Pulmonary Embolism
Disusun Oleh :
Fanny Alfionita
1865050004
Dosen Penguji:
dr. Febtusia Puspitasari, Sp.Jp
Emboli paru merupakan salah satu kegawat daruratan pada bidang kardiovaskular
yang cukup sering terjadi. Emboli paru merupakan peristiwa infark jaringan paru akibat
tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis akibat peristiwa emboli. Oklusi pada
arteri pulmonal dapat menimbulkan tanda gejala yang beragam, dari keadaan yang
asimptomatik hingga keadaan yang mengancam nyawa, seperti hipotensi, shok
kardiogenik, hingga henti jantung tiba tiba. Berdasarkan penelitian, insidensi terjadinya
emboli paru pada populasi adalah 23 per 100,000 penduduk dengan angka kematian 15%
yang menunjukkan bahwa penyakit ini masih merupakan sebuah penyebab emergensi
kardiovaskular. 1
Beberapa penyebab utama dari sebuah kejadian emboli paru merupakan
tromboemboli vena, tetapi penyebab lain seperti emboli udara, emboli lemak, cairan
amnion, fragmen tumor, dan sepsis masih mungkin terjadi. Diagnosis dini penting untuk
ditegakkan karena tatalaksana dan intervensi harus segera dilakukan. Bergantung dari
gejala klinisnya, terapi awal bertujuan utama untuk mengembalikan aliran darah pada
daerah yang mengalami oklusi atau untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
buruk. Pencegahan sekunder memiliki peran sama pentingnya dengan terapi awal,
sehingga angka rekurensi emboli paru dapat menurun.1
Emboli paru banyak terjadi akibat lepasnya suatu trombosis yang berasal dari
pembuluh darah. Insiden sebenarnya dari emboli paru tidak dapat ditentukan, karena sulit
membuat diagnosis klinis, tetapi emboli paru merupakan penyebab penting morbiditas
dan mortalitas pasien-pasien di rumah sakit dan telah dilaporkan sebagai penyebab dari
200.000 kematian di Amerika Serikat setiap tahunnya. Emboli paru masif adalah salah
satu penyebab kematian mendadak yang paling sering.2
Penyakit ini sering terjadi, namun jarang terdiagnosis sehingga laporan mengenai
penyakit ini di Indonesia jarang ditemukan. Di Amerika Serikat menunjukkan ahwa kira-
kira terdapat 50.000 kasus penyakit ini tiap tahunnya. Penelitian lebih lanjut
menunjukkan bahwa kurangdari 10% pasien emboli paru meninggal karena penyakit ini.
1
Oleh karenanya dj Amerika Serikat dapat diperkirakan insiden ini lebih dari 50.000 kasus
tiap tahunnya.3
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Emboli paru merupakan keadaan terjadinya obstruksi sebagian atau total sirkulasi
arteri pulmonalis atau cabang-cabang akibat tersangkutan emboli trombus atau emboli
yang lain. Selain itu, emboli paru (Pulmonary Embolism) dapat diartikan sebagai
penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh suatu embolus, yang terjadi secara
tiba-tiba. Suatu emboli bisa merupakan gumpalan darah (trombus), tetapi bisa juga
berupa lemak, cairan ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor atau gelembung udara,
yang akan mengikuti aliran darah sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah.
Biasanya arteri yang tidak tersumbat dapat memberikan darah dalam jumlah yang
memadai ke jaringan paru-paru yang terkena sehingga kematian jaringan bisa dihindari.4
2.2 EPIDEMIOLOGI
Morbiditas dan mortalitas terkait dengan pulmonary embolism (PE) tetap tinggi,
meskipun ada kemajuan penting dalam diagnosis kardiovaskular dan pengobatan. Tingkat
kejadian tahunan yang dilaporkan tromboemboli (VTE) berkisar antara 23 dan 69 kasus
per 10.000 populasi dengan sekitar sepertiga pasien dengan PE akut dan dua pertiga
dengan deep vein thrombosis (DVT). Kasus tingkat kematian sangat bervariasi,
Diperkirakan bahwa sekitar 10% dari semua pasien dengan PE akut meninggal.5
3
Insidensi dari emboli paru meningkat secara eksponensial dengan usia. 65% pasien
mengalami emboli paru pada usia 60 tahun ke atas. Terdapat peningkatan resiko sebesar
delapan kali lipat pada pasien berusia 80 tahun dibandingkan dengan pasien berusia
kurang dari 50 tahun. Hanya 39.5% pasien yang melakukan tindakan operasi besar
memiliki resiko terjadinya emboli paru apabila mendapatkan profilaksis yang cukup.6
2.4 PATOFISIOLOGI
Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat sebuah postulat yang menyatakan bahwa
terdapat tiga faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keadaan koagulasi intravaskuler,
yaitu:
1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah, sehingga terjadi kerusakan endotel
vaskular. Biasanya disebabkan oleh thromboflebitis sebelumnya, pada trauma,
ataupun tindakan pembedahan.
