Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

FARMAKOTERAPI III

“SLE (Systemic Lupus Erythematosus) si Pembunuh Berdarah Dingin”

Disusun oleh:
Kelas/Kelompok: C-2020/08

NIM Nama Mahasiswa


20/461295/FA/12866 Indira Rahmawati
20/461296/FA/12867 Ityana Farhanah
20/461297/FA/12868 Kareena Prasanti
20/461298/FA/12869 Kumala Alsya Mulia
20/461299/FA/12870 Laili Nurhikma Amalia

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2023
A. Definisi

Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau penyakit seribu wajah adalah
penyakit inflamasi sistemik autoimun prototipe kronis yang ditandai dengan produksi
antibodi terhadap komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang
luas meliputi hampir semua organ dan jaringan (Mok et al, 2003). Inflamasi akibat Lupus
dapat menyerang berbagai bagian tubuh misalnya kulit, sendi, sel darah, paru-paru,
jantung, dan sebagainya (Pusdatin, 2017). Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai
adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang lebih berat, SLE bisa
menyebabkan nefritis, masalah neurologi, anemia, dan trombositopenia.
Istilah dari Systemic Lupus Erythematosus sendiri telah diperkenalkan oleh dokter
pada abad ke-19 untuk menggambarkan lesi di kulit, namun membutuhkan waktu hampir
100 tahun untuk akhirnya menyadari bahwa penyakit ini bersifat sistemik pada beberapa
organ tubuh yang disebabkan respon autoimun yang menyimpang (Tsokos, 2011). Pada
SLE, sistem kekebalan tubuh (sistem imun) menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri
dan menyebabkan peradangan serta kerusakan jaringan/organ tubuh. Namun, Penyakit ini
belum diketahui dengan pasti penyebabnya karena sistem imun penderita lupus akan
menyerang sel jaringan dan organ sehatnya sendiri. Namun terdapat beberapa faktor yang
diduga menjadi faktor resiko dari SLE, yaitu faktor genetik, lingkungan, regulasi sistem
imun, hormonal, dan epigenetik (Bartels et al., 2013).
B. Epidemiologi
Epidemiologi meliputi prevalensi, insiden, faktor resiko, dan distribusi geografis
dari SLE. Di Indonesia, SLE masih tergolong penyakit yang awam, namun tidak berarti
bahwa tidak ada orang yang menderita penyakit SLE. Prevalensi penyakit ini ∓ 20-150
kasus per 100.000 populasi di seluruh belahan dunia. Menurut data Pusdatin Kemenkes
RI tahun 2016, di Indonesia terdapat 1.250.000 pengidap SLE dengan prevalensi sekitar
0.5%. Secara umum Prevalensi SLE lebih tinggi pada wanita usia reproduksi (15-50
tahun) terutama pada wanita dengan karakteristik bukan kulit putih, misalnya kulit sawo
matang dengan rasio 9:1 untuk wanita:pria.
Tingkat insidensi penyakit SLE bervariasi di seluruh dunia, tapi mayoritas diderita
oleh populasi keturunan Afrika atau Asia dengan usia puncak insiden terjadi pada usia
15-40 tahun, dengan 0.3 hingga 23.7 per 100.000 orang pertahun.
Faktor-faktor yang meningkatkan risiko terkena penyakit SLE adalah:
1. Jenis kelamin, karena lupus cenderung lebih banyak ditemukan pada perempuan
dibandingkan laki-laki dengan rasio 2:1 hingga 15:1.
2. Sering berjemur atau terpapar sinar matahari dalam waktu yang lama.
3. Memiliki riwayat penyakit autoimun.
4. Minum obat-obatan tertentu. Penyakit ini dapat dipicu oleh beberapa jenis obat
anti-kejang, obat tekanan darah dan antibiotik. Orang yang memiliki lupus karena
obat biasanya gejalanya hilang ketika mereka berhenti minum obat.
5. Usia, meskipun SLE dapat terjadi pada orang-orang dari segala usia, namun yang
paling sering didiagnosis antara usia 15 dan 40 tahun. Penyakit SLE cenderung
lebih parah jika terjadi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa dengan
insiden tinggi ruam malar, nefritis, perikarditis, kelainan hematologi dan
hepatosplenomegali. Akan tetapi penyakit ini cenderung memiliki onset yang
lebih berbahaya pada orang tua karena memiliki risiko keterlibatan paru-paru dan
serositis serta sedikit komplikasi ruam malar, nefritis, dan neuropsikiatri.
6. Berdasarkan etnis, Tingkat kejadian SLE lebih tinggi pada orang kulit hitam
daripada populasi kulit putih. Insiden SLE penduduk berkulit hitam adalah
31,9/100.000 penduduk/tahun, Asia 0,9-4,1/100.000 penduduk/tahun, dan
Kaukasia adalah 0,3-4,8/100.000 penduduk/tahun. Kejadian SLE pada orang yang
bukan kulit putih karena cenderung memiliki onset yang lebih awal, penyakit
yang lebih parah, dan tingkat kematian lebih tinggi tetapi perlu dilakukan analisis
lebih lanjut terkait dengan faktor sosial ekonomi dan akses ke perawatan medis
selain terkait dengan warna kulit (DiPiro, 2020).
Distribusi geografis SLE dapat ditemukan di seluruh belahan dunia, namun SLE
tertinggi ditemukan di Amerika Utara dengan Insiden sebesar 23,2/100.000
penduduk/tahun dan prevalensi sebesar 241/100.000 penduduk (Pons-Estel, et al., 2017).

