Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

PENANGANAN RADIOLOGI INTERVENSI


UNTUK EMBOLI PARU
DAN
TERAPI DENGAN PANDUAN KATETER
UNTUK EMBOLI PARU AKUT

DISUSUN OLEH:
dr. R. Risa Marissa
dr. Rakhmawati Susetyaning Eri

PEMBIMBING:
dr. Sulistomo H. Sp. Rad

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER SPESIALIS ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT
JAKARTA
2019
BAB I
EMBOLI PARU

PENDAHULUAN

Emboli paru merupakan salah satu kegawatdaruratan pada bidang kardiovaskular


yang cukup sering terjadi. Emboli paru merupakan peristiwa infark jaringan paru akibat
tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis akibat peristiwa emboli. Oklusi pada arteri
pulmonal dapat menimbulkan tanda gejala yang beragam, dari keadaan yang asimptomatik
hingga keadaan yang mengancam nyawa, seperti hipotensi, syok kardiogenik, hingga henti
jantung tiba-tiba. Berdasarkan penelitian, insidensi terjadinya emboli paru pada populasi
adalah 23 per 100,000 penduduk dengan angka kematian 15% yang menunjukkan bahwa
penyakit ini masih merupakan sebuah penyebab emergensi kardiovaskular. Beberapa
penyebab utama dari sebuah kejadian emboli paru merupakan tromboemboli vena, tetapi
penyebab lain seperti emboli udara, emboli lemak, cairan amnion, fragmen tumor, dan sepsis
masih mungkin terjadi 1. Diagnosis dini penting untuk ditegakkan karena tatalaksana dan
intervensi harus segera dilakukan. Bergantung dari gejala klinisnya, terapi awal bertujuan
utama untuk mengembalikan aliran darah pada daerah yang mengalami oklusi atau untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang lebih buruk. Pencegahan sekunder memiliki peran
sama pentingnya dengan terapi awal, sehingga angka rekurensi emboli paru dapat menurun 2.

FAKTOR PREDISPOSISI

Berdasarkan American Heart Association, terdapat beberapa faktor predisposisi yang


dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya emboli paru3.

Tabel 1. Faktor Predisposisi Terjadinya Emboli Paru

Insidensi dari emboli paru meningkat secara eksponensial dengan usia. 65% pasien
mengalami emboli paru pada usia 60 tahun ke atas. Terdapat peningkatan resiko sebesar

1
delapan kali lipat pada pasien berusia 80 tahun dibandingkan dengan pasien berusia kurang
dari 50 tahun (3). Hanya 88.5% pasien yang melakukan tindakan operasi besar memiliki resiko
terjadinya emboli paru apabila mendapatkan profilaksis yang cukup (2).

PATOFISIOLOGI

Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat sebuah postulat yang menyatakan bahwa
terdapat tiga faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keadaan koagulasi intravaskuler,
yaitu (4):
1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah, sehingga terjadi kerusakan endotel
vaskular. Biasanya disebabkan oleh thromboflebitis sebelumnya, pada trauma,
ataupun tindakan pembedahan.
2. Keadaan hiperkoagulobilitas darah yang disebabkan oleh berbagai pengobatan,
seperti: kontrasepsi oral, terapi hormon, terapi steroid, keganasan, sindrom
nefrotik, thrombositopenia akibat penggunaan obat heparin, defisiensi protein C,
protein S, antithrombin III, dan keadaan DIC.
3. Keadaan stasis vena, biasanya disebabkan karena immobilisasi atau tirah baring
yang berkepanjangan, katup vena yang tidak kompeten akibat proses
thromboemboli sebelumnya, efek samping anestesi, gagal jantung kongestif, dan
cor pulmonale.
Emboli akan meningkatkan resistensi dan tekanan pada arteri pulmonalis yang
kemudian akan melepaskan senyawa-senyawa vasokonstriktor, agregasi platelet, dan sel
mast. Keadaan vasokonstriksi arteri pulmonal dan hipoksemia kemudian akan menimbulkan
hipertensi arteri pulmonal, sehingga tekanan ventrikel kanan meningkat (4).
Selanjutnya, dilatasi dan disfungsi ventrikel kanan akan menyebabkan penekanan
septum intraventrikuler ke sisi kiri dan regurgitasi katup trikuspidalis. Hal ini dapat
mengganggu proses pengisian ventrikel. Dengan berkurangnya pengisian ventrikel kiri, maka
curah jantung sistemik akan menurun dan mengurangi perfusi koroner. Infard miokard terjadi
sebagai akibat dari penurunan aliran koroner yang dapat menyebabkan syok kardiogenik.
Apabila tidak ditangani dengan cepat, maka dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi dan
kematian. Pada pasien yang berhasil melewati episode emboli akut, terjadi aktivasi pada
sistem simpatetik. Stimulasi inotropik dan kronotropik meningkatkan tekanan arteri pulmonal
yang dapat membantu untuk mengembalikan aliran darah pulmonal dan memperbaiki
pengisian ventrikel kiri, sehingga tekanan darah sistemik menjadi stabil kembali. Tetapi
kompensasi inotropik dan kronotropik ini tidak mampu untuk mempertahankan fungsi
ventrikel kanan untuk jangka waktu panjang. Sehingga akan terjadi peningkatan kebutuhan

2
oksigen pada otot miokardial ventrikel kanan disertai dengan penurunan gradien perfusi
koroner ventrikel kanan. Akibatnya, iskemia dan kegagalan fungsi ventrikel kanan terjadi.
Jika tidak ada penyakit kardioemboli sebelumnya, obstruksi kurang dari 20% hanya akan
menyebabkan gangguan hemodinamik minimal dengan gejala klinis tidak spesifik. Ketika
obstruksi mencapai 79-89%, maka akan terjadi kenaikan tekanan ventrikel kanan, tetapi curah
jantung sistemik masih dapat dipertahankan dengan adanya kompensasi inotropik dan
kronotropik yang meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas miokard. Ketika obstruksi
melebihi 50-60% dari arteri pulmonalis, maka kompensasi akan mulai mengalami kegagalan.
Curah jantung berkurang dan tekanan atrium kanan akan meningkat sehingga menimbulkan
kegagalan hemodinamik yang nyata. Sedangkan insufisiensi pernapasan pada emboli paru
disebabkan akibat rendahnya curah jantung sehingga terjadi desaturasi darah vena yang
memasuki peredaran darah pulmonal. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi akan
menimbulkan gejala sesak napas dan hipoksemia. Pada emboli paru yang letaknya lebih ke
distal, gangguan hemodinamik mungkin tidak ditemukan. Tetapi gejala hemoptisis, pleuritis,
dan efusi pleura ringan dapat ditemukan akibat pecahnya pembuluh darah di sekitar
alveolar(5).

PENCITRAAN
1. Foto Ronsen Dada
Foto ronsen dada posisi PA dan lateral penting dalam mengevaluasi penderita
Emboli paru. Penderita dengan nyeri dada namun ditemukan infiltrat Pneumonia,
Efusi pleura masif, Pneumotoraks, Edema paru14 sehingga dapat menyingkirkan
pemeriksaan radiologis tambahan. Foto rontgen dada normal tidak menyingkirkan
diagnosis Emboli paru. Tidak ada gambaran yang khas untuk Emboli paru.3
Pada pemeriksaan Foto Ronsen Dada bisa ditemukan hasil yang normal (14%)
atau abnormal. Hasil yang normal pada penderita hipoksia tanpa bronkospasme
mendukung adanya Emboli paru. Abnormalitas yang ditemukan antara lain atelectasis
lempeng (68%), Efusi pleura (48%), Hampton hum (35% - opasitas menyerupai efusi
menunjukkan adanya infark parenkim distal dari trombus), peningkatan
hemidiafragma (24%), Fleischner’s sign (15% - arteri pulmonalis sentral yang
menonjol), Westermark’s sign (7% - oligemia perifer), kardiomegali (7%) dan edema
paru (5%). Abnormalitas foto ronsen yang lain jarang ditemukan pada Emboli paru.4

