Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM HEMATOLOGI III

“PEMERIKSAAN SEL LE”

OLEH :
KELOMPOK II

1. Nurhanifa (B1d119090)
2. Yohana Leunupun (B1d119092)
3. Shinta Ainul Fatimah (B1d119094)
4. Nurul Febriani Azizah (B1d119096)
5. Hasmila Hamid (B1d119100)
6. La Rusli (B1d119121)
7. Natasya Azzahra Iskandar (B1d119125)
8. Adriana Makitta (B1d119126)
9. Sevri Rombe Ma’dika (17 3145 353 111)

PROGRAM STUDI DIV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


FAKULTAS TEKNOLOGI KESEHATAN
UNIVERSITAS MEGA REZKY
MAKASSAR
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)
merupakan penyakit in lamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang
sangat beragam.1-9 Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi
dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan
hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam pato isiologi SLE (sudoyo
w aru 2011).
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per
100.000 penduduk,10 dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.
Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah
Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam 12, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung
terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke
poliklinik reumatologi selama tahun 2010 (sudoyo w aru 2011).
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan
mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan
sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti
selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis
sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%,
keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi
klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia
hemolitik 4,8%, dan lesi sub kutaneus akut 6,7%14. Morbititas dan
mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut kesintasan (survival)

1
SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97% 84-95%, 70-
85%, 64-80%, dan 53-64%. Kesintasan 5 tahun pasien SLE di RSCM adalah
88% dari pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat dari tahun
1990-2002 Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE
berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M.
tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang
berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis14,. Mengingat manifestasi
klinis, perjalanan penyakit SLE sangat beragam dan risiko kematian yang
tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang
tepat. Rekomendasi ini dibuat dengan tujuan agar kualitas penatalaksaan
pasien SLE menjadi lebih baik, yakni penyakit SLE lebih mudah didiagnosis
khususnya oleh sejawat dokter umum pada pusat pelayanan kesehatan primer
dan sebagai panduan untuk semua dokter atau profesi lain yang terlibat pada
pengobatan SLE. dokter ahli penyakit dalam. Setelah diagnosis ditegakkan
dan terapi diberikan oleh dokter konsultan reumatologi / ahli penyakit dalam.
Jika derajat penyakit ringan serta keadaan pasien stabil pemantauan
selanjutnya dapat dilakukan oleh dokter umum. Semua pasien SLE perlu
dilakukan pemeriksaan secara berkala oleh dokter konsultan reumatologi / ahli
penyakit dalam. Dokter keluarga dapat dilibatkan bersama-sama dokter ahli
penyakit dalam dalam pemantauan aktivitas penyakit. Pada SLE derajat
moderat dan berat pemantauan dan pemberian terapi diberikan oleh dokter
ahli penyakit dalam/konsultan reumatologi. Seiring dengan meningkatnya
kewaspadaan serta pengetahuan dokter terhadap SLE diharapkan prognosis
pasien SLE di Indonesia akan menjadi lebih baik (sudoyo w aru 2011).

B. Tujuan
Untuk mengetahui adanya factor LE dalam darah

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Sel LE
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau systemic lupus erythematosus
merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat
beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta
lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi LES. Penyakit autoimun, juga
disebut penyakit jaringan ikat, memiliki manifestasi multi-organ(Julian 2010).
Menurut (Mutushamy 2017), Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah
penyakit autoimun multisystem di mana organ, jaringan, dan sel mengalami
kerusakan yang dimediasi oleh autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks
imun. Gambaran klinis SLE dapat berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit
maupun keterlibatan organ. Imunopatogenesis SLE kompleks dan sejalan dengan
gejala klinis yang beragam. Tidak ada mekanisme aksi tunggal yang dapat
menjelaskan seluruhkasus, dan kejadian awal yang memicunya masih belum
diketahui. Sesuai dengan teori, pada kasus ini juga terdapat penglibatan
multisystem yaitu system mukokutan (malarrash), muskolos keletan (arthritis),
hematology (anemia), neurology (serebri) danginjal (nefritis).
B. Epidemiologi
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Di
AS,angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi, namun
didapatkan angka yangberbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras, seperti kaum
kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan Hispanik, berisiko lebihtinggi
terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih parah. PrevalensiSLE di
seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS; penyakit ini kelihatannya
lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di antara keturunan kulit
hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada keturunan kulit hitam di Afrika.

