Anda di halaman 1dari 41

RESUME

DIAGNOSIS KELAINAN PERIODONTAL (AAP 1999) &FASE


PERAWATAN PERIODONTAL

Kordik Bidang Ilmu:


drg. Christiana Cahyani P., M.Phil

Oleh:
Salsabila Nuha Zafira G1G014001
Ichsani Alfina G1G014004

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2019
DIAGNOSIS KELAINAN PERIODONTAL (AAP 1999) & FASE

PERAWATAN PERIODONTAL

A. Diagnosis Kelainan Periodontal (AAP 1999)

Istilah penyakit periodontal digunakan untuk menggambarkan suatu

kelompok atau kondisi yang dapat menyebabkan peradangan dan kerusakan

attachment apparatus gigi. Penyakit periodontal yaitu peradangan dan juga

perubahan resesif pada gingiva dan periodontium (Li et al., 2000).

Berdasarkan American Academy of Periodontology (AAP) 1999, kelainan

periodontal dibagi menjadi 8 yaitu (Wiebe et al., 2000):

1. Penyakit gingiva

Penyakit gingiva disebut juga dengan gingivitis merupakan

merupakan peradangan gingiva yang disebabkan oleh plak atau bakteri

yang terakumualsi di gigi. Penyakit gingiva dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Penyakit gingiva yang diinduksi plak

Gingivitis yang diinduksi plak merupakan respon inflamasi

gingiva akibat adanya akumulasi plak yang terletak pada margin

gingiva dan di bawah margin gingiva. Gingivitis pada tahap awal

tidak dapat dilihat secara klinis, pada tahap yang lebih lanjut akan

terlihat tanda dan gejala secara klinis. Gingivitis yang diinduksi plak

dimulai dari margin gingiva dan dapat menyebar ke seluruh

gingiva.Kondisi ini dapat terjadi pada jaringan periodontal yang

tidak mengalami attachment loss ataupun jaringan periodontal yang

mengalami attachment loss.


Gejala gingivitis yang timbul meliputi perdarahan, eritema,

edema, nyeri tekan. Gingivitis yang berhubungan dengan

pembentukan plak gigi merupakan penyakit gingiva yang paling

umum (Carranza et al., 2012; Murakmi et al., 2018). Penyebab

penyakit gingiva yang diinduksi plak dibagi menjadi 4 yaitu:

1) Gingivitis yang berhubungan hanya dengan plak gigi

Gingivitis yang diinduksi plak merupakan hasil interaksi

antara mikroorganisme yang ditemukan dalam biofilm plak gigi

serta jaringan dan sel radang dari host. Interaksi plak dan host

dapat dipengaruhi oleh faktor local, faktor sistemik, obat-obatan

dan malnutrisi yang dapat mempengaruhi keparahan dan

lamanya respon. Faktor lokal yang mempengaruhi timbulnya

gingivitis adalah anatomi gigi, overhangingmargin restorasi,

overcontoured crown, penggunaan GTSL. Faktor lokal tersebut

berkontribusi karena dapat mempertahankan mikroorganisme

plak dan menghambat kontrol plak (Carranza et al., 2012;

Murakmi et al., 2018).


Gambar 1 (A) Gingivitis marginal dan papila yang berhubungan
dengan plak disertai probing depth 1-4 mm dan tidak terdapat
CAL kecuali resesi pada gigi 28 (B) Gambar radiografi pasien.

2) Gingivitis dipengaruhi oleh faktor sistemik

Faktor sistemik yang berkontribusi terhadap timbulnya

gingivitis adalah perubahan endokrin yang terkait dengan

pubertas, siklus menstruasi, kehamilan dan diabetes. Perubahan

respon yang terjadi disebabkan oleh fungsi selular dan

imunologis dari host. Prevalensi dan keparahan gingivitis

meningkat dalam masa kehamilan namun dengan jumlah plak

sedikit. Gingivitis dapat terjadi pada penderita leukemia berupa

perdarahan dan pembesaran gingiva. Perdarahan gingiva terjadi

karena trombositopenia dan defisiensi faktor pembekuan darah,

pembesarah gingiva terjadi karena infiltrasi gingiva oleh sel-sel

leukemia (Carranza et al., 2012).


Gambar 2 Wanita berusia 13 tahun dengan peradangan
margin papila gingiva karena hormon berlebihan,
dengan probing depth 1-4 mm dengan CAL minimal.
(A) Tampilan fasial (B) Tampilan lingual.

Gambar 3 Wanita 12 tahun dengan diagnosis medis


primer leukemia yang menunjukkan gingiva bengkak /
spongy.

3) Gingivitis yang dipengaruhi oleh obat

Penyakit gingiva yang dipengaruhi obat semakin lazim

karena meningkatnya penggunaan obat yang menyebabkan

pembesaran gingiva. Obat yang digunakan meliputi obat

antikonvulsan seperti fenitoin, obat imunosupresif seperti

siklosporin, dan obat calcium channel blockers seperti

nifedipine, verapamil, diltiazem, dan natrium valproat.

Perkembangan dan keparahan pembesaran gingiva terhadap

respon obat dapat dipengaruhi oleh akumilasi plak yang tidak


terkontrol serta peningkatan kadar hormon. Penggunaan

konrasepsi oral pada wanita premenopause dapat menyebabkan

peradangan gingiva (Carranza et al., 2012).

Gambar 4 Gambaran klinis laki-laki 9 tahun dengan pertumbuhan


gingiva yang parah akibat transplantasi hati dan terpi siklosporin

Gambar 5 Gambar klinis pertumbuhan gingiva yang berlebih


karena konsumsi calcium channel blocker untuk mengontrol
hipertensi.
4) Gingivitis yang dipengaruhi oleh malnutisi

Penyakit gingiva yang dipengaruhi malnutrisi

menunjukkan gingiva yang merah, bengkak, dan perdarahan

akibat kekurangan asam askorbat (vitamin C). Kekurangan

nutrisi dapat mempengaruhi kekebalan tubuh dan kekebalan host

untuk melindungi diri (Carranza et al., 2012).

b. Lesi gingiva yang diinduksi non-plak

Gingiva dan jaringan oral lainnya dapat menunjukkan lesi

patologis yang tidak diinduksi plak seperti manifestasi dari kondisi

sistemik atau gangguan medis. Perubahan patologis bisa hanya


terbatas pada jaringan gingiva saja. Gingivitis yang tidak diinduksi

oleh plak dalam perkembangannya dapat dipengaruhi oleh akumulasi

plak dan peradangan gingiva selanjutnya (Holmstrup et al., 2018).

