Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN TUTORIAL

PERIODONTITIS KRONIS

SKENARIO 2 BLOK PENYAKIT/KELAINAN GIGI,


JARINGAN PERIODONTAL DAN
JARINGAN LUNAK RONGGA MULUT

Oleh :
Ketua : Alfila Dinanti N. 171610101099
Scriber : Rido Tri Andika F 171610101091
Anggota : Puspa Dwi Nugraheni 171610101089
Fadhila Zidni Ilma 171610101093
Aisyah Izzatul Muna 171610101095
Indah Widyanti 171610101094
Ivanka Nawal D. 171610101096
Ananda Nabilla N. S. D. 171610101097
Padelia 171610101098

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER
2018
STEP 1. KLARIFIKASI ISTILAH
1. FURCATION INVOLVEMENT
Furcaton involvement merupakan suatu keadaan yang keterkaitan dengan
keterlibatan furkasi pada akar gigi.
2. CLINICAL ATTACHMENT LOSS
Clinaical attachment loss merupakan suatu kondisi hehilangan perlekatan
pada gigi dapat diidentifikasi dengan probe (instrumen yang digunakan untuk
mengukur jarak dari cemento-enamel jaunction (CEJ) ke arah apikal ke dasar
sulkus).
3. GIGI MALPOSISI
Gigi malposisi merupakan suatu kelainan arah pertumbuhan gigi yang tidak
normal yang dapat menyebabkan keadaan patologis.
4. KERUSAKAN TULANG MODERAT
Kerusakan tulang moderat merupakan keadaan patologis dari periodontitis
moderat yang ditandai dengan hilangnya perlekatan 3-4 mm. Kerusakan
tulang menyebabkan hilangnya ½ panjang akar (tulang alveolar) pola
horizontral pada semua sektan.
5. PROBING
Probing merupakan suatu metode pemeriksaan kedalaman poket dengan
menggunakan dental probe.
6. RESESI GINGIVA
Resesi gingiva merupakan suatu kondisi terbukanya permukaan akar gigi
akibat pergeseran marginal gingiva ke arah apikal.
7. KEGOYANGAN DERAJAT 2 (MENURUT MILLER)
Kegoyangan derajat 2 merupakan kegoyangan pada gigi sekitar 1 mm.

STEP 2. IDENTIFIKASI MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan periodontitis?
2. Apa saja klasifikasi periodontitis?
3. Apakah faktor penyebab/etiologi periodontitis kronis?
4. Apa saja makna pemeriksaan klinis dari kasus pada skenario?
5. Bagaimana patogenesa periodontitis kronis?
6. Mengapa gusi mudah berdarah saat menggosok gigi?
7. Bagaimana kegoyangan gigi menurut miller?
8. Apa hubungan antara periodontitis kronis dengan alergi?
9. Apa penyebab resorbsi tulang alveolar?

STEP 3. BRAINSTORMING
1. Apa yang dimaksud dengan periodontitis?
Periodontitis merupakan inflamasi dari jaringan periodontal yang berkaitan
dengan perlekatan pada gigi dari ligamen periodontal dan tulang alveolar. Bentuk
penyakit periodontal yang destruktif dan merupakan lanjutan dari gingivitis yang
tidak diterapi dengan baik.
2. Apa saja klasifikasi periodontitis?
Periodontitis secara umum dibagi menjadi tiga yaitu periodontitis kronis,
periodontitis kronis, dan periodontitis karena penyakit sistemik Periodontitis
kronis dapat diklasifikan berdasarkan luas dan keparahannya. Berdasarkan
luasnya, periodontitis dibagi menjadi dua, yaitu localized periodotitis dan
generalized periodontitis. Localized periodontitis melibatkan kurang dari 30%
daerah yang terkena periodontitis. Generalized periodontitis melibatkan lebih dari
30% daerah yang terkena periodontitis. Berdasarkan keparahannya (Clinical
attachment loss), periodontitis dibagi menjadi tiga yaitu: 1) Ringan, Clinical
attachment loss: 1-2 mm, 2) Sedang, Clinical attachment loss: 3-4 mm, dan 3)
Parah, Clinical attachment loss: lebih dari 5 mm.
3. Apakah faktor penyebab/etiologi periodontitis kronis?
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya periodontitis kronis.
Faktor utama terjadinya periodontitis kronis yaitu akumulasi plak. Faktor lain
yang memperngaruhi periodontitis kronis yaitu faktor sistemik seperti penyakit
sistemik (diabetes mellitus dan AIDS) dan faktor kebiasaan seperti merokok, oral
hygiene.
4. Apa saja makna pemeriksaan klinis dari kasus pada skenario?
Probing menujukkan hilangnya perlekatan gigi 4-6 mm dan clinical
attachment loss 3-4 mm menandakan periodontitis moderat. Pada pemeriksaan
radiograf terlihat resorbsi ½ tulang alveolar pada semua akar yang menandakan
terjadinya generalized periodontitis. Terjadi resesi gingiva sekitar 1-3 mm
menandakan gigi terlhat lebih panjang karena akar sudah terpapar dan
berhubungan dengan attachment gingiva yang sudah mulai hilang. Kegoyangan
gigi derajat 2 menandakan kegoyangan gigi sekitar 1 mm. Furcation involvement
menunjukkan adanya keterlibatan daerah furkasi gigi pada periodontitis.
5. Bagaimana patogenesa periodontitis kronis?
Peridontitis diawali dengan adanya akumulasi bakteri dan plak pada sulkus.
Bakteri dapat masuk ligamen periodontal melalui serabut transeptal atau
junctional epitelium (JE) yang terbuka. Bakteri menghasilkan zat yang destruktif
dan direspon oleh tubuh berupa inflamasi akut. Respon tubuh melepaskan
mediator inflamasi seperti IL-1 yang dapat memicu fibroblas untuk mengeluarkan
MMP sehingga merusak serabut kolagen. MMP tipe 8 dapat merusak serabut
kolagen. Seiring berjalannya waktu bakteri menyebar dan menyebabkan inflamasi
kronis. Bakteri dapat lanjut menyebar ke tulang alveolar melalui pembuluh darah
periosteal dekat free gingiva.
6. Mengapa gusi mudah berdarah saat menggosok gigi?
Ketika terbentuk poket periodontal, terdapat sel-sel inflamasi dan bakteri
pada poket serta terjadinya vasodilatasi pembuluh darah pada gingiva. Epitel
dapat menipis dan melabar. Jika tertekan atau terjadi iritasi ringan dapat
menyebabkan pendarahan.
7. Bagaimana klasifikasi kegoyangan gigi?
Menurut Miller kegoyangan gigi diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan
yaitu:
a. Derajat 1: terjadi sedikit kegoyangan
b. Derajat 2: terjadi kegoyangan sekitar 1 mm, goyang ke arah horizontal
c. Derajat 3: terjadi kegoyangan > 1 mm ke segala arah (palatal/bukal) atau
bisa ditekan ke apikal. Goyang ke arah horizontal dan vertikal.
8. Apa hubungan antara periodontitis kronis dengan alergi?
Alergi dapat memicu inflamasi karena hipersensitivitas sehingga tubuh lebih
sentitif terhadap adanya rangsangan.
9. Apa penyebab resorbsi tulang alveolar?
Bakteri (misal: Streptococcus aureus) dapat menghasilkan enzim yang dapat
merusak/resorbsi tulang alveolar. Lipopolisakarida (LPS) dari bakteri dapat
merangsang fibroblas dan makrofag untuk menghasilkan mediator inflamasi
seperti TNF alfa yang dapat memicu aktivitas osteoklas dan menghambat aktivitas
osteoblas. Hal ini terjadi untuk mempertahkankan dan melindungi host.

STEP 4. MAPPING

STEP 5. LEARNING OBJECTIVE


Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami:
1. Etiologi periodontitis.
2. Klasifikasi periodontitis.
3. Gambaran klinis periodontitis kronis.
4. Pemeriksaan radiografi periodontitis.
5. Histopatogenesa periodontitis kronis.
6. Patogenesa periodontitis kronis.
7. Mekanisme pembentukan poket.
8. Mekanisme resorpsi tulang alveolar.
9. Imunopatogenesa terhadap penyakit periodontal.

STEP 7. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE


A. Etiologi Periodontitis
1. Faktor Primer
Akumulasi plak merupakan faktor primer dari periodontitis. Plak gigi
tersusun atas bakteri dan matriks interseluler. Sebanyak 70-80% total komposisi
plak berupa bakteri. Bakteri dapat menyebabkan kerusakan periodontal dengan
cara menghasilkan enzim. Struktur protein utama dari jaringan ikat gingiva dan
ligamen periodontal adalah kolagen dan proteoglikan. Tanda awal dan persisten
dari penyakit periodontal adalah kerusakan jaringan ikat yang terbentuk dari
protein ini yang diserang oleh protease yang berasal dari bakteri atau hospes.
Bakteri yang berhubungan dengan penyakit periodontal dapat memproduksi
berbagai enzim proteolitik yang ikut berperan pada kerusakan jaringan. Yaitu
kolagenase dari spesies Bacteroides, Actinobacillus actinomycetemcomitans, dan
Spirochaeta; enzim seperti elastase dari Spirochaeta; enzim seperti tripsin dari
Bacteroides gingivalis dan B. Forsythus, Treponema denticola dan Spirochaeta
lainnya dan aminopeptidase dari bacteroides dan spesies Capnocytophaga
(Manson & Eley, 1993).
2. Faktor Sekunder
a. Faktor Lokal
1) Kalkulus
Kalkulus gigi merupakan salah satu contoh nyata faktor kontribusi lokal
yang menyebabkan peningkatan retensi plak. Kalkulus gigi merupakan
bakterial plak biofilm yang termineralisasi, dan terdapat kehidupan bakteri
plak. Mineralisasi plak dapat dimulai dari 48 jam sampai 2 minggu setelah
plak terbentuk (Gehrig & Willman, 2011)
Efek kalkulus pada jaringan periodontal:
 Permukaan deposit kalkulus dilihat secara mikroskopis nampak kontur
tidak teratur dan selalu tertutupi oleh bakteri penyebab penyakit.
 Ketika kalkulus gigi menumpuk, maka akan terbentuk permukaan
yang lebih tidak teratur, tepian pada gigi, dan perubahan lain kontur
gigi. Akumulasi kalkulus akan membentuk lebih banyak daerah
retensi plak yang sulit atau tidak mungkin dilakukan pembersihan oleh
pasien.
2) Morfologi gigi
Terdapat berbagai macam faktor kontribusi lokal yang berhubungan
dengan morfologi gigi. Beberapa variasi morfologi gigi dapat terjadi ketika
gigi membutuhkan restorasi, dan beberapa terjadi karena variasi dalam
pembentukan gigi (Gehrig & Willman, 2011).
a) Kontur restorasi yang buruk
 Ketika doker gigi melakukan restorasi, tidak selalu kontur
restorasi bisa sempurna dengan struktur gigi yang ada. Ketika
kontur restorasi tidak sempurna dengan kondisi permukaan gigi,
maka kondisi ini disebut overhanging restoration atau
overhanging.
 Karena sulitnya menjangkau permukaan gigi yang tertutup oleh
overhanging restorasi, sangat sering tidak mungkin untuk pasien
menyingkirkan plak secara efektif dari permukaan gigi. ini
menyebabkan retensi plak di daerah tersebut dan dapat
menyebabkan peningkatan keparahan baik gingivitis atau
periodontitis.
Gambar 1. A. radiografi overhanging amalgam pada permukaan distal molar kedua
rahang atas yang merupakan sumber retensi plak dan iritasi gingiva, B. Radiografi yang
menggambarkan penghapusan amalgam yang berlebihan (Sumber: Newman et al, 2015)

