Anda di halaman 1dari 14

REFARAT

BAGIAN ILMU OBSTETRI & GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

INKOTINENSIA ALVI

OLEH :

Ismi Ramdani

K1A1 13 119

Pembimbing

Dr. dr. Juminten Saimin Sp. OG., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU OBSTETRI & GINEKOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Ismi Ramdani

Nim : K1A1 13 119

Judul referat : Inkotinensia Alvi

Telah menyelesaikan refarat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian ilmu obstetri
dan ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

Kendari, September 2019

Mengetahui,

Pembimbing

Dr. dr. Juminten Saimin, Sp. OG., M.Kes

ii
Inkotinensia Alvi

Ismi Ramdani, Juminten Saimin

A. Pendahuluan
Inkontinensia ani merupakan kondisi kesehatan yang secara fisik dan psikososial
mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Definisi inkontinensia ani secara umum
adalah kehilangan kontrol dari pengeluaran feces baik berupa cairan maupun padat.
Inkontinensia ani pada beberapa literatur juga didefenisikan sebagai pengeluaran
flatus yang tidak terkontrol.1
Inkontinensia fekal didefinisikan sebagai aliran yang involunter atau
ketidakmampuan kontrol dari pengeluaran masa feses melalui anus. Secara klinis
inkontinensia fekal terdiri dari 3 subtipe, yaitu 1.inkontinensia pasif, pengeluaran
fases atau gas terjadi secara involunter/ tidak disadari, 2. Inkontinensia urgen,
pengeluaran massa feses walaupun ada usaha aktif untuk menahan isi feses, 3.
Perembesan feses, kebocoran feses diluar pengeluaran feses normal. Suatu keadaan
dimana terdapat kegagalan dalam melakukan kontrol defekasi disebut inkontinensia
fekal, dengan kondisi yang bervariasi dari yang ringan berupa bercak di celanan
dalam sampai pelepasan feses secara total.3
Banyak faktor yang berhubungan dalam terjadinya inkontinensia ani termasuk
umur, obesitas, trauma obstetrik, penyakit kronis misalnya diabetes, prolaps
rektum, radang usus, pembedahan pada anus, pembedahan karena inkontinensia
urin dan lain sebagainya. Faktor risiko independen yang berperan misalnya cedera
sfingter ani pada saat persalinan. Konsensus epidemiologi dari inkontinensia ani
adalah semua inkontinensia dari flatus, kotoran yang bersifat cairan maupun padat
yang berpengaruh pada kualitas hidup perseorangan.1
Prevalensi terjadinya inkontinensia ani di dunia bervariasi sesuai dengan
tingkatan umur, mulai 0,4 % hingga 20 %. Di Indonesia, prevalensi inkontinensia
ani belum terdokumentasikan dengan baik. Inkontinensia ani melibatkan
interaksi sfingter dan levator dengan fungsi saraf pudendal. Prevalensi
inkontinensia ani setelah persalinan pervaginam antara 5% sampai 26%. Faktor
risiko inkontinensia ani untuk postpartum yaitu riwayat persalinan operatif ( forcep
atau vakum) dan laserasi sfingter anus derajat ketiga dan keempat Hal tersebut
sering terjadi pada bayi makrosomia dan episiotomi garis tengah.2
B. Anatomi

iii
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan, dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile.
Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior
lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah
bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang
lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh sfingter ani (eksternal dan internal) serta
otot-otot yang mengatur passase isi rektum ke dunia luar. Sfingter ani eksterna
terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan.3
Rektum dimulai pada tingkat Vertebra sacralis II atau III dan berakhir
pada dasar panggul yang ditembus oleh Canalis analis. Pada bidang sagital,
Rectm memiliki dua lekung: Flexura sacralis konveks di dorsal dan flexura
sacralis adalah organ retroperitoneal sekunder, bagian distalnya dan Canalis
memiliki posisi subperitoneal. Pada daerah kranial, Rectum membentuk Flexura
sacralis konveks ke dorsal dan di kaudal, setinggi jalur melalui dasar panggul,
flexura perinealis konveks ke ventral. 4
Relief dalam Rectum memperlihatkan lipatan melintang sehingga disebut
Plicae transversae recti. Salah satu dari tiga lipatan dapat di raba secara teratur
pada sekitar 6-7 cm di atas anus (lipat KOHLRAUSCH). Di bawah lipatan ini,
rectum berdilatasi membentuk Ampulla recti. Linea anorectalis menandakan
transisi menuju Canalis analis. Area ini ditandai dengan perubahan dari lipat
transversal Rectum menjadi lipat longitudinal Canalis analis dan
menggambarkan zona transisi di antara Rectum dan Canalis analis (Junction