3
Gambar 1. Ronsen toraks penderita Emboli paru akut tampak Hampton hum sign dan
Westermark’s sign.14

2. Ekhokardiografi
Ekhokardiograi transtorakal atau transesofagus tidak diindikasikan untuk
3
mendiagnosis Emboli paru akut. Ekhokardiografi penting untuk menilai disfungsi
Ventrikel kanan pada penderita Emboli paru, karena terkait prognosis dan mortalitas
pada Emboli paru serta terjadinya tromboemboli dikemudian hari.9 Temuan yang
mendukung disfungsi Ventrikel kanan diantaranya dilatasi ventrikel kanan, dinding
hipokinetik, gerakan dinding septum yang berlawanan, dilatasi arteri pulmonalis,
gradient tekanan sistolik ventrikel kanan – kiri >30mmHg dan waktu akselerasi laju
arteri pulmonalis <80 milidetik.13 Diagnosis disfungsi Ventrikel kanan bila didapati
dua dari temuan berikut, yaitu rasio diameter RV/LV end-distolic > 0,9 (tampak apikal
four chamber) atau RV/LV end-diastolic >0,7 (tampak parasternal long axis atau
substernal fourchamber) atau geraka septum interventrikel yang berlawanan atau
tekanan arteri pulmonalis sistemik >30mmHg.9 Adanya dilatasi Ventrikel kanan lebih
tampak pada emboli di arteri pulmonalis utama dibandingkan pada segmen atau
subsegmen.15

4
Gambar 3. Echocardiografi pada penderita emboli paru. Melihat ventrikel pada aksis pendek,
septum dapat condong ke arah LV yang akan membentuk bentuk D pada diastol,
menghasilkan penampilan "volume ventrikel kanan berlebih". Hanya kemudian ketika RV
telah dilatih akan mampu menghasilkan tekanan yang lebih tinggi. Jika LV berbentuk D
dalam sistol, ini adalah "ventrikel kanan tekanan berlebih". Pulmonale cor akut dengan
tekanan dan volume berlebih (bentuk D pada sistol dan diastole) sering tidak tampak. 15

3. CT Angiografi Paru (CTPA)


CTPA memiliki peran yang signifikan dalam mendiagnosis Emboli paru sejak
studi klinis besar yang pertama pada tahun 1992. Kemajuan teknologi di CT dari
heliks ke multidetector menambah peningkatan resolusi arteri paru, besar dan kecil.
CTPA sangat sensitif dan spesifik bila dibandingkan dengan angiografi konvensional
terutama di tingkat subsegmental. Perbedaan intepretasi CTPA terbukti lebih baik
untuk tingkat segmental dibandingkan V/Q scan.3 MDCT memiliki sensitivitas 83-
100% dan spesifisitas 89-98%.11 Angiografi paru merupakan standar baku emas untuk
mendiagnosis Emboli paru. 13
Diagnosis Emboli paru bila didapatkan adanya filling defect arteri pulmonalis
(sebagian atau total) minimal pada dua gambar berurutan dan terletak di tengah
pembuluh darah atau memiliki sudut yang tajam terhadap dinding pembuluh darah.
Lokasi Emboli dievaluasi pada tingkat arteri pulmonalis yang terlibat dan lokasi lobar
yang terkait. Lokasi Emboli dikategorikan sebagai sentral (misalnya, arteri utama
paru, arteri paru-paru sentral, dan kedua arteri interlobar paru), lobar, segmen, dan
subsegmen.10, 11
Lokasi lobar Emboli paru dievaluasi sesuai dengan nomenklatur

5
standar: lobus kanan atas, lobus tengah kanan, lobus kanan bawah, lobus kiri atas,
Lingula, dan lobus bawah kiri. Lokasi dan tingkat PE ditentukan berdasarkan per-
emboli, bukan per-pasien, karena beberapa pasien dapat memiliki lebih dari satu
Emboli paru.10

Gambar 2. CTPA penderita Emboli paru akut (A) tampak emboli di arteri pulmonalis utama
kanan dengan indeks klot 50% (B) rasio RV/LV>2 mendukung adanya disfungsi Ventrikel
kanan. Penderita diberikan terapi trombolitik dan terdapat perbaikan (C) terjadi resolusi
thrombus dan (D) rasio RV/LV kembali normal (0,8). 15

6
BAB II

PENANGANAN RADIOLOGI INTERVENSI UNTUK EMBOLI PARU

PENDAHULUAN

Tromboemboli vena (VTE) merupakan kondisi yang mengancam nyawa yang

berdampak pada sebagian besar populasi global; yang terbagi menjadi Trombosis vena dalam

(DVT) dan Emboli Paru (PE). Tingkat insidensi VTE 100 kasus per 100000 penduduk di

Eropa6 dan 160 per 100000 oenduduk di Amerika Serikat7. VTE merupakan penyebab

terbanyak ketiga dari kematian setelah myocardial infarct dan stroke. Pada tiga bulan pertama

setelah PE akut, terdapat kurang lebih 15% mortalitas diantara PE yang submasif, dan 68%

mortalitas yang massif.8 PE akut juga dapat menimbulkan hipertensi paru dan kegagalan

ventrikel kanan.9

Dilihat dari klinis, terdapat dua hal situasi yang berbeda yang perlu diperhatikan,

prognosis dan managemen terapi. Untuk PE yang massif ada tiga pilihan terapi yang berbeda:

(1) Trombolisis sistemik; (2) Operasi embolektomi paru; dan (3) Teknik endovaskular 10.

Peneliti lain juga menyatakan dapat dilakukan implant filter vena cava inferior (IVCf) pada

PE masif untuk mencegah migrasi thrombus lebih lanjut dan mencegah penumpukan

trombotik atau mencegah terapi antikoagulasi. Berdasarkan panduan klinis American College

of Chest Physicians (ACCP), pendekatan intervensi pada suatu PE yang masif dan akut dapat

menjadi suatu pilihan penanganan apabila trombolisis sistemik gagal dilakukan atau

merupakan kontraindikasi11, akan tetapi peneliti lainnya menyatakan bahwa prosedur berikut

ini; Catheter Directed Therapy (CDT), Mecahnical Fragmentation dan Prosedur

Thrombectomy dapat menjadi penanganan agresif yang dapat memberikan hasil yang

memuaskan pada kasus PE masif.12-15 Karena banyaknya metode CDT dan trombektomy,

7
maka diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang protocol intervensi dan menilai

teknik yang aman pada kohort yang luas.

Review ini akan membahas perbedaan presentasi klinis pada PE, dan akan

menyimpulkan ketersediaan penanganan endovascular dan teknik yang berbeda sesuai

dengan indikasi dan hasilnya.

TIPE DAN DEFINISI EMBOLI PARU

Terdapat dua subtype emboli paru yang perlu diketahui yaitu emboli paru submasif

(risiko sedang) dan masif (risiko tinggi). Gejala klinis yang paling sering antara lain dyspnea

(82%), dan nyeri dada (49%), tapi dapat pula menunjukkan keluhan batuk (20%), sinkop

(14%) dan hemoptisis (7%).8

Emboli paru yang masif dinyatakan dengan kondisi hemodinamik yang tidak stabil

dimana memiliki presentasi klinis berupa tekanan darah yang rendah (tekanan sistolik < 90
89
mmHg atau penurunan lebih dari mmHg dari tekanan sistolik awal) dan dapat

menyebabkan henti jantung. Manifestasi klinis lainnya berhubungan dengan hipotensi yang

dapat muncul seperti hipoperfusi jaringan dan hipoksemia.16

Emboli paru submasif (risiko menengah) dinyatakan dengan kondisi hemodinamik

yang stabil (tekanan darah yang normal) dengan disfungsi ventrikel kanan atau peningkatan

biomarker jantung yang dapat menyebabkan penurunan kinerja dan peningkatan tahanan

jantung.10

Hal ini berbeda dengan definisi radiologi emboli paru masif, dimana berdasarkan

thrombus pada trunkus pulmonarius atau cabang dari arteri pulmonarius bukan pada

presentasi klinisnya. Emboli paru yang masif, berdasarkan radiologis, dinilai sebagai

penurunan perfusi paru pada satu sisi paru (<90%) atau oklusi total pada arteri pulmonarius

utama yang terlihat pada CT angiography.17

8
Mortalitas pada emboli paru masif dengan syok hemodinamik dapat mencapai 68%

pada satu jam pertama diagnosis ditegakkan18. Sedangkan pada emboli paru yang submasif,

mortalitas lebih rendah dibandingkan emboli paru yang masif.