1) Penyakit gingiva karena bakteri spesifik.

Penyakit gingiva yang berasal dari bakteri spesifik

meningkat dalam prevalensi, terutama sebagai akibat dari

penyakit menular seksual, seperti gonore (Neisseria

gonorrhoeae), dan sifilis (Treponema pallidum). Gingivitis yang

disebabkan oleh infeksi bakteri tertentu dapat timbul karena

hilangnya homeostasis antara patogen yang tidak terkait plak

dan resistensi host. Lesi oral dapat muncul sebagai manifestasi

sekunder akibat infeksi sistemik atau dapat terjadi melalui

infeksi langsung. Gingivitis streptokokus atau gingivostomatitis

adalah bakteri langka. Gejala akut yang timbul meliputi demam,

malaise, dan nyeri dengan gejala klinis yang timbul meliputi

gingiva akut yang meradang, difus, merah, dan bengkak dengan

peningkatan perdarahan dan kadang-kadang pembentukan abses

gingiva. Infeksi gingiva biasanya didahului oleh tonsilitis dan

telah dikaitkan dengan infeksi β-hemolitik streptokokus

kelompok A (Carranza et al., 2012).

2) Penyakit gingiva karena virus

Penyakit gingiva yang berasal dari virus dapat disebabkan

oleh virus asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat


(RNA). Virus yang menyebabkan menifestasi pada gingiva

diantaranya adalah coxsackie virus, virus herpes simpleks 1

(HSV-1) dan 2 (HSV-2) dan virus varicella zoster. Penyakit

gingiva virus diobati dengan obat antivirus topikal dan / atau

sistemik (Carranza et al., 2012; Holmstrup et al., 2018).

Gambar 6 (A) dan (B) Pria berusia 29 tahun dengan infeksi herpes
primer dan peradangan gingiva yang parah,(C) dan (D) Enam
minggu setelah pemberian asiklovir sistemik.

3) Penyakit gingiva karena jamur

Penyakit gingiva yang berasal dari jamur jarang terjadi

pada individu dengan imunokompeten namun lebih sering

terjadi pada individu dengan sistem imun yang lemah dan

individu yang flora normalnya terganggu akibat penggunaan

antibiotik spektrum luas jangka panjang. Infeksi jamur oral yang

paling umum adalah kandidiasis yang disebabkan oleh infeksi

Candida albicans yang dapat dilihat pada alat prostetik, individu

yang menggunakan steroid topikal, penurunan aliran saliva,

peningkatan glukosa saliva, atau penurunan pH saliva.


Infeksi kandida umunya berupa bercak putih pada gingiva,

lidah atau mukosa yang dapat dihilangkan dengan kain kasa dan

meninggalkan permukaan yang merah dan berdarah. Individu

yang menderita HIV, infeksi kandida dapat muncul berupa

eritema pada attached gingiva yang disebut dengan eritema

gingiva linier atau gingivitis terkait HIV. Diagnosis infeksi

kandida dapat dilakukan dengan kultur, apusan, dan biopsi

(Carranza et al., 2012).

4) Penyakit gingiva karena genetik

Penyakit gingiva yang berasal dari genetik salah satu

kondisi yang paling terbukti secara klinis adalah hereditary

gingival fibromatosis (HGF), yang menunjukkan pewarisan

autosom dominan atau autosom resesif (jarang). Pembesaran

gingiva dapat sepenuhnya menutupi gigi, menunda erupsi.

Penyakit tersebut dapat muncul sendiri atau sebagai bagian dari

suatu sindrom (Carranza et al., 2012).

5) Manifestasi gingiva dari kondisi sistemik

Manifestasi gingiva dari kondisi sistemik dapat muncul

sebagai lesi deskuamatif, ulserasi gingiva, atau keduanya.

Reaksi alergi yang bermanifestasi dengan perubahan gingiva

jarang terjadi tetapi dapat timbul terkait dengan beberapa bahan

restorasi, pasta gigi, obat kumur, permen karet dan makanan

serta seringkali reaksi hipersensitifitas yang muncul adalah tipe


IV. Diagnosis kondisi-kondisi ini mungkin terbukti sulit dan

mungkin memerlukan riwayat yang luas dan eliminasi selektif

penyebab yang potensial. Ciri histologis biopsi dari reaksi alergi

gingiva meliputi infiltrat sel eosinofilik yang padat (Carranza et

al., 2012; Holmstrup et al., 2018).

Gambar 7 (A) Inflamasi gingiva lokal akibat alergi nikel,


(B) dan (C) Biopsi menggambarkan infiltrat sel plasma
yang padat.

6) Lesi traumatik

Lesi traumatis mungkin disebabkan oleh diri sendiri dan

buatan, dibuat dengan sengaja atau tidak sengaja. Contoh lain

dari lesi traumatis termasuk trauma sikat gigi yang

mengakibatkan ulserasi gingiva, resesi, atau keduanya. Trauma

iatrogenik (disebabkan oleh dokter gigi atau profesional

kesehatan) ke gingiva dapat disebabkan oleh prosedur

ortodontik, bahan preventif atau restoratif. Peripheral ossifying

fibroma dapat berkembang sebagai respon terhadap benda asing,

kerusakan gingiva yang tidak disengaja dapat terjadi melalui


luka bakar ringan akibat makanan dan minuman panas

(Carranza et al., 2012).

7) Reaksi benda asing

Reaksi benda asing menyebabkan kondisi peradangan

lokal gingiva yang disebabkan oleh masuknya bahan asing ke

dalam jaringan ikat gingiva melalui celah di epitel. Contoh

umum adalah pengenalan amalgam ke dalam gingiva selama

penempatan restorasi, ekstraksi gigi, atau apicoectomy

endodontik dengan retrofill meninggalkan tato amalgam dengan

fragmen logam yang dihasilkan diamati dalam biopsi, atau

terkena alat abrasif selama prosedur pemolesan (Carranza et al.,

2012).

