FARMAKOTERAPI III
Disusun oleh:
Kelas/Kelompok: C-2020/08
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2023
A. Definisi
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau penyakit seribu wajah adalah
penyakit inflamasi sistemik autoimun prototipe kronis yang ditandai dengan produksi
antibodi terhadap komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang
luas meliputi hampir semua organ dan jaringan (Mok et al, 2003). Inflamasi akibat Lupus
dapat menyerang berbagai bagian tubuh misalnya kulit, sendi, sel darah, paru-paru,
jantung, dan sebagainya (Pusdatin, 2017). Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai
adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang lebih berat, SLE bisa
menyebabkan nefritis, masalah neurologi, anemia, dan trombositopenia.
Istilah dari Systemic Lupus Erythematosus sendiri telah diperkenalkan oleh dokter
pada abad ke-19 untuk menggambarkan lesi di kulit, namun membutuhkan waktu hampir
100 tahun untuk akhirnya menyadari bahwa penyakit ini bersifat sistemik pada beberapa
organ tubuh yang disebabkan respon autoimun yang menyimpang (Tsokos, 2011). Pada
SLE, sistem kekebalan tubuh (sistem imun) menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri
dan menyebabkan peradangan serta kerusakan jaringan/organ tubuh. Namun, Penyakit ini
belum diketahui dengan pasti penyebabnya karena sistem imun penderita lupus akan
menyerang sel jaringan dan organ sehatnya sendiri. Namun terdapat beberapa faktor yang
diduga menjadi faktor resiko dari SLE, yaitu faktor genetik, lingkungan, regulasi sistem
imun, hormonal, dan epigenetik (Bartels et al., 2013).
B. Epidemiologi
Epidemiologi meliputi prevalensi, insiden, faktor resiko, dan distribusi geografis
dari SLE. Di Indonesia, SLE masih tergolong penyakit yang awam, namun tidak berarti
bahwa tidak ada orang yang menderita penyakit SLE. Prevalensi penyakit ini ∓ 20-150
kasus per 100.000 populasi di seluruh belahan dunia. Menurut data Pusdatin Kemenkes
RI tahun 2016, di Indonesia terdapat 1.250.000 pengidap SLE dengan prevalensi sekitar
0.5%. Secara umum Prevalensi SLE lebih tinggi pada wanita usia reproduksi (15-50
tahun) terutama pada wanita dengan karakteristik bukan kulit putih, misalnya kulit sawo
matang dengan rasio 9:1 untuk wanita:pria.
Tingkat insidensi penyakit SLE bervariasi di seluruh dunia, tapi mayoritas diderita
oleh populasi keturunan Afrika atau Asia dengan usia puncak insiden terjadi pada usia
15-40 tahun, dengan 0.3 hingga 23.7 per 100.000 orang pertahun.
Faktor-faktor yang meningkatkan risiko terkena penyakit SLE adalah:
1. Jenis kelamin, karena lupus cenderung lebih banyak ditemukan pada perempuan
dibandingkan laki-laki dengan rasio 2:1 hingga 15:1.
2. Sering berjemur atau terpapar sinar matahari dalam waktu yang lama.
3. Memiliki riwayat penyakit autoimun.
4. Minum obat-obatan tertentu. Penyakit ini dapat dipicu oleh beberapa jenis obat
anti-kejang, obat tekanan darah dan antibiotik. Orang yang memiliki lupus karena
obat biasanya gejalanya hilang ketika mereka berhenti minum obat.
5. Usia, meskipun SLE dapat terjadi pada orang-orang dari segala usia, namun yang
paling sering didiagnosis antara usia 15 dan 40 tahun. Penyakit SLE cenderung
lebih parah jika terjadi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa dengan
insiden tinggi ruam malar, nefritis, perikarditis, kelainan hematologi dan
hepatosplenomegali. Akan tetapi penyakit ini cenderung memiliki onset yang
lebih berbahaya pada orang tua karena memiliki risiko keterlibatan paru-paru dan
serositis serta sedikit komplikasi ruam malar, nefritis, dan neuropsikiatri.
