Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam
parenkim paru pada satu lobus atau lebih.

Abses paru sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dan umumnya
terjadi pada pasien usia lanjut karena terdapat peningkatan insidens penyakit
periondontal dan peningkatan prevalensi aspirasi. Kemajuan ilmu kedokteran saat
ini menyebabkan kejadian abses paru menurun (jarang ditemukan) karena adanya
perbaikan risiko terjadinya abses paru seperti teknik operasi dan anastesi yang
lebih baik dan penggunaan antibiotik lebih dini, kecuali pada kondisi-kondisi yang
memudahkan terjadinya aspirasi pada populasi dengan immunocompremised.

Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya abses


paru. Beberapa penelitian menyimpulkan beberapa faktor terkait pendorong
terjadinya abses paru, diantaranya para pecandu alkohol, penderita karies gigi,
aspirasi saluran pernafasan sampai kelainan saluran pernafasan. Kuman atau
bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi.

Untuk melihat lokasi dan bentuk lesi maka dilakukan pemeriksaan radiologik
sebagai pemeriksaan penunjang abses paru. Pemeriksaan radiologik yang akan
digunakan antara lain Foto polos, Ultrasonografi (USG) dan Magnetik Resonance
Imaging (MRI). Pada pemeriksaan foto polos sangat membantu untuk melihat
lokasi lesi dan bentuk abses paru.

Antibiotik tunggal tidak menghasilkan hasil yang memuaskan kecuali pus bisa
di drainase dari kavitas abses. Pada kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi
melalui cabang bronkus, dengan produksi sputum purulen. Hal ini mungkin
terbantu melalui drainase postural.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.I. DEFINISI ABSES PARU


Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus)
dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Kavitas ini berisi material
purulen sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi.
Abses paru Primer adalah akibat pneumonia aspirasi atau bronkogenik
Abses paru Sekunder adalah infeksi yang terjadi pada orang yang sebelumnya
sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkiektasis, dan gannguan
imunitas.

2.2. ETIOLOGI ABSES PARU


Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme yaitu:
a. Kelompok bakteri anaerob, biasanya disebabkan oleh pneumonia
aspirasi:
- Bacteriodes melaninogeneus
- Bacteriodes fragilis
- Peptostreptococcus species
- Bacillus intermedius
- Fusobacterium nucleatum
- Microaerophilic streptococcus
b. Kelompok bakteri aerob:
Gram positif : sekunder oleh sebab selain aspirasi
- Staphylococcus aureus
- Streptococcus microaerophilic
- Streptococcus pyogenes
- Streptococcu pneumonia

2
Gram negatif : biasanya merupakan sebab nosokomial
- Klebsiella pneumoniae
- Pseudomonas aeruginosa
- Escherichia coli
- Haemophilus Influenzae
- Actinomyces Species
- Nocardia Species
- Gram negatif bacilli
c. Kelompok :
- Jamur : Aspergillus spp, Mucoraceae, Histoplasma capsulatu,
Pneumocystis carinii, Coccidioide, Pneumocystis carinii,
Coccidioides.
- Parasit : Entamoeba histolytical, Paragonimus westermani,
Stronglyoides stercoralis.
- Mikobakterium
Prevalensi tertinggi berasal dari infeksi saluran pernapasan dengan
mikroorganisme penyebab umumnya berupa campuran dari bermacam-macam
kuman yang berasal dari flora mulut, hidung, dan tenggorokan.
Faktor predisposisi terjadinya abses paru :

Predisposisi Aspirasi Orofaring


Ganguan kesadaran - Alkoholisme
- penyalahgunaan obat intravena
- Epilepsi
- anastesi umum
- gangguan serebrovaskular
- Trauma
ganguan inervasi otot - Faring
- Laring
- Esofagus
Infeksi nasal - penyakit sinus
Infeksi oral - caries gigi
- penyakit gingival
Infeksi farigeal - Pouch
Infeksi - Striktur
Trakeoesofageal - fistula trakeoesofageal

