Anda di halaman 1dari 20

PERBANDINGAN HASIL PENGUKURAN DIMENSI

VERTIKAL OKLUSI ANTARA METODE KNEBELMAN


DENGAN TEKNIK TWO DOTS DI MAHASISWA FKG UNHAS

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat


Diajukan untuk melengkapi salah
mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi

ANDI ALIYA NURUL SYAIKAH AMAL


J111 16 530

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
MAKASSAR
2019

0
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Penentuan dimensi vertikal yang tepat merupakan salah satu tahap penting

dalam prosedur klinis yang memberikan informasi tentang hubungan vertikal dari

mandibula terhadap maksila. Penentuan ini menjadi dasar dalam perawatan gigi dari

penegakan diagnosis hingga terapi dari sistem stogmatognasi, prosedur rehabilitatif

prostodonti, maupun prosedur rehabilitatif lainnya. Tahap tersebut secara signifikan


1
tidak boleh terabaikan agar fungsi optimal dan estetik dapat tercapai. Dimensi

vertikal atau tinggi vertikal wajah merupakan jarak antara dua titik anatomi yaitu

satu titik pada basis kranium atau maksila dan satu titik pada mandibula.2

Dimensi vertikal dibagi atas dimensi vertikal oklusi (DVO) dan dimensi

vertikal istirahat (DVI). Dimensi vertikal oklusi (DVO) adalah jarak antara dua titik

anatomi yang dipilih ketika posisi oklusi sentrik, sedangkan dimensi vertikal

istirahat (DVI) merupakan jarak antara dua titik anatomi yang dipilih ketika

mandibula dalam keadaan posisi istirahat fisiologis. Dalam keadaan normal, gigi-

gigi tidak berkontak saat posisi istirahat pada pasien yang memiliki gigi geligi.

Ruang yang terbentuk antara gigi-gigi pada posisi istirahat ini disebut Free Way

Space (FWS). Ketika beroklusi, gigi geligi kontak satu sama lain dan ruang ini akan

hilang. DVO selalu lebih kecil 2 – 4 mm dari dimensi vertikal istirahat.3

Kesalahan dalam penentuan dimensi vertikal, bisa saja terjadi seperti relasi

vertikal yang terlalu tinggi atau relasi vertikal yang terlalu rendah. Relasi vertikal

1
yang terlalu tinggi mengakibatkan 1) gigi tiruan tidak stabil karena permukaan

oklusi gigi tiruan letaknya terlalu jauh dari puncak lingir, 2) gigi tiruan tidak

nyaman dipakai dan otot pengunyahan terlalu lelah, 3) profil pasien menjadi jelek

karena otot ekspresi tegang dan apabila terlalu tinggi, bibir tidak dapat menutup, 4)

terjadi kliking dari gigi, 5) terjadi luka pada jaringan pendukung, resorpsi tulang

dan gangguan pada sendi temporomandibula. Selain itu relasi vertikal yang terlalu

rendah akan mengakibatkan 1) kekuatan gigit berkurang, sehingga efisiensi

pengunyahan berkurang, 2) ekspresi wajah terlihat lebih tua karena bibir kehilangan

kepadatan dan terlihat terlalu titpis, sudut mulut menjadi turun dan melipat, 3) dapat

terjadi Costen syndrome, dengan gejala-gejala tuli yang ringan, sering pusing,

tinitus, nyeri saat pergerakan sendi dan nyeri bila ditekan, terjadi gejala neurologik

seperti lidah terasa terbakar, nyeri sakit pada lidah dan tenggorkan, rasa nyeri

kepala pada regio temporalis, gangguan pada kelenjar ludah sehingga sekresi air

ludah berkurang dan mulut terasa kering.4

Kehilangan gigi sebagian maupun penuh dapat menyebabkan perubahan

dimensi vertikal oklusi. Perubahan ini terjadi pada jaringan keras dan lunak wajah

