Anda di halaman 1dari 17

EMBOLI PARU

Sri Sarwosih IM
Daniel Maranatha

PENDAHULUAN
Emboli paru merupakan masalah besar kesehatan dunia, dengan angka kesakitan
dan kematian yang cukup tinggi mencapai 30% jika tidak diobati
Emboli Paru dan Trombosis Vena Dalam (TVD) mempunyai proses patologi yang
sama. Emboli paru biasanya berasal dari trombus yang terlepas dari sistem vena dalam
ekstremitas bawah. Setelah sampai di paru, trombus yang besar tersangkut di bifurkasio
arteri pulmonalis atau bronkus lobaris dan menimbulkan gangguan hemodinamik.
Trombus yang kecil terus berjalan sampai kebagian distal, menyumbat pembuluh darah
kecil di perifer paru, dan menimbulkan nyeri dada pleuritik
Diagnosis emboli paru sangat sulit karena gejala klinis yang tidak khas dan
banyaknya diagnosis diferensial. Beberapa teknik diagnostik yang dapat dilakukan untuk
mendiagnosis emboli paru adalah pemeriksaan laboratorium (Analisa Gas Darah, D-
dimer), Elektrokardiografi, Foto torak, Ekokardiografi, Ventilation-Perfusion scanning,
Spiral CT scan, MRI, dan angiografi pulmonal.
Tujuan penatalaksanaan emboli paru adalah untuk mengurangi simptom,
mencegah kematian, mengurangi risiko timbulnya hipertensi pulmonal kronik, dan
mencegah kekambuhan. Penatalaksanaan emboli paru saat ini tidak hanya menggunakan
antikoagulan. Unfractioned heparin dan warfarin efektif untuk mengurangi risiko
kekambuhan dan kematian pada trombo-emboli vena. Saat ini low molecular weight
heparin lebih sering digunakan karena penggunaanya relatif mudah dan kurang
membutuhkan monitoring dibanding dengan antikoagulan. Dalam fase akut, terapi
trombolitik sistemik dianjurkan untuk dissolusi yang cepat dari trombus dan mengurangi
tekanan arteri pulmonalis dengan cepat.

1
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
Emboli Paru adalah sumbatan arteri pulmonalis, yang disebabkan oleh trombus
pada trombosis vena dalam di tungkai bawah yang terlepas dan mengikuti sirkulasi
menuju arteri di paru. Setelah sampai diparu, trombus yang besar tersangkut di bifurkasio
arteri pulmonalis atau bronkus lobaris dan menimbulkan gangguan hemodinamik,
sedangkan trombus yang kecil terus berjalan sampai ke bagian distal, menyumbat
pembuluh darah kecil di perifer paru.
Emboli Paru merupakan salah satu masalah kesehatan dunia. Di Perancis
diperkirakan angka kejadian pertahunnya lebih dari 100.000 kasus, di Inggris dan Wales
65.000 kasus penderita yang dirawat , dan lebih dari 60.000 kasus di Italia. Di Amerika
Serikat tiap tahunnya didapatkan lebih dari 600.000 penderita emboli paru,
mengakibatkan kematian 50.000-200.000, dan menduduki urutan ke tiga penyebab
kematian pasien rawat inap.
Faktor predisposisi terjadinya emboli paru adalah laki-laki, usia lanjut,
immobilisasi, trauma, fraktur tulang panjang, kehamilan, kontrasepsi oral, obesitas,
congestive heart failure dan keganasan. Bila tidak diterapi, angka kematiannya cukup
tinggi, diperkirakan 30% (10 kali lebih besar dibanding dengan yang diterapi) dan
menurun 2-10% dengan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat .

PATOFISIOLOGI
Pada 80-90% emboli paru selalu ditemukan satu atau lebih faktor
predisposisi/faktor risiko terbentuknya emboli paru. Trombosis vena dalam (TVD) dan
emboli paru dapat dianggap suatu proses patologis yang mirip. Lebih dari 70% emboli
paru disebabkan oleh TVD proksimal. TVD dan emboli paru seringkali menjadi
penyebab kematian setelah pembedahan, cedera, persalinan dan berbagai kondisi medis
tertentu. Rudolf Virchow menjelaskan ada tiga faktor predisposisi terjadinya trombosis
vena yaitu stasis, trauma dinding pembuluh darah dan hiperkoagubiliti.
Stasis (perlambatan) aliran darah vena mempercepat terbentuknya trombus yang
lebih besar. Stasis darah diakibatkan oleh tekanan lokal, obstruksi vena atau imobilisasi
lama setelah fraktur atau pembedahan.

