Anda di halaman 1dari 21

Referat

COR PULMONALE KRONIK

Oleh:
Ulfa Puspita Rachma G99171043
Arina Sabila Haq G99152101
Anandita Winadira G99152108
Krisnawati Intan Suwignyo G99152095
Latifa Zulfa Shofiana G99152094
Zakka Zayd Zhullatullah J G99152100

Pembimbing:
DR. Dr. JB Prasodjo, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK SMF RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
2017

1
DAFTAR ISI

Halaman judul………………………………...…………………………… 1
Daftar isi……..………………………………...……………………………
2
Daftar gambar ………………………………...…………………………… 3
Daftar tabel….………………………………...…………………………… 4
Bab I Pendahuluan …………………………...…………………………… 5
Bab II Tinjauan pustaka
A. Definisi………………………………...……………………………6
B. Patofisiologi…………………………...…………………………… 6
C. Etiologi ………...……………………...……………………………8
D. Diagnosis …………………………...………………………...…… 10
E. Tatalaksana …………………………...…………………………… 16
F. Prognosis …………………………...………………………………18
G. Komplikasi …………………………...…………………………….19
H. Edukasi …………………………...……………………………..….19
Bab III Penutup
A. Kesimpulan …………………………...……………..………………20
B. Saran…….. …………………………...……………..………………20
Daftar pustaka…………….…………………...……………..………………21

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patofisiologi cor pulmonale…………….…………………...……7


Gambar 2. Perubahan alveolus pada emfisema…………….…………...……8
Gambar 3. Pembesaran jantung kanan pada cor pulmonale…………….……8
Gambar 4. Foto Thorax AP/Lateral dari emfisema dan CPC…………...…...11
Gambar 5. Cor pulmonale kronik dan PPOK…………….…………….........12
Gambar 6. CT scan cor pulmonale dengan bronkitis kronik…………...……13
Gambar 7. CT scan cor pulmonale dengan bronkitis kronik…………...……13
Gambar 8. Cor pulmonale akibat emfisema …………...……………………14
Gambar 9. Cor pulmonale akibat pneumonia…………………………..……15
Gambar 10. Hasil EKG pada pasien cor pulmonale….……………………...16

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penyakit respirasi yang menyebabkan hipertensi pulmonal………….9

4
BAB I
PENDAHULUAN

Cor pulmonale kronik adalah penyakit jantung yang cukup


sering terjadi dan merupakan salah satu penyebab utama
disabilitas dan kematian. Cor pulmonale kronik diperkirakan terjadi pada 6-
7% dari seluruh pasien penyakit jantung dewasa di Amerika, dan 50% di
antaranya disebabkan oleh PPOK (Leong, 2013). Sesuai hasil penelitian
pada tahun 2011, PPOK terjadi di lebih dari 5% populasi dewasa
di Amerika dan merupakan penyebab kematian ketiga terbesar (Qaseem et al.,
2011). Sayangnya hingga saat ini masih sangat sedikit data yang menunjukkan
insidensi dan prevalensi cor pulmonale kronik karena penegakan diagnosisnya
sendiri cukup sulit (Weitzenblum, 2003).
Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan setidaknya 60.000 pasien yang
berusia lebih dari 45 tahun beresiko mengalami cor pulmonale kronik dan akan
membutuhkan terapi oksigen jangka panjang (Weitzenblum, 2003).
Tingkat mortalitas cor pulmonale kronik sulit ditentukan. Meski data di
Amerika menunjukkan angka mortalitas akibat penyakit paru kronik sebesar
100.000 pasien pertahun, namun tidak dapat diketahui dengan pasti jumlah yang
akan mengalami hipertensi pulmonal dan kemudian berakhir menjadi cor
pulmonale kronik (Weitzenblum, 2003).
Makalah ini disusun karena cukup tingginya prevalensi cor pulmonale
kronik dan pentingnya dokter untuk dapat mengenali gejalanya sejak dini agar
dapat memberikan tatalaksana yang tepat.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Cor Pulmonale Kronik


Definisi cor pulmonale menurut WHO pada tahun 1963 merupakan suatu
keadaan hipertrofi ventrikel kanan akibat penyakit yang mempengaruhi fungsi dan
atau struktur anatomi paru, tidak termasuk penyakit jantung primer pada jantung
kiri dan penyakit jantung kongenital. Cor pulmonale merupakan suatu penyakit
jantung yang sering diderita dan erat kaitannya dengan penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK) yang dapat menyebabkan kecacatan hingga kematian (Shujaat,
2013).

