Anda di halaman 1dari 22

TUGAS KELOMPOK

Makassar, 25 Februari 2019

SEFALOMETRI

KELOMPOK 8

Andi Muhammad Rizal J111 16 327


Muhammad Izzah Abdillah B J11116325
Dandi Pratama J11116326
Muhammad Ihsan J11116527
Wulan Fury Lenggany J11116025
Putri Mujahidah J11116026
Ainun Habi Mttoreang J11116027
Annisa Ramadhani Achmadi J11116028
Bau Mila Tunnizha J11116029
Diazty Ningsih Tandililing J11116322
Sarina J11116323
Aldina Wardani Septiana Ningrum J111 16324
Adenia Anisyia Nasrul J11116526
Nur Raudhah Ihsaniyah Bialangi J11116528
Rezky Rachmawaty Salsabila J11116529
Andi Aliya Nurul Syaikah Amal J11116530
Yuri J11116531

BLOK STOMATOGNATI
SEMESTER AKHIR 2018/2019

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya, serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta
sahabat dan keluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Sefalometri”sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan tugas kami.
Selama persiapan dan penyusunan makalah ini rampung, penulis mengalami
kesulitan dalam mencari referensi. Namun berkat bantuan, saran, dan kritik dari
berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan penulisan yang serupa
dimasa yang akan datang. Penulis berharap sekiranya laporan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Aamiin

Makassar, 25 Februari 2019


Hormat Kami

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
1.3 Tujuan Pembelajaran........................................................................................... 2
BAB 2. PEMBAHASAN .................................................................................................... 3
2.1 Teknik Pengambilan Foto ................................................................................... 3
2.1.1 Proyeksi Lateral .............................................................................................. 3
2.1.2 Proyeksi Postero-anterior ................................................................................ 3
2.1.3 Proyeksi Oblique ............................................................................................. 4
2.1.4 Teknik Lateral Skull Projection ...................................................................... 4
2.2 Teknik Pengambilan Foto ................................................................................... 6
2.2.1 Unilateral Landmark ....................................................................................... 6
2.2.2 Bilateral Landmark ......................................................................................... 7
2.3 Landmark Garis .................................................................................................. 8
2.4 Landmark Sudut .................................................................................................. 9
2.4.1 Bilateral Landmark ......................................................................................... 9
2.4.2 Analisis Dental .............................................................................................. 11
2.5 Nilai Normal Jarak Liner, Normal Angular ...................................................... 14
2.6 Analisis Ricketts ............................................................................................... 16
BAB 3. PENUTUPAN...................................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 18
3.2 Saran ................................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 19

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Maloklusi mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap kualitas hidup
individual. Prevalensi maloklusi di Indonesia mencapai 80% dan menduduki
urutan ketiga setelah karies dan penyakit periodontal. Seiring dengan
pengetahuan masyarakat dan keinginan untuk memperbaiki kualitas hidup,
maka kebutuhan ortodonti di kalangan masyarakat semakin meningkat.
Perawatan ortodonti merupakan perawatan yang dilakukan di bidang
kedokteran gigi yang bertujuan untuk mendapatkan penampilan dentofasial
yang baik secara estetika. Pada dasarnya, perawatan ortodonti adalah usaha
pengawasan untuk membimbing dan mengoreksi struktur dentofasial yang
sedang tumbuh atau yang sudah dewasa. Pencapaian keharmonisan
fungsional dan proporsi kraniofasial yang estetik merupakan tujuan dari
perawatan ortodonti.
Dalam perawatannya ada beberapa alat yang dapat digunakan untuk
mendukung penegakan diagnosa, termasuk analisis sefalometri. Analisis
sefalometri digunakan untuk menentukan posisi skeletal fasial yang ideal. Hal
ini dapat ditentukan melalui teknik pengambilan foto serta landmark dari
anatomi jaringan keras, garis bahkan sudut yang terbentuk.
Ada banyak analisis sefalometri yang dikenal di kedokteran gigi, salah
satunya analisis Ricketts. Analisis Riccketts merupakan salah satu analisis
jaringan lunak dengan menggunakan garis estetika.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan tersebut di atas,
maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana teknik pengambilan foto pada radiografi sefalomteri?
2. Bagaimana landmark anatomi jaringan keras?
3. Bagaimana landmark garis?
4. Bagaimana landmark sudut?
5. Berapa nilai normal jarak liner, normal angular dan interpretasinya?
6. Apa yang dimaksud dengan analisis Ricketts?