dan daerah rahang. Jadi, ada banyak perubahan fungsional dan estetika pada semua

wilayah orofasial dan sistem stomatognatik. Penentuan dimensi vertikal secara

tepat sangat penting sebelum menentukan diagnosis pada suatu kasus yang

melibatkan hubungan antara rahang atas dan bawah ataupun dalam pembuatan gigi

tiruan. Penentuan dimensi vertikal oklusi tidak hanya digunakan dalam pembuatan

gigi tiruan, namun juga sangat penting dilakukan pada pasien bergigi untuk

mengetahui kelainan yang ada, seperti bruxism, deep bite, dan sebagainya.5,6,7

2
Metode penentuan dimensi vertikal oklusi dibagi atas dua yaitu metode

tidak langsung dan metode langsung. Metode tidak langsung seperti studi

sefalometri sedangkan metode langsung seperti metode Knebelman, teknik two

dots, dan lain-lain.2,7

Metode Knebelman mengukur jarak antara meatus auditorius eksternus dan

bagian sudut lateral dari orbit occular.8 Dalam jurnal Chou TM,dkk mengatakan

bahwa pengukuran jarak mata-telinga kiri turut membantu dalam menetukan

dimensi vertikal oklusi.9 Basnet,dkk, juga melakukan penelitian pada etnik Aryan

dan Mongoloid. Hasil penelitiannya menyatakan ada juga korelasi yang hampir

signifikan jarak mata-telinga.10 Penelitian serupa yang dilakukan oleh Morata

Claudia,dkk, namun ia memprediksi jarak antara mata-telinga kanan dan mata-

telinga kiri untuk menentukan DVO melalui jenis kelamin, jenis wajah, dan usia,

sehingga hasil penelitiannya menyimpulkan jarak mata-telinga kiri lebih baik dalam

menentukan DVO.11 Adapun metode two dot merupakan metode yang sering

digunakan di klinik. Pasien dengan posisi kepala tegak yang nyaman di kursi dental

ditetapkan dua titik pengukuran pada garis tengah wajah; satu di hidung dan satu di

dagu. Keduanya dipilih pada daerah yang tidak mudah bergerak akibat otot

ekspresi.4

Sebagian besar objek penelitian Knebelman (jarak mata-telinga) digunakan

berasal dari luar Indonesia, sehingga perbedaan hasil dapat terjadi dengan penelitian

yang dilakukan di Indonesia. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya perbedaan

ras antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat luar Indonesia. Hal lain yang

3
juga dapat mempengaruhi perbedaan pengukuran yaitu jarak mata-telinga yang

berhubungan dengan usia dan jenis kelamin tiap individu.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berinisiatif untuk membandingkan

dimensi vertikal oklusi pada mahasiswa(i) Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Hasanuddin antara metode Knebelman (jarak mata-telinga) dengan Teknik two

dots. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin berada di Makassar,

Sulawesi Selatan. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin

yang akan dijadikan objek penelitian adalah yang sedang aktif menempuh

pendidikan pada jenjang pre-klinik (mahasiswa angkatan 2017-2019) usia 18-23

tahun yang berasal dari berbagai daerah. Hal tersebut dilandasi oleh petumbuhan

tulang dan jaringan berhenti pada kisaran usia 18 hingga 23 tahun, sehingga

pengukuran dapat dilakukan dengan maksimal.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dipecahkan melalui penelitian ini pada dasarnya

tidak lepas dari ruang lingkup permasalahan di atas yaitu : “Bagaimana

perbandingan hasil pengukuran DVO menggunakan metode knebelman dan two

dots pada mahasiswa FKG UNHAS ?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum :

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil

perbandingan pengukuran DVO dalam menggunakan metode knebelman dan two

dots pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin.

Tujuan khusus :

4
1. Untuk mengetahui perbandingan hasil pengukuran antara metode knebelman

dan two dots.

2. Untuk mengetahui perbedaan hasil pengukuran dari kedua metode tersebut.

3. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan jarak mata-telinga kiri dan kanan

rata-rata mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin

angkatan 2017-2019.

4. Untuk mengetahui metode Knebelman bisa digunakan sebagai metode

pembanding dalam penetuan DVO.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis

Dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta dapat mengaplikasikan dan

mensosialisasikan teori yang telah diperoleh selama perkuliahan.

