Anda di halaman 1dari 37

ABSTRAK

Pengantar
Gallstone ileus adalah suatu kasus yang jarang ditemukan, namun demikian dapat hadir
sebagai keadaan darurat yang membutuhkan persiapan dan penanganan yang tepat oleh ahli
bedah. Keterampilan anamnesis, pemeriksaan fisik dibantu dengan pemeriksaan penunjang
sangat membantu untuk menegakkan diagnosis pasien ini.
Gallstone ileus adalah gejala sisa kolelitiasis yang cukup jarang. Patologi terjadinya adalah
sebagai akibat dari fistula bilioenterika karena erosi oleh batu kantong empedu yang
menggores dinding saat melewatinya1. Gallstone ileus adalah obstruksi usus karena impaksi dari
satu batu empedu atau lebih. Untuk bisa menyebabkan obstruksi, batu biasanya harus
berdiameter minimal 2,5 cm.
Pada gallstone ileus, batu empedu bermigrasi melalui fistula dan bersarang di saluran
pencernaan dengan tempat obstruksi yang paling umum adalah di ileum (60%), diikuti oleh
jejunum (15%), duodenum (15%), dan kolon (5%) )2. Batu dengan diameter kurang dari 2,5 cm
dapat melintasi saluran pencernaan tanpa menyebabkan penyumbatan3. Istilah "ileus" adalah
istilah yang keliru, karena obstruksi adalah fenomena mekanis sejati4. Obstruksi saluran cerna
batu empedu merupakan istilah yang lebih tepat. Keadaan dimana terdapat batu empedu yang
bersarang di duodenum dan menyebabkan obstruksi saluran keluar lambung, disebut sindrom
Bouveret 5.
Gejala dan tanda-tanda gallstone ileus sebagian besar tidak spesifik. Pencitraan CT adalah
diagnostik standar hampir dalam sebagian besar kasus. Intervensi bedah bertujuan untuk
segera meringankan obstruksi dengan menghilangkan batu empedu dan memperbaiki fistula.
Gallstone ileus paling sering ditemui pada wanita lanjut usia dimana morbiditas dan mortalitas
biasanya tinggi karena biasanya disertai penyakit komorbid lainnya6.
Penyakit kardiovaskular, paru, dan metabolisme harus dipertimbangkan karena dapat
mempengaruhi prognosis. Terapi operasi pada kasus obstruksi saluran cerna tetap menjadi
pilihan pertama. Prosedur bedah saat ini adalah: (1) enterolitomi sederhana; (2) enterolitotomi,
kolesistektomi, dan penutupan fistula (prosedur satu tahap); dan (3) enterolithotomi dengan
kolesistektomi tertunda (prosedur dua tahap). Reseksi usus diperlukan pada kasus tertentu
setelah enterolitotomi dilakukan4.

Persentasi Kasus
Seorang wanita usia 67 tahun datang ke IGD RSHS dengan keluhan tidak bisa buang angin
dan tidak bisa BAB sejak empat hari SMRS. Keluhan disertai dengan perut kembung, mual, dan
muntah. Pasien mengeluhkan adanya BAB mencret hilang timbul sejak 2 minggu terakhir
dengan disertai nyeri perut hilang timbul. Pasien tidak pernah mengeluhkan sakit yang serupa
sebelumnya. Tidak ada riawayat demam, tidak ada riwayat BAB kecil - kecil seperti kotoran
kambing, tidak ada riwayat BAB bercampur darah. Tidak ada riwayat nyeri perut kuadran kanan
atas dan tidak ada riwayat sakit kuning sebelumnya. Riwayat penurunan berat badan tidak
ditemukan. Tidak terdapat benjolan pada perut maupun di tempat lain. Pasien juga tidak
pernah menjalani operasi di daerah perut sebelumnya. Tidak ada keluhan BAK.
Pemeriksaan klinis menunjukkan pasien sepenuhnya sadar dengan kesan dehidrasi ringan.
Abdomen tampak cembung, lembut, simetris dan tidak ada bekas luka operasi, lembut pada
palpasi dengan sedikit nyeri tekan. Bising usus meningkat, pemeriksaan digital pada anus
didapatkan spinchter ani dan mukosa dalam batas normal dan tidak ditemukan massa maupun
nyeri tekan. Didapatkan ampula kolaps dengan sisa feces pada sarung tangan tanpa lendir dan
darah. Hasil laboratorium dalam batas normal.
CT Scan Abdomen menunjukkan adanya tanda ileus obstruksi letak tinggi dengan
gambaran massa isodens inhomogen yang mengisi daerah ileum terminal sampai iliocecal
valve.
Laparotomi eksploratif dan enterolitotomi sederhana mengidentifikasi sebuah batu
empedu berwarna kuning kecokelatan dengan ukuran 5x4x3cm menyumbat total ileum
terminal dan ileocecal valve. Dilakukan incisi pada ileum terminal ± 3cm sejajar penampang
panjang ileum, dan dilakukan ekstraksi batu. Luka bekas incisi ditutup primer dengan jahitan
interrupted dan kemudian di lakukan over hecting dengan menggunakan Vicryl 2.0.
Kesimpulan :
Meskipun jarang, gallstone ileus mungkin hadir sebagai keadaan darurat yang
membutuhkan persiapan dan penanganan yang tepat oleh ahli bedah. Keterampilan anamnesis,
pemeriksaan fisik dibantu dengan pemeriksaan penunjang sangat membantu untuk
menegakkan diagnosis pasien ini. Kami memilih sebuah tindakan operasi laparotomi eksploratif
sebagai solusi untuk mengatasi masalah pada pasien ini. Pasien kemudian direncanakan untuk
repair fistula dan kolesistektomi terencana.
PERSENTASI KASUS

Seorang wanita usia 67 tahun datang ke IGD RSHS dengan keluhan tidak bisa buang
angin dan tidak bisa BAB sejak empat hari SMRS. Keluhan disertai dengan perut kembung,
mual, dan muntah. Pasien mengeluhkan adanya BAB mencret hilang timbul sejak 2 minggu
terakhir dengan disertai nyeri perut hilang timbul. Pasien tidak pernah mengeluhkan sakit yang
serupa sebelumnya. Tidak ada riawayat demam, tidak ada riwayat BAB kecil - kecil seperti
kotoran kambing, tidak ada riwayat BAB bercampur darah. Tidak ada riwayat nyeri perut
kuadran kanan atas dan tidak ada riwayat sakit kuning sebelumnya. Riwayat penurunan berat
badan tidak ditemukan. Tidak terdapat benjolan pada perut maupun di tempat lain. Pasien
tidak pernah menjalani operasi di daerah perut sebelumnya. Tidak ada keluhan BAK.
Pasien sehari-hari tinggal bersama anak perempuannya dan tidak pernah mengalami sakit
serius sebelumnya. Tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah mengalami sakit serupa.
Pemeriksaan klinis menunjukkan pasien sepenuhnya sadar, tanda vital dalam batas
normal dengan kesan dehidrasi ringan dan berat badan 51kg. Abdomen tampak cembung,
lembut, simetris dan tidak ada bekas luka operasi, lembut pada palpasi dengan sedikit nyeri
tekan. Bising usus meningkat, pemeriksaan digital pada anus didapatkan spinchter ani dan
mukosa dalam batas normal dan tidak ditemukan massa maupun nyeri tekan. Didapatkan
ampula kolaps dengan sisa feces pada sarung tangan tanpa lendir dan darah. Hasil laboratorium
didapatkan hemoglobin ; 10.4 mg/dl, hematokrit ; 32.8%, lekosit ; 6.380, trombosit ; 277.000.
Pembacaan CT scan abdomen didapatkan ileus obstruksi letak tinggi dengan obstruksi massa
isodens inhomogen yang mengisi ileum terminal dekat ke ileocecal valve. Hepar, kandung
empedu, pancreas, lien, ginjal kiri dan kanan, peritoneun tidak tampak kelainan.
Gambar 1. CT Scan Abdomen

Laparotomi eksploratif dan enterolitotomi sederhana mengidentifikasi sebuah batu


empedu berwarna kuning kecokelatan dengan ukuran 5x4x3cm menyumbat total ileum
terminal dan ileocecal valve. Dilakukan incisi pada ileum terminal ± 3cm sejajar penampang
panjang ileum (longitudinal), dan dilakukan ekstraksi batu. Luka bekas incisi ditutup primer
dengan jahitan interrupted dan kemudian di lakukan over hecting dengan menggunakan Vicryl
2.0.

Gambar 2. Pengangkatan Gallstone ileus.


DISKUSI

Gallstone ileus adalah suatu kasus yang jarang ditemukan, namun demikian dapat hadir
sebagai keadaan darurat yang membutuhkan persiapan dan penanganan yang tepat oleh ahli
bedah. Keterampilan anamnesis, pemeriksaan fisik dibantu dengan pemeriksaan penunjang
sangat membantu untuk menegakkan diagnosis pasien ini.
Gallstone ileus adalah gejala sisa kolelitiasis yang cukup jarang. Patologi terjadinya adalah
sebagai akibat dari fistula bilioenterika karena erosi oleh batu kantong empedu yang
menggores dinding saat melewatinya1. Gallstone ileus adalah obstruksi usus karena impaksi dari
satu batu empedu atau lebih. Untuk bisa menyebabkan obstruksi, batu biasanya harus
berdiameter minimal 2,5 cm.
Pada gallstone ileus, batu empedu bermigrasi melalui fistula dan bersarang di saluran
pencernaan dengan tempat obstruksi yang paling umum adalah di ileum (60%), diikuti oleh
jejunum (15%), duodenum (15%), dan kolon (5%)2. Batu dengan diameter kurang dari 2,5 cm
dapat melintasi saluran pencernaan tanpa menyebabkan penyumbatan 3. Gejala dan tanda-
tanda gallstone ileus sebagian besar tidak spesifik. Pencitraan CT adalah diagnostik standar
hamper dalam sebagian besar kasus. Intervensi bedah bertujuan untuk segera meringankan
obstruksi dengan menghilangkan batu empedu dan memperbaiki fistula. Gallstoe ileus paling
sering ditemui pada wanita lanjut usia dimana morbiditas dan mortalitas biasanya tinggi karena
biasanya terjadi pada pasien usia lanjut.
Terapi operasi pada kasus obstruksi saluran cerna tetap menjadi pilihan pertama. Prosedur
bedah saat ini adalah: (1) enterolitomi sederhana; (2) enterolitotomi, kolesistektomi, dan
penutupan fistula (prosedur satu tahap); dan (3) enterolithotomi dengan kolesistektomi
tertunda (prosedur dua tahap). Reseksi usus diperlukan pada kasus tertentu setelah
enterolitotomi dilakukan4.

