Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

Pulmonary Embolism

Disusun Oleh :
Fanny Alfionita
1865050004

Dosen Penguji:
dr. Febtusia Puspitasari, Sp.Jp

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 24 FEBRUARI 2020 – 2 APRIL 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Emboli paru merupakan salah satu kegawat daruratan pada bidang kardiovaskular
yang cukup sering terjadi. Emboli paru merupakan peristiwa infark jaringan paru akibat
tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis akibat peristiwa emboli. Oklusi pada
arteri pulmonal dapat menimbulkan tanda gejala yang beragam, dari keadaan yang
asimptomatik hingga keadaan yang mengancam nyawa, seperti hipotensi, shok
kardiogenik, hingga henti jantung tiba tiba. Berdasarkan penelitian, insidensi terjadinya
emboli paru pada populasi adalah 23 per 100,000 penduduk dengan angka kematian 15%
yang menunjukkan bahwa penyakit ini masih merupakan sebuah penyebab emergensi
kardiovaskular. 1
Beberapa penyebab utama dari sebuah kejadian emboli paru merupakan
tromboemboli vena, tetapi penyebab lain seperti emboli udara, emboli lemak, cairan
amnion, fragmen tumor, dan sepsis masih mungkin terjadi. Diagnosis dini penting untuk
ditegakkan karena tatalaksana dan intervensi harus segera dilakukan. Bergantung dari
gejala klinisnya, terapi awal bertujuan utama untuk mengembalikan aliran darah pada
daerah yang mengalami oklusi atau untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
buruk. Pencegahan sekunder memiliki peran sama pentingnya dengan terapi awal,
sehingga angka rekurensi emboli paru dapat menurun.1
Emboli paru banyak terjadi akibat lepasnya suatu trombosis yang berasal dari
pembuluh darah. Insiden sebenarnya dari emboli paru tidak dapat ditentukan, karena sulit
membuat diagnosis klinis, tetapi emboli paru merupakan penyebab penting morbiditas
dan mortalitas pasien-pasien di rumah sakit dan telah dilaporkan sebagai penyebab dari
200.000 kematian di Amerika Serikat setiap tahunnya. Emboli paru masif adalah salah
satu penyebab kematian mendadak yang paling sering.2
Penyakit ini sering terjadi, namun jarang terdiagnosis sehingga laporan mengenai
penyakit ini di Indonesia jarang ditemukan. Di Amerika Serikat menunjukkan ahwa kira-
kira terdapat 50.000 kasus penyakit ini tiap tahunnya. Penelitian lebih lanjut
menunjukkan bahwa kurangdari 10% pasien emboli paru meninggal karena penyakit ini.

1
Oleh karenanya dj Amerika Serikat dapat diperkirakan insiden ini lebih dari 50.000 kasus
tiap tahunnya.3

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Emboli paru merupakan keadaan terjadinya obstruksi sebagian atau total sirkulasi
arteri pulmonalis atau cabang-cabang akibat tersangkutan emboli trombus atau emboli
yang lain. Selain itu, emboli paru (Pulmonary Embolism) dapat diartikan sebagai
penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh suatu embolus, yang terjadi secara
tiba-tiba. Suatu emboli bisa merupakan gumpalan darah (trombus), tetapi bisa juga
berupa lemak, cairan ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor atau gelembung udara,
yang akan mengikuti aliran darah sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah.
Biasanya arteri yang tidak tersumbat dapat memberikan darah dalam jumlah yang
memadai ke jaringan paru-paru yang terkena sehingga kematian jaringan bisa dihindari.4

2.2 EPIDEMIOLOGI

Morbiditas dan mortalitas terkait dengan pulmonary embolism (PE) tetap tinggi,
meskipun ada kemajuan penting dalam diagnosis kardiovaskular dan pengobatan. Tingkat
kejadian tahunan yang dilaporkan tromboemboli (VTE) berkisar antara 23 dan 69 kasus
per 10.000 populasi dengan sekitar sepertiga pasien dengan PE akut dan dua pertiga
dengan deep vein thrombosis (DVT). Kasus tingkat kematian sangat bervariasi,
Diperkirakan bahwa sekitar 10% dari semua pasien dengan PE akut meninggal.5

2.3 FAKTOR PREDISPOSISI

Berdasarkan American Heart Association, terdapat beberapa faktor predisposisi yang


dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya emboli paru

3
Insidensi dari emboli paru meningkat secara eksponensial dengan usia. 65% pasien
mengalami emboli paru pada usia 60 tahun ke atas. Terdapat peningkatan resiko sebesar
delapan kali lipat pada pasien berusia 80 tahun dibandingkan dengan pasien berusia
kurang dari 50 tahun. Hanya 39.5% pasien yang melakukan tindakan operasi besar
memiliki resiko terjadinya emboli paru apabila mendapatkan profilaksis yang cukup.6

2.4 PATOFISIOLOGI

Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat sebuah postulat yang menyatakan bahwa
terdapat tiga faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keadaan koagulasi intravaskuler,
yaitu:

1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah, sehingga terjadi kerusakan endotel
vaskular. Biasanya disebabkan oleh thromboflebitis sebelumnya, pada trauma,
ataupun tindakan pembedahan.

