Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi


ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang
menyerang struktur, fungsi paru, atau pembuluh darah pulmonal yang dapat
berlanjut menjadi gagal jantung kanan.1,2 Menurut World Health Organization
(WHO), definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan hipertrofi
ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru.
Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan
penyakit jantung kongenital (bawaan).3 Istilah hipertrofi yang bermakna
sebaiknya diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi ventrikel kanan.
Dikarenakan paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskuler antara ventrikel
kanan dengan bagian kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi paru akan
mempengaruhi secara selektif jantung kanan. Patofisiologi akhir yang umum yang
menyebabkan kor pulmonal adalah peningkatan dari resistensi aliran darah
melalui sirkulasi paru dan mengarah pada hipertensi arteri pulmonal.4
Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor
pulmonal akut tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor pulmonal kronik
sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada kor
pulmonal kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan sedangkan pada kor-
pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.1
Insidens yang tepat dari kor pulmonal tidak diketahui karena seringkali
terjadi tanpa dapat dikenali secara klinis. Diperkirakan insidens kor pulmonal
adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung.4 Di Inggris terdapat
sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko terjadinya kor pulmonal pada populasi
usia lebih dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi telah mengalami hipertensi
pulmonal yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.5
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit
yang secara primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit yang
mengganggu aliran darah paru.6 Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia,

1
menemukan penyebab terbanyak kor pulmonal berturut-turut adalah asma
bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit interstisial paru,
bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Menurut penelitian sekitar 80-90%
pasien kor pulmonal mempunyai PPOK dan 25 % pasien dengan PPOK akan
berkembang menjadi kor pulmonal.5
Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi pulmonal menimbulkan tekanan
berlebihan pada ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan kerja
ventrikel kanan yang menyebabkan hipertrofi otot jantung yang normalnya
berdinding tipis, yang akhirnya dapat menyebabkan disfungsi ventrikel dan
berlanjut kepada gagal jantung.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. KOR PULMONAL
2.1. Definisi
Kor pulmonal sering disebut sebagai penyakit jantung paru,
didefinisikan sebagai dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan akibat adanya
penyakit parenkim paru atau pembuluh darah paru.1,2
Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan
ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan
fungsional dan struktur paru, tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung
primer pada jantung kiri dan penyakit jantung kongenital (bawaan).3
Menurut Braunwahl, kor pulmonal adalah keadaan patologis akibat
hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi
pulmonal. Penyebabnya antara lain penyakit parenkim paru, kelainan
vaskuler paru, dan gangguan fungsi paru karena kelainan thoraks, tidak
termasuk kelainan vaskuler paru yang disebabkan kelainan ventrikel kiri,
penyakit jantung bawaan, penyakit jantung iskemik, dan infark miokard
akut.7

2.2. Etiologi dan Epidemiologi


Kor pulmonal terjadi akibat adanya perubahan akut atau kronis pada
pembuluh darah paru dan atau parenkim paru yang dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi pulmonal.8
Prevalensi pasti kor pulmonal sulit dipastikan karena dua alasan.
Pertama, tidak semua kasus penyakit paru kronis menjadi kor pulmonal, dan
kedua, kemampuan kita untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan kor
pulmonal dengan pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium tidaklah sensitif.
Namun, kemajuan terbaru dalam 2-D echo/Doppler memberikan kemudahan
untuk mendeteksi dan mendiagnosis suatu kor pulmonal.2 Diperkirakan
prevalensi kor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung

3
berdasarkan hasil penyelidikan yang memakai kriteria ketebalan dinding
ventrikel post mortem.6
Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan
menjadi 4 kelompok :
1. Penyakit pembuluh darah paru.
2. Penekanan pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma,
granuloma atau fibrosis.
3. Penyakit neuro muskular dan dinding dada.
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit
Paru Obstruktif Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial dan gangguan
pernafasaan saat tidur.
Penyakit yang menjadi penyebab utama dari kor pulmonal kronis adalah
PPOK, diperkirakan 80-90% kasus.1

2.3. Patogenesis
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah
penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti
emboli paru-paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru-
paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.6
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya
terjadi peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel
kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik
kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan
resistensi vaskuler paru pada arteri dan arteriola kecil.6
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi
vaskuler paru adalah : (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat
adanya hipoksia dan (2) obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-
paru. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang kuat untuk
menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia. Selain itu,
hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos

4
arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia
akut. Asidosis, hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam
menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat
akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh
hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.6
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan
tekanan arteri paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh
kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan
obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah
secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu,
pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena
efek mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan
obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting
vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira duapertiga
sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau
rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna.
Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan
penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat
kelainan perfusi-ventilasi.6 Setiap penyakit paru memengaruhi pertukaran gas,
mekanisme ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan kor
pulmonal.4,6,9
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi
pulmonal dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan
pada parenkim paru, kinerja paru, maupun sistem peredaran darah paru secara
akut maupun kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.9
Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada
paru yang ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada
akhirnya dapat menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru
yang mengakibatkan terjadinya gagal ventrikel kanan dan kematian.
Hipertensi pulmonal dibagi menjadi primer dan sekunder. Hipertensi
pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak disebabkan oleh

5
adanya penyakit jantung, parenkim paru, maupun penyakit sistemik yang
melatarbelakanginya. Hipertensi pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut
hipertensi pulmonal sekunder.10 Hipertensi pulmonal akibat komplikasi
kronis paru (sekunder) didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata tekanan
arteri pulmonal (TAP) istirahat, yakni >20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal
primer angka ini lebih tinggi yakni >25 mmHg. Pada pasien muda (<50
tahun) TAP normalnya berada pada kisaran 10-15 mmHg. Dengan
bertambahnya usia TAP akan meningkat kurang lebih 1 mmHg setiap 10
tahun. Selain dipengaruhi usia TAP juga dipengaruhi oleh aktivitas. Semakin
berat aktivitas maka TAP akan semakin meningkat. Pada aktivitas ringan
TAP dapat meningkat >30 mmHg. Melihat hal tersebut maka pemeriksaan
TAP harus dilakukan saat pasien dalam keadaan istirahat dan rileks.2
Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya
hipertensi pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular.
Ketiganya adalah mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh
darah pulmonal, dan trombosis in situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat
adanya dua faktor yakni gangguan produksi zat-zat vasoaktif seperti, nitric
oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari
mediator vasokonstriktor seperti, endothelin- 1. Dengan diketahuinya
mekanisme tersebut maka pengobatan terhadap hipertensi pulmonal menjadi
lebih terang yakni dengan pemberian preparat nitric oxide, derivat
prostacyclin, antagonis reseptor endothelin-1, dan inhibitor
phosphodiesterase-5.4,10
Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel
kanan dan dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung.
Timbulnya keadaan ini diperberat dengan adanya polisitemia akibat hipoksia
jaringan, hipervolemia akibat adanya retensi air dan natrium, serta
meningkatnya cardiac output. Ketika jantung kanan tidak lagi dapat
melakukan adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbul kegagalan jantung
kanan yang ditandai dengan adanya edema perifer. Jangka waktu terjadinya

6
hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan maupun gagal jantung kanan pada
masing-masing orang berbeda-beda.4,6
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, kor pulmonal dibagi menjadi 5
fase (tabel 1).11
Tabel 1. Fase perjalanan penyakit kor pulmonal

Fase Deskripsi
Fase 1 Pada fase ini belum nampak gejala
klinis yang jelas, selain
ditemukannya gejala awal penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK),
bronkitis kronis, tuberkulosis paru,
bronkiektasis dan sejenisnya.
Anamnesa pada pasien 50 tahun
biasanya didapatkan kebiasaan
banyak merokok.
Fase 2 Pada fase ini mulai ditemukan
tanda-tanda berkurangnya ventilasi
paru. Gejalanya antara lain, batuk
lama yang berdahak (terutama
bronkiektasis), sesak napas, mengi,
sesak napas ketika berjalan
menanjak atau setelah banyak
bicara. Sedangkan sianosis masih
belum nampak. Pemeriksaan fisik
ditemukan kelainan berupa,
hipersonor, suara napas berkurang,
ekspirasi memanjang, ronki basah
dan kering, mengi. Letak
diafragma rendah dan denyut
jantung lebih redup. Pemeriksaan