2. Periodontitis Kronis

Periodontitis kronis dahulu dikenal sebagai adult periodontitis atau

chronic adult periodontitis, adalah bentuk periodontitis yang paling

sering ditemukan. Periodontitis ini umumnya ditemukan sebagai penyakit

dengan perkembangan yang lambat. Periodontitis kronis paling sering

diamati pada dewasa, namun dapat terjadi juga pada anak-anak dan

remaja sebagai respon terhadap akumulasi plak dan kalkulus kronis. Hal

ini yang mendasari perubahan nama terbaru dari “adult “ periodontitis,

yang menggambarkan bahwa periodontitis kronis yang diinduksi plak

hanya diamati pada dewasa, diubah menjadi deksripsi yang lebih umum
berupa “chronic” periodontitis, yang artinya dapat terjadi pada tahap usia

apapun (Carranza et al, 2012).

a. Etiologi periodontitis kronis

Periodontitis kronis merupakan penyakit infeksi yang

mengakibatkan inflamasi pada jaringan pendukung gigi, kehilangan

perlekatan, dan kehilangan tulang yang progresif. Definisi tersebut

menguraikan etiologi dan kondisi klinis dari penyakit ini, yaitu:

1) Pembentukan plak mikroba, dengan patogen utama yaitu

Porphyromonas gingivalis.

2) Inflamasi periodontal (pembengkakan gingiva, bleeding on

probing)

3) Kehilangan perlekatan dan tulang alveolar (Carranza et al,

2012).

4) Periodontitis kronis dapat berhubungan dengan:

a) Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dan HIV

b) Faktor lokal yang mempengaruhi terjadinya periodontitis

c) Faktor lingkungan seperti merokok dan stress emosional

(Armitage, 1999).

b. Gambaran klinis

Karakteristik dari periodontitis kronis antara lain:

1) Terjadi pada orang dewasa, namun dapat juga terjadi pada anak-

anak

2) Biasanya pasien tidak merasakan sakit


3) Terjadi Bleeding on probing, food impaction, dan resesi gingiva

4) Jumlah kerusakan tulang sebanding dengan faktor lokal

5) Biasanya ditemukan kalkulus subgingiva

6) Proses perkembangan penyakit yang lambat-sedang

Temuan klinis yang sering dijumpai pada pasien periodontitis

kronis yaitu akumulasi plak supragingiva dan subgingiva

(berhubungan dengan pembentukan kalkulus), inflamasi gingiva,

pembentukan poket, kehilangan perlekatan periodontal, kehilangan

tulang alveolar, dan kadang-kadang supurasi. Pasien dengan

kebersihan rongga mulut yang buruk, dapat mengalami

pembengkakan gingiva dan memperlihatkan perubahan warna

gingiva menjadi merah keunguan. Kehilangan stippling dan

perubahan topografi permukaan gingiva juga dapat terjadi termasuk

pada margin gingiva (Carranza et al., 2012).

Pola kehilangan tulang pada kondisi periodontitis kronis dapat

berupa vertikal (angular) ketika kehilangan perlekatan dan tulang

pada salah satu permukaan lebih besar daripada permukaan yang

berdekatan, atau horisontal ketika kehilangan perlekatan dan tulang

berlanjut pada tingkat seragam pada sebagian besar permukaan gigi.

Kehilangan tulang vertikal berhubungan dengan pembentukan poket

intraboni. Kehilangan tulang vertikal biasanya berhubungan dengan

poket supraboni (Fedi et al., 2005).


Gambar 8 Gambaran klinis periodontitis kronis pada pasien
berusia 45 tahun

c. Klasifikasi periodontitis kronis

1) Lokalisata: melibatkan <30% gigi yang terlibat kehilangan

perlekatan dan kehilangan tulang

2) Generalisata: melibatkan >30% gigi yang terlibat dalam

kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang

3) Ringan: terjadi kehilangan perlekatan sebesar 1-2 mm

4) Sedang: terjadi kehilangan perlekatan sebesar 3-4 mm

5) Berat: terjadi kehilangan perlekatan sebesar ≥5 mm

(Carranza et al, 2012).

Gambar 9 Localized chronic periodontitis pada perempuan berusia 42


tahun. (A) Aspek klinis spek klinis dari gigi anterior memperlihatkan plak
dan inflamasi minimal. (B) Radiografi memperlihatkan kemunculan dari
kehilangan tulang angular, vertikal, terlokalisir pada sisi distal molar
pertama kiri maksila. (C) Pembukaan dengan pembedahan dari kerusakan
vertikal (angular) yang berhubungan dengan akumulasi plak dan inflamasi
kronis pada furkasi distobukal.
3. Periodontitis Agresif

Periodontitis agresif adalah suatu penyakit periodontal yang terjadi

pada anak-anak, khususnya pada masa remaja (pubertas) yang ditandai

dengan hilangnya perlekatan dan tulang alveolar yang cepat, pada satu

atau lebih gigi permanen yang terlibat. Patogenesis periodontitis agresif

pada dasarnya sama dengan penyakit periodontitis lainnya. Penyebabnya

bersifat heterogen dan merupakan interaksi berbagai faktor, baik bakteri,

imunologis maupun genetik. Actinobacillus actinomycetemcomitans

sebagai pencetus utama penyakit ini mempunyai sifat khusus dalam

meningkatan kerusakan pada periodontitis agresif, yaitu dengan

memproduksi faktor virulensi dan memiliki kemampuan dalam merusak

jaringan periodontal (Fedi et al., 2005).

Menurut Carranza et al. (2012), Aggressive periodontitis

menjelaskan tiga penyakit yang dahulu diklasifikasikan sebagai “early-

onset periodontitis.“ Penyakit tersebut adalah localized aggressive

periodontitis (LAP), yang dahulu dinamakan localized juvenile

periodontitis (LJP), dan generalized aggressive periodontitis (GAP)

meliputi penyakit yang sebelumnya diklasifikasikan sebagai generalized

juvenile periodontitis (GJP) dan rapidly progressive periodontitis (RPP).

a. Klasifikasi periodontitis agresif

Menurut Carranza et al. (2012), klasifikasi periodontitis agresif

dibedakan menjadi:
1) Localized agressive periodontitis

Localized aggresive periodontitis biasanya muncul pada

usia pubertas. Secara klinis, ditandai sebagai “ terlokalisir pada

Molar pertama atau Insisivus dengan kehilangan perlekatan

interproksimal pada sekurang-kurangnya dua gigi permanen,

salah satu yang adalah molar pertama, dan melibatkan tidak

lebih daripada dua gigi daripada molar pertama dan insisivus

(Carranza et al., 2012). Localized aggresive periodontitis

memiliki karakteristik klinis sebagai berikut:

a) Penyakit dijumpai pada gigi Molar pertama dan Insisivus

dengan hilangnya perlekatan pada daerah interproksimal

paling sedikit 2 gigi.

b) Berkurangnya inflamasi secara klinis disamping ditemukan

poket periodontal yang dalam.

c) Pada kebanyakan kasus jumlah plak yang mempengaruhi

gigi minimal, sehingga cenderung tidak konsisten dengan

jumlah kerusakan periodontal yang ditemukan.

d) Penyakit Localized Aggresive Periodontitis berkembang

dengan cepat.

e) Migrasi distolabial gigi Incisivus maksilaris.

f) Pembentukan diastem secara berkala.

g) Peningkatan mobilitas gigi Molar pertama.


h) Sensitif dari permukaan akar yang terbuka terhadap suhu

dan stimulasi taktil.

i) Rasa sakit tajam dan rasa sakit yang menyebar sewaktu

mastikasi.

j) Dapat terbentuk abses periodontal pada tahap ini dan terjadi

pembesaran pada kelenjar limfe.