B. Patofisiologi Cor Pulmonale Kronik


Hipertensi pulmonal adalah “sine qua non” dari cor pulmonale. Mekanisme
pertama dari cor pulmonale adalah hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal
diakibatkan oleh peningkatan resistensi vaskuler paru akibat penyakit paru kronis.
Hipertensi pulmonal terjadi pada prekapiler. paru Hipertensi pulmonal dapat
menyebabkan pembesaran ventrikel kanan hingga menyebabkan gagal jantung
kanan. Dapat disebut hipertensi pulmonal jika rata-rata tekanan arteri pulmonalis
>20 mmHg (Weitzenblum, 2003).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler
paru pada penyakit paru kronik, namun yang paling dominan adalah hipoksia
alveoli. Terdapat dua mekanisme terjadinya hipoksia alveoli, yaitu hipoksia akut
yang menyebabkan vasokonstriksi pulmoner dan keadaan hipoksia kronik
menyebabkan perubahan struktur pada pembuluh darah pulmoner (remodeling).
Remodeling yang terjadi yaitu hipertrofi pada muscular di tunika media pada
arteri kecil di pulmo dan fibrosis tunika intima (Chaouat, 2009).
Terjadinya hipertensi pulmonal juga dapat ditandai dengan hipoksemia
kronik dengan PaO2 <55-60 mmHg. Remodeling pembuluh darah pulmo dapat
dideteksi lebih awal pada pasien penyakit paru obstruktif kronis dengan tingkat
keparahan yang ringan (Weitzenblum, 2003).
Kelainan fungsi lainnya seperti asidosis, hiperkapnik, dan hiperviskositas
dapat terjadi akibat polisitemia. Pada fibrosis pulmoner idiopatik, peningkatan
resistensi vaskuler diakibatkan oleh kompresi arteriola dan kapiler karena proses
fibrosis.

6
Hipertensi pulmonal menyebabkan kerja ventrikel kanan meningkat dan
terjadi pembesaran ventrikel kanan secara cepat (hipertrofi dan dilatasi) yang
berakibat disfungsi sistolik dan diastolik. Kemudian terjadi gagal jantung yang
ditandai dengan edema perifer (Weitzenblum, 2003).

Gambar 1. Patofisiologi cor pulmonale

7
Gambar 2. Perubahan alveolus pada emfisema

Gambar 3. Pembesaran jantung kanan pada cor pulmonale

C. Etiologi Cor Pulmonale Kronik


Penyebab terjadinya cor pulmonale dibagi menjadi 3 kelompok penyakit:
1. Penyakit paru yang menghambat aliran udara (PPOK, dan penyebab
obstruksi kronis lainnya)
2. Penyakit paru restriktif yang ditandai dengan penurunan volume paru
yang berasal dari parenkim atau ekstrinsik paru
3. Penyakit sistem saraf pusat pengatur pernapasan
PPOK merupakan penyebab utama penyakit paru kronik dan cor pulmonale
pada sekitar 80-90% kasus. Penyakit paru restriktif yang sering menyebabkan cor
pulmonale adalah kifoskoliosis, fibrosis pulmonal idiopatik, dan pneumokoniosis.
Tabel 1. Penyakit respirasi yang menyebabkan hipertensi pulmonal (kecuali
hipertensi pulmonal primer, tromboemboli paru, dan penyakit vaskular paru)
1. Penyakit paru obstruktif