2. Keadaan hiperkoagulobilitas darah yang disebabkan oleh berbagai pengobatan,


seperti: kontrasepsi oral, terapi hormon, terapi steroid, keganasan, sindrom nefrotik,
thrombositopenia akibat penggunaan obat heparin, defisiensi protein C, protein S,
antithrombin III, dan keadaan DIC.

3. Keadaan stasis vena, biasanya disebabkan karena immobilisasi atau tirah baring
yang berkepanjangan, katup vena yang tidak kompeten akibat proses thromboemboli
sebelumnya, efek samping anestesi, gagal jantung kongestif, dan cor pulmonale.

4
Emboli akan meningkatkan resistensi dan tekanan pada arteri pulmonalis yang
kemudian akan melepaskan senyawa-senyawa vasokonstriktor, agregasi platelet, dan sel
mast. Keadaan vasokonstriksi arteri pulmonal dan hipoksemia kemudian akan
menimbulkan hipertensi arteri pulmonal, sehingga tekanan ventrikel kanan meningkat.

Selanjutnya, dilatasi dan disfungsi ventrikel kanan akan menyebabkan penekanan


septum intraventrikuler ke sisi kiri dan regurgitasi katup trikuspidalis. Hal ini dapat
mengganggu proses pengisian ventrikel. Dengan berkurangnya pengisian ventrikel kiri,
maka curah jantung sistemik akan menurun dan mengurangi perfusi koroner. Infard
miokard terjadi sebagai akibat dari penurunan aliran koroner yang dapat menyebabkan
shok kardiogenik. Apabila tidak ditangani dengan cepat, maka dapat menyebabkan
kegagalan sirkulasi dan kematian.

Pada pasien yang berhasil melewati episode emboli akut, terjadi aktivasi pada sistem
simpatetik. Stimulasi inotropik dan kronotropik meningkatkan tekanan arteri pulmonal
yang dapat membantu untuk mengembalikan aliran darah pulmonal dan memperbaiki
pengisian ventrikel kiri, sehingga tekanan darah sistemik menjadi stabil kembali. Tetapi
kompensasi inotropik dan kronotropik ini tidak mampu untuk mempertahankan fungsi
ventrikel kanan untuk jangka waktu panjang. Sehingga akan terjadi peningkatan
kebutuhan oksigen pada otot miokardial ventrikel kanan disertai dengan penurunan
gradien perfusi koroner ventrikel kanan. Akibatnya, iskemia dan kegagalan fungsi
ventrikel kanan terjadi.

Jika tidak ada penyakit kardioemboli sebelumnya, obstruksi kurang dari 20% hanya
akan menyebabkan gangguan hemodinamik minimal dengan gejala klinis tidak spesifik.
Ketika obstruksi mencapai 30-40%, maka akan terjadi kenaikan tekanan ventrikel kanan,
tetapi curah jantung sistemik masih dapat dipertahankan dengan adanya kompensasi
inotropik dan kronotropik yang meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas miokard.
Ketika obstruksi melebihi 50-60% dari arteri pulmonalis, maka kompensasi akan mulai
mengalami kegagalan.

Curah jantung berkurang dan tekanan atrium kanan akan meningkat sehingga
menimbulkan kegagalan hemodinamik yang nyata. Sedangkan insufisiensi pernapasan

5
pada emboli paru disebabkan akibat rendahnya curah jantung sehingga terjadi desaturasi
darah vena yang memasuki peredaran darah pulmonal.

Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi akan menimbulkan gejala sesak napas dan


hipoksemia. Pada emboli paru yang letaknya lebih ke distal, gangguan hemodinamik
mungkin tidak ditemukan. Tetapi gejala hemoptisis, pleuritis, dan efusi pleura ringan
dapat ditemukan akibat pecahnya pembuluh darah di sekitar alveolar.7

2.5 Gejala dan Tanda

Kebanyakan tanda dan gejala klinis yang ditampilkan oleh emboli paru bersifat tidak
spesifik dan dapat menjadi manifestasi dari penyakit lainnya, seperti infark miokard dan
pneumonia. Emboli paru dapat bersifat asimptomatik hingga mengancam nyawa dengan
tanda dan gejala dispnea berat, sinkop, dan sianosis. Emboli paru juga dapat disertai
dengan tachypnea, takikardia, ronki, hemoptisis, batuk, dan nyeri pleuritik. Nyeri
pleuritik terjadi apabila emboli paru menyerang arteri pulmonalis bagian distal yang
berdekatan dengan pleura. Berikut ini merupakan tanda gejala emboli paru beserta
dengan frekuensi terjadinya.8

6
Terdapat sistem skoring yang dapat dipakai untuk memperkirakan probabilitas
terjadinya emboli paru yaitu sistem skoring Wells

Berdasarkan sistem skoring Wells, kemungkinan untuk terjadinya emboli paru adalah
sebagai berikut:

1. Skor 0 – 1 : kemungkinan rendah

2. Jika poin 2 – 6 : kemungkinan sedang

3. Jika poin lebih dari 6: kemungkinan tinggi Selain itu, dapat juga dipergunakan sistem
skoring Geneva yang telah direvisi untuk memperkirakan probabilitas terjadinya emboli
paru

Berdasarkan sistem skoring Wells, kemungkinan untuk terjadinya emboli paru


adalah sebagai berikut:

1. Skor 0 – 3: probabilitas rendah, kurang dari 8%

2. Skor 4 – 10: probabilitas sedang, kurang lebih 28%

3. Skor lebih dari 10: probablitias tinggi, kurang lebih 74%

7
2.6 DIAGNOSIS

Penilaian obyektif untuk mendiagnosis emboli paru diperlukan karena penilaian


klinis saja tidak dapat diandalkan. Tidak ada tes tunggal yang memiliki sifat ideal
(sensitivitas dan spesifisitas 100 %, tanpa risiko, biaya murah).6 Penegakan diagnosis
Emboli paru sulit dan memerlukan beberapa pemeriksaan untuk menyingkirkan
diagnosis banding dan menegakkan diagnosisnya. Beberapa kolegium seperti
American College of Physicians, American Academy of Family Physicians, British
Thoracic Society, dan European Society of Cardiologytelah membuat panduan berupa
algoritma untuk mempermudah diagnosis Emboli paru, Penderita dengan kecurigaan
Emboli paru setelah dilakukan penilaian faktor risiko dan tes probabilitas harus
dilakukan pemeriksaan fisik. Temuan pemeriksaan fisik dapat bervariasi, seperti
takipnea, takikardi, hipoksia, demam, sianosis, dan peningkatan JVP. Pemeriksaan
penunjang berupa Analisa Gas Darah, foto Rontgen dada dan EKG
(Elektrokardiografi) diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding Emboli paru
namun hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Biomarker jantung (Troponin T
dan I) dan Ekhokardiografi dapat digunakan untuk menilai severitas Emboli paru terkait
prognosis.9

8
Gambar. Algoritma Diagnosis Emboli paru.6

1. Pemeriksaan Analisa Gas Darah

Dari Pemeriksaan Analisa Gas Darah didapatkan hipoksemia, hipokapnea dan


peningkatan AaDO2. Namun pada penderita usia muda, dapat ditemukan hasil
Analisa Gas Darah yang norma.9

2. D-dimer

Gambar. Pemeriksaan D-dimer pada Emboli paru.10


9
Dilakukan pemeriksaan tes D-dimer pada penderita kecurigaan Emboli paru, ini
bersifat wajib menyertai penilaian klinis.Hasil D-dimer negative pada penderita
dengan probabilitas rendah menunjukkan tidak perlu pencitraan lebih lanjut. Tes D-
dimer tidak diperlukan bila probabilitasnya tinggi karena tidak mempengaruhi
keputusan pemeriksaan tambahan berupa pencitraan.

D-dimer plasma merupakan degradasi fibrin yang dihasilkan dari degradasi klot
oleh fibrinolysis. 11 Pemeriksaan ini merupakan tes dengan NPV (Negative Predictive
Value) yang tinggi dan PPV (Positive Predictive Value) yang rendah. Pemeriksaan
ini merupakan pilihan pertama pada penderita dengan pretest probability /
penilaian klinis rendah sampai sedang. Konsentrasi D-Dimer >0,5 mg/L memiliki
Sensitivitas 95% dan Spesifisitas 55% untuk mendiagnosa VTE (Venous
Tromboemboli).10

