Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

GLOSSITIS DAN KORELASINYA DENGAN


PENYAKIT SISTEMIK

DISUSUN OLEH:

Anantyo Satria A G99181009


Kirana Pawitra Nareswari G991902032
Akmalia Fatimah G99172029
Kristianti Mukti Restu P G991902033
Zahra Afifah Hanum G99172162
Andini Herviastuti S G99172037

PEMBIMBING :
Christianie, drg., SpPerio

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Referensi artikel dengan judul:

GLOSSITIS DAN KORELASINYA DENGAN


PENYAKIT SISTEMIK

Hari, tanggal : Senin, 9 September 2019

Oleh:

Anantyo Satria A G99181009


Kirana Pawitra Nareswari G991902032
Akmalia Fatimah G99172029
Kristianti Mukti Restu P G991902033
Zahra Afifah Hanum G99172162
Andini Herviastuti S G99172037

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Makalah

Christianie, drg., SpPerio


NIP. 19580710 198610 2 001
BAB I
PENDAHULUAN

Rongga mulut berperan penting dalam banyak proses fisiologis karena


kedekatannya dengan saluran pernapasan dan kontinuitasnya dengan sistem
pencernaan, serta partisipasinya dalam artikulasi bicara. Selain itu, berbagai gangguan
sistemik dapat berikatan dengan perubahan rongga mulut, baik spesifik maupun tidak
spesifik (Islam et al., 2011; Reamy et al., 2010). Hal-hal yang terjadi pada rongga mulut
dapat merupakan manifestasi dan gejala sistemik, memberikan diagnosa awal pada
dokter tentang kondisi yang mendasarinya. Secara khusus, pemeriksaan yang cermat
dapat mengungkapkan tanda dan gejala gangguan metabolisme, endokrinopati,
penyakit pencernaan, hematologi, autoimun, dan patologi neoplastik (Neville et al.,
2008).

Glossitis merupakan kelainan pada lidah berupa perubahan penampilan pada


permukaan lidah akibat suatu peradangan akut ataupun kronis yang mengakibatkan
lidah membengkak, berubah warna dan tekstur permukaan. Kondisi ini dapat
menyebabkan papilla di permukaan lidah menghilang. Papilla akan berwarna lebih
putih dari daerah yang dikelilinginya. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan
stress emosional, defisiensi nutrisi dan herediter. Keadaan ini biasanya terbatas pada
dorsal dan tepi lateral dua pertiga anterior lidah dan hanya mengenai papilla filiformis
sedangkan papilla fungiformis tetap baik. Papilla berisi ribuan sensor kecil yang
disebut taste buds. Radang parah yang mengakibatkan pembengkakan, kemerahan, dan
nyeri, dapat mengubah cara penderita makan ataupun berbicara (Langlais, 2001).
Glositis dapat timbul tiba-tiba dan menetap selama berbulan-bulan dan
bertahun-tahun. Dapat terlihat hilang spontan dan kambuh kembali. Pada kasus yang
berat, glossitis dapat menyebabkan tersumbatnya jalan nafas ketika lidah yang
membengkak cukup parah sehingga membutuhkan penanganan segera (Langlais,
2001).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Glositis merupakan peradangan pada lidah yang ditandai dengan
terjadinya deskuamasi papilla filiformis sehingga menghasilkan daerah
kemerahan yang halus dan mengkilat. Glositis bisa terjadi akut atau kronis.
Penyakit ini dapat mencerminkan kondisi dari lidah itu sendiri atau merupakan
cerminan dari penyakit tubuh yang gejalanya muncul pada lidah. Keadaan ini
dapat menyerang pada semua tingkatan usia. Kelainan ini sering menyerang
pada laki- laki dibandingkan pada wanita (Byrd J.A et al, 2003).

Gambar 1. Glossitis

B. ANATOMI
Lidah terletak pada dasar mulut, sementara pembuluh darah dan urat
saraf masuk dan keluar pada akarnya. Lidah merupakan kumpulan otot lurik
yang diliputi oleh membrane mukosa (selaput lendir). Lidah sebagian besar
terdiri dari dua kelompok otot yaitu otot intrinsik dan ektrinsik. Otot intrinsic
lidah berfungsi melakukan semua gerakan lidah, sementara otot ektrinsik
mengaitkan lidah pada bagian-bagian sekitarnya serta membantu melakukan
gerakan menekan makanan pada langit-langit dan gigi, kemudian
mendorongnya masuk ke faring. Lidah posterior dan anterior berbeda dalam
anatomi dan fisiologi mereka. Serabut otot di lidah posterior didominasi tahan
lelah yang bertanggung jawab untuk aktivitas tonik berkelanjutan lama yang
diperlukan untuk mempertahankan posisi lidah dan mencegah massanya jatuh
ke dalam retroglossal airway (Bruch dan Treister, 2010).
Membran mukosa melekat erat pada otot karena jaringan penyambung
lamina propia menembus ke dalam ruang-ruang antar berkas-berkas otot.
Membran mukosa ini tampak kasar karena adanya tonjolan-tonjolan yang
disebut papila yang akhiran-akhiran saraf pengecap dan terletak pada seluruh
permukaan lidah. Saraf-saraf pengecap inilah yang dapat membedakan rasa
makanan, rasa asin, asam, pahit dan rasa manis. Tiap rasa pada zat yang masuk
ke dalam rongga mulut akan direspon oleh lidah di tempat yang berbeda-beda.
Ujung serta pinggiran lidah bersentuhan dengan gigi-gigi bawah, sementara
dorsum merupakan permukaan melengkung pada bagian atas lidah (Bruch dan
Treister, 2010).

Gambar 2. Anatomi Lidah


Fungsi Lidah
1. Menunjukkan kondisi tubuh
2. Membasahi makanan di dalam mulut
3. Mengecap atau merasakan makanan
a. Rasa manis = lidah bagian apex
b. Rasa asin = lidah bagian depan dan samping
c. Rasa asam = lidah bagian samping dalam
d. Rasa pahit = lidah bagian belakang
4. Membolak-balik makanan
5. Menelan makanan
6. Mengontrol suara dan dalam mengucapkan kata-kata

C. ETIOLOGI
Penyebab glositis dapat bermacam-macam, baik lokal maupun sistemik
(Erriu et al., 2016).
1. Lokal
a. Infeksi (streptococcal, candidiasis, TB, HSV, EBV)
b. Trauma mekanis (luka bakar)
c. Iritasi lokal (alkohol, tembakau, makanan pedas, permen
berlebihan)
d. Mulut kering karena Sjogren syndrome
2. Sistemik
a. Malnutrisi (kurang asupan vitamin B12, niasin, riboflavin, asam
folat)
b. Anemia (kekurangan Fe)
c. Faktor hormonal
d. Penyakit kulit (lichenplanus, erythema multiforme, syphilis, lesi
apthous)
e. HIV (candidiasis, HSV, kehilangan papillae)
f. Obat lanzoprazole, amoxicillin, metronidazole.
Faktor risiko :
1. Seorang pecandu alcohol
2. Seorang perokok
3. Memiliki riwayat keluarga menderita glossitis
4. Mengunyah tembakau
5. Sebelumnya ada riwayat trauma gigi

D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala dari glossitis ini bervariasi tergantung penyebab yang
mendasari. Tanda dasar kelainan ini adalah bahwa lidah menjadi berubah
warnanya menjadi pucat atau memerah, terasa nyeri, bengkak, permukaan lidah
terlihat halus dan dapat ditemukan beberapa ulserasi pada lidah. Pasien dengan
glossitis biasanya akan merasakan rasa terbakar pada lidah. Pasien juga
biasanya akan merasakan rasa tidak nyaman yang dirasakan pada lidah. Pada
pemeriksaan lidah akan terlihat eritema, terutama pada daerah dorsum dan
seringkali juga menyebar ke daerah lateral pada lidah. Pada daerah yang
mengalami eritema, struktur lidah normal tidak terlihat, yaitu dengan hilangnya
papil filiformis dan atrofi pada mukosa. Mengitari daerah eritema terdapat batas
yang jelas, hiperkeratosis, dengan garis serpiginous berwarna putih-kuning
tidak teratur (Dennis et. al., 2012).