6. Berdasarkan etnis, Tingkat kejadian SLE lebih tinggi pada orang kulit hitam
daripada populasi kulit putih. Insiden SLE penduduk berkulit hitam adalah
31,9/100.000 penduduk/tahun, Asia 0,9-4,1/100.000 penduduk/tahun, dan
Kaukasia adalah 0,3-4,8/100.000 penduduk/tahun. Kejadian SLE pada orang yang
bukan kulit putih karena cenderung memiliki onset yang lebih awal, penyakit
yang lebih parah, dan tingkat kematian lebih tinggi tetapi perlu dilakukan analisis
lebih lanjut terkait dengan faktor sosial ekonomi dan akses ke perawatan medis
selain terkait dengan warna kulit (DiPiro, 2020).
Distribusi geografis SLE dapat ditemukan di seluruh belahan dunia, namun SLE
tertinggi ditemukan di Amerika Utara dengan Insiden sebesar 23,2/100.000
penduduk/tahun dan prevalensi sebesar 241/100.000 penduduk (Pons-Estel, et al., 2017).
C. Etiologi
Belum diketahui secara pasti etiologi dari penyakit SLE ini, namun terdapat beberapa
faktor yang berperan dalam patogenesis SLE seperti :
1. Genetik
Insiden kejadian SLE meningkat pada keluarga yang anggotanya
menderita SLE. Kerabat tingkat pertama pasien SLE memiliki resiko terkena
SLE 20 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan populasi umum. Kurang lebih
10% pasien penderita SLE memiliki kerabat yang menderita penyakit serupa.
Predisposisis genetik dari SLE adalah hasil kombinasi yang dihasilkan oleh satu
gen abnormal meskipun hal tersebut merupakan kasus yang jarang terjadi (DiPiro,
2020).
Sejumlah kombinasi ekspresi varian gen berhubungan dengan manifestasi
klinis SLE. Pada individu sehat, misal komponen komplemen C1q mengeliminasi
buangan sel nekrotik (bahan apoptotik). Namun, pada pasien SLE, defisiensi
komponen C1q menimbulkan ekspresi penyakit, yaitu dengan produksi STAT4
yang merupakan faktor genetik yang memiliki risiko untuk terjadinya rheumatoid
arthritis dan SLE, berhubungan dengan SLE berat (STAT4 merergulasi T cell
inflammatory cytokine (IFN-γ, IL-17, and IL-21) yang memacu terjadimya SLE
pada manusia dan tikus (Tanzilia, et al., 2021).
2. Hormonal
Jika ditinjau dari sudut pandang ini (pengaruh hormon), wanita memiliki resiko
10 kali lebih tinggi untuk terkena SKE dibandingkan dengan pria. Resiko yang
lebih tinggi pada wanita tersebut disebebakan oleh adanya pengaruh dari hormon
esterogen yang menstimulasi sel T CD8+, sel CD4+, sel B, makrofag, limfosit,
dan STAT4 yang akan menstimulasi munculnya SLE dalam tubuh. Selain itu,
hormon esterogen dan prolaktin juga berperan dalam meningkatkan autoimunitas,
meningkatkan produksu faktor aktivasi sel B, serta memodulasi aktivasi limfosit
dan sel dendritik plasmacytoid (pDC) (Garcia, et al., 2021).
3. Lingkungan
Beberapa kondisi lingkungan berikut memicu terjadinya penyakit SLE antara lain
:
a. Asap rokok
Asap rokok memiliki komponen yaitu hidrazin yang dapat mempengaruhi
sistem kekebalan tubuh dan mampu memicu autoantibodi pada SLE.
b. Sinar UV
Sinar UV dapat meramngsang kekebalan tubuh dan autoantibodi yang
diproduksi oleh sel B. Selain itu, sinar UV dapat menyebabkan timbulnya
ruam kemerahan padawajah penderita SLE.
c. Virus
Virus dapat menjadi salah satu penyebab yangh memicu SLE. Menurut
studi yang telah dilakukan, virus Epsten Barr dapat memiliki pengaruh
potensial dalam memicu SLE. Peningkatan IFN-α pada SLE kemungkinan
besar berhubungan dengan infeksi virus dalam jangka panjang yang tidak
terkontrol. Hal ini dikarenakan virus EBV dapat berinteraksi dengan sel B
dan memicu plasmacytoid dendritic cells (pDCs) untuk memproduksi IFN.
(Tayem, et al., 2022).
D. Patofisiologi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun multisistem
dimana organ, jaringan, dan sel mengalami kerudsakan yang dimediasi oleh autoantibodi
pengikat jaringan dan kompleks imun. Pada penyakit SLE aktif, jumlah sel plasma yang
menghasilkan autoantibodi meningkat dimana peningkatan tersebut dapat menyebabkan
kerusakan jaringan.