7
radiologi menunjukkan
berkurangnya corakan
bronkovaskular, letak diafragma
rendah dan mendatar, posisi
jantung vertikal.
Fase 3 Pada fase ini nampak gejala
hipoksemia yang lebih jelas.
Didapatkan pula berkurangnya
nafsu makan, berat badan
berkurang, cepat lelah.
Pemeriksaan fisik nampak sianotik,
disertai sesak dan tanda-tanda
emfisema yang lebih nyata.
Fase 4 Ditandai dengan hiperkapnia,
gelisah, mudah tersinggung kadang
somnolen. Pada keadaan yang berat
dapat terjadi koma dan kehilangan
kesadaran.
Fase 5 Pada fase ini nampak kelainan
jantung, dan tekanan arteri
pulmonal meningkat. Tanda-tanda
peningkatan kerja ventrikel, namun
fungsi ventrikel kanan masih dapat
kompensasi. Selanjutnya terjadi
hipertrofi ventrikel kanan
kemudian terjadi gagal jantung
kanan. Pemeriksaan fisik nampak
sianotik, bendungan vena jugularis,
hepatomegali, edema tungkai dan
kadang asites.

8
Untuk mempermudah pemahaman mengenai patogenesis kor pulmonal,
disediakan ringkasan pada gambar 1.

Penyakit paru kronis

Kerusakan paru & semakin Asidosis dan Hipoksia Polisitemia dan


terdesaknya pembuluh hiperkapnia alveolar hiperviskositas
darah oleh paru yang darah
mengembang

Berkurangnya vascular bed Vasokonstriksi


paru

Hipertensi Pulmonal

kroni
s
Hipertrofi dan dilatasi
ventrikel kanan

Kor pulmonal

Gambar 1. Patogenesis Kor Pulmonal

2.4. Diagnosis
Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya
hipertensi pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk
menegakkan diagnosis kor pulmonal secara pasti maka dilakukan prosedur
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang
mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun
fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti
dengan hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan
penunjang.

9
2.4.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang
mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas
waktu beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal berupa
pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih banyak
keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan
baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema dan nyeri parut
kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi branchus,
edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul
gagal jantung kanan.
Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena
adanya peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas
paru-paru (fibrosis penyakit paru) atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK).
Nyeri dada atau angina juga dapat terjadi. Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia
pada ventrikel kanan atau teregangnya arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena
rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami arteroslerotik atau terdilatasi
akibat hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejala-
gejala neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan hipoksemia.12
Selanjutnya pada pemeriksaan fisik, kita bisa mendapatkan keadaan
sianosis, suara P2 yang mengeras, ventrikel kanan dapat teraba di parasternal
kanan. Terdapatnya murmur pada daerah pulmonal dan triskuspid dan terabanya
ventrikel kanan merupakan tanda yang lebih lanjut. Bila sudah terjadi fase
dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu juga dapat
ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis,
hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan tanda-tanda
terjadinya overload pada ventrikel kanan.2
2.4.2. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Etiologi kor pulmonal kronis amat banyak dan semua etiologi itu
akan menyebabkan berbagai gambaran parenkim dan pleura yang
mungkin dapat menunjukkan penyakit primernya. Gambaran radiologi

10
hipertensi pulmonal adalah dilatasi arteri pulmonalis utama dan cabang-
cabangnya, meruncing ke perifer, dan lapang paru perifer tampak relatif
oligemia. Pada hipertensi pulmonal, diameter arteri pulmonalis kanan
>16mm dan diameter arteri pulmonalis kiri >18mm pada 93%
penderita. Hipertrofi ventrikel kanan terlihat pada rontgen thoraks PA
sebagai pembesaran batas kanan jantung, pergeseran kearah lateral
batas jantung kiri dan pembesaran bayangan jantung ke anterior, ke
daerah retrosternal pada foto dada lateral.3

Gambar 2. Foto thoraks anteroposterior dan lateral kor pulmonal

Elektrokardiogram
Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat
berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1 S2 S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF

11
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet
atau inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada
sadapan prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK
karena adanya hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan
gambaran gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat
membingungkan dengan infark miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi
prematur atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi,
termasuk takikardi atrial paroksismal, takikardi atrial multifokal,
fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat dicetuskan
karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia,
gangguan keseimbangan asam- basa, gangguan elektrolit, serta
penggunaan bronkodilator berlebihan).13

Gambar 3. Elektrokardiografi Kor Pulmonal

Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan
penegakan diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari
hasil ekokardiografi dapat ditemukan dimensi ruang ventrikel kanan
yang membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal. Pada
gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang “a” hilang,
menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan

12
pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal karena
“accoustic window” sempit akibat penyakit paru.14

Gambar 4. Ekokardiografi Kor Pulmonal (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)

2.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk
menurunkan hipertensi pulmonal, mengobati gagal jantung kanan,
meningkatkan kelangsungan hidup, dan mengobati penyakit dasar dan
komplikasinya.1

Tirah Baring dan Pembatasan Garam


Tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya
hipoksemia, yang nantinya akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri
pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi tidak secara berlebihan karena
klorida serum yang rendah akan menghalangi usaha untuk menurunkan
hiperkapnia.12
Terapi Oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan
kelangsungan hidup belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1)
terapi oksigen mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi

13
vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel
kanan, (2) terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan
meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak, dan organ vital
lainnya.
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National
Institute of Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) ,
dan 24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan
dengan pasien tanpa terapi oksigen.
Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤
88%, PaO2 55-59 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti,
edema yang disebabkan gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG,
dan eritrositosis hematokrit > 56%.1
Diuretika
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung
kanan. Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan
dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa memicu
peningkatan hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat
terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel
kanan dan curah jantung menurun.1,3,8
Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis
kalsium, agonis alfa adrenergik, ACE-I, dan postaglandin belum
direkomendasikan pemakaiannya secara rutin. Vasodilator dapat
menurunkan tekanan pulmonal pada kor pulmonal kronik, meskipun
efisiensinya lebih baik pada hipertensi pulmonal yang primer.1
Digitalis
Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai
gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi
ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel
normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri

14
yang menurun, digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan.
Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai resiko aritmia.1,3
Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli
akibat disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor
imobilisasi pada pasien.1

2.6. Komplikasi

Komplikasi dari cor pulmonale adalah bisa terjadi syncope, hypoxia, pedal
edema, passive hepatic congestion dan kematian.

2.7. Prognosis
Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari
prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti
"restrictive pulmonary disease", dan kelainan pembuluh darah paru. Forrer
mengatakan penderita kor pulmonal masih dapat hidup antara 5 sampai 17
tahun setelah serangan pertama kegagalan jantung kanan, asalkan mendapat
pengobatan yang baik. Padmavati dkk di India mendapatkan angka antara 14
tahun. Sadouls di Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.3

2.1.1 Penyakit Paru Obstruktif kronik

A. Definisi

Penyakit paru obstuktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik


yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK ditandai
dengan adanya emfisema dan bronkitis kronis.15 Sedangkan menurut
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD, 2013),
PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai
dengan limitasi aliran udara yang persisten dan progresif, akibat respons
inflamasi kronik pada jalan napas dan parenkim paru yang disebabkan

15
gas atau partikel beracun. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi pada
beratnya penyakit ini.15

B. Epidemiologi
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan salah satu penyakit
yang menjadi masalah kesehatan global saat ini. Data prevalensi,
morbiditas, dan mortalitas berbeda di tiap negara dan terus mengalami
peningkatan. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya usia harapan
hidup rata-rata masyarakat dan semakin tingginya pajanan terhadap faktor
risiko.15
Jumlah penderita PPOK pada tahun 2006 untuk wilayah Asia
diperkirakan sekitar 56,6 juta dengan prevalensi 6,3%. Di Cina angka
kasus mencapai 38,16 juta jiwa, sedangkan di Indonesia diperkirakan
terdapat 4,8 juta jiwa pasien dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa
meningkat seiring semakin banyaknya jumlah perokok, karena 90%
penderita PPOK adalah perokok atau mantan perokok.15