Gambar 10 Localized aggressive periodontitis pada pasien perempuan


kulit hitam berusia 15 tahun. (A) aspek klinis memperlihatkan plak dan
inflamasi minimal kecuali untuk inflamasi lokal pada sisi distal dari
insisivus sentralis kiri dan insisivu sentralis kanan mandibula. (B)
radiografi memperlihatkan kehilangan tulang angular, vertikal, lokal
yang berhubungan dengan molar pertama mandibula dan insisivus
sentralis mandibula. Insisivus maksila memperlihatkan tidak ada
keterlibatan yang tampak. (C) Pembukaan dengan pembedahan dari
kerusakan tulang angular, vertikal, lokal yang mengenai insisivus
mandibula.

2) Generalized agressive periodontitis

Generalized aggresive periodontitis merupakan suatu

penyakit yang umumnya terjadi pada orang dewasa pada usia

dibawah 30 tahun. Penyakit ini ditandai dengan hilangnya

attachment interproksimal secara keseluruhan yang


mempengaruhi 3 gigi permanen lainnya selain Molar pertama

dan Insisivus. Karakterisitik klinis penyakit generalized

aggresive periodontitis yaitu:

a) Umumnya memiliki jumlah plak bakterial yang sedikit yang

berhubungan dengan gigi yang terlibat. Secara kuantitatif,

jumlah plak cenderung tidak seimbang dengan kerusakan

periodontal yang terjadi.

b) Pada kasus Generalized aggresive periodontitis dijumpai 2

bentuk respon jaringan gingival yaitu:

(1) Pada jaringan inflamasi akut terjadi proliferasi, ulser

dan berwarna merah terang, supurasi, dan perdarahan

dapat terjadi secara spontan atau melalui stimulasi

ringan

(2) Pada kasus lainnya jaringan gingiva cenderung

berwarna merah muda, bebas inflamasi, terkadang

terjadi stipling walaupun ada yang tidak ditemukan, dan

poket yang dalam ditemukan melalui probing.

(3) Beberapa pasien generalized aggresive periodontitis

mengalami kondisi sistemik seperti kekurangan berat

badan, depresi mental dan malaise (Carranza et al,

2012).
Gambar 11 Severe generalized aggressive periodontitis pada pasien laki-
laki berusia 22 tahun dengan riwayat keluarga kehilangan gigi awal
melalui penyakit periodontal. (A) aspek klinis memperlihatkan plak dan
inflamasi minimal, Provisional wire-and resin splint telah ditempatkan
oleh dokter gigi umum untuk menstabilkan gigi. (B) radiografi
memperlihatkan sifat penyakit yang parah, general dengan semua gigi
yang erupsi terkena.

4. Periodontitis sebagai Manifestasi Penyakit Sistemik

Beberapa kelainan genetik dan hematogik diasosiasikan dengan

perkembangan periodontitis, dimana paling besar berefek pada

mekanisme pertahanan tubuh sehingga pada akhirnya berefek pada

jaringan periodontal. Manifestasi klinis banyak ditemukan pada awal

kelainan yang dihubungkan, sehingga sering kali dibingungkan dengan

kasus agresif periodontitis. Perbedaan periodontitis sebagai manifestasi

dari penyakit sistemik yaitu benar-benar terjadi akibat penyakit sistemik

yang diderita, bukan dari akumulasi plak dan kalkulus akibat dari adanya

suatu penyakit sistemik yang diderita (Suproyo, 2009).

Menurut Carranza et al. (2012), penyakit sistemik yang

bermanifestasi pada kondisi periodontitis adalah sebagai berikut:


a. Gangguan hematologik

1) Acquired neutropenia

2) Leukemia

3) Lainnya

b. Gangguan genetik

1) Familial and cyclic neutropenia

2) Down syndrome

3) Leukocyte adhesion deficiency syndromes

4) Papilla-Levefre syndrome

5) Chediak-Higashi syndrome

6) Histiocytosis syndrome

7) Glycogen storage disease

8) Lainnya

c. Yang tidak termasuk dalam spesifikasi

5. Necrotizing Periodontal Disease

a. ANUG (Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis)

1) Gambaran Umum

ANUG adalah suatu kondisi yang menyerang gingiva dan

disebabkan oleh infeksi bakteri atau mikroba yang

mengganggu respon host. Istilah “Necrotizing" menujukkan

bahwa kondisi tersebut menyebabkan kerusakan jaringan berupa

"Ulseratif" yang dapat muncul pada gingiva dengan ciri khas

berbentuk kawah dan diselimuti pseudomembran berwarna abu-


abu. Infeksi yang terjadi terutama pada gingiva interdental dan

marginal, yang ditandai oleh hilangnya sebagian dari papilla

interdental, perdarahan gingiva dan rasa sakit (Langlais et al.,

2013).

2) Etiologi

Penyebab utama dari penyakit ini yaitu multifactorial

bacteria yang meliputi fusiform bacillus, spirochetal, prevotella

intermedia, treponema, sellenomonas, fusobacterium. Bakteri

tersebut menghasilkan berbagai metabolisme yang dapat

merusak jaringan, contohnya kolagenase, fibrinolisin,

endotoksin, hidrogen sulfide, indole ammonia, asam lemak, dan

protease yang mampu menurunkan imunoglobin dan faktor

pelengkap serta zat penghambat neutrohpil chemotaxis. Faktor

predisposisi yang memicu terjadinya ANUG timbul dari faktor

lokal berupa penyakit periodontal sebelumnya. Presdisposisi

sistemik juga dapat timbul akibat dari defisiensi nutrisi, stress,

penyakit sistemik yang melemahkan sistem imun tubuh seperti

AIDS, leukemia dan anemia (Langlais et al., 2013).

3) Gambaran Klinis

a) Resesi interdental papilla, dapat meluas ke margin gingiva

b) Tepi gingival ditutupi pseudomembran keabu-abuan.