8
a. Penyakit paru obstruktif kronis (bronkitis kronis, emfisema)
b. Asma (dengan obstruksi jalan napas ireversibel)
c. Kistik fibrosis
d. Bronkiektasis
e. Bronkiolitis obliterans
2. Penyakit paru restriktif
a. Penyakit neurovaskuler: amyotrophic lateral sclerosis, myopathy,
bilateral diaphragmatic paralysis, dll
b. Kifoskoliosis
c. Torakoplasti
d. Tuberkulosis paru berulang
e. Sarkoidosis
f. Pneumoniosis
g. Penyakit paru akibat obat
h. Extrinsic allergic alveolitis
i. Connective tissue disease
j. Idiopathic interstitial pulmonary fibrosis
k. Interstitial pulmonary fibrosis of known origin
3. Sistem saraf pusat pengatur pernapasan
a. Central alveolar hypoventilation
b. Pickwickian syndrome
c. Sleep apnea syndrome
D. Diagnosis Cor Pulmonale Kronik
1. Anamnesis
Pada cor pulmonale kronik, harus dipastikan pasien sebelumnya telah
memiliki penyakit pada sistem pernapasan yang berlangsung cukup lama.
Kemudian gejala terkait ganguan jantung selanjutnya pasien dapat tidak khas
atau sangat ringan. Pasien dapat merasa kelelahan, takipneu, dispneu
exertonial, dan batuk. Nyeri dada dapat juga ditemukan karena adanya
iskemik pada ventrikel kiri atau pelebaran arteri pulmonal yang tidak
berespon terhadap nitrat. Gejala neurologis lain dapat pula muncul sebagai
akibat dari penurunan curah jantung dan hipoksemi (Leong, 2013).
Batuk darah dapat terjadi akibat rupturnya arteri pulmonal dengan
menyingkirkan adanya tumor, bronkiektasis, atau infark pulmoner. Pada tahap
lanjut, kongesti hepar sekunder terjadi akibat gagal jantung kanan yang parah
sehingga menyebabkan adanya anorexia, rasa tidak nyaman pada perut
ataupun ikterik (Leong, 2013).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tanda-tanda penyakit paru
yang menyebabkan terjadinya cor pulmonale atau hipertensi pulmonal,
hipertrofi ventrikel kanan, dan gagal jantung kanan (Leong, 2013). Adanya

9
hipoksemia menetap, hiperkapnea, dan asidosis, atau pembesaran ventrikel
kanan pada radiogram menunjukan kemungkinan penyakit paru-paru yang
mendasarinya.
Tanda yang dapat muncul yakni kuat angkat sistolik pada parasternal,
peningkatan diameter dinding dada, retraksi, peningkatan JVP, dan sianosis.
Suara hipersonor saat perkusi dapat ditemukan pada pasien cor pulmonale
akibat PPOK. Auskultasi bisa didapatkan wheezing dan ronkhi. Aliran
turbulen dapat terdengar pada pasien hipertensi pulmonal akibat
tromboemboli kronik. Bunyi janung III-IV atau murmur sistolik dapat
terdengar pada regurgitasi trikuspid. Hepatomegali, asites, dan edema
tungkai dapat ditemukan (Leong, 2013; Harun, 2014).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Dapat terjadi polisitemia akibat penyakit jantung yang mendasari,
akibat peningkatan tekanan arteri pulmonal sehingga terjadi peningkatan
viskositas. Analisis gas darah didapatkan adanya asidosis, hipoksia, ataupun
hiperkapnea (Leong, 2013).
4. Pemeriksaan Rotgen Thorax
Pembesaran pada tengah arteri pulmonal disertai gambaran kelainan
penyakit paru yang mendasari. Hipertensi pulmonal hendaknya dicurigai jika
diameter arteri pulmonal desenden kanan lebih dari 16 mm dan arteri
pulmonal desenden kiri lebih dari 18mm, atau pelebaran daerah cabang paru
di hilus. Peningkatan diameter transversal dari jantung pada proyeksi PA dan
filling retrosternal space pada proyeksi lateral dapat menunjukkan adanya
pembesaran ventrikel kanan (Leong, 2013; Harun, 2014).
Pada pemeriksaan foto toraks polos akan didapatkan pembesaran arteri
pulmonal sentral dan perubahan yang sesuai dengan penyakit paru yang
mendasari (Weerakkody dan Knipe, 2017).

