IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Nn. Rima Fitria W
Tempat, Tanggal Lahir : Nganjuk, 01 Desember 2001
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Ds. Pandansili RT 01/RW02, kweden, Jawa
Timur
No. Rekam Medis : 010877
1
III. PEMERIKSAAN OBJEKTIF
a. Pemeriksaan Ekstra Oral
Muka : t.a.a
Pipi Kanan : t.a.a
Pipi Kiri : t.a.a
Bibir Atas : t.a.a
Bibir Bawah : t.a.a
Sudut Mulut : t.a.a
Kelenjar Limfe
Submandibularis kanan kiri : tidak teraba, tidak sakit
Submentalis : tidak teraba, tidak sakit
Leher : tidak teraba, tidak sakit
Kelenjar Saliva
Parotis kanan : t.a.a
Parotis kiri : t.a.a
Sublingualis : t.a.a
Lain-Lain : t.a.a
b. Pemeriksaan Intra Oral
Mukosa Labial Atas : t.a.a
Mukosa Labial Bawah : Pada mukosa labial bawah kiri terdapat
ulser,single, diameter 6 mm, berbentuk
oval, tepi kemerahan dengan bagian
tengah berwarna putih kekuningan,
reguller, sakit.
2
Kunjungan 1
Komisura Kanan : t.a.a
Komisura Kiri : t.a.a
Mukosa Bukal Kanan : Pada mukosa bukal dextra terdapat
karatosis, berwarna putih memanjang
dari gigi p1-m mengikuti dataran
oklusal, batas ireguler, tidak sakit.
Mukosa Bukal Kiri : Pada mukosa bukal sinistra terdapat
karatosis, berwarna putih memanjang
dari gigi p1-m mengikuti dataran
oklusal, batas ireguler, tidak sakit.
Labial Fold Kanan : t.a.a
Labial Fold Kiri : t.a.a
Bukal Fold Atas : t.a.a
Bukal Fold Bawah : t.a.a
Gingiva Rahang Atas : t.a.a
Gingiva Rahang Bawah : Pada mukosa gingiva anterior rahang
bawah terdapat makula, berwarna merah
kecoklatan, sepanjang gigi c-c, bentuk
3
ireguler, tidak sakit, jaringan sekitar
normal.
Palatum : t.a.a
Lidah
Pada lateral lidah kanan terdapat lekukan berbentuk scalloped ,
bentuk ireguler, batas jelas, multiple, bilateral, sewarna dengan
jaringan sekitar, tidak sakit.
Pada 1/3 anterior lidah terdapat papula, multipel, diameter 1 mm,
bewarna kemerahan, tidak dapat dikerok, tidak.
IV. DIAGNOSIS SEMENTARA : Stomatitis Aftosa Rekuren
Mayor
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG :-
4
b. Farmakologis
VIII. KONTROL
a. Kontrol 1 hari ke 7
5
Objektif :
Kontrol 1
Planning :
2. Menjaga OH
6
4. Instruksikan pasien untuk banyak konsumsi buah dan sayur serta
minum air putih 8 gelas/ hari
b. Kontrol 2 hari ke 14
Objektif :
7
Kontrol 2
Planning :
2. Menjaga OH
8
IX. PEMBAHASAN
a. Definisi Stomatitis Aftosa Rekuren
b. Faktor Predisposisi
Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti.
Ulser pada SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang
memungkinkannya berkembang menjadi ulser. Faktor-faktor ini terdiri
dari pasta gigi dan obat kumur sodium lauryl sulphate (SLS), trauma,
genetik, gangguan immunologi, alergi dan sensitifitas, stres, defisiensi
nutrisi, hormonal, merokok, infeksi bakteri, penyakit sistemik, dan obat-
obatan. Kasus SAR yang dialami oleh pasien diatas diduga terjadi karena
faktor hormonal ( menstruasi ) ( Langlais, 2009).
c. Klasifikasi SAR
Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75% sampai
dengan 85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan adanya ulser
berbentuk bulat dan oval, dangkal, dengan diameter 1-10 mm, dan dikelilingi
9
oleh pinggiran yang eritematous. Ulserasi dari tipe minor cenderung
mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal
dan dasar mulut.Ulserasi biasa tunggal atau merupakan kelompok yang
terdiri atas 4-5 ulser dan akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa
meninggalkan bekas jaringan parut (Glick, 2015).
