PENDAHULUAN
1
menemukan penyebab terbanyak kor pulmonal berturut-turut adalah asma
bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit interstisial paru,
bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Menurut penelitian sekitar 80-90%
pasien kor pulmonal mempunyai PPOK dan 25 % pasien dengan PPOK akan
berkembang menjadi kor pulmonal.5
Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi pulmonal menimbulkan tekanan
berlebihan pada ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan kerja
ventrikel kanan yang menyebabkan hipertrofi otot jantung yang normalnya
berdinding tipis, yang akhirnya dapat menyebabkan disfungsi ventrikel dan
berlanjut kepada gagal jantung.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. KOR PULMONAL
2.1. Definisi
Kor pulmonal sering disebut sebagai penyakit jantung paru,
didefinisikan sebagai dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan akibat adanya
penyakit parenkim paru atau pembuluh darah paru.1,2
Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan
ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan
fungsional dan struktur paru, tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung
primer pada jantung kiri dan penyakit jantung kongenital (bawaan).3
Menurut Braunwahl, kor pulmonal adalah keadaan patologis akibat
hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi
pulmonal. Penyebabnya antara lain penyakit parenkim paru, kelainan
vaskuler paru, dan gangguan fungsi paru karena kelainan thoraks, tidak
termasuk kelainan vaskuler paru yang disebabkan kelainan ventrikel kiri,
penyakit jantung bawaan, penyakit jantung iskemik, dan infark miokard
akut.7
3
berdasarkan hasil penyelidikan yang memakai kriteria ketebalan dinding
ventrikel post mortem.6
Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan
menjadi 4 kelompok :
1. Penyakit pembuluh darah paru.
2. Penekanan pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma,
granuloma atau fibrosis.
3. Penyakit neuro muskular dan dinding dada.
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit
Paru Obstruktif Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial dan gangguan
pernafasaan saat tidur.
Penyakit yang menjadi penyebab utama dari kor pulmonal kronis adalah
PPOK, diperkirakan 80-90% kasus.1
2.3. Patogenesis
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah
penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti
emboli paru-paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru-
paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.6
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya
terjadi peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel
kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik
kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan
resistensi vaskuler paru pada arteri dan arteriola kecil.6
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi
vaskuler paru adalah : (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat
adanya hipoksia dan (2) obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-
paru. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang kuat untuk
menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia. Selain itu,
hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos
4
arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia
akut. Asidosis, hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam
menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat
akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh
hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.6
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan
tekanan arteri paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh
kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan
obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah
secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu,
pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena
efek mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan
obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting
vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira duapertiga
sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau
rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna.
Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan
penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat
kelainan perfusi-ventilasi.6 Setiap penyakit paru memengaruhi pertukaran gas,
mekanisme ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan kor
pulmonal.4,6,9
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi
pulmonal dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan
pada parenkim paru, kinerja paru, maupun sistem peredaran darah paru secara
akut maupun kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.9
Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada
paru yang ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada
akhirnya dapat menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru
yang mengakibatkan terjadinya gagal ventrikel kanan dan kematian.
Hipertensi pulmonal dibagi menjadi primer dan sekunder. Hipertensi
pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak disebabkan oleh
5
adanya penyakit jantung, parenkim paru, maupun penyakit sistemik yang
melatarbelakanginya. Hipertensi pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut
hipertensi pulmonal sekunder.10 Hipertensi pulmonal akibat komplikasi
kronis paru (sekunder) didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata tekanan
arteri pulmonal (TAP) istirahat, yakni >20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal
primer angka ini lebih tinggi yakni >25 mmHg. Pada pasien muda (<50
tahun) TAP normalnya berada pada kisaran 10-15 mmHg. Dengan
bertambahnya usia TAP akan meningkat kurang lebih 1 mmHg setiap 10
tahun. Selain dipengaruhi usia TAP juga dipengaruhi oleh aktivitas. Semakin
berat aktivitas maka TAP akan semakin meningkat. Pada aktivitas ringan
TAP dapat meningkat >30 mmHg. Melihat hal tersebut maka pemeriksaan
TAP harus dilakukan saat pasien dalam keadaan istirahat dan rileks.2
Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya
hipertensi pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular.