C. Etiologi
Banyak hal yang dapat menjadi penyebab penyakit paru obstruktif
kronis, diantaranya yaitu :

1. Merokok

Penelitian menyebutkan bahwa kebiasaan merokok merupakan


penyebab terbanyak terjadinya PPOK. Kejadian PPOK karena
merokok mencapai 90% kasus. Merokok sigaret mempengaruhi
makrofag untuk melepaskan faktor kemotaktik dan elastase, yang akan
menyebabkan kerusakan jaringan. Secara signifikan, PPOK
berkembang pada 15% perokok sigaret, walaupun jumlah ini pasti
bukan nilai sebenarnya. Usia memulai merokok, jumlah
bungkus pertahun, dan status merokok saat ini memprediksi mortalitas.
16

Orang yang merokok mengalami penurunan FEV1: secara


fisiologis normal, penurunan FEV1diperkirakan sekitar 20-30

16
ml/tahun, tetapi pada pasien PPOK biasanya menurun 60 ml/tahun
atau lebih besar. Sebuah studi menyimpulkan bahwa gangguan fungsi
paru dan perubahan struktural paru sudah muncul pada perokok
sebelum tanda klinis obstruksi muncul.16

2. Faktor Lingkungan

PPOK juga dapat terjadi pada individu yang tidak pernah


merokok. Walaupun peran polusi udara sebagai etiologi PPOK tidak
jelas, efeknya lebih kecil bila dibandingkan dengan merokok.
Pada negara berkembang, penggunaan bahan bakar biomass serta
memasak dan memanaskan dalam ruangan kemungkinan juga
menjadi penyumbang terbesar dalam prevalensi PPOK.16

3. Hiperesponsif jalan napas

Pasien PPOK juga memiliki kecenderungan adanya hiperesponsif


jalan napas, seperti pada asma. Tetapi PPOK dan asma benar-benar
berbeda. Asma dilihat sebagai fenomena alergi, sedangkan PPOK
merupakan hasil dari kerusakan dan radang karena rokok. Studi
longitudinal yang membandingkan kepekaan saluran napas pada awal
studi yang kemudian mengalami penurunan fungsi paru telah
menunjukkan bahwa peningkatan kepekaan saluran napas secara jelas
merupakan prediktor penurunan fungsi paru di waktu mendatang.
7
Tetapi studi ini masih belum jelas.

4. Defisiensi Alfa-1 antitripsin (AAT)

Alfa-1-antitripsin merupakan salah satu fraksi protein serum


yang dapat dipisahkan melalui elektroforesis dan dapat menetralisir
elastase netrofil di interstisium paru sehingga melindungi paru dari
16
penghancuran elastolisis. Pada keadaan defisiensi, maka
mekanisme perlindungan terhadap elastolisis ini berkurang, sehingga
bisa menyebabkan emfisema.Penelitian Erikson tahun 1963

17
menyatakan bahwa defisiensi AAT diwariskan secara autosomal-
kodominan dan keadaan ini menyebabkan emfisema. Defisensi
AAT disebabkan karena mutasi pada gen AAT.16

5. Sindroma Imunodefisiensi

Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan faktor


resiko untuk PPOK, bahkan setelah mengontrol variabel pengganggu
seperti merokok, obat IV, ras dan usia. Pada pasien defisiensi
autoimun dan infeksi Pneumocystis carinii terjadi kerusakan paru
yang kortikal dan apikal. 16

6. Gangguan Jaringan Ikat

Cutis laxa adalah gangguan elastin yang digambarkan terutama


dengan penuaan prematur. Penyakit ini biasanya kongenital dengan
bermacam bentuk penurunan (mis. dominan, resesif). Emfisema
prekoks dihubungkan dengan cutis laxa sejak dari periode
neonatus atau bayi. Patogenesis penyakit ini karena defek sintesis
elastin atau tropoelastin. Sindrom Marfan yaitu penyakit autosomal
dominan kolagen tipe I, ditemukan sekitar 10% pasiennya
mengalami abnormalitas paru, termasuk emfisema. 16

D. Patogenesis

PPOK dapat terjadi karena berbagai mekanisme patogenesis.


Patogenesis terjadinya PPOK diantaranya adalah :

1. Hipotesis Proteinase-antiproteinase

Hipotesis proteinase-antiproteinase didasarkan pada asumsi


bahwa kerusakan jaringan dan emfisema terjadi karena
ketidakseimbangan proteinase dan inhibitornya. Telah dinyatakan
bahwa ada peningkatan kuantitas enzim pendegradasi elastik
dibandingkan inhibitornya pada emfisema. Konsep ini diusulkan untuk

18
emfisema yang digambarkan dengan defisienasi AAT.17 Pasien dengan
defisiensi AAT mengalami mutasi pada gen AAT. Mutasi Z adalah
mutasi paling umum dan mutasi ini menggangu sekresi protein dari
hepatosit. Hasilnya ditandai dengan penuruan level penghambat
serin protease disirkulasi. Dilaporkan bahwa PiZ-α1 AT
cenderung mengalami polimerisasi yang dapat menghambat sekresi
hepatik, menggangu inhibisi elastase netrofil dan menyebabkan
17
inflamasi. Matrix metalloproteinases (MMP) memiliki kemampuan
untuk membelah protein struktural seperti kolagen dan elastin,
sehingga berperan dalam patogenesis PPOK. Peningkatan banyak
Matrix Metalloprotein dilaporkan pada emfisema karena rokok dan 3
MMP (MMP-2, -9, dan 12) mendegradasi elastin Protease lain yang
berperan penting dalam patogenesis PPOK adalah cathapsins S, L
(dalam makrofag), dan G, serta proteinase-3 (dalamnetrofil) 17

2. Mekanisme Imunologis

PPOK berhubungan dengan respon inflamasi paru yang


abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya, terutama rokok.
1
.Pasien dengan PPOK dilaporkan mengalami peningkatan netrofil di
sputum, jaringan paru dan bronchoalveolar lavage (BAL) dan
neutrofil berperan penting dalam patogensis PPOK. Level serum
immunoglobulin free light chains (IgLC) meningkat pada PPOK
karena rokok. IgLC mengikat netrofil dan cross-linking IgLC pada
netrofil menghasilkan peningkatan produksi IL8 yang merupakan
atraktan selektif untuk netrofil. Sel B juga meningkat pada pasien
PPOK dan sel ini memproduksi IgCL, selain memproduksi IgG dan
IgA. Level serum IgE juga meningkat dan berhubungan dengan
merokok. 17

3. Keseimbangan Oksidan-antioksidan

Stress oksidatif dapat menggangu vasodilatasi dan pertumbuhan


sel endotel.17 Ketika oksidan melebihi antioksidan paru; modifikasi

19
protein, lemak, karbohidrat, dan DNA terjadi dan menghasilkan
kerusakan jaringan. Oksidan tersebut dapat memodifikasi elastin,
sehingga lebih rentan terhadap pembelahan proteolitik. Merokok
dapat menginaktivasi histone deacetylase (HDAC2) dan menyebabkan
transkripsi kemokin/sitokin netrofil (TNF-α dan IL-8) dan MMP
sehingga terjadi degradasi matriks yang mendukung terbentuknya
emfisema. 17

4. Inflamasi Sistemik

PPOK juga memiliki manifestasi ekstrapulmomal. Dinyatakan


bahwa inflamasi pulmonal persisten dapat menyebabkan pelepasan
kemokin dan sitokin proinflamasi ke sirkulasi. Mediator ini dapat
menstimulasi liver, jaringan adiposa dan sumsum tulang untuk
melepaskan sejumlah leukosit, CRP, interleukin (IL)-6, IL-8,
fibrinogen dan TNF-α ke sirkulasi dan menyebabkan inflamasi
sistemik .18 Inflamasi sistemik dapat memulai atau memperburuk
penyakit komorbid, seperti penyakit jantung iskemik, osteoporosis,
anemia normositik, kanker paru, depresi, dan lain-lain. 17

5. Apoptosis

Studi terbaru menyatakan bahwa apoptosis terlibat dalam


perkembangan PPOK dan telah ditunjukkan adanya peningkatan
apoptosis epitel alveolar dan sel endotel di paru pasien PPOK.Karena
tidak diimbangi dengan peningkatan proliferasi protein struktural,
maka hal ini akan berakhir dengan kerusakan jaringan paru dan
emfisema.17