Adanya nekrosis interproksimal dan ulserasi (area yang

nekrosis tersebut tertutup oleh lapisan abu-abu putih yang


disebut pseudomembran. Pseudomembran ini terdiri dari

sel-sel yang telah mati, bakteri dan debris.

c) Batas-batas mukosa gingiva nampak adanya eritema

d) Perdarahan spontan atau bleeding dari stimulus ringan.

Keadaan gusi yang merah, mengkilap, mudah berdarah

(perdarahan tersebut merupakan hasil dari kerusakan

pembuluh darah kecil pada jaringan konektif yang

normalnya dilindungi oleh jaringan epitel)

e) Karakteristik lesi yang berbentuk seperti cekungan kawah

didaerah interdental papil, kemudian meluas ke marginal

gingival dan jarang terjadi di attached gingiva maupun di

mukosa oral. Lesi ini sering disebut “punched out papillae”.

Kawah lesi tersebut tertutupi oleh pseudromembran yang

keabu-abuan, Perbatasannya dengan mukosa dibatasi

dengan adanya garis erithema.

f) Lesi sangat sensitif terhadap tekanan atau sentuhan

g) Ada rasa sakit dan nyeri yang cepat, kadang terasa perih

sekali saat mengunyah dan makan makanan pedas atau

panas

h) Mulut terasa seperti rasa logam

i) Bau mulut, demam, malaise, serta limfadenopati (Carranza

et al., 2012).
b. NUP (Necrotizing Ulcerative Periodontitis)

1) Gambaran Umum NUP

Necrotizing ulcerative periodontitis merupakan tahap

lanjut dari Necrotizing ulcertive gingivitis pada struktur

periodontal. Manifestasi klinis pada NUP sangat mirip dengan

Acute Necrotizing Ulcertive Gingivitis (ANUG), akan tetapi

kondisi ini juga menyerang struktur periodonsium yang lebih

dalam yaitu “bone loss” pada tulang alveolar. Istilah

“necrotizing ulcerative periodontitis” pertama diadopsi pada

tahun 1989 Wolrd Workshop in Clinical Periodontics, Diubah

tahun 1986 dari istilah “necrotizing ulcerative

gingivoperiodontitis”, yang memperlihatkan kondisi dari

rekuren NUG yang mengalami perkembangan bentuk kronis

dengan kehilangan perlekatan dan tulang (Carranza et al., 2012).

2) Etiologi NUP

Sebuah penelitian mengatakan bahwa bakteri yang

ditemukan pada Acute Necrotizing Ulcertive Gingivitis (ANUG)

dan Necrotizing Ulcerative Periodontitis (NUP) adalah sama

yaitu treponema and species selenomonas, prevotella

intermedia, dan fuscobacteri nucleatum. Beberapa faktor

predisposisi ikut berperan terhadap terjadinya NUP, termasuk

kebersihan rongga mulut yang buruk, penyakit periodontal yang

telah muncul sebelumnya, merokok, infeksi virus, status


gangguan sistem imun, stres psikososial, dan malnutrisi. NUP

juga sering dihubungan dengan diagnosis AIDS atau status HIV

positif (Carranza et al., 2012).

3) Gambaran Klinis NUP

Sama dengan NUG, gambaran klinis NUP ditunjukkan

dengan nekrosis dan ulserasi pada bagian korona dari papila

interdental dan margin gingiva, dengan marginal gingiva merah

terang, terasa sakit yang mudah berdarah. Gambaran yang

membedakan dari NUP yaitu terjadinya kerusakan progresif dari

penyakit termasuk kehilangan perlekatan dan tulang. Kawah

tulang interdental yang dalam adalah ciri khas lesi periodontal

dari NUP. Lesi lanjut dari NUP mengarah terhadap kehilangan

tulang parah, kegoyangan gigi, dan pada akhirnya kehilangan

gigi (Carranza et al., 2012).

Gambar 12 Necrotizing ulcerative periodontitis pada pasien laki-laki berusia 45


tahun, HIV-negatif, kulit putih. A, aspek bukal pada area kaninus-premolar
maksila. B, aspek palatal pada area yang sama. C, aspek bukal pada anterior
mandibula. Perhatikan kawah dalam yang berhubungan dengan kehilangan
tulang.
6. Abses pada Jaringan Periodontal

a. Abses Gingiva

Abses gingiva merupakan keadaan inflamasi akut dan

terlokalisir yang dapat berasal dari infeksi bakteri dan plak, trauma,

dan impaksi benda asing. Secara klinis abses gingiva terlihat adanya

pembengkakan padajaringan lunak purulent pada margin gingiva dan

interdental papilla, terlokalisir dan disertai rasasakit. Terdapat lesi

inflamasi pada superfisial jaringan gingiva. Tahap awal lesi

berwarna merah dengan permukaan yang mengkilat serta terdapat

eksudat. Dalam waktu 24-48 jam lesi menjadi fluktuatif disertai mata

lesi yang berisi eksudat, gigi yang berada dekat dengan gigi tersebut

akan sensitive terhadap perkusi. Etiologi dari abses gingiva karena

adanya bakteriyang masuk ke dalam jaringan ikat melalui perantara

benda asing seperti bulu sikat, duri ikan yang menusuk jaringan

gingiva (Rini dan Rusyanti, 2016).

Gambar 13 Abses gingiva pada gigi 43

b. Abses Periodontal

Abses periodontal merupakan peradangan pada jaringan

periodontal yang terlokalisir disertai adanya eksudat yang dapat

menyebabkan destruksi ligamen periodontal. gambaran klinis abses


periodontal adalah terlihat pembengkakan gingiva yang mengkilat,

licin dan disertai rasa sakit. Daerah pembengkakan gingiva terasa

lunak karena terdapat eksudat purulent disertai kedalaman probing.

Gigi sensitif terhadap perkusi dan dapat terjadi mobilitas seta

kehilangan perlekatan periodontal yang lebih cepat. Abses

periodontal merupakan penyebab utama dari kehilangan gigi (Rini

dan Rusyanti, 2016).

A B

Gambar 14 (A) Abses periodontal pada gigi 48, (B) Drainase abses
periodontal gigi 46 melalui poket.

c. Abses Perikoronal

Abses perikoronal merupakan hasil dari inflamasi jaringan

lunak operkulum yang menutupi sebagian gigi yang sedang erupsi.