Ketiganya adalah mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh
darah pulmonal, dan trombosis in situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat
adanya dua faktor yakni gangguan produksi zat-zat vasoaktif seperti, nitric
oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari
mediator vasokonstriktor seperti, endothelin- 1. Dengan diketahuinya
mekanisme tersebut maka pengobatan terhadap hipertensi pulmonal menjadi
lebih terang yakni dengan pemberian preparat nitric oxide, derivat
prostacyclin, antagonis reseptor endothelin-1, dan inhibitor
phosphodiesterase-5.4,10
Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel
kanan dan dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung.
Timbulnya keadaan ini diperberat dengan adanya polisitemia akibat hipoksia
jaringan, hipervolemia akibat adanya retensi air dan natrium, serta
meningkatnya cardiac output. Ketika jantung kanan tidak lagi dapat
melakukan adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbul kegagalan jantung
kanan yang ditandai dengan adanya edema perifer. Jangka waktu terjadinya
6
hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan maupun gagal jantung kanan pada
masing-masing orang berbeda-beda.4,6
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, kor pulmonal dibagi menjadi 5
fase (tabel 1).11
Tabel 1. Fase perjalanan penyakit kor pulmonal
Fase Deskripsi
Fase 1 Pada fase ini belum nampak gejala
klinis yang jelas, selain
ditemukannya gejala awal penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK),
bronkitis kronis, tuberkulosis paru,
bronkiektasis dan sejenisnya.
Anamnesa pada pasien 50 tahun
biasanya didapatkan kebiasaan
banyak merokok.
Fase 2 Pada fase ini mulai ditemukan
tanda-tanda berkurangnya ventilasi
paru. Gejalanya antara lain, batuk
lama yang berdahak (terutama
bronkiektasis), sesak napas, mengi,
sesak napas ketika berjalan
menanjak atau setelah banyak
bicara. Sedangkan sianosis masih
belum nampak. Pemeriksaan fisik
ditemukan kelainan berupa,
hipersonor, suara napas berkurang,
ekspirasi memanjang, ronki basah
dan kering, mengi. Letak
diafragma rendah dan denyut
jantung lebih redup. Pemeriksaan
7
radiologi menunjukkan
berkurangnya corakan
bronkovaskular, letak diafragma
rendah dan mendatar, posisi
jantung vertikal.
Fase 3 Pada fase ini nampak gejala
hipoksemia yang lebih jelas.
Didapatkan pula berkurangnya
nafsu makan, berat badan
berkurang, cepat lelah.
Pemeriksaan fisik nampak sianotik,
disertai sesak dan tanda-tanda
emfisema yang lebih nyata.
Fase 4 Ditandai dengan hiperkapnia,
gelisah, mudah tersinggung kadang
somnolen. Pada keadaan yang berat
dapat terjadi koma dan kehilangan
kesadaran.
Fase 5 Pada fase ini nampak kelainan
jantung, dan tekanan arteri
pulmonal meningkat. Tanda-tanda
peningkatan kerja ventrikel, namun
fungsi ventrikel kanan masih dapat
kompensasi. Selanjutnya terjadi
hipertrofi ventrikel kanan
kemudian terjadi gagal jantung
kanan. Pemeriksaan fisik nampak
sianotik, bendungan vena jugularis,
hepatomegali, edema tungkai dan
kadang asites.
8
Untuk mempermudah pemahaman mengenai patogenesis kor pulmonal,
disediakan ringkasan pada gambar 1.
Hipertensi Pulmonal
kroni
s
Hipertrofi dan dilatasi
ventrikel kanan
Kor pulmonal
2.4. Diagnosis
Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya
hipertensi pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk
menegakkan diagnosis kor pulmonal secara pasti maka dilakukan prosedur
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang
mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun
fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti
dengan hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan
penunjang.
9
2.4.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang
mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas
waktu beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal berupa
pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih banyak
keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan
baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema dan nyeri parut
kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi branchus,
edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul
gagal jantung kanan.
Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena
adanya peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas
paru-paru (fibrosis penyakit paru) atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK).