E. KLASIFIKASI
1. Atrophic Glossitis (Hunter’s Glossitis)
Ditandai dengan kondisi lidah yang kehilangan rasa karena degenerasi
ujung papil. Perasaan lidah terbakar yang menyebar ke bagian mulut lain yang
biasanya dipicu oleh adanya ulserasi. Lidah terlihat licin dan mengkilat baik
seluruh bagian lidah maupun hanya sebagian kecil. Penyebab yang paling
sering biasanya adalah kekurangan zat besi. Jadi banyak didapatkan pada
penderita anemia (Erriu et al., 2016).

Gambar 3. Atropic glossitis


2. Herpetic Geometric Glossitis
Terdapat retakan pada dorsum lidah yang bercabang- cabang.

Gambar 4. Herpetic Geometric Glossitis


3. Benign Migratory Glossitis
Ditandai dengan eritema yang dikelilingi garis putih serpiginosa dan
hiperkeratotik (Erriu et al., 2016).

Gambar 5. Benign Migratory Glossitis


4. Median Rhomboid Glossitis
Ditandai dengan kemerahan dan hilangnya papillae di bagian dorsum
lidah di garis tengah di depan papillae sirkumvalata (Ghabanchi, 2011).

Gambar 6. Median Rhomboid Glossitis


5. Strawberry tongue
Adalah glossitis yang memilki manifestasi pembesaran/hiperplasia
papila fungiformis sehingga memberi gambaran seperti strawberry. Lidah
strawberry putih adalah dimana terdapat selaput putih diantara papila fungiform
yang membesar. Lidah strawberry merah terjadi jika selaput putih hilang
sehingga yang terlihat adalah permukaan yang merah tebal, eritematous (Scott,
2004).

Gambar 7. Strawberry tongue

F. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang Dari anamnesis, dapat ditemukan keluhan lidah bengkak, panas, dan
nyeri. Keluhan dapat juga disertai gangguan makan dan menelan. Pada
pemeriksaan ditemukan permukaan lidah terlihat halus, dapat ditemukan
ulserasi, bengkak serta adanya perubahan warna lidah, pucat pada penderita
anemia pernisiosa dan berwarna merah gelap bila penyebab glossitis adalah
kekurangan vitamin B yang lain.Penyebab glossitis secara pasti dicari melalui
pemeriksaan yang mendalam, seperti biopsi, tes untuk defisiensi B12, profil
kimia darah, kikisan KOH, kultur lesi dan smear bila terdapat indikasi (Treister
dan Bruch, 2010).
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah swab/hapusan
mulut untuk melihat infeksi jamur candida, pemeriksaan darah untuk
mengidentfikasi kekurangan zat besi, vitamin B12, asam folat dan kadar
glukosa darah, dan tes alergi.
H. DIAGNOSIS BANDING
Lesi pada lidah memiliki diagnosa banding yang sangat luas yang
berkisar dari proses benigna yang idiopatik sampai infeksi, kanker dan kelainan
infiltratif. Bagaimanapun, lesi lidah yang terlokalisasi dan non-sistemik lebih
sering dijumpai. Penelitian mengenai kelainan lidah telah dilakukan di luar
negeri seperti Iran, Jordania, Israel, Hungaria, Turki, India dan Malaysia.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di negara-negara tersebut,
kelainan-kelainan lidah yang paling sering dijumpai pada pasien berupa hairy
tongue, coated tongue, fissured tongue, depapilated tongue, geographic
tongue.

Gambar 8. Perbandingan Gambaran Klinis dan Kemungkinan Keterlibatan


Sistemik pada Berbagai Lesi Lidah yang Sering Ditemukan (Langlais, 2015)
I. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan. Pengobatan
glositis tergantung pada penyebabnya. Antibiotik digunakan untuk pengobatan
infeksi bakteri. Bila penyebabnya adalah defisiensi besi, maka diperlukan
supplement yang memadai yaitu harus diberikan zat besi yang merupakan ciri
defisiensi utama dari glossitis ini. Penatalaksanaan pembengkakan dan rasa
tidak nyaman di mulut dilakukan dengan pemberian obat-obatan secara oral.
Obat kumur yaitu campuran setengah teh baking soda dan dicampur dengan air
hangat akan membantu keadaan ini. Bila pembengkakan dirasakan parah, bisa
diberikan kortikosteroid. Topikal kortikosteroid juga mungkin berguna untuk
penggunaan sesekali, misalnya triamcinolone dalam pasta gigi yang diterapkan
beberapa kali sehari ketika diperlukan. Kebersihan mulut yang baik sangat
penting. Hindari iritasi seperti tembakau, panas, pedas makanan dan alkohol
(Langlais, 2015).

J. PROGNOSIS
Dalam kebanyakan kasus, glositis hilang dengan waktu atau perawatan
dan pulih dengan penuh. Perawatan mungkin akan berhasil dengan lebih baik
jika pasien menghindari makanan yang mengiritasi lidah. Mempraktikkan
kebersihan mulut yang tepat juga dapat membantu mengurangi atau mencegah
masalah.
Dalam kasus di mana lidah sangat bengkak dan mulai menghalangi
saluran udara, seseorang harus mencari layanan medis darurat karena
pembengkakan parah dapat menunjukkan kondisi mendasar yang serius.
K. GLOSSITIS PADA PENYAKIT SISTEMIK

1. GLOSSITIS DENGAN ANEMIA DEFISIENSI BESI


Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi
kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan haemoglobin berkurang. Anemia defisiensi merupakan
tahap defisiensi besi paling parah, yang ditandai oleh penurunan
cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferrin yang
rendah, dan konsentrasi haemoglobin atau nilai hematokrit yang
menurun.

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya


masukan besi, gangguan absorpsi serta kehilangan besi akibat
pendarahan menahun:

 Kehilangan besi sebagai akibat pendarahan menahun berasal


dari
 Saluran cerna: akibat dari tukak peptic, pemakaian salisilat atau
NSAID, kanker lambung, diverticulosis, hemoroid dan infeksi
cacing tambang
 Saluran genitalia perempuan: menorrhagia, atau metrorhagia
 Saluran kemih: hematuria
 Saluran nafas: hemoptoe
 Factor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan,
atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan
banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging)
 Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas anak dalam
masa pertumbuhan dan kehamilan
 Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau colitis
kronis

Gejala umum anemia berupa badan lemah, lesu, cepat lelah,


mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Gejala anemia
defisiensi besi yang khas dijumpai pada defisiensi besi tetapi tidak
dijumpai pada anemia lain adalah koilonychias (kuku sendok), atrophic
glossitis, atrofi papil lidah, stomatitis angularis (cheilosis) dan disfagia.

Atrophic glossitis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan


kondisi lidah yang kehilangan rasa karena degenerasi ujung papilla.
Atrophic glossitis merupakan suatu kondisi depapilasi dari papilla
filiformis sehingga lidah tampak halus dan mengkilat. Pada atrophic
glossitis, lidah akan terlihat licin dan mengkilat baik seluruh bagian
lidah maupun hanya sebagian. Kondisi atrophic glossitis biasanya
disertai rasa sakit atau sensasi terbakar pada lidah yang menyebabkan
perasaan tidak nyaman pada mulut. Penyebab yang paling sering
biasanya adalah kekurangan zat besi sehingga keadaan ini ditemukan
pada penderita anemia.