2. Bagi peneliti selanjutnya

Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan referensi bagi para

peneliti untuk memperoleh kajian penelitian yang lebih dalam dan memperoleh

penelitian yang baru tentang pengukuran DVO dengan metode lain.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dimens Vertikal

The Glossary of Prosthodontic Terms mendefenisikan dimensi vertikal oklusi sebagai

jarak antara suatu titik pada rahang atas dan rahang bawah dengan gigi dalam posisi

intercuspation maximum.12 Biasanya, satu pada ujung hidung (nasion) dan satu pada dagu

(menton) digunakan untuk titik-titik ini. Hubungan vertikal rahang bawah terhadap rahang

atas ditentukan oleh dua faktor yaitu otot-otot rahang bawah dan titik-titik kontak oklusi

gigi-gigi atau galengan gigit. Pada bayi dan orang dewasa tidak bergigi, hubungan vertikal

rahang ditentukan oleh otot-otot rahang bawah.13

Oklusi adalah posisi gigi-gigi atas dan bawah saling berkontak. Andrew menyebutkan

enam kunci oklusi normal adalah 1) hubungan yang tepat dari gigi-gigi molar pertama tetap

pada bidang sagital, 2) angulasi mahkota gigi-gigi incisivus yang tepat pada bidang

transversal, 3) inklinasi mahkota gigi-gigi incisivus yang tepat pada bidang sagital, 4) tidak

adanya rotasi gigi-gigi individual, 5) kontak yang akurat dari gigi-gigi individual dalam

masing-masing lengkung gigi, tanpa celah maupun berjejal, 6) bidang oklusal yang datar

atau sedikit melengkung. Andrew memperkirakan bahwa jika satu atau beberapa ciri ini

tidak tepat, hubungan oklusi dari gigi-geligi tidaklah ideal.14

Hubungan vertikal antar rahang adalah hubungan yang ditetapkan oleh besarnya

jarak antara rahang atas dan rahang bawah dalam kondisi tertentu. Hubungan ini

diklasifikasikan sebagai hubungan vertikal atau dimensi vertikal dari 1) oklusi, 2)

6
istirahat, 3) posisi yang lain (misalnya jika mulut setengah terbuka atau terbuka lebar).

Dimensi vertikal oklusi ditetapkan oleh gigi-gigi alami ketika masih ada dan beroklus

2.2 Posisi Mandibula Pasien Pada Saat Penetuan Dimensi Vertikal

Posisi mandibula pasien ternyata dipengaruhi oleh postur dan ketengangan. Oleh

karena itu pada saat penentuan DV, pasien harus dalam keadaan relaks, dengan bidang

Frankfurt sejajar lantai. Posisi kepala yang tegak lurus pada saat menentukan DVF

berhubungan erat dengan jaringan lunak mandibula sehingga menentukan ketepatan.

Menengadahkan kepala ke belakang akan menarik mandibula menjauh dari maksila dan

jika ke depan akan mendorong mandibula lebih dekat pada maksila.

2.3 Pengukuran dimensi vertikal oklusi

Para ahli dalam penelitiannya telah mengembangkan metode untuk menentukan

dimensi vertikal yaitu metode konvensional dan antropometri.

2.3.1 Metode Konvensional

Salah satu metode konvensional yang digunakan secara luas oleh dokter gigi di

Indonesia yaitu Teknik two dots . Metode konvensional secara garis besar dibagi atas

metode mekanik dan fisiologis. Metode konvensional terdiri dari metode mekanik dan

fisiologis. Metode mekanis antara lain menentukan relasi linggir, penggunaan gigi tiruan

lama, serta catatan pra-ekstraksi dan pengukurannya. Salah satu pengukuran catatan pra-

ekstraksi menggunakan Teknik two dots untuk mengukur tinggi sepertiga bagian bawah.

Metode fisiologis termasuk penentuan posisi fisiologis istirahat, estetik, fonetik, ambang

batas penelanan, serta sensasi taktil dan kenyamanan Semua hasil perkiraan pengukuran

DVO secara mekanis dan fisiologis dianggap sebagai nilai sementara sampai dilakukan

observasi fonetik dan estetik.