3. Pemeriksaan Biomarker Jantung

Pemeriksaan biomarker jantung dapat digunakan untuk memperkirakan prognosis


pada pasien dengan emboli paru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Konstantinides, peningkatan kadar biomarker troponin T dan I menunjukkan prognosis
lebih buruk dibandingkan pada pasien yang tidak mengalami peningkatan kadar troponin
T dan I. Peningkatan biomarker tersebut meningkatkan resiko mortalitas hingga 3,5 kali
lipat.12

4. Elektrokardiogram (EKG)

Pada pemeriksaan elektokardiogram (EKG) kurang spesifik apabila dilakukan pada


penderita emboli paru ringan hingga sedang, karena dapat memberikan gambaran normal.
Tetapi pada penderita emboli paru berat, dapat ditemukan gambaran:1

- Gelombang Q yang sempit diikuti dengan inversi gelombang T pada lead III disertai
dengan gelombang S pada lead I yang menandakan perubahan posisi jantung akibat
dilatasi atrium dan ventrikel kanan. Dapat ditemukan juga deviasi axis ke kanan

- P pulmonal

- Right bundle branch block yang baru

10
- Right ventricular strain dengan inversi gelombang T pada lead V1 hingga V4

- Aritmia supraventrikuler atau sinus takikardia

Gambar. Contoh gambaran elektrokardiografi kasus emboli paru

5. Pencitran
a. Foto Rongsen Dada

Pencitraana.Foto Rongsen Dada Foto rongsen dada posisi PA dan


lateral penting dalam mengevaluasi penderita Emboli paru. Penderita dengan
nyeri dada namun ditemukan infiltrat Pneumonia, Efusi pleura masif,
Pneumotoraks, Edema paru sehingga dapat menyingkirkan pemeriksaan
radiologis tambahan. Foto rontgen dada normal tidak menyingkirkan
diagnosis Emboli paru. Tidak ada gambaran yang khas untuk Emboli paru.
Pada pemeriksaan Foto Rongsen Dada bisa ditemukan hasil yang normal
(14%) atau abnormal. Hasil yang normal pada penderita hipoksia tanpa
bronkospasme mendukung adanya Emboli paru. Abnormalitas yang ditemukan
antara lain atelectasis lempeng (68%), Efusi pleura (48%), Hampton hum (35% -
opasitas menyerupai efusi menunjukkan adanya infark parenkim distal dari
trombus), peningkatan hemidiafragma (24%), Fleischner’s sign (15% -arteri
pulmonalis sentral yang menonjol), Westermark’s sign (7% -oligemia perifer),
kardiomegali (7%) dan edema paru (5%). Abnormalitas foto rongsen yang
lain jarang ditemukan pada Emboli paru.9,13

11
Gambar. Gambaran Foto Rongsen Dada pada Emboli paru.9

b. Ekhokardiografi

Ekhokardiograi transtorakal atau transesofagus tidak diindikasikan


untuk mendiagnosis Emboli paru akut. Ekhokardiografi penting untuk
menilai disfungsi Ventrikel kanan pada penderita Emboli paru, karena terkait
prognosis dan mortalitas pada Emboli paru serta terjadinya tromboemboli
dikemudian hari. Temuan yang mendukung disfungsi Ventrikel kanan diantaranya
dilatasi ventrikel kanan, dinding hipokinetik, gerakan dinding septum yang
berlawanan, dilatasi arteri pulmonalis, gradient tekanan sistolik ventrikel
kanan – kiri >30mmHg dan waktu akselerasi laju arteri pulmonalis <80
milidetik. Diagnosis disfungsi Ventrikel kanan bila didapati dua dari temuan
berikut, yaitu rasio diameter RV/LVend-distolic> 0,9 (tampak apikalfour
chamber) atau RV/LV end-diastolic >0,7 (tampak parasternal long
axisatausubsternal four-chamber) atau geraka septum interventrikel yang
berlawanan atau tekanan arteri pulmonalis sistemik >30mmHg. Adanya dilatasi
Ventrikel kanan lebih tampak pada emboli di arteri pulmonalis utama
dibandingkan pada segmen atau subsegmen.12,13

12
c. CT Angiografi Paru(CTPA)

CTPA memiliki peran yang signifikan dalam mendiagnosis Emboli paru


sejak studi klinis besar yang pertama pada tahun 1992. Kemajuan teknologi di
CT dari heliks ke multidetector menambah peningkatan resolusi arteri paru,
besar dan kecil. CTPA sangat sensitif dan spesifik bila dibandingkan dengan
angiografi konvensional terutama di tingkat subsegmental. Angiografi paru
merupakan standar baku emas untuk mendiagnosis Emboli paru. Selain berguna
untuk melihat secara langsung adanya thrombus di arteri pulmonalis, CT
scan dapat pula dipakai untuk menstratifikasi risiko Emboli paru dengan
mengukur diameter Ventrikel Kanan/Kiri(RV/LV)

