EMERGENCY ORTHOPEDICS
Oleh:
Pembimbing:
struktur yang berkaitan (Dorland, 2010). Sedangkan bedah orthopedi adalah suatu
Suddarth, 2002)
yaitu sifatnya yang mengancam jiwa (life threatening) dan yang mengancam
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. OPEN FRACTURE
Fraktur terbuka merupakan emergensi bedah ortopedi, karena risiko
untuk terjadinya infeksi pada tulang yang fraktur tinggi. Komplikasi jangka
panjang adalah terancamnya fungsi tungkai, dan dalam kasus infeksi
sistemik dapat mengancam jiwa (Budiman, 2010). Dikatakan fraktur
terbuka jika terdapat hubungan antara daerah yang fraktur dengan dunia
luar, biasanya karena kulit di atasnya sudah tidak intak.
Manajemen fraktur awal adalah untuk mengontrol perdarahan,
mengurangi nyeri, mencegah iskemia-reperfusi cedera, dan mencegah
kontaminasi serta infeksi misal benda asing dan jaringan nonviable. Hal ini
akan meminimalkan komplikasi yang mungkin dapat terjadi (Buckley,
2012).
2
III A Laserasi luas, mencakup tulang adekuat; fraktur
segmental, cedera tembak
III B Kerusakan jaringan lunak luas dengan terkupasnya
periosteal dan ekspos tulang, biasanya
berhubungan dengan kontaminasi luas
III C Cedera vaskular membutuhkan perbaikan
3
terstandar untuk mengurangi risiko infeksi. Selain mencegah infeksi
juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi
anggota gerak (Rasjad, 2007).
4
posterior long arm. Cedera pada jari ditangani dengan belat jari
busa atau belat plastik kaku. Cedera bahu dapat ditangani dengan
sebuah selempang/balutan gendong, atau imobiliser bahu. Cedera
ekstremitas bawah dapat ditangani dengan imobiliser lutut atau
bidai cetak posterior (Budiman, 2010).
5. Antibiotik dan analgetik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi.
Antibiotik diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat
dan sesudah tindakan operasi.
6. Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan
pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi
aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi yang belum,dapat
diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).
B. COMPARTMENT SYNDROME
Sindrom kompartemen akut terjadi ketika tekanan jaringan
dalam kompartemen otot tertutup melebihi tekanan perfusi dan
menyebabkan otot dan saraf iskemia. Ini biasanya terjadi setelah
peristiwa traumatis, paling sering patah tulang. Pilihan penanganan
untuk sindrom kompartemen akut adalah dekompresi dini (Rasul, 2012;
Paula, 2011).
Berbagai sindroma kompartemen telah diuraikan untuk kedua
ekstremitas atas dan bawah. Uraian tersebut termasuk sindroma
kompartemen pada bahu, lengan atas, lengan bawah, tangan, bokong,
paha, tungkai bawah, dan kaki. Penyebab sindroma kompartemen
beragam dan termasuk fraktur terbuka dan fraktur tertutup, cedera arteri,
luka tembak, gigitan ular, kompresi tungkai, dan luka bakar (Paula,
2007).
5
Meningkatnya tekanan pada ruang fascia tertutup
menyebabkan menurunnya tekanan perfusi dan pada akhirnya cedera sel
dan kematian neuron dan jaringan otot. Mekanismenya sebagai berikut:
hipoksia menyebabkan cedera sel, melepaskan mediator, dan
meningkatkan permeabilitas endotel yang menyebabkan oedem,
selanjutnya meningkatkan tekanan kompartemen, pH jaringan menurun,
lalu terjadi nekrosis, dan terlepasnya mioglobin. Tekanan jaringan lebih
besar dari tekanan kapiler; biasanya terlihat pada > 30 mmHg tekanan
intra-kompartemen. Waktu iskemik: nervus < 4 jam, otot < 4 jam
beberapa mengatakan sampai 6 jam (Paula R. 2007).