Panduan dari American College of Chest Physicians membedakan penanganannya

dari kedua kondisi tersebut.11 Pada emboli paru masif, trombolisis (Kelas IIa, Level of

Evidence B) direkomendasikan sebagai pilihan utama, sedangkan pada emboli paru submasif,

thrombolysis masih menjadi suatu kontroversi. Trombolisis dapat dilakukan pada emboli paru

submasif apabila prognosisnya buruk (disfungsi ventrikel kanan, gagal nafas berat, nekrosis

miokard) dan resiko perdarahan yang rendah (Kelas IIb, Level of evidence C). Pada emboli

paru lainnya, trombolisis tidak direkomendasikan (Kelas III, Level of Evidence B).

PATOFISIOLOGI EMBOLI PARU YANG MASIF

Berat ringannya emboli paru berhubungan dengan jumlah thrombus yang

menyebabkan oklusi arteri pulmonarius dan keadaan jantung dan parunya, dimana

menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik.19 Obstruksi yang signifikan pada pembuluh

darah kapiler menyebabkan hipoksmeia dan menghasilkan substansi yang berpotensi

menyebabkan vasokonstriksi yang memperberat hipoksia sistemik, dengan peningkatan

resistensi arteri pulmonarius yang dapat menyebabkan peningkatan afterload ventrikel kanan

yang berlebihan.20 Ventrikel kanan yang overload memproduksi hiokinesia dan dilatasi

ventrikel dengan regurgitasi tricuspid; dimana dapat menyebabkan gangguan ventrikel kanan.

Peningkatan tekanan pada ventrikel kanan dapat menyebabkan perubahan pada dinding

jantung dengan iskemia atau infark miokard karena peningkatan kebutuhan akan oksigen dan

penurunan suplai oksigennya. Ditambah pula stress pada dinding myocard bersamaan dengan

hipotensi arteri yang sistemik menyebabkan penurunan perfusi pada arteri koroner, yang akan

menyebabkan iskemi ventrikel kanan baik dengan maupun tanpa infark.21 Semua perubahan

9
ini dapat menyebabkan gagal ventrikel kanan, mengurangi output ventrikel kiri dan berisiko

terkena syok hemodinamik yang mengancam jiwa.18

DIAGNOSIS EMBOLI PARU MASIF

Manifestasi klinis memiliki peran penting dalam membedakan antara emboli paru

masif dengan yang tidak. Hemodinamik yang tidak stabil dengan kecurigaan emboli paru

(tekanan darah < 90 mmHg) menegakkan diagnosis emboli paru masif, sedangkan diagnosis

emboli paru submasif ditegakkan dengan pemeriksaan ekokardiografi dan/atau peningkatan

biomarker jantung untuk menyingkirkan ada tidaknya gangguan pada ventrikel kanan.

Computed Tomography Pulmonary Angiography (CTPA) dapat menjelaskan ukuran

thrombus dan persentase oklusi arteri pulmonarius. Besar ukuran thrombus tidak bisa

dibedakan secata klnis pada emboli paru masif maupun submasif. Bila pasien memiliki

pembuluh darah balik paru yang baik emboli paru yang masif (penumpukan thrombus yang

tinggi) tida selalu menunjukan adanya hemodinamik reperkusi. CTPA juga memberikan

informasi tentang perfusi vascular pulmonarius dan temuan lainnya pada toraks misalnya

efusi pleura, focus pneumonia, neoplama dan lain-lain. CTPA juga dapat menjelaskan adanya

kelainan pada ventrikel kanan dengan membandingkan diameter ventrikel kanan dan kiri

(rasio RV/LV >1).22 Tanda pasti pada ekokardiografi emboli paru submasif adalah adanya

gambaran dilatasi ventrikel kanan dan deviasi septum pada ventrikel kiri. Riwayat klinis dan

pemeriksaan fisik merupakan kunci untuk menentukan prognosis. International Cooperative

Pulmonary Embolism Registry (ICOPER) menilai banyak factor klinis yang dapat
79
memprediksi mortalitas pada d (Tabel 3). Pemindaian Ventilasi dan perfusi (V/Q)

digunakan hanya sebagai alat diagnostic saja apabila kontraindikasi dengan CTPA atau CTPA

masih inkonklusi serta pemeriksaan V/Q hanya boleh dikerjakan pada pasien dengan

gambaran foto x-ray toraks yang normal.72-

10
Tabel 2. Prediktor Mortalitas

Alat bantu diagnostic lainnya antara lain adanya peningkatan d-dimer, biomarker

jantung, terdiagnosis DVT pada kedua ekstremitas dari pemeriksaan duplex dan disfungsi

ventrikel kanan serta peningkatan tekanan paru dengan ekokardiografi.73

PENATALAKSANAAN MEDIS PADA EMBOLI PARU MASIF DAN NON MASIF

Sangatlah penting untuk menentukan apakah hemodinamiknya stabil pada

pasien dengan emboli paru sehingga dapat menentukan terapi sesuai rekomendasi.

Rekomendasi dari ACCP11 untuk penanganan emboli paru berupa pemberian agen fibrinolitik

sistemik untuk emboli paru yang masif dengan hemodinamik yang tidak stabil dan risiko

perdarahan yang rendah (Grade 1B). Sedangkan pasien dengan risiko rendah emboli paru

dianjurkan menggunakan terapi antikoagulan. Akan tetapi terapi antikoagulan masih

kontroversial. Untuk emboli paru yang submasif, ACCP saat ini merekomendasikan

11
pemberian terapi fibrinolitik sistemik pada beberapa pasien dengan emboli paru akut yang

mengalami penurunan setelah pemberian terapi antikoagulan namun belum terjadi hipotensi

dan memiliki risiko perdarahan yang rendah. Pada pasien dengan risiko perdarahan yang

tinggi bila diberikan terapi fibrinolitik sistemik, klinisi dengan akses CDT lebih memilih

penanganan ini dibandingkan pemberian terapi fibrinolitik sistemik.11

Emboli paru masif dan submasif memiliki mortalitas yang penting pada beberapa

jam pertama, sehingga penegakkan diagnosis dan penentuan terapi sangat urgensi

dilakukan.18 Dikatakan bahwa 73


% pasien dengan emboli paru masif dengan hemodinamik

yang tidak stabil akan meninggal pada dua minggu pertama. 8-12 Terapi pertama dengan

pemberian terapi cairan dan obat vasoaktif (seperti dopamine dan adrenalin) dengan tujuan

mengatasi hipotensi dan gangguan ventrikel kanan. Sangatlah penting untuk menjaga patensi

jalur nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat, bila perlu dilakukan intubasi trachea dan

ventilasi mekanis, untuk memperbaiki oksigenasi dan mencegah gangguan pernafasan.

Tabel 3

Pemberian antikoagulan, bila tidak ada kontraindikasi, harus diberikan sesegera

mungkin. Low-Molecular_Weight Heparin (LMWH) atau unfractionated heparin dapat

digunakan sebagai terapi. ACCP merekomendasikan trombolisis sistemik dalam kasus emboli

12
paru yang masif dengan hemodinamik tidak stabil dan risiko perdarahan yang rendah.

Urokinase (UK) dan recombinant tissue plasminogen activator (r-TPA) digunakan sebagai

substansi fibrinolitik. Untuk emboli paru yang masif, dosis standarnya adalah: UK 4 890 IU/kg

per jam dalam 12-72 jam, streptokinase 779


000 IU bolus dan 100000 U/jam untuk 12-72 jam,

atau 1500000 U dalam 2 jam, dan 100 mg r-TPA selama 2 jam. Berdasarkan penelitian

UKEP, tidak terdapat adanya perbedaan yang signifikan antara pemberian terapi 12 dengan 72

jam baik secara keamanan maupun efikasinya. Penelitian lain mengatakan pemberikan dosis

tinggi UK (3 juta IU) dan streptokinase (1,5 juta IU) dalam 2 jam memiliki efikasi dan

keamanan yang sama. (Tabel 3).75,77

Panduan ACCP11 saat ini merekomendasikan pemberian terapi dengan agen

fibrinolitik jangka pendek selama 2 jam untuk emboli paru masif (rekomedasi grade 2C).