Beberapa autoantibodi dapat memainkan peran dalam patogenesis gambaran
klinis SLE; autoantibodi ini dapat menargetkan Ro/SSA (antigen Ro/Sjögren sindrom A,
kompleks ribonukleoprotein), La/SSB (antigen La/Sjögren sindrom antigen B, protein
pengikat RNA), C1q (subunit dari komponen komplemen C1), Sm (partikel inti),
N-methyl-D-aspartate (NMDA) reseptor (asam amino yang dilepaskan oleh neuron),
fosfolipid, nukleosom (dari debris sel apoptosis), dan histon (inti protein nukleosom).
Autoantibodi dapat hadir selama bertahun-tahun sebelum SLE terlihat secara klinis dan
dapat dikaitkan dengan keterlibatan organ tertentu, seperti anti-dsDNA, anti-Ro, anti-La,
anti-C1q, dan anti-Sm dengan nefritis lupus, dan anti-NMDA terkait dengan lupus sistem
saraf pusat (CNS) (DiPiro, 2020).
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel
secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen
yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun
dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase
profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan.
Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1)
pembentukan dan generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada
organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara
langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke
sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk
melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya
terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit,
termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.
F. Tatalaksana Terapi
Tatalaksana terapi sistemik lupus erimatosus sistemik pada tulisan ini mengacu
pada rekomendasi oleh Perhimpunan Reumatologi Indonesia tentang Diagnosis dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik tahun 2011 dan 2019.
Pengobatan SLE meliputi edukasi dan konseling, program rehabilitasi medik,
medika mentosa (terapi farmakologi), dan terapi nonfarmakologi. Target tatalaksana
pada SLE adalah mencapai remisi atau lupus low disease activity state (LLDAS) dan
mencegah kekambuhan. Tujuan jangka panjang pengelolaan pasien SLE adalah
mencegah kerusakan organ, menghambat komorbiditas, menghindari atau mengurangi
risiko toksisitas obat, dan menjaga kualitas hidup tetap optimal. Untuk edukasi dan
konseling, pasien SLE baru memerlukan informasi mengenai:
a. Penjelasan mengenai SLE dan organ tubuh yang terlibat
b. Pola hidup sehat
i. Aktivitas fisik dan olahraga yang tepat
Pasien SLE yang memiliki kondisi perbaikan (aktivitas penyakit
lupus tidak tinggi) direkomendasikan untuk tetap melakukan
aktivitas fisik dan olahraga guna mengurangi gejala kelelahan,
gangguan tidur, dan resiko kardiovaskuler.
ii. Kebutuhan nutrisi yang tepat
Pasien harus diberikan nutrisi yang optimal dan kebutuhan
nutrisinya disesuaikan dengan kondisi tiap pasien. Pasien dengan
berat badan berlebih dan beresiko kardiovaskular
direkomendasikan melakukan restriksi kalori, sedangkan pasien
dengan nefritis lupus nutrisinya disesuaikan dengan diet untuk
gangguan ginjal.
c. Kesehatan perempuan (untuk pasien perempuan)
i. Perencaan kehamilan
Perencanaan kehamilan dapat dilakukan setelah 6 bulan atau lebih
berada pada fase remisi guna prognosis yang lebih baik.
ii. Penggunaan obat-obatan bersama kehamilan
- Metotreksat, siklofosfamid, dan mikofenolat harus
dihentikan selama 3 bulan atau lebih sebelum merecanakan
kehamilan.
- OAINS tidak boleh diberikan pada trimester ketiga
kehamilan.
- Hidroksiklorokuin, azatioprin, siklosporin A, dan
takrolimus dengan mempertimbangkan resiko dan
manfaatnya dapat digunakan selama kehamilan.
- Penggunaan obat-obatan SLE pada masa kehamilan harus
berdasarkan konsultasi dengan dokter.
iii. Penapisan keganasan
Penapisan keganasan pada pasien SLE perempuan dilakukan
sesuai rekomendasi pada populasi umum karena resiko keganasan
payudara, ovarium, dan endometrium pada pasien SLE sama
dengan populasi umum.
iv. Metode kontrasepsi
- IUD (Intrauterine Device) → bisa digunakan untuk seluruh
pasien SLE perempuan.