Diagnosis Emboli paru bila didapatkan adanya filling defectarteri


pulmonalis (sebagianatau total) minimal pada dua gambar berurutan dan terletak
di tengah pembuluh darah atau memiliki sudut yang tajam terhadap dinding
pembuluh darah. Lokasi Emboli dievaluasi pada tingkat arteri pulmonalis yang
terlibat dan lokasi lobar yang terkait. LokasiEmboli dikategorikan sebagai sentral
(misalnya, arteri utama paru, arteri paru-parus entral, dan kedua arteri interlobar
paru), lobar, segmen, dan subsegmen.14

Gambar .CTPA penderita Emboli paru akut (A) tampak emboli di arteri pulmonalis
utama kanan dengan idek klot 50% (B) rasio RV/LV>2 mendukung adanya disfungsi

13
Ventrikel kanan. Penderita diberikan terapi trombolitik dan terdapat perbaikan (C) terjadi
resolusi thrombus dan (D) rasio RV/LV kembali normal (0,8)

Gambar. CT Angiografi paru tampak cabang arteri pulmonalis dari sentral, segmen
dan subsegmen

Gambar. CT angiografi yang menggambarkan (A) adanya sumbatan emboli, (B)


pasca trombolitik

d. Kateter Angiografi Selektif Paru

Angiografi paru dengan kateter jantung kanan dapat mengukur tekanan


arteri pulmonalis dan jantung kanan. Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan yang aman namun invasive serta memerlukan operator yang

14
berpengalaman dan monitor pasien yang adekuat. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan bila diagnosis Emboli paru dengan cara non-invasiftidak dapat
dilakukan. Kateter Angiografi paru ini dianggap lebih inferior dibandingkan
Multidetector CTPA terkait teknis seperti penderita yang bergerak, overlap
pembuluh darah serta variasi interpretasi pengamat. Kontras yang diberikan
terbatas pada arteri pulmonalis yang dicurigai melalui pemeriksaan non-invasif
V/Q scan. Karena Multi Detector CTPA merupakan pemeriksaan standar
untuk mendiagnosis Emboli paru, maka pemeriksaan kateter Angiografi paru ini
jarang dilakukan kecuali bila ada indikasi trombektomi atau trombolisis melalui
kateter.15

e. V/Q scintigrafi

Pemeriksaan Ventilasi Perfusi (V/D scan) diperkenalkan pertama


pada pertengahan 1960 dan menjadi pemeriksaan untuk penderita yang
dicurigai Emboli paru. Penggunaan V/D scan dan CTPA masih kontroversi.
Keduanya memiliki akurasi diagnosis yang bagus. Pemeriksaan Ventilasi
Perfusi(V/D scan) digantikan oleh CTPA sekitar tahun 2000 untuk mendiagnosis
Emboli paru.Bila dibandingkan dengan V/Q scintigrafi, pencitraan CTPA
memiliki kekurangan diantaranya radiasi yang lebih besar (7 kali lipat)
sedangkan V/Q scan radiasinya lebih rendah. CTPA cenderung terjadi
overdiagnosis karena ditemukannya tromboemboli. Pada Emboli paru terjadi
obstruksi arterial dan gangguan perfusi karena thrombus. Hal ini akan
menyebabkan rilis vasoaktif dan bronkoaktif dari platelet yang menyebabkan
gangguan ventilasi dan perfusi. Gambaran beberapa proyeksi dengan perfusi
regional dan ventilasi normal menunjukkan tidak adanya Emboli paru sehingga
tidak perlunya adanya pemeriksaan yang lain. Gambaran abnormal perfusi
regional (Q) mencurigakan sebagai Emboli paru namun tidak spesifik. Hal
ini memerlukan pemeriksaan anatomi ditempat terjadinya defek
perfusi(misalnya segmental) berupa pemeriksaan ventilasi dan foto rongsen
dada.3Secara umum temuan V/Q scan dibagi menjadi lima yaitu, probabilitas
tinggi, sedang, rendah, sangat rendah dan normal. Scan paru kadang

15
diindikasikan pada beberapa ibu hamil, tentunya dengan mengurangan dosis
kontras. Pilihan penggunaan CTPA dan V/Q scan pada wanita hamil masih
menjadi perdebatan.Sebuah studi menduga bahwa bila hasil rongsen dada normal
maka scan perfusi saja cukup memuaskan hasilnya15