Jika atrofi papilla terjadi, papilla filiformis atrofi lebih dahulu


baru papilla fungiformis, jika kondisi ini tidak terlalu lama maka akan
dapat regenerasi lagi. Mula-mula papilla fungiformis kemudian diikuti
papilla filiformis. Papilla foliate dan papilla circumvallate tidak
terlibat. Perubahan atrofi merupakan akibat dari defisiensi satu atau
lebih system ensimoksidase. Kekurangan besi atau ketidakmampuan
menggunakan besi akan mengganggu enzim sitokhrom. Ariboflavinosis
atau defisiensi nicotinic acid akan menghambat system enzim flavine
dan pyridine. Pada anemia defisiensi besi pinggir lidah merah kemudian
papilla mengalami atrofi, warna lidah menjadi lebih pucat. Lidah
mengalami atrofi dan berwarna merah magenta terjadi pada defisiensi
riboflavin. Atrofi lidah berwarna merah terang diduga terdapat
hiponutrisi nicotinic acid atau pellagra. Mekanisme defisiensi
mikronutrien seperti zat besi akan menghambat proliferasi mukosa.
Karena, sel-sel pada papilla lidah memiliki kemampuan turn over yang
tinggi, defisiensi terhadap mikronutrien yang digunakan untuk
proliferasi dan stabilisasi membran sel akan menyebabkan depapilasi
lidah. Defisiensi nutrisi juga akan mengubah keadaan flora mikrobial
yang berkontribusi menyebabkan terjadinya glossitis.

2. GLOSSITIS DENGAN HIV


Pasien yang terinfeksi HIV juga memperlihatkan manifestasi
klinis di rongga mulutnya yang dapat menunjukkan tanda awal dari
infeksi HIV. Pada pasien dengan HIV-AIDS, spektrum manifestasi
klinis pada gigi dan mulut sangatlah luas. Manifestasi klinis HIV pada
gigi dan mulut didapatkan pada 30-80% pasien. Manifestasi klinis HIV
pada gigi dan mulut dapat dikelompokkan menjadi:
1. Infeksi: bakteri, fungi, virus
2. Neoplasma: Kaposi’s sarcoma, non-Hodgkin’s lymphoma
3. Dimediasi oleh imun: aphthous mayor, necrotizing stomatitis
4. Lainnya: penyakit parotis, nutrisional, xerostomia
5. Manifestasi pada gigi dan mulut sebagai efek samping dari terapi
antiretroviral
Sebenarnya, tidak terdapat lesi oral khusus yang hanya berkaitan
dengan HIV-AIDS. Akan tetapi, terdapat manifestasi klinis tertentu
seperti kandidiasis oral dan oral hairy leukoplakia yang sangat sering
berkaitan dengan HIV-AIDS dan dianggap sebagai bagian dari penyakit
AIDS, juga diikutsertakan dalam klasifikasi klinis HIV oleh CDC
(Bajpai dan Pazare, 2010).
Pada pasien HIV juga dapat ditemukan flora bakteri yang tidak
umum dalam rongga mulut pasien. Bakteri yang paling umum diisolasi
adalah flora pernafasan dan coliform, seperti spesies Klebsiella dan
Escherichia coli. Infeksi oleh organisme ini sering menyebabkan
perubahan lidah yang difus, eritematus dan berulserasi, yang dapat
menyebabkan gejala glositis(Bajpai dan Pazare, 2010).
Sebuah studi follow up melibatkan pemeriksaan oral pada 39
orang yang diketahui terinfeksi dengan Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Selain lesi-lesi oral terkait dengan human immunodeficiency
virus lainnya, lesi yang secara klinis mirip dengan bentuk halus dari
median rhomboid glossitis yang sekarang diyakini sebagai kandidiasis
eritematosa yang terletak di dorsum lidah ditemukan pada tujuh pasien
(18%). Pasien dengan median glositis rhomboid diklasifikasikan dalam
berbagai tingkatan pada sistem klasifikasi Centers for Disease Control
1986 dan menunjukkan rata-rata jumlah sel CD4 397,5/mm3. Juga ada
atau tidak adanya antibodi anti-p24 dalam serum dan menstimulasi
seluruh air liur pasien dengan median rhomboid glossitis tidak
berkorelasi dengan stadium penyakit atau dengan tingkat CD4 yang
rendah seperti pada bentuk oral kandidiasis. Oleh karena itu, hasil kami
menunjukkan bahwa median rhomboid glossitis harus dimasukkan
sebagai bentuk berbeda dari kandidiasis oral dalam klasifikasi
manifestasi oral infeksi dengan human immunodeficiency virus (Bajpai
dan Pazare, 2010).
Pada pasien dengan infeksi HIV, terdapat supresi imun terhadap
imunitas yang dimediasi oleh sel seiring dengan perkembangan
penyakit. Akan tetapi, di waktu yang sama pula, terdapat aktivasi
imunitas sel B yang abnormal. Gangguan pada sistem imun ini juga
dapat menyebabkan berbagai manifestasi oral yang bermacam-macam,
diantaranya adalah aphthous ulcer dan necrotizing stomatitis(Bajpai dan
Pazare, 2010).

Gambar 9. Aphthous ulcer pada pasien dengan HIV


Aphthous ulcer merupakan manifestasi oral yang dimediasi oleh
imun yang berkaitan dengan HIV yang paling banyak terjadi. Ulcer ini
dapat berukuran besar, soliter maupun multipel, kronis, dalam, dan
nyeri. Seringkali berlangsung lebih lama pada populasi pasien
seronegative dan kurang responsif terhadap terapi(Bajpai dan Pazare,
2010).

Gambar 10. Necrotizing ulcerative periodontitis


Necrotizing stomatitis merupakan ulserasi yang akut dan sangat
nyeri, yang seringkali dapat hingga mencapai tulang dan menyebabkan
kerusakan jaringan berat. Lesi ini bisa jadi merupakan varian dari major
aphthous ulceration, akan tetapi terjadi pada area yang dekat dengan
tulang dan berkaitan dengan penurunan sistem imun yang berat. Lesi ini
juga dapat terjadi pada area edentulosa (Bajpai dan Pazare, 2010).