- Kondom ; efektivitas 90%
- Kontrasepsi hormonal kombinasi pada pasien dengan
antibodi antifosfolipid positif harus dihindari
- Pertimbangkan resiko trombosis pasien SLE yang
menggunakan kontrasepsi hormonal yang mengandung
progestin (pil, injeksi, IUD,implan).
d. Hal-hal yang harus dihindari
i. Aktivitas merokok dan paparan asap rokok
ii. Paparan terhadap sinar matahari berlebih
Edukasi penggunaan tabir surya (UV-A,UV-B,SPF30) setidaknya
15 menit sebelum beraktivitas di luar ruangan dan penggunaan
pakaian yang dapat melindungi pasien dari sinar matahari harus
dilakukan.
e. Pemantauan ke dokter
Pasien dengan kondisi penyakit aktif, pemantauan dilakukan lebih
sering dibandingka pasien dengan aktivitas penyakit yang sudah
terkendali. Pada pasien dengan kondisi penyakit aktif, dilakukan
pemantauan setidaknya setiap bulan, sedangkan pada pasien dengan
kondisi terkendali, pemantauan dapat diperpanjang selama tiga bulan.
f. Pengenalan gelaja kekambuhan, efek samping obat, dan penanganan
Tanda-tanda kekambuhan meliputi, demam, penurunan berat
badan, ruam baru, kerontokan rambut yang bertambah, nyeri,
pembengkakan sendi, dan lesi oral baru.
Edukasi keluarga juga diperlukan agar pasien dapat dimengerti dan didukung oleh pihak
keluarganya sehingga pasien mampu mandiri dalam aktivitas hariannya tanpa perlu
khawatir akan stigma negatif akan penyakitnya.
Program berikutnya adalah rehabilitasi medik, yang mana ditekankan kepada
pasien untuk memperhatikan istirahat, terapi fisik, terapi modalitas, dan ortotik. Hal ini
dengan tujuan untuk mempertahankan kestabilan sendi, mengurangi rasa nyeri, serta
menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Selain itu, pasien SLE didorong untuk tetap
aktif secara fisik dan berolahraga. Jenis olahraga yang direkomendasikan, antara lain
berjalan kaki, latihan aerobik ringan, berenang, dan bersepeda. Penggunaan alat khusus
untuk melindungi sendi (splint) dapat digunakan jika dibutuhkan.
Untuk medika mentosa yang dapat diberikan kepada pasien SLE adalah terapi
kortikosteroid sebagai rekomendasi lini pertamanya, dengan tentunya memperhatikan
cara penggunaan, dosis, dan efek samping. Obat-obatan yang lain dapat dilihat melalui
tabel berikut ini,
a. Kortikosteroid
- Kortikosteroid untuk kelainan kulit diberikan secara topikal dengan
memperhatikan potensi kortikosteroid dan sediaannya (tergantung area
kulit). Misalnya pada area kulit yang tipis (wajah), digunakan
kortikosteroid potensi rendah seperti flusinolon 0,01% atau hidrokortison
butirat, dst.
- Kortikosteroid untuk arthtritis adalah kortikosteroid intraartikular (IA).
- Apabila penggunaan kortikosteroid topikal dan artikular tidak memberikan
respon yang baik atau tidak memungkinkan, digunakan kortikosteroid oral
maksimal dua minggu dan diturunkan dosisnya secara cepat dan
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (≤7,5 mg/hari).
b. Antimalaria
Hidroksiklorokuin dan klorokuin diberikan pada semua pasien SLE
kecuali terdapat kontraindikasi.
c. Metotreksat
Selain berperan sebagai steroid-sparing agent, Metotreksat digunakan
untuk mengontrol arthtritis dan ruam kulit pada lupus.
d. OAINS
Digunakan selama beberapa hari atau beberapa minggu sebagai terapi
simptomatik jangka pendek guna mengatasi keluhan nyeri sendi, nyeri
otot, atau demam pada lupus.
Bagan 1. Algoritma penatalaksanaan SLE. Terapi SLE sesuai dengan keparahan manifestasinya.
Keterangan: TR tidak respon, RS respon sebagian, RP respon penuh KS adalah
kortikosteroid setara prednison, MP metilprednisolon, AZA azathioprine, OAINS obat
anti inflamasi steroid, CYC siklofosfamid, NPSLE neuropsikiatri SLE.