7
Gambar 1. Teknik two dots(sumber : Amiruddin M, Thalib B. Pengukuran dimensi vertikal
secara langsung pada wajah dan tidak langsung dengan analisis sefalometri. Makassar Dent J
2019;8(1):29)

2.3.2 Metode Antropometri

Metode antropometri merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk

penentuan DVO. Leonardo da Vinci dan Mc Gee (1947) menyatakan terdapat hubungan

antara DVO dengan berbagai pengukuran antropometri. Pengukuran wajah digunakan

untuk menentukan DVO, salah satunya. Metode Knebelman merupakan pengukuran jarak

meatus auditorius eksternal dengan sudut lateral orbit okuler. Knebelman (1987)

mengatakan telah didapatkan cara mudah untuk menentukan dimensi vertikal oklusi yaitu

jarak antara sumbu horizontal kondilus mandibula dan sutur zygomaticus sama dengan

jarak antara tulang belakang hidung dan bagian paling anterior dari sub-mentale mandibula,

ketika postur tulang craniocervical normal, dan gigi atas dan bawah dalam oklusi sentris.

8
Gambar 2. Metode Knebelman (sumber : Knebelman S. The Craniometric Method For
Establishing Occlusal Vertical Dimension. U.S. Patent No. 4718850. Wynnewood, Pa.:
Craniometrics, Inc., 1987).

2.4 Faktor-Faktor Mempengaruhi DVO Saat Pertumbuhan dan Perkembangan

Pertumbuhan kraniofasial, mandibula, erupsi gigi, dan oklusi dapat

mempengaruhi DVO. DVO akan mencapai ukuran yang maksimal apabila proses

tumbuh kembang tersebut telah sempurna. Menurut Valadian dan Porter, semua

individu sehat memiliki fase pertumbuhan yang hampir sama. Fase dewasa muda

terjadi pada rentang usia yang sama terhadap kedua jenis kelamin, tetapi fase ini

terjadi lebih awal pada perempuan yaitu berusia 10-18 tahun, sedangkan pada laki-

laki berusia 12- 20 tahun. Menurut Hasil Rapat Kerja UKK Pediatri Sosial, masa

pubertas perempuan lebih cepat sekitar umur 8-18 tahun dibandingkan laki-laki

yaitu pada umur 10-20 tahun. Berdasarkan hal tersebut fase pertumbuhan pada

perempuan dua tahun lebih awal dibandingkan laki-laki. Penelitian yang dilakukan

oleh Love, dkk mengenai perubahan skeletal kraniofasial dan gigi geligi saat post

pubertas dengan sefalogram lateral kelas 1 pada sampel yang memiliki umur 16,

9
18, dan 20 tahun. Pertumbuhan mandibula yang signifikan ditemukan pada periode

umur 16-18 tahun daripada periode umur 18-20 tahun. Pertumbuhan mandibula

secara keseluruhan dua kali lebih cepat daripada maksila. Selama periode

pertumbuhan, maksila dan mandibula mengalami rotasi terhadap basis anterior

kranium yang dilihat dari lateral. Rotasi ini terjadi dalam arah keatas dan kedepan

yang mengubah rahang selama masa pertumbuhan, khususnya pada bidang vertikal.

Pertumbuhan tersebut menghasilkan pertumbuhan vertikal yang lebih di posterior

daripada di anterior. Pola pertumbuhan ini menunjukkan Panjang ramus, sudut

gonial mandibula, dan gigi geligi yang sedang erupsi akan mempengaruhi tinggi

anterior wajah atau dimensi vertikal. Pola pertumbuhan ini menunjukkan panjang

ramus, sudut gonial mandibula, dan gigi geligi yang sedang erupsi akan

mempengaruhi tinggi anterior wajah atau dimensi vertikal. Ketika ramus

berkembang normal, bagian tengah wajah yang diukur dari glabella ke subnasion

adalah sama dengan pengukuran wajah bagian bawah yaitu dari subnasion ke

gnation saat masa pertumbuhan sudah selesai. Setelah pertumbuhan selesai, erupsi

gigi penting untuk mempertahankan DVO. Gigi geligi maksila dan mandibula

erupsi untuk mempertahankan kontak oklusal seperti halnya pertumbuhan wajah.

Gigi molar ketiga mendapatkan ruangan untuk erupsi yang akan mencapai posisi

akhir ketika umur 20 tahun.