3. GLOSSITIS PADA SJORGEN SYNDROME


Sindrom Sjögren (SS) atau autoimmune exocrinopathy adalah
penyakit autoimun kronis yang ditandai dengan infiltrasi limfositik dari
ludah dan kelenjar lakrimal menyebabkan xerostomia dan
keratokonjungtivitis sicca (KCS). Penyakit ini juga dapat
mempengaruhi kelenjar lain, seperti di perut, pankreas, dan usus, dan
dapat menyebabkan kekeringan di tempat-tempat lain yang
membutuhkan kelembaban, seperti hidung, tenggorokan, saluran
pernafasan, dan kulit (Yuliasih, 2014).
Gejala kliniknya tidak terbatas hanya pada gangguan sekresi
kelenjar tetapi disertai pula dengan gejala sistemik atau ektraglandular.
Gejala awal biasanya ditandai dengan mulut dan mata kering dan
kadang-kadang disertai pembesaran kelenjar parotis. Secara
histopatologi kelenjar eksokrin penuh dengan infiltrasi limfosit yang
mengantikan epitel yang berfungsi untuk sekresi kelenjar
(exocrinopathy) (Sumariyono, 2008).
Gambaran klinik SS sangat luas berupa suatu eksokrinopati
disertai gejala sistemik dan ekstraglandular. Xerostomia dan xerotrakea
merupakan gambaran eksokrinopati mulut. Manifestasi ekstraglandular
lain tergantung penyakit sistemik yang terkait misalnya RA, SLE, dan
Sklerosis Sistemik. Meskipun Sjogren Syndrome tergolong penyakit
autoimun yang jinak, bisa berkembang menjadi malignan, diduga
karena transformasi sel B ke arah ganas (Yuliasih, 2014).
Lebih dari 90% pasien dengan keluhan gejala SS adalah
gangguan fungsional kelenjar saliva. Pasien sering mengeluhkan rasa
tidak enak, sulit memproses makanan kering, dan membutuhkan minum
lebih banyak air. Pada tahap awal SS, mulut tampak pucat dan lembap,
dengan berjalannya penyakit, tidak tampak saliva pada dasar mulut.
Seiring progresifitas penyakit, terutama pada stadium lanjut, mukosa
cavum oris akan menjadi sangat kering. Permukaan lidah menjadi merah
dan berlobulasi disertai depapilasi parsial maupun komplit. Xerostomia
menjadi sangat nyeri disertai sensasi terbakar, disertai pembentukan
fisura lidah, disfagia, disertai keilitis angularis. Keadaan di atas dapat
memicu infeksi Staphylococcus aureus atau Pneumococcus yang
bermanifestasi sebagai sialadenitis akut. Lebih jauh penyakit ini dapat
menyebabkan karies dentis, infeksi periodontal, peningkatan kejadian
kandidiasis (Fox, 2005).
Pasien Sjogren’s syndrome (SS) sering mengalami xerostomia
atau penurunan produksi kelenjar ludah dan pembengkakan kelenjar
parotis. SS sering dihubungkan dengan arthritis reumatoid. Pada suatu
penelitian, 88% pasien dengan SS mengalami abnormalitas aliran ludah
pada submandibular/sublingual, dan 55% mengalami abnormalitas
aliran kelenjar parotis. Pembengkakan kelenjar parotis atau kelenjar
submandibular ditemukan pada 35% pasien SS. Xerostomia dapat
dihubungkan dengan fissure tongue, depapilasi dan kemerahan yang
terdapat pada lidah, cheilitis, dan candidiasis (Troy, 2008).

Gambar 11. Parotitis


Gambar 12. Xerostomia

Gambar 13. Chelitis


Sekitar 20-30% pasien Sjogren Syndrome juga mengalami
pembesaran kelenjar parotis atau submandibula yang tidak nyeri.
Pembesaran kelenjar ini bisa berubah menjadi limfoma. Suatu penelitian
mendapatkan 98 orang dari 2311 pasien SS (4%) berkembang menjadi
limfoma, sementara Ioannidis mendapatkan 38 dari 4384 pasien Sjogren
Syndrome berkembang menjadi limfoma (Casals, 2005).
Fungsi menelan dan bicara menjadi sulit karena adanya
xerostomia persisten. Parotitis bakterial yang biasanya disertai demam
dan discharge purulen dari kelenjar juga dapat terjadi. Hal tersebut
meningkatkan karies gigi, terutama pada servik gigi. Penting untuk
mengenal SS dengan cepat dan merujuk ke dokter gigi karena karies gigi
dapat berkembang cepat. Diagnosa sering dipastikan dengan biopsi
glandula salivarius labialis minor. Secara histologik, terdapat infiltrat
limfosit periduktal (Sumariyono, 2008).
4. GLOSSITIS PADA DIABETES MELLITUS
Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolik yang
ditandai dengan peningkatan level glukosa dalam darah. Peningkatan
ini dapat disebabkan oleh defisiensi sekresi insulin atau peningkatan
resistensi terhadap insulin, yang mengarah ke berbagai kelainan
metabolisme yang melibatkan karbohidrat, lemak, dan protein
(Ghabanchi et al., 2011). World Health Organization (WHO) membagi
DM secara umum menjadi 2 bentuk utama yaitu DM tipe dependan-
inslin (DM Tipe 1) dan DM tipe non dependan insulin (DM Tipe 2).
Diabetes Melitus memiliki banyak komplikasi. DM disebutkan
sebagai penyebab utama dari kebutaan, gagal ginjal, amputasi anggota
gerak bawah dan kematian akibat penyakit kardiovaskular.
Hiperglikemia kronis juga menyebabkan perubahan struktur jaringan
dan dihubungkan dengan kerusakan dari proses penyembuhan luka,
kerentanan terhadap infeksi serta disfungsi mikrovaskular dan
makrovaskular (Skamagas et al., 2008).
Manifestasi oral yang paling umum pada pasien diabetes
meliputi xerostomia, eritema, dan ulserasi. Infeksi yang disebabkan
oleh Candida albicans, cheilitis, Lichen planus, masalah gingiva,
masalah periodontal, abses dan hilangnya tulang alveolar (Antunes et
al., 2003). Selain itu, kelainan pada bagian lidah yang disebabkan DM
antara lain fisured tongue (lidah pecah-pecah), median rhomboid
glossitis, dan benign migratory glositis (Dean & Gandara, 2017).
Median rhomboid glositis (MRG), pertama kali dijelaskan oleh
Borcq pada tahun 1914, dengan sekitar 70-80% kasus ditemukan pada
laki-laki. Etiologinya belum diketahui, meskipun demikian median
rhomboid glossitis berasal dari kandidiasis kronis, atau dari
embriologis, peradangan, Staph aureus atau bahkan imunologis. Median
rhomboid glostis biasanya muncul di daerah posterior dorsum lidah, di
garis tengah, anterior ke area "V" papila sirkumvalata, bagaimanapun,
kadang-kadang muncul di lokasi paramedial. Muncul sebagai plak bulat
atau belah ketupat tanpa rasa sakit dengan batas yang jelas, warna
kemerahan atau merah muda karena atrofi atau depapilasi dan pada
palpasi teraba keras (Ghabanchi et al., 2011).
Peneliti melaporkan bahwa prevalensi MRG lebih tinggi pada
pasien diabetes dibandingkan dengan populasi lain. Ponte et al
melaporkan bahwa diantara manifestasi inflamasi mukosa oral
ditemukan pada pasien diabetes, glositis menjadi perhatian khusus.
Diduga sebagai konsekuensi dari tingginya infeksi Candida albicans
dan perubahan mikrovaskular, penderita Diabetes Mellitus memiliki
atrophic tongue lesions dan geographic tongue lebih tinggi. MRG
dikenal sebagai manifestasi dari kandidiasis kronis (Ghabanchi et al.,
2011).
Gangguan lidah lain yang sering terjadi pada pasien DM adalah
benign migratory glossitis (BMG). BMG memiliki nama lain
geographic tongue karena BMG memiliki gambaran lesi yang mirip
seperti peta. BMG memiliki gambaran atrofi fokal pada papil lidah yang
berbentuk ireguler dengan karakteristik khas tepi yang meninggi. Atrofi
fokal terjadi pada papila filiformis dengan tepi putih yang terbentuk dari
papila yang sedang regenerasi dengan tambahan keratin dan agregasi
neutrofil. Bentuk lesi pada BMG dapat berubah-ubah seiring dengan
berjalannya waktu. Etiologi pasti dari BMG belum diketahui secara
pasti, namun berbagai studi telah menemukan hubungan antara BMG
dengan penyakit atau keadaan lain, termasuk diabetes mellitus. BMG
pada umumnya asimtomatik, namun nyeri dan sensasi terbakar pada lesi
bisa terjadi (Khan et al., 2017).
Patogenesis dari BMG belum sepenuhnya diketahui, namun
diperkirakan berhubungan dengan deskuamasi epitel dan keratinisasi.
Normalnya, deskuamasi sel epitel harus sebanding dengan
pembaharuan sel dari lapisan basal epitel mukosa mulut. Pada BMG,
diperkirakan proses deskuamasi epitel ini lebih tinggi daripada
pembaharuannya (Dafar, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Monea
et al. (2014) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar TNF-α
dan IL-6 pada pasien periodontitis dengan DM dibandingkan pasien
periodontitis tanpa DM. Alikhani et al. (2014) juga menemukan bahwa
terjadi adanya peningkatan kadar TNF-α dan IL-6 pada pasien BMG
dibandingkan pada kelompok kontrol. IL-6 diketahui dapat
menyebabkan hiperproliferasi dari keratinosit (Hernández-Quintero et
al., 2006). Hal ini mungkin berkaitan dengan adanya keratin pada lesi
BMG, yakni yang tersebar pada tepinya yang meninggi (Khan et al.,
2017).