b) Karies gigi
Kerusakan gigi yang tidak dirawat adalah contoh lain dari faktor
kontribusi lokal yang dapat meningkatkan retensi plak. Karena
kerusakan gigi dapat menyebabkan kavitas gigi, kavitas dapat bertindak
sebagai lingkungan yang melindungi bakteri penyebab gingivitis dan
periodontitis untuk hidup dan tumbuh.
c) Groove atau cekungan pada gigi
Secara alami terjadi developmental groove dan cekungan pada
permukaan gigi sering menyebabkan sulitnya self-care pada daerah
tersebut dan juga bisa menjadi faktor kontribusi lokal gingivitis dan
periodontitis karena adanya peningkatan retensi plak.
3) Impaksi makanan
Impaksi makanan mengacu pada memaksa makanan (seperti potongan
daging yang keras) di antara gigi selama mengunyah, menjebak makanan di
area interdental. Akibat dari impaksi makanan adalah makanan tertekan ke
dalam sulkus bisa menyebabkan terbukanya jaringan gingiva jauh dari
permukaan gigi dan berkontribusi terhadap kerusakan jaringan periodontal
(Gehrig & Willman, 2011).
4) Kesalahan restorasi
Enam karakteristik restorasi penting dari titik pandang periodontal
(Reddy, 2011).
a) Margin dari restorasi
Restorasi subgingival bisa berkontribusi terhadap penyakit
periodontal karena:
i. Menyediakan lokasi ideal untuk akumulasi plak.
ii. Mengubahkeseimbangan ekologi gingival sulcus menjadi area
yang baik untuk pertumbuhan organisme infeksius dan
menekan pertumbuhan bakteri normal.
iii. Itu juga ditunjukkan oleh Waerhaug et al (1978) bahwa
restorasi subgingiva adalah daerah-daerah retensi plak yang
tidak dapat diakses oleh instrumen scalling, maka
kemungkinan menjadi severe gingivitis dan poket yang lebih
dalam.
b) Kontur dan overhanging restorasi gigi
Restorasi yang dibuat overkontur akan menyebabkan akumulasi plak
sehingga mempersulit Self-cleansing mechanisms dari pipi, bibir dan
lidah. overhanging restorasi gigi telah dipertimbangkan menjadi faktor
penyebab gingivitis dan mungkin penyebab kehilangan perlekatan
periodontal.
c) Oklusi
Restorasi yang buruk akan menyebabkan ketidakharmonisan oklusal
yang merugikan bagi jaringan periodontal normal. Jenis cedera jaringan
ini disebut "trauma primer dari oklusi".
d) Dental material
Secara umum, bahan restorasi tidak dengan sendirinya merugikan
jaringan periodontal. Itu adalah permukaan kasar yang mendukung
akumulasi plak dan berkontribusi terhadap penyakit periodontal.
Dibandingkan dengan semua bahan restorasi lain, restorasi dengan glass
ionomer dan porselen mampu mempertahankan lebih sedikit plak dan
lebih diterima dari sudut pandang periodontal. Fluorida terus menerus
bocor dari semen glass ionomer mencegah perlekatan bakteri ke pelikel
dan juga mengganggu metabolisme dan pertumbuhan bakteri, sedangkan
permukaan porselen yang sangat halus menghambat pembentukan plak
dan memungkinkan menghilangkannya dengan cepat juga.
e) Desain gigi tiruan sebagian lepasan
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa setelah penyisipan
gigi tiruan parsial, ada peningkatan mobilitas gigi penyangga dalam
peradangan gingiva dan pembentukan poket periodontal. Ini disebabkan
oleh peningkatan akumulasi plak. Adanya gigi tiruan sebagian yang
dapat dilepas tidak hanya menginduksi perubahan kuantitatif pada plak,
tetapi juga perubahan kualitatif dengan mendorong perkembangan
bakteri paling patogen. Oleh karena itu, dari titik pandang periodontal,
prostesis tetap lebih dapat diterima daripada yang dapat dilepas.
f) Prosedur restorasi
Prosedur restorasi sendiri juga dapat menyebabkan kerusakan
periodonsium. Penggunaan rubber dan clamps, copper bands, matrix
bands, dan bur yang tidak hati-hati dapat menyebabkan laserasi atau
perlukaan pada ginggiva, menghasilkan inflamasi gingiva dalam derajat
yang bervariasi.
5) Maloklusi
Maloklusi dapat memberikan efek bervariasi pada etiologi gingivitis dan
penyakit periodontal tergantung pada sifatnya, (Reddy, 2011).
1. Posisi gigi yang tidak teratur: Membuat kontrol plak sulit.
2. Occlusal yang tidak sesuai: Menghasilkan cedera periodontium.
3. Deep bite: Peradangan mukosa palatal.
4. Open bite: Menghasilkan akumulasi plak dan atrofi.
Gambar 2. Perubahan gingiva berhubungan dengan maloklusi (Reddy, 2011)
6) Habit
Pasien mungkin tidak menyadari kebiasaan mereka yang merugikan diri
sendiri yang mungkin penting bagi inisiasi dan perkembangan penyakit
periodontal. Bentuk-bentuk trauma mekanis dapat berasal dari penggunaan
sikat gigi yang tidak tepat, penggunaan tusuk gigi, dan penyebab lainnya.
Sumber bahan kimia yang menyebabkan iritasi diantaranya adalah aplikasi
topikal obat-obaan seperti aspirin atau kokain, reaksi alergi terhadap pasta gigi,
obat kumur dan permen karet, serta kebiasaan mengunyah tembakau (Newman,
2015)
a) Trauma terkait penggunaan oral jewelry
Penggunaan piercing perhiasan di bibir atau lidah telah menjadi hal
yang umum baru-baru ini di kalangan remaja dan dewasa muda. Whittle
dan Lamden mensurvei 62 dokter gigi dan menemukan bahwa 97%
pasien mereka menggunakan perhiasan tindik bibir atau lidah. Insidensi
resesi lingual dengan pembentukan poket dan bukti radiograf adanya
kehilangan tulang pada pasien yang mengenakan lingual barbells selama
dua tahun atau lebih, memperlihatkan bahwa 50% dari subyek usianya
rata-rata 22 tahun, yang merupakan usia yang masih relatif muda
permukaan lingual dari insisivus sentralis bawah yang berdekatan dengan
perhiasan di lidah yang ditindik (Newman, 2015).
Gambar 3 A, Lidah dengan tindik. B, Probing kedalaman 8 mm dengan 10 mm
kehilangan perlekatan klinis pada (Sumber: Newman, 2015)

b) Trauma akibat menyikat gigi


Abrasi gingiva juga perubahan dalam struktur gigi dapat terjadi
akibat penyikatan agresif dalam mode horizontal atau berputar. Efek
merusak yang berlebihan karena menyikat dengan kuat ditekankan
ketika pasta gigi yang sangat abrasif digunakan. Perubahan gingiva
yang disebabkan trauma sikat gigi mungkin akut atau kronis. Perubahan
akut bervariasi dalam penampilan dan durasi dari permukaan epitel,
misalnya terlihat hilangnya jaringan ikat yang mendasari terbentuknya
ulkus gingiva yang menyakitkan. Pada trauma menyikat gigi yang akut,
terlihat adanya eritema yang difus dan hilangnya attachment gingiva di
seluruh mulut dimungkinkan hasil yang paling mencolok dari tindakan
menyikat gigi yang terlalu kencang (Newman, 2015).
Trauma sikat gigi yang kronis mengakibatkan resesi gingival.
Kehilangan perlekatan interproksimal adalah umumnya merupakan
konsekuensi dari periodontitis yang diinduksi oleh bakteri, sedangkan
kehilangan perlekatan bukal dan lingual sering merupakan hasil dari
abrasi sikat gigi (Newman, 2015)
c) Merokok Tembakau
Walaupun stain tembakau dapat memperkasar permukaan gigi,
stain bukanlah faktor retensi plak satu-satunya. Fakta yang sebenarnya
terjadi adalah bahwa perokok tidak membersihkan gigi geliginya sebaik
mereka yang tidak merokok. Efek yang paling jelas dari kebiasaan
merokok adalah perubahan warna gigi-geligi dan bertambahnya
keratinisasi epitelium mulut disertai dengan produksi bercak putih pada
perokok berat di daerah pipi dan palatum, yang kadang-kadang dapat
juga ditemukan pada jaringan periodontal. Insiden gingivitis kronis dan
gingivitis ulseratif akut kelihatannya lebih besar pada perokok yang
juga menunjukkan adanya kerusakan periodontal yang lebih parah.
Penelitian terhadap penyakit periodontal pada wanita perokok usia 20-
39 tahun dan pria perokok berusia 30-59 tahun menunjukkan tingkatan
penyakit yang dua kali lebih besar daripada mereka yang tidak
merokok. Keratinisasi gingiva akibat merokok menyamarkan inflamasi
gingiva dan mengurangi insidens perdarahan gingiva. Oleh karena itu,
kenaikan prevalensi penyakit periodontal pada perokok tentunya
disebabkan karena kebersihan mulut yang buruk dan diagnosis yang
terlambat (Manson & Eley, 1993)