3
2.3. PATOFISIOLOGI ABSES PARU
1. Patologi
Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi kemudian
menimbulkan proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang pertama
dimulai dari supurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang menimbulkan
nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi terjadi mengelilingi
abses, melokalisir proses abses dengan jaringan fibrotik.
Seiring dengan membesarnya fokus supurasi, abses akhirnya akan pecah
ke saluran nafas. Oleh karena itu, eksudat yang terkandung di dalamnya
mungkin keluar sebagian, menghasilkan batas udara-air (air-fluid level) pada
pemeriksaan radiografik Abses yang pecah akan keluar bersama batuk
sehingga terjadi aspirasi pada bagian lain dan akhirnya membentuk abses paru
yang baru. Kadang-kadang abses pecah ke dalam rongga pleura dan
menghasilkan fistula bronkopleura, yang menyebabkan pneumotoraks atau
empiema.
2. Patofisiologi
Terjadinya abses paru disebutkan sebagai berikut:
a. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada
penderita dengan faktor predisposisi. bakteri mengadakan
multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan proses nekrosis.
Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid level
bakteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga
dengan penyebaran hematogen (septik emboli) atau dengan proses
abses ditempat lain (nesisitatum) misalnya abses hepar. Abses hepar
bakterial atau amubik bisa mengalami ruptur dan menembus
diafragma yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah
kanan dan rongga pleura.
b. Abses bisa mengalami ruptur kedalam bronkus, dengan isinya
diekspektorasikan keluar dengan meninggalkan kavitas yang berisi
air dan udara. Kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura

4
sehingga terjadi empiema yang bisa diikuti dengan terjadinya fistula
bronkopleura.
c. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlanjut sampai
proses pembentukan abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi
karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat pada
aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai
juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limphe
peribronkial.
d. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker
bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai
pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila
terjadi infeksi dapat terbentuk abses.

5
Aspirasi berulang, proses lanjut
pneumonia inhalasi bakteria.

Kerusakan parenkim paru

Proses peradangan

Demam Ujung Saraf Paru Pembentukan Jaringan granulasi

Nyeri tekan lokal Nekrosis

Difusi ventilasi Produksi sputum


terganggu berlebihan

Kadar O2 Menurun Terbentuk gangren pada


jaringan paru

Kelemahan fisik Gangguan


- Badan terasa lemas. pertukaran gas
- Tidak nafsu makan Sputum akan berbau amis
- Penurunan berat badan

Reflek Batuk

Bersihan Jalan
Nafas

6
2.4. GAMBARAN KLINIS ABSES PARU

1. Gejala klinis
Gejala penyakit timbul satu sampai tiga hari setelah aspirasi. Gejalanya
menyerupai pneumonia pada umumnya, diantaranya :

a. Panas badan

Dijumpai berkisar 70% - 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai


dengan temperatur 39,40C atau lebih disertai menggigil.

b. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan


rongga abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat
dengan bau busuk yang khas.

c. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai


berkisar 40 75% penderita abses paru.

d. Nyeri dada ( 50% kasus)

e. Batuk darah ( 25% kasus)

f. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan


berat badan. Jari tabuh dapat timbul dalam beberapa minggu
terutama bila drainase tidak baik.
Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak/akut. Disebut abses
akut bila terjadinya kurang dari 4-6 minggu. Umumnya pasien mempunyai
riwayat perjalanan penyakit 1-3 minggu dengan gejala awal adalah badan
terasa lemah, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, batuk kering,
keringan malam, demam intermitten bisa disertai menggigil dengan suhu
tubuh mencapai 39,4oC atau lebih. Tidak ada demam tidak menyingkirkan
adanya abses paru. Setelah beberapa hari dahak bisa menjadi purulen dan bisa
mengandung darah.

7
Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan abses
tersebut menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum dalam
beberapa jam sampai dengan beberapa hari yang bisa mengandung jaringan
paru yang mengalami ganggren.