Gambar 14. Benign Migratory Glosittis atau geographic tongue


(Khan et al., 2015)
Gambaran lidah yang dapat timbul pada pasien DM lainnya ialah
fissured tongue. Pada fisured tongue tekstur lidah yang terbentuk akibat
papila filiformis, papila sirkumvalata, dan papila fungiformis ini tampak
terputus oleh satu atau lebih patahan yang muncul sepanjang lidah.
Patahan ini kemungkinan terjadi akibat hiposalivasi yang terus menerus
pada pasien DM (Gandara dan Morton, 2011).

Gambar 15. Fissure tongue (Gandara dan Morton, 2011)


Mekanisme diabetes dengan terjadinya infeksi candida belum
diketahui secara pasti. Namun, telah banyak diketahui bahwa tingkat
glukosa saliva yang tinggi akan memicu pertumbuhan jamur. Di sisi
lain, Quirino et al menghubungkan infeksi Candida albicans dengan
hiposalivasi (Ghabanchi et al., 2011).
Gambar 16. Mekanisme manifestasi oral penderita Diabetes Mellitus
(Gandara dan Morton, 2011)
Penelitian lain menyebutkan bahwa diabetes mempengaruhi
kelenjar saliva diantaranya yaitu terjadinya sialoadenosis atau
pembengkakan nonneoplastik kelenjar saliva dan menurunkan aliran
saliva. Pembengkakan terjadi karena adanya akumulasi lemak pada
kelenjar, hipertrofi asinus dan pada akhirnya terjadi ganguan sekresi
kelenjar. Xerostomia atau sensasi mulut kering dilaporkan terjadi pada
40-80% pasien diabetes dan berhubungan dengan adanya penurunan
aliran saliva yang juga akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi
jamur. Penurunan immunoglobulin antifungal pada saliva akibat
penyakit diabetes juga dapat memicu pertumbuhan Candida (Gandara
dan Morton, 2011). Pada pasien diabetes terjadi disfungsi saraf atau
perubuahan mikrovaskular yang mempengaruhi kemampuan kelenjar
saliva untuk merespon stimulasi neuronal atau hormonal. Penyebab lain
diduga karena dehidrasi atau efek samping obat yang biasa digunakan
oleh pasien diabetes contohnya antihipertensi, diuretik, dan
antidepresan (Gandara dan Morton, 2011).
5. GLOSSITIS DENGAN ALKOHOLIK
Konsumsi alkohol berlebihan disebut alkoholisme. Penggunaan
dalam jangka waktu lama mempengaruhi seluruh badan. Alkohol ini
dapat menyebabkan malnutrisi, anemia, inflamasi liver, penyakit
lambung, hilang ingatan, hipertensi dan lain-lain. Tidak ada bagian dari
tubuh yang tidak terpengaruh oleh penggunaan alkohol berlebihan dan
mulut bukan suatu pengecualian.

Patofisologi Glositis pada alkoholik

Atrofi lidah pada alkoholik dapat dijelaskan melalui 2


kemungkinan mekanisme: malnutrisi yang biasa terjadi pada pengguna
alkohol dan kerusakan kimia secara langsung pada mukosa lidah(Erriu
et al., 2016).

Malnutrisi adalah kondisi umum yang ditemukan pada pasien


alkoholik. Kurangnya vitamin B12 adalah tanda dari malnutrisi(Erriu et
al., 2016). Cunha et al (2012) menganalisis atorfi papila lidah dan
hubungannya dengan alkoholik yang dirawat di rumah sakit. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan statistik yang
signifikan antara glossitis atrofi dan ukuran antropometri yang rendah,
anemia dan hipoalbuminemia. Mereka juga menemukan adanya
perubahan kadar vitamin A, E dan B12 di serum pada pasien alkoholik,
namum belum mampu menemukan hubungannya dengan kondisi atrofi
lidah.

Defisiensi nutrisi pada pasien alkoholik termasuk defisiensi


protein, mineral, asam folat (menyebabkan ulkus mukosa), riboflavin
(menyebabkan glositis ,atrofi filiformis, pucat dan komisura mulut dan
kulit yang kering bersisik) dan vitamin E. Perubahan absorbsi nutrien
juga menambah efek terebut. Alkohol mengurangi absorbsi traktus
gastrointestinal terhadap asam folat, riboflavin, niasin, tiamin
(menyebabkan neuropatologi), vitamin D (menyebabkan osteoporosis)
dan vitamin K (menyebabkan koagulapati) (Khaimar et al., 2017).
Selanjutnya, hepatotoksisitas alkohol memengaruhi metabolisme dan
penyimpanan lipid, karbohidrat, protein, dan vitamin tertentu. Asupan
yang buruk dan absorbsi yang buruk menyebabkan glossitis, angular
cheilitis, infeksi candida, ulkus mulut dan necrotizing ulcerative
gingivitis akut(Erriu et al., 2016).

Kerusakan jaringan lidah secara langsung yang disebabkan oleh


alkohol telah dianalisis oleh beberapa peneliti. Valentine et al.(1985)
mengobservasi efek alkohol dan rokok yang berlebihan pada mukosa
lidah dengan melihat perubahan struktur epitel lidah pada evaluasi
antitumor. Peneliti meneliti histologi 161 spesimen lidah yang diambil
dari mayat pasien dengan riwayat penggunaan alkohol berlebihan
selama 5 tahun sebelum meninggal. Hasilnya menunjukkan atrofi epitel
sering diteumukan pada dorsum lingua dengan peningkatan ukuran sel
basal dan juga penurunan sel-sel superfisial. Maier et al. (1994)
menginvestigasi peran alkohol sebagai ko-karsinogen. Konsumsi
alkohol menyebabkan pengurangan ketebalan lapisan epitel dan
berhubungan dengan profilerasi lapisan basal yang meningkat. Alkohol
memiliki efek sitotoksik, yaitu menyebabkan atrofi mukosa oral melalui
regenerasi berlebihan. Semua efek ini berhubungan dengan kerentanan
terhadap zat-zat karsinogen(Erriu et al., 2016).

Gejala
Stadium awal glossitis pada pasien alkoholik adalah rasa nyeri
dan lidah yang licin namun kadang menunjukkan pembengkakan papila
fungiformis. Lambat laun, lidah terasa seperti sensasi terbakar dan
menjadi merah diikuti dengan atrofi papila fungiformis dan filiformis.
Angular cheilitis adalah hasil dari perkembangan retakan nyeri pada
sudut mulut. Sementara gingivitis muncul sebagai area nekrosis di atas
dari papila gigi (Khaimar et al., 2017).

Gambar 17. Atrofi papil lidah pada pasien alkoholik

Gambar 18. Angular Cheilitis


Jika telah berkembang kearah keganasan dapat ditemukan lesi
noduler atau ulserasi yang nyeri. Pada fase premaligna, lidah tampak
merah atau putih atau disebut eritroplakia atau leukoplakia. Leukoplakia
adalah lesi putih tebal yang sulit diambil. Eritroplakia adalah membran
protektif merah yang ditemukan di lidah, pipi bagian dalam dan cavitas
oral (Erriu et al., 2016).