3. Keadaan stasis vena, biasanya disebabkan karena immobilisasi atau tirah baring
yang berkepanjangan, katup vena yang tidak kompeten akibat proses thromboemboli
sebelumnya, efek samping anestesi, gagal jantung kongestif, dan cor pulmonale.
4
Emboli akan meningkatkan resistensi dan tekanan pada arteri pulmonalis yang
kemudian akan melepaskan senyawa-senyawa vasokonstriktor, agregasi platelet, dan sel
mast. Keadaan vasokonstriksi arteri pulmonal dan hipoksemia kemudian akan
menimbulkan hipertensi arteri pulmonal, sehingga tekanan ventrikel kanan meningkat.
Pada pasien yang berhasil melewati episode emboli akut, terjadi aktivasi pada sistem
simpatetik. Stimulasi inotropik dan kronotropik meningkatkan tekanan arteri pulmonal
yang dapat membantu untuk mengembalikan aliran darah pulmonal dan memperbaiki
pengisian ventrikel kiri, sehingga tekanan darah sistemik menjadi stabil kembali. Tetapi
kompensasi inotropik dan kronotropik ini tidak mampu untuk mempertahankan fungsi
ventrikel kanan untuk jangka waktu panjang. Sehingga akan terjadi peningkatan
kebutuhan oksigen pada otot miokardial ventrikel kanan disertai dengan penurunan
gradien perfusi koroner ventrikel kanan. Akibatnya, iskemia dan kegagalan fungsi
ventrikel kanan terjadi.
Jika tidak ada penyakit kardioemboli sebelumnya, obstruksi kurang dari 20% hanya
akan menyebabkan gangguan hemodinamik minimal dengan gejala klinis tidak spesifik.
Ketika obstruksi mencapai 30-40%, maka akan terjadi kenaikan tekanan ventrikel kanan,
tetapi curah jantung sistemik masih dapat dipertahankan dengan adanya kompensasi
inotropik dan kronotropik yang meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas miokard.
Ketika obstruksi melebihi 50-60% dari arteri pulmonalis, maka kompensasi akan mulai
mengalami kegagalan.
Curah jantung berkurang dan tekanan atrium kanan akan meningkat sehingga
menimbulkan kegagalan hemodinamik yang nyata. Sedangkan insufisiensi pernapasan
5
pada emboli paru disebabkan akibat rendahnya curah jantung sehingga terjadi desaturasi
darah vena yang memasuki peredaran darah pulmonal.
Kebanyakan tanda dan gejala klinis yang ditampilkan oleh emboli paru bersifat tidak
spesifik dan dapat menjadi manifestasi dari penyakit lainnya, seperti infark miokard dan
pneumonia. Emboli paru dapat bersifat asimptomatik hingga mengancam nyawa dengan
tanda dan gejala dispnea berat, sinkop, dan sianosis. Emboli paru juga dapat disertai
dengan tachypnea, takikardia, ronki, hemoptisis, batuk, dan nyeri pleuritik. Nyeri
pleuritik terjadi apabila emboli paru menyerang arteri pulmonalis bagian distal yang
berdekatan dengan pleura. Berikut ini merupakan tanda gejala emboli paru beserta
dengan frekuensi terjadinya.8
6
Terdapat sistem skoring yang dapat dipakai untuk memperkirakan probabilitas
terjadinya emboli paru yaitu sistem skoring Wells
Berdasarkan sistem skoring Wells, kemungkinan untuk terjadinya emboli paru adalah
sebagai berikut:
3. Jika poin lebih dari 6: kemungkinan tinggi Selain itu, dapat juga dipergunakan sistem
skoring Geneva yang telah direvisi untuk memperkirakan probabilitas terjadinya emboli
paru
7
2.6 DIAGNOSIS
8
Gambar. Algoritma Diagnosis Emboli paru.6
2. D-dimer
D-dimer plasma merupakan degradasi fibrin yang dihasilkan dari degradasi klot
oleh fibrinolysis. 11 Pemeriksaan ini merupakan tes dengan NPV (Negative Predictive
Value) yang tinggi dan PPV (Positive Predictive Value) yang rendah. Pemeriksaan
ini merupakan pilihan pertama pada penderita dengan pretest probability /
penilaian klinis rendah sampai sedang. Konsentrasi D-Dimer >0,5 mg/L memiliki
Sensitivitas 95% dan Spesifisitas 55% untuk mendiagnosa VTE (Venous
Tromboemboli).10
4. Elektrokardiogram (EKG)
- Gelombang Q yang sempit diikuti dengan inversi gelombang T pada lead III disertai
dengan gelombang S pada lead I yang menandakan perubahan posisi jantung akibat