Gambar 4. Stain tembakau pada permukaan lingual gigi anterior


bawah (Sumber: Reddy, 2011)

b. Faktor Sistemik
1) Faktor Hormonal
Kadar hormon seks bervariasi selama berbagai periode kehidupan, yang
paling mencolok yaitu selama masa pubertas, menstruasi, dan kehamilan.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa perubahan kadar hormon
memberikan efek terhadap periodontium, khususnya dengan adanya inflamasi
gingiva yang sudah ada sebelumnya, yang diinduksi plak.
a) Pubertas
Pada masa pubertas, insidens gingivitis mencapai puncaknya seperti
yang dikatakan oleh Sutcliffe (1972), perubahan ini tetap terjadi
walaupun kontrol plak tidak berubah. Oleh karena itu sejumlah kecil plak
yang pada kelompok usia yang lain hanya menyebabkan terjadinya
sedikit inflamasi gingiva, akan menyebabkan inflamasi yang hebat pada
masa pubertas yang diikuti dengan pembengkakan gingiva dan
perdarahan. Bila masa pubertas sudah lewat, inflamasi cenderung reda
sendiri tetapi tidak dapat hilang sama sekali kecuali ila dilakukan
pengontrolan plak yang adekuat (Manson & Eley, 1993). Selama masa
pubertas, terdapat peningkatan kadar estradiol pada perempuan dan
testosteron pada laki-laki.
i. Peningkatan kadar hormon seks selama masa pubertas
menyebabkan meningkatnya aliran darah menuju jaringan gingiva
dan meyebabkan peningkatan sensitifitas terhadap iritasi lokal,
seperti plak, menghasilkan pubertas gingivitis.
ii. Hubungan antara kadar testosteron, estrogen, dan progesteron
dengan proporsi dari Prevotella intermedia, P. Nigrescens, dan
spesies Capnocytophaga telah terlihat pada pubertas gingivitis.
Organisme ini terlibat dalam peningkatan tendensi pendarahan
dan inflamasi gingiva terlihat selama masa pubertas.
iii. Pubertal gingivitis terjadi pada laki-laki dan wanita (Gehrig &
Willman, 2011)
b) Menstruasi
Biasanya, siklus menstruasi tidak menyebabkan perubahan terhadap
gingiva. Perempuan yang sebelumnya mempunyai gingivitis akan
meningkatkan inflamasi dan eksudat cairan sulkus gingiva selama masa
menstruasi dibandingkan dengan periodontium yang sehat. Peradangan
gingiva tampaknya diperparah oleh ketidakseimbangan atau peningkatan
hormon seks. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa hormon seks
memodifikasi tindakan sel-sel sistem imun. Ketika progesteron dalam
kadar paling timggi sebelum menstruasi, intraoral aphtous ulcers, lesi
herpes, dan candidiasis terjadi pada beberapa perempuan sebagai pola
siklik (Gehrig & Willman, 2011)
c) Kehamilan
Dahulu kehamilan selalu dihubungkan dengan gingivitis dan
tanggalnya gigi, tetapi bila rongga mulut dapat dipertahankan tetap dalam
keadaan bersih, gingivitis biasanyan tidak akan timbul pada masa
kehamilan. Seperti pada pubertas, inflamasi ringan akibat plak akan
menjadi jauh lebih parah pada masa kehamilan (Manson & Eley, 1993)
Gingiva akan menjadi begkak, berwarna merah terang, sensistif
dan mudah berdarah secara spontan. Juga terlihat adanya eksudat gingiva
dan mobilitas gigi (Manson & Eley, 1993). Perubahan ini dimulai sejak
bulan kedua kehamilan. Setelah partus biasanya keparahan simtom ini
akan berkurang. Di sini dianggap bahwa peningkatan jumlah progesteron
akan meningkatkan vaskularisasi dan perubahan dinding pembuluh darah
yang menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi lebih permeabel.
Perubahan serupa juga dapat ditemukan pada wanita yang menggunakan
pil kontrasepsi yang mengandung progesteron dan estrogen sintesis
(Manson & Eley, 1993).
Pada wanita hamil, terdapat produksi estradiol, estriol, dan
progesteron dalam jumlah banyak. Kejadian inflamasi gingiva paling
tinggi pada bulan kedelapan kehamilan ketika level hormon yang
bersirkulasi berada pada puncaknya.peningkatan kadar progesteron
meningkatkan permeabilitas dan dilatasi kapiler, menghasilkan
peningkatan eksudat gingiva (Gehrig & Willman, 2011)
2) Faktor nutrisi
Kerusakan periodontal yang hebat sudah sejak lama terbukti
berhubungan dengan scurvy. Vitamin C diperlukan untuk produksi
kolagen, oleh karena itulah vitamin C juga dibutuhkan untuk pertukaran
sel dan perbaikan sel normal, namun penelitian tentang defisiensi vitamin
C tidak menunjukkan adanya perubahan gingiva yang jelas (Manson &
Eley, 1993)
3) Diabetes
Pada diabetes sejumlah perubahan jaringan yang terjadi
menyebabkan perubahan kerentanan terhadap penyakit periodontal.
Perubahan vaskular sering ditemukan dan terlihat peningkatan aktivitas
kolagen serta perubahan respons perantara sel terhadap antigen plak.
Kemotaksis dari PMN dan fagositosis terhambat (Manson & Eley, 1993)
4) Penyakit Psikologis
Gangguan psikologis dapat meningkatkan laju kerusakan periodontal
melalui berkuragnya aliran saliva, baik karena akibat dari kondisi itu
sendiri atau karena terapi obat yang diterima pasien. Gangguan ini juga
mengurangi perhatian pasien akan kebersihan mulut (Manson & Eley,
1993).
B. Klasifikasi Periodontitis
Secara umum, periodontitis diklasifikasikan menjadi periodontitis kronis,
periodontitis agresif dan periodontitis karena penyakit sistemik.
1. Periodontitis Kronis
Periodontitis kronis, merupakan bentuk periodontitis yang paling sering
ditemukan. Faktor sistemik atau lingkungan dapat mengubah respon host terhadap
akumulasi plak dapat menyebabkan perkembangan penyakit menjadi lebih agresif.
Meskipun periodontitis kronis paling sering diamati pada dewasa, penyakit ini
dapat terjadi pada anak-anak dan remaja sebagai respon terhadap akumulasi plak
dan kalkulus kronis. Pengamatan ini yang mendasari perubahan nama terbaru dari
“adult “periodontitis”, yang menggambarkan bahwa periodontitis kronis pada
dewasa, untuk menjadi deksripsi yang lebih umum berupa “chronic” periodontitis,
yang terjadi pada tahap usia apapun.
Periodontitis kronis didefinisikan sebagai penyakit infeksi yang mengakibatkan
inflamasi di dalam jaringan pendukung gigi, kehilangan perlekatan dan
kehilangan tulang yang progresif. Definisi tersebut menguraikan karakteristik
klinis dan etiologi utama dari penyakit: (1) pembentukan plak mikroba, (2)
inflamasi periodontal dan (3) kehilangan perlekatan dan tulang alveolar.
Pembentukan poket periodontal merupakan akibat dari proses penyakit tanpa
resesi gingiva yang disertai dengan kehilangan perlekatan, yang mana poket dapat
masih dangkal, bahkan dengan kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang yang
berlanjut.
a. Karakteristik Umum
Pada pasien dengan periodontitis kronis yang tidak dirawat dapat terjadi
akumulasi plak supragingival dan subgingival (sering berhubungan dengan
pembentukan kalkulus), inflamasi gingiva, pembentukan poket, kehilangan
perlekatan periodontal, kehilangan tulang alveolar, dan kadang-kadang
supurasi (Gambar 16-1). Pada pasien dengan kebersihan rongga mulut yang
buruk, khususnya gingiva, dapat mengalami sedikit pembengkakan hingga
sedang dan memperlihatkan perubahan warna yang berkisar dari merah pucat
hingga magenta (merah keunguan). Kehilangan stippling gingiva dan
perubahan topografi permukaan dapat termasuk margin gingiva yang tumpul
atau menggulung dan papila yang rata atau berbentuk seperti kawah.
Pada sebagian besar pasien, dapat terjadi perubahan warna, kontur, dan
konsistensi yang berhubungan dengan inflamasi gingiva dapat terlihat pada
pemeriksaan. Perdarahan gingiva dapat terjadi secara spontan atau sebagai
respon terhadap probing dan prosesi nflamasi berhubungan dengan eksudat
dari cairan krevikular dan supurasi dari poket juga dapat ditemukan.
Kedalaman poket bervariasi, dan kehilangan tulang alveoalar secara
horisontal dan vertikal dapat ditemukan. Kegoyangan gigi pada kasus lanjut
sering muncul pada kasus dengan kehilangan perlekatan dan kehilangan
tulang yang luas. Periodontitis kronis dapat secara klinis didiagnosa dengan
deteksi pada perubahan inflamasi kronis dalam marginal gigniva, kemunculan
poket periodontal, dan kehilangan perlekatan klinis, didiagnosa secara
radiografi dengan bukti kehilangan tulang.
b. Klasifikasi Periodontitis Kronis
Periodontitis kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan distribusi dan
keparahannya.
1) Berdasarkan Distribusi
Periodontitis kronis dianggap sebagai penyakit yang site-specific (lokasi
spesifik). Tanda klinis dari periodontitis kronis – inflamasi, pembentukan
poket, kehilangan perlekatan, dan kehilangan tulang – dipercaya disebabkan
oleh efek spesifik dan langsung dari akumulasi plak subgigniva. Sebagai
akibat dari efek lokal ini, pembentukan poket dan kehilangan perlekatan dan
tulang dapat terjadi pada salah satu permukaan dari gigi sementara
permukaan yang lain tetap level perlekatan normal. Sebagai contoh,
permukaan proksimal dengan akumulasi plak kronis mungkin memiliki
kehilangan perlekatan, dimana permukaan fasial yang bebas plak dari gigi
yang sama dapat bebas dari penyakit.
Sebagai hasil dari sifat yang spesifik ini, berdasarkan jumlah gigi yang
terlibar dan mengalami clinical attachment loss (CAL) periodontitis kronis
dikelompokkan sebagai berikut:
a) Localized periodontitis: Periodontitis dikatakan sebagai localized
ketika kurang dari 30% dari sisi yang dinilai dalam mulut
memperlihatkan kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang.
b) Generalized periodontitis: Periodontitis dikatakan sebagai
generalized ketika 30% atau lebih dari sisi yang dinilai dalam mulut
memperlihatkan kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang.