Gambar 19. Eritroplakia

Komplikasi
Penggunaan alkohol dan rokok yang berlebihan dapat
menyebabkan kanker jenis squamous cell carcinoma lidah. Bagian yang
terutama terkena adalah permukaan lateral lidah. Ciri klinisnya adalah
lesi noduler dan ulserasi yang terasa nyeri dan tidak nyaman (Erriu et
al., 2016).
Tatalaksana
Berhenti mengkonsumsi alkohol secara perlahan-lahan untuk
mencegah relaps. Selain itu, tingkatkan jumlah minum air putih yang
banyak terutama setiap setelah minum alkohol (Rifkind, 2011).

6. GLOSSITIS DENGAN PENYAKIT CELIAC


Penyakit celiac merupakan penyakit enteropati proksimal terkait
sistem imun yang bersifat reversibel. Penyakit ini terjadi karena
interaksi antara diet yang mengandung gluten dengan sistem imun di
usus (Woodward, 2016). Penyakit celiac berhubungan dengan Human
Leukocyte Antigen (HLA)-DQ2 dan HLA-DQ8. HLA-DQ2 ditemukan
pada hampir >95% pasien dengan penyakit celiac di Eropa utara,
sedangkan sisanya pembawa HLADQ (Bai, 2016).
Penyakit celiac memiliki manifestasi klinis yang beragam dan
dapat terjadi pada berbagai usia (Pelkowsky, 2014). Manifestasi klinis
penyakit celiac meliputi gejala saluran cerna, gejala di luar saluran
cerna, atau tanpa gejala. Gejala klasik yang berhubungan dengan saluran
cerna di antaranya yaitu diare, steatorea, dan penurunan berat badan
karena malabsorbsi. Sekitar 50% pasien penyakit celiac menunjukkan
gejala di luar saluran cerna atau gejala atipikal seperti anemia,
osteoporosis, dermatitis herpetiformis, gejala neurologi, dan hipoplasia
enamel gigi (Gujral, 2012).
a. Epidemiologi

Rasio penyakit celiac antara perempuan dan laki-laki


dilaporkan bervariasi antara 1:3 sampai dengan 1,5:1.
Penyakit celiac umumnya ditemukan anak dengangejala
berat berupa diare kronik, distensi abdomen dan gagal
tumbuh. Namun pada beberapa pasien gejala barumuncul
pada usia dewasa atau lanjut, ketika gejala hanya berupa
fatiq, diare, dan penurunan berat badan akibat malabsorpsi,
dan gejala neurologis (Gujral, 2012).

Penyakit celiac berhubungan dengan HumanLeukocyte


Antigen (HLA)-DQ2 dan HLA-DQ8. HLA-DQ2 ditemukan
pada hampir >95% pasien dengan penyakitceliac di Eropa
utara, sedangkan sisanya pembawa HLADQ8.Prevalensi
penyakit celiac yang tinggi di Argentina berhubungan
dengan HLA-DQ8 >20% pada populasi lokal. Australia dan
New Zealand adalah dua negara yang memiliki proporsi
penduduk yang tinggi dengan latar belakangKaukasia,
denganprevalensi HLA-DQ2 yang tinggi dan mengonsumsi
gandum per kapita >150 kg dan 75-150 kgper penduduk
setiap tahunnya. Indonesia adalah negara dengan prevalensi
HLA-DQ2 kurang dari 5%, sehingga diperkirakan penyakit
celiac akan jarang ditemukan (Gujral, 2012).

b. Patofisiologi Penyakit Celiac


Penyakit celiac merupakan kelainan inflamasi dengan
gambaran autoimun yang memengaruhi individu yang
memiliki predisposisi genetik. Penyakit ini dipicu oleh
makanan yang mengandung gluten dan protein lainnya yang
ditemukan pada barley dan gandum hitam. Interaksi antara
faktor genetik dan lingkungan menyebabkan hilangnya
toleransi terhadap gluten dan berkembangnya lesi di usus
halus. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya jumlah
limfosit pada epitel dan lamina propria, hilangnya vilus usus
halus, destruksi sel epitel, remodelling mukosa, dan
munculnya autoantibodi terhadap enzim tissue
transglutaminase type 2 (tTG2) (Steina, 2014).
Lesi pada usus halus yang mengalami inflamasi akan
membaik jika dilakukan diet bebas gluten. Pasien yang
memiliki penyakit celiac juga ditemukan memiliki perubahan
lainnya yang memengaruhi proses pencernaan pada lumen
usus halus. Perubahan tersebut terjadi melalui aksi langsung
peptida gluten pada epitel dan protein transport gluten yang
melintasi epitel menuju lamina propria di mukosa (Escudero-
Hernandez, 2015).
Respons imun yang tidak tepat terhadap protein gluten
ditemukan pada penyakit celiac yang melibatkan sistem imun
alamiah dan adaptif. Elemen kunci pada patogenesis penyakit
celiac adalah aktivasi sel T CD4 pada lamina propria yang ada
di mukosa setelah pengenalan terhadap ikatan antara TG2-
deamidated gluten peptides dengan molekul major
histocompatibility complex class II (MHC-II) yang disebut
HLA-II pada manusia. Kerja TG2 meliputi transformasi
beberapa residu glutamin menjadi asam glutamat,
menyebabkan pajanan muatan negatif dan meningkatnya
afinitas antara molekul HLA-DQ2 dan atau HLA-DQ8
dengan fragmen peptida yang resisten terhadap enzim
pencernaan yang bersifat proteolitik. Aktivasi sel T CD4
memicu respons sitokin T helper (Th)-1 pro inflamasi yang
didominasi interferon (IFN)-ɤ, sitokin lainnya seperti tumor
necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-18, dan IL21.
Berdasarkan hal tersebut, lesi yang terjadi di mukosa
proksimal usus halus dapat menyebabkan malabsorbsi dan
menurunnya ambilan nutrisi. Manifestasi klinik bervariasi,
tergantung derajat atrofi mukosa (Escudero-Hernandez,
2015).
Aktivasi respons sel T CD4 spesifik terhadap gluten
(sistem imun adaptif) tidak cukup kuat untuk memicu lesi
mukosa yang khas untuk penyakit celiac. Beberapa peptida
gluten seperti α-gliadin p31-43 dan p31-49 menginduksi
perubahan sistem imun alamiah melalui aksi langsung pada
epitel. Hal ini terjadi melalui peningkatan ekspresi IL15,
cyclooxygenase (COX)-2, CD25, CD83 yang merupakan
penanda aktivasi sel mononuklear di lamina propria. Pada
saat yang bersamaan, sel epitel meningkatkan ekspresi dari
ligan MIC dan HLA-E. Kerusakan epitel menyebabkan
terjadinya peningkatan permeabilitas usus halus yang
selanjutnya menyebabkan terjadinya malabsorbsi (Escudero-
Hernandez, 2015; Kupfer, 2012).