6. Perbaikan yang Tidak Efektif

Ada perbaikan yang tidak efektif pada emfisema dan


keterbatasan kemampuan paru dewasa untuk memperbaiki alveolus
yang rusak. 17

20
E. Patofisiologi

Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh PPOK merupakan


konsekuensi dari mekanisme patofisiologi PPOK, diantaranya adalah :

1. Pembatasan Aliran udara dan Udara yang Terjebak

Inflamasi luas, fibrosis dan eksudat lumen pada saluran


pernapasan kecil berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio
FEV1/FVC, dan mungkin dengan percepatan penurunan FEV1
(karakteristik PPOK), obstruksi saluran napas ini akan menjebak udara
saat ekspirasi dan menyebabkan hiperinflasi. Emfisema juga berperan
dalam menjebak udara selama ekspirasi. Hiperinflasi mengurangi
kapasitas inspirasi demikian juga kapasitas residual fungsional
meningkat, khususnya selama aktivitas, menghasilkan peningkatan
dispnea dan keterbatasan kapasitas saat aktivitas. Hiperinflasi
berkembang pada tahap awal penyakit dan menjadi mekanisme utama
dispnea saat aktivitas. 19

2. Abnormalitas Pertukaran Gas

Abnormalitas pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan


hiperkapnia. Distribusi abnormal rasio ventilasi-perfusi adalah
mekanisme pertukaran gas abnormal pada PPOK. 19 Umumnya transfer
oksigen dan karbon dioksida memburuk selama perjalanan penyakit.
Hal ini menyebabkan retensi karbon dioksida saat dikombinasikan
dengan penurunan ventilasi selama kerja pernapasan tinggi karena
obstruksi berat dan hiperinflasi bersamaan dengan gangguan dari otot
ventilasi. 20

3. Hipersekresi Mukus

Hipersekresi mukus adalah abnormalitas fisiologis pertama


pada PPOK. awalnya adalah stimulasi sekresi dari kelenjar mukus
yang membesar. Lamakelaman hipersekresi mukus terjadi karena
metaplasia epitel skuamosa. Hipersekresi mukus ini menghasilkan

21
batuk produktif yang kronis. Pasien dengan hipersekresi mukus
adalah bila terjadi peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran
kelenjar submukosa. 20

4. Hipertensi Pulmonal

Terjadi pada kasus PPOK yang sudah lama, biasanya setelah


terjadi abnormalitas pertukaran gas. Faktor yang berkontribusi
menyebabkan hipertensi pulmonal pada PPOK termasuk
vasokonstriksi, disfungsi endotel, dan remodelling arteri pulmonal.
Kombinasi ini mungkin suatu saat menyebabkan pembesaran
20
ventrikel jantung kanan. Ada respon inflamasi pada pembuluh
darah yang sama dengan yang terjadi pada saluran napas. Emfisema
dan hilangnya capillary bed juga berkontribusi terjadinya
peningkatan tekanan di sirkulasi pulmonal. 17

5. Gambaran Sistemik

Keterbatasan aliran udara dan khususnya hiperinflasi


mempengaruhi fungsi jantung dan pertukaran gas (Barr et al., 2010).
Mediator inflamasi ke sirkulasi mungkin berkontribusi pada penurunan
massa otot skeletal dan kaheksia, dan mungkin memulai atau
memperburuk penyakit komorbid seperti penyakit jantung iskemik,
gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes, sindroma
metabolik, dan depresi (GOLD, 2013). Efek sistemik ini berkontribusi
pada pembatasan kapasitas aktivitas pada pasien dan memperburuk
prognosis, tidak bergantung pada fungsi paru mereka (Postma, dan
Boezen, 2006).

F. Manifestasi Klinis

Gejala dari PPOK adalah seperti susah bernafas, batuk


kronis dan terbentuknya sputum kronis, episode yang buruk atau
eksaserbasi sering muncul. Salah satu gejala yang paling umum dari
PPOK adalah sesak napas (dyspnea). Orang dengan PPOK umumnya

22
menggambarkan ini sebagai:. "Saya merasa kehabisan napas," atau "Saya
tidak bisa mendapatkan cukup udara ".20
Orang dengan PPOK biasanya pertama sadar mengalami dyspnea
pada saat melakukan olahraga berat ketika tuntutan pada paru-paru yang
terbesar. Selama bertahun-tahun, dyspnea cenderung untuk bertambah
parah secara bertahap sehingga dapat terjadi pada aktivitas yang lebih
ringan, aktivitas sehari-hari seperti pekerjaan rumah tangga. Pada tahap
lanjutan dari PPOK, dyspnea dapat menjadi begitu buruk yang terjadi
selama istirahat dan selalu muncul.20
Orang dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal
pernafasan. Ketika ini terjadi, sianosis, perubahan warna kebiruan pada
bibir yang disebabkan oleh kekurangan oksigen dalam darah, bisa terjadi.
Kelebihan karbon dioksida dalam darah dapat menyebabkan sakit kepala,
mengantuk atau kedutan (asterixis). Salah satu komplikasi dari PPOK
parah adalah cor pulmonale, kejang pada jantung karena pekerjaan
tambahan yang diperlukan oleh jantung untuk memompa darah melalui
paru-paru yang terkena dampak.20 Gejala cor pulmonale adalah
edema perifer, dilihat sebagai pembengkakan pada pergelangan kaki, dan
dyspnea.20

G. Diagnosis

Dalam mendiagnosis PPOK sama seperti mendiagnosis penyakit


lain, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis klinis PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami dispnea, batuk kronis atau produksi sputum berlebihan,
dan riwayat terpajan faktor resiko penyakit. Nilai spirometri dibutuhkan
untuk membuat diagnosis dalam konteks klinis. Adanya nilai FEV1/FVC
postbronkodilator <0.70 memastikan adanya pembatasan aliran udara
yang persisten dan merupakan PPOK. 17

23
1. Anamnesis

Pada anamnesis ditanyakan beberapa hal untuk melihat adanya


riwayat medis pasien yang berhubungan dengan PPOK, yaitu :

a. Pajanan terhadap faktor resiko, seperti asap rokok, pajanan di


pekerjaan atau lingkungan
b. Riwayat medis terdahulu, termasuk asma, alergi, sinusitis, atau
polip nasal;infeksi respirasi saat anak-anak dan penyakit pernapasan
lainnya
c. Riwayat PPOK pada keluarga atau penyakit pernapasan kronis
lainnya
d. Pola perkembangan gejala: PPOK biasanya berkembang pada usia
dewasa dan kebanyakan pasien sadar akan peningkatan kesulitan
bernapas dan beberapa keterbatasan sosial beberapa tahun sebelum
mencari bantuan pengobatan medis
e. Riwayat eksaserbasi atau rawat inap karena penyakit pernapasan
terdahulu
f. Adanya penyakit komorbid: gangguan jantung, osteoporosis,
gangguan muskuloskeletal, dan keganasan yang juga berperan
dalam pembatasan aktivitas.
g. Dampak penyakit dalam kehidupan pasien, kehilangan
pekerjaan dan dampak ekonomi, efek dalam rutinitas keluarga,
merasa cemas dan depresi, serta gangguan aktivitas seksual
h. Kemungkinan menurunkan faktor resiko, misalnya berhenti
merokok

Dalam anamnesis juga akan didapatkan gejala dan keluhan-


keluhan yang disampaikan pasien tentang penyakitnya. Gejala-
gejala pada PPOK diantaranya adalah :