iv
anorectalis). Canalis analis memiliki organ kontinensia yang dikontrol oleh SSP
yang terdiri dari anus, otot-otot sfingter, dan corpus Cavernosum recti. Selain
defekasi, anus ditutup oleh kontraksi permanen M. Sphincter ani internus.
Corpus cavernosum recti didarahi oleh A. Rectalis superior dan pendarahan ini
memerlukan penutupan Canalis analis yang kedap udara. Canalis analis dibagi
menjadi tiga segmen:

Zona columnaris: berisi lipat longitudinal (Columnae anales)
yang dibentuk oleh Corpus cavernosum recti di bawahnya.

Pecten analis: epitel skuamosa non-keratinisasi bertingkat
membentuk zona putih pada ukosa (Zona alba), batas superior
zona ini disebut Linea pectinata (istilah klinis: Linea dentata), di
sini Valvulae anales dan epitel skuamosa putih bertemu.

Zona cutanea: kulit eksterna, secara tidak konsisten dibatasi oleh
linea anocutanea.4
Pada pars ampularis terdapat 3 buah plica transversalis yang dibentuk
oleh stratum circulate tunica muscularis. Plica yang tengah sangat tebal, disebut
plica trasversalis kohiraush, berfungsi sebgai penahanan isi rektum. Pada pars
analis terdapat plica yang arahnya longitudinal dan disebut columna rectalis
morgagni. Disebelah analisis columna rectalis bersatu membentuk annulus
rectalis, (= annulus haemorroidalis). Disbelah profunda mucosa terdpat pleksus
venosus yang disebut plexus haemorrhoidalis), di sebelah profunda mucosa
terdapat plexus venosus yang disebut plexus haemorrhoidalis.4
Rectum memiliki lipat transversa (plicae transversae recti) dan Canalis
analis memiliki lipat longitudinal (Columnae anales). Inspeksi mukosa prolaps
memungkinkandiskriminasi visual antara prolaps recti dan prolaps ani.
Keduanya menyebabkan inkontinensia feces.4

Musculus sphincter terdiri dari :


 M. Sphincter ani internus (otot polos, inervasi simpatis involuntari) :
kontunuasi lapisan otot sirkular
 M. Corrugator ani (otot polos) : kontinuasi lapisan muskular longitudinal
 M. Sphincter ani externus otot lurik, kontrol voluntar meallui N.
Pudendus) memiliki segmen berbeda (partes subcutanea, superficialis,
profunda)

v
 M. Puborectalis (otot lurik, kontrol voluntar melalui N. Pudensaus dan
cabang langsung plexus sacralis): bagian dari M. Levator ani,
membentuk lengkung di belakang rectum untuk menariknya ke ventral
dan membentuk flexura perinealis. Kekakuan yang tejadi pada rectum
memungkinkan penyimpanan feses dalam ampulla recti.
Vascularisasi bersumber pada :
1. Arteri mesenterica superior (tidak berpasangan): dari arteri mesenterica
inferior
2. Arteri rectalis media (berpasangan): dari arteri iliaca interna di atas dasar
panggul (M. Levator ani)
3. Arteri rectalis inferior (berpasangan) : dari arteri pudenda interna di bawah
dasar panggul.
Innervasi, Plexus rectalis berisi serabut saraf simpatis dan parasimpatis.
Serabut simpatis preganglionik (T10-L2) turun dari plexus aorticus sacralis
Truncus sympathicus melalui Nn. Splanchnici sacrales. Serabut-serabut tersebut
terutama bersinaps dengan neuron-neuron simpatis postganglionik dalam plexus
hypogastricus inferior. Serat-serat postganglionik tersebut mencapai rectum dan
canalis analis melalui plexus rectalis. Serabutserabut simpatis mengaktifkan
otot-otot sfingter (M. sphingter ani internus). Serabut-serabut parasimpatis
preganglionik berasal dari divisi sacral sistem saraf parasimpatis (S2-S4) melalui
Nn. Splanchnici pelvici ke ganglia plexus hypogastricus inferior. Serabut-
serabut bersinaps dengan serabut postganglionik baik di sini maupun di dekat
usus untuk stimulasi peristaltik dan inhibisi M. spincter ani internus untuk
mempermudah defekasi. Innervasi otonom berakhir kira-kira di area linea
pectinata.4

