Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH MAHASISWA

SEMESTER I
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT

STOMATITIS AFTOSA REKUREN

DISUSUN OLEH:
1. Nirwan Setiadi 2020.07.2.0059
2. Nisa Fitriani 2020.07.2.0060
3. Novita Siandy 2020.07.2.0061
4. Nur Anisa Kurnia Putri 2020.07.2.0062

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
DEFINISI

Kelainan yang umum terjadi dan ditandai dengan ulkus yang berulang pada mukosa mulut
pasien tanpa adanya pengaruh dari suatu penyakit sistemik (Glick, 2015). RAS juga dikenal
dengan istilah apthae atau cancer sores yang merupakan penyakit mukosa mulut yang paling
sering terjadi. Karakteristik dari penyakit ini selain ulser yang terjadi berulang dan menyakitkan
pada rongga mulut, SAR juga berbetuk bulat atau oval dan dikelilingi warna kemerahan akibat
inflamasi (Merlina dkk, 2019).

EPIDEMIOLOGI

Stomatitis aphthous mempengaruhi semua kelompok umur, dari muda sampai tua tetapi
dewasa muda dan wanita lebih terpengaruh. Waktu yang berlalu antara pengulangan sangat
bervariasi, beberapa pasien yang menderita SAR hampir terus-menerus sedangkan ada juga
yang terjadi beberapa bulan kemudian ataupun beberapa tahun kemudian. SAR mempengaruhi
sekitar 20% dari populasi umum, tetapi jika ada kelompok etnis atau sosial ekonomi tertentu
perlu dipelajari, kejadian berkisar dari 5% sampai 50% (Glick, 2015). Prevalensi SAR pada
populasi dunia bervariasi antara 5% sampai 66%. SAR paling sering terjadi pada dekade kedua
dan ketiga kehidupan seseorang. Hal ini terbukti pada penelitian Abdullah yang menyebutkan
bahwa terjadi prevalensi SAR paling tinggi pada usia 20-29 tahun, yaitu sebesar 36,28%.
Berdasarkan jenis kelamin SAR lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki
pernyataan ini dukung oleh penelitian Abdullah yang didapatkan banyaknya penderita SAR
berjenis kelamin perempuan, yaitu sebesar 55,4%, sedangkan pada pria hanya sebesar 44,6%
(Sulistiani dkk., 2017).

ETIOLOGI
Etiopatogenesis dari SAR masih belum diketahui sepenuhnya. Akan tetapi terdapat beberapa
faktor yang berperan dalam timbulnya SAR diantaranya faktor genetik, stres, hormonal, dan
trauma lokal (Wulandari dan Setyawati., 2013).
1. Faktor Genetik
Faktor genetik memiliki peran dalam perjalanan penyakit SAR. Pasien dengan riwayat
keluarga positif SAR akan mengalami tingkat keparahan yang lebih berat (40%) dan
kekambuhan yang lebih sering dari pada pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga SAR.
Pengaruh genetik berperan dalam etiologi SAR melalui peningkatan jumlah HLA, terutama
HLA-B12 dan HLA-B51 yang telah ditampilkan memiliki peningkatan prevalensi di SAR
(Ernawati et al., 2010).

2. Stress
Stres mempengaruhi keadaan psikologik termasuk emosi, faktor kognitif, perilaku, yang
dapat memyebabkan sakit. Stres dapat mengaktifkan SSP, respons stres mengakibatkan
hipotalamus mengeluarkan Corticotropic releasing hormone (CRH), CRH menstimulasi kelenjat
pituitari melepas ACTH yang menstimulasi korteks adrenal memproduksi kortisol seperti
Glukokortikoid yang akan menekan fungsi imun seperti SigA, IgG dan neutrophil, sehingga
mengakibatkan proteksi terhadap mikroorganisme menurun, daya tahan jaringan menurun,
sehingga mudah terjadi infeksi (Wowor et al., 2015; Hernawati.,2013).
Penurunan fungsi IgA pada stres akan mempermudah perlekatan mikroorganisme ke
mukosa sehingga mikroorganisme mudah invasi ke mukos ,mikroorganisme juga sulit di fagosit
menyebabkan mudah terjadi infeksi. Penurunan fungsi IgG pada stres akan memudahkan
terjadinya kondisi patologis, karena penurunan fagositosis, toksin dan virus tidak bisa
dinetralisir. Penurunan pada neutrophil dapat menghambat proses fagositosis bakteri
(Hernawati.,2013).