2
Hiperkoabiliti berperan penting dalam pembentukan trombus di vena tungkai,
yang meluas ke proksimal dengan membentuk bekuan darah yang banyak. Suatu
thrombus dari vena dalam yang berasal dari tungkai, pelvis atau lengan dapat terlepas dan
menyumbat arteri pulmonalis. Obstruksi arteri pulmonalis dan pelepasan platelet dari zat
vasoaktif seperti serotonin, meningkatkan resistensi vaskular pulmonal. Akibatnya dead
space alveolar meningkat dan redistribusi aliran darah mengganggu pertukaran gas, dan
menstimulasi reseptor-reseptor iritan yang menyebabkan hiperventilasi alveolar.
Obstruksi arteri pulmonalis akan meningkatkan tekanan ventrikel kanan sehingga kerja
miokard ventrikel kanan dan konsumsi oksigen meningkat. Keadaan ini menyebabkan
indeks kardiak turun sampai terjadi kor pulmonal akut. Hipotensi terjadi akibat indeks
kardiak turun dan gagal jantung kanan. Ventrikel kanan dilatasi dan tekanan ventrikel
kanan akhir diastolik meningkat sehingga stroke volume ventrikel kanan turun dan curah
jantung turun .

Gambar 1. Patofisiologi emboli paru

ETIOLOGI

3
Penyebab Emboli Paru dibedakan menjadi Trombotik dan non trombotik. Emboli
Paru trombotik terjadi dari lepasnya trombus yang berasal dari pembuluh vena dalam di
ekstremitas bawah mengikuti sirkulasi dan masuk ke sirkulasi darah paru. Di paru,
trombus yang besar tersangkut di bifurkasio arteri pulmonalis atau bronkus lobaris dan
menimbulkan gangguan hemodinamik. Trombus yang kecil berjalan terus sampai ke
bagian distal, menyumbat pembuluh darah kecil di perifer paru. Kebanyakan emboli ini
multipel dan sering di lobus bawah paru.
Emboli Paru non trombotik disebabkan oleh emboli lemak (fraktur tulang
panjang), cairan amnion (proses persalinan), udara (tindakan bedah invasif, pemasangan
kateter arteri dan trauma torak), Schistosomiasis, sepsis dan tumor.

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis emboli paru tidak spesifik, bervariasi frekuensi dan intensitinya
tergantung pada luasnya oklusi pembuluh darah pulmonal, fungsi kardiopulmunal
sebelumnya dan kondisi pasien. Pada emboli yang kecil mungkin tanpa gejala. Pada 97%
pasien tanpa penyakit dasar paru dan jantung, gejala klasik emboli paru adalah dispnea,
takipnea dan nyeri dada.
Dispnea yang muncul dengan onset cepat biasanya akibat emboli letak sentral,
kadangkala disertai nyeri dada substernal mirip angina, kemungkinan akibat iskemia
ventrikel kanan. Nyeri dada pleura juga merupakan salah satu gejala yang sering
ditemukan. Nyeri dada ini biasanya disebabkan oleh emboli distal sehingga terjadi iritasi
pleura dan konsolidasi dapat terlihat dalam foto toraks.
Berdasarkan akut dan beratnya oklusi arteri pulmonalis, manifestasi klinik emboli
paru dibagi dalam empat kategori, yaitu :
1. Emboli Paru Masif Akut
Terjadi karena obstruksi sirkulasi pulmonal lebih dari 50%.Tanda klinisnya
didominasi gangguan fungsi paru dan jantung yang berat. Penderita datang
dengan respiratory distress akut dan kadang-kadang sinkope karena hipoksemia
dan cardiac output yang rendah. Kombinasi hipotensi, hipoksemia dan
meningkatnya kerja jantung menyebabkan nyeri dada angina.