24
a. Batuk

Batuk bisa saja hanya sebentar (pagi awal) awalnya, secara


progresif ada terus sepanjang hari, tetapi jarang nokturnal. Batuk
kronis biasanya produktif dan sering diabaikan dengan
anggapan sebagai konsekuensi dari merokok. Sinkop batuk atau
fraktur kosta karena batuk mungkin terjadi.18

b. Produksi Sputum

Sputum mulai terjadi pada pagi hari tetapi lama-kelamaan akan


muncul terus sepanjang hari. Sputum bersifat mukoid dan
berjumlah sedikit. Produksi sputum ≥3 bulan dalam 2 tahun
adalah definisi epidemiologi dari bronkitis kronis. Perubahan
warna sputum (purulen) atau volume memberi kesan terjadi
11
eksaserbasi infeksius. Produksi sputum sering sulit dievaluasi
karena pasien mungkin lebih memilih menelannya dibandingkan
membuangnya. Pasien yang memproduksi sputum dengan jumlah
besar mungkin memiliki penyakit bronkiektasis. 19

c. Dispnea

Biasanya progresif dan seiring berjalan waktu menjadi


persisten. Saat onset, gejala ini terjadi saat aktivitas (naik
tangga, mendaki bukit, dll) dan dapat dihindari dengan
perubahan perilaku yang tepat (mis. menggunakan elevator).
Bagaimanapun, selama penyakit berkembang, dispnea bahkan
16
akan muncul dalam aktivitas ringan atau istirahat. Dispnea
menjadi penyebab utama ketidakmampuan dan kecemasan yang
dialami pasien berhubungan dengan penyakitnya.

d. Mengi dan Dada Sesak

Mengi dan dada sesak merupakan gejala tidak spesifik dan


mungkin bervariasi setiap hari. Mengi yang dapat terdengar
mungkin berasal dari laring. Dada sesak sering diikuti usaha

25
dalam bernapas, berasal dari kontraksi isometrik otot-otot
interkostal. 18

e. Gambaran pada Penyakit Berat

Lelah, penurunan berat badan dan anoreksia adalah masalah


utama pasien dengan PPOK gejala berat dan sangat berat. Sinkop
batuk terjadi karena peningkatan cepat dari tekanan intratorakal
selama serangan jangka panjang batuk. Batuk yang parah ini juga
bisa menyebabkan fraktur kosta yang biasanya asimptomatis.
Tanda-tanda kor-pulmonale juga menunjukkan keadaan penyakit
yang buruk. Selain itu, mungkin pasien akan mengalami gejala
depresi atau gangguan kecemasan. 19

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pasien PPOK yang masih dini biasanya tidak


20
menunjukkan kelainan. Seiring dengan perjalanan penyakit,
muncullah beberapa tanda dan gejala yang makin lama akan makin
khas menjadi gejala PPOK. PPOK memberikan tanda berupa
gangguan baik pada sistem pernapasan maupun sistemik.

a. Tanda Pernapasan

1. Inspeksi :

Barrel chest, pursed-lips breathing, gerakan tidak normal


dari dada/abdomen dan penggunaan otot-otot pernapasan. Semua
ini merupakan tanda pembatasan aliran udara, hiperinflasi dan
gangguan mekanis dari bernapas 17

2. Palpasi :
Ditemukan fremitus melemah pada emfisema 18

3. Perkusi :
Penurunan letak diafragma, suara timpani karena
hiperinflasi, hati dapat teraba 18

26
4 . Auskultasi :
Suara napas vesikuler normal, atau melemah, terdapat
ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar
jauh 20

b. Tanda Sistemik

Distensi vena leher, pembesaran hatidan edema perifer


dapat terjadi karena cor pulmonale atau selama inflasi yang parah.
Kehilangan massa otot dan kelemahan otot perifer yang konsisten
dengan malnutrisi dan/atau disfungsi otot skelet.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai dalam


mendiagnosis PPOK adalah :

a. Pemeriksaan darah rutin


Untuk melihat nilai Hb, Ht, leukosit, dll. Peningkatan sel darah
merah (eritrositosis), terjadi ketika level oksigen di darah rendah
(hipoksemia) dalam waktu yang lama. Sel darah merah membawa
oksigen di darah. Karena kerusakan paru, pasien PPOK tidak dapat
memperoleh cukup udara. Sehingga reaksi tubuh adalah
meningkatkan produksi sel darah merah untuk meningkatkan
jumlah oksigen di darah. 18

b. Pemeriksaan faal paru dengan spirometri


Pemeriksaan faal paru merupakan hal yang esensial untuk diagnosis
dan penilaian keparahan penyakit, dan juga membantu memantau
progresnya. Nilai yang didapat dari pemeriksaan dengan spirometri
adalah FVC, FEV1dan FEV1 /FVC.Penurunan nilai dari ketiga
parameter diatas menunjukkan adanya gangguan dalam faal paru.
Nilai FEV1 yang didapatkan dari hasil spirometri adalah indeks

27
yang paling sering digunakan untuk menilai obstruki aliran udara,
menilai beratnya PPOK dan juga untuk memantau perjalanan
penyakit.

c. Pemeriksaan Radiologi
Harus dilakukan pada semua pasien. Pemeriksaan radiologi
memang tidak sensitif untuk diagnosis, tetapi membantu dalam
menyingkirkan penyakit lain (pneumonia, kanker, efusi pleura, dan
pneumotoraks). Umum walaupun tidak spesifik, tanda emfisema
adalah diafragma yangmendatar, radiolusensi paru yang
17
ireguler. Bronkitis kronis berhubungan dengan peningkatan
17
tanda bronkovaskular dan kardiomegali. Dengan komplikasi
hipertensi pulmonal, bayangan vaskular hilus menjadi sering, dengan
kemungkinan adanya pembersaran ventrikular kanan.

d. Analisa Gas Darah Arteri (AGDA)


Analisa gas darah arteri memberikan petunjuk tentang keakutan dan
keparahan eksaserbasi dari penyakit. Pasien PPOK mengalami
hipoksemia ringan sedang tanpa hiperkapnia. Seiring
perjalanan penyakit, hipoksemia memburuk dan hiperkapnia mulai
berkembang. Mekanisme paru dan pertukaran gas memburuk selama
eksaserbasi akut. Umumnya ada mekanisme kompensasi ginjal yang
terjadi bahkan saat CO2 yang kronisbertahan dalam tubuh
(bronkitis); sehingga pH biasanya mendekati normal. Biasanya, bila
didapati pH dibawah 7,3 dapat menjadi tanda gangguan akut dari
sistem pernapasan 19

e. Evaluasi Sputum
Pada bronkitis kronis stabil, sputumnya mukoid dan makrofag
sangat banyak. Dengan eksaserbasi, sputum menjad purulen karena
adanya neutrofil. Peningkatan jumlah sputum merupakan tanda

28
eksaserbasi akut (Mosenifar, 2013). Beberapa organisme yang
sering ditemukan dari kultur adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae. Moraxella catarrhalis juga sering, dan
Pseudomonas aeruginosa dapat ditemukan pada pasien dengan
obstruksi berat.

f. Pemeriksaan Alfa-1 Antitripsin


Pasien dengan tingkat AAT rendah, diagnosis definitifnya
membutuhkan penentuan tipe Pi. Hal ini dilakukan dengan fokus
isoelektris pada serum yang mewakili lokus Pi untuk alel umum
dan alel Pi lain yang jarang. Molecular genotyping DNA dapat
17
dilakukan untuk alel Pi yang umum. Tingkat α1-antitripsinharus
diperkirakan pada pasien PPOK muda (dekade 4 atau 5) dan
memiliki riwayat keluarga yang kuat. Nilai serum α1-antitripsin
<15–20% dari batas normal merupakan tanda dari defisiensi α1-
antitripsin 15

H. Derajat PPOK
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan
Dokter Paru Indonesia) maka PPOK dikelompokkan ke dalam : 16

1) PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau
tanpa produksi sputum dan dengan sesak napas derajat nol sampai
satu. Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya me-nunjukkan VEP1
≥ 80% prediksi (normal) dan VEP1/KVP < 70 %
2) PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk.
Dengan atau produksi sputum dan sesak napas dengan
derajad dua. Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya
menunjukkan VEP1 ≥ 70% dan VEP1/KVP < 80% prediksi.
3) PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad
tiga atau empat dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering
terjadi. Disertai komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan.

29
Adapun hasil spirometri menunjukkan VEP1/KVP < 70 %, VEP1<
30 % prediksi atau VEP1> 30 % dengan gagal napas kronik. Hal ini
ditunjukkan dengan hasil pe-meriksaan analisa gas darah dengan
kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipokse-mia dengan
hiperkapnia.

