal A-V Shunt dapat dilakukan pada beberapa lokasi, salah satunya adalah
radiosefalika fistula yang dipopulerkan oleh Brescia dan Cimino, cara ini sering dilakukan
sehingga sering menimbulkan intepretasi yang salah dalam masyarakat dimana prosedur
pembuatan internal A-V shunt disebut cimino shunt, padahal lokasi internal A-V shunt bukan

dilakukan pada radiosefalika. Beberapa prosedur pembuatan internal A-V shunt dalam
menciptakan akses vascular untuk hemodialisis adalah:

Fig.1 Radiocephalic wrist AVF configurations. a End-to-end with bent artery. b End vein-to-side
artery. c Side-to-side. d End artery-to-side vein.
7

Fig.2 Brachiocephalic fistula

Fig.3 Basilica Vein Transposition6

Fig.4 Forearm Loop A-V Graft

Fig.5 Upper Arm A-V Graft6

Fig.6 Lower Exterimity Access Procedure6

Masalah dan komplikasi yang mungkin terjadi pada A-V Shunt adalah (1) insufisiensi
pada vena yang mengalami dilatasi, (2) Perdarahan pada tahap awal pemasangan, (3)
Trombosis, pada fase awal maupun lanjut, (4) Aneurisma pada vena yang di-shunt sehingga
bisa mempersulit hemostasis jika berdarah, (5) Iskemia pada tangan dan steal syndrome,
(6) cardiac failure karena karena peningkatan preload jantung, (7) hipertensi vena, yang bisa
menyebabkan oedema.1,4
Brakiosefalika fistula
Pemeriksaan fisik dan inspeksi saja tidak bisa menilai arteri dan vena yang baik pada
ekstremitas atas. Dibutuhkan USG duplex untuk mengidentifikasi vena pada forearm karena
letaknya lebih dalam pada lapisan subkutan.1,8-9
Jenis anastomosis vena antekubiti dengan arteri brakialis bisa dilakukan dengan
sangat baik. Tipe anastomosis ini sangat disarankan untuk pasien dengan DM karena
keunggulan aliran yang dibentuk dan kecepatan maturasinya. Walaupun dengan metode ini
hasilnya sangat baik, namun pada jenis fistula ini sangat sering terjadi insiden steal
syndrome, terutama jika arteriotominya sangat panjang.10 Fistula jenis ini juga dapat
membuat hilangnya daerah forearm yang tersisa untuk pembuatan akses lain di masa depan.
Revanur dkk mengatakan bahwa fistula brakiosefalika sangat menguntungkan sebagai
alternatif pada pasien tua, wanita dan DM dengan 74% kasus mempertahankan patensi
selama satu tahun dari 137 prosedur yang dilakukan.4-

10

2.3.

Komplikasi Akses Hemodialisa

Komplikasi pasca pembedahan ialah terjadi stenosis, trombosis, infeksi, aneurysma,


sindrom steal arteri, gagal jantung kongestif:
a) Stenosis
Stenosis dapat terjadi akibat terjadinya hiperplasia intima vena cephalica distal
dari anastomosis pada A-V shunt radiocephalica sehingga A-V shunt tidak berfungsi.
Sedangkan pada penggunaan bahan sintetis ePTFE terjadi stenosis akibat hiperplasia
pseudointima atau neointima. Stenosis merupakan faktor penyebab timbulnya
trombosis sebesar 85%.
Hiperplasis intima timbul karena:

Terjadinya cedera vaskular yang ditimbulkan baik oleh karena operasinya


ataupun kanulasi jarum yang berulang yang kemudian memicu terjadinya
kejadian biologis (proliferasi sel otot polos vaskular medial sel lalu
bermigrasi melalui intima proliferasi sel otot polos vaskular intima ekskresi
matriks ekstraselular intima).

Tekanan arteri yang konstan pada anatomosis vena, khususnya jika terjadi
aliran turbulen, dapat menyebabkan cedera yang progesif terhadap dinding
vena tersebut.