4
Pada pemeriksaan fisik didapatkan penderita syok, kesadaran menurun, hipotensi
sistemik, perfusi ekstremitas jelek, takikardi, takipnea dan tanda-tanda hipertensi
pulmonal.
2. Infark Paru Akut
Kurang lebih 10% penderita dengan oklusi perifer arteri pulmonalis mengalami
infark parenkim. Penderita mengeluh nyeri dada pleuritik dengan onset akut,
sesak dan hemoptysis.
3. Emboli Akut Tanpa Infark
Didapatkan gejala yang tidak spesifik yaitu dispnea yang sulit dibedakan dengan
substernal discomfort. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan tanda spesifik,
takipnea, takikardi, nyeri pleura dan wheezing lokalis dapat dijumpai.
4. Emboli Paru Multipel
Dibagi menjadi dua kelompok:
a. ditandai dengan episode emboli paru yang berulang dalam beberapa tahun,
yang akhirnya timbul tanda-tanda klinis dan symptom hipertensi pulmonal
dan korpulmonale.
b. tanpa riwayat emboli paru sebelumnya, tetapi mempunyai obstruksi
sirkulasi pulmonal yang luas. Penderita mengeluh dispnea yang bertambah
progresif, nyeri dada intermiten dan akhirnya menjadi hipertensi pulmonal
dan korpulmonale.
Gejala klinis emboli paru yang sering terjadi menurut PIOPED (Prospective
Investigation of Pulmonary Embolism) study adalah dispnea (73%), nyeri dada pleuritik
(66%), batuk (37%), hemoptysis (13%) dengan tanda-tanda fisiknya berupa takipnea
(70%), ronki (51%), takikardi (30%) dan P2 yang mengeras (23%) .

DIAGNOSIS
Gejala dan tanda klinis emboli paru tidak spesifik, karena itu penderita yang
diduga emboli paru harus dilakukan pemeriksaan diagnosis sampai terbukti emboli paru
atau bukan.Untuk mempermudah prediksi probabilitas kejadian emboli paru, Wells dan
Geneva membuat skor prediksi emboli paru. Skor dibuat berdasarkan gejala klinis yang
dikumpulkan secara kohort. Skor klinis ini dinamakan Skor Wells dan Skor Geneva. Skor

5
klinis ini dapat dipakai secara luas oleh para klinisi untuk memprediksi probabilitas
kejadian emboli paru.
Tabel 1. Skor Wells untuk memprediksi probabilitas emboli paru
Variabel Nilai
Tanda/gejala klinis DVT +3
Diagnosis deferensial lebih tidak mungkin dibanding diagnosis +3
emboli paru +1,5
Denyut jantung >100 kali/menit +1,5
Imobilisasi atau riwayat pembedahan < 4 minggu yang lalu +1,5
Riw. DVT atau emboli paru sebelumnya +1
Hemoptisis +1
Kanker
Skor total : <2 : probabilitas rendah; 2-6 probabilitas sedang;>6 probabilitas
tinggi.

Tabel 2. Skor Geneva untuk memprediksi probabilitas emboli paru


Kriteria variable Nilai
Umur : 60-79 tahun +1
> 80 tahun +2
Riwayat DVT atau emboli paru +2
sebelumnya +3
Riwayat pembedahan < 4 mgg +1
yang lalu +2
Denyut jantung > 100 kali/menit +1
PCO2 : < 35 mmHg +4
35-39 mmHg +3
PO2 : < 49 mmHg +2
4959 mmHg +1
60-71 mmHg +1
72-82 mmHg +1
Foto toraks: band atelectasis
Elevasi hemidiafragma

Skor total : <5 : probabilitas rendah; 5-8 probabilitas sedang


>8 probabilitas tinggi

Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis emboli paru meliputi pemeriksaan


sebagai berikut:
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium standar tidak dimaksudkan untuk menegakkan
diagnosis emboli paru, tetapi untuk memperoleh informasi tambahan yang dapat
digunakan untuk mendukung diagnosis, terapi pilihan, konfirmasi diagnosis banding dan
stratifikasi risiko .
Pemeriksaan analisa gas darah merupakan evaluasi laboratorium awal untuk
emboli paru, ditandai dengan menurunnya PaO2, PaCO2 dapat normal atau menurun

6
akibat hiperventilasi. PaO2 hampir selalu tidak normal, hipoksemia, alkalosis
respiratorik, namun pemeriksaan ini juga kurang bermanfaat untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis emboli paru.