C. Etiologi
Belum diketahui secara pasti etiologi dari penyakit SLE ini, namun terdapat beberapa
faktor yang berperan dalam patogenesis SLE seperti :
1. Genetik
Insiden kejadian SLE meningkat pada keluarga yang anggotanya
menderita SLE. Kerabat tingkat pertama pasien SLE memiliki resiko terkena
SLE 20 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan populasi umum. Kurang lebih
10% pasien penderita SLE memiliki kerabat yang menderita penyakit serupa.
Predisposisis genetik dari SLE adalah hasil kombinasi yang dihasilkan oleh satu
gen abnormal meskipun hal tersebut merupakan kasus yang jarang terjadi (DiPiro,
2020).
Sejumlah kombinasi ekspresi varian gen berhubungan dengan manifestasi
klinis SLE. Pada individu sehat, misal komponen komplemen C1q mengeliminasi
buangan sel nekrotik (bahan apoptotik). Namun, pada pasien SLE, defisiensi
komponen C1q menimbulkan ekspresi penyakit, yaitu dengan produksi STAT4
yang merupakan faktor genetik yang memiliki risiko untuk terjadinya rheumatoid
arthritis dan SLE, berhubungan dengan SLE berat (STAT4 merergulasi T cell
inflammatory cytokine (IFN-γ, IL-17, and IL-21) yang memacu terjadimya SLE
pada manusia dan tikus (Tanzilia, et al., 2021).
2. Hormonal
Jika ditinjau dari sudut pandang ini (pengaruh hormon), wanita memiliki resiko
10 kali lebih tinggi untuk terkena SKE dibandingkan dengan pria. Resiko yang
lebih tinggi pada wanita tersebut disebebakan oleh adanya pengaruh dari hormon
esterogen yang menstimulasi sel T CD8+, sel CD4+, sel B, makrofag, limfosit,
dan STAT4 yang akan menstimulasi munculnya SLE dalam tubuh. Selain itu,
hormon esterogen dan prolaktin juga berperan dalam meningkatkan autoimunitas,
meningkatkan produksu faktor aktivasi sel B, serta memodulasi aktivasi limfosit
dan sel dendritik plasmacytoid (pDC) (Garcia, et al., 2021).
3. Lingkungan
Beberapa kondisi lingkungan berikut memicu terjadinya penyakit SLE antara lain
:
a. Asap rokok
Asap rokok memiliki komponen yaitu hidrazin yang dapat mempengaruhi
sistem kekebalan tubuh dan mampu memicu autoantibodi pada SLE.
b. Sinar UV
Sinar UV dapat meramngsang kekebalan tubuh dan autoantibodi yang
diproduksi oleh sel B. Selain itu, sinar UV dapat menyebabkan timbulnya
ruam kemerahan padawajah penderita SLE.
c. Virus
Virus dapat menjadi salah satu penyebab yangh memicu SLE. Menurut
studi yang telah dilakukan, virus Epsten Barr dapat memiliki pengaruh
potensial dalam memicu SLE. Peningkatan IFN-α pada SLE kemungkinan
besar berhubungan dengan infeksi virus dalam jangka panjang yang tidak
terkontrol. Hal ini dikarenakan virus EBV dapat berinteraksi dengan sel B
dan memicu plasmacytoid dendritic cells (pDCs) untuk memproduksi IFN.
(Tayem, et al., 2022).
D. Patofisiologi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun multisistem
dimana organ, jaringan, dan sel mengalami kerudsakan yang dimediasi oleh autoantibodi
pengikat jaringan dan kompleks imun. Pada penyakit SLE aktif, jumlah sel plasma yang
menghasilkan autoantibodi meningkat dimana peningkatan tersebut dapat menyebabkan
kerusakan jaringan.
Beberapa autoantibodi dapat memainkan peran dalam patogenesis gambaran
klinis SLE; autoantibodi ini dapat menargetkan Ro/SSA (antigen Ro/Sjögren sindrom A,
kompleks ribonukleoprotein), La/SSB (antigen La/Sjögren sindrom antigen B, protein
pengikat RNA), C1q (subunit dari komponen komplemen C1), Sm (partikel inti),
N-methyl-D-aspartate (NMDA) reseptor (asam amino yang dilepaskan oleh neuron),
fosfolipid, nukleosom (dari debris sel apoptosis), dan histon (inti protein nukleosom).
Autoantibodi dapat hadir selama bertahun-tahun sebelum SLE terlihat secara klinis dan
dapat dikaitkan dengan keterlibatan organ tertentu, seperti anti-dsDNA, anti-Ro, anti-La,
anti-C1q, dan anti-Sm dengan nefritis lupus, dan anti-NMDA terkait dengan lupus sistem
saraf pusat (CNS) (DiPiro, 2020).
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel
secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen
yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun
dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase
profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan.
Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1)
pembentukan dan generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada
organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara
langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke
sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk
melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya
terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit,
termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.