3. Hormonal
Mukosa rongga mulut sensitif terhadap perubahan kadar hormonal. Perubahan kadar
hormon dapat berpengaruh pada perubahan mekanisme sistem imun yaitu antigen, produksi
sitokinin, dan mekanisme apoptosis dari sel yang menyebabkan gangguan pada sistem imun
mukosa rongga mulut. Hal ini yang menyebabkan SAR pada pasien yang sedang mengalami
gangguan hormonal, contohnya menstruasi (Wulandari dan Setyawati., 2013).
4. Trauma local
SAR karena trauma local bisa disebabkan oleh trauma mekanis, yang paling sering
adalah karena tergigit, iritasi gigi tiruan yang tajam, terkena bagian gigi yang patah, tepian
restorasi yang tajam karena kurang baiknya finishing polishing, dan tumpatan yang pecah
(Violetta et al., 2018).

DIAGNOSIS
Stomatitis aftosa rekuren (SAR) berupa ulser nekrotik dengan batas jelas, warna putih
kekuningan, tunggal maupun lebih dari satu, dan dikelilingi erythematous halo. SAR dibagi
menjadi 3 tipe
 SAR minor dengan 1-5 pada mukosa tidak berkeratin tanpa menimbulkan jaringan parut,

 SAR mayor dengan 1-3 pada mukosa berkeratin dan tidak berkeratin yang meninggalkan
jaringan parut.
 SAR herpetiformis dengan 20-100 pada mukosa tidak berkeratin yang meninggalkan jaringan
parut jika ulkus-ulkus menyatu (Sari et al., 2019)