C. Etiologi
Table 1. Etiology of Fecal Incontinence.5

• Anal sphincter weakness


– Injury: obstetric trauma, injury related to surgical procedures (eg,
hemorrhoidectomy, internal sphincterotomy)
– Nontraumatic cause: scleroderma, internal sphincter thinning of unknown
etiology
– Neuropathy: stretch injury, obstetric trauma, diabetes mellitus
• Anatomic disturbances of the pelvic floor: fistula, rectal
prolapse, descending perineum syndrome

vi
• Inflammatory conditions: Crohn’s disease, ulcerative
colitis, radiation proctitis
• Central nervous system disease: dementia, stroke, brain tumors, spinal cord
lesions, multiple system atrophy
(Shy Drager syndrome), multiple sclerosis
• Diarrhea: irritable bowel syndrome, postcholecystectomy Diarrhea

1. Hemorrhoid atau prolapse rectal dapat menyebabkan inkontinensia ringan,


dapat menghalangi otot sfingter dari penutupan sepenuhnya.4
2. Diare, terutama ketika ada dorongan kuat, dapat menyebabkan inkontinensia
fekal. Pasien lebih cenderung mengalami inkontinensia fekal jika mereka
menderita kolitis ulserativ, penyakit Crohn, atau diare , dan sekitar 20% pasien
dengan irritable bowel syndrome (IBS) mengalami inkontinensia fekal karena
diare.5
3. Konstipasi dapat menyebabkan inkontinensia fekal, terutama pada anak-anak.
Pergerakan usus yang besar di rektum dapat menyebabkan otot sfingter secara
involunter tetap terbuka , dan cairan bisa keluar.5
4. Cedera saat melahirkan, saat melahirkan, ada peregangan otot yang luar biasa
di dasar panggul,yang dapat merusak saraf atau merobek otot-otot sfingter.5
5. Diabetes mellitus. Inkontinensia tinja dapat disebabkan oleh cedera pada saraf
sensorik, yang memberitahu kita kapan rektum terisi penuh dan ketika kita
perlu menekan/membuka otot sfingter. Ini mungkin terjadi setelah menderita
diabetes dalam waktu yang lama.5
6. Kolitis ulseratif atau terapi radiasi dapat menyebabkan rektum kehilangan
elastisitasnya dan menjadi kaku. Ini membuat fekal keluar melalui dubur
terlalu cepat sebelum otot sfingter menekan/kontraksi untuk mencegah
kebocoran.5
7. Demensia dan kesulitan berjalan atau melepas kancing atau ritsleting juga
dapat menyebabkan inkontinensia.5
D. Epidemiologi
Perkiraan prevalensi sering terjadi karena keengganan pasien untuk
melaporkan gejala inkontinensia. Telah terbukti bahwa wanita lebih banyak
bersedia melaporkan Inkontinensia daripada laki-laki. Selain itu, karakter
(inkontinensia fekal padat, diare atau cair) dan frekuensi (harian atau episodik)
dari Inkontinensia sangat bervariasi di setiap populasi. Prevalensi tergantung
pada definisi Inkontinensia. Ada sekitar 2% dari orang yang tinggal di rumah
mereka sendiri dan 45% dari penghuni panti jompo mengalami inkontinensia