dilatasi atrium dan ventrikel kanan. Dapat ditemukan juga deviasi axis ke kanan
- P pulmonal
10
- Right ventricular strain dengan inversi gelombang T pada lead V1 hingga V4
5. Pencitran
a. Foto Rongsen Dada
11
Gambar. Gambaran Foto Rongsen Dada pada Emboli paru.9
b. Ekhokardiografi
12
c. CT Angiografi Paru(CTPA)
Gambar .CTPA penderita Emboli paru akut (A) tampak emboli di arteri pulmonalis
utama kanan dengan idek klot 50% (B) rasio RV/LV>2 mendukung adanya disfungsi
13
Ventrikel kanan. Penderita diberikan terapi trombolitik dan terdapat perbaikan (C) terjadi
resolusi thrombus dan (D) rasio RV/LV kembali normal (0,8)
Gambar. CT Angiografi paru tampak cabang arteri pulmonalis dari sentral, segmen
dan subsegmen
14
berpengalaman dan monitor pasien yang adekuat. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan bila diagnosis Emboli paru dengan cara non-invasiftidak dapat
dilakukan. Kateter Angiografi paru ini dianggap lebih inferior dibandingkan
Multidetector CTPA terkait teknis seperti penderita yang bergerak, overlap
pembuluh darah serta variasi interpretasi pengamat. Kontras yang diberikan
terbatas pada arteri pulmonalis yang dicurigai melalui pemeriksaan non-invasif
V/Q scan. Karena Multi Detector CTPA merupakan pemeriksaan standar
untuk mendiagnosis Emboli paru, maka pemeriksaan kateter Angiografi paru ini
jarang dilakukan kecuali bila ada indikasi trombektomi atau trombolisis melalui
kateter.15
e. V/Q scintigrafi
15
diindikasikan pada beberapa ibu hamil, tentunya dengan mengurangan dosis
kontras. Pilihan penggunaan CTPA dan V/Q scan pada wanita hamil masih
menjadi perdebatan.Sebuah studi menduga bahwa bila hasil rongsen dada normal
maka scan perfusi saja cukup memuaskan hasilnya15
16
Gambar. MR Angiografi (A) emboli di sentral arteri pulmonalis (B) emboli di lobus
bawah paru
g. USG
Beberapa diagnosis banding dari emboli paru adalah pneumonia, bronkitis, asma
bronkial, penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut, infark miokard, edema paru,
anxietas, diseksi aorta, tamponade perikardial, kanker paru, hipertensi pulmonal primer,
fraktur kosta, pneumothoraks, kostokondritis, dan nyeri musculoskeletal.17
17
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan emboli paru mencakup terapi yang bersifat umum dan khusus
Tatalaksana yang umum antara lain:18
1. Umum:
2. Khusus :
e. Anti inflamasi nonsteroid bila tidak ada 276 | Panduan Praktik Klinis & Clinical
Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah perdarahan
18
- Emboli paru berulang meskipun telah menggunakan anti-koagulan
jangka panjang
h. Perawatan emboli paru massif dan non massif memerlukan perawatan di ruang
intensif
Resusitasi
Pada fase akut, gangguan hemodinamik harus dipahami akibat gagal ventrikel
kanan akut yang mengakibatkan keluaran sistemik yang rendah. Terapi suportif yang
dapat diberikan berupa kombinasi cairan, vasopresor, inotropik sebelum memulai
terapi definitif. Tidak ada protokol yang tegas berkaitan dengan bagaimana cara
memperbaiki hemodinamik pada emboli paru fase akut. Cairan dalam jumlah sedang
(500 mL) dapat membantu meningkatkan indeks jantung dengan catatan pada kasus
emboli paru dengan indeks jantung yang rendah dan tekanan darah normal.
19
Pada keadaan hipoksemia dan hiperkapni, diperlukan terapi oksigen dengan
ventilasi mekanik dengan konsekuensi hemodinamik yang cukup tinggi. Tekanan
positif ventilator dapat menurunkan aliran balik vena (venous return) sehingga
memperburuk gagal ventrikel kanan pada pasien emboli paru masif. Strategi yang
dapat dilakukan diantaranya pemberian PEEP dengan perhatian khusus, volume tidal
rendah (hingga 6 mL/kgBB ideal), tekanan plateau akhir inspirasi <30 cm H2O.
Langkah terakhir apabila tidak tertangani, adalah terapi suportif seperti
ekstrakorporeal kardiopulmonal.