1
1.3 Tujuan Pembelajaran
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui teknik pengambilan foto pada ragiografi sefalometri
2. Untuk mengetahui cara menentukan diagnosis melalui radiografi
sefalometri sesuai dengan landmark yang digunakan
3. Untuk mengetahui cara menentukan diagnosis melalui radiografi
sefalometri sesuai dengan analisis Ricketts.

2
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Teknik Pengambilan Foto

Radiografi sefalometri adalah metode pencitraan kraniofasial yang


digunakan untuk membuat pengukuran kompleks cranium dan orofasial.
Teknik pengambilan foto terbagi atas 3 teknik, tergantung kebutuhan
pencitraan.1
2.1.1 Proyeksi Lateral

Kepala pasien ditempatkan sejarak 152.4 cm (60 inch) dari tube x-ray
dengan sisi kiri wajah pasien menghadap ke tube. Sinar sentral sejajar
dengan transmeatal axis Jarak antara bidang midsagittal dengan film x-ray
sekitar 18 cm (7 inch). Jarak dapat bervariasi antar cephalostat, tetapi
harus konstan setiap pencitraan pada pasien tersebut dilakukan. Bidang
Frankfort pasien harus sejajar dengan lantai.1

Gambar 2.1 Teknik Foto Proyeksi Lateral


2.1.2 Proyeksi Postero-anterior

Kepala pasien diarahkan diputar 90 derajat dari posisi proyeksi lateral


sehingga sinar sentral tegak lurus dengan transmeatal axis. Perlu
diperhatikan bahwa bidang Frankfort harus benar – benar horizontal,
karena apabila kepala dimiringkan, akan terjadi perubahan pencitraan
secara vertikal.1

3
Gambar 2.2 Teknik Foto Proyeksi Postero-Anterior
2.1.3 Proyeksi Oblique

Kepala pasien diposisikan 45 derajat dari proyeksi lateral, sinar sentral


masuk melewati bagian belakang ramus untuk meniadakan superimposisi
(2 proyeksi yang saling tindih) dari setengah bagian dari mandibular.
Bidang Frankfort harus tetap horizontal untuk mencegah alterasi radiograf.
Teknik ini biasa digunakan pada pasien dengan fase gigi bercampur.1

Gambar 2.3 Teknik Foto Proyeksi Oblique

2.1.4 Teknik Lateral Skull Projection

Untuk mengambil foto radiografi cephalometri dibutuhkan alat yang


disebut cephalostat. Cephalostat adalah alat yang berfungsi untuk menjaga
kontak antara cranium, film, dan sinar X-ray. Image receptor diposisikan
pararel terhadap midsagittal plane pasien. Sisi kiri dari kepala pasien
menghadap ke image receptor, kemudian wedge filter dari tube head

4
diposisikan pada aspek anterior dari sinar datang untuk menyerap sebagian
radiasi dan untuk mengambil gambar jaringan lunak wajah. Arah sinar
datang tegak lurus terhadap mid sagittal plane pasien dan image receptor
juga berada pada bagian meatus acusticus externus.2

Gambar 2.3 Teknik Lateral Skull Projection

5
2.2 Teknik Pengambilan Foto

2.2.1 Unilateral Landmark


a. Nasion (Na/N) adalah titik paling anterior sutura frontonasalis pada
pkurva pangkal hidung.
b. Spina nasalis anterior (ANS) adalah bagian paling anterior pada
maxilla.
c. Subspinal (A) adalah titik paling dalam antara spina nasalis anterior
dan Prosthion.
d. Prosthion (Pr) adalah titik paling bawah dan paling anterior prosessus
alveolaris maksila, pada bidang tengah, antara gigi insisivus sentral
atas.
e. Insisif superior (Is) adalah ujung mahkota paling anterior gigi
insisivus sentral atas.
f. Insisif inferior (Ii) adalah ujung mahkota paling anterior gigi insisivus
sentral bawah .