Sputum yang berbau amis dan bewarna anchovy menunjukan penyebabnya


bakteri anaerob dan disebut dengan putrid abscesses, tetapi tidak
didapatkannya sputum dengan ciri di atas tidak menyingkiran kemungkinan
infeksi anaerob. Bila terdapat nyeri dada menunjukan keterlibatan pleura.
Batuk darah bisa dijumpai, biasanya ringan tetapi ada yang massif. Dijumpai
sesak yang disebabkan oleh adanya pus yang menumpuk menutupi jalan
napas. Abses paru juga menunjukkan gejala anemia yang disebabkan oleh
kurangnya asupan akibat penurunan nafsu makan, namun lebih sering
disebabkan oleh perdarahan pada saluran napas khususnya pada hemoptisis
massif.

Pada beberapa kasus penyakit berjalan sangat akut dengan mengeluarkan


sputum yang berjumlah banyak dengan lokasi abses biasanya di segmen apikal
lobus atas. Seringkali ditemukan adanya faktor predisposisi seperti disebutkan
di atas. Sedangkan abses paru sekunder seperti yang disebabkan oleh septic
emboli paru dengan infark, abses sudah bisa timbul hanya dalam waktu 2-3
hari.

Pemeriksaan fisis yang ditemukan adalah suhu badan meningkat sampai


40oC, pada paru ditemukan kelainan seperti nyeri tekanan lokal, pada daerah
terbatas perkusi terdengar redup dengan suara napas bronkial. Bila abses luas
dan letaknya dekat dengan dinding dada kadang-kadang terdengar suara
amforik. Suara napas bronkial atau amforik terjadi bila kavitasnya besar dan
karena bronkus masih tetap dalam keadaan terbuka disertai oleh adanya
konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang baik. Biasanya juga akan
terdengar suara ronkhi.

8
Bila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks
(empiema torakis) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan
dinding dada tertinggal pada tempat lesi, fremitus vocal menghilang, perkusi
redup/pekak, bunyi napas mengilang dan terdapat tanda-tanda pendorongan
jantung ke arah kontra lateral tempat lesi. Pada abses paru bisa dijumpai jari
tubuh, yang proses terjadinya berlangsung cepat.

2.5. DIAGNOSIS ABSES PARU

Diagnosis abses paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis


dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
banding yang lain dengan gejala yang hampir menyerupai abses paru.

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai kelainan seperti nyeri tekan lokal,
tanda-tanda konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara bronchial dengan
ronki basah atau krepitasi di tempat abses, mungkin ditambah dengan tanda-
tanda efusi pleura.
Apabila abses luas dan letaknya dekat dengan dinding dada kadang-
kadang terdengar suara amforik, suara nafas bronchial atau amforik terjadi bila
kavitasnya besar dan karena bronkus masih tetap dalam keadaan terbuka
disertai oleh adanya konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang baik.

1. Apabila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks
(empiema toraks) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan
dinding dada tertinggal di tempat lesi, fremitus vocal menghilang, perkusi
redup/pekak, bunyi nafas menghilang, dan terdapat tanda-tanda
pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung kearah
kontralateral tempat lesi.
2. Keluhan penderita yang khas seperti malaise, demam ringan sampai
demam tinggi, batuk purulen dengan sputum berbau amis dan penurunan
berat badan.
3. Riwayat penyakit sebelumnya seperti infeksi saluran nafas atas, infeksi
gigi, serangan epilepsi, dan penurunan kesadaran berkaitan dengan sedasi.

9
4. Pemeriksaan labaratorium. Peningkatan jumlah leukosit yang umumnya
mencapai 10.000-30.000/mm3. Anemia dapat ditemukan pada abses paru
yang lama.
5. Bronkoskopi dengan biopsi sikatan yang terlindung dan bilasan bronkus
merupakan cara diagnostik yang paling baik dengan akurasi diagnostik
bakteriologi melebihi 80%. Cara ini hendaknya dilakukan pada pasien
AIDS sebelum dimulai pengobatan karena banyaknya kuman yang terlibat
dan sulit diprediksi secara klinis. Selain itu 10%-25% dari penyebab abses
paru pada orang dewasa adalah karsinoma bronkogenik, dan 60%
diantaranya dapat didiagnosa dengan memakia bronkoskopi.
6. Aspirasi Jarum Perkutan, merupakan cara dengan akurasi yang tinggi
untuk melakukan diagnosis bakteriologis, dengan spesifisitas melebihi
aspirasi transtrakeal.

