Oleh:
Ulfa Puspita Rachma G99171043
Arina Sabila Haq G99152101
Anandita Winadira G99152108
Krisnawati Intan Suwignyo G99152095
Latifa Zulfa Shofiana G99152094
Zakka Zayd Zhullatullah J G99152100
Pembimbing:
DR. Dr. JB Prasodjo, Sp.Rad
1
DAFTAR ISI
Halaman judul………………………………...…………………………… 1
Daftar isi……..………………………………...……………………………
2
Daftar gambar ………………………………...…………………………… 3
Daftar tabel….………………………………...…………………………… 4
Bab I Pendahuluan …………………………...…………………………… 5
Bab II Tinjauan pustaka
A. Definisi………………………………...……………………………6
B. Patofisiologi…………………………...…………………………… 6
C. Etiologi ………...……………………...……………………………8
D. Diagnosis …………………………...………………………...…… 10
E. Tatalaksana …………………………...…………………………… 16
F. Prognosis …………………………...………………………………18
G. Komplikasi …………………………...…………………………….19
H. Edukasi …………………………...……………………………..….19
Bab III Penutup
A. Kesimpulan …………………………...……………..………………20
B. Saran…….. …………………………...……………..………………20
Daftar pustaka…………….…………………...……………..………………21
2
DAFTAR GAMBAR
3
DAFTAR TABEL
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Hipertensi pulmonal menyebabkan kerja ventrikel kanan meningkat dan
terjadi pembesaran ventrikel kanan secara cepat (hipertrofi dan dilatasi) yang
berakibat disfungsi sistolik dan diastolik. Kemudian terjadi gagal jantung yang
ditandai dengan edema perifer (Weitzenblum, 2003).
7
Gambar 2. Perubahan alveolus pada emfisema
8
a. Penyakit paru obstruktif kronis (bronkitis kronis, emfisema)
b. Asma (dengan obstruksi jalan napas ireversibel)
c. Kistik fibrosis
d. Bronkiektasis
e. Bronkiolitis obliterans
2. Penyakit paru restriktif
a. Penyakit neurovaskuler: amyotrophic lateral sclerosis, myopathy,
bilateral diaphragmatic paralysis, dll
b. Kifoskoliosis
c. Torakoplasti
d. Tuberkulosis paru berulang
e. Sarkoidosis
f. Pneumoniosis
g. Penyakit paru akibat obat
h. Extrinsic allergic alveolitis
i. Connective tissue disease
j. Idiopathic interstitial pulmonary fibrosis
k. Interstitial pulmonary fibrosis of known origin
3. Sistem saraf pusat pengatur pernapasan
a. Central alveolar hypoventilation
b. Pickwickian syndrome
c. Sleep apnea syndrome
D. Diagnosis Cor Pulmonale Kronik
1. Anamnesis
Pada cor pulmonale kronik, harus dipastikan pasien sebelumnya telah
memiliki penyakit pada sistem pernapasan yang berlangsung cukup lama.
Kemudian gejala terkait ganguan jantung selanjutnya pasien dapat tidak khas
atau sangat ringan. Pasien dapat merasa kelelahan, takipneu, dispneu
exertonial, dan batuk. Nyeri dada dapat juga ditemukan karena adanya
iskemik pada ventrikel kiri atau pelebaran arteri pulmonal yang tidak
berespon terhadap nitrat. Gejala neurologis lain dapat pula muncul sebagai
akibat dari penurunan curah jantung dan hipoksemi (Leong, 2013).
Batuk darah dapat terjadi akibat rupturnya arteri pulmonal dengan
menyingkirkan adanya tumor, bronkiektasis, atau infark pulmoner. Pada tahap
lanjut, kongesti hepar sekunder terjadi akibat gagal jantung kanan yang parah
sehingga menyebabkan adanya anorexia, rasa tidak nyaman pada perut
ataupun ikterik (Leong, 2013).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tanda-tanda penyakit paru
yang menyebabkan terjadinya cor pulmonale atau hipertensi pulmonal,
hipertrofi ventrikel kanan, dan gagal jantung kanan (Leong, 2013). Adanya
9
hipoksemia menetap, hiperkapnea, dan asidosis, atau pembesaran ventrikel
kanan pada radiogram menunjukan kemungkinan penyakit paru-paru yang
mendasarinya.