Abses perikoronal sering timbul pada masa anak-anak, dan dewasa

muda. Lesi inflamasi dapat disebabkan oleh retensi bakeri plak,

impaksi makanan, dan trauma. Gambaran klinisnya berupa gingiva

berwarna merah terlokalisir, bengkak, sakit jika disentuh dan dapat

ditemukan adanya purulent, terismus, limfadenopati, demam, dan

malaise (Rini dan Rusyanti, 2016).


Gambar 15 Abses Perikoronal

7. Periodontitis yang Berhubungan dengan Lesi Endodontik

Jaringan pulpa dan jaringan periodontal memilik hubungan

embrionik, anatomis, dan fungsional yang sangat erat. Jaringan pulpa

berasal dari papila dental sedangkan jaringan periodontal berasal dari

folikel denal, keduanya dipisahkna oleh Hertwig’s epithelial root sheath.

Lesi endodontik merupakan inflamasi yang diakibatkan oleh adanya agen

berbahaya di dalam saliran akar. Lesi periodontal adalah inflamasi yang

terjadi akibat akumulasi plak dan kalkulus pada permukaan gigi. Lesi

endodontik yang muncul serentak pada gigi yang sama disebut lesi

endoperio (Louisa dan Yunarti, 2015).

Jaringan periodontal terhubung dengan jaringan pulpa secara

anatomis melalui foramen apikal dan kanal lateral. Faktor etiologi yang

yang berperan penting dalam inisiasi dan perkembangan lesi endoperio

diantaranya adalah bakteri, jamur, dan virus, serta faktor resiko seperti

trauma, resorpsi akar, perforasi, dan anomali gigi. Inflamasi pulpa yang

bersamaan dengan inflamasi periodontal dapat menyulitkan prosedur

diagnosis, rencana perawatan dan memperburuk prognosis (Louisa dan

Yunarti, 2015). Periodontitis yang berhubungan dengan lesi endodontik

dibagi menjadi 3, yaitu:


a. Lesi Endodontik-Periodontal

Nekrosis pulpa pada lesi endodontik-periodontal lebih dahulu

muncul dibandingkan perubahan periodontal. Lesi periapikal yang

berasal dari infeksi pulpa dan nekrosis dapat mengalir ke rongga

mulut melalui ligament periodontal yang dapat menimbulkan

kerusakan ligamen periodontal dan tulang alveolar yang berdekatan.

Tanda klinis yang muncul dapat berupa probing depth secara lokal,

dalam dan dapat meluas hingga ke apeks gigi (Carranza et al., 2012).

Kerusakan tulang alveolar yang luas memerlukan bedah

rekonstruktif sebelum pemasangan implant dan prosthesis untuk

mengembalikan fungsi dan estetika. Infeksi pulpa dapat meluas

melalui saluran aksesori, terutama di daerah furkasi dan dapat

menyebabkan keterlibatan furkasi karena kehilangan perlekatan

klinis dan tulang alveolar (Carranza et al., 2012).

Gambar 16 (A) dan (C) Gambar klinis kehilangan tulang


alveolar yang luas dari lesi endodontik periapikal, (B) CT
scan yang menggambarkan kehilangan tulang alveolar, (D)
Gambar CT scan yang menunjukkan regenerasi melalui
cangkok tulang alogenik, sekrup tenting dan membran.
b. Lesi Periodontal-Endodontik

Infeksi bakteri dari poket periodontal pada lesi periodontal-

endodontik berhubungan dengan attachment loss dan akar yang

terbuka dan dapat menyebar melalui saluran aksesori ke dalam pulpa

yang menyebabkan nekrosis pulpa. Pada kasus periodontitis yang

lebih lanjut, infeksi dapat mencapai pulpa melalui foramen apikal.

Scaling dan root planing dapat mengikis sementum sehingga dentin

dapat terbuka, dentin yang terbuka menyebabkan terjadinya pulpitis

kronis karena penetrasi bakteri melalui tubuli dentin. Banyak gigi

yang telah dilakukan scaling dan root planing karena periodontitis

namun tidak menunjukkan adanya keterlibatan pulpa (Carranza et

al., 2012).

c. Lesi Gabungan

Lesi gabungan terjadi ketika nekrosis pulpa dan lesi periapikal

terjadi pada gigi yang jaringan periodontalnya juga terlibat.

Kerusakan intrabony yang berhubungan dengan lesi periapikal yang

berasal dari pulpa menghasilkan lesi periodontal-endodontik

gabungan. Kasus periodontitis yang terkait dengan lesi endodontik,

harus mengkontrol infeksi endodontik terlebih dahulu sebelum

memulai manajemen definitif pada lesi periodontal, terutama ketika

merencakan pengguaan teknik regeneratif atau pencangkokan tulang

(Carranza et al., 2012).


8. Development or Acquired Deformities and Conditions

Klasifikasi ini merupakan pembagian periodontitis yang

disebabkan karena kelainan fase perkembangan maupun dapatan.

Menurut Carranza et al. (2012), kondisi tersebut dapat berupa:

a. Penyakit gingiva atau periodontitis karena plak yang dimodifikasi

atau diperparah oleh faktor keadaan lokal gigi

1) Faktor anatomi gigi

2) Restorasi gigi

3) Fraktur akar

4) Resorbsi akar bagian servikal dan cemental tears

b. Deformitas mukogingival dan keadaan di sekeliling gigi

1) Resesi gingiva jaringan lunak

2) Kurangnya keratinisasi gingiva

3) Berkurangnya kedalaman vestibular

4) Letak frenulum atau otot yang salah

5) Gingival excess

a) Pseudopocket

b) Inconsistent gingival margin

c) Excessive gingival display

d) Gingival enlargement (pembesaran gingiva)

6) Warna yang abnormal


c. Deformitas mukogingival dan keadaan ridge edentulous

1) Rendahnya ridge dalam arch vertikal dan/atau horizontal

2) Kurangnya gingiva atau jaringan yang berkeratinisasi

3) Pembesaran gingiva atau jaringan lunak

4) Berkurangnya kedalaman vestibular

d. Trauma oklusal

1) Primary trauma occlusal

2) Secondary trauma occlusal

B. Fase Perawatan Periodontal

Perawatan gigi dan jaringan sekitarnya merupakan bagian dari

perawatan periodontal. Perawatan penyakit periodontal bertujuan untuk

mempertahankan fungsi gigi geligi, mencegah atau mengurangi penjalaran

atau keparahan penyakit. Keberhasilan perawatan dapat dilakukan dengan

mengurangi jumlah bakteri patogen, meningkatkan kemampuan jaringan

untuk mempertahankan atau memperbaiki diri. Keberhasilan perawatan

penyakit periodontal ditandai dengan adanya kapasitas penyembuhan yang

baik dari jaringan periodontal. Perawatan penyakit periodontal dapat

dilakukan dengan beberapa tahap perawatan yaitu, preliminary phase, fase I,

fase II, fase III, dan fase IV (Carranza et al., 2012).