10
Gambar 4. Foto Thorax AP/Lateral dari emfisema dan cor pulmonale kronik
(University of Virginia, 2013).

Gambar 5. Cor pulmonale kronik dan PPOK

Salah satu penyebab cor pulmonale kronik adalah PPOK. Gambar 5


merupakan foto thoraks PA seorang pasien dengan PPOK. Beberapa tanda yang
dapat dilihat adalah penebalan dinding bronkial dengan peningkatan corakan
bronkovaskuler, kardiomegali yang diakibatkan oleh infeksi dan inflamasi
berulang sehingga menimbulkan jaringan parut yang akhirnya akan merubah
struktur bronkovaskuler (Decramer, 2012).
Bronkitis kronik adalah bagian dari penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Bronkitis kronik bersamaan dengan emfisema adalah dua grup utama,
yang dapat terjadi bersamaan atau terpisah.

11
Gambar 6. CT scan cor pulmonale kronik akibat bronkitis kronik

Gambar 7. CT scan cor pulmonale kronik akibat bronkitis kronik

Gambar 6 dan 7 merupakan CT Scan pasien lanjut usia dengan


bronkitis kronik. Pada CT Scan terlihat adanya penebalan dinding bronkus
(panah ungu) dan bronkus terisi dengan mucus atau phlegm (panah biru).
Kadar oksigen dalam tubuh menurun pada bronkitis kronik sehingga
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah daerah kanan. Restriksi
pembuluh darah tersebut akan meningkatkan tekanan (Perkonen, 2008).

12
Gambar 8. Cor pulmonale kronik akibat emfisema

Gambar 8 merupakan foto thoraks PA pada pasien usia 60 tahun dengan


klinis emfisema. Pada foto ditemukan hiperinflasi pada kedua lapang paru.
Hiperinflasi bisa merupakan tanda penyakit obstruktif kronik. Selain itu pada
foto ditemukan sela iga melebar dan diafragma mendatar (Vos et al., 2012).

13
5.

Gambar 9. Cor pulmonal kronik akibat pneumonia


Gambar 9 menunjukkan proses cor pulmonal kronik sebelum terapi dan
setelah terapi. Sebelum terapi tampak jantung membesar, dengan arteri
pulmonal yang prominen, tampak infiltrat di lobus paru kanan bagian basal.
Setelah terapi jantung tampak mengecil dengan infiltrat berkurang.
6. Pemeriksaan EKG
Pada pasien dengan cor pulmonale kronik, EKG menunjukkan adanya
hipertrofi ventrikel kanan, Right Ventricle Strain, atau penyakit paru yang
mendasari. Di antaranya adalah:
1. Right Axis Deviation
2. R/S amplitude ratio di V1 > 1
3. R/S amplitude ratio di V6 < 1
4. P-pulmonale pattern (Peningkatan amplitudo gelombang P di lead 2,
3, dan aVF)
5. S 1 Q 3 T 3 pattern dan incomplete (atau complete) right bundle
branch block, terutama apabila etiologi yang mendasari adalah
emboli paru.
6. Low-voltage QRS karena hiperinflasi PPOK
Apabila terjadi hipertrofi ventrikel kanan, terkadang akan salah
diidentifikasi sebagai IMA anterior karena tingginya gelombang Q.

14
Gambar 10. Hasil EKG pada pasien cor pulmonale kronik
7. Ekokardiografi
Pada ekokardografi dapat ditemukan dilatasi ventrikel kiri atau
penebalan dinding ventrikel kanan (Weerakkody dan Knipe, 2017).