2.5.1. LABORATORIUM
1. Pada pemeriksaan darah didapatkan LED meningkat > 58 mm / 1 jam,
leukositosis (10.000-30.000/mm3). Bila abses berlangsung lama sering
ditemukan adanya anemia.
2. Pemeriksaan sputum dapat membantu dalam menemukan mikroorganisme
penyebab abses, namun sputum tersebut hendaknya diperoleh dari aspirasi
transtrakeal, transtorakal, atau bilasan/sikatan bronkus, karena sputum
yang dibatukkan akan terkontaminasi dengan organisme anaerob normal
pada rongga mulut dan saluran napas atas. Prosedur invasif ini tidak biasa
dilakukan, kecuali bila respon terhadap antibiotik tidak adekuat.

10
2.5.2. RADIOLOGI

A. Foto Thorax

Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan
bentuk abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya
menggambarkan gambaran opak dari satu ataupun lebih segmen paru, atau hanya
berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat. Kemudian akan
ditemukan gambaran radiolusen dalam bayangan infiltrat yang padat.

Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga terjadi


drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, maka akan tampak kavitas
irregular dengan batas cairan dan permukaan udara (air-fluid level) di dalamnya.
Kavitas ini berukuran 2 20 cm. Gambaran spesifik ini tampak dengan mudah
bila kita melakukan foto dada PA dengan posisi berdiri. Khas pada paru anaerobik
kavitasnya singel (soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi paru primer,
sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nosokomial atau hematogen) lesinya
bisa multipel.

Posisi Posterior-Anterior (PA) :


Terdapat area berbatas tegas transparan di lobus kiri atas (panah putih). Kavitas
diisi oleh cairan dan udara (air-fluid level) (panah hitam).

11
Posisi Lateral : Kavitas terlihat di lobus kiri atas dengan udara dan cairan
didalamnya (panah putih).

Seorang pasien 54 tahun dengan batuk berdahak yang berbau busuk.


Tampak abses paru pada lobus kiri bawah di segmen superior.

B. CT- Scan
CT-Scan adalah modalitas pencitraan yang paling sensitif dalam
menegakkan diagnosis abses paru. Kontras yang diberikan adalah
kontras yang dapat bercampur dengan perselubungan disekitar lesi
sehingga batas margin dapat diidentifikasi.

Gambaran khas CT-Scan abses paru adalah berupa lesi dens bundar
dengan kavitas berdinding tebal, tidak teratur, dan terletak di daerah
jaringan paru yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru
berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau
berpindah letak.

12
Gambaran CT scan contrast-enhanced axial menunjukkan lesi kavitas yang
besar di lobus bawah kiri dengan dinding yang relatif tebal (black arrow). Kavitas
memiliki batas dalam yang halus dan air-fluid level (white arrow). Terdapat reaksi
inflamasi pada sekitar paru-paru (yellow arrow). Terlihat adanya sudut lancip
dengan dinding posterior dada.

C. Utrasound
Pemeiksaan USG jarang dianjurkan pada pasien dengan abses paru.
Namun, USG juga dapat mendeteksi abses paru. tampak lesi hipoechic
bulat dengan batas luar. Apabila terdapat kavitas, didapati adanya
tambahan tanda hiperechoic yang dihasilkan oleh gas-tissue interface.

Terletak dekat dengan dinding thoraks, proses di dalam paru kira-kira sebesar
2,5x2x2 cm (pointed angle between pleura and process) dengan dinding
membran. Setelah pengobatan, hanya terdapat sisa gambaran hipoechoic di
tempat abses sebelumnya (setelah beberapa minggu)

13
2.6. DIAGNOSIS BANDING ABSES PARU
1. Karsimoma bronkogenik yang mengalami kavitasi.
Pada penyakit ini biasanya dinding kavitas tebal dan tidak rata. Diagnosis
pasti dengan pemeriksaan sitologi/patologi.