Gambaran Klinis yang biasa ditimbulkan pada seseorang
dengan Sindroma Kompartemen yakni :
a. Nyeri yang melebihi kapasitas cedera
b. Pemeriksaan fisik: bukti ketegangan kompartemen, menurunnya
perfusi (pengisian kembali kapiler, nyeri) dan kehilangan fungsi
jaringan (mati rasa dan lemah; nervus dan otot terlibat pada
kompartemen yang terinfeksi)
c. Diagnosa pasti dengan mengukur tekanan kompartemen. (Paula R.
2007)
6
e. Waktu: gejala dapat muncul dalam beberapa jam sampai beberapa
hari setelah cedera. (Paula R. 2007)
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan
Sindroma Kompartemen yakni:
a. Singkirkan penyebab kompresi
b. O2
c. Pertahankan ekstremitas setinggi jantung
d. Konsultasi ortopedi atau bedah darurat
e. Fasciotomi:
o Indikasi: sindroma kompartemen akut: tekanan kompartemen
> 30 mmHg
o Ahli bedah harus melakukan fasciotomi; bagaimanapun, pada
tungkai yang tekanannya meningkat atau terdapat penundaan
pembedahan, fasciotomi emergensi mungkin perlu dilakukan
di departemen emergensi.
o Pendekatan dua-insisi fasciotomi pada tungkai bawah
merupakan prosedur langsung dan dapat dipercaya, mengingat
bahwa anatominya mudah dipahami.
7
C. OSTEOMIELITIS AKUT
8
2. Antibiotika.
Antibiotika yang efektif terhadap gram negatif maupun gram
positi diberikan langsung tanpa menunggu hasil biakan darah, dan
dilakukan secara parenteral selama 3-6 minggu. Menurut Apley
rekomendasi antibiotic terbaru adalah flucloxacillin dan
cephalosporin generasi 3.
3. Pemeriksaan biakan darah.
4. Imobilisasi anggota gerak yang terkena
5. Analgetik antipiretik
(Schwartz et al., 2000).
D. DISLOKASI
Dislokasi sendi didefinisikan sebagai dislokasi permukaan
artikular tulang yang normalnya bertemu pada sendi.Subluksasi sendi,
sebagai perbandingan, adalah ketika permukaan artikular tidak-saling
berdekatan, pada derajat manapun.Dislokasi merupakan bentuk paling
ekstrim dari subluksasi.
Dislokasi sendi besar (misal, bahu, siku, panggul, lutut, mata
kaki) dianggap sebagai emergensi ortopedi.Dislokasi berkepanjangan
membawa perkembangan pada kematian sel kartilago, artritis paska
trauma, cedera neurovaskular, ankylosis, dan nekrosis
avaskular.Cedera-cedera ini, yang lebih mungkin muncul pada pasien
muda dan aktif, bisa memiliki akibat mematikan.
Kebanyakan dislokasi memiliki temuan fisik khusus.Setelah
terjadi dislokasi, otot-otot di sekitar sendi secara khas menjadi spasme,
terbatasnya range of motion.Hal ini sering menyebabkan tungkai
mengambil posisi berbeda.Pada dislokasi panggul posterior, paha
dipertahankan pada posisi fleksi dan berotasi secara internal.Tungkai
yang terkena biasanya memendek dan tidak dapat diulurkan secara
pasif.Dislokasi bahu anterior menyebabkan rotasi dan aduksi ektsternal
posisi lengan.Dislokasi siku dan lutut (paling sering posterior)
9
mengakibatkan ekstermitas terkunci pada ekstensi.Sebagaimana halnya
semua cedera ekstermitas, pemeriksaan neurovaskular yang teliti harus
dilakukan dan dicatat sebelum dan sesudah melakukan manipulasi.