Gambar. V/Q scan menunjukkan ventilasi normal dan


defek perfusi kedua lapang paru.9

f. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Penggunaan MRI meningkatkan akurasi diagnosis Emboli paru


bila dikombinasikan dengan angiografidanperfusiparu. Akurasi MRI sebanding
dengan MDCT 16-slice. Keuntungan MRIyaitu bebas radiasi (non-ionizing)16,
bisa tanpa media kontras sehingga aman untuk penderita gangguan ginjal dan
ibu hamil memperkuat penggunaannya. Waktu yang diperlukan untuk
pemeriksaan MRI sekitar 10 menit. Temuan Emboli paru pada MRI adalah sama
dengan CT scan, namun dibagi menjadi tanda vaskuler dan tanda parenkim.
Tanda vaskuler Emboli paru berupa penurunan diameter pembuluh darah,
hilangnya kontras dibawah pembuluh darah yang tersumbat emboli. Tanda
parenkimal yang dapat ditemukan adalah opasitas pleural-based, nodul
perifer, opasitas ireguler linier di perifer, gambaran mosaic.16

16
Gambar. MR Angiografi (A) emboli di sentral arteri pulmonalis (B) emboli di lobus
bawah paru

g. USG

Karena adanya keterkaitan antara TVD dengan Emboli paru,


maka Ultrasonografi vena ekstrimitas bisa diindikasikan bila dicurigai. Yang
dipakai adalah USG Doppler dupleks dengan kompresi tungkai atau continous-
wave Doppler. Adanya TVD bukan pasti menunjukkan adanya Emboli paru,
namun meningkatkan kecurigaan Emboli paru. Hasil USG yang normal juga tidak
menyingkirkan keberadaan Emboli paru, namun menurunkan kecurigaan Emboli
paru.15

2.7 Diagnosa Banding

Beberapa diagnosis banding dari emboli paru adalah pneumonia, bronkitis, asma
bronkial, penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut, infark miokard, edema paru,
anxietas, diseksi aorta, tamponade perikardial, kanker paru, hipertensi pulmonal primer,
fraktur kosta, pneumothoraks, kostokondritis, dan nyeri musculoskeletal.17

17
2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan emboli paru mencakup terapi yang bersifat umum dan khusus
Tatalaksana yang umum antara lain:18

1. Umum:

a. Tirah baring di ruang perawatan intensif

b. Oksigen 2-4 L/menit

c. IV line untuk pemberian cairan

d. Pemantauan tekanan darah

e. Pemasangan stocking kompresi gradient (30-40 mmHg) bila tak ditoleransi


gunakan 20-30 mmHg

2. Khusus :

a. Trombolitik diindikasikan pada emboli paru masif dan submasif

- Streptokinase 1,5 juta U diberikan dalam 1jam atau

- rt-PA100mg IV dalam 2 jam atau

- Urokinase 4400/kgBB/jam dalam 12 jam

b. Dilanjutkan heparinisasi unfractioned / LM heparin selama 5 hari

c. Ventilator mekanik diperlukan pada emboli paru masif

d. Heparinisasi sebagai pilihan pada emboli paru non masif/ submasif

e. Anti inflamasi nonsteroid bila tidak ada 276 | Panduan Praktik Klinis & Clinical
Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah perdarahan

f. Embolektomi dilakukan bila ada kontra indikasi heparinisasi / trombolitik pada


emboli paru masif dan submasif

g. Pemasangan filter vena cava dilakukan bila:

- Ada perdarahan yang memerlukan transfusi,

18
- Emboli paru berulang meskipun telah menggunakan anti-koagulan
jangka panjang

h. Perawatan emboli paru massif dan non massif memerlukan perawatan di ruang
intensif

Resusitasi

Pada fase akut, gangguan hemodinamik harus dipahami akibat gagal ventrikel
kanan akut yang mengakibatkan keluaran sistemik yang rendah. Terapi suportif yang
dapat diberikan berupa kombinasi cairan, vasopresor, inotropik sebelum memulai
terapi definitif. Tidak ada protokol yang tegas berkaitan dengan bagaimana cara
memperbaiki hemodinamik pada emboli paru fase akut. Cairan dalam jumlah sedang
(500 mL) dapat membantu meningkatkan indeks jantung dengan catatan pada kasus
emboli paru dengan indeks jantung yang rendah dan tekanan darah normal.

