Anda di halaman 1dari 11

Reading Assignment Telah Dibacakan

Divisi Kardiologi

p
dr. Dwi Prianto dr. Rahmad Isnanta SpPD KKV

KOR PULMONAL KRONIK


Dwi Prianto / Refli Hasan / Rahmad Isnanta / Zainal Safri
DIVISI KARDIOLOGI
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PENDAHULUAN

Kor pulmonal adalah hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal
yang disebabkan oleh penyakit yang menyerang struktur, fungsi paru, atau pembuluh darah
pulmonal yang dapat berlanjut menjadi gagal jantung kanan dan tidak berhubungan dengan
kelainan jantung kiri.1 Menurut Weitzenblum istilah hipertrofi memiliki makna perubahan
struktur dan fungsi ventrikel kanan. Untuk mendiagnosa suatu kor pulmonal secara klinis
diperlukan tanda klinis yaitu adanya edema. Rerata tekanan artei pulmonal dapat meningkat
sampai 30-40 mmHg pada pasien PPOK berat dibandingkan pada angka normal 10-18 mmHg.
Rerata tekanan selama aktivitas dapat meningkat 50-60 mmHg atau lebih. 1
Menurut World Health Organization (WHO), definisi kor pulmonal adalah keadaan
patologis dengan hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan
struktur paru. Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan penyebab yang paling banyak
sekita 80-90 % kasus kor pulmonal. Pasien dengan komplikasi kor pulmonal kronik memiliki
angka harapan hidup yang lebih rendah disbanding pasien tanpa komplikasi tersebut. Perubahan
tekanan arteri pulmonalis tidak selalu berkorelasi dengan gangguan sistolik ventrikel kanan, hal
ini dibuktikan dengan hipertensi pulmonal pada kor pulmonal biasanya berada pada derajat
ringan sampai sedang. Dengan demikian, disfungsi ventrikel kanan tidak hanya dipengaruhi oleh
perubahan tekanan arteri pulmonalis, tetapi juga berhububungan dengan mikrosirkulasi
miokardium. 2
Berbeda dengan Kor Pulmonal akut yang merupakan suatu peregangan atau pembebanan
akibat hipertensi pulmonal akut , yang paling sering disebabkan oleh emboli paru akut, kor
pulmonal kronik ini disebabkan karena hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan penyakit
paru obstruksi maupun restriksi. Insiden kejadian kor pulmonal sekitar 6% sampai 7% dari
seluruh penyakit jantung. Penyebab tersering dari kor pulmonal kronik sekitar 90 % disebabkan
oleh adanya PPOK. Di Inggris terdapat sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko terjadinya kor
pulmonal pada populasi usia lebih dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi telah mengalami
hipertensi pulmonal yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.2

Definisi

Menurut World Health Organization (WHO), kor pulmonal adalah suatu keadaan patologis
dengan hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru
tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung
kongenital (bawaan).3
Menurut Braunwahl, kor pulmonal adalah keadaan patologis akibat hipertrofi atau dilatasi
ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal. Penyebabnya antara lain penyakit
parenkim paru, kelainan vaskuler paru, dan gangguan fungsi paru karena kelainan thoraks, tidak
termasuk kelainan vaskuler paru yang disebabkan kelainan ventrikel kiri, penyakit jantung
bawaan, penyakit jantung iskemik, dan infark miokard akut.2,3

Etiologi dan Patogenesis


Etiologi kor pulmonal kronik dapat digolongkan dalam 4 kelompok : 4
1. Penyakit pembuluh darah paru
2. Tekanan darah pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum,aneurisma,
granuloma atau fibrosis
3. Penyakit neuromuscular dan dinding dada
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk PPOK. Penyakit paru
lain adalah penyakit paru interstitial dan gangguan pernapasan saat tidur.
Penyakit paru kronis akan mengakibatkan beberapa proses yaitu :
1. Berkurangnya “vascular bed” paru dapat disebabkan oleh terdesaknya pembuluh
darah oleh paru yang mengembang atau kerusakan paru
2. Asidosis dan hiperkapnia
3. Hipoksia alveolar, yang akan merangsang vasokrontriksi pembuluh darah
4. Polisitemia dan hiperviskositas darah
Semua proses diatas akan menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal (perjalanan lambat).
Dalam jangka Panjang akan mengekibatkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan kemudian
akan berlanjut dengan gagal jantung kanan.
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang secara
primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-paru berulang, dan penyakit
yang mengganggu aliran darah paru-paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.4
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi peningkatan
resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya
meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan
kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada
peningkatan resistensi vaskuler paru pada arteri dan arteriola kecil.4
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru adalah: (1)
vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat adanya hipoksia dan (2) obstruksi dan/atau
obliterasi jaringan vaskular paru-paru. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan
yang kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia
alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru, sehingga timbul
respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis, hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja
secara sinergistik dalam menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang
meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia
kronik dan hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.5
Mekanisme kedua  yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan tekanan arteri paru
adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh kerusakan bertahap dari struktur alveolar
dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya
pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu,
pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari
volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman
vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal.
Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau
rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis respiratorik
kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat
hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi-ventilasi. 6 Setiap penyakit paru
memengaruhi pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat
mengakibatkan kor pulmonal.5,6
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi pulmonal dan tidak bisa
dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada parenkim paru, kinerja paru, maupun
sistem peredaran darah paru secara akut maupun kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi
pulmonal.6

Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya hipertensi pulmonal
yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular. Ketiganya adalah mekanisme
vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh darah pulmonal, dan trombosis in situ. Ketiga
mekanisme ini terjadi akibat adanya dua faktor yakni gangguan produksi zat-zat vasoaktif
seperti, nitric oxide dan prostacyclin, sserta akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari
mediator vasokonstriktor seperti, endothelin- 1. Dengan diketahuinya mekanisme tersebut maka
pengobatan terhadap hipertensi pulmonal menjadi lebih terang yakni dengan pemberian preparat
nitric oxide, derivat prostacyclin, antagonis reseptor endothelin-1, dan inhibitor
phosphodiesterase-5.6

Penyakit paru kronis

Kerusakan paru & semakin Asidosis dan Hipoksia Polisitemia dan


terdesaknya pembuluh darah hiperkapnia alveolar hiperviskositas
oleh paru yang darah
mengembang

Berkurangnya vascular bed Vasokonstriksi


paru

Hipertensi Pulmonal

Hipertrofi dan dilatasi


ventrikel kanan

Kor pulmonal

Gambar 1. Patogenesis Kor Pulmonal


Diagnosis
Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya hipertensi pulmonal
akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk menegakkan diagnosis kor pulmonal
secara pasti maka dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
secara tepat. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang
mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun fungsional. Adanya
hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan hanya pemeriksaan fisik dan
anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan penunjang. Untuk mendiagnosa kor pulmonal pada
PPOK ditegakan dengan menemukan tanda PPOK, asidosis dan hiperkapnia, hipoksia,
polisitemia, dan hiperviskositas darah, hipertensi pulmonal, hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan
dan gagal jantung kanan. 4
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Untuk mendiagnosa dapat dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang
mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas waktu
beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal berupa pembesaran ventrikel
kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan
akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya
edema dan nyeri parut kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi
branchus, edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal
jantung kanan. 7
Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena adanya peningkatan
kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas paru-paru (fibrosis penyakit paru)
atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK). Nyeri dada atau angina juga dapat terjadi. Hal ini
terjadi disebabkan oleh iskemia pada ventrikel kanan atau teregangnya arteri pulmonalis.
Hemoptisis, karena rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami arteroslerotik atau
terdilatasi akibat hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejala-
gejala neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan hipoksemia.6,7
Selanjutnya pada pemeriksaan fisik, kita bisa mendapatkan keadaan sianosis, suara P2 yang
mengeras, ventrikel kanan dapat teraba di parasternal kanan. Terdapatnya murmur pada daerah
pulmonal dan triskuspid dan terabanya ventrikel kanan merupakan tanda yang lebih lanjut. Bila
sudah terjadi fase dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu juga dapat
ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis, hepatomegali,
splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan tanda-tanda terjadinya overload pada ventrikel
kanan.2

Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada pasien kor pulmonal kronik dapat menentukan penyebab
primer terjadinya kor pulmonal kronik. Gambaran radiologi hipertensi pulmonal adalah dilatasi
arteri pulmonalis utama dan cabang-cabangnya, meruncing ke perifer, dan lapang paru perifer
tampak relatif oligemia. Pada hipertensi pulmonal, diameter arteri pulmonalis kanan >16mm dan
diameter arteri pulmonalis kiri >18mm pada 93% penderita. Hipertrofi ventrikel kanan terlihat
pada rontgen thoraks PA sebagai pembesaran batas kanan jantung, pergeseran kearah lateral
batas jantung kiri dan pembesaran bayangan jantung ke anterior, ke daerah retrosternal pada foto
dada lateral.3

Gambar 2. Foto thoraks anteroposterior dan lateral kor pulmonal

Elektrokardiogram
Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1 S2 S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan II,III dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena adanya
hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran
gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan infark
miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur atrium
terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial paroksismal,
takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat
dicetuskan karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia,
gangguan keseimbangan asam- basa, gangguan elektrolit, serta penggunaan
bronkodilator berlebihan).8