2. Tuberkulosis
Gejala klinisnya hampir sama atau lebih menahun daripada abses paru.
Pada tuberculosis didapatkan BTA. Pada penyakit aktif, dapat dijumpai
gambaran bercak-bercak berawan dan kavitas, sedangkan pada keadaan
tidak aktif dapat dijumpai kalsifikasi yang berbentuk garis.

Gambar 4. Gambaran tuberculosis, terlihat proses terbentuknya


kavitas.Kavitas pada tuberculosis umumnya terletak di lapangan paru atas.

14
Gambar 5. Kavitas pada tuberculosis tanpa disertai air fluid level
3. Empiema

Empiema yang terlokalisir dan disertai dengan fistula bronkopleura akan


sulit dibedakan dengan abses paru. Gambaran empiema karakteristik, yaitu
tampak pemisahan pleura viseral dan parietal (pleura split) dan
kompresi paru. CT-Scan dapat menunjukkan lokasi abses berada dalam
parenkim paru yang membedakannya dengan empiema.

Potongan coronal dada pada gambar CT menunjukkan adanya lesi pada


lobus atas kanan dengan internal air-filled cavity, dinding tebal tidak
beraturan (panah warna hijau) dan lesi lain di sebelah bawah paru kiri
dengan internal fluid, dinding tipis (panah warna kuning) kompresi pada
lapangan paru (panah kuning dan kotak). Lesi pada bagian atas paru kanan
adalah abses paru dan pada bagian bawah paru kiri adalah empyema

15
2.7. PENATALAKSANAAN ABSES PARU

Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya


dari patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang adekuat
dari empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi.

- Pasien abses paru memerlukan istirahat yang cukup.


- Bila abses paru pada foto thorax menunjukkan diameter 4 cm atau lebih
sebaiknya pasien dirawat inap.
- Posisi berbaring pasien hendaknya miring dengan paru yang terkena abses
berada di atas supaya gravitasi drainase lebih baik. Bila segmen superior
lobus bawah yang terkena, maka hendaknya bagian atas tubuh
pasien/kepala berada di bagian terbawah (posisi trendelenberg).
- Diet biasanya bubur biasa dengan tinggikalori tinggi protein. Bila abses
telah mengalami resolusi dapat diberikan nasi biasa.

Penyembuhan sempurna abses paru tergantung dari pengobatan antibiotik


yang adekuat dan diberikan sedini mungkin segera setelah sampel dahak dan
darah diambil untuk kultur dan tes sensitivitas. Kebanyakan kasus abses paru
yang disebabkan bakteri anaerob kumannya tidak dapat ditentukan dengan
pasti, sehingga pengobatan diberikan secara empirik. Kebanyakan pasien
mengalami perbaikan hanya dengan antibiotik dan postural drainage,
sedangkan kira-kira 10% harus dilakukan tindakan operatif.

Antibiotik yang paling baik adalah klindamisin oleh karena mempunyai


spektrum yang lebih baik pada bakteri anaerob.

- Klindamisin mula-mula diberikan dengan dosis 3 x 600 mg intravenous,


kemudian 4 x 300 mg oral/hari.
- Regimen alternatif adalah penisilin G 2-10 juta unit/hari, ada yang
memberikan sampai dengan 25 juta unit atau lebih/hari dikombinasi
dengan streptomisin.

16
- Kemudian dilanjutkan dengan penisilin oral 4 x 500-750 mg/hari.

Antibiotik parenteral diganti ke oral bila pasien tidak panas lagi dan merasa
sudah baikan. Kombinasi penisilin 12-18 juta unit/hari dan metronidazol 2
gram/hari dengan dosis terbagi (untuk penyebab bakteri anaerob) yang
diberikan selama 10 hari dikatakan sama efektifnya dengan klindamisin,
walaupun begitu harus diingat bahwa beberapa bakteri anaerob seperti
Prevotella, Bakterioides Spp. dan Fusobacterium karena memproduksi -
laktamase, resisten terhadap penisilin.