Gambar 5. Generalized periodontitis (Sumber: Highfield, 2009)


2) Berdasarkan Keparahan
Keparahan kerusakan dalam peridontium yang terjadi sebagai akibat dari
periodontitis kronis secara umum diklasifikasikan berdasarkan fungsi dari
waktu. Dengan peningkatan usia, kehilangan perlekatan dan kehilangan
tulang menjadi lebih sering dan lebih parah karena akumulasi dari kerusakan.
Keparahan penyakit dapat dijelaskan sebagai slight (ringan), moderate
(sedang), atau severe (parah). Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan
keparahan penyakit dari seluruh mulut atau bagian dari mulut atau status
penyakit dari masing-masing gigi.
a) Slight (mild) periodontitis: Kerusakan periodontal secara umum
dipertimbangkan ringan ketika clinical attachment loss yang terjadi tidak
lebih daripada 1 hingga 2 mm.
b) Moderate periodontitis: Kerusakan periodontal secara umum
dipertimbangkan sedang ketika terjadi clinical attachment loss 3 hingga 4
mm.
c) Severe periodontitis: Kerusakan periodontal dipertimbangkan parah
ketika terjadi clinical attachment loss 5 mm.
2. Periodontitis Agresif
a. Karakteristik Umum
1) Hilangnya perlekatan gigi yang cepat. Periodontitis agresif jika
dibandingkan dengan periodontitis kronis yang lebih umum, proses
hilangnya perlekatan berlangsung jauh lebih cepat. Untuk mengevaluasi
proses perusakan yang cepat ini, evaluasi data klinis atau radiografi dari
titik-titik waktu sebelumnya diperlukan, dengan demikian
memungkinkan pembuatan perkiraan awal penyakit. Perhatikan bahwa
usia pasien bukan merupakan kriteria utama untuk diagnosis periodontitis
agresif. Karena catatan klinis sebelumnya sering tidak tersedia, banyak
dokter berpendapat bahwa kehilangan perlekatan yang parah pada pasien
muda mungkin merupakan hasil dari perkembangan penyakit yang cepat.
Namun, ini tidak sepenuhnya benar; pengabaian kebersihan mulut pada
individu yang rentan periodontitis selama satu dekade akan menyebabkan
kehilangan perlekatan yang parah, bahkan dengan tingkat perkembangan
yang lambat. Di sisi lain, kehilangan attachment yang parah pada
individu yang lebih tua belum tentu hasilnya penyakit yang berlangsung
lama dan perlahan berkembang. Oleh karena itu tidak tepat untuk
menggunakan usia individu yang terkena sebagai kriteria diagnostik
utama untuk membedakan periodontitis agresif dan kronis. Perhatikan
bahwa, dilaporkan ada periode perkembangan penyakit cepat yang dapat
dengan sendirinya disalahtafsirkan sebagai periodontitis agresif.
2) Subyek dinyatakan sehat yaitu, tidak menderita penyakit atau kondisi
sistemik yang dapat bertanggung jawab untuk periodontitis saat ini.
3) Riwayat penyakit periodontitis pada keluarga. Kumpulan kasus
periodontitis agresif dapat dievaluasi melalui kuesioner riwayat medis
dan dengan mewawancarai pasien. Namun, itu disarankan untuk
memverifikasi kasus serupa dalam keluarga, karena banyak kasus gigi
jelek pada keluarga muncul menjadi karies terkait atau mungkin karena
periodontitis.
b. Klasifikasi
Periodontitis agresif diklasifikasikan ke dalam bentuk localized dan
generalized. Pengelompokan ini didasarkan pada pemeriksaan klinis,
radiografi dan riwayat penyakit. Hal tersebut termasuk usia lesi yang
terbentuk, keterlibatan dari gigi selain gigi molar dan insisivus dan kehadiran
respon antibodi sitemik terhadap patogen periodontal.
1) Generalized Aggresive Periodontitis (GAP)
Generalized aggressive periodontitis (GAP) adalah subkelompok
penyakit periodontal yang dicirikan oleh tingkat keparahan dan tingkat
penyakit yang paling tinggi dan juga oleh heterogenitasnya yang besar.
Dua respon jaringan gingiva dapat ditemukan pada kasus GAP. Salah
satunya melibatkan parah, inflamasi akut jaringan yang sering
berproliferasi, mengalami ulserasi, dan merah menyala. Perdarahan dapat
terjadi secara spontan atau dengan sedikit stimulasi, dan supurasi yang
merupakan fitur penting. Respon jaringan ini diduga terjadi selama tahap
destruktif, di mana lampiran dan tulang secara aktif hilang. Dalam kasus
lain, jaringan gingiva mungkin tampak merah muda, bebas dari
peradangan, dan kadang-kadang dengan beberapa tingkat stippling,
meskipun stippling mungkin tidak ada. Namun, meskipun penampilan
klinis tampak ringan, poket yang dalam dapat dijumpai.

Gambar 7. Generalized Aggresive Periodontitis (Sumber: Highfield, 2009)


2) Localized Aggresive Periodontitis
Localized Aggresive Periodontitis (LAP) biasanya ditemukan pada
individu yang lebih muda daripada GAP. Hal ini ditandai dengan respon
antibodi sistemik lebih menonjol terhadap patogen periodontal daripada
yang ditemukan pada pasien dengan GAP. Pada individu dengan respons
humoral yang lebih rendah, penyakit ini tidak hanya terbatas pada gigi
permanen pertama, dan dapat berkembang menjadi GAP. Ini berarti
bahwa LAP dan GAP hanya akan menjadi variasi fenotipik dari penyakit
dasar yang sama. Asumsi ini didukung oleh beberapa laporan yang
menunjukkan urutan PAP dan GAP pada individu yang sama dari waktu
ke waktu. Pada saat yang sama, ada beberapa bukti yang mendukung
klaim bahwa LAP merupakan penyakit sendiri, dengan mekanisme
molekuler dan seluler yang berbeda.

Gambar 8. Localized Aggressive Periodontitis (Sumber: Highfield, 2009)


3. Periodontitis karena Penyakit Kronis
Kategori ini telah didefinisikan ulang hanya untuk memasukkan penyakit-
penyakit di mana penyakit periodontal adalah manifestasi dari proses penyakit dan
tidak termasuk mereka yang bertindak sebagai pengubah dari semua jenis
penyakit periodontal. Ini termasuk berbagai gangguan hematologis seperti
neutropenia dan leukemia; berbagai kelainan genetik seperti familial dan
neutropenia siklik (Gambar 9), sindrom Down (Gambar 10), sindrom defisiensi
adhesi leukosit, Papillon-Lefe`vre Syndrome, sindrom Chediak-Higashi, sindrom
histiocytosis, hypophosphatasia dan lainnya. Penyakit lain seperti HIV dan
diabetes dianggap sebagai penyebab periodontitis kronis dan agresif. Disimpulkan
bahwa tidak ada bukti yang cukup bahwa ada periodontitis spesifik yang terkait
dengan penyakit ini.

Gambar 9. Kondisi rongga mulut peada penderita neutropenia siklik


(Sumber: Highfield, 2009)

Gambar 10. Penyakit periodontal pada penderita down sindrom (Sumber:


Highfield, 2009)

C. Gambaran Klinis Periodontitis Kronis


1. Periodontitis Kronis
a. Berdasarkan Daerah Perluasan (Langlais, 2009)
1) Localized chronic periodontitis: kurang dari 30% daerah
menunjukkan kehilangan tulang dan perlekatan.
2) Generalized chronic periodontitis: 30% atau lebih daerah
menunjukkan kehilangan tulang dan perlekatan.
b. Berdasarkan Keparahan (Langlais, 2009)
1) Mild Chronic Periodontitis
a) Tingkat ini didefinisikan dengan kehilangan perlekatan 1 hingga 2
mm.
b) Kedalaman poket periodontal 4 hingga 5 mm,
c) Terdapat resorpsi tulang alveolar lokal (<1/3 panjang akar)
d) Mungkin ditemui class I furcation involvement (1 mm),
e) Hilangnya alveolar crest sepanjang 2 mm atau kurang.

Gambar 11. Mild periodontitis: terlihat adanya kehilangan


perlekatan. (Langlais, 2009)

2) Moderate Chronic Periodontitis (Langlais, 2009)


a) Tingkat ini didefinisikan dengan kehilangan perlekatan 3 hingga 4
mm.
b) Kedalaman poket periodontal 4 hingga 6 mm,
c) Terdapat resorpsi tulang alveolar 3 hingga 4 mm (>1/3 panjang
akar, <2/3 panjang akar)
d) Kegoyangan gigi dan class II furcation involvement merupakan
gambaran radiograf dan klinikal tambahan.
e) Ditemui eksudat gingiva dan perdarahan.

Gambar 12. Moderate periodontitis: tedapat 4 mm defek berupa parit.


(Langlais, 2009)
3) Advance Chronic Periodontitis (Langlais, 2009)
a) Ditemukan 5 mm atau lebih clinical attachment loss.
b) Biasanya kedalaman poket periodontal melebihi 6 mm.
c) Kehilangan tulang alveolar lebih dari 4 mm (>2/3 panjang akar);
d) Ditemukan resesi gingiva,
e) Kegoyangan gigi terjadi secara signifikan,
f) Terlihat adanya class III furcation involvement (a through-and-
through bony defect).
2. Periodontal Pockets
a. Tanda dan Gejala (Newman, 2015)
Tanda dan gejala periodontits kronis (Newman, 2015)
1) Perubahan Warna gingiva : margin gingiva berwarna merah kebiruan
atau terdapat zona merah kebiruan verticalyang meluas dari margin
gingiva dan gingiva cekat.
2) Gingiva membesar/membengkak.
3) Terdapat perdarahan, nanah, jarak antar gigi yang longgar dan gigi
terlihat panjang.
4) Tidak sakit, tetapi dapat menimbulkan rasa spontan karena tekanan
hasil pengunyahan
5) Sensitis terhadap panas dan dingin

Gambar 13. Poket periodontal disekitar gigi anterior mandibular menunjukkan gingiva
yang membengkak dan banyak kalkulus serta plak. Selain itu, terlihat supurasi pada gigi
keenam (#6) (Newman, 2015)
b. Klasifikasi (Newman, 2015)
Periodontal pocket menghasilkan kerusakan dari jaringan
pendukung gigi (periodontal), sehingga menimbulkan kelonggaran antar
gigi dan gigi tanggal. Terdapat dua tipe poket periodontal :
1) Suprabony (supracrestal atau supraalveolar) terjadi ketika dasar
poket berada di koronal alveolar crest.
2) Intrabony (infrabony, subcrestal, atau intraalveolar) terjadi ketika
dasar poket berada pada apical alveolar crest terdekat. Tipe kedua ini
dinding poket lateral terletak diantara permukaan gigi dan tulang
alveolar.