Gambar 20. Mekanisme kerusakan mukosa pada penyakit celiac


(Gujral, 2012).
c. Manifestasi klinis

Manifestasi klasik penyakit celiac sering ditemukan


pada anak-anak, terutama gejala saluran cerna dengan
malabsorbsi (diare kronik, nyeri perut, distensi, dangagal
tumbuh atau penurunan berat badan). Selain itu, beberapa
pasien juga mengeluhkan adanya konstipasi.Pada remaja dan
dewasa, manifestasi penyakit celiacsering menyerupai
sindrom kolon iritabel (Kelly, 2015; Cappello, 2016)

Penyakit celiac memiliki banyak manifestasi


ekstraintestinal, meliputi pubertas terlambat dan perawakan
pendek. Fatig dan anemia defisiensi besi juga
seringditemukan. Selain itu, dermatitis herpetiformis juga
dapat ditemukan yang ditandai dengan lesi yang simetris
danruam yang gatal yang sering tidak disadari. Ulkus aftosa
di mulut yang sering dan hipoplasia enamel gigi
dapatterjadi, sama halnya dengan densitas tulang yang
rendah dan osteoporosis (Kelly, 2015).

d. Diagnosis Penyakit Celiac


Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis penyakit celiac.
Selama dilakukan pemeriksaan tersebut, pasien harus
menjalani diet yang mengandung gluten (Vivas, 2015).
Gambar 21. Algoritma diagnosis penyakit celiac.
Beberapa uji serologi dapat digunakan sebagai uji awal
pada pasien dengan kecurigaan penyakit celiac. Karena
sensitivitas dan spesifisitasnya yang rendah, pemeriksaan
antibodi antigliadin tidak lagi direkomendasikan sebagai uji
awal. Sementara itu, uji endomysial antibody (EMA) yang
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
harganya lebih mahal. Pemeriksaan tissue transglutaminase
(tTG) juga memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
tinggi (Kelly, 2015).
Pemeriksaan endoskopi pada celiac menurut beberapa
penelitian kurang sensitif dan spesifik, namun terdapat
gambaran endoskopi khas pada celiac, seperti (Bai, 2016) :
1. Fisura di sepanjang lipatan dan pola mosaik dari
mukosa.
2. Lipatan yang semakin mendatar.
3. Penurunan jumlah lipatan, ukuran dan atau hilangnya
lipatan
dengan insuflasi maksimum.
4. Hilangnya vilus usus halus.
5. Gambaran granular dari bulbus deodenum.
Selanjutnya dapat dilakukan biopsy histopatologi.
Pemeriksaan ini merupakan gold standard dari penegakan
diagnosis penyakit celiac. Kombinasi abnormalitas vilus yang
terlihat dari biopsi usus halus dengan uji serologi yang positif
merupakan kriteria standar diagnosis untuk penyakit celiac.
Klasifikasi Marsh20 yang dimodifikasi mengenai
abnormalitas vilus saat ini telah digunakan untuk menilai
derajat keparahan atrofi vilus dalam praktik klinik. Perubahan
histologi yang terlihat pada penyakit celiac dianggap khas,
namun bukan patognomonik. Sebab, perubahan tersebut
dapat juga ditemukan pada kondisi lainnya seperti infeksi
parasit, kondisi imunodefisiensi, enteropati HIV, dan
enteropati yang dipicu karena alergi obat seperti susu sapi
(Bai, 2016).
Gambar 22. Histopatologi Usus (kiri normal, kanan pada celiac
disease).
e. Penatalaksanaan celiac disease
Diet bebas gluten merupakan terapi efektif penyakit
celiac.gluten sendiri biasanya terdapat pada gandum. Diet bebas
gluten didefinisikan sebagai diet dengan mengkonsumsi kadar
gluten terendah dan tidak berbahaya sekita < 10mg per hari.
Diet bebas gluten akan memperbaiki absorbsi nutrisi
pada tubuh penderitanya. Pada perempuan yang mengalami
penyakit celiac biasanya juga menglami infertilitas sehingga
diperlukan diet bebas gluten disertai konsumsi asupan vitamin
(Kelly, 2015).
f. Hubungan celiac disease dengan terjadinya atrophic glossitis

penyakit
malabsorbsi
celiac

depapilasi defisiensi nutrisi


dan vitamin (zat
dan atrofi besi, zinc, vit B12
papil lidah dan asam folat)

atrhophic
glositis

Pasien dengan penyakit celiac mengalami kerusakan epitel


usus yang menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas
usus halus yang selanjutnya menyebabkan terjadinya
malabsorbsi. Dampak lanjutannya adalah pasien akan
cenderung mengalami defisiensi nutrisi terutama zat besi,
vitamin D, asam folat, vitamin B12, vitamin B6, dan zinc.
Defisiensi besi telah dilaporkan terjadi pada hampir 50%
pasien dewasa yang baru didiagnosis penyakit celiac. Diet bebas
gluten akan menyebabkan pemulihan anemia defisiensi besi
dalam waktu 6-12 bulan, yang mana defisiensi zinc akan
mengalami perbaikan dalam hitungan minggu. Beberapa pasien
dengan defisiensi asam folat dan vitamin B12 akan mengalami
anemia makrositik yang akan sulit dideteksi pada pasien yang
juga mengalami anemia defisiensi besi.
Kondisi defisiensi besi dan zinc dapat menyebabkan
depapilasi dan atrofi pada papil lidah, sehingga menyebabkan
lidah menjadi terlihat halus dan berkilau, disertai dengan pucat
pada bibir, yang disebut dengan atrophic glossitis.
Studi kasus dilakukan oleh Erriu et al (2012) telah
menunjukkan glosititis atrofi sebagai salah satu tanda klinis
untuk diagnosis penyakit celiac. Secara umum, telah
digambarkan bagaimana penyakit lidah bisa menjadi cermin
untuk kondisi sistemik dan tidak hanya untuk beberapa
perubahan patologi local saja. Secara khusus, telah ditunjukkan
bagaimana mulai dari glossitis atrofi, dokter gigi yang bekerja
sama dengan ahli gastroenterologi, dapat memiliki peran
mendasar dalam diagnosis penyakit celiac.
BAB III
KESIMPULAN

1. Glositis merupakan peradangan lidah yang ditandai dengan deskuamasi


papila filiformis sehingga menghasilkan daerah kemerahan yang halus
dan mengkilat, dapat terjadi secara akut dan kronis

2. Penyebab glositis dapat terjadi karena penyebab lokal (infeksi, trauma


dan iritasi) maupun sistemik (malnutrisi, anemia, HIV dan obat-obatan)

3. Penatalaksanaan dari glositis tergantung dari penyebabnya. Antibiotik


dipergunakan bila kelainan ini melibatkan bakteri.

4. Glossitis yang berhubungan dengan penyakit sisemik antara lain


glossitis dengan tuberkulosis, glossitis dengan diabetes melitus,
glossitis dengan HIV, glossitis dengan lupus eritematosus sistemik,
glossitis dengan penyakit celiac.

5. Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan rongga mulut,


konsumsi makanan bergizi seimbang dan menghindari agen iritan lidah
DAFTAR PUSTAKA

Alikhani M, Khalighinejad N, Ghalaiani P, Khaleghi KA, Askari E, Gorsky M (2014).


Immunologic and psychologic parameters associated with geographic tongue.
Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology and Oral Radiology, 118(1): 68-71

Antunes FS, Graca MA, Nurkim NL (2003).Diabetes mellitus e a doença


periodontal/periodontal disease and diabetes mellitus.Rev Odonto Cience, 18-107-
11

Aru W. Sudoyo. 2009. BukuAjarIlmuPenyakitDalam. Jilid II. Edisikelima.Jakarta.


Interna Publishing

Bai, JC., Ciacci, C., Corazza, G., Fried, M., Olano, C., Nejad, MR., et.al. Celiac
disease. Milawaukee: World Gastroenterology Organization Global
Guidelines.2016. p.1-35
Bajpai, S. and Pazare, A. (2010) ‘Oral manifestations of HIV’, Contemporary Clinical
Dentistry. Medknow, 1(1), p. 1

Bakta IM. PendekatanTerhadapPasienAnemia.Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar IlmuPenyakitDalam. 4thEd. Vol II.
Jakarta: PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalam FKUI. 2006. hlm 632-36

Bruch, J. and Treister, N. (2010). Clinical Oral Medicine and Pathology. Totowa, NJ:
Humana Press

Byrd J.A., Bruce A.J., Rogers R.S., III Glossitis and other tongue disorders. Dermatol.
Clin. 2003;21(1):123–134. doi: 10.1016/S0733-8635(02)00057-8

Cappello M, Morelle GC, Licata A. Elderly Onset Celiac Disease: A Narrative Review.
Clin Med InsightsGastroenterol. 2016;9:41–9
Casals MR. Tzioufas AG. Front J. Primary sjorgen syndrome; new clinic and
therapeutic concepts. Ann. Rheum. Dis. 2005:64;347-54

Cunha S.F., Melo D.A., Braga C.B., Vannucchi H., Cunha D.F. Papillary atrophy of
the tongue and nutritional status of hospitalized alcoholics. An. Bras.
Dermatol. 2012 ; 87 (1) : 84–89. doi: 10.1590/S0365-
05962012000100010. [PubMed] [CrossRef] [Google Scholar]

Chandran V, Raychaudhuri SP. Geoepidemiology and environmental factors of


psoriasis and psoriatic arthritis.J Autoimmun. 2010;34:J314-21
Dean D dan Gandara B (2016).Principles of Diabetes Mellitus. New York: Springer.