6
g. Infradental (Id) adalah titik paling tinggi dan paling anterior prosessus
alveolaris mandibula, pada bidang tengah, antara gigi insisivus sentral
bawah.
h. Supramental (B) adalah titik paling dalam antara Infradental dan
pogonion.
i. Pogonion (Pog/Pg) adalah titik paling anterior tulang dagu, pada
bidang tengah.
j. Gnathion (Gn) adalah titik paling anterior dan paling inferior dagu.
k. Menton (Me) adalah titik paling inferior dari simfisis atau titik paling
bawah dari mandibular.
l. Sela (S) adalah titik tengah fossa hipofisis.
m. Spina nasalis posterior (PNS) adalah titik perpotongan dari
perpanjangan dinding anterior fossa pterigopalatina dan dasar hidung

2.2.2 Bilateral Landmark

a. Orbital (Or) adalah titik yang paling bawah pada tepi bawah tulang
orbita.
b. Gonion (Go) adalah titik paling posteroinferior dari sudut mandibular.
c. Porion (Po) adalah titik paling luar dan paling superior ear rod.
d. Condylion (Co) adalah Titik paling dalam dan paling bawah dari
kondil pada mandibular.
e. Articulare (Ar) adalah Terletak pada pertemuan batas inferior dari
basis kranii dan permukaan posterior dari kondilus mandibula..
f. Nasion (Na) adalah Titik paling anterior sutura frontonasalis pada
kurva pangkal hidung.
g. Pterygomaxillary Fissure (Ptm)

7
2.3 Landmark Garis3,4

Singkatan Garis/bidang Definisi Implikasi


FP Frankfort plane Garis yang Bidang ini
menghubungkan digunakan untuk
porion dan orbita menentukan
orientasi dan
perbamdingan
tulang kranium
Md Mandibular plane Garis yang Memeriksa relasi
menghubungkan vertikal rahang
gonion dan menton (mandibula ke FP,
mandibula ke garis
SN, mandibula ke
maksila), dan
inklinasi gigi I RB
terhadap basis
skelet mandibula
Mx Maxillary plane Garis yang Digunakan untuk
menghubungkan memeriksa relasi
spina nasal anterior vertikal rahang
dan posterior (maksila ke FP,
maksila ke garis
SN, dan maksila ke
mandibula), serta
inklinasi gigi I RA
ke basis skelet
maksila
FOP Functional Garus yang
Occlusal Plane terbentuk di antara
puncak cusp gigi
molar dan premolar
permanen atau
molar decidui
E Ricketts’ E-line Garis jaringan
lunak yang
tangensial terhadap
dagu dan puncak
hidung

8
SN SN Line Garis yang Digunakan sebagai
menghubungkan garis referensi
antara sella dan karena letaknya
nasion sehingga yang berada pada
menggambarkan mid-sagittal plane
basis cranium
anterior

Apo Apo Line Garis yang


menghubungkan
titik A dan
pogonion

2.4 Landmark Sudut5,6

2.4.1 Bilateral Landmark

Letak maksila dan mandibula dapat dili-hat pada sudut SNA, SNB dan
ANB.

a. Sudut SNA ialah sudut yang dibentuk oleh garis SN dan titik A. Sudut
yang menyatakan posisi maksila yang mewakili titik A terhadap basis
kranial (SN). Besar sudut dipengaruhi letak titik A dalam arah sagital
apakah lebih anterior atau posterior sedangkan garis SN bisa dianggap
sta-bil letaknya. Bila sudut SNA lebih daripada 84° berarti maksila
terletak lebih ke anterior demikian juga bila sebaliknya.
b. Sudut SNB ialah sudut yang dibentuk oleh garis SN dan titik B. Sudut
ini menyatakan posisi mandibula terhadap basis kranial. Besar sudut
dipengaruhi letak titik B dalam arah sagital apakah lebih anterior atau
posterior. Bila sudut SNB lebih besar daripada 81° berarti mandibula
terletak lebih ke anterior demikian juga bila sebaliknya.
c. Sudut ANB merupakan perbedaan antara sudut SNA dan SNB dan
menyatakan relasi maksila dan mandibula. Untuk menginterpretasi
sudut ANB harus diketahui besar sudut SNA dan SNB karena hanya
hanya dengan melihat besar sudut ANB belum dapat diketahui rahang
mana yang tidak normal. Bila ha-nya diketahui besar sudut ANB
hanya dapat diketahui kecend-erungan maloklusi yang terjadi ialah bila

9
besarnya 4° cenderung terdapat maloklusi kelas II sedangkan bila
besarnya lebih kecil dari 0° berarti terdapat maloklusi kelas III.
Semakin besar sudut ANB semakin besar perbedaan letak maksila dan
mandibula.

Analisis steiner dikembangkan dengan dipromosikan oleh Cecil


Steiner pada tahun 1950, dapat disebut sebagai yang pertama yang
menggunakan analisis sefalometri. Analisis Steiner dikembangkan dengan
dua alasan yaitu analisis tersebut dapat menunjukan pengukuran yang
tidak hanya untuk suatu individual tetapi dapat dikembangkan menjadi
suatu pola pengukuran dan hal ini dapat digunakan sebagai petunjuk dari
pengukuran sefalometri sehingga perawatan gigi dapat dilaksanakan
dengan baik.