Kombinasi -laktam dan -laktamase inhibitor seperti tikarkilinklavulanat,


amoksisilin + asam klavulanat atau piperasilin + tazobaktam juga aktif
terhadap kebanyakan bakteri anaerob dan pada kebanyakan strain basil gram
negatif. Kombinasi ini biasanya digunakan pada pasien dengan sakit yang
serius dan pasien abses paru nosokomial.

Dosis pengobatan tunggal metronidazol (flagyl) diberikan dengan dosis

- 15 mg/kgBB intravenous dalam waktu lebih dari 1 jam


- kemudian diikuti 6 jam kemudian dengan infus 7,5 mg/kgBB 3-4 x/hari,

Tetapi pengobatan tunggal dengan metronidazol ini tidak dianjurkan karena


beberapa anaerobic cocci dan kebanyakan microaerophilic streptococci sudah
resisten.

Pengobatan terhadap penyebab patogen aerobik kebanyakan dipakai


klindamisin + sefalosporin. Cefoksitin 3-4 x 2 gram/hari intravena yang
merupakan generasi kedua sefalosporin, aktif terhadap bakteri gram positif,
gram negatif resisten penisilinase dan bakteri anaerob, diberikan bila abses
paru tersebut diduga disebabkan oleh infeksi polimikrobial.

Kemudian antibiotik diberikan sesuai dengan hasil tes sensitifitas. Abses


paru yang disebabkan Staphylococcus harus diobati dengan penicillinase-
resistantpenicillin atau sefalosporin generasi pertama, sedangkan untuk

17
Staphylococcus aureus yang methicillin resistant seperti yang disebabkan
oleh emboli paru septik nosokomial, pilihannya adalah vankomisin.

Abses paru yang disebabkan oleh nocardia pilihannya adalah

- Sulfonamid 3 x 1 gram oral.


- Abses paru amubik diberikan metronidazol 3x 750 mg
- Sedangkan bila penyakitnya serius seperti terjadi ruptur dari abses harus
ditambahkan emetin parentral pada 5 hari pertama.

Antibiotik diberikan sampai dengan pneumonitis telah mengalami resolusi


dan kavitasnya hilang, tinggal berupa lesi sisa yang kecil dan stabil dalam
waktu lebih dari 2-3 minggu. Resolusi sempurna biasanya membutuhkan
waktu pengobatan 6-10 minggu dengan pemberian antibiotik oral sebagai
pasien rawat jalan. Pemberian antibiotik yang kurang dari waktu ini sering
menyebabkan kekambuhan dengan melibatkan organisme yang resisten
terhadap antibiotik yang diberikan sebelumnya.

Perbaikan klinis berupa berkurang atau hilangnya demam tercapai dalam 3-


4 sampai dengan 7-10 hari. Demam yang resisten menunjukkan kegagalan
pengobatan. Pada kasus begini bila diperiksa lebih lanjut akan ditemukan
adanya obstruksi bronkus oleh benda asing, neoplasma atau disebabkan oleh
infeksi bakteri yang resisten, mikobakteria, parasit atau jamur. Respons yang
lambat atau tidak respons sama sekali juga bisa dijumpai pada beberapa
keadaan yaitu kavitas yang besar (lebih dari 6 cm), keadaan umum pasien yang
jelek, seleksi anti mikrobial yang salah, diagnosa yang salah, ada empiema,
abses yang memerlukan drainase, komplikasi pada organ yang jauh seperti
abses otak.

Bronkoskopi juga mempunyai peranan penting dalam penanganan abses


paru seperti pada kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi obstruksi,
pengeluaran benda asing dan untuk melebarkan striktur. Disamping itu dengan
bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang tidak

18
mengalami drainase yang adekuat, serta dapat diberikannya larutan antibiotik
melewati bronkus langsung ke lokasi abses.

Drainase dengan tindakan operasi jarang diperlukan karena lesi biasanya


respons dengan antibiotik. Bila tidak respons, apalagi bila kavitasnya besar
maka harus dilakukan drainase perkutan untuk mencegah kontaminasi pada
rongga pleura.