Dislokasi paha membutuhkan diskusi khusus karena akibat
ekstrim dari kegagalan mengenali dan mengalamatkan mereka tepat
waktu.Cedera nervus panggul, kematian sel kartilago, dan nekrosis
avaskular merupakan akibat dari tertundanya pengobatan terhadap jenis
cedera ini.Dari semua ini, nekrosis avaskular merupakan yang paling
berbahaya karena kecenderungannya menyebabkan kolapsnya caput
femoris dan perkembangan penyakit sendi degenaratif
berikutnya.Masalah ini menggiring pada penggantian panggul total atau
fusi panggul pada usia muda. Setelah menjalani prosedur ini, operasi
rekonstruktif mayor multipel menjadi umum selama masa hidup
pasien.
Nekrosis avaskular biasanya berkembang dalam bentuk
tergantung waktu.Pada posisi dislokasi, ketegangan pada pembuluh
darah kapsular membatasi aliran darah ke caput femoris. Jika pinggul
tetap berdislokasi selama 24 jam, nekrosis avaskular akan berakibat
pada 100% kasus. Terdapat sebuah aksioma bahwa: “semakin lama
sebuah sendi mengalami dislokasi, makin sulit melakukan reduksi
nantinya”.
Reduksi dislokasi selalu membutuhkan sedasi intravena untuk
mengurangi spasme otot pada sendi.Jika sebuah sendi tidak dapat
direduksi oleh metode tertutup dengan sedasi yang cukup, maka
anestesi umum dibutuhkan.Berbagai usaha dilakukan untuk mereduksi
sendi dengan teknik tertutup di dalam ruang operasi dengan staf yang
siap sedia melakukan reduksi terbuka jika prosedur teknik tertutup ini
gagal.
Tujuan jangka panjang reduksi adalah untuk mengembalikan
posisi anatomi dan fungsi normal.Reduksi juga meringankan nyeri akut,
10
membebaskan pembuluh darah dan ketegangan nervus, dan bisa
mengembalikan sirkulasi pada ekstremitas yang tidak terdapat pulsasi.
Di IGD, perawatan biasanya melibatkan analgesia yang tepat, es,
dan elevasi. Dislokasi dari jari-jari kaki sering dapat dikurangi dengan
anestesi lokal (blok digital) di UGD dengan traksi longitudinal yang
sederhana.Dislokasi dari kaki pertama mungkin sulit untuk direduksi.
Selain itu, metatarsophalangeal pertama (MTP) dan dislokasi
interphalangeal (IP) yang terbuka atau tidak dapat direduksi
memerlukan konsultasi ortopedi. Sebagian lainnya MTP dan IP
dislokasi mudah dikelola oleh dokter IGD.Antibiotik profilaksis yang
tepat harus diberikan, dan status tetanus pasien harus diperbarui.
Dressing steril harus diterapkan. Menilai status neurovaskular dari kaki
sebagai bagian dari survei sekunder. Pertimbangkan pengurangan
mendesak setiap dislokasi yang menyebabkan kompromi neurovaskular
signifikan.
E. FAT EMBOLI
Fat emboli sindrom (FES) sering dijadikan pertimbangan penyebab
pada pasien dispneu pada kasus trauma. Tanda klinis yang sangat
bervariasi, fat emboli biasanya didiagnosis oleh klinisi dengan rasa
curiga yang tinggi. Dispneu pada pasien trauma banyak terjadi,
penyebab dari dispneu dapat bermacam macam, diantaranya adalan
kontusio pulmonal, fat emboli sindrom, tromboemboli. Kondisi tersebut
harus dibedakan dengan penyebab dispneu lain seperti penyakit
metabolik dan kardiovaskular.
Angka kejadian dari fat emboli adalah 0.25% hingga 33%. Rentang
angka kejadian yang cukup besar kemungkinan disebabkan perbedaan
kriteria diagnostik yang digunakan dan overdiagnosis pada penelitian
prospektif serta underdiagnosis pada penelitian retrospektif. Fat emboli
merupakan adanya fat globules pada sirkulasi dan parenkim paru,
sedangkan fat emboli sindrom merupakan manifestasi klinis dari fat
11
emoli. Hal ini berhubungan dengan hemostasis, yang biasanya berupa
trias insufisiensi respiratori, altered sensorium, dan petekie (Saigal,
2008).