Nyeri dada atau angina juga dapat terjadi. Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia
pada ventrikel kanan atau teregangnya arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena
rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami arteroslerotik atau terdilatasi
akibat hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejala-
gejala neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan hipoksemia.12
Selanjutnya pada pemeriksaan fisik, kita bisa mendapatkan keadaan
sianosis, suara P2 yang mengeras, ventrikel kanan dapat teraba di parasternal
kanan. Terdapatnya murmur pada daerah pulmonal dan triskuspid dan terabanya
ventrikel kanan merupakan tanda yang lebih lanjut. Bila sudah terjadi fase
dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu juga dapat
ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis,
hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan tanda-tanda
terjadinya overload pada ventrikel kanan.2
2.4.2. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Etiologi kor pulmonal kronis amat banyak dan semua etiologi itu
akan menyebabkan berbagai gambaran parenkim dan pleura yang
mungkin dapat menunjukkan penyakit primernya. Gambaran radiologi
10
hipertensi pulmonal adalah dilatasi arteri pulmonalis utama dan cabang-
cabangnya, meruncing ke perifer, dan lapang paru perifer tampak relatif
oligemia. Pada hipertensi pulmonal, diameter arteri pulmonalis kanan
>16mm dan diameter arteri pulmonalis kiri >18mm pada 93%
penderita. Hipertrofi ventrikel kanan terlihat pada rontgen thoraks PA
sebagai pembesaran batas kanan jantung, pergeseran kearah lateral
batas jantung kiri dan pembesaran bayangan jantung ke anterior, ke
daerah retrosternal pada foto dada lateral.3
Elektrokardiogram
Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat
berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1 S2 S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
11
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet
atau inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada
sadapan prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK
karena adanya hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan
gambaran gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat
membingungkan dengan infark miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi
prematur atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi,
termasuk takikardi atrial paroksismal, takikardi atrial multifokal,
fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat dicetuskan
karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia,
gangguan keseimbangan asam- basa, gangguan elektrolit, serta
penggunaan bronkodilator berlebihan).13
Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan
penegakan diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari
hasil ekokardiografi dapat ditemukan dimensi ruang ventrikel kanan
yang membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal. Pada
gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang “a” hilang,
menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan
12
pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal karena
“accoustic window” sempit akibat penyakit paru.14
2.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk
menurunkan hipertensi pulmonal, mengobati gagal jantung kanan,
meningkatkan kelangsungan hidup, dan mengobati penyakit dasar dan
komplikasinya.1
13
vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel
kanan, (2) terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan
meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak, dan organ vital
lainnya.
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National
Institute of Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) ,
dan 24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan
dengan pasien tanpa terapi oksigen.
Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤
88%, PaO2 55-59 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti,
edema yang disebabkan gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG,
dan eritrositosis hematokrit > 56%.1
Diuretika
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung
kanan. Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan
dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa memicu
peningkatan hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat
terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel
kanan dan curah jantung menurun.1,3,8
Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis
kalsium, agonis alfa adrenergik, ACE-I, dan postaglandin belum
direkomendasikan pemakaiannya secara rutin. Vasodilator dapat
menurunkan tekanan pulmonal pada kor pulmonal kronik, meskipun
efisiensinya lebih baik pada hipertensi pulmonal yang primer.1
Digitalis
Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai
gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi
ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel
normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri
14
yang menurun, digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan.
Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai resiko aritmia.1,3
Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli
akibat disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor
imobilisasi pada pasien.1
2.6. Komplikasi
Komplikasi dari cor pulmonale adalah bisa terjadi syncope, hypoxia, pedal
edema, passive hepatic congestion dan kematian.