Vasopresor seperti norepinefrin dapat memperbaiki fungsi ventrikel kanan


melalui efek inotropik positif, sambil memperbaiki perfusi koroner ventrikel kanan
melalui stimulasi reseptor alfa di vaskular serta peningkatan tekanan darah sistemik.
Namun penggunaannya hanya dibatasi pada keadaan hipotensi. Dobutamin atau
dopamin dapat dipertimbangkan pada pasien emboli paru dengan indeks jantung
rendah dan tekanan darah normal. Meningkatkan indeks jantung di atas nilai
fisiologis dapat memperburuk ketidaksesuaian (mismatch) ventilasi-perfusi dengan
meredistribusi aliran menjauhi vaskular obstruksi ke vaskular yang tidak obstruksi.
Epinefrin memiliki efek kombinasi norepinefrin dan dobutamin tanpa efek
vasodilatasi dari dobutamin. Sehingga sangat bermanfaat pada pasien emboli paru
disertai syok.

Penggunaan vasodilator sistemik terbatas pada efek spesifiknya pada


pembuluh darah pulmonal. Preparat seperti levosimendan pada suatu studi awal dapat
mengembalikan interaksi ventrikel kanan dan arteri pulmonal akibat vasodilatasi
pulmonal dan peningkatan kontraktilitas ventrikel kanan. Inhalasi nitrik oksida dapat
memperbaiki status hemodinamik dan pertukaran gas.

19
Pada keadaan hipoksemia dan hiperkapni, diperlukan terapi oksigen dengan
ventilasi mekanik dengan konsekuensi hemodinamik yang cukup tinggi. Tekanan
positif ventilator dapat menurunkan aliran balik vena (venous return) sehingga
memperburuk gagal ventrikel kanan pada pasien emboli paru masif. Strategi yang
dapat dilakukan diantaranya pemberian PEEP dengan perhatian khusus, volume tidal
rendah (hingga 6 mL/kgBB ideal), tekanan plateau akhir inspirasi <30 cm H2O.
Langkah terakhir apabila tidak tertangani, adalah terapi suportif seperti
ekstrakorporeal kardiopulmonal.

Reperfusi Primer

Beberapa jam pertama kegawatan emboli paru dapat dianggap sebagai waktu
kritis untuk melakukan reperfusi primer untuk mencegah perburukan kondisi. Pilihan
dapat berupa agen farmakologi seperti unfractionated heparin (UFH), low-molecular-
weight heparin (LMWH), vitamin K antagonists (VKA) dan nonfarmakologi seperti
embolektomi melalui pembedahan dan perkutan.

Pada kondisi emboli paru disertai syok, antikoagulan inisial yang disarankan
adalah UFH intravena (LMWH atau fondaparinux belum pernah diuji). Terapi
antikoagulan bertujuan mencegah proses pembentukan bekuan dan emboli rekuren.
Pada pasien emboli paru risiko tinggi, pilihan reperfusi primer adalah trombolisis
sistemik. Apabila tidak berhasil atau terdapat kontraindikasi, pilihan alternatifnya
adalah dengan bedah embolektomi jika tersedia ahli dan sumber daya. Alternatif
lainnya adalah dengan terapi langsung kateter perkutan. Keputusan terapi ini diambil
interdisiplin yang melibatkan bedah toraks atau kardiologis intervensi

Pada kelompok risiko menengah tinggi (emboli paru, disfungsi ventrikel


kanan, troponin positif) diberikan trombolisis sistemik dengan tujuan mencegah
dekompensasi hemodinamik dengan risiko perdarahan intrakranial. Pada kelompok
risiko menengah rendah hanya direkomendasikan pemberian antikoagulan.
Antikoagulan harus diberikan pada pasien dengan probabilitas tinggi atau menengah
sembari menunggu hasil pemeriksaan. Pada emboli paru akut, tujuan pemberian

20
antikoagulan adalah mencegah kematian dan terjadinya VTE yang simtomatik dan
fatal, dengan durasi pemberian sedikitnya 3 bulan

Pada pengobatan fase akut, meliputi pemberian UFH, LMWH selama 5–10
hari pertama. Pemberian heparin parenteral bersamaan dengan inisiasi VKA, sebagai
alternatif dapat pula diberikan salah satu antikoagulan golongan baru seperti
dabigatran atau edoxaban. Jika rivaroxaban atau apixaban juga diberikan, terapi oral
salah satu agen ini diberikan langsung atau setelah 1–2 hari pemberian UFH, LMWH
atau fondaparinux. Pada kasus ini, terapi fase akut meliputi peningkatan dosis
antikoagulan oral selama tiga minggu pertama (untuk rivaroxaban), atau selama tujuh
hari pertama (untuk apixaban). Pada beberapa kasus, pemberian antikoagulan lebih
dari tiga bulan mungkin diperlukan pada kasus-kasus untuk pencegahan sekunder
setelah menimbang risiko rekuren pasien dan risiko perdarahan. Fungsi-fungsi organ-
organ vital harus tetap dipantau selama proses perjalanan penyakit (derajat oklusi
yang mengakibatkan kompensasi ventrikel kanan) dan selama pemberian terapi.17