10
2. SAR Tipe Mayor
Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita SAR dan lebih parah dari
tipe minor. Ulser biasanya tunggal, berbentuk oval dan berdiameter sekitar
1-3 cm, berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan dapat terjadi pada
bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin.
Ulser yang besar, dalam serta bertumbuh dengan lambat biasanya terbentuk
dengan bagian tepi yang menonjol serta eritematous dan mengkilat, yang
menunjukkan bahwa terjadi edema. Selalu meninggalkan jaringan parut
setelah sembuh dan jaringan parut tersebut terjadi karena keparahan dan
lamanya ulser (Glick, 2015).
11
3. SAR Tipe Herpetiformis
12
d. Etiopatogenesis
1. Etiologi
Etiologi belum diketahui pasti. Namun beberapa faktor yang turut
berperan dalam timbulnya lesi SAR antara lain herediter, psikologi,
gangguan hipersensitif atau alergi, hormonal, gangguan sistem imun (Glick,
2015).
Faktor pencetus pada kasus : Hormonal
2. Tahap perkembangan SAR
Tahap perkembangan SAR dibagi kepada 4 tahap yaitu:
Tahap premonitori, terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi
SAR.Pada waktu prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut
terbakar pada tempat dimana lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-
selmononuklear akan menginfeksi epitelium, dan edema akan mulai
berkembang.
Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi
SAR. Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi
eritematus. Intensitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap pre-
ulserasi ini.
Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2
minggu.Pada tahap ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan
diselaputi oleh lapisan fibromembranous yang akan diikuti oleh
intensitas nyeriyang berkurang.
Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke – 4 hingga 35. Ulser
tersebutakan ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan
sering tidak meninggalkan jaringan parut dimana lesi SAR pernah
muncul (Roger, 2000).
13
Pada kasus pasien diketahui dari anamnesa pasien, pasien sedang
mengalami masa menstruasi hari ke 4, dimana adanya faktor predisposisi
perubahan hormon mempengaruhi terjadinya SAR. Pada fase menstruasi
terdapat 4 fase yaitu, primordial, marurity ovulasi dan luteal. Pada fase
pertama adalah primordial, didapatkan beberapa folikel yang tumbuh, namun
hanya satu folikel saja yang menjadi dominan. Fase kedua adalah fase
maturity, didapatkan 3 tahapan yaitu, preantral, antral dan preovulasi. Pada
prentral oosit mulai membesar dan sel granulosa mengalami proliferasi dan
mampu menangkap stimulus gonadotropin yang menghasilkan 3 macam
steroid seks (estrogen, androgen, progesteron). Sedangkan pada antral
stimulus FSH dan estrogen menghasilkan jumlah cairan yang banyak, cairan
ini berisi FSH, estrogen, androgen. Ruangan yang berisi cairan memisahkan
sel granulosa menjadi 2 bagian, yang menempel pada dinding folikel dan
oosit. Pada preovulasi folikel yang dominan akan terus membesar dan
mengandung banyak pembuluh darah, sehingga folikel hiperemi, LH mulai
terbentuk dan memnyebabkan androgen meningkat, androgen yang
meningkat menyebabkan apoptosis pada folikel yang tidak dominan. Fase
ketiga adalah ovulasi, pada fase ini di tandai LH yang meningkat, ovulasi
terjadi 34-36 jam pertama. LH yang meningkat memacu sekresi
prostaglandin, progesterone, estrogen, FSH. Sekresi yang terjadi secara
terus-menerus menyebabkan penurunan pada hormon estrogen,
progesterone, FSH menurun, menyebabkan keratinisasi terganggu dan rentan
terjadi iritasi local, sehingga mudah terbentuk mikro lesi. Hal ini
menyebabkan aktivasi dari enzim propeolitik, enzim ini berfungsi untuk
memecah dinding folikel. Fase keempat yaitu luteal, pada fase ini ditandai
dengan Vaskular Endothelial Growth Faktor yang berfungsi untuk
angiogenesis.