2.7. Prognosis
Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari
prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti
"restrictive pulmonary disease", dan kelainan pembuluh darah paru. Forrer
mengatakan penderita kor pulmonal masih dapat hidup antara 5 sampai 17
tahun setelah serangan pertama kegagalan jantung kanan, asalkan mendapat
pengobatan yang baik. Padmavati dkk di India mendapatkan angka antara 14
tahun. Sadouls di Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.3
A. Definisi
15
gas atau partikel beracun. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi pada
beratnya penyakit ini.15
B. Epidemiologi
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan salah satu penyakit
yang menjadi masalah kesehatan global saat ini. Data prevalensi,
morbiditas, dan mortalitas berbeda di tiap negara dan terus mengalami
peningkatan. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya usia harapan
hidup rata-rata masyarakat dan semakin tingginya pajanan terhadap faktor
risiko.15
Jumlah penderita PPOK pada tahun 2006 untuk wilayah Asia
diperkirakan sekitar 56,6 juta dengan prevalensi 6,3%. Di Cina angka
kasus mencapai 38,16 juta jiwa, sedangkan di Indonesia diperkirakan
terdapat 4,8 juta jiwa pasien dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa
meningkat seiring semakin banyaknya jumlah perokok, karena 90%
penderita PPOK adalah perokok atau mantan perokok.15
C. Etiologi
Banyak hal yang dapat menjadi penyebab penyakit paru obstruktif
kronis, diantaranya yaitu :
1. Merokok
16
ml/tahun, tetapi pada pasien PPOK biasanya menurun 60 ml/tahun
atau lebih besar. Sebuah studi menyimpulkan bahwa gangguan fungsi
paru dan perubahan struktural paru sudah muncul pada perokok
sebelum tanda klinis obstruksi muncul.16
2. Faktor Lingkungan
17
menyatakan bahwa defisiensi AAT diwariskan secara autosomal-
kodominan dan keadaan ini menyebabkan emfisema. Defisensi
AAT disebabkan karena mutasi pada gen AAT.16
5. Sindroma Imunodefisiensi
D. Patogenesis
1. Hipotesis Proteinase-antiproteinase
18
emfisema yang digambarkan dengan defisienasi AAT.17 Pasien dengan
defisiensi AAT mengalami mutasi pada gen AAT. Mutasi Z adalah
mutasi paling umum dan mutasi ini menggangu sekresi protein dari
hepatosit. Hasilnya ditandai dengan penuruan level penghambat
serin protease disirkulasi. Dilaporkan bahwa PiZ-α1 AT
cenderung mengalami polimerisasi yang dapat menghambat sekresi
hepatik, menggangu inhibisi elastase netrofil dan menyebabkan
17
inflamasi. Matrix metalloproteinases (MMP) memiliki kemampuan
untuk membelah protein struktural seperti kolagen dan elastin,
sehingga berperan dalam patogenesis PPOK. Peningkatan banyak
Matrix Metalloprotein dilaporkan pada emfisema karena rokok dan 3
MMP (MMP-2, -9, dan 12) mendegradasi elastin Protease lain yang
berperan penting dalam patogenesis PPOK adalah cathapsins S, L
(dalam makrofag), dan G, serta proteinase-3 (dalamnetrofil) 17
2. Mekanisme Imunologis
3. Keseimbangan Oksidan-antioksidan
19
protein, lemak, karbohidrat, dan DNA terjadi dan menghasilkan
kerusakan jaringan. Oksidan tersebut dapat memodifikasi elastin,
sehingga lebih rentan terhadap pembelahan proteolitik. Merokok
dapat menginaktivasi histone deacetylase (HDAC2) dan menyebabkan
transkripsi kemokin/sitokin netrofil (TNF-α dan IL-8) dan MMP
sehingga terjadi degradasi matriks yang mendukung terbentuknya
emfisema. 17
4. Inflamasi Sistemik
5. Apoptosis
20
E. Patofisiologi
3. Hipersekresi Mukus
21
batuk produktif yang kronis. Pasien dengan hipersekresi mukus
adalah bila terjadi peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran
kelenjar submukosa. 20
4. Hipertensi Pulmonal
5. Gambaran Sistemik
F. Manifestasi Klinis
22
menggambarkan ini sebagai:. "Saya merasa kehabisan napas," atau "Saya
tidak bisa mendapatkan cukup udara ".20
Orang dengan PPOK biasanya pertama sadar mengalami dyspnea
pada saat melakukan olahraga berat ketika tuntutan pada paru-paru yang
terbesar. Selama bertahun-tahun, dyspnea cenderung untuk bertambah
parah secara bertahap sehingga dapat terjadi pada aktivitas yang lebih
ringan, aktivitas sehari-hari seperti pekerjaan rumah tangga. Pada tahap
lanjutan dari PPOK, dyspnea dapat menjadi begitu buruk yang terjadi
selama istirahat dan selalu muncul.20
Orang dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal
pernafasan. Ketika ini terjadi, sianosis, perubahan warna kebiruan pada
bibir yang disebabkan oleh kekurangan oksigen dalam darah, bisa terjadi.