D-dimer
D-dimer merupakan produk degradasi fibrinolisis, pada saat cross-linked fibrin
dilisiskan oleh plasmin. Pemeriksaan D-dimer dengan kuantitatif ELISA memperlihatkan
sensitiviti yang sangat tinggi (>99%) untuk emboli paru akut atau DVT dengan nilai
batas 500ug/L. Untuk diagnosis emboli paru D-dimer mempunyai sensitiviti yang cukup
tinggi tetapi spesifisitinya rendah. Pada seluruh pasien emboli paru hampir selalu terjadi
peningkatan kadar D-dimer, sehingga hasil pemeriksaan D-dimer negatif sangat
membantu untuk menyingkirkan diagnosis emboli paru, terutama bila skor probabiliti
rendah dan frekuensi napas <21 kali/menit .

Foto toraks
Mayoritas penderita emboli paru mempunyai gambaran foto toraks yang
abnormal, tetapi ketidaknormalan foto toraks tersebut bersifat non spesifik dan non
diagnosis. Pada lapangan paru tampak opasitas perifer, kadang-kadang semisirkuler yang
tersusun diantara permukaan pleura yang dikenal dengan istilah Hamptons hump.
Atelektasis, efusi pleura minimal dan diafragma letak tinggi mempunyai spesifisiti
rendah untuk emboli paru. Pada emboli paru masif, bayangan arteri pulmonalis yang
tegak lurus akan tampak bila tekanan arteri pulmonalis meningkat (Westermark sign).
Foto toraks bermanfaat terutama untuk menyingkirkan diagnosis lain yang menyerupai
emboli paru misalnya pneumotorak, pneumonia, gagal jantung kiri, tumor, efusi pleura
massif .

Elektrokardiografi
Gambaran EKG pada emboli paru tidak spesifik. Gambaran EKG yang tampak
adalah pola S1Q3T3 yaitu gambaran S di lead I dan gelombang Q dan T negatif di lead
III. Gambaran lain adalah right bundle branch block (RBBB), biasanya muncul pada

7
penderita yang syok. Dexter Laboratory melaporkan dari 47 penderita emboli paru masif,
9 penderita muncul gambaran S1Q3T3 atau RBBB baru .

Ekokardiografi
Terbatas akurasinya untuk diagnosis emboli paru, tetapi untuk pemeriksa yang
berpengalaman dapat menemukan emboli, dengan ditemukannya peningkatan beban
ventrikel kanan yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab yang lain. Transesophageal
echocardiography dapat untuk mengidentifkasi emboli paru sentral dan sensitifitinya
82%. Tes non invasif ini dapat digunakan untuk menunjukkan adanya disfungsi ventrikel
kanan pada emboli akut, prediksi mortaliti dan manfaat terapi trombolitik.

Ventilation-Perfusion Scanning(V/Q)
V/Q scanning merupakan sarana diagnostik penting untuk menegakkan diagnosis
emboli paru. Pada klasifikasi PIOPED interpretasi V/Q scan sangat penting untuk
penderita dengan terapi anti koagulan. Perfusi scan yang normal dapat menyingkirkan
emboli paru, tetapi hanya didapatkan pada 25% pasien. Perfusion defek tidak spesifik,
kurang lebih sepertiga pasien dengan defek didapatkan emboli paru.

Spiral CT Scanning ( Helical CT Scanning )

Peran spiral CT scan untuk diagnosis emboli paru telah lama diakui. Sensitiviti
spiral CT scan untuk emboli paru dilaporkan 53-100%, spesifisitinya 78-96%, dapat
untuk mendeteksi emboli pada arteri segmental atau arteri yang lebih besar.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI mempunyai sensitiviti 85% dan spesifisitinya 96% untuk emboli di sentral,
lobar, dan segmental tetapi tidak adekuat untuk emboli subsegmental. Kekurangan lain
adalah pemeriksaan ini mahal dan membutuhkan orang yang berpengalaman baik dalam
pemeriksaan maupun interpretasi.

Ultrasonografi Tungkai

8
USG pada vena tungkai berguna untuk penderita yang diduga emboli paru,
terutama bila ditemukan gejala pada tungkai unilateral. Hasil yang normal tidak dapat
menyingkirkan diagnosis emboli paru. Pemeriksaan ini mempunyai banyak keterbatasan,
dari seluruh pemeriksaan penderita emboli paru, hanya 5% yang ditemukan abnormal.