Tanda yang dapat muncul yakni kuat angkat sistolik pada parasternal,
peningkatan diameter dinding dada, retraksi, peningkatan JVP, dan sianosis.
Suara hipersonor saat perkusi dapat ditemukan pada pasien cor pulmonale
akibat PPOK. Auskultasi bisa didapatkan wheezing dan ronkhi. Aliran
turbulen dapat terdengar pada pasien hipertensi pulmonal akibat
tromboemboli kronik. Bunyi janung III-IV atau murmur sistolik dapat
terdengar pada regurgitasi trikuspid. Hepatomegali, asites, dan edema
tungkai dapat ditemukan (Leong, 2013; Harun, 2014).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Dapat terjadi polisitemia akibat penyakit jantung yang mendasari,
akibat peningkatan tekanan arteri pulmonal sehingga terjadi peningkatan
viskositas. Analisis gas darah didapatkan adanya asidosis, hipoksia, ataupun
hiperkapnea (Leong, 2013).
4. Pemeriksaan Rotgen Thorax
Pembesaran pada tengah arteri pulmonal disertai gambaran kelainan
penyakit paru yang mendasari. Hipertensi pulmonal hendaknya dicurigai jika
diameter arteri pulmonal desenden kanan lebih dari 16 mm dan arteri
pulmonal desenden kiri lebih dari 18mm, atau pelebaran daerah cabang paru
di hilus. Peningkatan diameter transversal dari jantung pada proyeksi PA dan
filling retrosternal space pada proyeksi lateral dapat menunjukkan adanya
pembesaran ventrikel kanan (Leong, 2013; Harun, 2014).
Pada pemeriksaan foto toraks polos akan didapatkan pembesaran arteri
pulmonal sentral dan perubahan yang sesuai dengan penyakit paru yang
mendasari (Weerakkody dan Knipe, 2017).
10
Gambar 4. Foto Thorax AP/Lateral dari emfisema dan cor pulmonale kronik
(University of Virginia, 2013).
11
Gambar 6. CT scan cor pulmonale kronik akibat bronkitis kronik
12
Gambar 8. Cor pulmonale kronik akibat emfisema
13
5.
14
Gambar 10. Hasil EKG pada pasien cor pulmonale kronik
7. Ekokardiografi
Pada ekokardografi dapat ditemukan dilatasi ventrikel kiri atau
penebalan dinding ventrikel kanan (Weerakkody dan Knipe, 2017).
15
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan
hidup belum diketahui. Dipaparkan 2 hipotesis:
a. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi dan menurunkan resistensi
vaskular paru, kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan
b. Terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan
hantaran oksigen ke jantung, otak, dan organ vital lain.
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam menurut National
Institute of Health Amerika; 15 jam menurut British Medical Research
Council, dan 24 jam meningkatkan kelangsungan hidup dibandingkan dengan
pasien tanpa terapi oksigen (Harun dan Ika, 2006).
2. Diuretik
Diuretik diberikan bila ada tanda gagal jantung kanan. Pemberian
diuretik yang berlebihan dapat menimbulkan alkolosis metabolik yang bisa
memicu hiperkapnia. Di samping itu dengan terapi diuretik dapat terjadi
kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah
jantung menurun (Harun dan Ika, 2006)
Contoh agen diuretik yang digunakan dalam terapi cor pulmonale kronik
yaitu furosemid. Furosemid adalah loop diuretik kuat yang bekerja pada
lengkung henle, menyebabkan blok reversibel dalam reabsorpsi natrium dan
kalium klorida. Dosis dewasa: 20-80 mg/hari/PO atau IV atau IM (dosis
maksimum 600 mg /hari) (Kumar, 2005).
3. Vasodilator
Vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa
adrenergik, ACE inhibitor, dan prostaglandin sampai saat ini belum
direkomendasikan pemakaiannya secara rutin.
Rubin menemukan pedoman untuk menggunakan vasodilator bila
didapatkan 4 respons hemodinamik sebagai berikut:
a. Resistensi vaskular paru turun minimal 20%
b. Curah jantung meningkat atau tidak berubah
c. Tekanan arteri pulmonal turun atau tidak berubah
d. Tekanan darah sistemik tidak berubah secara signifikan
Penggunaan vasodilator tersebut harus dievaluasi setelah 4 atau 5 bulan
untuk menilai apakah keuntungan hemodinamik tersebut masih menetap atau
tidak (Harun dan Ika, 2006).