Kelebihan karbon dioksida dalam darah dapat menyebabkan sakit kepala,
mengantuk atau kedutan (asterixis). Salah satu komplikasi dari PPOK
parah adalah cor pulmonale, kejang pada jantung karena pekerjaan
tambahan yang diperlukan oleh jantung untuk memompa darah melalui
paru-paru yang terkena dampak.20 Gejala cor pulmonale adalah
edema perifer, dilihat sebagai pembengkakan pada pergelangan kaki, dan
dyspnea.20
G. Diagnosis
23
1. Anamnesis
24
a. Batuk
b. Produksi Sputum
c. Dispnea
25
dalam bernapas, berasal dari kontraksi isometrik otot-otot
interkostal. 18
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda Pernapasan
1. Inspeksi :
2. Palpasi :
Ditemukan fremitus melemah pada emfisema 18
3. Perkusi :
Penurunan letak diafragma, suara timpani karena
hiperinflasi, hati dapat teraba 18
26
4 . Auskultasi :
Suara napas vesikuler normal, atau melemah, terdapat
ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar
jauh 20
b. Tanda Sistemik
3. Pemeriksaan Penunjang
27
yang paling sering digunakan untuk menilai obstruki aliran udara,
menilai beratnya PPOK dan juga untuk memantau perjalanan
penyakit.
c. Pemeriksaan Radiologi
Harus dilakukan pada semua pasien. Pemeriksaan radiologi
memang tidak sensitif untuk diagnosis, tetapi membantu dalam
menyingkirkan penyakit lain (pneumonia, kanker, efusi pleura, dan
pneumotoraks). Umum walaupun tidak spesifik, tanda emfisema
adalah diafragma yangmendatar, radiolusensi paru yang
17
ireguler. Bronkitis kronis berhubungan dengan peningkatan
17
tanda bronkovaskular dan kardiomegali. Dengan komplikasi
hipertensi pulmonal, bayangan vaskular hilus menjadi sering, dengan
kemungkinan adanya pembersaran ventrikular kanan.
e. Evaluasi Sputum
Pada bronkitis kronis stabil, sputumnya mukoid dan makrofag
sangat banyak. Dengan eksaserbasi, sputum menjad purulen karena
adanya neutrofil. Peningkatan jumlah sputum merupakan tanda
28
eksaserbasi akut (Mosenifar, 2013). Beberapa organisme yang
sering ditemukan dari kultur adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae. Moraxella catarrhalis juga sering, dan
Pseudomonas aeruginosa dapat ditemukan pada pasien dengan
obstruksi berat.
H. Derajat PPOK
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan
Dokter Paru Indonesia) maka PPOK dikelompokkan ke dalam : 16
1) PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau
tanpa produksi sputum dan dengan sesak napas derajat nol sampai
satu. Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya me-nunjukkan VEP1
≥ 80% prediksi (normal) dan VEP1/KVP < 70 %
2) PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk.
Dengan atau produksi sputum dan sesak napas dengan
derajad dua. Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya
menunjukkan VEP1 ≥ 70% dan VEP1/KVP < 80% prediksi.
3) PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad
tiga atau empat dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering
terjadi. Disertai komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan.
29
Adapun hasil spirometri menunjukkan VEP1/KVP < 70 %, VEP1<
30 % prediksi atau VEP1> 30 % dengan gagal napas kronik. Hal ini
ditunjukkan dengan hasil pe-meriksaan analisa gas darah dengan
kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipokse-mia dengan
hiperkapnia.
30
Mild COPD atau PPOK ringan, pada tahap ini pasien mungkin belum
menyadari bahwa fungsi parunya tidak normal.
Severe COPD atau PPOK berat, pemendekan nafas semakin buruk pada
tahap ini dan sering membatasi aktivitas harian pasien. Eksaserbasi
biasanya mulai dapat terlihat pada tahap ini.
Very severe COPD atau PPOK sangat berat, pada tahap ini kualitas
hidup sudah sangat terganggu dan eksaserbasi pada pasien bisa mengancam
jiwa. 8
I. Penatalaksanaan
31
- Mencegah dan meminimalkan efek samping obat
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualitas hidup penderita
- Menurunkan angka kematian
a. Terapi Farmakologis
Bronkodilator
Macam-macam bronkodilator : 20
- Golongan antikolinergik
32
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2
- Golongan xantin
Kortikosteroid
Antibiotika
Lini I : amoksisilin
Makrolid
33
Antioksidan
Mukolitik
b. Terapi non-farmakologis
Terapi oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktivitis
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualitas hidup
34
Indikasi :20
Pao2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor
Pulmonal, perubahan Pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung
kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
Ventilasi mekanik
Nutrisi
35
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan : 20
- Latihan fisik
- Latihan pernapasan dan latihan endurance
- Rehabilitasi psikososial
Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum
36
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah
infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.