LATAR BELAKANG
Pada tahun 1654, Thomas Bartholin7 menggambarkan fistula antara usus dengan saluran
empedu dengan batu empedu dalam saluran cerna. Pada tahun 1890, Courvoisier8 menerbitkan
serial pertama dari 131 laporan kasus ileus batu empedu, dengan tingkat kematian 44%. Pada
tahun 1896, Bouveret9 menggambarkan sindromaa dari obstruksi saluran lambung yang
disebabkan oleh batu empedu pada tonjolan duodenum akibat migrasi batu melalui fistula
cholecysto atau choledochoduodenal. Kasus ini merupakan diagnosis praoperasi pertama dari
sindroma Bouveret.

EPIDEMIOLOGI
Gallstone ileus telah menunjukkan insiden konstan 30-35 kasus / 1000000 kasus rawat inap
selama periode 45 tahun5. Kasus gallstone ileus berkembang sekitar 0,3% 0,5% dari pasien
dengan cholelithiasis10. Gallstone ileus merupakan faktor etiologi dari 5% kasus obstruksi usus,
tetapi mencapai 25% dari penyebab dari obstruksi usus halus pada pasien lanjut usia. Pada
studi di Amerika pada tahun 2004 hingga 2009, hanya 0,095% kasus obstruksi mekanik usus
yang disebabkan oleh batu empedu4. Gallstone ileus menunjukkan frekuensi lebih tinggi pada
orang tua. Halabi dkk, melaporkan rentang usia pasien dari 60 hingga 84 tahun di Amerika.
Laporan di Jepang melaporkan kasus termuda pada anak usia 13 tahun, sedangkan laporan di
Meksiko melibatkan pasien usia 99 tahun. Kasus gallstone ileus didominasi oleh perempuan
dengan angka mencapai 72%-90%11.

PATOFISIOLOGI
Gallstone ileus sering didahului oleh episode awal kolesistitis akut. Peradangan pada
kantong empedu dan struktur di sekitarnya menyebabkan pembentukan adhesi. Efek
peradangan dan tekanan dari batu empedu yang bersentuhan menyebabkan erosi dinding
kantong empedu, menyebabkan pembentukan fistula antara kantong empedu, saluran empedu
dengan bagian yang berdekatan dan melekat pada saluran pencernaan12. Pada beberapa kasus
(jarang) batu empedu dapat memasuki duodenum melalui saluran empedu dan melalui papila
Vater13.
Fistula yang paling sering terjadi adalah antara kantung empedu dengan duodenum, karena
kedekatannya4. Fistula juga dapat melibatkan lambung, usus halus, dan kolon transversum
(table 1).

Proses ini mungkin merupakan awal munculnya sindroma Mirizzi14. Setelah kandung
empedu bebas dari batu, tempat ini bisa menjadi saluran sinus dan berkontraksi menjadi sisa
jaringan fibrin15.
Pada tahun 1981, Halter dkk16 melaporkan kasus gallstone ileus setelah endoscopic
retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dan endoscopic sphincteromy (ES) dan ekstraksi
batu empedu yang gagal. Tiga hari kemudian, pasien mengalami sakit perut dan muntah. Saat
laparotomi, ditemukan batu empedu 3,5 cm pada jejunum. Hingga saat ini, 13 kasus gallstone
ileus telah dilaporkan setelah prosedur ERCP dan ES. Efek samping ini dapat terjadi secara
lambat setelah prosedur endoskopi, dan harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding,
terutama dalam kasus-kasus dengan gejala yang tertunda.
Tumpahan batu empedu selama kolesistektomi laparoskopi sering terjadi. Meski
kebanyakan dari batu empedu hilang dalam operasi dan sisanya tertinggal di rongga perut, batu
empedu ini dapat menyebabkan abses intraabdominal dan masuk ke lumen usus dan
menyebabkan gallstone ileus17.
Begitu berada dalam lumen duodenum, usus, atau lambung, batu empedu biasanya keluar
ke arah distal dan dapat lewat secara spontan melalui rektum, atau tersumbat dan
menyebabkan obstruksi. Pada beberapa kasus batu empedu masuk ke lambung dan terjadi
migrasi proksimal dan batu empedu dikeluarkan melalui muntahan. Ukuran batu empedu,
tempat pembentukan fistula dan lumen usus akan menentukan apakah sumbatan akan terjadi
atau tidak. Mayoritas batu empedu yang lebih kecil dari ukuran 2 hingga 2,5 cm dapat lewat
secara spontan melalui saluran pencernaan normal dan akan diekskresikan dengan lancar di
dalam feses. Clavien dkk18 melaporkan kisaran ukuran batu empedu yang dapat menyebabkan
obstruksi terjadi bila ukuran 2 hingga 5 cm. Nakao dkk19 menemukan bahwa batu empedu yang
menyebabkan obstruksi berkisar dari 2-10 cm, dengan rata-rata 4,3 cm. Batu empedu yang
lebih besar dari 5 cm kemungkinan dapat menyebabkan obstruksi, meskipun tetap dapat keluar
secara spontan. Batu empedu terbesar yang dilaporkan menyebabkan obstruksi usus
menunjukkan diameter 17,7 cm dan telah dikeluarkan dari kolon transversum. Batu secara
multipel ditemukan pada 3-4% kasus.
Lokasi sumbatan dapat terjadi di setiap bagian dari saluran pencernaan. Jika batu empedu
memasuki duodenum, obstruksi usus yang paling umum adalah pada ileum terminal dan katup
ileocecal karena lumen yang relatif sempit dan peristaltik yang berpotensi kurang aktif. Lebih
jarang, batu empedu dapat terjadi di ileum proksimal atau di jejunum, terutama jika batu
empedu cukup besar. Lokasi yang jarang adalah lambung dan duodenum (sindroma Bouveret),
dan usus besar20. Ukuran batu empedu dan proses inflamasi kandung empedu dapat
menyebabkan batu empedu menjadi obstruksi pada duodenum21 (Tabel 2).
Adanya divertikula, neoplasma, atau penyempitan usus sekunder akibat penyakit Crohn,
menyempitkan ukuran lumen dan dapat menyebabkan batu empedu tersumbat pada lokasi
penyempitan. Gallstone ileus telah dilaporkan di tempat anastomosis setelah gastrektomi
parsial dan rekonstruksi Billroth II dan pada dua kasus setelah bypass biliointestinal. Iskemia
dapat berkembang di lokasi sumbatan batu empedu, karena tekanan yang dihasilkan pada
dinding usus dan distensi proksimal. Nekrosis, perforasi, dan peritonitis dapat terjadi akibat
proses ini22.

MANIFESTASI KLINIS
Presentasi gallstone ileus dapat didahului oleh riwayat gejala penyakit empedu
sebelumnya, dengan tingkat antara 27% - 80% pasien20. Kolesistitis akut dapat terjadi pada
10%-30% pasien pada saat terjadi obstruksi usus. Penyakit kuning hanya ditemukan pada <15%
pasien. Gejala penyakit empedu mungkin tidak didapatkan pada sepertiga dari kasus23.
Gallstone ileus dapat bermanifestasi sebagai episode obstruksi gastrointestinal akut,
intermiten maupun kronis. Mual, muntah, nyeri perut, kram, dan distensi perut biasanya
muncul sebagai gejala23. Rasa sakit hilang timbul dan muntah dengan isi material lambung
dapat terjadi, kemudian akan semakin gelap dan menjadi material fekal akibat sumbatan yang
semakin parah13.
Oleh karena itu, mungkin dapat terjadi obstruksi usus parsial atau total secara hilang timbul
yang dipengaruhi oleh perpindahan batu empedu dan hilangnya gejala secara sementara,
hingga batu empedu keluar atau terjadi obstruksi total. Bila sumbatan terjadi di lambung,
muntahan pasien mengandung isi lambung, sedangkan bila sumbatan di usus, muntahan akan
bersifat fekalit13.
Sindroma Bouveret dapat muncul dengan tanda dan gejala obstruksi saluran lambung
outlet. Mual dan muntah muncul pada 86% kasus, sementara sakit perut sekitar 71%. Jika batu
empedu tidak sepenuhnya menghalangi lumen, gejala yang muncul dapat berupa obstruksi
parsial. Penurunan berat badan, anoreksia, cepat kenyang (penuh) dan konstipasi juga dapat
muncul. Sindromaa Bouveret juga telah dilaporkan dengan gejala awal sebagai perdarahan
gastrointestinal bagian atas, manifestasi sekunder akibat erosi duodenum yang disebabkan oleh
batu empedu dengan hematemesis dan melena, masing-masing 15% dan 7%21.
Pemeriksaan fisik mungkin tidak spesifik. Pasien menunjukkan rasa sakit akut, dengan
tanda-tanda dehidrasi, distensi perut dan nyeri tekan. Bising usus terdengar high-pitch (nada
tinggi) dan juga jaundice akibat obstruktif. Demam, toksisitas dan tanda-tanda peritonitis dapat
muncul bila terjadi perforasi dari dinding usus. Pemeriksaan fisik dapat normal bila tidak terjadi
obstruksi21.