Tindakan operasi diperlukan pada kurang dari 10-20% kasus. Indikasi


operasi adalah sebagai berikut:

1. Abses paru yang tidak mengalami perbaikan.


2. Komplikasi: empiema, hemoptisis masif, fistula bronkopleura.
3. Pengobatan penyakit yang mendasari: karsinoma obstruksi
primer/metastasis, pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan
motilitas gastroesopageal, malformasi atau kelainan congenital.

Abses paru yang berkembang cepat antara lain yang terjadi pada pasien
immunocompromised dengan etiologi seperti mucoraceae membutuhkan
reseksi paru dengan segera disamping pemberian antibiotik. Reseksi paru juga
diindikasikan pada abses paru yang responsnya minimal dengan antibiotik,
abses paru dengan ukuran yang besar dengan infark paru.

Lobektomi merupakan prosedur paling sering, sedangkan reseksi


segmental biasanya cukup untuk lesi-lesi kecil. Pneumoektomi diperlukan
terhadap abses multipel gangren paru yang refrakter terhadap penanganan
dengan obat-obatan. Angka mortalitas setelah pneumoektomi mencapai 5%-
10%.

Pasien dengan risiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara dapat
dilakukan drainase perkutan via kateter secara hati-hati untuk mencegah
kebocoran isi abses kedalam rongga pleura.

19
2.8. PENCEGAHAN ABSES PARU

- Perhatian khusus ditujukan kepada kebersihan mulut. Kebersihan mulut


yang jelek dan penyakit-penyakit periodontal bisa menyebabkan
kolonisasi bakteri patogen orofaring yang akan menyebabkan infeksi
saluran napas sampai dengan abses paru.
- Setiap infeksi paru akut harus segera diobati sebaik mungkin terutama
bila sebelumnya diduga ada faktor yang memudahkan terjadinya asapirasi
seperti pasien manula yang dirawat di rumah, batuk yang disertai muntah,
adanya benda asing, kesadaran yang menurun dan pasien yang memakai
ventilasi mekanik.
- Menghindari pemakaian anestesi umum pada tonsilektomi, pencabutan
abses gigi dan operasi sinus para nasal akan menurunkan insiden abses
paru.

2.9. KOMPLIKASI ABSES PARU

Komplikasi lokal meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat


bronkus atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya.

- Abses paru yang drainasenya kurang baik, bisa mengalami ruptur


kesegmen lain dengan kecendrungan penyebaran infeksi staphylococcus,
- Sedangkan yang ruptur ke rongga pleura menjadi piotoraks (empiema).
- Komplikasi sering lain berupa abses otak, hemoptisis massif, ruptur pleura
viseralis sehingga terjadi piopneumotoraks dan fistula bronkopleura.

Abses paru yang resisten (kronik), yaitu yang resisten dengan pengobatan
selama 6 minggu, akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen dan
mungkin akan menyisakan sesuatu bronkiektasis, kor pulmonal, dan
amiloidosis. Abses paru kronik bisa menyebabkan anemia, malnutrisi,
kakeksia, gangguan cairan dan elektrolit serta gagal jantung terutama pada
manula.

20
2.10. PROGNOSIS ABSES PARU

Prognosis abses paru tergantung dari

- Keadaan umum pasien,


- Letak abses serta luasnya kerusakan paru yang terjadi,
- dan Respons yang kita berikan.

Faktor-faktor yang membuat prognosis menjadi jelek adalah kavitas yang


besar (lebih dari 6 cm), penyakit dasar yang berat, status
immunocompromised, umur yang sangat tua, empiema, nekrosis paru yang
progresif, lesi obstruktif, abses yang disebabkan bakteri aerobik (termasuk
Staphylococcus aereus dan basil gram negatif), dan abses paru yang belum
mendapat pengobatan dalam jangka waktu yang lama. Angka mortalitas
pada pasien-pasien ini bisa mencapai 75% dan bila sembuh maka angka
kekambuhan tinggi.

21

Anda mungkin juga menyukai