Compliance mismatch antara vena dengan graft pada lokasi anastomosis

Rusaknya integritas dan fungsi daripada sel endotelial

PDGF (platelet derived growth factor), bFGF (basic fibroblast growth


factor), IGF-1 (insulin growth factor-1) turut memicu terjadi hiperplasia
intima dengan mekanismenya masing-masing

b) Trombosis
Muncul beberapa bulan setelah dilakukannya operasi. Sering diakibatkan
karena faktor anatomi atau faktor teknik seperti rendahnya aliran keluar vena, tehnik
penjahitan yang tidak baik, graft kinking, dan akhirnya disebabkan oleh stenosis pada
11

lokasi anastomosis. Penanganan trombosis meliputi trombektomi dan revisi secara


pembedahan. Trombosis yang diakibatkan penggunaan bahan sintetik dapat diatasi
dengan farmakoterapi (heparin, antiplatelet agregasi), trombektomi, angioplasti dan
penanganan secara pembedahan.
c) Infeksi
Kejadian infeksi jarang terjadi. Penyebab utama ialah kuman Staphylococcus
aureus. Jika terjadi emboli septik maka fistula harus direvisi atau dipindahkan. Infeksi
pada penggunaan bahan sintetik merupakan masalah dan sering diperlukan tindakan
bedah disertai penggunaan antibiotik. Pada awal infeksi gunakan antibiotik spektrum
luas dan lakukan kultur kuman untuk memastikan penggunaan antibiotik yang tepat.
Kadang diperlukan eksisi graft.
d) Aneurysma
Umumnya disebabkan karena penusukan jarum berulang pada graft. Pada A-V
fistula jarang terjadi aneurysma akibat penusukan jarum berulang tetapi oleh karena
stenosis aliran keluar vena.
e) Sindrom steal arteri
Dikatakan sindrom steal arteri jika distal dari ekstremitas yang dilakukan AV shunt terjadi iskemik. Hal ini disebabkan karena perubahan aliran darah dari arteri
melalui anastomosis menuju ke vena yang memiliki resistensi yang rendah ditambah
aliran darah yang retrograde dari tangan dan lengan yang memperberat terjadinya
iskemik tersebut. Pasien dengan iskemik ringan akan merasakan parestesi dan teraba
dingan distal dari anastomosis tetapi sensorik dan motorik tidak terganggu. Hal ini
dapat diatasi dengan terapi simptomatik. Iskemik yang berat membutuhkan tindakan
emergensi pembedahan dan harus segera diatasi untuk menghindari cedera saraf.
f) Hipertensi vena
Gejala yang nampak ialah pembengkakan, perubahan warna kulit dan
hiperpigmentasi. Paling sering disebabkan karena stenosis dan obstruksi pada vena.
Lama kelamaan akan terjadi ulserasi dan nyeri. Manajemen penanganan terdiri dari
koreksi stenosis dan kadang diperlukan ligasi vena distal dari tempat akses dialisis.
12

g) Gagal jantung kongestif


A-V shunt secara signifikan akan meningkatkan aliran darah balik ke jantung.
Akibatnya akan meningkatkan kerja jantung dan cardiac output, kardiomegali dan
akhirnya terjadi gagal jantung kongestif pada beberapa pasien. Penanganannya berupa
koreksi secara operatif.

13

DAFTAR ISI

1.

Rahardjo B, Susalit E, Suhardjono. Hemodialisis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam, Jilid I, FKUI: 2006. 579-580

2.

BohannonWT,SilvajrMB.VenousTranspositioninTheCreationofArteriovenous
AccessinRutherford:VascularSurgery,6 thed.Editor:RutherfordRB.Elsevier,New
York2005,p:167784

3.

KhwajaKO.DialysisAccessProcedureinAtlasofOrganTransplantation2 nded.Editor:
HumarA,MatasAJ,PayneWD.Springer,London2009,p:3558

4.

SalesCliffordM.,GoldsmithJamie,andVeithFrankJ.,Handbookofvascularsurgery,
Taylor&FrancisGroup270MadisonAve.,NewYork,p:30730

5.

A. A. Bakari, E. A. Nwankwo, S. J. Yahaya, B. M. Mubi & B. M. Tahir : Initial Five


years of Arterio-Venous Fistula creation for Haemodialysis vascular access in
Maiduguri, Nigeria . The Internet Journal of Cardiovascular Research. 2007

6.

Shalkow J, MD. Expanded Polytetrafluoroethylene (e-PTFE) Graft. Available in


http://emedicine.medscape.com/article/1017949-mediam, Feb 4, 2015

7.

Pantelias, K and Grapsa, E. Vascular Access for Hemodialysis. University of Athens


Greece. Intech. 2011.

8.

Elwakeel, H and Elalfy, K. Vascular Access for Hemodialysis - How to Maintain in


Clinical Practice. Intech. 2013

9.

A Practitioners Resource Guide To hemodialysis; Arteriovenous Fistulas. Fistula first.


National Vascular Acces Improvement Initiative. 2013

10. McMonagle, M and Stephenson, M. Vacular and Endovascular Surgery at Glance.


Philedelpia. Wiley Blackwell. 2011

14

Anda mungkin juga menyukai