DIAGNOSIS
Gejala dan tanda-tanda ileus batu empedu sebagian besar tidak spesifik17. Gejala hilang
timbul dapat mengaburkan diagnosis yang benar, jika manifestasi klinis saat ini berhubungan
dengan obstruksi parsial atau migrasi distal batu empedu. "Fenomena tumbling" atau
bergesernya batu empedu mungkin menjadi penyebab mengapa pasien tidak berobat atau
tertunda untuk melakukan pemeriksaan. Pasien biasanya berobat 4-8 hari setelah awal gejala
dan diagnosis dapat ditegakkan 3-8 hari setelah timbulnya gejala23. Cooperman dkk24
menemukan periode rata-rata 7 hari dari timbulnya gejala sampai rawat inap, 3-7 hari dari
rawat inap berlalu hingga intervensi bedah. Periode beberapa bulan gejala sebelum berobat ke
rumah sakit telah dilaporkan. Diagnosis pra operasi yang benar telah dilaporkan pada 30%-75%
kasus. Indeks kecurigaan yang tinggi akan membantu, terutama pada pasien lansia wanita
dengan obstruksi usus dan penyakit batu empedu sebelumnya. Sindromaa Bouveret dapat
dicurigai pada pasien dengan obstruksi saluran outlet lambung.

FOTO POLOS ABDOMEN


Radiografi abdomen polos sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Pada tahun 1941,
Rigler dkk25 menggambarkan empat tanda radiografi pada gallstone ileus : (1) obstruksi usus
parsial atau lengkap; (2) pneumo bilia atau bahan kontras dalam pohon empedu; (3) batu
empedu yang menyimpang; dan (4) perubahan posisi batu empedu pada x-ray serial.
Kemunculan dua dari tiga tanda pertama, telah dianggap pathognomonik dan telah ditemukan
pada 20%-50% kasus. Meskipun pathognomonic, laporan tentang triad Rigler berkisar dari 0%-
87%. Pemeriksaan yang teliti untuk pneumobilia harus dilakukan, karena gejala muncul pada
sebagian besar pasien dengan gallstone ileus, tetapi kadang hanya diidentifikasi dalam
pengamatan retrospektif. Pneumobilia dapat menjadi infeksi sekunder dari intervensi bedah
atau endoskopi sebelumnya26. Oleh karena itu, presentasi klinis harus dipertimbangkan ketika
mengevaluasi tanda radiologis ini. Pada tahun 1978, Balthazar dkk27 menggambarkan tanda
kelima, yang terdiri dari dua level cairan udara di kuadran kanan atas pada foto polos abdomen.
Tingkat cairan udara medial sesuai dengan duodenum dan lateral ke kantong empedu. Para
penulis ini menemukan bahwa tanda ini muncul pada 24% pasien pada saat masuk. Pada
sindroma Bouveret, perut yang membesar diperkirakan akan terlihat pada foto polos abdomen,
karena obstruksi saluran outlet lambung. Cappell dkk28 dalam tinjauan 64 kasus sindroma
Bouveret, menemukan pneumobilia yang relatif umum (39%), massa kuadran kanan atas atau
batu empedu (38%), distensi lambung (23%) dan dilatasi loop usus (14%) (Gambar 1).

SERIAL FOTO SALURAN CERNA BAGIAN ATAS


Serial gastrointestinal bagian atas dapat membantu mengidentifikasi fistula enterik bilier
dan letak / ketinggian obstruksi23. Tanda sekunder yang mungkin berguna adalah identifikasi
bahan kontras di dalam kantong empedu. Cappell dkk28, dalam laporan sindroma Bouveret
mengatakan foto serial saluran cerna bagian atas termasuk fistula kolesistoduodenal atau
pneumobilia (45%), filling defek atau massa pada duodenum (44%), fistula kolesistoduodenum
(38%), outlet lambung atau obstruksi pilorus (27%), distensi buncit atau dilatasi (27%), batu
empedu dalam duodenum (21%), dan obstruksi duodenum (12%).
ULTRASONOGRAPHY (USG) ABDOMEN
Ketika diagnosis masih diragukan, USG abdomen dapat dilakukan untuk identifikasi batu
kandung empedu, fistula dan visualisasi batu empedu yang terkena. Ini juga dapat
mengkonfirmasi adanya choledocholithiasis23. Penggunaan USG dengan kombinasi dengan x-ray
abdomen untuk meningkatkan sensitivitas diagnosis telah dianjurkan. USG lebih sensitif dalam
mendeteksi pneumobilia dan batu empedu ektopik. Kombinasi x-ray abdominal dan USG telah
meningkatkan sensitivitas diagnosis gallstone ileus hingga 74%. Temuan yang paling sering pada
sindroma Bouveret adalah batu empedu di dalam atau di dekat kantong empedu (53%),
pneumobilia atau kolesistoduodenal fistula (45%), batu empedu dalam duodenum (25%), perut
dilatasi atau pelebaran (15%), dan kandung empedu yang berkontraksi (13%)28 (Gambar 2).

COMPUTED TOMOGRAPHY (CT)


Computed tomography (CT) dianggap lebih unggul daripada x-ray abdomen polos atau USG
dalam mendiagnosis kasus batu empedu ileus, dengan sensitivitas hingga 93%29. Frekuensi
deteksi triad Rigler lebih tinggi di bawah pemeriksaan CT. Dalam sebuah studi retrospektif oleh
Lassandro dkk30, triad Rigler diamati pada 77,8% kasus dengan CT, dibandingkan dengan 14,8%
dengan radiografi dan 11,1% dengan USG. Dilatasi loop usus terlihat pada 92,6% kasus,
pneumobilia pada 88,9%, batu empedu ektopik pada 81,5%, penampakan airfluid level pada
37%, dan fistula biliodigestive pada 14,8%. Yu dkk melakukan penelitian prospektif pada 165
pasien dengan obstruksi usus halus akut dan diperiksa keberadaan gallstone ileus, dengan
identifikasi retrospektif dari tiga kriteria diagnostik: (1) obstruksi usus kecil; (2) batu empedu
ektopik, baik yang diukur secara kalsifikasi pada tepi maupun total kalsifikasi; dan (3) kandung
empedu abnormal dengan pengumpulan udara, adanya airfluid level, atau akumulasi cairan
dengan dinding yang tidak teratur. Sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi keseluruhan masing-
masing adalah 93%, 100%, dan 99%. Triad Rigler terdeteksi hanya dalam 36% kasus. Kriteria
diagnostik tomografi ini membutuhkan validasi prospektif lebih lanjut. Scanner CT saat ini dapat
menggambarkan lokasi fistula, batu empedu yang menempel dan obstruksi gastrointestinal
dengan presisi yang lebih baik, dan membantu dalam keputusan terapeutik31.
Pada sindroma Bouveret, temuan utama pada CT scan adalah obstruksi karena massa atau
lesi gastroduodenal, perubahan inflamasi pericholecystic meluas ke duodenum, gas dalam
kantong empedu, pneumobilia atau kolesistoduodenal fistula, dan adanya filling defek yang
sesuai dengan satu atau lebih batu empedu, dinding kandung empedu yang menebal, dan
kantong empedu yang kontraksi21.
CT scan memungkinkan deteksi kalsifikasi tepi atau total dari batu empedu ektopik tanpa
administrasi kontras. Pemeriksaan ini dapat dilakukan bahkan dengan CT biasa. Identifikasi
batu empedu dengan kalsifikasi tepi mungkin lebih sulit dengan CT kontras, dibandingkan
dengan batu empedu terkalsifikasi total. Batu empedu yang kurang terkalsifikasi dapat
terlewatkan / miss29. Contrast-enhanced CT memungkinkan deteksi edema dan iskemia pada
saluran pencernaan yang terkena29. Mengingat kemungkinan iskemia usus, contrast-enhanced
CT sangat penting dalam pengambilan keputusan terapi (Gambar 3).
MAGNETIC RESONANCE CHOLANGIOPANCREATOGRAPHY
Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) mungkin berguna dalam kasus-
kasus tertentu ketika diagnosis tidak jelas setelah CT. Kelemahan potensial CT adalah bahwa
15%-25% batu empedu muncul sebagai penipisan empedu atau cairan. Pickhardt dkk32
menggambarkan penggunaan MRCP untuk diagnosis sindroma Bouveret dengan penipisan batu
empedu sangat bermanfaat. MRCP mungkin berguna dalam kasus-kasus ini, karena
kemungkinan untuk menggambarkan cairan dari batu empedu, yang muncul sebagai
kekosongan sinyal terhadap cairan dengan sinyal kuat. Hal ini juga merupakan keuntungan
potensial pada pasien yang tidak dapat mentoleransi bahan kontras. Jika ada cairan yang cukup
di fistula kolesistoenterik, gambaran fistula juga dapat muncul. Oleh karena itu, MRCP mungkin
sangat berguna untuk mengkonfirmasi diagnosis ileus batu empedu dalam kasus-kasus
tertentu33. Resonansi magnetik untuk evaluasi obstruksi gastrointestinal juga merupakan opsi
diagnostik potensial (Gambar 4).
ESOPHAGOGASTRODUODENOSCOPY
Dalam ulasan 81 kasus sindroma Bouveret yang dilakukan esophagogastroduodenoscopy
(EGD), obstruksi gastroduodenal terungkap pada semua kasus, tetapi visualisasi batu empedu
hanya muncul pada 56 (69%). Di antara 56 kasus tersebut, batu empedu tersebut diamati pada
tonjolan duodenum sebesar 51,8%, duodenum postbulbar pada 28,6%, pilorus atau prepilorus
pada 17,9%, dan dalam satu kasus lokasi tidak dilaporkan. Dalam 31% kasus batu empedu tidak
dikenali karena tertanam dalam di dalam mukosa. Ketika batu empedu tidak divisualisasikan,
diagnosis harus sangat dicurigai ketika massa yang diamati teraba keras, cembung, halus, tidak
rapuh, dan tidak hidup, yang semuanya merupakan karakteristik batu empedu dan dapat
meningkatkan sensitivitas EGD. Untuk kasus-kasus seperti itu, USG dan CT adalah tes diagnostik
non-invasif yang lebih disukai untuk mengkonfirmasi diagnosis endoskopi, yang
menggambarkan anatomi gastroduodenal, dan menunjukkan fistula
kolesistoduodenal34.(Gambar 5)
PENGOBATAN
Tujuan terapi utama adalah menghilangankan obstruksi usus dengan ekstraksi batu empedu
yang menyumbat. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan gangguan metabolisme karena
obstruksi usus, presentasi gejala yang tertunda dan komorbiditas yang sudah ada sebelumnya
umum terjadi, dan memerlukan terapi sebelum intervensi bedah15,23.
Tidak ada konsensus tentang prosedur bedah yang dapat dilakukan. Prosedur bedah saat ini
adalah: (1) enterolitotomi sederhana; (2) enterolitotomi, kistektomi chole, dan penutupan
fistula (prosedur satu tahap); dan (3) enterolitotomi dengan kolesistektomi tertunda kemudian
(prosedur dua tahap). Reseksi usus diperlukan dalam kasus-kasus tertentu setelah
enterolitotomi dilakukan.
Enterolitotomi adalah prosedur bedah yang paling umum dilakukan. Melalui laparotomi
eksplorasi, lokasi obstruksi gastrointestinal terlokalisir. Sayatan longitudinal dibuat pada
perbatasan anti-mesenterika proksimal ke lokasi sumbatan batu empedu10,17. Bila
memungkinkan, melalui manipulasi lembut batu empedu dibawa secara proksimal ke segmen
usus yang tidak edem/bengkak. Sebagian besar, hal ini tidak mungkin dilakukan karena tingkat
sumbatan batu empedu. Enterotomi dilakukan di atas batu empedu dan batu diekstraksi.
Penutup enterotomi yang hati-hati dilakukan untuk menghindari penyempitan lumen usus dan
penutupan transversal. Reseksi usus kadang-kadang diperlukan, terutama pada kasus iskemia,
perforasi atau stenosis17,18. Propulsi manual batu empedu melalui katup ileocecal hanya
dilakukan untuk situasi yang sangat khusus karena bahaya cedera mukosa dan perforasi
usus17,18. Demikian pula, upaya untuk menghancurkan batu empedu in situ dapat merusak
dinding usus dan harus dihindari. Beberapa batu empedu umumnya dapat diekstraksi melalui
satu sayatan dengan membersihkan usus dan memindahkan batu empedu yang lebih kecil
kemudian yang lebih besar18.(Gambar 6)