Etiopatogenesis dari SAR masih belum diketahui sepenuhnya. Akan tetapi terdapat
beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya SAR yaitu faktor genetik, infeksi virus atau
bakteri, alergi makanan, defisiensi nutrisi, penyakit sitemik, stres, hormonal, dan trauma lokal.
Faktor etiologi dapat diklasifikasikan menjadi faktor predisposisi dan faktor pencetus. Faktor
predisposisi SAR antara lain yaitu faktor genetik atau hubungan terhadap HLA, hormonal,
disregulasi sistem imun, defisiensi nutrisi, dan penyakit sistemik. Sedangkan faktor pencetus
timbulnya SAR adalah trauma, infeksi, alergi makanan, dan stres.
A. Faktor Predisposisi SAR
1. Genetik
Pasien dengan riwayat keluarga positif SAR akan mengalami tingkat keparahan
yang lebih berat dan kekambuhan yang lebih sering dari pada pasien yang tidak memiliki
riwayat keluarga SAR. Sekitar 40% pasien yang memiliki riwayat keluarga SAR akan
muncul ulkus lebih awal dan keparahan yang lebih berat dibanding pasien yang tidak
memiliki riwayat keluarga SAR. Gen HLA (Human Leukocyte Antigen) menyandi
glikoprotein yang berperan pada pembentukan sistem imun manusia. Fungsi utama
molekul HLA adalah mengenali protein asing dari kuman patogen (disebut dengan
peptide) yang masuk ke dalam tubuh. Reaksi imunitas timbul apabila terjadi reaksi
diantara kedua molekul tersebut. Ketika interaksi tersebut terjadi, komplek protein akan
dibawa ke permukaan sel untuk dapat dikenali oleh sel T sehingga mengakibatkan
timbulnya respon imun. Oleh karena itu, frekuensi dari tipe-tipe molekul HLA tertentu
dapat mempengaruhi keparahan sistem imun pada individu. Pada pasien dengan SAR
yang dibandingkan dengan kelompok sehat, insidensi HLA yang lebih tinggi yaitu HLA-
A33, HLA-B35 dan HLA-B81, HLAB12, HLA-DR7 dan HLA DR5. Selain itu, HLA
dengan subtipe HLA B-515, HLA-B52, HLAB446, HLA-DRW10 and DQW17 antigen
diperkirakan memiliki keterkaitan terhadap timbulnya SAR.
2. Imunologi
Bebrapa studi menyatakan dan membuktikan bahwa pada SAR terjadi immune
dysregulation, yaitu adanya stimulus lokal dan sistemik yang menyebabkan sel-sel epitel
menjadi target aksi sitotoksik limfosit dan monosit sehingga sel tersebut dihancurkan.
Aksi sitotoksik limfosit dan monosit pada sel epitel oral tersebut menyebabkan timbulnya
ulkus pada mukosa mulut. Selain itu, berdasarkan histopatologi pada ulkus SAR
didapatkan infiltrasi berbagai macam sel-sel inflamasi. Pada fase pre-ulseratif dan
penyembuhan didapatkan sel T-helper yang dominan, sedangkan pada fase ulseratif
didapatkan sel T-supressor yang dominan. Terjadinya lesi ulserasi pada RAS diduga juga
melibakan respon imun seluler (cellular mediated immune response) dengan
diproduksinya sel T dan TNF-α serta leukosit lain seperti makrofag dan sel mast. TNF-α
merupakan mediator proinflamasi utama, menginduksi inisiasi proses inflamasi dengan
memberikan efek adhesi pada endotel dan efek kemotaksis pada neutrofil. TNF-α juga
menstimulasi MHC-1 (Major Histocompability Complex class 1).
Peningkatan ekspresi MHC-I dan II telah terdeteksi dalam epitel sel-sel epitel
basal akan tampak pada tahap preulseratif dan ulseratif, karena itu hampir tidak
ditemukan antigen MHC pada masa penyembuhan. Mereka mungkin memainkan peranan
dalam kerusakan jaringan secara lokal dengan menargetkan sel-sel ini untuk dirusak oleh
sel CD8 pada proses ulseratif. Sitokin lain yang berperan adalah interleukin yaitu IL-2,
IL-10, dan NK sel yang diaktivasi oleh IL-2. Sitokin-sitokin seperti IL-2, IL-10, dan
penurunan aktivasi dari sel NK diyakini memiliki pengaruh terhadap timbulnya SAR.