Kasus ini banyak ditemukan pada trauma dan paling sering
berhubungan dengan fraktur tulang panjang atau fraktur multipel.
Arthroplasti pelvis dan lutut juga kerap menyebabkan fat emboli
sindrom. Penyebab iatrogenik dari FES namun angkan kejadiannya
cukup kecil adalah pada tindakan memasukkan cairan intraosseus, radio
kontras dengan lipid hiperalimentasi intravena, pemberian steroid
jangka panjang, liposuction. Untuk penyebab noniatrogenik lebih jarang
lagi ditemukan yaitu pada pankreatitis, nekrosis omentum, diabetes,
steatosis hepatik, osteomyelitis, pannikulitis , dan lisis bone tumor.
Secara klinis, fat emboli dapat muncul dengan simptom yang
beragam dengan derajat yang beragam pula. Trias insufisiensi
respiratori, altered sensorium yang merupakan cerebral sign, dan petekie
muncul dalam 12-72 jam. FES dapat tidak dikenali secara klinis dan dan
menjadi fatal-akut pada inciting injury. Pada FES subklinis yang banyak
ditemukan pada fraktur tulang panjang menyebabkan penurunan PaO2,
perubahan hematologis minor tanpa disertai tanda insufisiensi
respiratori. Terkadang sulit dibedakan dengan simptom post operasi
seperti nyeri, rasa tidak nyaman, atau proses inflamasi post operasi.
Takipneu, takikardi, dan demam mungkin didapatkan.
Kriteria diagnostik dari FES yang terbaru adalah kriteria Schonfeld,
1983. Skor dinilai berdasarkan tujuh tanda klinis dimana skor akumulasi
>5 dapat didiagnosis dengan FES
Tidak terdapat terapi spesifik untuk FES. Terapi yang dapat
diberikan hanyalah terapi suportif. Pencegahan FES dan early diagnosis
dengan manajemen komplikasi yang tepat berperan penting dalam
manajemen kasus FES. Fraktur tulang panjang dan fraktur ustable
banyak menyebabkan FES. Untuk itu, fiksasi sesegera mungkin dalam
24 jam dapat menurunkan angka kejadian fat emboli. Albumin untuk
12
resusitasi volume direkomsndasikan karena dapat mengembalikan
euvolumia dan juga mengikat asam lemak bebas dan mengurangi cedera
lebih lanjut pada paru. Ketika telah ditegakkan adanya FES, maka
pasien harus segera dilakukan perawatan di ICU, dan dianjurkan dengan
CVP monitoring.
Angka kematian FES sangat bervariasi karena kerap terjadi
underdiagnosis. Kematian paling banyak disebabkan oleh gagal nafas.
Prognosis pada defek neurologis cukup baik, walaupun kematian juga
dilaporkan. Secara keseluruhan angka kematian diperkirakan 5-15%.
F. TRAUMA PELVIS
Trauma pelvis tergolong mengancam jiwa, mortalitas yang tinggi
disebabkan oleh perdarahan retroperitoneal dan cedera-cedera lain
sehubungan dengannya. Trauma bisa jadi sangat mematikan jika
muncul dalam kombinasinya bersama dengan cedera penting pada
sistem organ mayor. Trauma pelvis kerap menjadi penyebab dari shock
unknown origin karena terjadinya perdarahan baik pada retroperitoneal,
thoraks, dan abdomen.
Pada pemeriksaan dapat ditemui luka pada panggul, scrotum,
perianal,perineum, haematome yang progresif di daerah panggul, dan
pusatif. Cedera ini –dibagi menjadi kelompok stabil dan tidak stabil.
Pelvis yang stabil didefenisikan sebagai sesuatu yang dapat tetap
bertahan dari gaya fisiologis tanpa dislokasi. Stabilitas pelvis dapat
dinilai dari hasil pemeriksaan radiologis, kondisi hemodinamik,
biomekanis, dan mekanis. Stabilitas ini bergantung pada integritas
struktur ligamen dan tulang (Guthrie et al., 2010).