Primer :
37
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.
38
Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik
digunakan dengan intubasi.
a. Antibiotik
b. Bronkodilator
c. Kortikosteroid
39
2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih
dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih
banyak menimbulkan efek samping.
5. Ventilasi mekanik
40
- Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia,
barotrauma, efusi pleura dan emboli masif
- Penggunaan NIPPV yang gagal
J. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah : 20
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg,
dan pH normal, penatalaksanaan :
Infeksi berulang
41
Kor pulmonal :
A. Definisi
Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) adalah obstruksi
jalan nafas yang muncul setelah tuberkulosis (TB) akibat mekanisme
imunologi selama proses TB.28 Pada sebagian penderita TB, secara klinik
timbul gejala sesak terutama pada aktivitas, gambaran radiologi
menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik, kalsifikasi) yang minimal, dan
uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak
reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori
penyakit Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT).27
B. Patogenesis
Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada
penelitian terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat
infeksi TB yang dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang yang menurun
sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan
peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan yang berlangsung lama ini
menyebabkan gangguan faal paru berupa adanya sputum, terjadinya
perubahan pola pernapasan, relaksasi menurun, perubahan postur tubuh,
berat badan menurun, dan gerak lapang paru menjadi tidak maksimal.23
Apabila tubuh terinfeksi M. tuberculosis maka sistem imun host
akan bekerja melawan infeksi tersebut. Akibatnya M. tuberculosis akan
melepasan komponen toksik ke dalam jaringan yang akan menginduksi
hipersensitivitas seluler sehingga akan meningkatkan respons terhadap
antigen bakteri yang menimbulkan kerusakan jaringan, nekrosis, dan
penyebaran bakteri lebih lanjut.26
42
Perjalanan dan interaksi imunologi dimulai ketika makrofag
bertemu dengan M. tuberculosis. Dalam keadaan normal, infeksi TB
merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih
efektif membunuh bakteri. Makrofag aktif melepaskan IL-1 yang
merangsang limfosit T. Limfosit T melepaskan IL-2 yang selanjutnya
merangsang limfosit T lain untuk bereplikasi, matang, dan memberi
respons lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur
keseimbangan imunitas melalui peranan yang kompleks dan sirkuit
imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB progresif, maka
keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis
jelek. Pada makrofag aktif, metabolisme oksidatif meningkat dan
melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida, hidrogen peroksida,
dan radikal hidroksil yang menimbulkan kerusakan pada membran sel dan
dinding sel M. tuberculosis. Beberapa hasil infeksi M. tuberculosis
dapat bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag sehingga tetap
terjadi proses infeksi yang dapat mendestruksi matriks alveoli.