4. Digitalis
Digitalis hanya diberikan pada pasien cor pulmonale bila disertai gagal
jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada
pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri normal. Digoksin bisa
16
meningkatkan fungsi ventrikel kanan hanya pada pasien cor pulmonale dengan
penurunan fungsi ventrikel kiri. Di samping itu digitalis menunjukkan
peningkatan komplikasi aritmia (Weitzenblum, 2003).
5. Antikoagulan
Antikoagulan diberikan karena kemungkinan terjadinya tromboemboli
akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi
pasien (Harun dan Ika, 2006).
6. Flebotomi
Tindakan flebotomi pada pasien cor pulmonale kronik dengan hematokrit
yang tinggi (hingga >59%) hanya menjadi terapi tambahan pada pasien dengan
gagal jantung kanan (Shujaat, 2007).
H. Edukasi
17
Pasien yang telah didiagnosis cor pulmonale kronik dapat diberikan edukasi
(McGlothlin et al., 2010; Massie, 2011).:
1. Menunda kehamilan, karena dapat semakin membebani kerja jantung
2. Menghindari aktivitas berat atau mengangkat benda-benda berat
3. Menghindari bepergian ke tempat-tempat yang tinggi, karena rendahnya
kadar oksigen di tempat tersebut
4. Vaksinasi flu atau pneumonia rutin untuk meminimalisasi terjadi infeksi
yang akan memperberat keadaan jantung
5. Berhenti merokok
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cor pulmonale merupakan kondisi gagal jantung kanan yang diakibatkan
oleh hipertensi pulmonal akibat adanya penyakit paru kronis. Cor pulmonale
bermula dari penyakit paru kronis, yang tersering adalah penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK).
Diagnosis cor pulmonale ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan penunjang elektrokardiografi
didapatkan tanda pembesaran jantung kanan. Pada pemeriksaan radiologi harus
ditemukan pelebaran arteri pulmonal pada bagian sentral dan pembesaran
ventrikel kanan, serta gambaran sesuai penyakit paru yang mendasari, seperti pada
PPOK didapatkan corakan bronkovaskuler meningkat, pada pneumonia tampak
infiltrate, pada emfisema tampak celah iga melebar, pada bronkitis kronik tampak
penebalan pada otot bronkus.
Tatalaksana cor pulmonale yaitu pemberian oksigen jangka panjang,
penggunaan obat-obatan vasodilator, diuretik, digitalis, dan antikoagulan.
Ditunjang dengan perubahan gaya hidup seperti berhenti merokok, vaksinasi flu
dan atau pneumonia rutin, dan menghindari aktivitas berat.
B. Saran
Dokter perlu mewaspadai terjadinya hipertensi pulmonal pada pasien paru
kronik yang dapat menyebabkan pasien mengalami cor pulmonale kronik.
Pencegahan terbaik agar pasien terhindar dari cor pulmonale kronik adalah
dengan memberikan tatalaksana terbaik untuk penyakit paru yang diderita pasien
sehingga tidak berlangsung dalam waktu lama.
19
DAFTAR PUSTAKA
20
Shuujat A. 2007. Pulmonary hypertension and chronic cor pulmonale in COPD.
International Journal of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 09; 2(3);
273-282.
University of Virginia (2013). Emphysema. https://www.med-
ed.virginia.edu/courses/rad/cxr/pathology10chest.html [Diakses pada:
November 2017].
Vos T, Flaxman AD, Naghavi M, Lozano R, Michaud C, Ezzati M, Shibuya K,
Salomon JA, Abdalla S, Aboyans V, et al. 2012. ‘Years lived with disability
(YLDs) for 1160 sequelae of 289 diseases and injuries 1990–2010: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study. The Lancet 380
(9859): 2163–96.
Weerakoddy Y dan Knipe H. 2017. Cor Pulmonale.
https://radiopaedia.org/articles/cor-pulmonale-2 [Diakses pada: November
2017].
Weitzenblum E. 2003. Chronic Cor Pulmonale. Dalam: Education in Heart. 89;
225-30.
Weitzenblum E, Chaouat A. 2009. Cor pulmonale dalam Review Series: Heart and
Lung Disease. Chronic Respiratory Disease. 6; 177-85.
21