Computerized Tomography Pulmonary Angiography (CTPA)


Uji pemeriksaan ini tergolong baru dan mempunyai akurasi yang cukup tinggi
serta metode cukup cepat untuk diagnosis emboli paru. CTPA menggunakan teknik heliks
dan peningkatan kontras, bermanfaat dalam keakuratan diagnosis emboli paru, terutama
yang sentral, lobar, segmental tetapi kurang bermanfaat pada subsegmental. Pada
penelitian terdahulu, CTPA mempunyai sensitiviti 87-100% dan spesifisitinya 95-100% .
Dibanding dengan angiografi pulmonal, pemeriksaan ini kurang invasif dan mempunyai
waktu yang lebih pendek .

Angiografi Pulmonal
Angiografi Pulmonal masih merupakan gold standart untuk diagnosis emboli
paru, tetapi merupakan pemeriksaan yang invasif, mahal dan memerlukan pengalaman
dari pemeriksanya. Pemeriksaan ini dilakukan bila pada pemeriksaan non invasif tidak
dapat menegakkan diagnosa emboli paru dan diindikasikan pada penderita dengan risiko
perdarahan yang tinggi dan pada penderita dengan kontra indikasi relatif terapi
trombolitik atau heparin.
Tidak ada kontraindikasi absolut dari angiografi pulmonal, hanya ada beberapa
kontraindikasi relatif antara lain, allergi terhadap zat kontras yang mengandung Iodine,
gangguan fungsi ginjal, RBBB, gagal jantung kongestif berat, dan trombositopeni berat.
Tanda-tanda dari emboli paru tampak adanya aliran yang lambat dari kontras,
hipoperfusi regional, lambat atau berkurangnya aliran vena pulmonalis.
Pemeriksaan yang bersifat efektif membuktikan adanya emboli paru adalah
didapatkan intraluminal filling defect pada pemeriksaan angiografi pulmonal dan Helical
CT. Emboli paru dapat disingkirkan dengan hasil angiografi pulmonal dan Perfusion
scan yang normal(Kearon,2003; Riedel,2004).

9
Alur Diagnosis Emboli Paru

SUSPECTED PULMONARY EMBOLISM

VENTILATION- PERFUSION SCAN

NORMAL SCAN HIGH PROPABILITY SCAN

CONSIDER OTHER DIAGNOSIS NON DIAGNOSTIC SCAN PULMONARY EMBOLISM

LOW OR MODERATE CLINICAL SUSPICION, HIGH CLINICAL SUSPICION LOW


ADEQUATE CARDIO-PULMONARY RESERVE CARDIO-PULMONARY RESERVE

NON-INVASIFE BILATERAL LOWER EXTERMITAS


EVALUATION (US, IRP, MRI)
PULMONARY ANGIOGRAPHY

ABNORMAL RESULT

PULMONARY EMBOLISM NORMAL RESULT ABNORMAL STUDY NORMAL STUDY

LOW CLINICAL SUSPICION MODERATE CLINICAL SUSPICION PULMONARY EMBOLISM

NORMAL SERIAL US OR IPG OVER PULMONARY EMBOLISM


RESULT 1 14 DAY PERIOD RULED OUT

ABNORMAL RESULT
CONSIDER OTHER
DIAGNOSIS
ANTI COAGULATION

Dikutip dari Tanios MA. 2001

DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Keluhan dan gejala emboli paru umumnya tidak spesifik, gambaran klasik seperti
sesak,nyeri dada, hemoptisis dan hipotensi sulit dibedakan dengan penyakit lainnya.

10
Diagnosis diferensial emboli paru meliputi pneumonia atau bronchitis, asma, PPOK
eksaserbasi akut, infark miokard, edema paru, pericardial tamponade, keganasan paru,
pneumotorak, kostokondritis, nyeri muskuloskeletal dan kecemasan.

Tabel 3. Diagnosis diferensial emboli paru

PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan Emboli Paru adalah untuk mengurangi simptom,
mencegah kematian, mengurangi risiko timbulnya hipertensi pulmonal kronik, dan
mencegah kekambuhan.