Dafar A, Çevik-Aras H, Robledo-Sierra J, Mattsson U, Jontell M (2016). Factors


associated with geographic tongue and fissured tongue. Acta Odontologica
Scandinavica, 74(3): 210-216

Dennis M., Bowen, W.T., Cho, L., 2012, Mechanism of Clinical Signs, Elsevier,
Australia

Erriu, M., Canargiu, F., Orrù, G., Garau, V., & Montaldo, C. (2012). Idiopathic atrophic
glossitis as the only clinical sign for celiac disease diagnosis: a case report. Journal
of medical case reports, 6, 185
Escudero-Hernandez C, Garrote JA, Arranz E. Pathogenesis of CeliacDiseas. In:
Arranz E, Fernández-Bañares F, Rosell CM, Rodrigo L, Peña AS, editors.
Advances in the Understanding of Gluten Related Pathology and the Evolution
of Gluten-Free Foods. Barcelona,Spain: OmniaScience; 2015. p.163-91
Fox RI. Sjogren’s syndrome. Lancet. 2005;366(9482):321-31

Freeman HJ. Endocrin manifestation in celiac disease. World JGastroenterol.


2016;22(38):8472-9
Gandara BK dan Morton TH (2011).Non-periodontal oral manifestations of diabetes:
A framework for medical care providers. Diabetes Spectrum, 24(4): 199-205
Ghabanchi, J., Tadbir AA., Darafshi, R., Sadegholvad, M. 2011. The Prevalence of
Median Rhomboid Glossitis in Diabetic Patients: A Case-Control Study. Iran
Red Crescent Medical Journal 2011; 13(7):503-506

Ghom, 2005, Textbook of Oral Medicine, Jaype Medical Brothers Publisher, New
Delhi, h. 479

Gujral, N., Freeman, HJ., Thomson, AB. Celiac disease : Prevalence, diagnosis,
pathogenesis, and treatment. World J Gastroenterol. 2012;18(42) : 156-65
Hernández-Quintero M, Kuri-Harcuch W, González R, Arturo, Castro-Muñozledo F
(2006).Interleukin-6 promotes human epidermal keratinocyte proliferation and
keratin cytoskeleton reorganization in culture. Cell and Tissue Research, 325(1):
77-90

Hoffbrand, AV. et all. 2005. KapitaSelektaHematologi. Jakarta.


Penerbitbukukedokteran EGC

Honarmand M, Farhad Mollashahi L, Shirzaiy M, Sehhatpour M. Geographic Tongue


and Associated Risk Factors among Iranian Dental Patients. Iran J Public Health.
2013;42:215-9.

International Diabetes Federation.IDF Diabetes Atlas.7th. International Diabetes


Federation; 2015.

Kelly, CP., Bai, JC., Liu, E., Leffler, DA. Advances in Diagnosis and Management of
Celiac Disease. Gastroenterology. 2015;148(6):1175-86
Khairnar MR, Wadgave U, Khairnar SM (2017) Effect of Alcoholism on Oral Health:
A Review. J Alcohol Drug Depend 5: 266. doi:10.4172/2329-6488.1000266
Khan S (2019).Benign Migratory Glossitis: Case Report and Literature Review.
International Journal of Clinical Oral and Maxillofacial Surgery, 4(1): 1

Langlais RP, Miller C, Nnield-Gehrig JS. 2015. Atlas Berwarna Lesi Mulut Yang
Sering Ditemukan, edisi 4. Jakarta: EGC, hal : 4,104,109
Leslie D, Nancy WB. (2008). General and Oral Pathology for the Dental Hygienist.
Koger B, Dietz K, Bradshaw N, Aiello G, eds. Lippincotte Williams and Wilkins,
Philadelphia, PA, pp; 243-245

Lestari PE. Infeksi jamur candida pada penderita HIV/AIDS. Stomatogantic J K G


Unej Vol. 10 No. 1. 2013: 35-38.

Maier H., Weidauer H., Zöller J., Seitz H.K., Flentje M., Mall G., Born I.A. Effect of
chronic alcohol consumption on the morphology of the oral mucosa. Alcohol.
Clin. Exp. Res. 1994 ; 18 (2) : 387–391. doi: 10.1111/j.1530-
0277.1994.tb00030.x. [PubMed] [CrossRef] [Google Scholar]

M.A. Lynch, Vernon J. Brightman, dan Martin S. Greenberg. Burket: Ilmu penyakit
mulut. Ed ke-8. Jakarta: Binarupa Aksara; 2004

Mansjoer, Arif .et all. 2007. KapitaSelektaKedokteran. Jilid 2.EdisiKetiga. Jakarta.


PenerbitBukuKedokteran EGC

Özdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in


children.TürkPediatriArşivi, 50(1), 11–9. doi:10.5152/tpa.2015.2337.

Rai K., Hegde A., Kamath A., Shetty S. Dental caries and salivary alterations in type I
diabetes. Journal of Clinical Pediatric Dentistry.2011;36(2):181–184. doi:
10.17796/jcpd.36.2.x436ln878221g364

Rifkind J (2011). What should I look for when treating an alcoholic patient (current or
recovered) in my office?, J Can Dent Assoc 2011;77:b114

Sumariyono. Diagnosis dan tatalaksana Sindrom sjogren. Kumpulan makalah temu


ilmiah Reumatologi. 2008:134-136

Skamagas M, Breen TL, LeRoithD (2008). Update on diabetes mellitus: prevention,


treatment and association with oral disease. Oral Disease, 14 : 105-14
Steina, J. Shuppanc, D. Coeliac Disease-New pathophysiological findings and their
implications for therapy. Viszeralmedizin. 2014;30(3):156-65

Stephens, Mark B., et al., editors. "Glossitis." 5-Minute Clinical Consult, 27th ed.,
Wolters Kluwer, 2019. 5minute, www.unboundmedicine.com/5minute/view/5-
Minute-Clinical-Consult/116247/all/Glossitis

Treister NS, Bruch JM. 2010. Clinical oral medicine and pathology. New York:
Humana Press. p. 149.ISBN 978-1-60327-519-4.

Troy Daniels. Sjogrens Syndrome: Primer on Rheumatic Diseases. 2008;13:389-97

Valentine J.A., Scott J., West C.R., St Hill C.A. A histological analysis of the early
effects of alcohol and tobacco usage on human lingual epithelium. J. Oral
Pathol. 1985 ; 14 (8) : 654–665. doi: 10.1111/j.1600-
0714.1985.tb00543.x. [PubMed] [CrossRef] [Google Scholar]

Vivas S, Vaquero L, Martin L, Caminero A. Age-related differences in celiac disease:


Specific characteristics of adult presentation. World J Gastrointest Pharmacol
Ther. 2015;6(4):207-12

Woodward, J. Improvong ourcomes of refractory celiac disease - current and emerging


treatment strategies. Clin Exp Gastroenterol. 2016; 9:225-36

Yuliasih. Sindrom Sjogren. Buku ajar IlmuPenyakitDalam.jilid III edisi VI. Pusat
Penerbitan IPD FKUI.2014:3160-3166

Anda mungkin juga menyukai