E. Tatalaksana Cor Pulmonale Kronik


Tatalaksana cor pulmonal kronik difokuskan pada pengobatan penyakit paru
yang mendasari serta meningkatkan oksigenasi dan fungsi ventrikel kanan dengan
meningkatkan kontraktilitas ventrikel kanan dan menurunkan vasokonstriksi paru.
1. Oksigenasi
Pemberian oksigen sangat penting pada pasien cor pulmonale kronik.
Tekanan parsial oksigen (PO2) pada pasien cor pulmonale kronik seringkali
berada di bawah 55 mmHg dan semakin berkurang dengan latihan dan saat
tidur. Terapi oksigen dapat mengurangi vasokonstriksi paru yang kemudian
meningkatkan curah jantung, mengurangi efek kerja saraf simpatik yaitu
vasokonstriksi, mengatasi hipoksemia jaringan, dan meningkatkan perfusi
ginjal.
Meskipun demikian, masih dipertanyakan apakah oksigenasi dapat
meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien cor pulmonale kronik karena
gangguan paru selain PPOK. Oksigenasi mungkin dapat mengurangi gejala-
gejala dan perbaikan status fungsional. Oleh karena itu, terapi oksigen
memainkan peranan penting baik dalam terapi langsung jangka panjang,
terutama pada pasien yang hipoksia dan menderita PPOK.
Indikasi terapi oksigen (di rumah) adalah:
a. PaO2≤ 55 mmHg atau SiO2 ≤ 80%
b. PaO2 55-59 mmHg disertai salah satu dari:
1) Edema akibat gagal jantung kanan
2) P pulmonal pada EKG
3) Hematokrit >56%.

15
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan
hidup belum diketahui. Dipaparkan 2 hipotesis:
a. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi dan menurunkan resistensi
vaskular paru, kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan
b. Terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan
hantaran oksigen ke jantung, otak, dan organ vital lain.
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam menurut National
Institute of Health Amerika; 15 jam menurut British Medical Research
Council, dan 24 jam meningkatkan kelangsungan hidup dibandingkan dengan
pasien tanpa terapi oksigen (Harun dan Ika, 2006).
2. Diuretik
Diuretik diberikan bila ada tanda gagal jantung kanan. Pemberian
diuretik yang berlebihan dapat menimbulkan alkolosis metabolik yang bisa
memicu hiperkapnia. Di samping itu dengan terapi diuretik dapat terjadi
kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah
jantung menurun (Harun dan Ika, 2006)
Contoh agen diuretik yang digunakan dalam terapi cor pulmonale kronik
yaitu furosemid. Furosemid adalah loop diuretik kuat yang bekerja pada
lengkung henle, menyebabkan blok reversibel dalam reabsorpsi natrium dan
kalium klorida. Dosis dewasa: 20-80 mg/hari/PO atau IV atau IM (dosis
maksimum 600 mg /hari) (Kumar, 2005).
3. Vasodilator
Vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa
adrenergik, ACE inhibitor, dan prostaglandin sampai saat ini belum
direkomendasikan pemakaiannya secara rutin.
Rubin menemukan pedoman untuk menggunakan vasodilator bila
didapatkan 4 respons hemodinamik sebagai berikut:
a. Resistensi vaskular paru turun minimal 20%
b. Curah jantung meningkat atau tidak berubah
c. Tekanan arteri pulmonal turun atau tidak berubah
d. Tekanan darah sistemik tidak berubah secara signifikan
Penggunaan vasodilator tersebut harus dievaluasi setelah 4 atau 5 bulan
untuk menilai apakah keuntungan hemodinamik tersebut masih menetap atau
tidak (Harun dan Ika, 2006).
4. Digitalis
Digitalis hanya diberikan pada pasien cor pulmonale bila disertai gagal
jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada
pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri normal. Digoksin bisa

16
meningkatkan fungsi ventrikel kanan hanya pada pasien cor pulmonale dengan
penurunan fungsi ventrikel kiri. Di samping itu digitalis menunjukkan
peningkatan komplikasi aritmia (Weitzenblum, 2003).
5. Antikoagulan
Antikoagulan diberikan karena kemungkinan terjadinya tromboemboli
akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi
pasien (Harun dan Ika, 2006).
6. Flebotomi
Tindakan flebotomi pada pasien cor pulmonale kronik dengan hematokrit
yang tinggi (hingga >59%) hanya menjadi terapi tambahan pada pasien dengan
gagal jantung kanan (Shujaat, 2007).