Pada emboli paru submasif, direkomendasikan penggunaan fibrinolitik saja bila pasien

mengalami penurunan klinis. Pada kasus ini, dosis yang diberikan sama dengan dosis untuk

emboli paru masif, meskipun ada beberapa yang memberikan setengah dosis r-TPA untuk

mengurangi risiko terjadinya perdarahan.

Berdasarkan cara pemberian obat, efek sistemik direkomendasikan untuk emboli

paru yang berat, akan tetapi bila pasien memiliki risiko perdarahan yang tinggi atau

pemberian sistemik tidak efektif, terapi fibrinolitik dengan dosis rendah dapat dilakukan

melalui kateter langsung ke arteri pulmonarius atau ke thrombusnya; prosedur ini dapat

dilakukan dengan atau tanpa trombektomi dan atau fragmentasi bekuan darah. Kuo et al

mengatakan bahwa Catheter Directed Therapy (CDT) memperbaiki hipertensi pulmonal dan

fungsi ventrikel kanan secara efektif tanpa komplikasi lebih lanjut.

Ketika pemberian farmakologi gagal atau kontraindikasi, IVCf dapat diimplan

untuk mencegah migrasi thrombus ke paru dari DVT yang terdahulu (Rekomendasi grade

13
1B). terdapat banyak tipe filter dengan efikasi dan keamanan yang sama. Selama

menggunakan alat trombogenik, pasien harus mendapatkan antikoagulan jangka Panjang

untuk mencegah resiko thrombosis akibat penggunaan filter. FDA menyarankan

pengangkatan IVCf sesegera mungkin setelah tujuan klinis tercapai. 78-82

TEKNIK ENDOVASKULAR UNTUK PENANGANAN EMBOLI PARU MASIF

Tujuan utama adalah untuk membuang obstruksi pada arteri sehingga dapat

tertangani hipertensi paru dan gagal ventrikel kanannya. Penanganan endovascular dengan

alat yang bervariasi dapat mengurani penumpukan thrombus dan meningkatkan reperfusi

system vascular. Pada saat yang sama fragmentasi thrombus terpapar bekuan darah yang

besar sehingga diperlukan terapi fibrinolitik (Gambar 4).83

Gambar 4.

Teknik termudah dan paling sering digunakan adalah penggunaan kateter pigtail

untuk menghancurkan thrombus dengan rotasi kontinyu dari kateter.47 Fragmentasi proksimal

dari thrombus dapat menyebabkan timbulnya emboli di bagian distal oleh thrombus yang

kecil (Gambar 1). Beberapa peneliti mengatakan teknik ini dapat menyebabkan hipertensi

14
paru sehingga tidak digunakan lagi.48 Alat lainnya seperti kateter balon dengan ukuran yang

bervariasi dikembang-kempiskan untuk menghancurkan thrombus. Tindakan aspirasi

thrombus di arteri pulmonarius dapat pula dilakukan dengan kateter berkaliber besar (8 Fr

atau lebih).19 Semua teknik ini bisa dikombinasikan dengan pemberian local agen fibrinolitik

melalui kateter intra-trombus. Kelebihan dari teknik ini meskipun efektifitasnta masih

diperdebatkan, namun mudah dilakukan dan biayanya lebih terjangkau (Gambar 5).

Gambar 5.

Alat mekanis untuk trombektomi atau aspirasi endovascular dapat

diklasifikasikan berdasarkan aksi mekanismenya yaitu: Rheolitik, rotasional, aspirasi dan

fragmentasi (Tabel 4).44

Tabel 4

15
AngioJet rheolytic system dana alat trombektomi yang didesain untuk mengaspirasi

thrombus mengguakan efek Venuri-Bernoulli. Dengan tekanan tinggi membentuk zona

tekanan rendah dan efek suction. System ini memiliki komplikasi yang multiple seperti

bradikardi, penyumbatan, hemoglobinuria, insufisiensi renal, hemoptisis berat hingga

kematian, sehingga FDA tidak merekomendasikan penggunaanya sebagai piliha pertama

penanganan pada emboli paru.86, 51

Helix clot buster, dikenal dengan alat amplatz trombektomi, merupakan alat untuk

penanganan endovascular pada pasien graft dialysis dan fistula AV yang sudah disetujui oleh

FDA namun belum pernah digunakan untuk emboli paru. Kateter ini berdiameter 7 Fr dengan

Panjang 75-120 cm dimana ujung distalnya berupa metal yang berhubungan dengan motor

yang berotasi selama 189000 rpm sehingga mencetuskan tekanan sebanyak 79-84 psi yang dapat

menarik thrombus.87

Alat yang masih baru lainnya antara lain Aspirex dan Rotarex. Aspirex bekerja seperti

obeng Archimedean, yang berotasi di dalam lumen kateter, mekanisme spiral ini berhubungan

dengan motor yang mengaspirasi thrombus. Hal ini tampak menjanjikan namun belum teruji

secara klinis. (Gambar 6) 23

16
Gambar 6.

Indigo Mechanical Aspiration System adalah system kateter aspirasi trombektomi

dengan ukuran kateter yang besar 8 Fr dengan ujung yang lembut dan kekuatan suction yang

besar sehingga memudahkan aspirasi thrombus di arteri pulmonarius. (Gambar 4).

Sistem EKOSonic adalah satu-satunya alat yang disetujui oleh FDA untuk

menangani emboli paru dengan memberikan hasil yang baik untuk pasien emboli paru

sistemik masif maupun submasif. Kateter ini menggunakan dua system, yaitu ultrasound dan

infus agen fibrinolitik. (Gambar 5).

17
KOMPLIKASI

Pada penelitian random 1006 pasien dengan emboli paru submasif memiliki

risiko perdarahan intracranial sebanyak 3-5%.8-58 Komplikasi lainnya antara lain bradiaritmia,

cardiac tamponade, diseksi atau rupture arteri pulmonarius, hemoptisis berar, gagal ginjal dan

hemoglobinuria. Komplikasi mayor (perdarahan berat dan kematian) terjadi pada 0-3%14,50,54.

18
Dari hasil meta analisis emboli paru yang ditangani dengan CDT dikatakan terdapat 2.4%

komolikasi mayor dan 7.9% komplikasi minor.34

KESIMPULAN

CDT merupakan teknik terapi yang dapat digunakan untuk kasus emboli paru

masif yang akut dan emboli paru submasif dengan gagal atau disfungsi ventrikel kanan. Akan

tetapi diperlukan tim medis dan intervensi yang terlatih untuk mencapai hasil yang terbaik.

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menganalisis protocol CDT untuk emboli paru masif

dan submasif, menentukan kasus emboli paru submasif yang seperti apa yang bisa dilakukan

CDT di awal terapi dan untuk menentukan apakah penanganan dengan CDT di awal terapi

dapat menurunkan risiko jangka panjang terbentuknya hipertensi paru tromboembolik kronis.

19
BAB III
TERAPI DENGAN PANDUAN KATETER
UNTUK EMBOLI PARU AKUT

PENDAHULUAN

The Society of Interventional Radiology (SIR) menganggap penggunaan terapi


denggan panduan kateter (CDT) atau trombolisis dapat menjadi pilihan pengobatan yang
dapat diterima untuk pasien tertentu dengan emboli paru (EP risiko tinggi) yang melibatkan
pembuluh darah arteri proksimal paru, sesuai dengan pedoman multidisiplin (1-4). SIR
mendefinisikan EP proksimal akut sebagai emboli utama atau emboli lobaris baru yang
teridentifikasi pada pencitraan radiografi dalam waktu 14 hari setelah gejala EP muncul.
Selain itu, SIR mendorong penggunaan investigasi CDT dan teknik endovaskular baru dalam
studi hasil prospektif dan uji klinis, khususnya pada pasien dengan EP submasif akut (risiko
menengah).