Terapi Lain:
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:
1. Intravena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari,
terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemolitik, nefritis,
neuropsikiatri SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter
dengan terapi konvensional.
2. Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopenia, krioglobulinemia dan lupus
serberitis.
3. Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
4. Danazol pada trombositopenia refrakter.
5. Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter
dengan obat lainnya.
6. Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang
berat.
7. Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
8. Dialisis, transplantasi autologous stem-cell.
Sementara itu, untuk terapi nonfarmakologinya dapat disampaikan sebagaimana
pada program rehabilitasi seperti menjaga istirahat, beraktivitas fisik juga berolahraga,
mencukupi dan menjaga kebutuhan nutrisi, serta menghindari paparan sinar matahari
yang berlebihan.
G. Monitoring Terapi
Monitoring dilaksanakan terhadap aktivitas dan keparahan dari lupus serta terjadinya efek
obat yang tidak diinginkan. Selain itu, hal berikut juga perlu dievaluasi pada pasien yakni
faktor risiko kardiovaskular, komorbiditas, dan resiko infeksi. Pengujian klinis dan lab
harus dilaksanakan setiap 6 - 12 bulan pada pasien dengan inactive SLE dan tanpa
kerusakan organ. Apabila pasien mengalami SLE aktif maka pengecekan dilakukan lebih
rutin (Dipiro dkk., 2020)
Obat Reaksi Obat yang Tidak Parameter Monitoring
Dikehendaki
I. Pembahasan kasus
Profil Pasien
Nama Pasien AT
Agama Islam
Riwayat Pengobatan Celecoxib 1 x 60 mg
Metilprednisolon 1 x 4 mg
Lansoprazole 1 x 30 mg
Menerima vaksin COVID-19 Sinovac yang pertama
Keluhan saat masuk RS - Pasien mengalami kejang 1-2 menit, saat kejang pasien
tidak sadar. Setelah kejang (post kejang) pasien tidak
konek (belum sadar sepenuhnya) dan lemas.
- Sampai di IGD, pasien masih lemas dan agak pusing.
- Nyeri lutut kanan dan bengkak. Keluhan nyeri kaki
kanan sudah menahun.
- Setelah menerima vaksin tidak ada keluhan (demam,
batuk, pilek, mual, muntah, diare, dan
kelemahan/kesemutan anggota badan).
- Pasien merasa rambut sering rontok.
Pasien dirawat inap dari tanggal 3 September 2021 - 9 September 2021 (selama 6 hari).
Pada tanggal 5 September 2021 pasien sempat akan dirujuk ke RS Sardjito tetapi tidak
jadi karena menurut dokter tidak ada kegawatan sehingga dirujuk ke bedah saraf.
3 September
7 September
9 September
3 Sept Pukul 19.18 Pukul 19.18 Pukul 19.18 Pukul 19.18 Pukul 19.18
2021 114/74 104/min 37 20/min 99%
mmHg
4 Sept Pukul 06.54 Pukul 06.54 Pukul 06.54 Pukul 06.54 Pukul 06.54
2021 88/55 mmHg 73/min 36.9 20/min 98%
Pukul 12.56 Pukul 12.56 Pukul 12.56 Pukul 12.56 Pukul 12.56
92/60 mmHg 100/min 37.1 20/min 96%
Pukul 18.54 Pukul 18.54 Pukul 18.54 Pukul 18.54 Pukul 18.54
94/62 mmHg 102/min 36.7 20/min 99%
5 Sept Pukul 06.27 Pukul 06.27 Pukul 06.27 Pukul 06.27 Pukul 06.27
2021 83/54 mmHg 56/min 37 22/min 83/54 mmHg
Pukul 13.42 Pukul 13.42 Pukul 13.42 Pukul 13.42 Pukul 13.42
91/64 mmHg 113/min 37 20/min 91/64 mmHg
Pukul 19.55 Pukul 19.55 Pukul 19.55 Pukul 19.55 Pukul 19.55
96/63 mmHg 80/min 36.9 20/min 96/63 mmHg
Pukul 23.15 Pukul 23.15 Pukul 23.15 Pukul 23.15 Pukul 23.15