vii
fekal, kejadian ini 20 kali lebih umum di panti jompo karena banyak orang
memasuki panti jompo sebagai akibat inkontinensia fekal.5
Prevalensi inkontinensia fekal di U.K pada pelayanan masyarakat, ada
sebanyak 1,9%, pada survey rumah tangga, di negara Australia terdapat 6.8%
pria dan 10,9% wanita usia diatas 15 tahun mengalami inkontinensia fekal.
Inggris melaporka pada pelayanan masyarakat, prevalensi inkontinensia pada
pria sebanyak 4,9% dan wanita 8,8% di usia > 64 tahun, dan pada pria 0,5% ,
pada wanita 0,4% di usia 15-64 tahun.6
E. Patofisiologi
Inkontinensia fekal dipengaruhi oleh faktor anatomi, sensasi rekto-anal, dan isi
volume dubur. Sfingter anal internal, yang terbuat dari otot polos yang melingkar,
mempertahankan sekitar 70% dari kerja anal. Sfingter anal eksternal, terdiri dari
otot lurik. Puborektalis adalah komponen berbentuk U dari levator ani complex
yang juga membantu menjaga sudut rektoanal. Sfingter eksternal, puborectalis, dan
levator ani dapat secara langsung bekerja untuk menjaga feses. Distensi fekal oleh
tinja menginduksi kontraksi rektum, sensasi urgensi, dan relaksasi refleks dari
sfingter anal internal. Setelah itu, otot-otot dasar panggul rileks diikuti oleh buang
air besar. Jika tidak, kontraksi rektum dan sensasi urgensi umumnya mereda karena
rektum mengakomodasi terus distensi. Ini, bersama dengan kontraksi involunter
dari sfingter anal eksternal dan otot puborectalis, memungkinkan buang air besar
ditunda bila perlu.3
Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.
Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada waktu
dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks,
namun dapat dikelompokkan dalam 4 tahap :
1. Tahap 1 : propulsi isi kolon yang lebih proksimal ke rektum, seiring dengan
frekuensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3kali/hari) serta refleks gastokolik
2. Tahap 2 : sampling reflex / rectal-anal inhibitory reflex, yakni upaya anorektal
mengenali isi rektum dan merelaksasi sfingter ani internal secara involunter.
3. Tahap 3 : relaksi sfingter ani eksternal secara involunter. Relaksasi yang terjadi
bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat kegagalan kontraksi
sfingter itu sendiri
4. Tahap 4 : peninggian tekanan intra abdominal secara volunter dengan
menggunakan diafragma dan oto dinding perut, hingga defekasi dapat terjadi.

viii
Mekanisme yang terlibat dalam kontrol defekasi amatlah kompleks, namun
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi faktor kolon, otot, neurologis, dan
anorektal. Khusus dibidang obstetri, persalinan adalah faktor utama terjadinya
inkontinensia fekal akibta trauma sfingter anus.6
a. Hipotesis kerusakan saraf dan jaringan penghubung sebagai penyebab
inkontinensia fekal
Otot-otot pelvis yang rusak mengganggu penutupan anorektal, namu kerusakan
saraf sulit disebut sebagai penyebab utama karena 30% dari 25 pembedahan adalah
pasien yang tidak pernah hamil. Pengedanan yang berlebihan merupakan perilaku
yang ditemukan pada 65% pasien, temuan ini konsistensi dengan longgarnya
dinding rektal anterior yang kolaps ke arah dalam. Anus dapat dilukiskan sebagai
suatu tabung berongga yang perlu bata elastisitasnya sehingga cukup kaku untuk
memungkinkan pasase feses sehingga akhirnya tabung ini dapat menutup dengan
efisien.3
Pengedanan yang berlebihan merupakan perilaku yang ditemukan pada 65%
pasien. Temuan ini konsisten dengan longgarnya dinding rektal anterior yang
kolaps ke arah dalam. Anus dapat dilukiskan sebagai suatu tabung berongga yang
perlu diregang hingga batas elastisnya sehingga menjadi cukup kaku untuk
memmungkinkan pasase feses dengan lancar, sehingga akhirnya tabung ini dapat
menutup dengan efisien.3
Trauma obstetrik dapat menyebabkan kerusakan jaringan penyambung dan saraf.
Hal ini dapat menjelaskan temuan penundaan waktu konduksi pada pasien dengan
stress inkontinensia, namun juga pada pasien dengan prolaps uterovagial, tanpa
stress inkontinensia.3
b. Robekan Jalan Lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan
robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat
pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, trauma forceps, atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi.8
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet,laserasi), luka episiotomi, robekan
perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perinei totalis(sfingter ani terputus),
robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan
uretra dan bahkan, yang terberat rupture uteri. Oleh karna itu, pada setiap