Dalam kasus obstruksi sigmoid, pengeluaran batu transanal jarang terjadi. Reseksi Sigmoid
untuk membuang batu empedu dan stenosis yang terjadi juga dapat dilakukan.
Kontroversi yang ada dalam pengelolaan gallstone ileus adalah, apakah pembedahan
kantung empedu harus dilakukan pada saat yang sama dengan menghilangkan obstruksi usus
(prosedur satu tahap), atau dilakukan kemudian hari (prosedur dua tahap), atau tidak sama
sekali.
Pada tahun 1922, Pybus berhasil mengekstraksi batu empedu yang menyumbat dari ileum,
menutup fistula duodenum dan mengeringkan kantong empedu setelah mengeluarkan dua
batu empedu. Pada tahun 1929, Holz mengekstraksi batu empedu dari sigmoid dan setelah
mengeluarkan batu empedu kedua yang menyumbat pada duodenum, ia menutup fistula
cholecystoduodenal dan mengeluarkan kantong empedu. Pada tahun 1957, Welch melakukan
operasi satu tahap yang sukses pada pasien yang dipersiapkan dengan baik setelah obstruksi
usus batu empedu berulang. Para penulis menyarankan kelayakan operasi dalam kondisi
optimal. Pada tahun 1965, Berliner dkk35 melaporkan tiga kasus yang dikelola dengan cara yang
sama, dan menyebutkan bahwa ketika pasien cukup terhidrasi dengan elektrolit baik dan
prosedur tidak menunjukkan risiko operasi yang lama, prosedur satu tahap harus
dipertimbangkan. Pada tahun 1966, Warshaw dkk36 melaporkan 20 pasien, ketika
enterolitotomi dikombinasikan dengan kolesistektomi dan penutupan fistula dalam dua kasus,
dengan kolesistomi dan penutupan fistula dalam satu kasus, dan kolesistektomi tertunda dan
penutupan fistula pada dua pasien. Tidak ada kematian intra maupun pasca operatif. Para
penulis merekomendasikan bahwa prosedur satu tahap harus dipertimbangkan dalam kasus-
kasus tertentu.
Penutup fistula kolesistoenterika setelah proses ekstraksi telah dilaporkan, tetapi jika
saluran kistik secara permanen tersumbat dan setiap bagian dari mukosa kandung empedu
tetap hidup, kemungkinan prosedur akan berhasil. Risiko kekambuhan ileus batu empedu lebih
tinggi dari yang pernah dilaporkan sebelumnya. Kejadian rekurensi adalah 2%-5%, tetapi hingga
8% rekurensi setelah enterolitotomi juga dilaporkan; setengah dari kejadian onset baru ini akan
muncul dalam waktu 30 hari. Angka kekambuhan hingga 17%-33% telah dilaporkan18.
Kemungkinan kolesistitis berulang dan kolangitis akut telah dilaporkan. Warshaw dkk36
melaporkan gejala berulang atau komplikasi pada 6 dari 18 pasien dengan fistula
kolesistoenterik yang tidak diperbaiki atau kantong empedu yang tidak dibuang. Kolangitis akut
telah dilaporkan pada 11% pasien dengan fistula cholecystoduodenal dan 60% dengan fistula
cholecystocolonic18,24. Dengan prosedur satu tahap, kejadian berulang dapat dicegah36.
Potensi komplikasi jangka panjang dari enterik bilier fistula adalah kanker kandung empedu.
Bossatt dkk melaporkan angka kejadian kanker kandung empedu hingga 15% pada 57 pasien
yang menjalani operasi untuk fistula tersebut, dibandingkan dengan 0,8%di antara semua
pasien yang menjalani kolesistektomi.
Di sisi lain, enterolitotomi sederhana telah lama dikaitkan dengan mortalitas yang lebih
rendah20 seperti pada laporan Ravikumar dkk37 dalam penelitian yang melibatkan 70 laporan
dalam 40 tahun, dengan waktu tindak lanjut /follow up yang panjang dengan teknik bedah yang
berbeda selama periode 40 tahun. Pertimbangan harus diambil dari fakta bahwa keparahan
setiap kasus memiliki pengaruh pada hasil dari prosedur bedah tertentu, dan bahwa kematian
bukanlah konsekuensi absolut dari prosedur bedah itu sendiri. Dalam laporan oleh Clavien
dkk18, ketika pasien sebanding dalam hal usia, penyakit komorbiditas dan skor APACHE II, angka
kematian operatif dan tingkat morbiditas tidak berbeda secara signifikan.
Pada tahun 2003, Doko dkk38 melaporkan 30 pasien dengan morbiditas 27,3% pada pasien
yang menjalani enterolitotomi saja dan 61,1% untuk prosedur satu tahap. Mortalitas adalah 9%
setelah enterolitotomi dan 10,5% setelah prosedur satu tahap. Skor American Society of
Anesthesiologists (ASA) serupa antara kedua kelompok tetapi waktu operasi secara signifikan
lebih lama untuk prosedur satu tahap. Perbaikan fistula langsung secara signifikan terkait
dengan komplikasi pasca operasi.
Para penulis menyimpulkan bahwa enterolitotomi adalah prosedur pilihan, dengan
prosedur satu tahap dapat dilakukan untuk pasien dengan kolesistitis akut, gangren kandung
empedu atau batu empedu residual18.
Pada tahun 2004, Tan dkk39 melaporkan penelitian retrospektif dari 19 pasien yang dirawat
dengan operasi darurat untuk ileus batu empedu. Para penulis tidak memiliki preferensi untuk
prosedur pembedahan. Enterolitotomi sendiri dilakukan pada 7 pasien dan enterolitotomi
dengan kolesistektomi dan penutupan fistula pada 12 pasien. Pada kelompok pertama, lebih
banyak pasien memiliki komorbiditas yang signifikan sebagaimana diidentifikasi oleh status ASA
yang lebih buruk (6 pasien ASA III dan IV), status pra operasi yang lebih buruk, dan 4 pasien
hipotensi pada fase pra operasi. Semua 12 pasien dalam kelompok prosedur satu tahap adalah
ASAI dan II dan tidak ada yang hipotensi pada fase pra operasi. Waktu operasi secara signifikan
lebih pendek pada kelompok entero lithotomy (70 menit vs 178 menit). Tidak ada perbedaan
morbiditas yang signifikan dan tidak ada kematian pada kedua kelompok.
Pada tahun 2008, Riaz dkk40 melaporkan pengalaman retrospektif mereka dengan 10 pasien
yang didiagnosis dengan ileus batu empedu. Pilihan prosedur bedah sangat ditentukan oleh
kondisi klinis pasien. Lima pasien menjalani enterolitotomi saja (kelompok 1), sedangkan 5
pasien lainnya menjalani perbaikan kistektomi dan fistula (kelompok 2). Pada kelompok 1,
semua pasien hipertensi dan diabetes. Semua pasien hemodinamik tidak stabil, dengan asidosis
metabolik dan azotemia prerenal. Skor ASA adalah ≥ III pada semua pasien. Pada kelompok 2,
hanya 2 pasien yang hipertensi dan semua hemodinamik stabil pada presentasi dengan skor
ASA II. Tidak ada mortalitas operatif pada kedua kelompok.
Banyak pasien dengan batu empedu ileus adalah orang tua, dengan komorbiditas, dalam
kondisi umum yang buruk dan diagnosis tertunda, yang menyebabkan dehidrasi, syok, sepsis
atau peritonitis. Menangani obstruksi gastrointestinal dengan enterolitotomi sederhana adalah
prosedur teraman untuk pasien-pasien ini41.
Pada laparotomi, pemeriksaan dan palpasi hati-hati dari seluruh usus, kandung empedu dan
saluran empedu ekstrahepatik harus dilakukan, untuk memeriksa batu empedu, kebocoran
empedu, abses atau nekrosis15,23. Perbaikan kolesistektomi dan fistula mengurangi kebutuhan
intervensi ulang dan timbulnya komplikasi yang berkaitan dengan fistula persisten, termasuk
ileus berulang, kolesistitis atau kolangitis, tetapi hanya dibenarkan pada pasien yang distabilkan
secara memadai dalam kondisi umum yang baik, seperti cadangan kardiorespirasi dan
metabolisme yang baik, yang mampu bertahan dalam operasi yang lebih lama, kecuali jika
telah menunjukkan dengan jelas bahwa tidak ada batu empedu yang tersisa di kantong
empedu18.