Gambar 14. Tipe-tipe poket. A, poket gingiva. Tidak ada destruksi


jaringan periodontal. B, Poket Suprabony. Dasar poket berada pada
koronal alveolar crest. Terjadi resorbsi tulang secara horizontal. C,
Poket Intrabony. Dasar poket berada pada apical dari alveolar crest
terdekat. Terjadi resorbsi tulang secara vertical (Newman, 2015)

c. Pocket Probing (Newman, 2015)

Gambar 15. Dalam probing, perlu dilakukan pengecekan pada


setiap sisi permukaan gigi untuk mengeksplorasi seluruh poket.
(Newman, 2015)
Gambar 16. Pengecekan secara vertical (kiri) tidak dapat
mendeteksi lembah interdental pada poket; posisi oblique
(kanan) dapat mencapai bagian terdalam lembah interdental.
(Newman, 2015)

Gambar 17. Pengecekan (kiri) mungkin tidak akan mendeteksi


furcation involvement, diperlukan pengecekan dengan probe
Naber’s (kanan) untuk memeriksa daerah furkasi. (Newman,
2015)

d. Furcation Involvement.
Furcation Involvement adalah adanya invasi mikroorganisme pada
jaringan periodontal bifurkasi atau trifurkasi pada gigi berakar ganda.
Berdasarkan Glickman, Furcation Involvement dapat diklasifikasikan sebagia
berikut (Newman, 2015) :
1) Grade I, terdapat resorbsi tulang di permukaan (1 mm)
2) Grade II, berkaitan dengan resorbsi sebagian tulang alveolar (cul-
de-sac) (2-4 mm)
3) Grade III berkaitan dengan resorbsi tulang alveolar dengan adanya
pertemuan antara satu jalan masuk furkasi dengan jalan masuk
lainnya (through-and-through opening of the furcation).
4) Grade IV mirip dengan grade III tetapi terjadi resesi gingiva
sehingga daerah furkasi terlihat

Gambar 18. Klasifikasi furcation involvement berdasarkan Glickman. A, Grade I


furcation involvement. Meskipun jalan masuk furkasi terlihat secara klinis, tidak ada
komponen horizontal dari furcation yang hilang dengan pemeriksaan probing. B, Grade
II furcation pada tengkorak kering. Terdapat kehilangan komponen horizontal dan
vertical furkasi (cul-de-sac). C, Grade III furcations pada molar maksila. Pemerikasaan
probing mengonfirmasi bahwa jalan masuk furkasi bukal terhubung dengan jalan masuk
furkasi distal, tetapi furkasi masih tertutupi jaringan lunak. D, Grade IV furcation.
Jaringan lunak telah berkurang hingga cukup untuk memperlihatkan secara langsung
furkasi pada molar maksila. (Newman, 2015)

3. Clinical Attachment Loss


Clinical Attachment Loss (CAL) adlaah jarak antara Cementoenamel Junction
(CEJ) menuju Junctional Epithelium (JE). CAL merupakan determinan keparahan
periodontitis kronis (Newman, 2015).
a. Periodontitis kronis ringan (Slight), 1 hingga 2 mm CAL;

Gambar 19. Mild Chronic Periodontitis (Newman, 2015)


b. Periodontitis kronis sedang (Moderate), 3 hingga 4 mm CAL;

Gambar 20. Moderate Chronic Periodontitis (Newman, 2015)


c. Periodontitis kronis tingkat lanjut/advance/severe, ≥5 mm CAL.

Gambar 21. Advance Chronic Periodontitis (Newman, 2015)


Gambar 22. Perbedaan kedalaman poket dengan clinical attachment loss
yang sama. Tanda panah menunjukkan dasar poket. Jarak anak panah dan
CEJ tetap sama meski terdapat perbedaan kedalaman poket (Newman, 2015)

Perlu diketahui, kedalaman poket merupakan jarak antara dasar sulcus dengan
margin gingiva. Hal ini dapat berubah seiring dengan waktu, bahkan pada pasien
dengan penyakit periodontal yang tidak terkontrol, sebagai hasil dari perubahan
posisi margin gingiva. Sedangkan, perubahan tingkat perlekatan dapat merupakan
hasil dari keberadaan atau kehilangan perlekatan, dan hal ini dapat menjadi
indikasi yang lebih baik terhadap pembentukan atau destruksi periodontal. Poket
dangkal yang menempel pada sepertiga akar berarti destruksi lebih parah daripada
poket dalam yang melekat pada sepertiga akar. (Newman, 2015)
4. Kegoyangan Gigi.
Semua gigi memiliki kegoyangan fisiologis, yang bervariasi tergantung jenis
gigi dan perbedaan waktu. Kegoyangan gigi terbesar terjadi pada pagi hari
(bangun tidur) dan menurun seiring berjalannya hari. Peningkatan mobilitas di
pagi hari berkaitan dengan ekstrusi kecil dari gigi sebagai hasil dari kontak
oklusal yang minim selama tidur. Selama terbangun, mobilitas gigi berkurang
dengan adanya mekanisme pengunyahan dan penelanan yang mendorong gigi ke
soket. 24 jam variasi mobilitas gigi ini kurang tampak pada orang dengan jaringan
periodontal yang sehat dibandingkan dengan orang dengan kebiasaan yang
berhubungan dengan kontak oklusal, seperti bruxism dan menggertakkan gigi
(Newman, 2015)
Kegoyangan gigi dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Newman, 2015):
a. Normal mobility
b. Grade I: pergerakan gigi sedikit lebih dari normal
c. Grade II: pergerakan gigi cukup lebih dari normal (kurang lebih 1 mm)
d. Grade III: pergerakan gigi secara fasiolingual, mesiodistal, atau
kombinasi keduanya dengan perubahan vertikal

Gambar 23. Kegoyangan gigi diperikasa dengan sebuah handle


instrument dan satu jari (Newman, 2015).

Kegoyangan gigi dapat terjadi karena (Newman, 2015)


a. Hilangnya jaringan pendukung berupa tulang (bone loss)
b. Trauma dari oklusi
c. Perluasan inflamasi
d. Bedah periodontal (sementara)
e. Kehamilan
f. Terdapat proses patologis pada rahang
5. Derajat Resesi Gingiva

\
Gambar 24. Resesi gingiva. terdapat resesi ringan pada gigi
26 dan 29 dan terdapat resesi pula pada gigi 27 dan 28. Perubahan kontur dan
resesi gingiva pada gigi 28, merupakan Stillman’s clefts (Newman, 2015).

Gambar 25. Resesi gingiva tergeneralisasi : 2 hingga 6 mm. (Langlais, 2009)

Resesi gingiva adalah migrasi margin gingiva ke posisi yang lebih apikal.
(Newman, 2015)
Klasifikasi resesi gingiva menurut Miller :
1) Class I : Resesi belum meluas atau memanjang menuju ke atau melebihi
Mucogingival Junction (MGJ). Tidak terdapat kehilangan jaringan lunak
dan tulang interdental.
2) Class II : Resesi meluas atau memanjang menuju ke atau melebihi
Mucogingival Junction (MGJ). Tidak terdapat kehilangan jaringan lunak
dan tulang interdental
3) Class III : Resesi meluas atau memanjang menuju ke atau melebihi
Mucogingival Junction (MGJ). Terdapat kehilangan jaringan lunak dan
tulang interdental (kehilangan jaringan apical dari CEJ, tetapi koronal
dari margin gingiva)
4) Class IV : Resesi meluas atau memanjang menuju ke atau melebihi
Mucogingival Junction (MGJ). Terdapat kehilangan jaringan lunak dan
tulang interdental (kehilangan jaringan lebih lanjut)

Gambar 26. Klasifikasi resesi gingiva menurut Miller


D. Gambaran Radiografi Periodontitis
1. Periodontitis Kronis
Pada rongga mulut terdapat beberapa jaringan, yaitu jaringan keras dan
jaringan lunak. Yang termasuk jaringan keras gigi diantaranya tulang alveolar dan
gigi (enamel dan dentin). Sedangkan yang termasuk jaringan lunak meliputi
mukosa (labial, bukal, palatal, ginggival), lidah dan jaringan penyangga gigi.
Kelainan dapat terjadi pada jaringan keras dan jaringan lunak dalam rongga
mulut. Suatu kelainan yang terjadi baik pada jaringan keras maupun jaringan
lunak pada rongga mulut dapat diketahui melalui pemeriksaan obyektif dan
ditunjang oleh pemeriksaan radiografi. Dengan pemeriksaan radiografi operator
bisa melihat kondisi jaringan yang terletak dibawah mukosa yang tidak dapat
dilihat secara langsung. Sehingga dapat memastikan kelainan yang terjadi di
daerah tersebut. Salah satu kelainan pada jaringan lunak gigi yang dapat dilihat
pada pemeriksaan radiografi adalah kelainan yang terjadi pada jaringan
penyangga gigi, seperti periodontitis. Dengan pemeriksaan radiografi dapat
diketahui bagaimana gambaran periodontitis dan bagaimana membedakannya
dengan kelainan yang lain.

Gambar 27. Periodontitis kronis secara Radiografi.

Derajat keparahan destruksi tulang yang terjadi akibat periodontitis kronis


umumnya dianggap memiliki keterkaitan dengan lamanya waktu. Dengan
meningkatnya usia, hilangnya perlekatan dan hilangnya tulang (bone loss)
semakin umum dan semakin parah terjadi. Hal ini disebabkan oleh adanya
destruksi yang terakumulasi. Tingkat keparahan suatu penyakit dapat
diklasifikasikan sebagai keadaan yang ringan (slight / mild), sedang (moderate),
atau berat (severe); begitu juga dengan tingkat keparah periodontitis.
a. Slight / mild periodontitis kronis
Destruksi periodontal umumnya dianggap sebagai periodontitis ringan ketika
absorpsi tulang alveolar tidak lebih dari 1 hingga 2 mm dari daerah cemento
enamel junction atau telah terjadi hilangnya perlekatan klinis / terbentuk pocket
yang kedalamannya tidak lebih dari 1 hingga 2 mm.20 Pada tahap ini, gusi akan
menjadi lebih lunak, lebih mudah berdarah terutama saat dilakukan probing, dan
seringkali terjadi bone loss tipe horisontal.
Gambar 28. Radiografik mild periodontitis
b. Moderate periodontitis kronis
Destruksi periodontal umumnya dianggap sebagai periodontitis yang sedang
ketika telah terbentuk pocket sedalam 3 hingga 4 mm.20 Jaringan gingiva menjadi
lebih merah dan bengkak, lebih mudah berdarah, serta adanya kemungkinan
terjadi bone loss tipe horisontal atau vertikal. Rasio mahkota dan akar adalah 1:1
akibat hilangnya 1/3 tulang alveolar.