LATAR BELAKANG

EP akut adalah kondisi umum yang mengancam jiwa, salah satu penyakit
tromboemboli vena yang memiliki manifestasi parah, dan EP adalah penyebab utama ketiga
kematian karena penyakit kardiovaskular di Amerika Serikat55. EP akut saat ini
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori: risiko rendah, submasif (risiko menengah), dan masif
(risiko tinggi) 56.

EP risiko rendah didefinisikan dengan tidak adanya tekanan jantung kanan dan
hipotensi arteri sistemik. Sebagian besar pasien yang didiagnosis dengan EP datang ke rumah
sakit tanpa hipotensi atau tekanan jantung, dan pasien dengan EP risiko rendah (<1% angka
kematian jangka pendek) dapat berhasil dikelola dengan pemberian inisiasi antikoagulasi
terapeutik yang cepat 57.

EP submasif atau risiko sedang didefinisikan dengan adanya disfungsi jantung kanan
73
dalam kondisi tekanan darah normal, hal ini mewakili sebanyak % dari semua kasus EP
akut. Saat ini, ketidakpastian terbesar dalam algoritma pengobatan EP berkaitan dengan
stratifikasi risiko dan manajemen EP submasif. Sebuah percobaan terkontrol acak (RCT) 58

20
baru-baru ini pada pasien dengan EP submasif menunjukkan tingkat kemunduran klinis 5,6%
79
(yaitu, kematian atau dekompensasi hemodinamik) dalam 7 hari dan tingkat kematian hari
dengan antikoagulasi saja sebesar 3%. Dalam menafsirkan temuan ini dengan latar belakang
penelitian sebelumnya, harus dicatat bahwa, untuk terapi EP konvensional dan agresif, studi
kontemporer melaporkan tingkat kematian yang lebih rendah daripada penelitian terdahulu.
Selain itu, RCT cenderung melaporkan tingkat kematian yang lebih rendah daripada studi
observasi, yang dapat mengakibatkan sebagian dari seleksi populasi yang lebih sehat (yaitu,
kriteria inklusi / eksklusi yang ketat) dan pemantauan subjek yang lebih dekat dalam RCT.
Dengan demikian, penelitian observasional sebelumnya melaporkan tingkat kematian yang
lebih tinggi dan penurunan klinis yang cepat pada populasi PE submasif yang diobati dengan
antikoagulasi saja59,60. Namun demikian, sampai saat ini, jelas bahwa risiko kematian yang
diperkirakan dari EP submasif secara substansial lebih tinggi daripada yang terkait dengan EP
risiko rendah, tetapi sebagian besar pasien bertahan hidup, mungkin sebagai akibat dari
kemajuan kontemporer dalam bidang medis59-61.

EP masif atau risiko tinggi ditandai dengan adanya hipotensi arteri sistemik
berkelanjutan yang didefinisikan tekanan darah sistolik <90 mmHg selama minimal 15 menit
atau memerlukan dukungan inotropik56, dan pasien ini memiliki risiko kematian 73% - 65%62.
Sebagai akibat dari EP risiko tinggi, konsensus saat ini mengatur strategi pengangkatan
sumbatan agresif dipertimbangkan meliputi trombolisis sistemik, CDT, dan/atau embolektomi
bedah pada pasien tertentu tergantung pada penilaian risiko/manfaat, adanya kontraindikasi
untuk terapi tersebut, dan ahli yang tersedia 56, 57, 63.

CDT UNTUK EP MASIF

Meskipun trombolisis sistemik saat ini diindikasikan untuk pengobatan EP masif akut,
banyak pasien tidak dapat menerima terapi trombolitik sistemik karena kontraindikasi.
Bahkan ketika skrining pasien dengan EP akut untuk kontraindikasi absolut, tingkat
perdarahan utama yang terkait dengan trombolisis sistemik diperkirakan mencapai 9,2%,
dengan risiko 1,5% perdarahan intracranial, dilaporkan dalam metaanalisis RCT 61, dan studi
observasi58, 59, 64, 65 telah menunjukkan bahwa risiko pendarahan ini lebih tinggi pada populasi
dunia yang sebenarnya. Meskipun trombolisis sistemik dapat dimulai dalam jangka waktu
yang lebih pendek daripada CDT, dosis penuh umumnya membutuhkan waktu 2 jam untuk
bekerja, dan keuntungan dari CDT mencakup penggunaan dosis obat trombolitik yang lebih

21
rendah dan lisis yang lebih cepat sebagai hasil dari target pemberian obat intratrombus dan
penambahan perawatan mekanis (farmakomekanis CDT) 57, 66.

Dalam meta-analisis 594 pasien dengan EP masif akut yang diobati dengan CDT
modern (penggunaan perangkat profil rendah <10 F, fragmentasi mekanik, dan/atau aspirasi
emboli dengan atau tanpa menggunakan obat trombolitik)66, keberhasilan klinis mencapai
86,5%, dengan definisi keberhasilan adalah stabilisasi parameter hemodinamik, perbaikan
hipoksia, dan kelangsungan hidup sampai dengan pulang dari rumah sakit. Analisis ini
terbatas karena sebagian besar studi yang diidentifikasi adalah uji retrospektif, sebagian besar
kecil dengan metode heterogen, dan tidak ada uji coba acak (meskipun RCT mungkin
menimbulkan tantangan etis pada pasien dengan EP masif); Namun, tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam tingkat keberhasilan klinis antara kelompok studi prospektif dan
retrospektif. Dalam studi yang sama66, 96% pasien menerima CDT sebagai terapi tambahan
untuk heparin tanpa infus aktivator plasminogen jaringan sistemik (TPA) sebelumnya, dan
82
% kasus dimulai dengan perawatan mekanik saja (yaitu, fragmentasi dan/atau aspirasi
emboli) tanpa infus agen trombolitik lokal. Selain itu, perkiraan tingkat komplikasi utama
terkait CDT modern adalah 2,4%, dan sebagian besar komplikasi dikaitkan dengan
penggunaan trombektomi rheolitik dengan penggunaan AngioJet (Possis Medical,
Minneapolis, Minnesota)66. Tingkat komplikasi tertinggi terjadi pada 68 pasien yang
75
menjalani CDT dengan alat trombektomi rheolitik AngioJet, terdiri atas komplikasi minor
(89%) dan 19 komplikasi utama (77%), dengan 5 kematian terkait prosedur (12); 76% dari
73
semua komplikasi utama yang dicatat dalam penelitian ini (19 dari ) secara langsung
dikaitkan dengan trombektomi rheolitik AngioJet meskipun fakta bahwa itu digunakan hanya
dalam persentase kecil (11%) dari 594 pasien yang diteliti 66. Dalam meta-analisis ini66,
penggunaan AngioJet adalah satu-satunya perawatan berbasis kateter yang terkait dengan
kematian terkait prosedur, dan perangkat saat ini membawa peringatan label hitam dari Food
and Drug Administration67, yang menyatakan “Ada laporan tentang efek samping serius,
termasuk kematian, yang terkait dengan kasus di mana kateter [AngioJet] digunakan dalam
pengobatan emboli paru”.

CDT UNTUK EP SUBMASIF

Di antara pasien dengan EP submasif, tujuan awal eskalasi pengobatan dengan


trombolisis adalah untuk mengurangi kematian akibat EP tanpa meningkatkan risiko
komplikasi terkait pengobatan. Meskipun meta-analisis dari uji acak baru-baru ini 61

22
menunjukkan manfaat survival dengan menggunakan terapi trombolitik sistemik dalam EP
submasif, data ini juga memaparkan risiko komplikasi perdarahan mayor yang jauh lebih
tinggi dibandingkan hanya dengan antikoagulasi. Oleh karena itu, rasio risiko-manfaat
trombolisis sistemik pada populasi EP submasif tidak pasti berhubungan dengan pengambilan
keputusan klinis. Masuk akal untuk berhipotesis bahwa pemberian dosis agen trombolitik
keseluruhan yang lebih rendah melalui kateter dapat mengurangi risiko komplikasi
perdarahan besar68. Menariknya, penelitian sebelumnya tentang dinamika aliran69
menunjukkan bahwa obat yang diberikan secara sistemik membuat sedikit kontak dengan
emboli, dan sebagian besar obat mengalir menjauh dari sumbatan (efek Venturi) menuju
pembuluh nontarget terbuka. CDT farmakologis mengesampingkan efek Venturi karena
kateter yang halus dan fleksibel dengan banyak lubang samping dimasukkan secara langsung
di bawah panduan gambar ke dalam pembuluh target yang mengalami trombosis untuk
memberikan infus obat langsung. Keuntungan potensial dengan CDT adalah obat yang
ditargetkan ke dalam sumbatan untuk mencapai trombolisis memiliki dosis rendah, dapat
mengurangi risiko perdarahan68. Oleh karena itu, apabila dibandingkan dengan terapi obat
sistemik, CDT lokal dapat meningkatkan efektivitas obat, memungkinkan dosis obat yang
lebih rendah untuk digunakan, dan menghasilkan komplikasi perdarahan yang lebih sedikit.