3
SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering dimulai pada usia dekade
kedua hingga keempat; beberapa studi menunjukkan puncak kedua kasus baru
pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis kelamin cukup jelas; SLE berkembang
pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat daripada pria dengan usia
yang sama (Mutushamy 2017).
C. Faktor Genetik
SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel
HLADRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan
gen, pengaruh hormonal, dan factor lingkungan, menghasilkan respons imun
abnormal. Responsimun mencakup hiper reaktivitas dan hiper sensitivitas limfosit
T dan B dan regulasi antigen dan respons antibodi yang tidak efektif. Hiper
reaktivitas sel T dan B ditandai dengan peningkatan ekspresi molekul permukaan
seperti HLA-D dan CD40L, menunjukkan bahwa sel mudah teraktivasi oleh
antigen yang menginduksi sinyal aktivasi pertama dan oleh molekul yang
mengarahkan sel ke aktivasi penuh melalui sinyal kedua. Hasil akhir anomali ini
adalah produksi autoantibodi patogen dan pembentukan kompleks imun yang
mengikat jaringan target, menghasilkan (1)sekuestrasi dan destruksi Ig-coated
circulating cells; (2) fiksasi dan cleaving protein komplemen, dan (3) pelepasan
kemotaksin, peptida vasoaktif, dan enzim destruktif kejaringan. Banyak auto
antibody pada orang dengan SLE yang ditujukan pada kompleks DNA/protein
atau RNA/protein seperti nukleosom, beberapa jenis RNA nukleus, dan RNA
spliceosomal. Selama apoptosis antigen bermigrasi ke permuka andan fosfolipid
membran berubah orientasi sehingga bagian antigen menjadi dekat dengan
permukaan. Molekul intrasel yang meningkat selama aktivasi atau kerusakan sel
bermigrasi ke permukaan sel. Antigen yang dekat dengan atau terdapat di
permukaan sel ini dapat mengaktivasi sistem imun untuk menghasilkan
autoantibodi. Pada individu dengan SLE, fagositosis dan penghancuran sel
apoptotik dan kompleks imun tidak mumpuni. Jadi, pada SLE, antigen tetap
tersedia; dipresentasikan dilokasi yang dikenali oleh sistem imun; dan antigen,

4
autoantibodi, dan kompleks imun bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama,
memungkinkan kerusakan jaringan terakumulasi pada titik kritis. Sejak hampir 50
tahun yang lalu telah dikenali suatu antibodi yang melawan konstituen sel normal.
Antibodi ini dapat ditemukan dalam serum pasien dengan lupus. Serum pasien
dengan lupus dapat dikenali dari keberadaan antibodi di serum terhadap antigen
nucleus (anti nuclear antibodies, atau ANA). Selain ANA, masih terdapat
autoantibodi lain yang dapat dapat ditemukan pada pasien dengan SLE, misalnya
anti-dsDNA, anti-Sm, anti-Ro, dan lain-lain (Mutushamy 2017).
D. Pengaru Hormonal
Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai penyebab
SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia
produktif, peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang sedikit
lebih tinggi padawanitapascamenopauseyangmenggunakansuplementasi estrogen.
Walaupun hormon seks steroid dipercaya sebagai penyebab SLE, namun studi
yang dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan bahwa pemberian kontrasepsi
hormonal oral tidak meningkatkan risikoterjadinya peningkatan aktivitas penyakit
padawanitapenderitaSLEyangpenyakitnya stabil (Mutushamy 2017).
E. Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan
fase puncak(flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi
kematian sel secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan
oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering
ditemukan pada manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan
yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas
autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat
menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan generasi
kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan
mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung
menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel

5
hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon
untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis
tidak hanya terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada
berbagai penyakit, termasuk SLE .Jadi, berbagai stimulusdapat memprovokasi
puncak penyakit (Mutushamy 2017).
F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada
suatu waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai
tambahan, perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi
dari ringan ke sedang hingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena
perbedaan multi sistem dari manifestasi klinisnya, lupus telah menggantikan
sifilis sebagai greati mitator (Mutushamy 2017).