Gambar 28. Radiografik moderate periodontitis


c. Severe periodontitis kronis
Destruksi periodontal umumya dianggap sebagai periodontitis yang berat /
parah ketika telah terbentuk pocket sedalam 5 mm atau lebih. Tahap ini juga
ditandai dengan terjadinya bone loss tipe horisontal dan vertikal. Rasio mahkota
dan akar gigi adalah 2:1 atau bahkan lebih karena hilangnya lebih dari 1/3 tulang
alveolar.
Gambar 29. Radiografik severe periodontitis
2. Periodontittis Agresif
a. Localized Agressive Periodontitis
Terlihat adanya vertical loss pada tulang alveolar di sekitar molar
pertamadan insisivus. Juga terdapat gambaran arc-shaped loss of alveolar
bone yang berjaland ari permukaan distal premolar dua ke permukaan
mesial molar kedua.

Gambar 30. Gambaran radiografi dengan menggunakan radiografi


periapikal pada LAP

b. Generalized Agressive Periodontitis


Tingkat keparahan generalized aggressive peiodontitis dapat dilihat dari
tingkat bone loss yang berhubungan dengan kehilangan gigi. Pada
gambaran radiografi yang diambil secara berkala dapat dilihat kerusakan
terjadi 25% menjadi 60% dalam 9 minggu.
Gambar 31. Gambaran radiografi dengan menggunakan radiografi
pada GAP.
E. Histopatogenesa Periodontitis
Periodontitis kronis merupakan salah satu penyakit kelanjutan yang dapat
terjadi akibat adanya peradangan pada gusi atau gingivitis. Salah satu fitur klinis
yang utama dari periodontitis adalah terjadinya pendalaman sulkus gingiva atau
dapat disebut sebagai poket periodontal. Pendalaman sulkus gingiva dapat dilihat
secara histopatogenesa yang dimulai dengan adanya perubahan inflamasi pada
jaringan ikat pada dinding sulkus gingiva. Eksudasi cairan inflamatori
menyebabkan terjadinya degenerasi pada jaringan ikat disekitar, termasuk serat
gingiva. Namun, kerusakan serat kolagen hanya terjadi pada bagian apikal dan
epitel junction.
Terdapat dua mekanisme berkaitan dengan hilangnya serat kolagen.
Mekanisme pertama ialah kolagenase dan enzim lainnya yang disekresi oleh
berbagai jenis sel dari jaringan yang sehat maupun yang mengalami inflamasi,
seperti fibroblas, sel-sel PMN, dan makrofag yang kemudian akan merusak
kolagen. Mekanisme yang kedua ialah fibroblas memfagositosit serat kolagen
dengan memanjangkan prosesus sitoplasmanya ke permukaan antara ligamen
dengan sementum, kemudian mendegradasi kolagen fibril matriks sementum.
Akibat dari hilangnya kolagen, sel apikal dari epitel junction berproliferasi
sepanjang akar dan menjorok serta memanjang membentuk gambaran seperti jari
tangan/fingerlike projections.
Gambar 32. fingerlike projection disertai dengan pemadatan infiltrat
inflamatori
Kemudian, akibat terjadinya inflamasi, sel-sel PMN menginvasi bagian ujung
coronal dari epitel junction dengan jumlah yang besar. Sel-sel PMN tersebut tidak
berikatan antara yang satu dengan yang lainnya ataupun dengan sel epitel dari
desmosom. Oleh sebab itu, ketika volume relatif dari sel-sel PMN melebihi epitel
junction (sekitar 60%), jaringan akan kehilangan sifat kohesifnya dan selanjutnya
akan lepas dari permukaan gigi. Dengan demikian, bagian coronal dari epitel
junction lepas dari akar dan bersamaan dengan migrasi apikal, hal tersebut
menyebakan terjadinya perubahan pada daerah apikal, yaitu epitel sulkular secara
bertahap mengalami penambahan daerah sulkus. Seiring dengan berlanjutnya
proses inflamasi, gingiva mengalami perubahan dalam jumlah besar. Sel apikal
pada epitel junction terus mengalami migrasi sepanjang akar dan bagian coronal
sel semakin terpisah. Infiltrasi leukosit terjadi lebih lanjut dan menyebabkan
dinding lateral gingiva mengalami degenerasi hingga nekrosis.
Pada penyakit periodontitis kronis, kerusakan terparah terjadi pada bagian
dari dinding poket lateral sulkus. Epitel dari dinding poket lateral tersebut
mengalami degenerasi dan proliferasi, yang kemudian membentuk fingerlike
projection seperti yang sudah disinggung sebelumnya. Penjorokan epitel tersebut,
dipadati oleh infiltrasi oleh leukosit dan edema dari jaringan yang terinflamasi.
Sel-sel pada daerah yang terinflamsi, pada akhirnya dapat mengalami degenerasi
membentuk vakuola dan kemudian pecah sehingga terbentuk lesi sekunder berupa
ulser.

Gambar 33. dinding lateral poket yang mengalami ulser. Nampak juga akumulasi
leukosit pada epitel dan jaringan ikatnya.

Fitur lain dari periodontitis kronis adalah terjadinya resorpsi tulang. Inflamasi
yang terjadi pada daerah sulkus gingiva yang menyerang serat kolagen akan terus
berlanjut searah dengan pembuluh darah melewati jaringan longgar disekitarnya
hingga ke tulang alveolar.

Gambar 34. A. Perluasan area inflamasi dari gingiva ke daerah suprabony, B. Perluasana
inflamasi sepanjang pembuluh darah diantar bundel kolagen.
Setelah inflamasi mencapai tulang alveolar, inflamasi tersebut kemudian akan
menyebar ke dalam rongga di sumsum tulang dan menggantikannya dengan
leukosit dan cairan eksudat, pembuluh darah baru, serta proliferasi sel fibroblas.
Pada rongga sumsum tulang, proses resorpsi tulang dimulai dari dalam yang
menyebabkan terjadinya penipisan dari trabekula dan semakin luasnya rongga
sumsum. Hal ini diikuti dengan dekstruksi tulang alveolar dan pengurangan tinggi
tulang alveolar.

Gambar 35. perluasan dari inflamasi telah memasuki rongga di sumsum


tulang alveolar.
F. Patogenesa Periodontitis
Pathogenesis penyakit periodontal dibagi menjadi 3 tahap :
1. Lesi awal
Bakteri adalah penyebab utama dari penyakit periodontal, namun pada tahap
ini hanya menyerang jaringan dalam batas normal dan hanya berpenetrasi
superfisial. Bakteri plak memperoduksi beberapa factor yang dapat menyerang
jaringan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara merangsang
reaksi imun dan inflamasi. Plak yang terakumulasi secara terus menerus
khususnya diregio interdental yang terlindung mengakibatkan inflamasi yang
cenderung dimulai pada daerah papilla interdental dan menyebar dari daerah ini
ke sekitar cervical gigi.
Perubahan terlihat pertama kali di sekitar pembuluh darah gingiva yang kecil,
disebelah apical dari jungtional epithelium. Pembuluh ini mulai bocor dan
kolagen perivaskuler mulai menghilang, digantikan dengan beberapa sel
inflamasi, sel plasma, dan limfosit limfosit T-cairan jaringan dan protein serum.
Disini terlihat peningkatan migrasi leukosit melalui epitelium fungsional dan
eksudat dari cairan jaringan margin gingiva. Selain meningkatnya aliran eksudat
cairan dan PMN, tidak terlihat adanya tanda tanda klinis dari jaringan pada tahap
penyakit ini.
2. Gingivitis
Bila deposit plak masih tetap ada, perubahan inflamasi tahap awal akan
berlanjut disertai dengan meningkatnya aliran cairan gingiva dan migrasi PMN.
Perubahan yang terjadi baik pada epithelium krevikular merupakan tanda dari
pemisahan sel dan beberapa proliferasi dari sel basal. Fibroblast mulai
berdegenerasi dan bundle kolagen dari kelompok serabut dentogingiva pecah
sehingga seal dari cuff marginal gingiva menjadi lemah. Pada keadaan ini terlihat
peningkatan jumlah sel sel inflamasi, 75% diantaranya terdiri dari limfosit. Juga
terlihat beberapa sel plasma danmakrofag. Pada tahap ini tanda tanda klinis dari
inflamasi makin jelas terlihat. Papilla interdental menjadi lebih merah dan
bengkak serta mudah berdarah pada saat disonde.
Dalam waktu 2-3 minggu, akan terbentuk gingivitis yang lebih parah lagi.
Perubahan mikroskopik terlihat terus berlanjut, pada tahap ini sel sel plasma
terlihat mendominasi. Limfosit masih tetap ada dan jumlah makrofag meningkat.
Pada tahap ini sel mast juga ditemukan. Immunoglobulin, terutama IgG
ditemukan di daerah epithelium dan jaringan ikat. Gingiva sekarang berwarna
merah, bengkak dan mudah berdarah. Dengan bertambah parahnya ketusakan
kolagen dan oembengkakakn inflamasi, tepi gingiva dapat dengan mudah dilepas
dari permukaan gigi, memperbesar kemungkinan terbentuknya poket gingiva atau
false pocket. Bila oedema inflamasi dan pebengkakan gingiva cukup besar, maka
poket gingiva biasanya juga cukup dalam. Pada tahap ini sudah terjadi degenerasi
sel sel epithelium jungtion dan beberapa berproliferasi dari lapisan basal ke
jaringan ikat di bawahnya, namun pada tahapan ini belum terlihat adanya migrasi
sel sel epithelial dalam jumlah besar ke permukaan akar.
Bila inflamasi sudah menyebar disepanjang serabut transeptal, maka akan
terlihat adanya resorbsi puncak tulang alveolar. Resorbsi ini bersifat reversible
terutama dalam hubungannya dengan pemulihan inflamasi. Salah satu tanda
penting dari penyakit ini adalah tidak ditemukannya bakteri pada epithelium
maupun jaringan ikat. Karena jaringan fibrosa rusak pada daerah inflamasi aktif,
pada beberapa daeraha agak jauh terlihat adany aproliferasi jaringan fibrosa dan
pembentukan pembuluh darah baru. Aktivitas pemulihan yang produktif ini
merupakan karakteristik yang sangat penting dari lesi kronis dan pada keadaan
iritasi serrta inflamasi jangka panjan, elemen jaringan fibrosa akan menjadi
komponen utama dari perubahan jaringan. Jadi kerusakan dan perbaikan
berlangsung bergantian dan proporsi dari tiap tiap proses ini akan mempengaruhi
warna dan bentuk gingiva. Bila inflamasi dominan, jaringan akan berwarna
merah, lunak dan mudah berdarah. Bila produksi fibrosa yang dominan, gingiva
akan menjadi keras dan berwarna merah muda walaupun bengkak dan sedikit
terjadi perdarahan.
3. Periodontitis
Bila iritasi plak dan inflamasi terus berlanjut, integritas dari epithelium
jungtion akan semakin rusak. Sel sel epithelial akan berdegenerasi dan terpisah,
perlekatannya pada permukaan gigi akan terlepas sama sekali. Pada saat yang
bersamaa, epithelial jungtion akan berproliferasi ke jaringan ikat dan ke bawah
pada permukaan akar bila serabut dentogingiva dann serabut puncak tulang
alveolar rusak. Migrasi ke apical dari jungtional epithelium akan terus
berlangsung dan epithelium ini akan terlepas dari permukaan gigi membentuk
poket periodontal atau true pocket. Keadaan ini tampaknya merupakan perubahan
irreversible. Bila poket periodontal sudah terbentuk plak dan sudah berkontak
dengan sementum maka jaringan ikat akan menjadi oedema, pembuluh darah
terdilatasi, dan trombisis dinding pembuluh pecah serta disertai denga timbulnya
perdarahan ke jaringan sekitarnya. Disini terlihat infiltrate inflamasi yang besar
dari sel sel plasma, limfosit, dan makrofag. IgG merupakan immunoglobulin yang
dominan tetapi beberpa IgM dan IgA juga dapat ditemukan disini. Epitelium
dinding poket mungkin tetap utuh atau terulserasi. Disini tidak terlihat adanya
perbedaan karena produk produk plak berdifusi melalui epithelium. Aliran cairan
jaringan dan imigrasi dari PMN akan berlanjut dan agaknya aliran cairan jaringan
ini ikut membantu meningkatkan deposisi kalkulus subgingiva. Penyebaran
inflamasi ke puncak tulang alveolar ditandai denga adanya infiltrasi sel sel ke
ruang ruanv trabekula, daerah daerah tulang akan di rersorbsi tulang dan
bertambah besarnya ruang trabekula. Ada kecenderungan resorbsi tulang di
imbangi oleh deposisi yang semakin menjauhi daerah inlamasi sehingga tulang
akan di remodelling, namun tetap mengalami kerusakan.