2.5 Ras Deutro Melayu


Adanya pembagian ras merupakan bukti dari variasi biologis pada manusia.

Secara garis besar, di barat dan utara Indonesia terdapat unsur Mongoloid dan

10
Austromelanesoid. Sekarang terjadi pergerakan dari unsur Mongoloid ke timur di

daerah percampuran primer yaitu Wallacea.

Glinka membuat lima pengelompokan ras utama di Indonesia, yaitu: Negrito,

Protomalayid, Deutromalayid, Dayakid dan Madagasian. Dari kelima ras tersebut,

terdapat dua ras yang kurang lebih memiliki kesamaan, yaitu ras Protomalayid

memiliki kesamaan dengan Australomelanesoid, dan ras Deutromalayid memiliki

kesamaan dengan Mongoloid.

Berdasarkan jabaran di atas, penduduk Indonesia tersusun atas 3 kelompok,

yaitu Sub Ras Deutro Melayu, Sub Ras Proto Melayu dan Sub Ras Asiatic

Mongoloid. Kelompok Proto Melayu datang sebelum 3000 SM dari Yunan melalui

Indo Tiongkok untuk mencapai Indonesia. Kelompok kedua berasal dari daerah

Yunan kira-kira antara 300-200 SM. Penduduk Indonesia yang termasuk sub ras

deutro melayu atau melayu muda terdiri dari suku bangsa Aceh, Minangkabau,

Bugis, Makassar, Sasak, Bali, Melayu dan Jawa.

11
BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Teori

Pertumbuhan Dan Perkembangan


Manusia

Dimensi Vertikal

Dimensi Dimensi Vertikal


Vertikal Oklusi Istirahat

Pengukuran Dimensi Vertikal

Langsung Tidak Langsung

Foto Lama
Mekanis Fisiologis Pasien
Foto Sefalometri
Posisi Istirahat
Relasi Alveolar Fisiologik Foto Digital

Kesejajaran Fonetik dan Estetik


Alveolar Fisiologik

Pengukuran Gigi Ambang Penelanan


Tiruan Lama Fisiologik

Catatan Pra Palpasi


Pencabutan

Pengukuran Keterangan :
Wajah
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti

12
3.2 Kerangka Konsep

Pertumbuhan dan Perkembangan

Pengukuran Dimensi
Vertikal Oklusi

Langsung

Metode konvensional Metode Antropometri

Two Dot ( Subnation- Metode Knebelman


Gnation) (jarak mata-telinga)

Posisi Kepala

DVO

Laki-laki
HORMON
Perempuan

Keterangan:

Variabel Dependen/Terikat Variabel Kendali

Variabel Penghubung Variabel Independen/Bebas

3.3 Hipotesis

Adanya hubungan yang bermakna pengukuran DVO melalui teknik two


dengan metode Knebelman secara langsung.

13
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan

rancangan cross sectional study yaitu metode penelitian yang dilakukan untuk

membandingkan hasil ukuran dimensi vertikal oklusi secara langsung

menggunakan teknik Two Dots dengan metode Knebelman.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada mahasiswa(i) di Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Hasanuddin bulan Oktober-November 2019.

4.3 Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Dependen : Dimensi Vertikal Oklusi

2. Variabel Penghubung : Pengukuran Konvensional dan pengukuran

antropometri

3. Variabel Independen : Teknik Two Dots (Subnation-gnathion),

Metode Knebelman (ear-eye)

4. Variabel Kendali : Posisi kepala, jenis kelamin

14
4.4 Definisi Operasional Variabel

4.4.1 Dimensi Vertikal Oklusi

Dimensi vertikal oklusi adalah jarak antara mandibula dan maksila yang

ditandai oleh titik pada subnation dan gnathion ketika gigi gigi yang beroklusi

saling berkontak.

4.4.2 Panjang Jari Tangan

Panjang jari tangan pada penelitian ini adalah panjang dari aspek palmar,

dari puncak jari tangan hingga lipatan jari yang terjauh dari puncak atau ujung jari.

Jari tangan diukur dalam posisi lurus dan datar.