Gambar 3. Elektrokardiografi Kor Pulmonal

Ekokardiografi
Ekokardiografi adalah salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan
penegakan diagnosis kor pulmonal secara baik. Dari hasil ekokardiografi dapat ditemukan
dimensi ruang ventrikel kanan yang membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal.
Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang “a” hilang, menunjukkan hipertensi
pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal
karena “accoustic window” sempit akibat penyakit paru.8
Gambar 4. Ekokardiografi Kor Pulmonal (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan kor pulmonale pada umumnya adalah untuk: 8
1. Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas
2. Menurunkan hipertensi pulmonal
3. Meningkatkan kelangsungan hidup
4. Pengobatan penyakit dasar dan komplikasinya
Untuk mencapai tujuan tersebut pengobatan dapat dilaksanakan dengan
dimulainya berhenti merokok serta tatalaksana lanjutan sebagai berikut:

1. Terapi Oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan kelangsungan hidup belum
diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1) terapi oksigen mengurangi vasokontriksi dan
menurunkan resistensi vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan,
(2) terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke
jantung, otak, dan organ vital lainnya. 8
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National Institute of Health, USA); 15
jam (British Medical Research Counsil) , dan 24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup
1
dibanding kan dengan pasien tanpa terapi oksigen. Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 ≤ 55
mmHg atau SaO2 ≤ 88%, PaO2 55-59 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti, edema
yang disebabkan  gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG, dan eritrositosis hematokrit >
56%.1
2. Vasodilator
Vasodilator (nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, antagonis alfa adrenergic, inhibitor
ACE, dan prostaglandin) sampai saat ini belum direkomendasikan untuk pengobatan rutin pada
kor pulmonal kronik. Rubin menemukan pedoman untuk menggunakan vasodilator bila
didapatkan 4 respon hemodinamik sebagai berikut: (1) resistensi vaksular paru diturunkan
minimal 20% (2) curah jantung meningkatkan atau tidak berubah (3) tekanan arteri pulmonal
menurunkan atau tidak berubah (4) tekanan darah sistemik tidak berubah secara signifikan.
Kemudian dievaluasi setelah 4 atau 5 bulan untuk menilai apakah keuntungan hemodinamik
diatas masih menetap atau tidak. Pemakaian sildenafil untuk melebarkan pembuluh darah paru
pada hipertensi pulmonal primer 1,8

3. Digitalis
Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung kiri.
Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal dengan
fungsi ventrikel normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang
menurun, digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian digitalis perlu
diwaspadai resiko aritmia.1,3
4. Diuretika
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung kanan. Namun harus
dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa
memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat terjadi
kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.1,3,8
5. Flebotomi
Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal kronik dengan hematokrit yang tinggi untuk
menurunkan hematokrit sampai nilai 59 % hanya merupakan terapi tambahan pada pasien kor
pulmonal kronik dengan gagal jantung kanan akut. 1,8
6. Antikoagulan
Pemberian antikoagulan pada pasien kor pulmonal kronik didasarkan atas kemungkinan
terjadinya tromboemboli akibat disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor
imobilisasi pada pasien.1
Prognosis
Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari prognosis kor
pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti "restrictive pulmonary disease", dan
kelainan pembuluh darah paru. Forrer mengatakan penderita kor pulmonal masih dapat hidup
antara 5 sampai 17 tahun setelah serangan pertama kegagalan jantung kanan, asalkan mendapat
pengobatan yang baik. Padmavati dkk di India mendapatkan angka antara 14 tahun. Sadouls di
Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Benisty Jcques. Pulmonary Hypertension . Circulation: 2002;106. 192-4


2. Braunwald E, Hearth Failure and cor pulmonale dalam Kasper DL et al(editor)
Harrison’s Principles Internal Medicine. Ed. 16 , New Work , McGraw-
Hill.2005.p:1377-89
3. Lenfan C,Khaltaev N, Global Strategy for Diagnosis ,Management and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmanary Disease: NHLBI/WHO workshop . National Institute
of Health and National Heart, Lung, and Blood Institute, Publication Number 2701
April 2001
4. Macne W. Pathophysiology of cor pulmonale in chronic obstructive pulmonary
disease. Am J. Respir Crit Care med. 1994: 833-52
5. Matthay RA, Niederman MS and Weiderman HP. Cardiovascular pulmonary disease
with special reference to the pathogenesis and management of cor pulmonale. Med
Clin North Am. 1990: 74: 571-618
6. Restrepo Clara I, Tapson Victor F. Pulmonary hypertension and cor pulmonale in
Topol Eric J. eds Text Book of Cardiovascular Medicine. Lippincott William and
Wilkins 2002. 649-65
7. Ric S et al. Pulmonary Hypertension dalam Braunwald E. Heart Disease: A Text
book of cardiovascular Medicine. Ed. 7: Philadelpine, Elsevier Sounder 2005.p.1807-
42
8. Harun S and Wijaya P. Kor Pulmonal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed. V
jilid II. Internal Publishing: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat.
2009. P.1842-1844

Anda mungkin juga menyukai