Derajat PPOK Berdasarkan Kriteria GOLD

Kriteria GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive


Lung Disease) adalah suatu kriteria yang dipakai secara
internasional yang merupakan kolaborasi antara National Institutes of
Health (NIH) dan World Health Organization (WHO) dalam menentukan
derajat keparahan pada pasien PPOK.
Kriteria GOLD untuk PPOK mengklasifikasikan penderita PPOK
berdasarkan derajat pembatasan aliran udara (obstruksi). Selain untuk
mengklasifikasikan, kriteria GOLD ini juga berguna untuk mendiagnosis
obstruksi. Derajat keparahan PPOK dinilai berdasarkan nilai dari hasil
pemeriksaan spirometri. 8

Nilai spirometri yang digunakan dalam penentuan kriteria GOLD adalah :

1) FVC (Forced Vital Capacity)atau Kapasitas Vital Paksa adalah total


volume udara yang dapat pasien keluarkan secara paksa dalam sekali
bernapas.
2) FEV1 (Forced Expiratory Volume in One Second)atau Volume
Ekspirasi Paksa detik 1 adalah volume udara yang dapat dikeluarkan
pasien dalam detik pertama saat ekspirasi paksa.
3) FEV1 /FVC adalah rasio FEV1 terhadap FVC yang dinyatakan dalam
fraksi 8

Kriteria spirometri yang diperlukan dalam kriteria GOLD


untuk diagnosis derajat keparahan PPOK adalah FEV1 /FVC setelah
pemberian bronkodilator8

30
Mild COPD atau PPOK ringan, pada tahap ini pasien mungkin belum
menyadari bahwa fungsi parunya tidak normal.

Moderate COPD atau PPOK sedang, gejala biasanya berkembang pada


tahap ini, dengan napas yang memendek saat melakukan aktivitas.

Severe COPD atau PPOK berat, pemendekan nafas semakin buruk pada
tahap ini dan sering membatasi aktivitas harian pasien. Eksaserbasi
biasanya mulai dapat terlihat pada tahap ini.

Very severe COPD atau PPOK sangat berat, pada tahap ini kualitas
hidup sudah sangat terganggu dan eksaserbasi pada pasien bisa mengancam
jiwa. 8

I. Penatalaksanaan

Adapun tujuan dari penatalaksanaan PPOK ini adalah :17

- Mencegah progresifitas penyakit


- Mengurangi gejala
- Meningkatkan tolenransi latihan
- Mencegah dan mengobati komplikasi
- Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang

31
- Mencegah dan meminimalkan efek samping obat
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualitas hidup penderita
- Menurunkan angka kematian

Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai


salah satu tujuan selama tata laksana PPOK.

a. Terapi Farmakologis

Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis


bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang
(long acting).20

Macam-macam bronkodilator : 20
- Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai


bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).

- Golongan agonis beta-2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan


jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang
berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidka dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

32
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek


bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah penderita.

- Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan


jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet
biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk
suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin
darah.

Kortikosteroid

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau


injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi
sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.20

Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan : 20

Lini I : amoksisilin

Makrolid

Lini II : amoksisilin dan asam kluvanat

Sefalosporin, kuinolon, makrolid baru

33
Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas


hidup, digunakan N- asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK
dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai
pemberian yang rutin. 20

Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan


mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. 20

b. Terapi non-farmakologis
Terapi oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan


berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat
oksigen: 20

- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktivitis
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualitas hidup

34
Indikasi :20

Pao2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90%

Pao2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor
Pulmonal, perubahan Pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung
kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.

Ventilasi mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan


gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada
pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik
dapat digunakan dengan cara : 20

- Ventilasi mekanik dengan intubasi

Digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan


dapat digunakan selama di rumah.

- Ventilasi mekanik tanpa intubasi

Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah


Noninvasive Intermitten

Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pressure Ventilation (NPV).

Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena


bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan
terjadinya hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti
PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan
perubahan analisis gas darah.20

35
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan : 20

- Penurunan berat badan


- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot
pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Rehabilitasi

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan


dan memperbaiki kualitas hidup pendita PPOK. Program rehabilitasi
terdiri dari 3 komponen yaitu : 20

- Latihan fisik
- Latihan pernapasan dan latihan endurance
- Rehabilitasi psikososial

Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut2

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan


dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan
infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya
komplikasi.

Gejala eksaserbasi :

- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :

a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas


b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas

36
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah
infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.

Penyebab eksaserbasi akut

Primer :

- Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus) Sekunder.


- Pnemonia
- Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
- Emboli paru
- Pneumotoraks spontan
- Penggunaan oksigen yang tidak tepat
- Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
- Nutrisi buruk
- Lingkunagn memburuk/polusi udara
- Aspirasi berulang
- Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)

Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah


(untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi
sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan
dirumah oleh penderita yang telah diedukasi dengan cara :

- Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah


bentuk bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler,
oral dengan bentuk nebuliser
- Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
- Menambahkan mukolitik
- Menambahkan ekspektoran

37
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.

Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara


rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di :

1. Poliklinik rawat jalan


2. Unit gawat darurat
3. Ruang rawat
4. Ruang ICU

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi


segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila
telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian.
Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi :

1. Diagnosis beratnya eksaerbasi

- Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal


- Kesadaran
- Tanda vital
- Analisis gas darah
- Pneomonia

2. Terapi oksigen adekuat

Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama


dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah
keadaan yang mengancam jiwa. dapat dilakukan di ruang gawat darurat,
ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau
Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia. gunakan sungkup dengan kadar
yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan
apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing, tergantung kadar
Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi
oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam
penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive

38
Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik
digunakan dengan intubasi.

3. Pemberian obat-obatan yang maksimal Obat yang diperlukan pada


ksaserbasi akut

a. Antibiotik

- Peningkatan jumlah sputum


- Sputum berubah menjadi purulen
- Peningkatan sesak

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat


dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian
antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan
untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan
makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal.

b. Bronkodilator

Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus


diberikan dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila
digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar
bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser yang
memakai oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10
liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2.
Golongan xantin diberikan bersamasama dengan bronkodilator lainnya
karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di
rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser,
dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya
palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.

c. Kortikosteroid

Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada


eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-

39
2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih
dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih
banyak menimbulkan efek samping.

4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia


berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas

5. Ventilasi mekanik

Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan


mengurangi mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom.
Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan
ventilasi mekanik dengan intubasi

6. Kondisi lain yang berkiatan

- Monitor balans cairan elektrolit


- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia

7. Evaluasi ketat progesivitas penyakit

Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi


dan menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan
segera dapat mencegah dan gagal napas berat dan menghindari
penggunaan ventilasi mekanik.

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi :

- Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit


- Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal
- Kesadaran menurun
- Hipoksemia berat PaO2 < 50 mmHg
- Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg
- Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi

40
- Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia,
barotrauma, efusi pleura dan emboli masif
- Penggunaan NIPPV yang gagal
J. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah : 20
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal

Gagal napas kronik :

Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg,
dan pH normal, penatalaksanaan :

- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2


- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu
tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :

- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis


- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun

Infeksi berulang

Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan


terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang.
Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan
menurunnya kadar limposit darah.

41
Kor pulmonal :

Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat


disertai gagal jantung kanan.