21
BAB 3
PENUTUP

Emboli merupakan salah satu masalah kesehatan dengan insidensi yang masih
tinggi dan angka mortalitasnya cukup signifikan. Deteksi dan stratifikasi risiko
merupakan langkah awal dalam diagnosis dan tatalaksana suatu emboli paru sehingga
dapat menrunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Dalam mendiaknosa emboli paru dapat di tegakan dengan pemeriksaan radiologi
rontgen thoraks, Scanning Ventilasi-Perfusi, Spiral Pulmonary Computed Tomography
scanning, Pulmonary Scintigraphy, angiografi paru, dan Magnetic Resonance Angiografi
(MRA). Pemberian antikoagulan, baik low-molecular weigth heparin, unfractinated
heparin dan oral antikoagulan lain seperti warfarin masih cukup efektif dalam terapi
khusus emboli paru.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Oktaviani F, Kurniawan A. Emboli Paru. Fakultas Kedokteran UPH, Jakarta; 2015:


313-320
2. Agnelli G, Becattini C. Current concepts acute pulmonary embolism. N Engl J Med .
2010; 363(3):266-74.
3. Deng X, Li Y, Zhou L, Liu C, Liu M, Ding N et al. Gender differences in the
symptoms, signs, disease history, lesion position and pathophysiology in patients with
pulmonary embolism. Plos One. 2015:1-9
4. Agnelli G, Becattini C. Current concepts acute pulmonary embolism. N Engl J Med .
2010; 363(3):266-74.
5. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galie N, et al.
2014 ESC guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary
embolism. Eur Heart J. 2014; 35(43): 3033–69
6. Wilbur J, Shian B. Diagnosis of Deep Venous Thrombosis and Pulmonary
Embolism. American Family Physician, 2012 : 86(10), 913-919
7. Kostadima E, Zakythinos E. Pulmonary Embolism: Pathophysiology,Diagnosis,
Treatment. Hellenic J Cardiol. 2007; 48: 94-107.
8. Penaloza A, Verschuren F, Meyer G, Quentin S, & Soulie C. Comparison of the
Unstructured Clinician Gestalt, the Wells Score, and the Revised Geneva Score to
Estimate Pretest Probability for Suspected Pulmonary Embolism. Annals of
Emergency Medicine, 2013: 62(2), 117-124
9. Hamad M, Bathia P, Ellidir P, Abdelaziz M, Connolly V. Diagnostic approach to
pulmonary embolism and lessons from abusy acute assessment unit in the UK.
Breathe, 2011: 7(4), 315-323.
10. Sadig G, Kelly A, Cronin P. Challenges, Controversies, and Hot Topics in
Pulmonary Embolism Imaging. AJR, 2011 : 196, 497–515
11. Warren D, Matthews S. Pulmonary embolism: investigation of the clinically
assessed intermediate risk subgroup. The British Journal of Radiology, 2012 : 85, 37-
43

23
12. Abrahams P, Hartmann IJ. Cardiothoracic CT: one-stop-shop procedure? Impact
on the management of acute pulmonary embolism. Insights Imaging, 2011 ; 705–715
13. Kubak MP, Lauritzan PM, Borthne A, Ruud EA, Ashraf H. Elevated d-dimer cut-off
values for computed tomography pulmonary angiography—d-dimer correlates with
location of embolism. Ann TranslMed. 2016:1-6.
14. Bogot N. Fingerle A, Shaham D, Nissenbaum I, Sosna J. Image Quality of Low-
Energy Pulmonary CT Angiography: Comparison With Standard CT. AJR, 2011
;273–278.
15. Bettmann M, Baginski S, White R, Woodard P, Abbara S. Acute Chest Pain -
Suspected Pulmonary Embolism. Radiology, 2011 ; 258(2), 590-598.
16. Hochhegger B, Ley-Zaporozhan J, Marchioro E, Irion K, Souza A, Moreira J, et al.
Magnetic resonance imaging findings in acute pulmonary embolism. The British
Journal of Radiology, 2011:282-287.
17. Konstantinides S, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galie N, dkk.
2014 ESC guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary
embolism-web addenda. European Heart. 2014,35:3033–80.
18. Firdaus I, PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) DAN CLINICAL PATHWAY
(CP) PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH. 2016: 274

24

Anda mungkin juga menyukai