Terapi Suportif
Kegagalan sirkulasi akut merupakan penyebab kematian pada Emboli Paru masif
dan ini sebagian besar akibat iskemik ventrikel kanan dan disfungsi diastolik ventrikel
kiri yang akhirnya menyebabkan gagal ventrikel kiri(Torbicki,2000).
Beberapa penelitian eksperimental mengindikasikan loading cairan. Mercat dkk
mengobservasi adanya peningkatan indeks kardiak setelah pemberian cairan 500 ml
Dextran40 pada 13 penderita Emboli Paru akut yang normotensi dan dengan indeks
kardiak rendah. Pada penelitian selanjutnya disimpulkan ada hubungan terbalik antara
peningkatan indeks kardiak dengan RV end diastolic index. Dari semua penelitian ini,

11
disimpulkan bahwa challenge cairan 500 ml signifikan meningkatkan indeks kardiak
penderita emboli paru dengan indeks kardiak rendah dan normotensi.
Dopamin dan dobutamin dapat diberikan pada penderita Emboli Paru dengan
indeks kardiak rendah dan tekanan darah normal. Dopamin dan dobutamin dapat
meningkatkan curah jantung dan menurunkan resistensi vascular pulmoner. Jardin dkk,
mendapatkan peningkatan 35% indeks kardiak tanpa adanya perubahan yang signifikan
pada denyut jantung, tekanan arteri sistemik, dan mean PAP. Pada grup yang sama
didapatkan 57% peningkatan kardiak output, 12% peningkatan denyut jantung, dan 53%
peningkatan Pulmonary Arterial Pressure (PAP) .
Hipoksemia dan hipokapnia dapat dijumpai pada penderita Emboli Paru. Keadaan
hipoksia dapat diatasi dengan pemberian oksigen nasal fraksi tinggi. Bila ventilasi
mekanis diperlukan, perlu perhatian terhadap efek hemodinamik. Tekanan positif
intratorasik akan menginduksi venous return dan memperberat gagal ventrikel kanan
terutama pada penderita Emboli Paru masif .

Terapi Trombolitik
Trombolitik merupakan terapi lini pertama emboli paru masif, sehingga
trombolitik harus diberikan pada seluruh penderita emboli paru masif kecuali ada kontra
indikasi absolut. Meningkatnya afterload di RV pada Emboli Paru masif dapat
menimbulkan gagalnya RV, hipotensi sistemik, dan shock. Trombolitik bermanfaat pada
tahap ini. Pada hipertensi pulmonal dan cardiac output yang rendah akibat Emboli Paru,
trombolitik dapat menurunkan 30% mean PAP, dan meningkatkan 15 % indeks kardiak
pada dua jam setelah pemberian. Pada 72 jam setelah pemberian, trombolitik dapat
menurunkan 40% mean PAP, meningkatkan 80% indeks kardiak, dan juga dilaporkan
secara signifikan dapat mengurangi area mean RV end diastolic setelah 3 jam pemberian.
Thrombolitik juga dapat lebih cepat mengurangi obstruksi vascular pulmonal bila
dibandingkan dengan heparin. Pada PAIMS 2 study, 100 mg recombinant tissue
plasminogen activator (rt PA) dapat mengurangi obstuksi vascular dalam 2 jam, dimana
hal ini tidak terdapat pada heparin. Pada 24 jam setelah pemberian rtPA tampak
pengurangan obstruksi 35% dan pada heparin hanya 5 %. Namun tidak ada perbedaan
pada kedua group setelah 7 hari pemberian .

12
Beberapa obat trombolitik yang dipakai pada penelitian klinik (rtPA,
streptokinase, dan urokinase) tidak menunjukkan perbedaan dalam hal mortalitas, hanya
berbeda dalam hal efficacy dan safety hemodinamik. Dua jam 100 mg rtPA lebih cepat
memperbaiki hemodinamik bila dibandingkan dengan 4400 IU/kg/jam selama 12-24 jam
urokinase, dan juga rtPA 0,6 mg/kg dalam 15 menit lebih cepat bila dibandingkan dengan
1,5 juta U streptokinase.
Trombolitik juga mempunyai risiko. Perdarahan hebat timbul pada 14 % dari
penderita Emboli Paru yang diterapi dengan trombolitik setelah angiografi pulmonal.
Tempat venous puncture angiografi merupakan sumber perdarahan terbesar (36-45%).
Perdarahan intrakranial 1-9 %. Data komplikasi perdarahan trombolitik pada test non
invasif sangat terbatas, tetapi dua penelitian melaporkan tidak ada perdarahan .