14
SKEMA SINTESIS :
Siklus menstruasi
Fase Primordial
Fase Maturity
Angiogenesis
15
ulser. Biasanya pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar
ditanyakan sejak dari umur berapa terjadi, lama (durasi), serta frekuensi
ulser. Setiap hubungan dengan faktor predisposisi juga harus dicatat. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan ulser pada bagian mukosa mulut dengan
bentuk yang oval dengan lesi ±1 cm yang jumlahnya dapat single atau
biopsi, dan kultur bila ulser tidak kunjung sembuh ( Michael, 2015).
f. Diagnosa Banding
Traumatik Ulser
1. Persamaan :
a. Ulser
b. Tepi kemerahan
d. Sakit
e. Terapi
16
2. Perbedaan :
Perbedaan SAR TU
(Regezi, 2012).
17
g. Perawatan
Dalam upaya melakukan perawatan terhadap pasien SAR, tahapannya
adalah :
1. Edukasi bertujuan untuk memberikan informasi mengenai penyakit yang
dialami yaitu SAR agar mereka mengetahui dan menyadarinya.
2. Instruksi bertujuan agar dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan
menghindari faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya SAR.
3. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala yang dihadapi agar pasien
dapat mendapatkan kualitas hidup yang menyenangkan (Soeprapto,
2016).
Tindakan pencegahan timbulnya SAR dapat dilakukan diantaranya
dengan menjaga kebersihan rongga mulut, menghindari stres serta
mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama yang mengandung vitamin B12
dan zat besi. Menjaga kebersihan rongga mulut dapat juga dilakukan dengan
berkumur-kumur menggunakan air garam hangat atau obat kumur. SAR
juga dapat dicegah dengan mengutamakan konsumsi makanan kaya serat
seperti sayur dan buah yang mengandung vitamin C, B12, dan mengandung
zat besi.
Pada kasus tersebut dilakukan pemberian antiseptik topikal berupa
Periokin gel dan pemberian multivitamin Becom C serta KIE meliputi
memberi penjelasan kepada pasien bahwa sariawan tersebut hal yang dapat
timbul ketika menstruasi, menjelaskan fungsi dari terapi yang diberikan
yanitu salah satunya adalah mengurangi rasa sakit dan mencegah pelebaran
dari sariawan. Menjelaskan kepada pasien tentang instruksi penggunaan
obat yang diberikan. Pemeriksaan penunjang tidak perlu dilakukan karena
dari anamnesa sudah jelas. Periokin gel mengandung Chlorhexidine 0,2%.
Pemberian antiseptik bertujuan untuk menghambat atau merusak
mikroorganisme di permukaan suatu jaringan hidup sehinga dapat
18
mencegah infeksi (Ardi, 2013). Komposisi dari Becom C antara lain
Vitamin B1 50 mg, Vit B2 25 mg, Vit B6 10 mg, Vit B12 5 mg, Calcium
Pantotenate 18,4 mg, Nicotinamide (Vit B3) 100 mg, Vit C 500 mg.
Pemberian vitamin C secara oral berfungsi dalam pembentukan kolagen.
Kolagen merupakan senyawa protein yang mempengaruhi integritas struktur
di jaringan ikat sehingga berperan dalam penyembuhan luka (Almatsier,
2002).
X. KESIMPULAN
19
XI. DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama.
Ardi, Fajar. 2013. Efektivitas Mencuci Tangan Menggunakan Cairan
Pembersih Tangan Antiseptik. Kesmas Journal. Vo;. 7. No. 2.
ISSN: 1978-0575.
Glick M. (2015). Burket’s oral medicine diagnosis and treatment 11th.
Hamilton: BC Decker Inc.
Hernawati, Sri. 2013. Mekanisme Selular dan Molekuler Stress terhadap
Terjadinya Rekuren Aptosa Stomatitis. Jurna; PDGI. Vol. 62, No.
1. Hal 37-40.
Langlais RP, Miller CS, Nield- Gehrig JS. 2013. Atlas Berwarna Lesi
Mulut yang Sering Ditemukan. 4rd ed. Indonesia : EGC . P.172
Michael, G., William, M., and Feagans, C.D. 2015. Burket’s Oral
Medicine. 12th Ed. USA : People’s Medicl Publishing House. P. 86
Regezi, J.A. 2012. Oral Pathology : Clinical pathologic correlations. 6th
Ed. USA : Elsevier Saunders
Roger. 2000. Recurrent Aphthous Stomatitis : Clinical Characteristic and
Associated Systemic Disorder. Seminars in Cutaneus Medicine and
Surgery.
Soeprapto, Andrianto. 2016. Pedoman dan Tatalaksana Praktik
Kedokteran Gigi. Yogyakarta: STPI Bina Insan Mulia.
20