Pendukung enterolitotomi sendiri berpendapat bahwa penutupan fistula memakan waktu


dan secara teknis sulit. Penutupan fistula spontan dapat terjadi ketika kantong empedu bebas
dari batu empedu dan saluran kistik tetap paten. Beberapa penulis tidak menemukan risiko
kanker ketika fistula tidak diperbaiki18,23.
Menurut penulis yang berbeda, enterolitotomi sendiri adalah pilihan terbaik untuk sebagian
besar pasien dengan ileus batu empedu. Prosedur satu tahap harus ditawarkan hanya kepada
pasien yang sangat terpilih dengan indikasi absolut untuk operasi bilier pada saat muncul dan
yang telah cukup tergambarkan19,20.
Kegigihan atau penampilan gejala-gejala gallstone related atau gastrointestinal akan
mendorong perlunya evaluasi. USG dan radiologi gastrointestinal kontras dapat mendeteksi
kolelitiasis dan persistensi fistula pada pasien yang telah diobati dengan enterolithotomi saja.
Terlihatnya batu empedu, penampilan gejala, atau fistula kolesistoenterik persisten
menunjukkan perlunya kolesistektomi, penutupan fistula, dan eksplorasi saluran empedu. Telah
ditekankan bahwa kolesistektomi tertunda sebagai prosedur kedua jelas dibenarkan hanya
dalam kasus dengan gejala persisten. Prosedur dua tahap dengan operasi biliari lanjutan
merupakan hal yang tidak umum. Kolesistektomi dan penutupan fistula selanjutnya
direkomendasikan untuk dilakukan 4 sampai 6 minggu kemudian20,39. Tingkat kematian 2,94%
telah dilaporkan pada kelompok pasien ini.

LAPAROSKOPI
Pada tahun 1993, Montgomery42 melaporkan 2 kasus obstruksi usus mekanik, yang
didiagnosis secara laparoskopi dan ditemukan ileus batu empedu. Dalam kedua kasus, segmen
ileum yang terkena dikeluarkan dari rongga perut melalui sayatan kecil, dan melalui enterotomi
batu empedu dibuang. Kedua pasien dipulangkan dan hanya satu yang mengalami infeksi pada
luka dan berhasil diobati. Pada tahun 1994, Franklin dkk43 melaporkan kasus yang ditangani
secara laparoskopi bersama dengan kolesistektomi dan perbaikan fistula kolesistoduodenal.
Pada tahun 2003, El-Dhuwaib dkk44 melaporkan kasus gallstone ileus yang menjalani
laparoskopik enterototomi darurat. Selama masa tindak lanjut, fistula kolesisto duodenum dan
batu saluran empedu terdeteksi. Sebuah kolesistektomi laparoskopi elektif dengan perbaikan
fistula, eksplorasi saluran empedu secara bersamaan, koledokolitotomi dan penutupan saluran
empedu berhasil dilakukan. Pada tahun 2007, Moberg dkk45 melaporkan 32 pasien dengan
gallstone ileus yang dioperasi secara laparoskopi pada 19 kasus dengan 2 konversi, dan dengan
operasi terbuka pada 13 kasus dan tidak ada kematian. Pada 2013, Yang dkk46 melaporkan
kasus sindroma Bouveret, yang berhasil diobati dengan laparoskopilithotomy duodenal dan
kolesistektomi subtotal. Pada tahun 2014, Watanabe dkk47 melaporkan kasus gallstone ileus
karena batu empedu 4 cm di jejunum dengan adanya pneumobilia. Melalui operasi laparoskopi
dengan sayatan tunggal, dilakukan enterolitotomi. Penutupan fistula Cholecystoduodenal
dilakukan 4 bulan setelah operasi, dan pasien tidak mengalami komplikasi yang signifikan.
Meskipun pengalaman dalam perawatan bedah invasif minimal gallstone ileus masih
berkembang, manajemen yang memadai pada pasien risiko rendah telah memungkinkan hasil
yang sukses. Menurut sebuah laporan, laparoskopi hanya digunakan pada 10% dari kasus ileus
batu empedu yang dikelola dengan operasi, dengan tingkat konversi yang tinggi (53,03%)
menjadi laparotomi1. Pemulihan dini dan mortalitas rendah diharapkan dari prosedur
laparoskopi49.

ENDOSKOPI
Batu empedu yang menyebabkan obstruksi gastroduodenal atau kolon mungkin dapat
dilakukan prosedur endoskopi diagnostik dan dalam kasus tertentu untuk endoskopi ekstraksi.
Pada tahun 1976, Stempfle dkk50 melaporkan kasus fistula kolesistogastrik dengan lewatnya
batu empedu ke perut yang menyebabkan perdarahan masif mukosa lambung. Batu empedu
diangkat secara endoskopi dan obstruksi segera dapat dihilangkan. Pendarahan mukosa
dikelola dengan metode konservatif. Visualisasi endoskopi dari batu empedu yang terdeteksi
secara radiologis di duodenum telah dilaporkan, yang mengarah ke perawatan bedah definitif51.
Pada tahun 1981, Finn dkk52 melaporkan kasus wanita berusia 73 tahun dengan ileus batu
empedu yang didiagnosis secara endoskopi dan menemukan 2 batu empedu dalam tonjolan
duodenum. Fistula cholecystoduodenal juga ditemukan. Operasi segera dilakukan. Penggunaan
kolonoskopi dalam obstruksi usus besar oleh batu empedu telah dilaporkan. Pada tahun 1989,
sebuah laporan oleh Patel dkk53 menunjukkan kesulitan teknis setelah beberapa upaya untuk
ekstraksi batu empedu. Pada tahun 1990, Roberts dkk54 melaporkan ekstraksi batu empedu
yang menyumbat kolon sigmoid melalui kolonoskopi. Pada tahun 1985, Bedogni dkk55
melaporkan ekstraksi batu empedu yang sukses dalam kasus obstruksi pyloroduodenal. Tingkat
keberhasilan awal manajemen endoskopi adalah kurang dari 10%. Setelah endoscopic
mechanical lithotripsy (EML), electrohydraulic lithotripsy (EHL), extracorporeal shockwave
lithotripsy (ESWL) dan endoscopic laser lithotripsy (ELL) telah digunakan sendiri atau dalam
kombinasi untuk manajemen endoskopi batu empedu.
Pada tahun 1991, Moriai dkk56 melaporkan penggunaan kombinasi EHL dan EML untuk
pengobatan pasien dengan dua batu empedu 3cm di perut. Fragmen yang lebih kecil diekstraksi
melalui oral. EHL pada batu empedu yang menyebabkan ileus pertama kali dilaporkan oleh
Bourke dkk pada tahun 1997. Pada 2007, Huebner dkk melaporkan dua kasus yang dikelola
dengan EHL saja. Metode ini memiliki risiko perdarahan dan perforasi akibat kerusakan jaringan
di sekitarnya. Pada tahun 1997, ESWL dilaporkan oleh Dumonceau dkk yang merawat dua
pasien dengan sindroma Bouveret. Semua fragmen dihilangkan peroral, kecuali satu yang
tersisa di perut pasien pertama dan menyebabkan ileus berulang. ESWL mungkin perlu sesi
berulang diikuti oleh endoskopi. Obesitas dan distensi usus dapat menjadi hambatan prosedur
ini57.
Penggunaan Holmium: YAG laser lithotripsy telah dilaporkan. Upaya untuk memecah dan
mengambil batu empedu duodenum yang menyebabkan sindroma Bouveret mengakibatkan
obstruksi usus halus sekunder akibat fragmen. Pasien membutuhkan operasi enterolitotomi.
Pada tahun 2005, Goldstein dkk melaporkan kasus seorang pasien berusia 94 tahun dengan dua
batu empedu di duodenum, yang tidak dapat diambil di luar sfingter esofagus atas
menggunakan jaring Roth. Laser holmium: yttrium alumunium (Holmium: YAG) digunakan
untuk fragmentasi batu empedu, dengan keberhasilan ekstraksi. Keuntungan utama dari ELL
adalah penargetan yang tepat dari batu empedu yang menyumbat, dengan pengurangan risiko
cedera jaringan di sekitarnya58.
Salah satu keterbatasan potensial untuk manajemen endoskopi batu empedu adalah lokasi
di luar jangkauan endoskopi. Pada tahun 1999, Lubb dkk melaporkan kasus seorang pasien
wanita berusia 91 tahun yang tidak layak untuk operasi dan setelah diketahui lokasi batu
empedu di jejunum atas dapat segera dikelola dengan EML. Pada tahun 2010, Heinzow dkk
melaporkan kasus seorang pasien wanita berusia 81 tahun yang menderita gallstone ileus pada
ileum. Enteroskopi balon tunggal peroral memungkinkan ekstraksi batu empedu yang berhasil.
Enteroskopi balon tunggal dan ganda merupakan cara terapi terarah endoskopi yang baru.
Lokasi batu empedu pada kolon dapat dikelola secara endoskopi pada pasien tertentu. Pada
tahun 2010, Zielinski dkk melaporkan kasus EHL endoskopi pada batu empedu 4,1 cm di kolon
sigmoid. Batu empedu yang menyumbat pada katup ileocecal berhasil dikelola oleh Shin dkk
menggunakan EHL melalui kolonoskopi pada pasien dengan sirosis hati (ChildPugh kelas B).
Fragmen diambil dengan jaring / snare dan forcep.
Metode endoskopi nonoperatif ini harus dipertimbangkan pada pasien usia lanjut dan risiko
tinggi10. Komplikasi potensial dari perawatan endoskopi adalah kemungkinan sumbatan distal
dari fragmen batu empedu.