DISKUSI

Meskipun ada beberapa keterbatasan bukti yang tersedia66, CDT saat ini dianggap
sebagai pilihan pengobatan yang dapat diterima (seperti trombolisis sistemik dan
embolektomi bedah) untuk pasien EP massif yang memenuhi kriteria 56, 57, 63. Sebagian besar
hal ini mencerminkan risiko kematian yang akan terjadi dan tingkat ketidakpastian yang besar
dengan perkiraan keamanan dan efikasi CDT dan terapi bedah versus risiko perdarahan yang
terkait dengan trombolisis sistemik. Namun, strategi perawatan optimal untuk EP submasif
masih terus berkembang. Pedoman American Heart Association 201156 menyatakan bahwa
“Fibrinolisis [sistemik] dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan EP akut submasif yang
dinilai memiliki bukti klinis dengan prognosis yang merugikan (ketidakstabilan hemodinamik
baru, memperburuk insufisiensi pernapasan, disfungsi RV parah [ventrikel kanan], disfungsi
RV parah, atau nekrosis miokard mayor) dan risiko rendah komplikasi perdarahan. Baik
embolektomi kateter atau embolektomi bedah dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan
EP akut submasif yang dinilai memiliki bukti klinis prognosis yang merugikan
(ketidakstabilan hemodinamik baru, perburukan kegagalan pernapasan, disfungsi RV parah,
atau nekrosis miokard mayor). ”Pedoman European Society of Cardiology Guidelines 2014

23
(14)
menyatakan bahwa "Pembedahan embolektomi paru atau pengobatan yang diarahkan
kateter perkutan dapat dianggap sebagai alternatif, prosedur 'penyelamatan' untuk pasien
dengan EP sedang/berisiko tinggi, di mana dekompensasi hemodinamik segera terjadi dan
risiko perdarahan yang diantisipasi di bawah trombolisis sistemik cukup tinggi. ”Pedoman
American College of Chest Physicians 201657 menyatakan: “Pada pasien tertentu dengan EP
akut yang memburuk setelah memulai terapi antikoagulan tetapi belum muncul hipotensi dan
yang memiliki risiko perdarahan rendah, disarankan terapi trombolitik yang diberikan secara
sistemik... Pasien yang memiliki risiko perdarahan lebih tinggi dengan terapi trombolitik
sistemik dan yang memiliki akses ke sumber daya yang diperlukan untuk melakukan CDT
cenderung memilih CDT daripada terapi trombolitik sistemik. ”Ringkasan lengkap dari
pedoman ini dimasukkan dalam Lampiran.

Karena trombolisis sistemik berisiko pendarahan besar, pedoman saat ini telah
memperketat indikasi untuk penggunaan trombolisis sistemik untuk PE risiko menengah, hal
ini hanya digunakan ketika ada kebocoran enzim jantung dan/atau akan terjadi kolaps
hemodinamik56, 57, 63
. Hal ini menyebabkan dilema karena pasien dengan strain RV sedang
hingga berat masih berisiko kolaps jantung mendadak dan kematian sebelum pengembangan
enzim jantung bocor dan syok yang mengancam jiwa59, 60; saat itu, mungkin sudah terlambat
untuk menaikkan pengobatan. Pasien lain dengan EP submasif mungkin memiliki gejala paru
yang parah dan persisten (misalnya, hipoksia berat, takipnea, dan dispnea saat aktivitas) yang
tidak berkurang dengan antikoagulasi terapeutik. Dalam skenario tersebut, ketersediaan opsi
pengobatan dengan profil risiko-manfaat yang lebih menguntungkan daripada trombolisis
sistemik akan optimal. Mungkin saja CDT memenuhi kriteria ini; Namun, perkiraan
keamanan dan kemanjuran CDT saat ini didasarkan pada data yang sangat terbatas dan
karenanya membawa ketidakpastian besar. Untuk alasan ini, walaupun masuk akal untuk
menargetkan eskalasi perawatan ke keadaan pasien secara individual (terutama untuk kasus
yang berbatasan dengan fisiologi EP masif yang berhubungan dengan risiko rendah
perdarahan), CDT tidak dapat direkomendasikan dengan kuat untuk kelompok pasien ini saat
ini. Studi prospektif lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi masalah ini, mengikuti jejak tiga
studi prospektif awal70-72.

24
UJI COBA MULTISENTER SEATTLE II

Uji coba SEATTLE II71 (uji coba prospektif, single-arm, uji multisenter dari
fibrinolisis difasilitasi ultrasound, diarahkan kateter dosis rendah untuk emboli paru paru
80
masif dan submasif akut,) meneliti 119 pasien dengan EP submasif dan pasien dengan EP
masif. Pasien yang memenuhi syarat telah membuktikan EP proksimal dan rasio diameter
RV:LV 0,9 dikonfirmasi pada computed tomography (CT) kontras dada-ditingkatkan. Dosis
maksimum TPA adalah 72 mg yang diinfuskan melalui kateter dengan bantuan US selama 12-
72
jam. Selama CDT, heparin yang tidak terfraksi diinfus pada intensitas sedang
(subterapeutik) dengan target waktu tromboplastin parsial teraktivasi dalam 89-60 detik. Studi
ini menyimpulkan bahwa fibrinolisis CDT dosis rendah meningkatkan fungsi RV pada EP
akut, mengurangi obstruksi arteri pulmonalis angiografis, dan mengurangi tekanan arteri
pulmonalis sistolik. Ada tingkat perdarahan utama 11% dalam percobaan SEATTLE II 71,
yang, meskipun berkurangnya kejadian perdarahan katastrofik, menambah ketidakpastian
mengenai apakah CDT benar-benar lebih aman daripada trombolisis sistemik. Selain itu,
risiko perdarahan mayor dikaitkan dengan beberapa upaya akses vena (akses komplikasi
lokasi)73. Percobaan71 dibatasi oleh desain non-acak, meskipun hal ini memungkinkan lebih
banyak jenis pasien untuk dimasukkan dibandingkan dengan percobaan ULTIMA 70. Uji coba
70
SEATTLE II tidak dirancang untuk menilai hasil jangka panjang CDT, dan, mirip dengan
(21) 70
ULTIMA , SEATTLE II adalah uji coba yang disponsori industri yang tidak
membandingkan penggunaan kateter dengan bantuan US yang berbiaya tinggi versus CDT
standar; oleh karena itu, peran US masih tidak jelas. Sementara mengakui bahwa tidak
adanya kelompok kontrol acak menghalangi setiap kesimpulan yang dapat ditarik tentang
70
CDT secara khusus, percobaan SEATTLE II menunjukkan bahwa kombinasi terapi medis
(termasuk antikoagulasi), pemantauan pasien, dan fibrinolisis CDT dosis rendah dapat
dilakukan. meningkatkan fungsi RV, mengurangi obstruksi angiografi arteri pulmonalis, dan
mengurangi tekanan sistolik arteri pulmonalis pada EP akut.