6
BAB III
METODE PEMERIKSAAN
A. Metode
Mikroskopik cara megath dan winkle ( modivikasi dari zimmer dan Hargraves)
B. Prinsip
Darah beku yang dibiarkan dalam suhu ruang selama 2 jam kemudian
dihancurkan dengan menggunakan sarin gan kawat. Trauma yang ditimbulkan
dengan menekan darah melewati saringan menyebabkan inti sel teretrusi dari sel-
sel polimorfonuklear. Adanya factor LE dalam darah menyebabkan material inti
tersebut lisis sehingga akan difagositosis oleh sel netrofil membentuk sel LE
C. Alat dan Bahan
1. Alat
 Inkubator/waterbath suhu 37ºC
 Saringan yang terbuat dari kawat tembaga dengan 30 kawat/inci
 Mortar dan stamper
 Tabung witrobe 3-4 buah
 Pipet Pasteur dengan tip yang panjang dan cukup tipis untuk mengisi
atau mengambil buffy coat dari tabung wintrobe
 Sentrifuge
 Obyek glass
 saringan
2. Bahan
Darah Vena
D. Prosedur Kerja
1. 8 ml dara vena segar dibiarkan membeku dalam tabung kering dan bersih,
kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam atau pada suhu 37ºC
selama 30 menit.
2. Pisahkan bekuan dari serum, lalu saring bekuan tersebut (digerus) melalui
saringan kawat.

7
3. Bahan yang telah melalui saringan kawat dimasukkan kedalam tabung
wintrobe (gunakan pipet Pasteur bilah perlu).
4. Sentrifus bahan tersebut selama 10 menit dengan kecepatan 2000 rpm
5. Buang serum yang terlihat, ambil buffy coat yang terbentuk untuk membuat
sediaan.
6. Keringkan sediaan lalu pulaslah dengan menggunakan pewarna giemsa.
7. Periksa sediaan pada mikroskop, sel LE adalah neutrofil yang mengandung
bulatan (massa homogeny) dalam sitoplasmanya. Biasanya inti dari neutrofil
tersebut akan terdapat pada salah satu sisi sel dan terlihat seperti
menyelimuti material/massa homogeny tersebut.
8. Nilaai normal : Negatif

8
BAB IV

PEMBAHSAN

Pada pasien ini didiagnosa sebagai SLE karena memenuhi kriteria diagnosis
SLE yaitu lebih dari pada 4 kriteria dari pada 11 kriteria yang dinyatakan diatas.
Kriteria Kriteria yang telah dipenuhi oleh pasien ini adalah malarrash pada bagian
wajah, foto sensitivitas (kemerahan yang memberat dengan eksposur pada cahaya
matahari), non-erosivearthritis pada sendi lutut, renal disorder (protein diuria
sebanyak 25,00mg/dl), hematologi disorder (anemia), neuropsychiatry disorder
(lupusserebri) danp enemuananti-nucleartest, ANA yang positif. Pasienini memenuhi
7 dari pada 11 kriteria diagnosis sehingga boleh digolongkan dalam kategori definite
SLE.

Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah
mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau
tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan tidak
membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang intermitten.
Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ dalam
membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan
lain yang menekan system imunitas. Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat
selama penyakitnya aktif. Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk
adalah faktor yang signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan
SLE. Hal ini memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan
kualitas tidur. Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot
dan luas gerakandari persendian

9
DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanti A.K.N 2018., Pemeriksaan LE CELL., kementrian kesehatan repoblik


Indonesia politeknin kesehatan denpasar jurusan analis kesehatan.

Julian 2010 Lopus eritema Tosus sistemik dengan manifestasi kutan wideapreat
discoid lopus eritomatosus. Laporan kusus

Mutushamy 2017, Systemik lupus erythematous (Sle)

sudoyo w aru 2011, Diagnosis Dan Pengelolaan Lopus Eritematosus Sistemik.

10

Anda mungkin juga menyukai