Gambar 17 Fase perawatan periodontal

1. Preliminary Phase atau Emergency Phase

Keadaan darurat periodontal adalah suatu keadaan atau gabungan

berbagai kondisi yang berpengaruh buruk terhadap jaringan periodontal

dan memerlukan tindakan segera (Fedi et al, 2005). Situasi darurat yang

berhubungan dengan penyakit periodontal yaitu:

a. Acute Gingival Disease

1) Acute necrotizing ulcerative gingivitis

2) Acute pericoronitis

3) Acute/primary herpetic gingivostomatitis

b. Abses

1) Abses gingiva

2) Abses periodontal

3) Abses perikoronal

2. Fase I (Non-Surgical Phase)

Terapi fase I atau terapi inisial bertujuan untuk membuang semua

faktor lokal yang menyebabkan peradangan gingiva serta pemberian

instruksi dan motivasi pasien dalam melakukan kontrol plak. Terapi


inisial juga disebut sebagai fase etiotropik karena bertujuan untuk

menghilangkan faktor etiologik penyakit periodontal. Beberapa prosedur

yang dilakukan fase I yaitu:

a. Dental Health Education (DHE)

Dental health education yang diberikan pada pasien adalah

mengenai kontrol plak. Instruksi kontrol plak harus dimulai sejak

kunjungan pertama, yaitu penggunaan sikat gigi mencakup metode

menyikat gigi yang benar, frekuensi menyikat gigi, lama menyikat

gigi, sikat gigi yang digunakan dan prinsip penyikatan. Instruksi

kontrol plak yang komperehensif selanjutnya meliputi penggunaan

alat bantu selain sikat gigi yaitu benang gigi maupun pembersih

daerah interdental lainnya. Konseling yang bersifat memotivasi

pasien terhadap faktor resiko yang berpengaruh terhadap penyakit

periodontal (seperti merokok) juga dimulai pada tahap ini (Manson

dan Eley, 2013).

b. Scaling dan Root Planing

Scaling dan root planing untuk menghilangkan kalkulus

termasuk dalam perawatan periodontal tahap awal. Tujuan utama

tindakan ini adalah untuk memperbaiki kesehatan gingiva dengan

cara menghilangkan faktor yang menimbulkan keradangan dari

permukaan gigi. Scaling supragingiva dapat dilakukan dengan

menggunakan scaler manual, alat kuret dan instumen ultrasonik.

Tindakan instrumentasi periodontal dapat direncanakan dalam


beberapa kali kunjungan dan untuk pasien dengan inflamasi yang

parah dan disertai deposit kalkulus yang banyak, tindakan

debridemen seluruh mulut (full-mouth debridement) dapat dilakukan

secara bertahap dalam dua kunjungan atau lebih. Penggunaan

anastesi lokal juga diperlukan bila instrumentasi dilakukan pada sisi

inflamasi yang lebih dalam, selanjutnya dilakukan pemolesan yang

bertujuan untuk menghilangkan permukaan kasar setelah

pembuangan sisa kalkulus supragingiva (Widyastuti, 2009).

c. Menghilangkan Restorasi Gigi yang Overcountur dan Overhanging

Restorasi dengan permukaan yang kasar, overcountur,

overhanging, atau terlalu menekan ke daerah subgingiva dapat

menyebabkan akumulasi bakteri periodontal yang bersifat patogen

sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi gusi, kehilangan

perlekatan epitel dan kehilangan tulang alveolar.Restorasi tersebut

mempengaruhi efektivitaas kontrol plak yang dilakukan pasien

sehingga harus dikoreksi dengan cara penggantian seluruh restorasi

atau mahkota, atau koreksi dengan menggunakan finishing bur.

Untuk restorasi yang overhanging pada daerah subgingiva,

memungkinkan melakukan tindakan flap yang sederhana untuk

memfasilitasi akses akhiran restorasi (Manson dan Eley, 2013).


d. Occlusal Adjustment

Tahapan setelah gigi-gigi menempati posisi yang semestinya,

kemudian dilakukan occlusal adjustment untuk menghilangkan

trauma oklusal serta oral hygiene yang baik (Ismail, 2015).

e. Splinting

Kegoyangan gigi merupakan salah satu gejala penyakit

periodontal yang ditandai dengan hilangnya perlekatan serta

kerusakan tulang vertikal. Salah satu cara untuk mengontrol dan

menstablisasi kegoyangan gigi adalah splinting. Kegoyangan gigi

diklasifikasikan menjadi 3 derajat. Derajat 1 yaitu kegoyangan

sedikit lebih besar dari normal. Derajat 2 yaitu kegoyangan sekitar 1

mm, dan derajat 3 yaitu kegoyangan > 1 mm pada segala arah dan

atau gigi dapat ditekan kearah apikal. Splinting diindikasikan pada

keadaan kegoyangan gigi derajat 3 dengan kerusakan tulang berat

(Fedi et al, 2005).

f. Penghilangan Karies dan Restorasi

Langkah ini meliputi pembuangan karies secara sempurna

kemudian dilakukan penumpatan dengan restorassi sementara atau

restorasi akhir. Kontrol terhadap karies penting karena karies

merupakan sumber infeksi sehingga perlu perawatan untuk

memaksimalkan penyembuhan selama perawatan periodontal fase I.

Karies khususnya pada daerah proksimal dan serikal gigi serta pada

permukaan akar, merupakan daerah reservoir bakteri dan dapat


memberikan pengaruh terhadap re-populasi bakteri plak. Kavitas

yang terbentuk akibat proses karies merupakan wadah yang baik

dimana plak terlindung dari usaha eliminasi secara mekanis. Oleh

karena itu kontrol terhaap karies sangat penting, setidaknya

penumpatan sementara harus diselesaikan dalam terapi fase I

(Widyastuti, 2009).

g. Kontrol Diet

Defisiensi nutrisional tidak menimbulkan penyakit gusi.