G. Mekanisme Pembentukan Poket


Periodontitis adalah peradangan yang mengenai jaringan pendukung gigi,
disebabkan oleh mikroorganisme dan dapat menyebabkan kerusakan yang
progresif pada ligamen periodontal, tulang alveolar dan disertai dengan
pembentukan poket. Periodontitis menyebabkan destruksi jaringan yang permanen
yang dikarakteristikkan dengan inflamasi kronis, migrasi epitelium penyatu ke
apikal, kehilangan jaringan ikat dan kehilangan tulang alveolar.
Gambaran klinis dari periodontitis adalah terjadinya perubahan warna
menjadi menjadi merah terang, disertai dengan pembengkakan margin.
Perdarahan saat probing dan terjadi kedalaman probing ≥ 4 mm disebabkan oleh
migrasi epitel penyatu ke apikal. Terjadi kehilangan tulang alveolar dan
kegoyangan gigi.
Gambar 36. Terdapat empat rangkaian tahap-tahap periodontitis
kronis (Carranza, 2016)

Penyebab utama penyakit periodontal adalah adanya mikroorganisme yang


berkolonisasi di dalam plak gigi. Plak gigi adalah substansi yang terstruktur,
lunak, berwarna kuning, yang melekat pada permukaan gigi. Kandungan dari plak
gigi adalah berbagai jenis mikroorganisme, khususnya bakteri sisanya adalah
jamur, protozoa dan virus. Plak yang mengandung mikroorganisme patogenik ini
berperan penting dalam menyebabkan dan memperparah infeksi periodontal.
Peningkatan jumlah organisme Gram negatif di dalam plak subgingiva seperti
Porphiromonas gingivalis, Actinobacillus actinomycetemcomitans, Tannerela
forsythia dan Treponema denticola menginisiasi infeksi periodontal.

Inflamasi sulkus Muncul sel-sel Degenerasi dan


gingiva inflamasi Swelling

Serat kolagen
Sel-sel pada JE Terbentuk poket
pada JE mulai
berproliferasi periodonotal
rusak

Gambar 37. skema mekanisme pembentukan poket periodontal


Tahap awal perkembangan periodontitis adalah inflamasi pada gingiva
sebagai respon terhadap serangan bakteri. Periodontitis dihubungkan dengan
adanya plak subgingiva. Perluasan plak subgingiva ke dalam sulkus gingiva dapat
mengganggu perlekatan bagian korona epitelium dari permukaan gigi.
Mikroorganisme yang terdapat di dalam plak subgingiva seperti Porphiromonas
gingivalis, Actinobacillus actinomycetemcomitans, Tannerela forsythia,
Provotella intermedia dan Treponema denticola akan mengaktifkan respon imun
terhadap patogen periodontal dan endotoksin tersebut dengan merekrut neutrofil,
makrofag dan limfosit ke sulkus gingiva untuk menjaga jaringan pejamu dan
mengontrol perkembangan bakteri.
Tahap destruksi jaringan merupakan tahap transisi dari gingivitis ke
periodontitis. Destruksi jaringan periodontal terjadi ketika terdapat gangguan pada
keseimbangan jumlah bakteri dengan respon pejamu, hal ini dapat terjadi akibat
subjek sangat rentan terhadap infeksi periodontal atau subjek terinfeksi bakteri
dalam jumlah yang besar. Sistem imun berusaha menjaga pejamu dari infeksi ini
dengan mengaktifasi sel imun seperti neutrofil, makrofag dan limfosit untuk
memerangi bakteri. Makrofag distimulasi untuk memproduksi sitokin matrix
metalloproteinases (MMPs) dan prostaglandin E2 (PGE2). Sitokin MMPs dalam
konsentrasi tinggi di jaringan akan memediasi destruksi matriks seluler gingiva,
perlekatan serat kolagen pada apikal epitel penyatu dan ligamen periodontal.
Beberapa faktor host yang dikeluarkan oleh sel inflamasi dapat menyebabkan
kerusakan pada serat kolagen jaringan ikat dan berperan dalam penyakit
periodontal, termasuk prostaglandin dan prekursornya, interleukin 1- α dan -β, dan
Tumor Necrosis Factor (TNF)-α yang dihasilkan oleh host.
IL-1 bertanggung jawab atas rusaknya jaringan ikat gingiva dengan memicu
fibroblas untuk mensekresi matriks metalloproteinase (MMP) sedangkan TNF-α
memicu terjadinya resorpsi tulang. MMP yang disekresi umumnya kalogenase
yang mana menyebabkan rusaknya sabut kolagen pada jaringan ikat gingiva.
Selain itu, terjadi pelepasan lisozim oleh oleh neutrofil, limfosit, dan makrofag
yang mengandung asam hidrolase yang mana dapat merusak jaringan.
Kehilangan kolagen menyebabkan sel epitelium penyatu bagian apikal
berproliferasi sepanjang akar gigi dan bagian korona dari epitelium penyatu
terlepas dari akar gigi. Neutrofil menginvasi bagian korona epitelium penyatu dan
memperbanyak jumlahnya. Jaringan akan kehilangan kesatuan dan terlepas dari
permukaan gigi. Sulkus akan meluas secara apikal dan pada tahap ini sulkus
gingiva akan berubah menjadi poket periodontal.

H. Mekanisme Resorbsi Tulang Alveolar


1. Tulang Alveolar
Tulang alveolar adalah bagian dari maksila dan mandibula yang membentuk
dan mendukung soket gigi. Tulang alveolar terbentuk pada saat gigi erupsi untuk
menyediakan perlekatan tulang pada ligamen periodontal. Bagian dari tulang
alveolar :
1. Dinding soket yang tipis pada bagian tulang compact disebut tulang alveolar
sejati yang terlihat seperti lamina dura pada gambaran radiografis.
2. Trabekulla cancellous yang berada diantara tulang compact dan tulang
alveolar sejati.
3. Keping kortikal eksternal merupakan bagian yang menutupi tulang alveolar
dan lebih tipis dari bagian facial.

Gambar 38. Struktur tulang alveolar


Resopsi tulang alveolar adalah proses morfologi yang kompleks dan
berhubungan dengan adanya erosi pada permukaan tulang. Resorpsi tulang
alveolar berhubungan dengan penyakit periodontal yang terjadi pada semua
permukaan gigi dan dapat dilihat dari pemeriksaan radiografis. Normalnya puncak
tulang alveolar berada 1-2 mm ke arah apikal dari cemento enamel junction.
Derajat kehilangan tulang tergantung dari perubahan jaringan lunak pada dinding
poket yang menggambarkan terjadinya inflamasi.

2. Pola Resorpsi Tulang Alveolar


a. Resorpsi tulang horizontal
Merupakan pola kehilangan tulang yang paling sering ditemukan pada
penyakit periodontal. Puncak tulang alveolar mengalami penurunan, tetapi margin
tulang yang tersisa tegak lurus terhadap permukaan gigi. Kehilangan tulang
dianggap horizontal apabila sisa puncak tulang alveolar bagian proksimal sejajar
dengan garis khayal yang terdapat di antara cemento enamel junction yang
berdekatan dengan gigi.