MORBIDITAS
Sebelumnya, komplikasi pasca operasi yang paling umum adalah infeksi pada luka. Pada
tahun 1961, Raiford mengamati secara umum 75% infeksi pada luka. Perionitis lokal, komplikasi
pernapasan, flebitis, obstruksi berulang akibat batu empedu residual dan kolangitis juga
diamati. Dalam laporan yang lebih baru, tingkat komplikasi pasca operasi telah dilaporkan
dalam kisaran 45% - 63%18,39. Infeksi pada luka terus menjadi komplikasi yang paling umum,
dengan tingkat 27% dan 42,5%, seperti yang dilaporkan oleh Clavien dkk dan Rodríguez
Hermosa dkk. Beberapa penulis telah melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan dari
komplikasi pasca operasi antara pasien yang dirawat dengan enterolitotomi atau
enterolitotomi, kolesistektomi dan penutupan fistula18,39. Martínez Ramos dkk menemukan
tingkat komplikasi 100% di antara pasien yang membutuhkan reseksi usus. Komplikasi secara
umum lebih besar terjadi ketika diagnosis dibuat selama prosedur bedah daripada ketika
diagnosis ditemukan sebelum operasi. Jika relapse ileus batu empedu tidak dipertimbangkan,
komplikasi pasca operasi yang lebih rendah adalah dehiscence luka, komplikasi kardiopulmoner
dan vaskular, sepsis, fistula usus dan empedu, dan infeksi saluran kemih18,39.
Saat ini, komplikasi pasca operasi yang paling umum adalah gagal ginjal akut, yang terlihat
pada 30,45% pasien, diikuti oleh infeksi saluran kemih (13,79%), ileus (12,42%), kebocoran
anastomosis, abses intraabdominal, fistula enterik (12,27%) , dan infeksi pada luka (7,73%)48.

MORTALITAS
Gallstone ileus sebagian besar merupakan penyakit geriatri, dan sebanyak 80% - 90% pasien
memiliki penyakit komorbiditas. Hipertensi, diabetes, gagal jantung kongestif, penyakit paru
kronis, dan anemia merupakan komorbiditas yang paling umum48. Kondisi terkait ini perlu
dipertimbangkan, karena dapat mempengaruhi hasil perawatan23.
Mortalitas dilaporkan setinggi 44% pada akhir 1800-an, sedangkan pada paruh pertama
abad kedua puluh angka ini dipertahankan antara 40%-50%8,15. Pada tahun 1990-an, penurunan
angka kematian diamati hingga 15%-18%, hingga tingkat saat ini kurang dari 7%20,48. Secara
khusus, enterolitotomi sederhana telah lama dikaitkan dengan kematian 11,7% dibandingkan
dengan 16,9% untuk prosedur satu tahap (enterolitotomi plus kolesistektomi dan penutupan
fistula)20.
Seperti dijelaskan oleh Kirchmayr dkk59, empat alasan utama atas banyaknya angka
kematian adalah; Pertama, gallstone ileus adalah penyakit lanjut usia. Kedua, komorbiditas,
seperti penyakit kardiorespirasi dan/atau diabetes mellitus. Ketiga, karena diagnosis yang tidak
tepat dan diagnosis yang tertunda. Keempat, pemulihan paska operasi yang terhambat;
komplikasi terkait usia seperti pneumonia atau gagal jantung lebih sering daripada komplikasi
terkait operasi.
Dalam studi oleh Halabi dkk48 dari 3268 kasus gallstone ileus yang menjalani manajemen
bedah, tingkat kematian keseluruhan diamati sebesar 6,67%. Para penulis mencatat bahwa
penutupan fistula, dilakukan selama prosedur awal, secara independen terkait dengan tingkat
kematian yang lebih tinggi daripada enterolitotomi saja. Ketika reseksi usus diindikasikan, itu
juga dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi daripada enterolitotomi saja. Ketika
menganalisis dengan prosedur bedah, angka kematian adalah 4,94% untuk kelompok
enterolitotomi saja, 7,25% untuk kelompok enterolitotomi plus kolesistektomi dan penutupan
fistula, 12,87% untuk kelompok reseksi usus, dan 7,46% untuk reseksi usus dan kelompok
penutupan fistula. Namun, jika pertimbangan dibuat dari fakta bahwa reseksi usus bukan
pilihan, tetapi memang dilakukan karena kondisi usus, kematian untuk pasien yang menjalani
enterolitotomi saja atau reseksi usus sebenarnya adalah 6,53%.