Pada imunopatogenesis SAR, faktor yang paling berpengaruh terhadap timbulnya SAR
dalah respon imun seluler yaitu TNF-α. Sistem imun juga memiliki peran terhadap
timbulnya SAR. Kondisi sistem imun yang abnormal atau menurun dapat mempermudah
perlekatan mikroorganisme ke mukosa sehingga mikroorganisme mudah invasi ke
mukosa dan mikroorganisme juga sulit di fagosit. Sehingga menyebabkan lebih
rentannya untuk terjadi infeksi oleh bakteri.
1. Defisiensi nutrisi
Sebagian penderita SAR diperkirakan mengalami defisiensi vitamin B12. Selain
itu defisiensi hematinik (zat besi, asam folat, vitamin B6 dan B12) juga memiliki
keterkaitan terhadap timbulnya SAR. Pada penelitian didapatkan 20% pasien SAR
mengalami defisiensi hematinik. Zat besi, asam folat, dan vitamin B12 sangat penting
untuk proses eritropoisis. Sel darah merah dalam sirkulasi darah tubuh mengangkut
oksigen ke jaringan bersama haemoglobin yang didapat dari zat besi berada di dalamnya.
Anemia menyebabkan aktivitas enzim-enzim pada mitokondria dalam sel menurun
karena terganggunya transpor oksigen dan nutrisi, sehingga menghambat diferensiasi dan
pertumbuhan sel epitel. Akibatnya proses diferensiasi terminal sel-sel epitel menuju
stratum korneum terhambat dan selanjutnya mukosa mulut akan menjadi lebih tipis oleh
karena hilangnya keratinisasi normal, atropi, dan lebih mudah mengalami ulserasi.
Anemia juga menyebabkan terjadinya kerusakan imunitas seluler, berkurangnya aktivitas
bakterisidal dari leukosit polymorphonuclear, respon antibodi tidak adekuat dan
abnormalitas pada jaringan epitel. Kondisi inisering terjadi pada seseorang yang
menderita defisiensi vitamin B12, folat, dan zat besi.
2. Hormonal
Pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kadar estradiol
penderita SAR, dengan pola menstruasi teratur cenderung normal, sedangkan kadar
progesteron kurang dari normal. Pengaruh ini mungkin disebabkan oleh fluktuasi kadar
estrogen dan progesteron yang reseptornya dapat dijumpai dalam rongga mulut,
khususnya pada gingiva. Pada penderita SAR, dianggap berkurangnya kadar progesteron
hingga 80%, menyebabkan faktor self limiting berkurang, polymorphonuclear leukocytes
menurun, demikian juga permeabilitas vaskuler yang mengalami vasodilatasi oleh karena
pengaruh estrogen, dan menjadi lebih permeabel oleh pengaruh progesteron. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan pada pasien SAR wanita menunjukkan adanya hubungan
antara onset ulkus oral yang mereka alami terhadap siklus menstruasi, kehamilan, dan
dysmenorrhea. Selain itu timbulnya SAR juga dipengaruhi oleh hormon seks.
3. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit sistemik biasanya memiliki manifestasi klinik yg mirip
dengan SAR, penyakit sistemik yg nerhubungan dengan SAR biasanya adalah penyakit
yang disebabkan oleh defisiensi nutrisi atau autoimun seperti anemia, PFAPA, infeksi
HIV, sindrom behcet, sweet syndrome, dan magic syndrome. Selain itu penyakit sistemik
lain yang memiliki hubungan dengan SAR adalah SLE , crohn’s disease, dan celiac
disease. Hasil dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan menyatakan bahwa SAR
lebih sering muncul pada pasien yang memiliki gangguan pada gastro intestinal.
Kebanyakan gangguan tersebut didapati dari penyakit sistemik seperti chronic
inflammatory bowel diseases (Crohn’s disease, ulcerative colitis) dan celiac disease. Hal
tersebut dihubungkan dengan defisiensi nutrisi atau reaksi autoimun yang dialami oleh
pasien dengan penyakit sistemik.