Diduga proses proteolisis dan oksidasi sebagai penyebab destruksi
matriks di mana proteolisis mendestruksi protein yang membentuk
matriks dinding alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi berarti
pelepasan elektron dari suatu molekul.Kehilangan elektron pada suatu
struktur mengakibatkan fungsi molekul akan berubah.21,22
Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel
endotel, dan anti protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease,
yaitu:1) Elastase, yang paling kuat memecah elastin dan protein jaringan
ikat lain sehingga sanggup menghancurkan dinding alveoli; 2) Catepsin
G, menyerupai elastase, tetapi potensinya lebih rendah dan dilepas
bersama elastase; 3) Kolagenase, cukup kuat tetapi hanya bisa memecah
kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat menimbulkan emfisema; 4)
Plasminogen aktivator, urokinase dan tissue plasmin activator yang
merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain merusak fibrin
juga mengaktifkan proenzim elastase dan bekerja sama dengan elastase.21
43
Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara langsung, seperti
peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi dengan merusak sel
terutama pneumosit I, modifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka
terhadap proteolisis, berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya
antiproteasenya menurun.21
Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga
sistem imun diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis
dan beban oksidasi sangat meningkat untuk waktu lama sehingga destruksi
matriks alveoli cukup luas menuju kerusakan paru menahun (kronik) dan
gangguan faal paru yang akhirnya dapat dideteksi dengan spirometri.22
C. Tatalaksana
Pada sebagian bekas penderita TB, masih mengeluhkan batuk
bahkan timbul sesak bertahun-tahun kemudian (SOPT). Gejala ini terjadi
karena adanya kerusakan paru yang permanen, gangguan menetep
restriktif dan sebagian obstruktif pada spirometri. Biasanya penderita
SOPT ini ireversibel pada pemberian obat bronkodilator dan bahkan
dengan kortikosteroid.25 Namun, SOPT termasuk dalam penyakit
obstruksi paru yang gejalanya mirip dengan PPOK, maka pemberian terapi
mirip dengan PPOK. Terapi SOPT diberikan sesuai kausa. Pilihan
terapi untuk SOPT, adalah :
1. Bronkodilator :
a. golongan antikolinergik : ipratropium bromida (0,5mg)
b. golongan agonis β-2 : salbutamol (2,5mg)
c. kombinasi : ipratropium bromida (0,5mg) dengan
salbutamol (2,5mg), nebulasi
d. golongan xantin : aminofilin (200mg)
2. Antiinflamasi : prednisone dan metilprednisolon
3. Anti-Oksidan : N-acetyl cystein
4. Antibiotika (hanya diberikan jika terdapat infeksi) : golongan β-
lactam dan makrolid.
5. Terapi oksigen
6. Rehabilitasi medic
44
BAB III
LAPORAN KASUS
ANAMNESE PENYAKIT
Keluhan Utama : Sesak nafas sejak 1 hari yang lalu.
Telaah : Sejak 1 hari yang lalu os mengeluh sesak nafas. Sesak nafas
mulanya dirasakan saat os beraktivitas. Sesak berkurang saat keadaan istirahat. Sesak
semakin memberat sejak 2 bulan yll dan keluhan sudah dirasakan sjk 1 tahun yll.
Sesak tidak dipengaruhi cuaca, debu. Saat tidur os menggunakan 2 bantal. Sesak
tidak disertai bunyi “mengi”. Keluhan disertai dengan demam (+), batuk kering (+),
keringat di malam hari walaupun dalam keadaan istirahat (+), nafsu makan minum
berkurang (+), berat badan menurun (+), nyeri dada bawah kanan dan kiri tembus ke
belakang (+). Keluhan lain : mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (+) dirasakan
sesekali saja, timbul secara tiba-tiba, tidak bergantung pada rasa lapar, nyeri bila
ditekan (-), menggigil (-), nyeri kepala (-), mata kemerahan (-), bintik-bintik pada
kulit (-), nyeri otot (-). Riwayat BAK normal (+), BAK tersendat-sendat (-), nyeri
saat BAK (-), BAK berwarna seperti cucian daging (-), BAK berpasir (-), BAK
45
berbatu (-). Riwayat BAB warna hitam 1 hari yll (+), namun saat ini BAB normal.
OS mengatakan pernah meminum obat rutin selama 6 bulan.
ANAMNESE ORGAN
Jantung Sesak nafas :+ Edema :-
Angina pektoris :+ Palpitasi :-
Lain-lain :-
Sal. Pernafasan Batuk-batuk :+ Asma, bronkitis :-
Dahak :- Lain-lain :-
Sal. Pencernaan Nafsu makan : +, menurun Penurunan BB :+
Keluhan menelan :- Keluhan defekasi :+
Keluhan perut :- Lain-lain :-
Sal. Urogenital Sakit BAK :- BAK tersendat :-
Mengandung batu :- Keadaan urin :-
Lain-lain :-
Sendi dan tulang Sakit pinggang :- Keterbatasan gerak :-
Kel. Persendiaan :- Lain-lain :-
Endokrin Haus/polidipsi :- Gugup :-
Poliuri :- Perubahan suara :-
Polifagi :- Lain-lain :-
Syaraf Pusat Sakit kepala :- Sempoyong :-
Lain-lain :-
Darah dan P. Pucat :- Perdarahan :-
46
darah Petechie :- Purpura :-
Lain-lain :-
Sirkulasi Claudicatio intermitten : -
KEPALA
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), ikterus (-/-), pupil : isokor, ukuran
Ø 3mm.