Dalam analisis Steiner, pengukuran pertama sudut SNA, yang didesain


untuk mengevaluasi posisi anteroposterior dari masilla terhadap cranial
anterior. Standart SNA adalah 82°±2°. Jika SNA dari pasien lebih tinggi
dari 84°, maka dapat diinterpretasi sebagai protrusif pada masilla, jika
SNA kurang dari 80° maka retrusif pada maxilla. Hal yang sama berlaku
untuk sudut SNB yang digunakan untuk mengevaluasi posisi
anteroposterior, dimana standarnya 78±2°. Interpretasi dari SNB ini hanya
valid jika SN plane berada posisi berbeda dari garis horizontal yang benar
dan posisi N normal.

10
Perbedaaan antara SNA dan SNB (ANB angle) menunjukan rahang
skeletal dan hal ini bagi Stenier merupakan suatu titik pengukuran.
Meskipun ada yang beberapa merespon bahwa rahang mungkin berada
pada posisi yang tidak normal seperti pada kebanyakan teori pada buku,
namun yang sebenarnya mempengaruhi adalah sudut kemiringan yang
terjadi pada rahang yang harus diperhatikan pada perawatan, dan inilah
yang disebut sebagai penguku-ran sudut ANB.

2.4.2 Analisis Dental

Analisis dental, letak insisivi atas dapat dibaca pada sudut yang
merupakan perpotongan sumbu gigi insisivi atas (garis yang
menghubungkan insisal dan apeks) dengan garis SN, FH dan Maksila.
Letak insisivi rahang bawah dapat dilihat pada perpotongan sumbu insisivi
bawah dengan garis GoGn atau garis mandibula (garis yang menyinggung
tepi bawah mandibula melawati Menton). Untuk insisivi atas maupun
bawah sudut yang lebih besar daripada rerata menunjukkan letak insisivi
yang pro-trusif, sudut yang lebih kecil menunjukkkan letak insisivi yang
retrusif. Sudut antar insisivi, perpotongan sumbu insisivi atas dan bawah
membentuk sudut antar insisivi. Sudut yang lebih besar berarti insisivi
lebih protrusive.

11
Langkah selanjutnya dalam analisis Steiner adalah mengevaluasi
hubungan dari insisif atas dengan garis NA dan selanjutnya insisif bawah
dengan garis NB sehingga dapat menggambarkan protrusi yang relative.

Lokasi dan inklinasi aksial insisif rahang atas ditentukan dari relasi gigi-
gigi terhadap garis N-A. Hitungan dalam derajat menunjukan relasi sudut
gigi insisif atas, sedangkan hitungan dalam milimeter menunjukan posisi
gigi lebih ke depan atau ke belakang dari garis N-A. Penghitungan dengan
sudut saja kurang memberikan informasi yang adekuat untuk itu
diperlukan pengukuran jarak dari permukaan labial gigi atas terhadap garis
N-A. Pembacaan rata-rata untuk sudut inklinasi insisif atas ada-lah 22°

12
dan rata-rata posisi gigi atas adalah 4mm didepan garis N-A.

Lokasi anteroposterior dan angulasi gigi insisif rahang bawah


ditentukan dari relasi gigi terhadap dalam millimeter menunjukan posisi
gigi lebih ke depan atau ke belakang terhadap garis N-B. Pembacaan
dalam derajat menunjukan inklinasi aksial gigi terhadap garis N-B.
Pembacaan rata-rata untuk sudut inklinasi insisif bawah adalah 25° dan
rata-rata posisi gigi atas adalah 4mm didepan garis N-B. Mengetahui
lokasi dan angula-si dari insisif bawah sama pentingnya seperti pada
insisif atas.