ix
persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan
adanya robekan ini. Semua sumber pendarahan yang terbuka harus diklem, diikat
dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis sampai pendarahan
berhenti.8
Ruptur perineum adalah robekan perineum yang terjadi pada saat bayi lahir baik
secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan. Robekan
perineum umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala
janin lahir terlalu cepat. Robekan perineum terjadi pada hampur semua primipara
dan tidak jarang pada persalinan berikutnya.8
Ruptur perineum dibagi menjadi beberapa tingkatan, sebagai berikut :
1. Tingkat I : Ruptur hanya pada mukosa vagina dengan atau tanpa mengenai
kulit perineum
2. Tingkat II : Ruptur mengenai mukosa vagina dan otot perinea transversalis,
tetapi tidak mengenai sfingter ani .
3. Tingkat III : Ruptur mengenai seluruh perineum dan otot sfingter ani.
4. Tingkat IV : Ruptur sampai mukosa rektum.
Robekan m.sfingter ani saat persalinan merupak penyebab mayor inkontinensia
alvi/fekal.8
c. Peran sfingter ani interna dalam timbulnya inkontinensia fekal
Peran pasti sfingter ani interna belum dipahami dengan baik, pada penelitian
sultan dkk menyatakan bahwa kerusakan sfingter ani interna mungkin merupakan
penyebab penting terjadinya inkontinensia fekal, pada penelitiannya dilakukan
ultrasonografi endoanal yang menunjukkan adanya hubungan proses melahirkan
anak dan kerusakan sfingter ani interna, pada 49 dari 127 pasien setelah persalinan
pervaginam. Namun belum diketahui pasti proporsi kerusakan sfingter ani interna
dibandingkan sfingter ani eksterna. Kerusakan sfingter ani interna didefinisikan
sebagai ruptur komplit atau kelemahan, ketebalan kurang dari 2 mm pada sebagian
sfingter.3

F. Diagnosis
Secara umum diagnosis inkontinensia fekal ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjuang. Anamnesis mengenai perilaku
BAB amat penting dalam upaya identifikasi frekuensi, tingkat keparahan dan
ganggua fungsi sosial yang terjadi. Data ini menjadi landasan awal dalam mencari
penyebab inkontinensia fekal.3

x
Salah satu cara untuk mengetahui adanya inkontinensia fekal dapat dipakai
sistem skoring yang dikembangkan oleh Jorge dan Wexner. Skoring ini juga dapat
dipakai untk evaluasi pasca terapi. Acuannya adalah skor 0 tidak terdapat
inkontinensia fekal, sedangkan skor 20 terdapat inkontinensia komplet.3

Pemeriksaan fisik yang cermat dapat mengidentifikasi struktur organ meliputi


prolaps dan retrokel atau kelainan sistemik atau lokal yang meliputi neuropati,
neoplasma dan ulkus yang dapat menyebabkan disfungsi anus. Pada tahap awal
anus diamati secara visual terhadap kemungkinan inflamsi, jejas, luka, fistula,
hemoroid, dan celah pada anus. Sensasi perianal dinilai dengan melakukan
stimulasi pada kulit. Dengan pemeriksaan digital bisa diketahui kekuatan kontraksi
sfingter, rektikel, refkleks anus dan penurunan dasar panggul pada saat defekasi.
Pemeriksaan fisik sebaiknya meliputi endoskopi untuk menyingkirkan kelainan
organik seperti prolaps, inflamasi, prokitis, lesi jinak atau gans. Sedangkan
pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan inflamasi secara mikroskopis dan
kelainan sistemik seperti diabetes atau skleroderma.3
Pemeriksaa khusus untuk evaluasi inkontinensia fekal adalah pemeriksaan
fungsional dengan manometer dan pencitraan dengan USG anal, secara tradisional
dapat digunakan endosonografi anus untuk identifikasi tentang ketebalah dan
integritas struktural dari otot sfingter ani eksternis maupun internus, serta dapat
mendeteksi adanya jaringan parut, kehilangan jaringan otot, serta adanya kelainan
patologi lainnya.3
Sedangkan pemeriksaan evakuasi proctografi prinsipnya memasukkan kontras
pada rektum dan dilakukan pemantauan dengan bantuan alat flouroskopi untuk
mengevaluasi fungsi defekasi. Pemeriksaan evakuasi proctografi tidak dianjurkan