Refleks cahaya direk (+/+) / indirek (+/+), kesan : normal
Lain-lain : -
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Mulut : Lidah : dalam batas normal
Gigi/geligi : dalam batas normal
Tonsil/faring : dalam batas normal
LEHER
Struma : tidak membesar
Pembesaran kelenjar limfe (-)
47
Posisi trakea : Deviasi ke kiri. JVP : 5-2 cmH2O
Kaku kuduk : (-), lain-lain : -
TORAKS DEPAN
Inspeksi : venektasi (-), vena kolateral (-), ikterik (-)
Bentuk : Sela iga tampak melebar
Pergerakan : simetris kanan dan kiri
Palpasi
Nyeri tekan : tidak dijumpai
Fremitus suara : SF paru kanan dan kiri menurun.
Iktus :-
Perkusi
Paru
Batas Paru – Hati R/A : R : ICS V ; A : ICS VI, hipersonor
hemitoraks dextra.
Jantung
Batas atas jantung : ICR II linea parastrernal sinistra
Batas kiri jantung : ICR IV linea midclavicula sinistra
Batas kanan jantung : ICR II-IV lateral linea parasternalis dextra
Auskultasi
Paru
Suara pernafasan : Vesikuler pada kedua lapangan paru
Suara tambahan : wheezing (+/-), rhonkii apeks paru (+/+)
Jantung
BJ I-II (+) regular, murmur (-), gallop (-). HR : 90 x/i, reguler, intensitas :
cukup.
TORAKS BELAKANG
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : SF paru kanan dan kiri menurun.
48
Perkusi : Hipersonor hemitoraks dextra
Auskultasi : Suara pernafasan : Vesikuler pada kedua lapangan paru
Suara tambahan : wheezing (+/-), rhonkii apeks paru
(+/+)
ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : Simetris, ascites (-)
Gerakan lambung/usus : Tidak tampak
Vena kolateral : (-)
Caput medusae : (-)
Palpasi
Dinding abdomen : Soepel, H/L/R: tidak teraba
Hepar
Pembesaran : (-)
Limpa
Pembesaran : (-)
Ginjal
Ballotement : (-) Lain-lain : (-)
Tumor : (-)
Perkusi
Pekak Hati : (-)
Pekak beralih : (-)
Auskultasi
Peristaltik usus : Peristaltik (+) normal.
Lain-lain : (-)
Pinggang
Nyeri ketok sudut kostovertebra : (-)
49
INGUINAL : Normal
GENITALIA LUAR : Tidak diperiksa.
50
Hasil Pemeriksaan EKG “10 Januari 2019”
RESUME
51
kiri tembus ke belakang (+). Keluhan lain : nyeri ulu hati (+) dirasakan
sesekali saja, timbul secara tiba-tiba, tidak bergantung pada rasa lapar.
Riwayat BAK normal. Riwayat BAB warna hitam 1 hari yll (+),
namun saat ini BAB normal. OS mengatakan pernah meminum obat
rutin selama 6 bulan.
STATUS Keadaan Umum : Baik / Sedang / Buruk
PRESENS Keadaan Penyakit : Ringan / Sedang / Berat
Keadaan Gizi : Kurang / Normal / Berlebih
PEMERIKSAAN Kepala : mata : ikterik (-/-), anemis (-/-)
FISIK Leher : JVP : 5-2 cm H2O, pembesaran KGB (-)
Abdomen :
I : dalam batas normal
P : soepel, lemas.
P : Timpani
A : Peristaltik (+) normal
Cor :
I : Iktus kordis tidak terlihat
P : Iktus kordis tak teraba, thrill (-)
P:
Batas atas jantung : ICR II linea parastrernal sinistra
Batas kiri jantung : ICR IV linea midclavicula sinistra
Batas kanan jantung : ICR II-IV lateral linea parasternalis
dextra
A : BJ I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmonary :
I : Simetris fusiformis
P : SF menurun pada paru kanan dan kiri.
P : Hipersonor pada hemitoraks dextra
A : Suara pernafasan : Vesikuler pada kedua lapangan paru
Suara tambahan : wheezing (+/-), rhonkii apeks paru (+/+)
52
Ekstremitas : Inf: udem (+/+)
Sup: dalam batas normal
Laboratorium Darah : normal.
Rutin Kemih : tidak dilakukan pemeriksaan.
53
BAB IV
KESIMPULAN
54