2.1.2 SINDROM OBSTRUKSI PASCA TUBERKULOSIS ( SOPT)

A. Definisi
Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) adalah obstruksi
jalan nafas yang muncul setelah tuberkulosis (TB) akibat mekanisme
imunologi selama proses TB.28 Pada sebagian penderita TB, secara klinik
timbul gejala sesak terutama pada aktivitas, gambaran radiologi
menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik, kalsifikasi) yang minimal, dan
uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak
reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori
penyakit Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT).27
B. Patogenesis
Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada
penelitian terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat
infeksi TB yang dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang yang menurun
sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan
peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan yang berlangsung lama ini
menyebabkan gangguan faal paru berupa adanya sputum, terjadinya
perubahan pola pernapasan, relaksasi menurun, perubahan postur tubuh,
berat badan menurun, dan gerak lapang paru menjadi tidak maksimal.23
Apabila tubuh terinfeksi M. tuberculosis maka sistem imun host
akan bekerja melawan infeksi tersebut. Akibatnya M. tuberculosis akan
melepasan komponen toksik ke dalam jaringan yang akan menginduksi
hipersensitivitas seluler sehingga akan meningkatkan respons terhadap
antigen bakteri yang menimbulkan kerusakan jaringan, nekrosis, dan
penyebaran bakteri lebih lanjut.26

42
Perjalanan dan interaksi imunologi dimulai ketika makrofag
bertemu dengan M. tuberculosis. Dalam keadaan normal, infeksi TB
merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih
efektif membunuh bakteri. Makrofag aktif melepaskan IL-1 yang
merangsang limfosit T. Limfosit T melepaskan IL-2 yang selanjutnya
merangsang limfosit T lain untuk bereplikasi, matang, dan memberi
respons lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur
keseimbangan imunitas melalui peranan yang kompleks dan sirkuit
imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB progresif, maka
keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis
jelek. Pada makrofag aktif, metabolisme oksidatif meningkat dan
melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida, hidrogen peroksida,
dan radikal hidroksil yang menimbulkan kerusakan pada membran sel dan
dinding sel M. tuberculosis. Beberapa hasil infeksi M. tuberculosis
dapat bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag sehingga tetap
terjadi proses infeksi yang dapat mendestruksi matriks alveoli.
Diduga proses proteolisis dan oksidasi sebagai penyebab destruksi
matriks di mana proteolisis mendestruksi protein yang membentuk
matriks dinding alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi berarti
pelepasan elektron dari suatu molekul.Kehilangan elektron pada suatu
struktur mengakibatkan fungsi molekul akan berubah.21,22
Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel
endotel, dan anti protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease,
yaitu:1) Elastase, yang paling kuat memecah elastin dan protein jaringan
ikat lain sehingga sanggup menghancurkan dinding alveoli; 2) Catepsin
G, menyerupai elastase, tetapi potensinya lebih rendah dan dilepas
bersama elastase; 3) Kolagenase, cukup kuat tetapi hanya bisa memecah
kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat menimbulkan emfisema; 4)
Plasminogen aktivator, urokinase dan tissue plasmin activator yang
merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain merusak fibrin
juga mengaktifkan proenzim elastase dan bekerja sama dengan elastase.21

43
Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara langsung, seperti
peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi dengan merusak sel
terutama pneumosit I, modifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka
terhadap proteolisis, berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya
antiproteasenya menurun.21
Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga
sistem imun diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis
dan beban oksidasi sangat meningkat untuk waktu lama sehingga destruksi
matriks alveoli cukup luas menuju kerusakan paru menahun (kronik) dan
gangguan faal paru yang akhirnya dapat dideteksi dengan spirometri.22
C. Tatalaksana
Pada sebagian bekas penderita TB, masih mengeluhkan batuk
bahkan timbul sesak bertahun-tahun kemudian (SOPT). Gejala ini terjadi
karena adanya kerusakan paru yang permanen, gangguan menetep
restriktif dan sebagian obstruktif pada spirometri. Biasanya penderita
SOPT ini ireversibel pada pemberian obat bronkodilator dan bahkan
dengan kortikosteroid.25 Namun, SOPT termasuk dalam penyakit
obstruksi paru yang gejalanya mirip dengan PPOK, maka pemberian terapi
mirip dengan PPOK. Terapi SOPT diberikan sesuai kausa. Pilihan
terapi untuk SOPT, adalah :
1. Bronkodilator :
a. golongan antikolinergik : ipratropium bromida (0,5mg)
b. golongan agonis β-2 : salbutamol (2,5mg)
c. kombinasi : ipratropium bromida (0,5mg) dengan
salbutamol (2,5mg), nebulasi
d. golongan xantin : aminofilin (200mg)
2. Antiinflamasi : prednisone dan metilprednisolon
3. Anti-Oksidan : N-acetyl cystein
4. Antibiotika (hanya diberikan jika terdapat infeksi) : golongan β-
lactam dan makrolid.
5. Terapi oksigen
6. Rehabilitasi medic

44
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Rekam Medis Pasien


ANAMNESE PRIBADI
Nama : Tn. Man Hadi
Umur : 56 Tahun (25-06-1962)
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Swasta
Suku : Bengkulu
Agama : Islam
Alamat : Teluk Sepang, Bengkulu
MRS : 10 Januari 2019, 10.45 WIB
No. RM : 09.89.82
Jaminan Kesehatan : BPJS

ANAMNESE PENYAKIT
Keluhan Utama : Sesak nafas sejak 1 hari yang lalu.
Telaah : Sejak 1 hari yang lalu os mengeluh sesak nafas. Sesak nafas
mulanya dirasakan saat os beraktivitas. Sesak berkurang saat keadaan istirahat. Sesak
semakin memberat sejak 2 bulan yll dan keluhan sudah dirasakan sjk 1 tahun yll.
Sesak tidak dipengaruhi cuaca, debu. Saat tidur os menggunakan 2 bantal. Sesak
tidak disertai bunyi “mengi”. Keluhan disertai dengan demam (+), batuk kering (+),
keringat di malam hari walaupun dalam keadaan istirahat (+), nafsu makan minum
berkurang (+), berat badan menurun (+), nyeri dada bawah kanan dan kiri tembus ke
belakang (+). Keluhan lain : mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (+) dirasakan
sesekali saja, timbul secara tiba-tiba, tidak bergantung pada rasa lapar, nyeri bila
ditekan (-), menggigil (-), nyeri kepala (-), mata kemerahan (-), bintik-bintik pada
kulit (-), nyeri otot (-). Riwayat BAK normal (+), BAK tersendat-sendat (-), nyeri
saat BAK (-), BAK berwarna seperti cucian daging (-), BAK berpasir (-), BAK

45
berbatu (-). Riwayat BAB warna hitam 1 hari yll (+), namun saat ini BAB normal.
OS mengatakan pernah meminum obat rutin selama 6 bulan.

RPD : HT (-), DM (-), Asma Bronkial (-), TB Paru (+), Penyakit


Jantung (CAD) (+)
RPK : Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan
serupa dengan os
RPS : Perokok aktif (+), alkohol (-)
RPO : Digoxin, Aspilet, Brilinta, Atorvastatin,
Metilprednisolone, Salbutamol, Vbloc (tidak jelas)

ANAMNESE ORGAN
Jantung Sesak nafas :+ Edema :-
Angina pektoris :+ Palpitasi :-
Lain-lain :-
Sal. Pernafasan Batuk-batuk :+ Asma, bronkitis :-
Dahak :- Lain-lain :-
Sal. Pencernaan Nafsu makan : +, menurun Penurunan BB :+
Keluhan menelan :- Keluhan defekasi :+
Keluhan perut :- Lain-lain :-
Sal. Urogenital Sakit BAK :- BAK tersendat :-
Mengandung batu :- Keadaan urin :-
Lain-lain :-
Sendi dan tulang Sakit pinggang :- Keterbatasan gerak :-
Kel. Persendiaan :- Lain-lain :-
Endokrin Haus/polidipsi :- Gugup :-
Poliuri :- Perubahan suara :-
Polifagi :- Lain-lain :-
Syaraf Pusat Sakit kepala :- Sempoyong :-
Lain-lain :-
Darah dan P. Pucat :- Perdarahan :-

46
darah Petechie :- Purpura :-
Lain-lain :-
Sirkulasi Claudicatio intermitten : -

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK


STATUS PRESENS :
Keadaan Umum Keadaan Penyakit
Sensorium : CM Pancaran Wajah : lemah
TD : 80/60 mmHg Refleks fisiologis :+
Nadi : 90 x/i reg t/v : cukup Refleks patologis :-
Pernafasan : 29 x/i
Temperatur : 36.1oC
Keadaan Gizi : Anemia (-). Ikterus (-). Dispnoe (+).
TB : 155cm ; BB : 45 kg Sianosis (-). Udem (+). Purpura (-).
IMT : 18.75 Turgor kulit : baik
Kesan : Normoweight

KEPALA
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), ikterus (-/-), pupil : isokor, ukuran
Ø 3mm.
Refleks cahaya direk (+/+) / indirek (+/+), kesan : normal
Lain-lain : -
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Mulut : Lidah : dalam batas normal
Gigi/geligi : dalam batas normal
Tonsil/faring : dalam batas normal

LEHER
Struma : tidak membesar
Pembesaran kelenjar limfe (-)

47
Posisi trakea : Deviasi ke kiri. JVP : 5-2 cmH2O
Kaku kuduk : (-), lain-lain : -

TORAKS DEPAN
Inspeksi : venektasi (-), vena kolateral (-), ikterik (-)
Bentuk : Sela iga tampak melebar
Pergerakan : simetris kanan dan kiri
Palpasi
Nyeri tekan : tidak dijumpai
Fremitus suara : SF paru kanan dan kiri menurun.
Iktus :-
Perkusi
Paru
Batas Paru – Hati R/A : R : ICS V ; A : ICS VI, hipersonor
hemitoraks dextra.