KESIMPULAN
Gallstone ileus atau obstruksi gastro intestinal batu empedu mewakili kurang dari 1% dari
kasus obstruksi gastrointestinal, dengan frekuensi yang lebih tinggi di antara orang tua. CT Scan
telah terbukti menjadi modalitas diagnostik yang paling akurat, tetapi validasi kriteria
diagnostik diperlukan. Pembedahan untuk menghilangkan obstruksi adalah pengobatan pilihan.
Mengingat tingginya insiden komorbiditas pada pasien ini, penilaian yang baik diperlukan dalam
pemilihan prosedur bedah. Enterolitotomi tetap menjadi andalan pengobatan operatif.
Kolesistektomi satu tahap dan perbaikan fistula dibenarkan hanya pada pasien tertentu dalam
kondisi umum yang baik dan cukup stabil sebelum operasi. Kriteria khusus untuk prosedur satu
tahap tetap harus ditetapkan. Operasi dua tahap adalah pilihan untuk pasien dengan
simtomatologi persisten setelah operasi enterolitotomi. Studi prospektif dari prosedur
laparoskopi dan endoskopi masih perlu dilakukan.
Penanganan pada pasien ini harus dilakukan secara holistik bukan terfokus hanya pada
gejala yang muncul di bidang bedah, tetapi juga mempertimbangkan faktor usia dan komorbid
untuk mengelola pasien ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Halabi WJ, Kang CY, Ketana N, Lafaro KJ, Nguyen VQ, Stamos MJ, Imagawa DK, Demirjian
AN. Surgery for gallstone ileus: a nationwide comparison of trends and outcomes. Ann
Surg 2014; 259: 329-335 [PMID: 23295322 DOI: 10.1097/SLA. 0b013e31827 eefed]
2. Gurvits GE, Lan G; Enterolithiasis. World J Gastroenterol. 2014 Dec 2120(47):17819-29.
doi: 10.3748/wjg.v20.i47.17819.
3. Qamrul Arfin SM, Haqqi SA, Shaikh H, et al; Bouveret's syndrome: successful endoscopic
treatment of gastric outlet obstruction caused by an impacted gallstone. J Coll
4. Farooq A, Memon B, Memon MA; Resolution of gallstone ileus with spontaneous
evacuation of gallstone. Emerg Radiol. 2007 Nov14(6):421-3. Epub 2007 May 31.
5. Physicians Surg Pak. 2012 Mar22(3):174-5. doi: 02.2012/JCPSP.174175. Abou-Saif A, Al-
Kawas FH. Complications of gallstone disease: Mirizzi syndrome, cholecystocholedochal
fistula, and gallstone ileus. Am J Gastroenterol 2002; 97: 249-254 [PMID: 11866258 DOI:
10.1111/j.1572-0241.2002.05451.x]
6. Martin F. Intestinal obstruction due to gall-stones: with report of three successful cases.
Ann Surg 1912; 55: 725-743 [PMID: 17862839 DOI: 10.1097/00000658-191205000-
00005]
7. Courvoisier LG. Casuistisch-statistische Beitrage zur Pathologic und Chirurgie der
gallenwege. XII Leipzig, FCW Vogel, 1890
8. Bouveret L. Stenose du pylore adherent a la vesicule calculeuse. Rev Med (Paris) 1896;
16: 1-16
9. Kurtz RJ, Heimann TM, Beck AR, Kurtz AB. Patterns of treatment of gallstone ileus over a
45 year period. Am J Gastroenterol 1985; 80: 95-98 [PMID: 3970007]
10. Clavien PA, Richon J, Burgan S, Rohner A. Gallstone ileus. Br J Surg 1990; 77: 737-742
[PMID: 2200556 DOI: 10.1002/ bjs.1800770707]
11. Reisner RM, Cohen JR. Gallstone ileus: a review of 1001 reported cases. Am Surg 1994;
60: 441-446 [PMID: 8198337]
12. Kasahara Y, Umemura H, Shiraha S, Kuyama T, Sakata K, Kubota H. Gallstone ileus.
Review of 112 patients in the Japanese literature. Am J Surg 1980; 140: 437-440 [PMID:
7425220 DOI:10.1016/0002-9610(80)90185-3]
13. Mondragón Sánchez A, Berrones Stringel G, Tort Martínez A, Soberanes Fernández C,
Domínguez Camacho L, Mondragón Sánchez R. [Surgical management of gallstone ileus:
fourteen year experience]. Rev Gastroenterol Mex 2005; 70: 44-49 [PMID:16170962]
14. Nakao A, Okamoto Y, Sunami M, Fujita T, Tsuji T. The oldest patient with gallstone ileus:
report of a case and review of 176 cases in Japan. Kurume Med J 2008; 55: 29-33 [PMID:
18981682 DOI: 10.2739/kurumemedj.55.29]
15. Warshaw AL, Bartlett MK. Choice of operation for gallstone intestinal obstruction. Ann
Surg 1966; 164: 1051-1055 [PMID: 5926241 DOI: 10.1097/00000658-196612000-00015]
16. Fox PF. Planning the operation for cholecystoenteric fistula with gallstone ileus. Surg
Clin North Am 1970; 50: 93-102 [PMID: 5412582]
17. VanLandingham SB, Broders CW. Gallstone ileus. Surg Clin North Am 1982; 62: 241-247
[PMID: 7071691]
18. Raiford TS. Intestinal obstruction due to gallstones. (Gallstone ileus). Ann Surg 1961;
153: 830-838 [PMID: 13739168 DOI:10.1097/00000658-196106000-00003]
19. Ayantunde AA, Agrawal A. Gallstone ileus: diagnosis and management. World J Surg
2007; 31: 1292-1297 [PMID: 17436117DOI: 10.1007/s00268-007-9011-9]
20. Masannat Y, Masannat Y, Shatnawei A. Gallstone ileus: a review.Mt Sinai J Med 2006;
73: 1132-1134 [PMID: 17285212]
21. Beltran MA, Csendes A. Mirizzi syndrome and gallstone ileus: anunusual presentation of
gallstone disease. J Gastrointest Surg 2005;9: 686-689 [PMID: 15862264 DOI:
10.1016/j.gassur.2004.09.058]
22. Rogers FA, Carter R. Gallstone intestinal obstruction. Calif Med 1958; 88: 140-143
[PMID: 13500219]
23. Halter F, Bangerter U, Gigon JP, Pusterla C. Gallstone ileus after endoscopic
sphincterotomy. Endoscopy 1981; 13: 88-89 [PMID:7227334 DOI: 10.1055/s-2007-
1021655]
24. Chavalitdhamrong D, Donepudi S, Pu L, Draganov PV. Uncommon and rarely reported
adverse events of endoscopic retrograde cholangiopancreatography. Dig Endosc 2014;
26: 15-22 [PMID:24118211 DOI: 10.1111/den.12178]
25. Yamauchi Y, Wakui N, Asai Y, Dan N, Takeda Y, Ueki N, Otsuka T, Oba N, Nisinakagawa S,
Kojima T. Gallstone Ileus following Endoscopic Stone Extraction. Case Rep Gastrointest
Med 2014; 2014: 271571 [PMID: 25328725 DOI: 10.1155/2014/271571]
26. Deckoff SL. Gallstone ileus; a report of 12 cases. Ann Surg 1955; 142: 52-65 [PMID:
14388611 DOI: 10.1097/00000658-195507000-00007]
27. Habib E, Elhadad A. Digestive complications of gallstones lost during laparoscopic
cholecystectomy. HPB (Oxford) 2003; 5: 118-122 [PMID: 18332969 DOI:
10.1080/13651820310016463]
28. Luu MB, Deziel DJ. Unusual complications of gallstones. Surg Clin North Am 2014; 94:
377-394 [PMID: 24679427 DOI:10.1016/j.suc.2014.01.002]
29. Zehetner J, Shamiyeh A, Wayand W. Lost gallstones in laparoscopic cholecystectomy: all
possible complications. Am J Surg 2007; 193:73-78 [PMID: 17188092 DOI:
10.1016/j.amjsurg.2006.05.015]
30. Koulaouzidis A, Moschos J. Bouveret’s syndrome. Narrative review. Ann Hepatol 2007;
6: 89-91 [PMID: 17519830]
31. Dias AR, Lopes RI. Biliary stone causing afferent loop syndrome and pancreatitis. World J
Gastroenterol 2006; 12: 6229-6231[PMID: 17036402 DOI: 10.3748/wjg.v12.i38.6229]
32. Micheletto G, Danelli P, Morandi A, Panizzo V, Montorsi M. Gallstone ileus after
biliointestinal bypass: report of two cases. J Gastrointest Surg 2013; 17: 2162-2165
[PMID: 23897084 DOI:10.1007/s11605-013-2290-6]
33. Rodríguez Hermosa JI, Codina Cazador A, Gironès Vilà J, Roig García J, Figa Francesch M,
Acero Fernández D. [Gallstone Ileus: results of analysis of a series of 40 patients].
Gastroenterol Hepatol2001; 24: 489-494 [PMID: 11730617 DOI: 10.1016/S0210-
5705(01)70220-8]
34. Rodríguez-Sanjuán JC, Casado F, Fernández MJ, Morales DJ, Naranjo A. Cholecystectomy
and fistula closure versus enterolithotomyalone in gallstone ileus. Br J Surg 1997; 84:
634-637 [PMID: 9171749 DOI: 10.1002/bjs.1800840514]
35. Zaliekas J, Munson JL. Complications of gallstones: the Mirizzi syndrome, gallstone ileus,
gallstone pancreatitis, complications of “lost” gallstones. Surg Clin North Am 2008; 88:
1345-1368, x [PMID: 18992599 DOI: 10.1016/j.suc.2008.07.011]
36. Cappell MS, Davis M. Characterization of Bouveret’s syndrome: a comprehensive review
of 128 cases. Am J Gastroenterol 2006; 101: 2139-2146 [PMID: 16817848 DOI:
10.1111/j.1572-0241.2006.00645.x]
37. Cooperman AM, Dickson ER, ReMine WH. Changing concepts in the surgical treatment
of gallstone ileus: a review of 15 cases with emphasis on diagnosis and treatment. Ann
Surg 1968; 167: 377-383 [PMID: 5644101]
38. de Alencastro MC, Cardoso KT, Mendes CA, Boteon YL, de Carvalho RB, Fraga GP. Acute
intestinal obstruction due to gallstone ileus. Rev Col Bras Cir 2013; 40: 275-280 [PMID:
24173476 DOI: 10.1590/S0100-69912013000400004]
39. Martínez Ramos D, Daroca José JM, Escrig Sos J, Paiva Coronel G, Alcalde Sánchez M,
Salvador Sanchís JL. Gallstone ileus: management options and results on a series of 40
patients. Rev EspEnferm Dig 2009; 101: 117-120, 121-124 [PMID: 19335047 DOI:
10.4321/s1130-01082009000200005]
40. Yakan S, Engin O, Tekeli T, Calik B, Deneçli AG, Coker A, Harman M. Gallstone ileus as an
unexpected complication of cholelithiasis: diagnostic difficulties and treatment. Ulus
Travma Acil Cerrahi Derg 2010; 16: 344-348 [PMID: 20849052]
41. Rigler LG, Borman CN, Noble JF. Gallstone obstruction: pathogenesis and roentgen
manifestations. JAMA 1941; 117: 1753-1759 [DOI:
10.1001/jama.1941.02820470001001]
42. Balthazar EJ, Schechter LS. Air in gallbladder: a frequent finding in gallstone ileus. AJR
Am J Roentgenol 1978; 131: 219-222 [PMID: 97997]
43. Liew V, Layani L, Speakman D. Bouveret’s syndrome in Melbourne. ANZ J Surg 2002; 72:
161-163 [PMID: 12074073 DOI: 10.1046/j.1445-2197.2002.02319.x]
44. rennan GB, Rosenberg RD, Arora S. Bouveret syndrome. Radiographics 2004; 24: 1171-
1175 [PMID: 15256636 DOI: 10.1148/rg.244035222]
45. Lasson A, Lorén I, Nilsson A, Nirhov N, Nilsson P. Ultrasonography in gallstone ileus: a