Reperfusi Primer
Beberapa jam pertama kegawatan emboli paru dapat dianggap sebagai waktu
kritis untuk melakukan reperfusi primer untuk mencegah perburukan kondisi. Pilihan
dapat berupa agen farmakologi seperti unfractionated heparin (UFH), low-molecular-
weight heparin (LMWH), vitamin K antagonists (VKA) dan nonfarmakologi seperti
embolektomi melalui pembedahan dan perkutan.
Pada kondisi emboli paru disertai syok, antikoagulan inisial yang disarankan
adalah UFH intravena (LMWH atau fondaparinux belum pernah diuji). Terapi
antikoagulan bertujuan mencegah proses pembentukan bekuan dan emboli rekuren.
Pada pasien emboli paru risiko tinggi, pilihan reperfusi primer adalah trombolisis
sistemik. Apabila tidak berhasil atau terdapat kontraindikasi, pilihan alternatifnya
adalah dengan bedah embolektomi jika tersedia ahli dan sumber daya. Alternatif
lainnya adalah dengan terapi langsung kateter perkutan. Keputusan terapi ini diambil
interdisiplin yang melibatkan bedah toraks atau kardiologis intervensi
20
antikoagulan adalah mencegah kematian dan terjadinya VTE yang simtomatik dan
fatal, dengan durasi pemberian sedikitnya 3 bulan
Pada pengobatan fase akut, meliputi pemberian UFH, LMWH selama 5–10
hari pertama. Pemberian heparin parenteral bersamaan dengan inisiasi VKA, sebagai
alternatif dapat pula diberikan salah satu antikoagulan golongan baru seperti
dabigatran atau edoxaban. Jika rivaroxaban atau apixaban juga diberikan, terapi oral
salah satu agen ini diberikan langsung atau setelah 1–2 hari pemberian UFH, LMWH
atau fondaparinux. Pada kasus ini, terapi fase akut meliputi peningkatan dosis
antikoagulan oral selama tiga minggu pertama (untuk rivaroxaban), atau selama tujuh
hari pertama (untuk apixaban). Pada beberapa kasus, pemberian antikoagulan lebih
dari tiga bulan mungkin diperlukan pada kasus-kasus untuk pencegahan sekunder
setelah menimbang risiko rekuren pasien dan risiko perdarahan. Fungsi-fungsi organ-
organ vital harus tetap dipantau selama proses perjalanan penyakit (derajat oklusi
yang mengakibatkan kompensasi ventrikel kanan) dan selama pemberian terapi.17
21
BAB 3
PENUTUP
Emboli merupakan salah satu masalah kesehatan dengan insidensi yang masih
tinggi dan angka mortalitasnya cukup signifikan. Deteksi dan stratifikasi risiko
merupakan langkah awal dalam diagnosis dan tatalaksana suatu emboli paru sehingga
dapat menrunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Dalam mendiaknosa emboli paru dapat di tegakan dengan pemeriksaan radiologi
rontgen thoraks, Scanning Ventilasi-Perfusi, Spiral Pulmonary Computed Tomography
scanning, Pulmonary Scintigraphy, angiografi paru, dan Magnetic Resonance Angiografi
(MRA). Pemberian antikoagulan, baik low-molecular weigth heparin, unfractinated
heparin dan oral antikoagulan lain seperti warfarin masih cukup efektif dalam terapi
khusus emboli paru.
22
DAFTAR PUSTAKA
23
12. Abrahams P, Hartmann IJ. Cardiothoracic CT: one-stop-shop procedure? Impact
on the management of acute pulmonary embolism. Insights Imaging, 2011 ; 705–715
13. Kubak MP, Lauritzan PM, Borthne A, Ruud EA, Ashraf H. Elevated d-dimer cut-off
values for computed tomography pulmonary angiography—d-dimer correlates with
location of embolism. Ann TranslMed. 2016:1-6.
14. Bogot N. Fingerle A, Shaham D, Nissenbaum I, Sosna J. Image Quality of Low-
Energy Pulmonary CT Angiography: Comparison With Standard CT. AJR, 2011
;273–278.
15. Bettmann M, Baginski S, White R, Woodard P, Abbara S. Acute Chest Pain -
Suspected Pulmonary Embolism. Radiology, 2011 ; 258(2), 590-598.
16. Hochhegger B, Ley-Zaporozhan J, Marchioro E, Irion K, Souza A, Moreira J, et al.
Magnetic resonance imaging findings in acute pulmonary embolism. The British
Journal of Radiology, 2011:282-287.
17. Konstantinides S, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galie N, dkk.
2014 ESC guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary
embolism-web addenda. European Heart. 2014,35:3033–80.
18. Firdaus I, PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) DAN CLINICAL PATHWAY
(CP) PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH. 2016: 274
24