Jantung
Batas atas jantung : ICR II linea parastrernal sinistra
Batas kiri jantung : ICR IV linea midclavicula sinistra
Batas kanan jantung : ICR II-IV lateral linea parasternalis dextra
Auskultasi
Paru
Suara pernafasan : Vesikuler pada kedua lapangan paru
Suara tambahan : wheezing (+/-), rhonkii apeks paru (+/+)
Jantung
BJ I-II (+) regular, murmur (-), gallop (-). HR : 90 x/i, reguler, intensitas :
cukup.

TORAKS BELAKANG
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : SF paru kanan dan kiri menurun.

48
Perkusi : Hipersonor hemitoraks dextra
Auskultasi : Suara pernafasan : Vesikuler pada kedua lapangan paru
Suara tambahan : wheezing (+/-), rhonkii apeks paru
(+/+)

ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : Simetris, ascites (-)
Gerakan lambung/usus : Tidak tampak
Vena kolateral : (-)
Caput medusae : (-)

Palpasi
Dinding abdomen : Soepel, H/L/R: tidak teraba
Hepar
Pembesaran : (-)
Limpa
Pembesaran : (-)
Ginjal
Ballotement : (-) Lain-lain : (-)
Tumor : (-)

Perkusi
Pekak Hati : (-)
Pekak beralih : (-)

Auskultasi
Peristaltik usus : Peristaltik (+) normal.
Lain-lain : (-)
Pinggang
Nyeri ketok sudut kostovertebra : (-)

49
INGUINAL : Normal
GENITALIA LUAR : Tidak diperiksa.

PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT) : tidak dilakukan pemeriksaan

ANGGOTA GERAK ATAS ANGGOTA GERAK BAWAH


Kiri Kanan
Deformitas sendi :- Udem + +
Lokasi :- A. femoralis + = +
Jari tabuh :- A. tibialis posterior + = +
Tremor ujung jari :- A. dorsalis pedis + = +
Telapak tgn sembab :- Refleks APR + +
Sianosis :- Refleks KPR + +
Eritema palmaris :- Refleks fisiologis + +
Lain-lain :- Refleks patologis - -
Lain-lain - -

PEMERIKSAAN LABORATORIUM 10 Januari 2019


Darah Kemih (Tidak diperiksa) Tinja (Tidak diperiksa)
Hb : 14.30 g/dl Warna : - Warna :-
Lekosit: 7.800 / mm3 Reduksi : - Konsistensi :-
LED : (tidak diperiksa) Protein : - Eritrosit :-
Ht : 43 % Bilirubin : - Lekosit :-
Trombosit : 209.000/ Urobilinogen : - Amuba/kista : -
mm3
Troponin I : (-) Sedimen Telur cacing
GDS : 74 mg/dl Eritrosit : - Askaris :-
Ureum : 14 mg/dl Lekosit : - Ankilostoma : -
Creatinin : 0.6 mg/dl Silinder : - Trichuris :-
Epitel :- Kremi :-

50
Hasil Pemeriksaan EKG “10 Januari 2019”

RESUME

ANAMNESE KU : Sesak nafas sejak 1 hari yang lalu.


Telaah : Sejak 1 hari yang lalu os mengeluh sesak nafas. Sesak nafas
mulanya dirasakan saat os beraktivitas. Sesak berkurang saat keadaan
istirahat. Sesak semakin memberat sejak 2 bulan yll dan keluhan sudah
dirasakan sjk 1 tahun yll. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, debu. Saat
tidur os menggunakan 2 bantal. Sesak tidak disertai bunyi “mengi”.
Keluhan disertai dengan demam (+), batuk kering (+), keringat di
malam hari walaupun dalam keadaan istirahat (+), nafsu makan minum
berkurang (+), berat badan menurun (+), nyeri dada bawah kanan dan

51
kiri tembus ke belakang (+). Keluhan lain : nyeri ulu hati (+) dirasakan
sesekali saja, timbul secara tiba-tiba, tidak bergantung pada rasa lapar.
Riwayat BAK normal. Riwayat BAB warna hitam 1 hari yll (+),
namun saat ini BAB normal. OS mengatakan pernah meminum obat
rutin selama 6 bulan.
STATUS Keadaan Umum : Baik / Sedang / Buruk
PRESENS Keadaan Penyakit : Ringan / Sedang / Berat
Keadaan Gizi : Kurang / Normal / Berlebih
PEMERIKSAAN Kepala : mata : ikterik (-/-), anemis (-/-)
FISIK Leher : JVP : 5-2 cm H2O, pembesaran KGB (-)
Abdomen :
I : dalam batas normal
P : soepel, lemas.
P : Timpani
A : Peristaltik (+) normal
Cor :
I : Iktus kordis tidak terlihat
P : Iktus kordis tak teraba, thrill (-)
P:
Batas atas jantung : ICR II linea parastrernal sinistra
Batas kiri jantung : ICR IV linea midclavicula sinistra
Batas kanan jantung : ICR II-IV lateral linea parasternalis
dextra
A : BJ I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmonary :
I : Simetris fusiformis
P : SF menurun pada paru kanan dan kiri.
P : Hipersonor pada hemitoraks dextra
A : Suara pernafasan : Vesikuler pada kedua lapangan paru
Suara tambahan : wheezing (+/-), rhonkii apeks paru (+/+)

52
Ekstremitas : Inf: udem (+/+)
Sup: dalam batas normal
Laboratorium Darah : normal.
Rutin Kemih : tidak dilakukan pemeriksaan.

Tinja : tidak dilakukan pemeriksaan

Diagnosa Banding 1. UAP


2. CAD
3. Asma Bronkial
4. TB Paru
Diagnosa PPOK eksaserbasi akut + Sindrom Obstruktif Paska TB (SOPT) + Cor
sementara Pulmonale Kronik

Penatalaksanaan Aktivitas : Tirah Baring


Diet : Nasi Lunak
Tindakan supportif : - IVFD RL gtt asnet (asal netes) mikro
Medikamentosa :
- O2 nasal kanul 2-3 lpm
- inj Ranitidine 50mg/12jam (IV)
- Inj. Metilprednisolone 2 x 1 vial (IV)
- Cefadroxil 2 x 500 mg (PO)
- Bisolvon syr 3 x 1 C (PO)
- Berotec Spray 3 x 1
- Spiriva spray 1 x1 puff ( malam )
- Combivent nebulizer (kapan perlu) jika masih sesak
Monitoring Keluhan dan Tanda-Tanda Vital
Prognosis Ad Vitam : dubia ad malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanam : dubia ad malam

53
BAB IV
KESIMPULAN

1. Menurut World Health Organization (WHO), definisi kor pulmonal adalah


keadaan patologis dengan hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh
kelainan fungsional dan struktur paru.
2. Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor
pulmonal akut tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor pulmonal
kronik sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
3. Penyebab terbanyak kor pulmonal berturut-turut adalah asma bronkial,
tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit interstisial paru,
bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Menurut penelitian sekitar 80-
90% pasien kor pulmonal mempunyai PPOK.
4. PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai
dengan limitasi aliran udara yang persisten dan progresif, akibat respons
inflamasi kronik pada jalan napas dan parenkim paru yang disebabkan
gas atau partikel beracun.
5. Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) adalah obstruksi jalan
nafas yang muncul setelah tuberkulosis (TB) akibat mekanisme imunologi
selama proses TB.28

54

Anda mungkin juga menyukai