F. Prognosis Cor Pulmonale Kronik


Tekanan arteri pulmonalis merupakan indikator yang baik dalam
menentukan prognosis PPOK, yang merupakan penyebab utama cor pulmonale
kronik dan penyakit respirasi kronik lain seperti fibrosis pulmo idiopatik
(Weitzenblum dan Chaouat, 2009). Cor pulmonale kronik akibat PPOK memiliki
prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan cor pulmonale yang disebabkan
penyakit paru lain seperti penyakit paru restriktif maupun kelainan pembuluh
darah paru. Penelitian oleh Forrer menyatakan pasien cor pulmonale kronik masih
dapat hidup 5-17 tahun setelah serangan pertama gagal jantung kanan dengan
syarat pasien mendapat pengobatan adekuat dan teratur (Weitzenblum, 2003).
Edukasi pasien mengenai pentingnya kepatuhan terapi medis sangat penting,
karena pengobatan baik untuk hipoksia maupun penyakit yang mendasari dapat
menentukan mortalitas dan morbiditas (Bhattacharya, 2004).

G. Komplikasi Cor Pulmonale Kronik


Cor pulmonale kronik sering dikaitkan dengan gagal jantung kanan. Detak
jantung ireguler akibat atrial fibrilasi, serangan jantung (infark miokard akut), atau
stroke dapat terjadi. Penyumbatan darah yang sering terjadi pada cor pulmonale
akibat peningkatan hematokrit sering menyebabkan terjadinya emboli paru
(Anderson dan Eckless, 2003).
Alkalosis metabolik dapat terjadi akibat penggunaan diuretik dalam jangka
lama pada pasien cor pulmonale kronik (Bhattacharya, 2004).

H. Edukasi

17
Pasien yang telah didiagnosis cor pulmonale kronik dapat diberikan edukasi
(McGlothlin et al., 2010; Massie, 2011).:
1. Menunda kehamilan, karena dapat semakin membebani kerja jantung
2. Menghindari aktivitas berat atau mengangkat benda-benda berat
3. Menghindari bepergian ke tempat-tempat yang tinggi, karena rendahnya
kadar oksigen di tempat tersebut
4. Vaksinasi flu atau pneumonia rutin untuk meminimalisasi terjadi infeksi
yang akan memperberat keadaan jantung
5. Berhenti merokok

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cor pulmonale merupakan kondisi gagal jantung kanan yang diakibatkan
oleh hipertensi pulmonal akibat adanya penyakit paru kronis. Cor pulmonale
bermula dari penyakit paru kronis, yang tersering adalah penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK).
Diagnosis cor pulmonale ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan penunjang elektrokardiografi
didapatkan tanda pembesaran jantung kanan. Pada pemeriksaan radiologi harus
ditemukan pelebaran arteri pulmonal pada bagian sentral dan pembesaran
ventrikel kanan, serta gambaran sesuai penyakit paru yang mendasari, seperti pada
PPOK didapatkan corakan bronkovaskuler meningkat, pada pneumonia tampak
infiltrate, pada emfisema tampak celah iga melebar, pada bronkitis kronik tampak
penebalan pada otot bronkus.
Tatalaksana cor pulmonale yaitu pemberian oksigen jangka panjang,
penggunaan obat-obatan vasodilator, diuretik, digitalis, dan antikoagulan.
Ditunjang dengan perubahan gaya hidup seperti berhenti merokok, vaksinasi flu
dan atau pneumonia rutin, dan menghindari aktivitas berat.