B. Faktor pencetus SAR


1. Alergi makanan
Alergi terhadap beberapa makanan seperti kacang, coklat, kentang goreng, keju,
susu,terigu, gandum, kopi, sereal, almond, stroberi dan beberapa makanan dari tomat
dihubungkan dengan munculnya SAR pada beberapa pasien. Beberapa makanan seperti
coklat, kopi, kacang, sereal, almond, strawberi, keju, tomat, dan tepung yang
mengandung gluten dapat memberikan dampak pada individu tertentu. Selain itu
berdasarkan penelitian didapatkan hubungan antara kenaikan serum IgA, IgE, dan IgG
anti susu sapi pada individu terhadap timbulnya manifestasi klinis SAR. Makanan yang
berbahan dasar tepung diperkirakan juga dapat menyebabkan timbulnya SAR.
Dikarenakan sebagian besar tepung yang digunakan dalam kue ataupun makanan
mengandung gluten yang pada beberapa orang akan mengalami hipersesnitivitas apabila
mengkonsumsinya.
2. Stres psikologis
Secara umum, stres psikologis dapat memicu pelepasan hormon stres misalnya
glukokortikoid dan katekolamin yang pada akhirnya mempengaruhi respons imun
melalui beberapa jalur. Jalur pertama, melalui sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal
(HPA), dengan sintesis corticotropin releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus yang
akan merangsang pelepasan adeno cortico tropine hormone (ACTH) oleh hipofisis
anterior (pituitary), dan stimulasi pelepasan kortikosteroid oleh korteks adrenal.
Kortikosteroid merupakan hormon yang memiliki efek antiinflamasi dan imunosupresi.
Kortisol menghambat leukosit dari sirkulasi ke ekstraseluler, mengurangi akumulasi
monosit dan granulosit di tempat radang, serta menekan produksi beberapa sitokin dan
mediator radang. Pengaruh kortisol terhadap sel imun dimungkinkan karena pada
permukaan makrofag, sel natural killer, dan sel Th terdapat reseptor glukokortikoid.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 1970 dan 1980 menyatakan bahwa glukokortikoid
menghambat proliferasi limfosit dan sitotoksik sehingga menurunkan ekspresi sitokin
proinflamasi dan meningkatkan ekspresi sitokin antiinflamasi. Akan tetapi, penelitian
yang terbaru telah membuktikan bahwak glukokortikoid juga memiliki pengaruh
terhadap sitokin proinflamasi. Pada penelitian tersebut didapatkan pada tikus dengan
kadar kortisol yang tinggi memiliki akumulasi PGE2 yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sitokin antiinflamasi.
Jalur kedua, melalui sumbu simpatiko adrenal medularis (SAM), jalur ini dimulai
dari rangsangan yang diterima di locus ceruleus adrenergic system dalam SSP dan di
bagian medula kelenjar adrenal. Sistem terdiri atas sistem saraf parasimpatis dan
simpatis. Serat praganglion simpatis dan parasimpatis melepaskan neurotransmiter yang
sama yaitu asetilkolin (Ach), sedangkan ujung saraf pascaganglion simpatis melepaskan
noradrenalin atau norepinefrin (NE). Serabut praganglion mempersarafi sel-sel kromafin
medula adrenal yang dapat menghasilkan hormon katekolamin terutama epinefrin dan
norepinefrin. Dikenal 2 jenis reseptor adrenergik yaitu reseptor α-1, 2 dan reseptor β-1
dan 2. Beberapa organ limfoid yaitu monosit dan limfosit, memiliki reseptor adrenergik
di permukaan, sehingga rangsangan terhadap reseptor tersebut oleh norepinefrin dapat
mempengaruhi peran sel imun. Norepinefrin juga dapat meningkatkan produksi IL-6.
Sitokin ini berperan sebagai protein fase akut, serta sangat berperan dalam pertumbuhan
sel plasma untuk membentuk antibodi dan meningkatkan proliferasi sel Th2. Reseptor
beta-adrenergik di permukaan sel Th akan berdiferensiasi menjadi sel Th2 dengan
memproduksi sitokin IL-4, IL-5, dan IL-10, yang sangat berperan dalam reaksi
hipersensitivitas tipe I. Selain itu stimulus stres dapat mempengaruhi SNS untuk
memproduksi NE dan NPY. Norephinephrin meningkatkan fosforilasi MAPKs untuk
memproduksi faktor-faktor inflamasi. Sedangkan neuropetida Y (NPY) dapat
memproduksi TGF-β dan TNFα melalui reseptor Y. Pada imunopatogenesis SAR, yang
memiliki faktor paling berpengaruh terhadap timbulnya SAR dalah respon imun seluler
yaitu TNF-α.
Jalur ketiga, melalui sumbu CRH-sel mast. Banyak faktor yang dapat
mengakibatkan degranulasi sel mast, salah satu di antaranya adalah 14 faktor stresor
psikologis. Hal ini dapat dimengerti karena di permukaan sel mast dijumpai (CRHR-1)
reseptor corticotropin releasing hormone. Kadar kortisol meningkat seiring dengan
meningkatnya stres yang diukur dengan STAI (State Trait Anxiety Inventory). Faktor
psikologis seperti emosi dan stres merupakan faktor pencetus terjadinya SAR, contohnya
stres saat ujian di sekolah atau perkuliahan. Stres psikologis dapat menganggu
homeostasis pada organ-organ dalam tubuh, yang mana hal tesebut berhubungan
timbulnya SAR. Selain itu disfungsi dari saraf otonom juga memiliki peran pada
timbulnya SAR. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa terdapat peningkatan level
dari biomarker inflamasi pada orang yang mengalami depresi atau stres psikologis.
3. Trauma
Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat bicara atau saat mengunyah, kebiasaan
buruk (bruksism), akibat perawatan gigi, makanan atau minuman yang terlalu panas,
suntikan anastesi lokal yang dapat memicu terjadinya inflamasi. Trauma lokal pada oral
dapat memicu timbulnya edem dan inflamasi seluler yang beruhubungan dan
meningkatnya viskositas dari matriks submukosa oral.
4. Infeksi
Infeksi merupakan salah satu faktor pencetus timbulnya rekurensi dari stomatitis.
Mikroorganisme yang paling sering menyebabkan destruksi mukosa oral dan timbulnya
ulkus SAR antara lain adalah Helicobacter pylori, Stresptococus mitis, dan Ebstein-Bar
virus. Beberapa penelitian didapatkan bahwa terdapat kemungkinan adany hubungan
timbulnya SAR dengan Streptococci spesias, yang paling sering adalah Stresptococci
anguis.