Dislokasi ini dapat dinilai pada screening radiografi AP awal.
Cedera stabil termasuk fraktur non-dislokasi cincin pelvis dan dislokasi
anterior < 2,5 cm. Instabilitas rotasional ditandai dengan melebarnya
simfisis pubis atau dislokasi fraktur rami pubis > 2,5 cm. Dasar
instabilitas vertikal adalah pemindahan superior hemipelvis melalui
13
fraktur sacrum atau ilium dan disrupsi sendi sacroiliaca > 1 cm. Karena
pelvis merupakan struktur cincin sebenarnya, dislokasi anterior penting
harus dibarengi dengan disrupsi posterior yang bersesuaian. Disrupsi
cincin pelvis biasanya merupakan sebuah kombinasi fraktur dan cedera
ligament (Guthrie et al., 2010).
Biasanya penyebab perdarahan pada fraktur pelvis adalah dari
pleksus vena pelvis posterior dan perdarahan yang menghapus
permukaan tulang. Sekitar < 10% kasus perdarahan, disebabkan dari
perdarahan arteri yang cukup dikenal. Pengobatan awal harus berfokus
pada kontrol perdarahan vena. Reduksi dan stabilisasi pada dislokasi
cincin pelvis membantu mencapai pengontrolan tersebut. Reduksi akan
mengurangi volume pelvis dan lakukan tampon pembuluh darah yang
mengalami perdarahan dengan cara kompresi viscera dan hematom
pelvis. Stabilisasi mempertahankan reduksi dan mencegah pergerakan
hemipelvis, mengurangi nyeri dan membatasi disrupsi gumpalan
terorganisir. Reduksi dan stabilisasi saja biasanya mengontrol
perdarahan vena, maka pasien yang tidak merespon manuver ini lebih
mungkin mendapat perdarahan arteri (Guthrie et al., 2010).
Penatalaksanaan :
a. Resusitasi cairan
b. Penghentian perdarahan
1) Direct Pressure
2) Pemasangan stagen, pelvic sling, PASG
3) Definitif : pemasangan Anti Shock Clamp “C-Clamp”
c. Rujuk
G. TRAUMA CERVICAL
Trauma langsung atau tidak langsung pada tulang belakang
menyebabkan lesi medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologik, yang dapat berakibat kecacatan menetap atau kematian.1
Tergantung letak kerusakan saraf spinalis dan jaringan saraf yang rusak,
14
gejala-gejala dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai
terjadinya inkontinensia. Kerusakan medula spinalis dapat dijelaskan
dari tingkat inkomplit dimana gejala-gejalanya tidak berefek pada
pasien, sampai kerusak-an komplit dimana pasien mengalami kegagalan
fungsi total.
Kerusakan medula spinalis tersering oleh penyebab traumatik,
disebabkan dis-lokasi, rotasi, axial loading, dan hiper-fleksi atau
hiperekstensi medula spinalis atau kauda ekuina. Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab tersering dari trauma medula spinalis,
sedangkan penyebab lainnya ialah: jatuh, kecelakaan kerja, kecelakaan
olahraga, dan penetrasi oleh tikaman atau peluru senjata api. Disamping
trauma pada vertebra dan medula spinalis serta penyakit vaskuler,
kerusakan medula spinalis juga dapat disebabkan keadaan non-
traumatik seperti kanker, infeksi, dan penyakit sendi intervertebralis.
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Edisi 8. EGC:
Jakarta.
Budiman C. 2010. Patah Tulang dan Pembidaian. Bandung: KORPS Sukarela PMI
UNPAD. xa.yimg.com/kq/groups/.../Patah+Tulang+dan+Pembidaian.pptx
Guthrie HC, Owens R, Bircher MD, 2010. Focus On Pelvic Fractures. The journal
of bone and joint surgery.
Jawed M, Naseem M. 2005. An update on fat embolism syndrome. Pak J Med Sci.
2005;21:2–6.
Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone.
Makassar: 2007. pp. 352-489
Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: EGC, 2005. 840-
841.
17