4.5 Populasi Dan Sampel

4.5.1 Populasi

Populasi sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah mahasiswa

Fakultas Kedokteran Gigi UNHAS yang bersedia diteliti dan menandatangani

informed consent.

4.5.2 Sampel

Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling, yaitu

berdasarkan terpenuhinya kriteria inklusi dan eksklusi sehingga dapat mewakili

populasi.

Kriteria Inklusi

1. Mahasiswa FKG pre klinik aktif

15
2. Hubungan gigi geligi neutroklusi

3. Bersedia menandatangani informed conscent

4. Bersedia untuk diukur DVO dan panjang jari tangannya

Kriteria Eksklusi

1. Mahasiswa diluar angkatan 2016-2018

2. Cacat tangan.

3. Kehilangan gigi geligi lebih dari satu gigi tiap kuadran yang dapat mempengaruhi

penilaian relasi neutroklusi.

4. Trauma wajah.

5. Pernah atau sedang menggunakan perawatan ortodonsi.

6. Pernah atau sedang menggunakan perawatan prostodonsi.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Calamita M, Coachman C, Sesma N, Kois J. Occlusal Vertical Dimension:

Treatment Planning Decisions And Management Considerations. The

International J Of Esthetic Dent 2019;14(2):166-180.

2. Zahra AF, Soesetijo A, Djati FK. Perbandingan dimensi vertikal oklusi

sebelum dan setelah insersi gigi tiruan lengap dengan metode Niswonger

dan radiografi sefalometri. J Ked Gi Unpad 2019;31(1):48

17
3. Chairani CM, Rahmi E. Korelasi Antara dimensi vertikal oklusi dengan

Panjang jari klingking pada sub-ras deutro melayu. Maj Kedd Gi Ind

2016;2(3):155-6.

4. Nurung M, Dharmautama M, Jubhari EH, Erwansyah E. Perbandingan

Antara Teknik Two Dot Dengan Analisis Sefalometri Pada Pengukuran

Dimensi Vertikal Oklusi. Dentofasial 2014;13(3):142.

5. Wiro W, Habar IK. Cephalometric Analysis for Determining The Vertical

Dimension (Case Report). J of Dentomaxillofac Sci 2017;2(1):41.

6. Manfredini D, Poggio CE. Prosthodontic Planning In Patients With

Temporomandibular Disorder And/Or Bruxism: A Systematic Review. J Of

Prosthetic Dent 2016:1-6.

7. Makiguchi M, et al. Effects of increased occlusal vertical dimension on the

jaw-opening reflex in adult rats. Archive oral biology 2016:39-46.

8. Knebelman S. The Craniometric Method For Establishing Occlusal Vertical

Dimension. U.S. Patent No. 4718850. Wynnewood, Pa.: Craniometrics,

Inc., 1987.

9. Chou TM, Moore DJ, Young L. Adiagnostic Craniometric Method For

Determining Occlusal Vertical Dimension. The J of Prostho Dent. 1994;

71(6): 570-3.

10. Basnet BB, Parajuli PK, Singh RK, Suwal P, Shrestha P, Baral D. An

anthropometric study to evaluate the correlation between the occlusal

vertical dimension and length of the thumb. Clinical, Cosmetis and

Investigational Dentistry 2015;7:33-9.

18
11. Morata C, Pizarro A, Gonzalez H, Zambra FR. A Craniometry-Based

Predictive Model to Determine Occlusal Vertical Dimension. The J Of

Prosth Dent 2019:1-7.

12. Ferro KJ. The Glossary Of Prosthodontic Terms, Ninth Edition. J Prosthetic

Dent 2017 ; Volume 117 Issue 5S : e90.

13. Amiruddin M, Thalib B. Vertical Dimension Measurement Directly On The

Face And Indirectly By Cephalometric Analysis Pengukuran Dimensi

Vertikal Secara Langsung Pada Wajah Dan Tidak Langsung Dengan

Analisis Sefalometri. Makassar Dent J [Internet]. 2019;8(1):27

14. Klineberg I, Eckert SE. Functional Occlusion in Restorative Dentistry and

Prosthodontics. St. Louis, Missouri : Elsevier, 2016. p 202.

19

Anda mungkin juga menyukai