Terapi Antikoagulan
Konsesus Konferensi Amerika Utara ke 5 mengenai Trombosis dan obat
antithrombotik, April 1998 merekomendasikan penderita DVT atau Emboli Paru harus
diterapi dengan suatu dosis heparin yang cukup hingga memperpanjang aPTT sampai
level heparin plasma 0,3 0,6 antiXa IU (aPTT 1,5-2,5) yang dapat ditentukan dengan
assay amidolitik. LMWH dapat menggantikan UFH pada pengobatan Emboli Paru stabil,
dan tidak direkomendasikan untuk Emboli Paru massif .
Terapi awal dari intensif antikoagolan heparin, i.v bolus 5000-10.000 IU yang
diikuti dengan infus i.v kontinyu yang disesuaikan dengan berat badan, tetapi dosisnya
tidak boleh kurang dari 1250 IU hingga mencapai aPTT 1,5-2,5 yang diukur setelah 4-6
jam pemberian infuse awal heparin. Monitoring jumlah trombosit sangat penting untuk
mencegah efek samping dari heparin. Risiko perdarahan hebat timbul sekitar 1-5%,
meningkat pada usia diatas 70 tahun dan pada peningkatan dosis heparin .
Low molecular weight heparin (LMWH) mempunyai efikasi dan safety dua kali
lebih besar dibanding heparin, namun keduanya tidak ada perbedaan yang bermakna
dalam angka rekurensi, perdarahan dan mortalitas seperti yang dilaporkan COLUMBUS
study.
Warfarin merupakan pilihan antikoagulan terapi jangka panjang pada penderita
Emboli Paru, mempunyai efficacy yang tinggi dalam menurunkan risiko rekurensi EP

13
(80-90%). Target INR untuk terapi EP adalah 2-3, dan tingginya intensitas warfarin (INR
3,1 4) tidak lebih superior bila dibandingkan dengan INR standart (INR 2-3) dalam
mencegah rekurens pada penderita resiko tinggi, termasuk pada sindrom antiphospolipid.
Warfarin menyebabkan perdarahan hebat sekitar 0,5-2,5 % dan intrakranial atau
perdarahan yang fatal sekitar 0,1-0,2% per tahun. Risiko perdarahan ini meningkat
dengan meningkatnya umur dan INR, kondisi komorbid, bersamaan dengan terapi
antiplatelet, dan faktorgenetik seperti polimorfis sistem sitokrom P450 ..
Fondaparinux (Arixtra, GlaxoSmithKline) merupakan sintesis pentasakarida,
dapat diberikan pada penderita Emboli Paru sekali sehari subkutan. Fondapirux ini tidak
menyebabkan heparin induced thrombocytopenia (HIT) karena tidak berikatan dengan
latelet atau platelet factor 4. Tidak membutuhkan laboratorium monitoring dalam hal
memprediksi efek antikoagolannya. Trial randomized yang besar menunjukkan
fondaparinux aman dan efektif sebagai terapi awal Emboli Paru .
Ximelagatran (Exanta ) merupakan oral direct thrombin inhibitor, dapat diberikan
2x sehari pada penderita Emboli Paru. Metabolismenya menjadi metabolit melagatran
yang aktif diekskresikan melalui ginjal. Tidak seperti warfarin, ximelagatran mempunyai
potensial yang rendah dalam interaksi obat, dan tidak membutuhkan monitoring
laboratorium untuk memprediksi efek antikoagulannya pada penderita dengan fungsi
ginjal yang normal. Suatu trial randomized yang besar menunjukkan insiden yang sama
dalam hal terjadinya rekurens trombosis dan perdarahan pada penderita yang diterapi
dengan ximelagatran dibanding dengan enoxaparin yang diberi dalam 5 hari dan diikuti
dengan warfarin, dan penurunan yang signifikans rekuren trombosis pada penderita yang
diterapi dalam 18 bulan dibanding plasebo .

Terapi Bedah
Terapi bedah (embolektomi pulmoner) dilakukan pada penderita dengan kontra
indikasi terapi trombolitik, gagal dengan terapi trombolitik dan penderita dengan resiko
kematian yang tinggi akibat emboli paru yang rekuren.
Pemasangan filter vena kava inferior dikerjakan secara rutin untuk penderita
emboli paru dengan trombosis vena dalam tungkai dan kontra indikasi atau gagal dengan
pengobatan anti koagulan. Pendapat ahli saat ini tentang penggunaan filter kurang

14
menggembirakan. Studi acak pertama kali dipublikasikan tahun 1998, menyatakan bahwa
filter hanya efektif pada 12 hari pertama, tidak terjadi perbaikan angka mortaliti dan
rekuren trombosis vena dalam tungkai dalam 2 tahun lebih tinggi pada kelompok filter.