Meskipun demikian, bila penyakit akibat plak sudah ada, defisiensi

nutrisi akan mempengaruhi perkembangan penyakit, oleh karena itu

diet yang seimbang sangat diperlukan. Konsumsi gula dalam bentuk

apapun sebaiknya dikurangi (Manson dan Eley, 2013).

h. Evaluasi Respon terhadap Fase Non-Surgical

Jaringan periodontal diperiksa kembali untuk menentukan

kebutuhan perawatan lebih lanjut. Poket periodontal harus diukur

ulang dan seluruh kondisi anatomi dievaluasi untuk memutuskan

perawatan bedah. Perawatan bedah periodontal seharusnya dilakukan

jika pasien sudah dapat melakukan instruksi kontrol plak secara

efektif dan gusi terbesas dari inflamasi (Fedi et al, 2005).

3. Fase II (Surgical Phase)

Fase II disebut juga fase terapi korektif, termasuk koreksi terhadap

deformitas anatomikal seperti poket periodontal, kehilangan gigi dan

disharmoni oklusi yang berkembang sebagai suatu hasil dari penyakit


sebelumnya dan menjadi faktor predisposisi atau rekurensi dari penyakit

periodontal. Berikut ini adalah beberapa prosedur yang dilakukan pada

fase ini:

a. Bedah Periodontal

Perawatan bedah untuk menghilangkan jaringan inflamasi

dapat merangsang terjadinya perbaikan atau regenerasi jaringan yang

mengalami kerusakan. Tindakan yang dapat dilakukan dalam

diantaranya:

1) Kuretase gingiva

Kuretase merupakan tindakan membuang dinding poket

yang mengalami granulasi dan inflamasi yang bertujuan

membersihkan jaringan granulasi dan jaringan inflamasi,

mengurangi kedalaman poket, mengambil papilla interdental

yang rusak untuk mempercepat penyembuhan.

2) Gingivektomi

Gingivektomi merupakan tindakan eksisi gingiva yang

mengalami pembesaran dengan tujuan mengeliminasi poket

akibat pembengkakan gingiva ( Manson dan Eley, 2013).

b. Prosedur Flap Periodontal

Flap didefinisikan sebagai bagian dari gingiva, mukosa

alveolar, atau periosteum yang masih memiliki suplai darah pada

saat diangkat atau dipisahkan dari gigi dan tulang alveolar. Flap
periodontal didesain untuk mencapai satu atau beberapa tujuan

sebagai berikut:

1) Memberikan akses untuk melakukan detoksifikasi akar

2) Mengurangi poket yang meluas melebihi mukogingiva

3) Menghilangkan atau mempertahankan daerah gingiva cekat

yang cukup

4) Membuka akses untuk mencapai tulang di bawahnya, untuk

merawat kelainan tulang

5) Memudahkan prosedur regeneratif (Fedi et al, 2005).

c. Rekonturing Tulang

Rekonturing tulang merupakan prosedur yang dirancang untuk

memperbaiki dan membentuk kembali kelainan bentuk pada tulang

yang mengelilingi gigi (Fedi et al, 2005).

d. Bone and Tissue Graft

e. Pemasangan implant

4. Fase III (Restorative Phase)

Fase dengan tahapan pembuatan restorasi tetap dan alat prostetik

yang ideal untuk gigi yang hilang, serta evaluasi respon terhadap terapi

fase III dengan pemeriksaan periodontal (Carranza et al., 2012).

5. Fase IV (Manintenance Phase)

Fase IV dilakukan untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada

penyakit periodontal sehingga perlu dilakukan kontrol secara periodik.

Beberapa prosedur dalam fase ini adalah sebagai berikut:


a. Riwayat medis dan riwayat kesehatan gigi pasien

b. Re-evaluasi kesehatan periodontal setiap 6 bulan dengan mencatat

skor plak

c. Ada tidaknya inflamasi gingiva, kedalaman poket dan mobilitas gigi

d. Melakukan radiografi untuk mengetahui perkembangan periodontal

dan tulang alveolar tiap 3 atau 4 tahun sekali

e. Scaling dan root planing tiap 6 bulan sekali, tergantung dari

efektivitas kontol plak pasien dan kecenderungan pembentukan

kalkulus

f. Aplikasi tablet fluoride secara topikal untuk mencegah karies

(Kiswaluyo, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Carranza, F.A., Newman, M.G., Takei, H.H., Klokkevoid P.R., 2012,


Carranza’sClinical Periodontology 11th Ed., Saunders Elsevier,China.

Fedi, P.F., Vernino, A.R., Gray, J.L., 2005, Silabus Periodonti, EGC, Jakarta.

Holmstrup, P., Plemons, J., Meyle., 2018, Non-Plaque-Induced Gingival Disease,


Journal of Periodontology, 89(1):S28-S45.

Ismail, A.K., 2015, Penatalaksanaan Ekstrusi Gigi Incisivus Lateral Pada Kasus
Pathologic Tooth Migration Periodontitis Kronis Dengan Menggunakan
Splint Fixed Appliance, Odonto Dental Jurnal, 2(2):22-24.

Kiswaluyo, 2013, Perawatan Periodontitis pada Puskesmas Sumbersari,


Puskesmas Wuluhan dan RS Bondowoso, Jurnal Kedokteran Gigi Unej,
10(3):115-120.

Li, X., Kolltveit, K.M., Tronstad, L., Olsen I., 2000, Systemic Disease Caused by
Oral Infection, Clinical Microbiology Reviews, 13(4):547-558.

Langlais R.P., Miller C.S., Nield-Gehrig J.S., 2013, Atlas Berwarna Lesi Mulut
yang Sering Ditemukan.4rd ed. EGC, Jakarta.

Louisa, M., Yunarti, S., 2015, Lesi Endoperio, Makasar Dent J., 4(3):83-90.

Manson, J.D., Eley, B.M., 2013, Buku Ajar Periodonti, Hipokrates, Jakarta.

Murakami, S., Mealey, B.L., Mariotti, A., Chapple, I.L.C., 2018, Dental Plaque-
Induced Gingival Conditions, Journal of Clinical Periodontology,
45(20):S17-S27.

Rini, T.C., Rusyanti, Y., 2016, Terapi Kedaruratan Penyakit Periodontal,


Prosiding Dies Natalis 57 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Padjajaran, 24 September 2016, Bandung.

Suproyo, 2009, Penatalaksanaan Penyakit Jaringan Periodontal, Kanwa


Publisher, Yogyakarta.
Widyastuti, R., 2009, Periodontitis: Diagnosis dan Perawatannya, Jurnal Ilmiah
Teknologi Kedokteran Gigi, 9(6): 32-35.
Wiebe, C.B., Putnins, E.E., 2000, The Periodontal Disease Classiication System
of the American Academy of Periodontology – An Update, Journal of
the Canadian Dental Association, 66(11):594-597.

Anda mungkin juga menyukai