diagnostic challenge. Eur J Surg 1995; 161: 259-263 [PMID: 7612768]
46. Ripollés T, Miguel-Dasit A, Errando J, Morote V, Gómez-Abril SA, Richart J. Gallstone
ileus: increased diagnostic sensitivity by combining plain film and ultrasound. Abdom
Imaging 2001; 26: 401-405 [PMID: 11441553 DOI: 10.1007/s002610000190]
47. Yu CY, Lin CC, Shyu RY, Hsieh CB, Wu HS, Tyan YS, Hwang JI, Liou CH, Chang WC, Chen
CY. Value of CT in the diagnosis and management of gallstone ileus. World J
Gastroenterol 2005; 11:2142-2147 [PMID: 15810081 DOI: 10.3748/wjg.v11.i14.2142]
48. Lassandro F, Gagliardi N, Scuderi M, Pinto A, Gatta G, Mazzeo R. Gallstone ileus analysis
of radiological findings in 27 patients.Eur J Radiol 2004; 50: 23-29 [PMID: 15093232 DOI:
10.1016/j.ejrad.2003.11.011]
49. Lassandro F, Romano S, Ragozzino A, Rossi G, Valente T,Ferrara I, Romano L, Grassi R.
Role of helical CT in diagnosis of gallstone ileus and related conditions. AJR Am J
Roentgenol 2005; 185: 1159-1165 [PMID: 16247126 DOI: 10.2214/AJR.04.1371]
50. Balthazar EJ. George W. Holmes Lecture. CT of small-bowel obstruction. AJR Am J
Roentgenol 1994; 162: 255-261 [PMID: 8310906 DOI: 10.2214/ajr.162.2.8310906]
51. Pickhardt PJ, Friedland JA, Hruza DS, Fisher AJ. Case report. CT, MR
cholangiopancreatography, and endoscopy findings in Bouveret’s syndrome. AJR Am J
Roentgenol 2003; 180: 1033-1035 [PMID: 12646450 DOI: 10.2214/ajr.180.4.1801033]
52. Berliner SD, Burson LC. One-stage repair for cholecyst-duodenal fistula and gallstone
ileus. Arch Surg 1965; 90: 313-316 [PMID: 14232966 DOI:
10.1001/archsurg.1965.01320080137028]
53. Doogue MP, Choong CK, Frizelle FA. Recurrent gallstone ileus: underestimated. Aust N Z
J Surg 1998; 68: 755-756 [PMID: 9814734 DOI: 10.1111/j.1445-2197.1998.tb04669.x]
54. Kirkland KC, Croce EJ. Gallstone intestinal obstruction. A review of the literature and
presentation of 12 cases, including 3 recurrences. JAMA 1961; 176: 494-497 [PMID:
13756258 DOI: 10.1001/jama.1961.03040190016005]
55. Bossart PA, Patterson AH, Zintel HA. Carcinoma of the gallbladder. A report of seventy-
six cases. Am J Surg 1962; 103: 366-369 [PMID: 13871613]
56. Ravikumar R, Williams JG. The operative management of gallstone ileus. Ann R Coll Surg
Engl 2010; 92: 279-281 [PMID: 20501012 DOI: 10.1308/003588410X12664192076377]
57. Doko M, Zovak M, Kopljar M, Glavan E, Ljubicic N, Hochstädter H. Comparison of surgical
treatments of gallstone ileus: preliminary report. World J Surg 2003; 27: 400-404 [PMID:
12658481 DOI: 10.1007/s00268-002-6569-0]
58. Tan YM, Wong WK, Ooi LL. A comparison of two surgical strategies for the emergency
treatment of gallstone ileus. Singapore Med J 2004; 45: 69-72 [PMID: 14985844]
59. Riaz N, Khan MR, Tayeb M. Gallstone ileus: retrospective review of a single centre’s
experience using two surgical procedures. Singapore Med J 2008; 49: 624-626 [PMID:
18756345]
60. Fiddian RV. Gall-stone ileus. Recurrences and multiple stones. Postgrad Med J 1959; 35:
673-676 [PMID: 13822643]
61. Nuño-Guzmán CM, Arróniz-Jáuregui J, Moreno-Pérez PA, Chávez-Solís EA, Esparza-Arias
N, Hernández-González CI. Gallstone ileus: One-stage surgery in a patient with
intermittent obstruction. World J Gastrointest Surg 2010; 2: 172-176 [PMID: 21160869
DOI: 10.4240/wjgs.v2.i5.172]
62. Montgomery A. Laparoscope-guided enterolithotomy for gallstone ileus. Surg Laparosc
Endosc 1993; 3: 310-314 [PMID: 8269250]
63. Franklin ME Jr, Dorman JP, Schuessler WW. Laparoscopic treatment of gallstone ileus: a
case report and review of the literature. J Laparoendosc Surg 1994; 4: 265-272 [PMID:
7949386 DOI: 10.1089/lps.1994.4.265]
64. El-Dhuwaib Y, Ammori BJ. Staged and complete laparoscopic management of
cholelithiasis in a patient with gallstone ileus and bile duct calculi. Surg Endosc 2003; 17:
988-989 [PMID: 12632139 DOI: 10.1007/s00464-002-4275-5]
65. Moberg AC, Montgomery A. Laparoscopically assisted or open enterolithotomy for
gallstone ileus. Br J Surg 2007; 94: 53-57 [PMID: 17058318 DOI: 10.1002/bjs.5537]
66. Yang D, Wang Z, Duan ZJ, Jin S. Laparoscopic treatment of an upper gastrointestinal
obstruction due to Bouveret’s syndrome. World J Gastroenterol 2013; 19: 6943-6946
[PMID: 24187475 DOI: 10.3748/wjg.v19.i40.6943]
67. Watanabe Y, Takemoto J, Miyatake E, Kawata J, Ohzono K, Suzuki H, Inoue M, Ishimitsu
T, Yoshida J, Shinohara M, Nakahara C. Single-incision laparoscopic surgery for gallstone
ileus: An alternative surgical procedure. Int J Surg Case Rep 2014; 5: 365-369 [PMID:
24858981 DOI: 10.1016/j.ijscr.2014.04.024]
68. Bircan HY, Koc B, Ozcelik U, Kemik O, Demirag A. Laparoscopic treatment of gallstone
ileus. Clin Med Insights Case Rep 2014; 7: 75-77 [PMID: 25187746 DOI:
10.4137/CCRep.S16512]
69. Stempfle B, Diamantopoulos G. [Spontaneous cholecystogastric fistula with massive
gastrointestinal bleeding. Endoscopic diagnosis and concrement extraction]. Fortschr
Med 1976; 94: 444-447 [PMID: 1085741]
70. Tauris P. Gallstone ileus revealed by endoscopy. Endoscopy 1977; 9: 104-106 [PMID:
891480 DOI: 10.1055/s-0028-1098500]
71. Finn H, Bienia M. [Determination of gallstone ileus using emergency gastroscopy]. Z
Gesamte Inn Med 1981; 36: 85-87 [PMID: 7222856]
72. Patel SA, Engel JJ, Fine MS. Role of colonoscopy in gallstone ileus: --a case report.
Endoscopy 1989; 21: 291-292 [PMID: 2612433 DOI: 10.1055/s-2007-1012973]
73. Roberts SR, Chang C, Chapman T, Koontz PG, Early GL. Colonoscopic removal of a
gallstone obstructing the sigmoid colon. J Tenn Med Assoc 1990; 83: 18-19 [PMID:
2294333]
74. Bedogni G, Contini S, Meinero M, Pedrazzoli C, Piccinini GC. Pyloroduodenal obstruction
due to a biliary stone (Bouveret’s syndrome) managed by endoscopic extraction.
Gastrointest Endosc 1985; 31: 36-38 [PMID: 3979766 DOI: 10.1016/S0016- 5107(85)7
1965-7]
75. Lowe AS, Stephenson S, Kay CL, May J. Duodenal obstruction by gallstones (Bouveret’s
syndrome): a review of the literature. Endoscopy 2005; 37: 82-87 [PMID: 15657864 DOI:
10.1055/s-2004-826100]
76. Moriai T, Hasegawa T, Fuzita M, Kimura A, Tani T, Makino I. Successful removal of
massive intragastric gallstones by endoscopic electrohydraulic lithotripsy and
mechanical lithotripsy. Am J Gastroenterol 1991; 86: 627-629 [PMID: 2028958]
77. Bourke MJ, Schneider DM, Haber GB. Electrohydraulic lithotripsy of a gallstone causing
gallstone ileus. Gastrointest Endosc 1997; 45: 521-523 [PMID: 9199914 DOI:
10.1016/S0016- 5107(97)70186-X]
78. Huebner ES, DuBois S, Lee SD, Saunders MD. Successful endoscopic treatment of
Bouveret’s syndrome with intracorporeal electrohydraulic lithotripsy. Gastrointest
Endosc 2007; 66: 183-184; discussion 184 [PMID: 17521642 DOI: 10.1016/j.
gie.2007.01.024]
79. Dumonceau JM, Delhaye M, Devière J, Baize M, Cremer M. Endoscopic treatment of
gastric outlet obstruction caused by a gallstone (Bouveret’s syndrome) after
extracorporeal shock-wave lithotripsy. Endoscopy 1997; 29: 319-321 [PMID: 9255539
DOI: 10.1055/s-2007-1004197]
80. Gemmel C, Weickert U, Eickhoff A, Schilling D, Riemann JF. Successful treatment of
gallstone ileus (Bouveret‘s syndrome) by using extracorporal shock wave lithotripsy and
argon plasma coagulation. Gastrointest Endosc 2007; 65: 173-175 [PMID: 17137860 DOI:
10.1016/j.gie.2006.05.025]
81. Alsolaiman MM, Reitz C, Nawras AT, Rodgers JB, Maliakkal BJ. Bouveret’s syndrome
complicated by distal gallstone ileus after laser lithotropsy using Holmium: YAG laser.
BMC Gastroenterol 2002; 2: 15 [PMID: 12086587 DOI: 10.1186/1471-230X-2-15]
82. Goldstein EB, Savel RH, Pachter HL, Cohen J, Shamamian P. Successful treatment of
Bouveret syndrome using holmium: YAG laser lithotripsy. Am Surg 2005; 71: 882-885
[PMID: 16468542]
83. Sethi S, Kochar R, Kothari S, Thosani N, Banerjee S. Good Vibrations: Successful
Endoscopic Electrohydraulic Lithotripsy for Bouveret’s Syndrome. Dig Dis Sci 2015; 60:
2264-2266 [PMID: 25381652 DOI: 10.1007/s10620-014-3424-8]
84. Lübbers H, Mahlke R, Lankisch PG. Gallstone ileus: endoscopic removal of a gallstone
obstructing the upper jejunum. J Intern Med 1999; 246: 593-597 [PMID: 10620104 DOI:
10.1046/j. 1365-2796. 1999.00597.x]
85. Heinzow HS, Meister T, Wessling J, Domschke W, Ullerich H. Ileal gallstone obstruction:
Single-balloon enteroscopic removal. World J Gastrointest Endosc 2010; 2: 321-324
[PMID: 21160765 DOI: 10.4253/wjge.v2.i9.321]
86. Zielinski MD, Ferreira LE, Baron TH. Successful endoscopic treatment of colonic gallstone
ileus using electrohydraulic lithotripsy. World J Gastroenterol 2010; 16: 1533-1536
[PMID: 20333797 DOI: 10.3748/wjg.v16.i12.1533]
87. Shin KH, Kim DU, Choi MG, Kim WJ, Ryu DY, Lee BE, Kim GH, Song GA. [A case of
gallstone ileus treated with electrohydraulic lithotripsy guided by colonoscopy]. Korean J
Gastroenterol 2011; 57: 125-128 [PMID: 21350324 DOI: 10.4166/kjg.2011.57.2.125]
88. Kirchmayr W, Mühlmann G, Zitt M, Bodner J, Weiss H, Klaus A. Gallstone ileus: rare and
still controversial. ANZ J Surg 2005; 75: 234-238 [PMID: 15839973 DOI: 10.1111/j.1445-
2197.2005.03368. x] 58. W. Halabi, C. Kang, N. Ketana, K. Lafaro, V. Nguyen, M. Stamos,
D. Imagawa, A.Demirjian, Surgery for gallstone ileus, Ann. Surg. 259 (2) (2014) 329–335.

Anda mungkin juga menyukai