Sudut inklinasi insisivi yang lebih besar daripada normal berarti gigi
dalam keadaan protrusi, sedangkan yang lebih ke-cil daripada normal
berarti retrusif. Perubahan sudut inklinasi gigilebih banyak dipengaruhi

13
letak gigi sedangkan letak tulang rahang dianggap lebih stabil
dibandingkan letak gigi.5
Ukuran pada setiap orang berbeda nilainya dibeberapa negara.6

2.5 Nilai Normal Jarak Liner, Normal Angular7

14
15
2.6 Analisis Ricketts8,9

Karakteristik profil jaringan lunak dapat diketahui melalui analisis


sefalometri lateral, salah satunya dengan analisis Rickets. Analisis ini
memberikan informasi mengenai karakteristik profil jaringan lunak yang
seringkali dipakai dalam perawatan ortodonti dan bedah ortognati. Dalam
mengoreksi maloklusi, profil wajah seseorang menjadi penuntun yang
penting dalam menyusun perawatan yang tepat.8 Prosedur perawatan yang
hanya berdasarkan pengukuran jaringan keras dapat menghasilakan
perubahan jaringan lunak yang tidak diinginkan dan menyebabkan
kekecewaan pasien.9

Analisis bibir menurut Rickets terdiri atas e-line yang digambarkan dengan
garis yang ditarik dari ujung hidung ke jaringan lunak pogonion. Rickets
mengevaluasi posisi anteroposterior bibir, menggunakan garis estetika atau e-
line, sehingga memperoleh penilaian posisi bibir terhadap garis estetika. Bibir
atas harus terletak 4 mm di belakang garis estetik, dan bibir bawah berada 2
mm di belakang garis estetik. Posisi bibir berada di posterior terhadap bidang

16
estetika jarak tersebut dianggap negatif dan positif bila berada di posisi
anterior. Dengan melihat posisi bibir pada bidang ini akan mendapatkan
kesan dari posisi gigi, dan keadaan retrusi atau protrusi bibir. Penentuan
protrusi dan retrusi bibir membantu klinisi untuk menentukan perlunya
perawatan ekstraksi. 9

Analisa Rickets memberikan perbedaan 3 tipe wajah, yaitu cekung, lurus,


dan cembung. Cekung apabila posisi bibir berada di belakang garis estetik,
lurus bila berada pada standar garis rata-rata estetika yaitu bibir atas berada 4
mm di belakang garis estetika dan bibir bawah di belakang garis estetika, dan
cembung apabila berada di deapan atau sedikit menyentuk garis estetika.9

17
BAB 3. PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan

Foto sefalometri dapat digunakan untuk memprediksi pertumbuhan fasial


dan merencanakan perawatan ortodonti dalam hubungannya dengan prediksi
pertumbuhan. Sekarang, analisis sefalometri pada pasien sudah merupakan
suatu kebutuhan. Dengan metode tersebut kita dapat memperoleh informasi
dalam tiga bidang yaitu jelas informasimengenai morfologi dentoalveolar,
skeletal maupun jaringan lunak. Analisis sefalometrik merupakan sarana
diagnosis yang dapat membantu menegakkan diagnosis serta merencanakan
perawatan kelainan dentomaksilo fasial.

3.2 Saran

Saran, Sefalometri yang ideal harus memiliki landmark yang letaknya


mudah diketahui, memiliki relevansi anatomi, dan tidak dipengaruhi oleh
proses pertumbuhan. Penentuan titik landmark yang tepat akan memudahkan
dan memberikan hasil lebih akurat dalam analisis sefalometri.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Singh G. Textbook of orthodontics. 2nd Ed. New Delhi; Jaypee:2007. pp.


100-6.
2. White SC, Pharoah MJ. Oral radiology principles and interpretation. 6th Ed.
St Louis: Mosby Elsevier; 2009. pp. 191-3.
3. Gill DS, Naini FB, editors. Orthodontics principles and practice. Oxford:
Wiley Blackwell;2011. pp. 80-1.
4. Cobourne MT, DiBiase AT. Handbook of orthodontics. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2010. pp. 153, 156-7.
5. Brahmanta, Arya. Monograf gambaran sefalometri skeletal, dental, dan
jaringan lunak. Surabaya : Penerbit Kartika Mulya. 2017. P. 19-26
6. Profit William. Hery W, dkk. Contemporary Orthodontics. Ed 6. 2013.
p:180
7. Staley, Robert N. Essentials of orthodontics: diagnosis and treatment. 2nd
ed. Oxford. p 70
8. Budianto E, Purwanegara Miesje K., Siregar Erwin. Karakteristik profil
jaringan lunak pada penderita obstruksi saluran napas atas dengan kebiasaan
bernapas melalui mulut. Indonesan Journal of Dentistry 2008;15(1):45.
9. Fitriyani Nadiya, Ardani I.G.A. Wahju, Rusdiana Elly. Garis estetik
menurut Ricketts pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Airlangga. Dental Journal Juni 2013;46(2):93-5.

19

Anda mungkin juga menyukai