REGISTRI MULTISENTER “PERFECT”

(71)
Registri PERFECT (Pulmonary Embolism Response to Fragmentation,
Embolectomy, and Catheter Thrombolysis) adalah registri EP multisenter yang meliputi 73
77
pasien dengan EP submasif dan pasien dengan EP masif. Ada sangat sedikit kriteria
eksklusi, dan penelitian ini termasuk pasien dengan kontraindikasi terhadap trombolisis

25
sistemik. Pasien yang memenuhi syarat memiliki EP akut yang muncul dalam waktu 14 hari
dan bukti CT dari EP proksimal didefinisikan sebagai defek pengisian pada setidaknya satu
arteri lobus paru atau utama. EP submasif didefinisikan sebagai EP akut yang menyebabkan
dilatasi ventrikel kanan dan hipokinesis dikonfirmasi pada ekokardiografi, CT dada, atau
keduanya tanpa hipotensi sistemik. Dosis agen trombolitik rata-rata yang diinfuskan melalui
kateter adalah 77 mg ± 11 TPA (n = 76) dan 2.697.101 IU ± 985.777 urokinase (n = 23), dengan
72
waktu infus rata-rata kurang dari jam. Satu pasien dengan EP submasif (1%) tidak
menerima obat trombolitik dan hanya diobati dengan CDT mekanis. Selama trombolisis CDT
dengan TPA, heparin intravena dosis rendah subterapeutik diinfuskan pada 790-500 U / jam.
(71)
Penelitian menyimpulkan bahwa CDT meningkatkan hasil klinis (tekanan RV, tekanan
arteri paru) pada pasien dengan EP submasif akut dan masif akut. Tidak ada komplikasi
terkait prosedur utama, tidak ada perdarahan besar, dan tidak ada perdarahan intrakranial
setelah CDT. Registri termasuk pasien yang diobati dengan kateter dengan bantuan US atau
kateter CDT standar, dan tidak menemukan keuntungan pada pasien yang diobati dengan
kateter dengan bantuan US berbanding kateter infus CDT standar. Mirip dengan uji coba
70 (71)
SEATTLE II , registri PERFECT adalah uji non-acak dan tidak menilai hasil jangka
panjang, dan oleh karena itu tidak dapat dengan mendukung kesimpulan tentang efektivitas
CDT dibandingkan terapi lain secara signifikan. Namun demikian, uji eksklusi akan
mengeluarkan banyak pasien dalam RCT sebelumnya dan memberikan data yang berguna
untuk mendukung desain studi prospektif tambahan dan protokol CDT masa depan (71).

Meskipun masih ada beberapa ketidakpastian yang berhubungan dengan perkiraan


keamanan CDT karena kurangnya data skala besar, mendorong bahwa tidak ada kejadian
perdarahan intrakranial yang diamati dalam studi prospektif terbaru. Meskipun berbagai
kateter infus trombolitik ada, bukti yang tersedia sampai saat ini belum mengungkapkan
keuntungan dengan menggunakan kateter trombolisis dengan bantuan US dibandingkan
kateter infus standar (23,73).

SIR mengakui keterbatasan metodologis dari studi yang ada yang mendukung CDT
untuk EP submasif, terutama yang berkaitan dengan pencegahan gejala sisa jangka panjang
(74)
EP . Meskipun dampak CDT pada hasil jangka panjang masih belum dipelajari secara
memadai, konsep pengobatan trombolitik awal untuk mencegah gejala sisa EP jangka
panjang telah dibuktikan. Data dari studi trombolisis sistemik sebelumnya menunjukkan
bahwa pengobatan dengan trombolisis dini dapat menurunkan risiko jangka panjang
pengembangan CTEPH dan mengurangi risiko jangka panjang intoleransi olahraga, disfungsi

26
(22,23)
RV, penurunan kualitas hidup, dan sesak napas, secara kolektif disebut sebagai PPS .
Namun, dampak CDT dini (vs terapi sistemik) pada kelompok tersebut untuk mengurangi
risiko jangka panjang PPS dan CTEPH masih belum jelas. Panel konsensus penelitian
(74)
(disponsori oleh SIR Foundation) termasuk kelompok multidisipliner yang terdiri dari 19
pakar membahas pertanyaan kunci dan kesenjangan data seputar EP submasif. Panel
konsensus penelitian menyimpulkan bahwa percobaan acak CDT versus antikoagulasi saja
merupakan prioritas penelitian utama untuk menentukan apakah penggunaan awal CDT dapat
(74)
mengurangi risiko jangka panjang PPS dan CTEPH . Berdasarkan semua konsep di atas,
SIR memegang posisi berikut:

1. SIR mendukung penggunaan CDT pada pasien tertentu secara hati-hati dengan EP
masif akut proksimal, terutama pada pasien EP yang kondisinya sangat memburuk
dengan cepat yang mengalami gagal trombolisis sistemik.
2. Saat ini, data yang tersedia tidak cukup untuk mendukung penggunaan CDT rutin
untuk pasien dengan EP submasif. Menyadari bahwa perkembangan klinis
menjadi fisiologi EP masif dapat terjadi dengan cepat dan mungkin ditandai oleh
temuan pada penilaian klinis, pasien dengan EP submasif harus dimonitor secara
ketat untuk perburukan, dengan pemberitahuan dari tim multidisiplin jika hal ini
terjadi (termasuk radiologis intervensi jika terapi reperfusi) sedang
dipertimbangkan). Meskipun diakui bahwa CDT mungkin memiliki keunggulan
dibandingkan modalitas lain untuk pasien tertentu, di pusat yang menggunakan
CDT untuk pengobatan EP submasif, SIR mendorong pengumpulan data dengan
pengawasan dewan peninjau kelembagaan dan sangat merekomendasikan agar
praktik dan hasil pengobatan lokal ditinjau secara berkala untuk kualitas. -tujuan
perbaikan. Sebelum melakukan CDT, penilaian yang cermat harus dilakukan
untuk mendeteksi faktor klinis yang dapat meningkatkan risiko perdarahan atau
mengurangi pentingnya manfaat klinis yang dicapai.
3. Untuk pasien yang menjalani CDT untuk EP, SIR menyarankan tindakan
pencegahan berikut: (i) pasien harus dipantau secara ketat di unit perawatan
lanjutan; (ii) Pedoman US untuk pungsi vena harus rutin digunakan untuk
mengurangi risiko perdarahan; (iii) karena dugaan hubungannya dengan efek
samping yang parah, penggunaan Sistem Thrombectomi AngioJet mungkin harus
dihindari kecuali dalam konteks studi prospektif; (iv) untuk meminimalkan risiko
mengkompromikan kondisi pasien dalam kondisi stabil, intervensi mekanis
biasanya harus dihindari pada pasien dengan EP submasif kecuali sebagai bagian

27
dari studi prospektif; dan (v) jika heparin diberikan selama infus trombolitik, dosis
subterapeutik (mis. 790-500 U / jam atau kurang dari 2 waktu tromboplastin parsial
normal) disarankan untuk mengurangi risiko perdarahan.
4. SIR sangat mendukung pelaksanaan RCT baru dan studi prospektif lainnya
tentang penggunaan CDT untuk EP akut, khususnya untuk EP submasif, dengan
fokus mempelajari hasil jangka panjang dan kemungkinan pencegahan PPS dan
CTEPH.

28
LAMPIRAN
PANDUAN TENTANG TERAPI TROMBOLITIK UNTUK EP AKUT

AMERICAN HEART ASSOCIATION, 2011 (7)

Rekomendasi untuk Fibrinolisis Sistemik untuk PE Akut.

1. Fibrinolisis dipertimbangkan untuk pasien dengan EP masif akut dan risiko


komplikasi perdarahan yang dapat diterima (kelas IIa; level of evidence B).
2. Fibrinolisis dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan EP akut submasif yang
dinilai memiliki bukti klinis prognosis yang merugikan (yaitu, ketidakstabilan
hemodinamik baru, memperburuk insufisiensi pernapasan, disfungsi RV parah, atau
nekrosis miokard mayor) dan risiko rendah komplikasi perdarahan (kelas IIb; level of
evidence C).
3. Fibrinolisis tidak dianjurkan untuk pasien dengan EP risiko rendah (kelas III; level of
evidence B) atau EP akut submasif dengan disfungsi RV minor, nekrosis miokard
minor, dan tidak ada perburukan klinis (kelas III; level of evidence B).

Fibrinolisis tidak direkomendasikan untuk henti jantung yang tidak berbeda (kelas III; level
of evidence B) (7).