xi
sebagai prosedur rutin. Pada kasus-kasus tertentu pencitraan dapat ditingkatkan
dengan pemeriksaan MRI baik yang statis maupun dinamis.3
G. Tatalaksana
1. Prosedur non operatif
Dalam penanganan inkontinensia fekal terdapat banyak variasi pengobatan
meliputi diet, terapi medikamentosa, perilaku dan pembedahan. Pemilihan
penaganan amat ditentukan oleh penyebab inkontinensia fekal, kondisi anatomis
dan fungsional dari anus, dan umur pasien.3
Perubahan diet yang dianjurkan adalah diet makanan padat yang tinggi serat,
dengan cara ini akan dihasilakn feses yang lebih padat sehingga pelepasannya dapat
dikontrol walaupun terdapat sfingter anus yang lemah. Cara ini juga dikombinasi
dengan loperamid karena memiliki efek samping yang kecil, tujuannya untuk
mengurangi berat fese, mengurangi motilitas rektum, dan meningkatkan refleks
inhibisi dari rektoanal.3
Latihan biofeedback juga dilakukan dengan ini pasien diharapkan mampu
meningkatkan kontraksi sfingter anus eksternal secara bertahap. Prinsip kerjanya
dengan menempatkan balon dirongga rektum sehingga mirip proses pengisian
rektum oleh feses. Secara bertahap balon diperbesar ukurannya seiring dengan
peningkatan kemampuan pasien untuk mengendalikan kekuatan kontraksi otot
sfingter ani eksternal. Kasus yang direkomendasikan menggunakan biofeedback
adalah inkontinensia fekal akibat diabetes, persalinan dan setelah pembedahan
anus.3
Penanganan dengan klisma ditujukan pada pasien yang tidak mampu melakukan
pengosongan rektum dengan baik. Tindakan klisma dilakukan dengan supositoria
atau pencucian dengan air biasa atau laruta phospat, setelah dilakukan pengosongan
rektum selanjutnya pasien meminum laksansia setelah makan, dikombinas dengan
rektal supositoria.3
2. Penanganan secara operatif
Penanganan secara operatif dipilih apabila tindakkan konservatif gagal atau
penyebabnya memang memerlukan tindakan operatif.

xii
Apabila pemeriksaan ditemukan defek pada sfingter makatindakan operasi menjadi
pilihan utama. Persiapan operasi meliputi pengosongan rektum dengan kliasma.
Profilaksis antibiotika diberikan metronidazole dan golongan sephalosporin generasi
ketiga secara intravena, yang kemudian dilanjutkan pasca operasi. Apabila kerusakan
sfingter yang terjadi akibat suatu trauma tindakan operasi sebaiknya tunggu 3-6 bulan
supaya proses inflamasi mereda, sehingga jaringan menjadi lebih lunak dan mudah
digerakkan. Apabila tindakan sfingteroplasti tidak berhasil perlu dipertimbangkan
tindakan lain seperti: tansposisi otot, kolostomi, atau sfingter anus buatan. Pada kasus
yang disertai rektokel perlu mendapatkan penanganan karena dapat mengganggu pasasi
rektum.3
Kontradiksi yang muncul akibat penyembuhan inkontinensia fecal secara
bedah pada pasien dengan kerusakan saraf dapat diselesaikan dengan mudah melalui
pemahaman bahwa otot dasar pelvik bekerja sebagai diafragma untuk menyangga isi
intraabdomen. Kekuatan yang jauh lebih besar diperlukan untuk fungsi ini dibandingkan
kekuatan untuk penutupan anorektal. Perbaikan titik penambatan otototot pelvik
memungkinkan otot ini berkontraksi dengan lebih efisien untuk menutup kanalis analis.3

xiii
DAFTAR PUSTAKA

1. Nurdin, A. 2016. Hubungan Inkontinensis Ani dan Kualitas Hidup Menurut


Fecal Inkontinence Quality Of Life (FIQL) Pada Lansia di Panti Sosial Tresna
Werdha. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Program studi
Pendididkan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.
2. Chin, K. 2014. Obstetrics and Fecal Incontinence. Clinics in Colon and Rectal
Surgery Vol. 27 No. 3. Department of Obstetrics and Gynecology, UT
Southwestern School of Medicine, Dallas, Texa
3. Ariadi, H. 2010. Inkontinensia Fekal. Universitas Andalas. Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr M Djamil
Padang.
4. Paulsen., Waschke. 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Ed. 23. Kedokteran
EGC: Jakarta
5. Milsom,I., Altman,D., Lapitan,M,C., Nelson,R., Sillen,U., Thom,D. 2013.
Epidemiology of Urinary (UI) and Faecal(FI) Incontinence and Pelvic Organ
Prolapse (POP).International Continence Society.

6. U.S. Department of Health and Human Service. 2009. Fecal


Incontinence.National Digestive Disease Information ClearingHouse.

7. Whitehead,W,E. Understanding Fecal Incontinence. UNC Center for Functional


GI and Motility Disorder.
8. Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., Wiknjosastro, G, H. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. 2016. Ed IV. Jakarta : PT. Bina Pustaka.

xiv

Anda mungkin juga menyukai