RINGKASAN
Emboli paru merupakan masalah besar kesehatan dunia, dengan angka kesakitan
dan kematian cukup tinggi mencapai 30 % jika tidak diterapi.
Emboli paru biasanya berasal dari trombus yang terdapat pada sistem vena dalam
ekstremitas bawah. Setelah sampai diparu, trombus yang besar tersangkut di bifurkasio
arteri pulmonalis atau bronkus lobaris, dan menimbulkan gangguan hemodinamik.
Trombus kecil menyumbat pembuluh darah kecil di perifer paru, dan menimbulkan nyeri
dada pleuritik.
Diagnosis emboli paru sangat sulit, karena gejala klinis yang tidak khas dan
banyaknya diagnosis diferensial. Beberapa teknik diagnostic yang dapat dilakukan untuk
mendiagnosis emboli paru adalah pemeriksaan laboratorium (analisa gas darah, D-
dimer), Elektrokardiografi, foto torak, ekokardiografi, ventilation-perfution scanning,
Spiral CT-scan, MRI, dan Angiografi pulmonal. Angiografi pulmonal merupakan tes
diagnostik yang paling mendekati untuk emboli paru.
Tujuan penatalaksanaan emboli paru adalah untuk mengurangi simptom,
mencegah kematian, mengurangi risiko timbulnya hipertensi pulmonal, dan mencegah
kekambuhan.

KEPUSTAKAAN
1. Cambell I A et al 2005. British thoraccic society guidelines for The management
of suspected acute pulmonary embolism. Thorax 58, 470-484.
2. Colucciello SA 2005. Pulmonary embolism : Etiology and clinical features. EMR
textbook, 1568-87.
3. Dwivedi S et al 2005. Role of echocardiography in suspected acute pulmonary
embolism in a patient with normal hemodynamics : A case report with literature
review. Kuwait Medical Journal 37 (2), 125-126.

15
4. Fedullo FP et al 2003. The Evaluation of suspected pulmonary embolism. N Engl
J Med 349 (13), 1247-56.
5. Goldhaber ZS 1998. Pulmonary embolism. N Engl J Med 339(2),93-104.
6. Goldhaber ZS 2002. Thrombolisis for pulmonary embolism. N Engl J Med 347
(15),1131-32.
7. Gossage JR 2002. Early intervention in massive pulmonary embolism. Post
Graduate Med 111(3), 27-50.
8. Hamlin KS 1999. Diagnosis and treating pulmonary thromboembolism.
ISPUB.com 3 (2),33-66.
9. IIes S et al 2003. Making a diagnosis of pulmonary embolism-new methods and
clinical issues. NZMJ 116(1177),1-7.
10. Kearon C 2003. Diagnosis of pulmonary embolism. CMAJ 168 (2),2829-36.
11. Lee HC et al 2005. Venous thromboembolism : Diagnosis and management of
pulmonary embolism. MJA 182(11),569-574.
12. Meaney FMJ et al 1997. Diagnosis of pulmonary embolism with magnetic
resonance angiography. N Engl J Med 336 (20), 1422-1427.
13. McFadden MP et al 2005. A History of diagnosis and treatment of venous
thrombosis and pulmonary embolism. The Oshsner Juornal 4 (1), 9-13.
14. Pieri P 2003. Diagnosis and management of pulmonary embolism. JCSMR March
31,1125-43.
15. Riedel M 2001. Venous thromboembolic disease. Heart 85,229-240.
16. Riedel M 2004. Diagnosing pulmonary embolism. Postgraduate Med J 80, 309-
319.
17. Sharma S 2005. Pulmonary embolism. eMedicine July 25, 1-51.
18. Torbicky A et al 2000. Task force report guidelines on diagnosis and management
of acute pulmonary embolism. Eur Heart J 2000 (21), 1301-1336.
19. Thomas MD et al 2000. Pulmonary embolism an update on thrombolytic
therapy. Q J Med 93, 261- 267.
20. Tanios M.A, Simon A.R, Hassan P.M, 2001. Management of venous
thromboembolitic disseases. Chest Medicine 22, 105-22.

16
17

Anda mungkin juga menyukai