Rekomendasi untuk Embolektomi dan Fragmentasi Kateter.

4. Bergantung pada keahlian lokal, embolektomi kateter dan fragmentasi atau


embolektomi bedah wajar dilakukan untuk pasien dengan EP masif dan kontraindikasi
untuk fibrinolisis (kelas IIa; level of evidence C).
5. Embolektomi kateter dan fragmentasi atau embolektomi bedah wajar untuk pasien
dengan EP masif yang tetap dalam kondisi tidak stabil setelah menerima fibrinolisis
(kelas IIa; level of evidence C).
6. Untuk pasien dengan EP masif yang tidak dapat menerima fibrinolisis atau yang tetap
dalam kondisi tidak stabil setelah fibrinolisis, masuk akal untuk mempertimbangkan
transfer ke lembaga yang berpengalaman dalam kateter embolektomi atau
embolektomi bedah jika prosedur ini tidak tersedia secara lokal dan pemindahan yang
aman dapat dicapai (kelas IIa; level of evidence C).
7. Embolektomi kateter atau pembedahan embolektomi dapat dipertimbangkan untuk
pasien dengan EP akut submasif yang dinilai memiliki bukti klinis prognosis yang

29
merugikan (ketidakstabilan hemodinamik baru, memperburuk kegagalan pernapasan,
disfungsi RV parah, atau nekrosis miokard mayor; kelas IIb; level of evidence C).

Embolektomi kateter dan pembedahan trombektomi tidak dianjurkan untuk pasien dengan EP
risiko rendah atau EP akut submasif dengan disfungsi RV minor, nekrosis miokard minor, dan
tidak ada perburukan klinis (kelas III; level of evidence C) (7).

EUROPEAN SOCIETY OF CARDIOLOGY, 2014 (14)

1. EP dengan syok atau hipotensi (yaitu, EP berisiko tinggi): Pasien dengan EP yang
mengalami syok atau hipotensi memiliki risiko tinggi kematian di rumah sakit,
terutama selama beberapa jam pertama setelah masuk. Selain dukungan hemodinamik
dan pernafasan, unfractionated heparin intravena harus diberikan kepada pasien ini
sebagai mode antikoagulasi awal yang dipilih, karena heparin atau fondaparinux
dengan berat molekul rendah belum diuji dalam pengaturan hipotensi dan syok.
Perawatan reperfusi primer, terutama trombolisis sistemik, adalah pengobatan pilihan
untuk pasien dengan PE highrisk. Pada pasien dengan kontraindikasi terhadap
trombolisis — dan pada pasien dengan trombolisis yang gagal meningkatkan status
hemodinamik — pembedahan embolektomi direkomendasikan jika keahlian dan
sumber daya bedah tersedia. Sebagai alternatif untuk pembedahan, CDT perkutan
harus dipertimbangkan jika keahlian dengan metode ini dan sumber daya yang sesuai
tersedia di lokasi (14).
2. EP tanpa syok atau hipotensi (yaitu, EP berisiko menengah atau rendah): European
Society of Cardiology mensubklasifikasikan EP risiko menengah ke dalam kategori
risiko tinggi dan risiko rendah, dan eskalasi pengobatan direkomendasikan untuk
perantara (tinggi) - kategori risiko ditentukan oleh adanya disfungsi RV (pada
ekokardiografi atau CT) a) dan kadar enzim jantung abnormal. b) Menurut European
Society of Cardiology, pasien tersebut adalah kandidat untuk penyelamatan reperfusi:
a. Jika ekokardiografi telah dilakukan selama pemeriksaan diagnostik untuk EP
dan terdeteksi disfungsi RV, atau jika CT scan menunjukkan pembesaran RV
(yaitu, rasio diameter RV / LV 0,9), tes troponin jantung harus dilakukan
kecuali dalam kasus-kasus di mana reperfusi primer bukan merupakan pilihan
terapi (misalnya, sebagai akibat dari komorbiditas yang parah atau harapan
hidup pasien yang terbatas).
b. Penanda lesi miokard (mis. Peningkatan troponin I jantung atau konsentrasi T
dalam plasma) atau gagal jantung sebagai akibat dari disfungsi ventrikel

30
(kanan) (misalnya, peningkatan konsentrasi peptida natriuretik dalam plasma).
Jika tes laboratorium untuk biomarker jantung telah dilakukan selama
pemeriksaan diagnostik awal (misalnya, di unit nyeri dada) dan memiliki
temuan positif, ekokardiogram harus dipertimbangkan untuk menilai fungsi
RV atau ukuran RV harus (kembali) dinilai pada CT.
c. Reperfusi penyelamatan dengan trombolisis jika (dan segera) tanda-tanda
klinis dekompensasi hemodinamik muncul, embolektomi paru bedah, atau
CDT perkutan dapat dianggap sebagai pilihan alternatif untuk trombolisis
sistemik, terutama jika risiko perdarahan tinggi.

Pembedahan embolektomi paru atau CDT perkutan dapat dianggap sebagai prosedur
penyelamatan alternatif untuk pasien dengan EP menengah / berisiko tinggi di mana
dekompensasi hemodinamik tampak segera terjadi dan risiko perdarahan yang diantisipasi di
bawah trombolisis sistemik tinggi (14).

AMERICAN COLLEGE OF CHEST PHYSICIANS, 2016 (8)

Terapi Trombolitik Sistemik untuk EP

1. Pada pasien dengan EP akut yang berhubungan dengan hipotensi (mis., Tekanan darah
sistolik <90 mm Hg) yang tidak memiliki risiko perdarahan tinggi, terapi trombolitik
yang diberikan secara sistemik direkomendasikan daripada tidak menggunakan terapi
tersebut (grade 2B).
2. Pada kebanyakan pasien dengan EP akut yang tidak berhubungan dengan hipotensi,
American College of Chest Physicians merekomendasikan terapi trombolitik yang
diberikan secara sistemik (grade 1B).
3. Pada pasien tertentu dengan EP akut yang kondisinya memburuk setelah memulai
terapi antikoagulan tetapi yang belum mengembangkan hipotensi dan yang memiliki
risiko perdarahan rendah, terapi trombolitik yang diberikan secara sistemik disarankan
daripada tidak menggunakan terapi tersebut (grade 2C).

Keterangan: Pasien dengan EP dan tanpa hipotensi yang memiliki gejala parah atau ditandai
gangguan kardiopulmoner harus dipantau secara ketat untuk kerusakan. Perkembangan
hipotensi menunjukkan bahwa terapi trombolitik telah menjadi indikasi. Kerusakan
kardiopulmoner (misalnya, gejala, tanda-tanda vital, perfusi jaringan, pertukaran gas,
biomarker jantung) yang belum berkembang menjadi hipotensi juga dapat mengubah

31
penilaian risiko/manfaat yang mendukung terapi trombolitik pada pasien yang awalnya
diobati dengan antikoagulasi saja (8).

Pengangkatan Trombus Berbasis Kateter untuk Pengobatan Awal EP

4. Pada pasien dengan EP akut yang diobati dengan agen trombolitik, terapi trombolitik
sistemik melalui vena perifer disarankan di atas CDT (grade 2C).
Keterangan: Pasien yang memiliki risiko perdarahan lebih tinggi dengan terapi
trombolitik sistemik dan yang memiliki akses ke keahlian dan sumber daya yang
diperlukan untuk melakukan CDT cenderung memilih CDT daripada terapi
trombolitik sistemik.
5. Pada pasien dengan PE akut yang berhubungan dengan hipotensi dan yang memiliki
(21)
(i) risiko perdarahan tinggi , (ii) mengalami trombolisis sistemik yang gagal, atau
(iii) syok yang kemungkinan menyebabkan kematian sebelum trombolisis sistemik
dapat berlaku (yaitu, dalam beberapa jam), jika keahlian dan sumber daya yang tepat
tersedia, pengangkatan trombus berbantuan kateter disarankan daripada tidak ada
intervensi semacam itu (kelas 2C).
Keterangan: Pengangkatan trombus berbantuan kateter mengacu pada intervensi
mekanis dengan atau tanpa trombolisis terarah kateter (8).

32

Anda mungkin juga menyukai