Gambar 39. Pola resorpsi tulang horizontal


b. Resorpsi tulang vertikal
Resorpsi ini terjadi dalam arah oblique, membuat lubang yang menembus ke
dalam tulang di sepanjang akar, dasar dari resorpsi ini terletak ke arah apikal di
sekitar tulang.
Gambar 40. Pola resorbsi tulang vertikal
c. Mekanisme Resorpsi Tulang Alveolar

Gambar 41. Mekanisme resorpsi tulang alveolar


Pada saat bakteri gram negatif melakukan penyerangan di dalam jaringan
periodontal, bakteri ini akan mengeluarkan suatu zat yang disebut lipopolisakarida
(LPS). LPS bakteri gram negatif ketika sedang melakukan penyerangan akan
mengaktivasi sel fagosit untuk memproduksi mediator-mediator inflamasi,
diantaranya yaitu IL-1, PGE-2, dan TNF-alpha. Mediator-mediator ini akan
menghambat proses diferensiasi osteoblast, menghambat produksi mediator sel
osteoblast dan menghambat produksi matriks ekstraseluler dan proses kalsifikasi.
Sebaliknya mediator-mediator ini akan meningkatkan jumlah dari osteoklas dan
mengaktifasi osteoklas. Sehingga terjadi penurunan jumlah osteoblast dan
peningkatan jumlah osteoklas. Hal ini berakibat terjadi nya proses penghancuran
tulang tanpa ada keseimbangan untuk remodelling tulang.
Mediator-mediator :
1) Sitokin IL-1 terdiri dari IL-1α dan IL-1β. IL-1 Merupakan sitokin
pleotropik proinflamasi yang multifungsi salah satunya untuk
meningkatkan resorpsi tulang. IL-1 disekresi oleh monosit, makrofag, sel-
B, fibroblas, netrofil, sel-sel epitel dan beberapa tipe sel lainnya.
2) Prostaglandin E2 adalah eikosanoid vasoaktif yang diproduksi monosit
dan fibroblast.
3) Tumor Nekrosis Faktor yang terdiri atas TNF-α dan TNF-β. TNF-α
diproduksi oleh makrofag setelah distimulasi oleh bakteri gram-negatif,
termasuk lipopolisakarida (LPS). TNF-α dan TNF-β berperan dalam
aktivasi osteoklas dan menstimulasinya untuk menyebabkan resorpsi
tulang.
4) MMP merupakan enzim proteinase yang mampu merusak matriks
ekstraseluler. MMP diproduksi oleh sel makrofag dan fibriblast gingiva,
yang dirangsang oleh IL-1.

I. Imunopatogenesa Penyakit Periodontal


Perkembangan penyakit peridontal terjadi karena kombinasi beberapa
faktor, termasuk adanya bakteri periodontopathogenic, tingkat sitokin
proinflammatory yang tinggi seperti matriks metalloproteinase (MMPs) dan
prostaglandin E2 (PGE2), serta tingkat sitokin anti-inflammatory yang rendah
yaitu inter-leukin-10 (IL-10), trasforming growth factor (TGF-β) dan inhibitor
jaringan MMP (TIMPs).
1. Sistem imun innate pada penyakit periodontal
Epitelium periodontal memberikan barrier fisik terhadap infeksi dan
memiliki peran aktif dalam sistem imun innate atau sistem kekebalan bawaan,
karena sel epitel selalu berkontak dengan produk bakteri. Epitel dapat
berpartisipasi dalam infeksi dengan memberikan respon imun innate lebih lanjut
(Gambar 1). Sel epitel juga dapat merespon bakteri dengan meningkatkan
proliferasinya, mengubah proses pemberian sinyal sel, mengubah diferensiasi sel
dan kematian sel serta mengubah homeostasis jaringan.

Gambar 42. Beberapa mekanisme yang terlibat dalam penyakit periodontal. (A)
Hambatan pada epitel yang kuat dapat mencegah masuknya bakteri periodontopathogenic
dan produknya ke dalam jaringan mulut (B) Gangguan hambatan epitel memungkinkan
masuknya bakteri periodontopathogenic dan produknya dalam jaringan host. Sebagai
respon, sel-sel dari innate dan adaptif imun diaktifkan dan menghasilkan LL-37,
defensin, saposin, sitokin dan khemokin terhadap agen invasi.

Epitel di seluruh tubuh manusia menghasilkan beragam peptida atau protein


antimikroba disetidaknya empat family (α-defensins, β-defensins, cathelicidins,
saposins). Peptida ini berkaitkan dengan saliva karena terdapat di daerah
dentogingival junction). Peptida atau protein antibiotik alami diekspresikan dalam
epitel oleh neutrofil. Protein ini memiliki aktivitas melawan bakteri Gram-positif
dan Gram-negatif, serta melawan ragi dan beberapa virus. Peptida antimikroba ini
berfungsi untuk membentuk pori-pori atau mengganggu membran mikroba.
Peptida antimikroba α-defensins dan cathelicidin LL37 adalah peptida
proteolitik aktif. Beberapa peneliti menemukan bahwa peran utama β-defensins
yaitu sebagai sinyal respon imun innate. Sementara cathelicidin LL37 dan α-
defensins berperan sebagai antimikroba di sulkus gingiva. Peptida ini mampu
mengaktifkan jalur komplemen klasik dan meningkatkan produksi IL-8 oleh sel
epitel, sehingga dapat meningkatkan rekrutmen neutrofil ke tempat infeksi.
2. Respon imun adaptif pada penyakit periodontal
Respon imun adaptatif diaktifkan ketika penghalang epitel, dengan peptida
antimikroba dan komponen lain dari sistem imun innate dihancurkan. Sesuai
dengan Gemmell et al., respon imun terhadap infeksi diatur oleh keseimbangan
antara T helper (Th) 1 dan Th2. Diferensiasi subset sel Th1 dan Th2 ditentukan
oleh sejumlah faktor, termasuk antigen itu sendiri, dosis antigen, rute pemberian,
sifat sel antigen-penyajian dan molekul ko-stimulasi. Beberapa penelitian
menunjukkan penurunan respons Th1 pada periodontitis, sementara yang lain
menunjukkan peningkatan respon Th2. Namun, penelitian lain telah menunjukkan
dominasi respon Th1 atas respon Th2, dengan penelitian lain menunjukkan
dominasi sel Th0 dalam periodontitis. Namun, tidak ada ketetapan tentang respon
imun Th1 / Th2 pada penyakit periodontal.

Gambar 43. Peran Sel T CD8+ (Th1) pada penyakit periodontitis kronis. Anatomi
jaringan periodontal lunak dan keras dengan sel yang dipilih: sel T CD8+ (biru),
osteoblast (hijau), dan osteoklas (ungu), dalam kondisi jaringan periodontal yang sehat
(panel kiri) dan kondisi periodontitis kronis (panel kanan).
Pada Gambar 2 terjadi akumulasi bakteri patogen pada permukaan gigi,
pembentukan saku dengan akumulasi cairan crevicular (GCF) gingival,
kehilangan perlekatan gingiva, gingiva yang meradang (kemerahan), serta
hilangnya tulang alveolar pada periodontitis kronis karena ketidakseimbangan
dalam keseimbangan antara osteoblastogenesis dan osteoklastogenesis (panel
kanan). Di bawah kondisi homeostasis (panel kiri), IL-10 dan TGF-β disekresikan
oleh sel CD8+ untuk menekan osteoklastogenesis, sementara Wntb10 memicu
diferensiasi sel punca mesenkimal (MSC) menjadi osteoblas dan menghambat
apoptosis sel osteoblas. Sel CD8+ juga mensekresikan amphiregulin (AREG) yang
mengurangi peradangan gingiva dan meningkatkan perbaikan jaringan epitel dan
stroma. Peran IFN-γ dan IL-17 di bawah kondisi homeostatik pada
osteoklastogenesis dan osteoblastogenesis belum dapat diketahui (tidak pasti).
Sementara pada keadaan periodontitis kronis (panel kanan), tingginya produksi
TNF-α, IFN-γ, dan IL-17 adalah sebagai respons terhadap kolonisasi bakteri
patogenik. Mediator ini berfungsi sebagai pemicu osteoklastogenesis dan
apoptosis osteoblas, sehingga mendukung resobsi tulang.

Gambar 44. Sistem osteoklastogenesis.


Di sisi lain, terkait dengan penyakit periodontal, Boyle et al,
mengemukakan bahwa integritas jaringan tulang tergantung pada pemeliharaan
keseimbangan antara resorpsi tulang oleh osteoklas dan deposisi tulang oleh
osteoblas. Mekanisme pengaturan utama dari aktivitas osteoklas dilakukan oleh
reseptor RANK (aktivator reseptor faktor nuklir-β), osteoprotegerin (OPG), dan
ligan RANK (RANKL). RANK diekspresikan pada prekursor osteoklastik dan
pada osteoklas dewasa, sementara RANKL, diekspresikan terutama pada
osteoblas di bawah kondisi homeostasis. Interaksi antara RANK dan RANKL
diperlukan untuk diferensiasi dan aktivasi sel osteoklas. Osteoprotegeri dapat
mencegah resobsi tulang dengan mencegah ikatan RANK-RANKL untuk
menghasilkan sel osteoklas.
DAFTAR PUSTAKA
Cardoso, Elsa M., Fernando A. Arosa. 2017. CD8+ T Cells in Chronic periodontitis:
Roles and Rules. Front. Immunol. 8:145.
Carranza F. A., Henry H. T., Michael G. N. 2002. Clinical Periodontology 9th ed.
W. B. Saunders Co, Philadelphia.
Gehrig, J. S. N. Dan Willmann, D. E. 2011. Foundations of Periodontics for the
Dental Hygienist. Amerika Serikat: Lippincott Williams & Wilkins
Highfield, J. 2009. Diagnosis and classification of periodontal disease. Australian
Dental Journal. 54(1): 11-26.
Langlais, Robert P. 2009. Color Atlas of Common Oral Diseases.4th Ed.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Manson, J. D. dan B. M. Eley. 1989. Outline of Periodontics. Surrey:
Butterworth-Heinemann Ltd. Terjemahan oleh Anastasia. S. 1993. Buku Ajar
Periodonti. Jakarta: Hipokrates
Mariano, Flávia Sammartino, dkk. 2010. The role of immune system in the development
of periodontal disease: a brief review. Rev. odonto ciênc. 2010;25(3):300-305.
Muller D, 1980. The Scoring of The Defects of The Alveolar Process In
Human. Crania. Journal of Human Evolution. Academic Press Inc, London.
Newman, M. G., H.H. Takei., P. R. Klokkevold. dan F.A. Carranza. 2015.
Carranza Clinical Periodontology. Edisi ke-12. Canada: Elsevier
Reddy, S. 2011. Essentials of Clinical Periodontology and Periodontics. 3rd ed.
India: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd
Rima M, Andry H, Willie J. (eds). 1994. Kamus Kedokteran Dorland 26th ed.
EGC. jakarta.
Silva, Nora, dkk. 2015. Host response mechanisms in periodontal diseases. J Appl Oral
Sci. 2015;23(3):329-55.
Wolf. H.F. dan E.M. Rateitchak. Color Atlas of Periodontology. 1985. New York:
Georg Thiem Verlag Stutgard.

Anda mungkin juga menyukai