81/43 mmHg - 38.3 - 81/43 mmHg
6 Sept Pukul 06.18 Pukul 06.18 Pukul 06.18 Pukul 06.18 Pukul 06.18
2021 89/57 mmHg 87/min 36.2 20/min 100%
Pukul 14.01 Pukul 14.01 Pukul 14.01 Pukul 14.01 Pukul 14.01
100/59 89/min 38 20/min 97%
mmHg
Pukul 19.06 Pukul 19.06 Pukul 19.06 Pukul 19.06 Pukul 19.06
87/46 mmHg 106/min 38.3 20/min 98%
7 Sept Pukul 07.01 Pukul 07.01 Pukul 07.01 Pukul 07.01 Pukul 07.01
2021 102/61 105/min 36.9 20/min 99%
mmHg
Pukul 11.54 Pukul 11.54 Pukul 11.54 Pukul 11.54 Pukul 11.54
99/63 mmHg 91/min 37.5 20/min 98%
Pukul 16.05 Pukul 16.05 Pukul 16.05 Pukul 16.05 Pukul 16.05
88/59 mmHg 113/min 38 19/min 98%
8 Sept Pukul 06.02 Pukul 06.02 Pukul 06.02 Pukul 06.02 Pukul 06.02
2021 90/60 mmHg 87/min 36.9 19/min 98%
Pukul 12.42 Pukul 12.42 Pukul 12.42 Pukul 12.42 Pukul 12.42
111/65 116/min 37.2 20/min 97%
mmHg
Pukul 18.59 Pukul 18.59 Pukul 18.59 Pukul 18.59 Pukul 18.59
103/65 102/min 36.7 20/min 96%
mmHg
9 Sept Pukul 06.06 Pukul 06.06 Pukul 06.06 Pukul 06.06 Pukul 06.06
2021 103/72 83/min 36.9 20/min 97%
mmHg
Pukul 13.45 Pukul 13.45 Pukul 13.45 Pukul 13.45 Pukul 13.45
97/61 mmHg 115/min 37 20/min 98%
Pukul 18.23 Pukul 18.23 Pukul 18.23 Pukul 18.23 Pukul 18.23
106/63 92/min 37.3 19/min 98%
mmHg
Obat Rutin
Obat Pulang
TUGAS
1. Buatlah ANALISIS dengan metode SOAP pada pasien tersebut!
Subjective
SLE - Nyeri lutut kanan dan bengkak. Keluhan nyeri kaki kanan sudah
menahun.
- Rambut sering rontok
- Lemas
- Mengalami kejang
- Perut sakit
- Demam dan hipotensi
- Nyeri kaki tiap pagi
Demam - Demam
Rematik
Objective
Assessment
Plan
Plan
Plan
Kondisi klinik TTV dan lab Kondisi Klinik TTV dan lab
Bartels, C.M., Diamond, H.S., Muller, D., Farina, A.G., Goldberg, E., Hildebrand, J., Lakdawala,
V.S, 2013, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), http://www.emedicine.medscape.com,
diakses pada 16 April 2023 pukul 09.51 WIB.
Dipiro, J.T., Yee, G.C., Posey, L.M., Halnes, S.T., Nolin, T.D., dan Ellingrod, V.L., 2020,
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 11th Edition, The McGraw Hill
Companies, United States of America.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011, Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik (Rekomendasi), https://reumatologi.or.id/reurek/ira/, diakses pada 15 April 2023.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2019, Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik,
https://reumatologi.or.id/reurek/ira/, diakses pada 15 April 2023.
Mok, C. C., & Lau, C. S, 2003, Pathogenesis of systemic lupus erythematosus, Journal of
clinical pathology, 56(7), 481–490. https://doi.org/10.1136/jcp.56.7.481
Pons-Estel, G.J., Ugarte-Gil, M.F., Alarcon, G.S., 2017, Epidemiology of Systemic Lupus
Erythematosus, Expert Ref Clin Immunol, 13(8): 799-814.
Pusdatin, 2017, Situasi Lupus di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Tanzilia, M. F., Tambunan, B., Dewi, N., 2021, Patogenesis dan Diagnosis Sistemik Lupus
Eritematosus, Jurnal Medika, 2 (139).
Tayem, M. G., Shanin, L., Shook, J., Kesselman, M. M., 2022, A review of cardiac manifestation
in patient with systemic lupus erythermatosus and antiphospolipid syndrome with focus
on endocarditis, Cureus, 14 (1).
Tsokos, G.C, ,2011, Systemic Lupus Erythema-Tosus, The New England Journal of Medicine,
365(22), 2110–2121. https://doi.org/10.1056/NEJMra1100359.