B. Saran
Dokter perlu mewaspadai terjadinya hipertensi pulmonal pada pasien paru
kronik yang dapat menyebabkan pasien mengalami cor pulmonale kronik.
Pencegahan terbaik agar pasien terhindar dari cor pulmonale kronik adalah
dengan memberikan tatalaksana terbaik untuk penyakit paru yang diderita pasien
sehingga tidak berlangsung dalam waktu lama.

19
DAFTAR PUSTAKA

Bhattacharya, Amalkumar. 2004. Cor Pulmonale. Indian Academy of Clinical


Medicine Journal 5(2); 128-36.
Decramer M, Janssens W, Miravitlles M. 2012. Chronic obstructive pulmonary
disease. The Lancet 379 (9823): 1341–51.
Harun S, Wijaya IP. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Halaman:1052-1053
Harun S, Ika PW. 2006. Kor Pulmonal Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Ed. 4 Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman; 1680-81.
Kumar, Clark. 2005. Cardiovascular Disease. Dalam Clinical Medicine 6th Ed.
Philadelphia. Elsevier Saunders. Halaman: 725-872.
Leong D. 2013. Cor Pulmonale Overview of Cor Pulmonale Management.
https://emedicine.medscape.com/article/154062-overview?
pa=ydygrr6CsnlcSQ43IFNSKMplr2H5DaYiKjtuGjMYDzrGo4OevVHOyX
8rE9o6PeJo56MI7dGTgNawPfsOtJla9Q%3D%3D#a11. Diakses 31
Oktober 2017
McGlothlin D, De Marco T. 2010. Cor pulmonale. Dalam: Mason RJ, Broaddus
VC, Martin TR, et al., eds. Murray & Nadel's Textbook of Respiratory
Medicine. 5th ed. Philadelphia, Pa.: Elsevier Saunders; chapter 56.
Massie BM. 2011. Heart failure: pathophysiology and diagnosis. In: Goldman L,
Schafer AI, eds. Goldman’s Cecil Medicine . 24th ed. Philadelphia, Pa.:
Elsevier Saunders; chapter 58.
Pelkonen M. 2008. Smoking: relationship to chronic bronchitis, chronic
obstructive pulmonary disease and mortality. Current Opinion in
Pulmonary Medicine. 3;14(2):105-9.
Price SA, Wilson LM, 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Buku 2 Ed 6, EGC, Jakarta.
Qaseem, Amir, Timothy JW, Steven EW, Nicola AH, Darcy DM, Tom D, Holger
S, Roderick M, Paul S. 2011. Diagnosis and management of stable chronic
obstructive pulmonary disease: a clinical practice guideline update from
American College of Physicians, American College of Chest Physicians,
American Thoracic Society, and European Respiratory Society. Annual of
Internal Medicine. 155 (3): 179-192

20
Shuujat A. 2007. Pulmonary hypertension and chronic cor pulmonale in COPD.
International Journal of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 09; 2(3);
273-282.
University of Virginia (2013). Emphysema. https://www.med-
ed.virginia.edu/courses/rad/cxr/pathology10chest.html [Diakses pada:
November 2017].
Vos T, Flaxman AD, Naghavi M, Lozano R, Michaud C, Ezzati M, Shibuya K,
Salomon JA, Abdalla S, Aboyans V, et al. 2012. ‘Years lived with disability
(YLDs) for 1160 sequelae of 289 diseases and injuries 1990–2010: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study. The Lancet 380
(9859): 2163–96.
Weerakoddy Y dan Knipe H. 2017. Cor Pulmonale.
https://radiopaedia.org/articles/cor-pulmonale-2 [Diakses pada: November
2017].
Weitzenblum E. 2003. Chronic Cor Pulmonale. Dalam: Education in Heart. 89;
225-30.
Weitzenblum E, Chaouat A. 2009. Cor pulmonale dalam Review Series: Heart and
Lung Disease. Chronic Respiratory Disease. 6; 177-85.

21

Anda mungkin juga menyukai