PENATALAKSANAAN
Tujuan dari terapi yaitu:

1. Menghilangkan rasa sakit


2. Mempercepat penyembuhan luka
3. Mencegah kekambuhan

Terapi:

1. Eliminasi Penyebab : Suplemen multivitamin, rujuk ke spesialis yang


sesuai
2. SAR Mayor : Chlorhexidine, Kortikosteriod topikal
3. SAR Minor : Multivitamin, Chlorhexidin
4. SAR Herpetiform : Benzydamine, Multivitamin, HCL

DAFTAR PUSTAKA

Glick, M. 2015. Burket’s Oral Medicine 12th ed. People’s Medical Publishing House-USA, pp
73-74.
Marlina, N.M., Sari, N.N.G., & Dewi, I.K. 2018. Perbandingan Efektivitas Ekstrak Daun Sirsak
(Annona Murcita L.) 100% dengan Triamcinolone Acetonide Terhadap Penyembuhan
Recurrent Aphtous Stomatitis Minor. Proceeding Book. 539-544
Sulistiani, A., Hernawati, S., Mashartini, A.P. 2017. Prevalensi dan Distribusi Penderita
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) di Klinik Penyakit Mulut RSGM FKG Universitas
Jember pada Tahun 2014 (Prevalence and Distribution of Patients Recurrent Aphthous
Stomatitis (RAS) in Oral Medicine Departement of Dental. Pustaka Kesehatan. 5(1): 169-
176.
Hernawati, S. (2014). Mekanisme selular dan molekular stres terhadap terjadinya rekuren aptosa
stomatitis. Jurnal PDGI, 63(1), 36-40.
Wulandari, E. A. T., & Setyawati, T. (2013). Tata Laksana SAR Minor untuk Mengurangi
Rekurensi dan Keparahan. Journal of Dentistry Indonesia, 15(2), 147-154.
Wowor, Y. P., Munayang, H., & Supit, A. (2019). Hubungan Stres dengan Stomatitis Aftosa
Rekuren pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Universitas Sam
Ratulangi. e-GiGi, 7(2).
Ernawati, D. S., Soebadi, B., & Radithia, D. (2010). Human-leukocyte antigen typing in
Javanese patients with recurrent aphthous stomatitis. Dental Journal.(Majalah Kedokteran
Gigi), 43(1), 26-30.
Violeta, B. V., & Hartomo, B. T. (2020). Tata Laksana Perawatan Ulkus Traumatik pada Pasien
Oklusi Traumatik: Laporan Kasus. e-GiGi, 8(2).
Sari, R. K., Ernawati, D. S., & Soebadi, B. (2019). Recurrent aphthous stomatitis related to
psychological stress, food allergy and gerd. ODONTO: Dental Journal, 6(1), 45-51. Oashe
CB. 2019. Hubungan Stres Terhadap Timbulnya Stomatitis Aftosa Rekuren Pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang. Thesis. University
of Muhammadiyah Malang. h. 5-15.

Anda mungkin juga menyukai