E. Gejala dan Tanda Klinis


Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2019), terdapat beberapa gejala
yang dapat ditemukan pada pasien SLE diantaranya adalah:
1. Gejala konstitusional seperti kelelahan, demam (tanpa adanya bukti infeksi),
penurunan berat badan
2. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
3. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly/malar rash), fotosensitivitas, lesi membran
mukosa, fenomena Raynaud, purpura, alopesia, urtikaria, dan vaskulitis
4. Paru: kelainan pleura (pleuritis, efusi pleura), lesi parenkim paru (pneumonitis,
alveolitis, bronkiektasis, penyakit interstitial paru), vaskular (hipertensi pulmonal,
emboli pulmonal)
5. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
6. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
7. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindrom nefrotik
8. Retikuloendotelial: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
9. Hematologik: anemia, leukopenia, limfopenia, trombositopenia
10. Neuropsikiatri: kejang psikosis, neuropati kranial dan perifer, sindrom otak
organik, mielitis transversa, gangguan kognitif, dan sefalgia yang tidak diketahui
secara jelas penyebabnya.

F. Tatalaksana Terapi
Tatalaksana terapi sistemik lupus erimatosus sistemik pada tulisan ini mengacu
pada rekomendasi oleh Perhimpunan Reumatologi Indonesia tentang Diagnosis dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik tahun 2011 dan 2019.
Pengobatan SLE meliputi edukasi dan konseling, program rehabilitasi medik,
medika mentosa (terapi farmakologi), dan terapi nonfarmakologi. Target tatalaksana
pada SLE adalah mencapai remisi atau lupus low disease activity state (LLDAS) dan
mencegah kekambuhan. Tujuan jangka panjang pengelolaan pasien SLE adalah
mencegah kerusakan organ, menghambat komorbiditas, menghindari atau mengurangi
risiko toksisitas obat, dan menjaga kualitas hidup tetap optimal. Untuk edukasi dan
konseling, pasien SLE baru memerlukan informasi mengenai:
a. Penjelasan mengenai SLE dan organ tubuh yang terlibat
b. Pola hidup sehat
i. Aktivitas fisik dan olahraga yang tepat
Pasien SLE yang memiliki kondisi perbaikan (aktivitas penyakit
lupus tidak tinggi) direkomendasikan untuk tetap melakukan
aktivitas fisik dan olahraga guna mengurangi gejala kelelahan,
gangguan tidur, dan resiko kardiovaskuler.
ii. Kebutuhan nutrisi yang tepat
Pasien harus diberikan nutrisi yang optimal dan kebutuhan
nutrisinya disesuaikan dengan kondisi tiap pasien. Pasien dengan
berat badan berlebih dan beresiko kardiovaskular
direkomendasikan melakukan restriksi kalori, sedangkan pasien
dengan nefritis lupus nutrisinya disesuaikan dengan diet untuk
gangguan ginjal.
c. Kesehatan perempuan (untuk pasien perempuan)
i. Perencaan kehamilan
Perencanaan kehamilan dapat dilakukan setelah 6 bulan atau lebih
berada pada fase remisi guna prognosis yang lebih baik.
ii. Penggunaan obat-obatan bersama kehamilan
- Metotreksat, siklofosfamid, dan mikofenolat harus
dihentikan selama 3 bulan atau lebih sebelum merecanakan
kehamilan.
- OAINS tidak boleh diberikan pada trimester ketiga
kehamilan.
- Hidroksiklorokuin, azatioprin, siklosporin A, dan
takrolimus dengan mempertimbangkan resiko dan
manfaatnya dapat digunakan selama kehamilan.
- Penggunaan obat-obatan SLE pada masa kehamilan harus
berdasarkan konsultasi dengan dokter.
iii. Penapisan keganasan
Penapisan keganasan pada pasien SLE perempuan dilakukan
sesuai rekomendasi pada populasi umum karena resiko keganasan
payudara, ovarium, dan endometrium pada pasien SLE sama
dengan populasi umum.
iv. Metode kontrasepsi
- IUD (Intrauterine Device) → bisa digunakan untuk seluruh
pasien SLE perempuan.
- Kondom ; efektivitas 90%
- Kontrasepsi hormonal kombinasi pada pasien dengan
antibodi antifosfolipid positif harus dihindari
- Pertimbangkan resiko trombosis pasien SLE yang
menggunakan kontrasepsi hormonal yang mengandung
progestin (pil, injeksi, IUD,implan).
d. Hal-hal yang harus dihindari
i. Aktivitas merokok dan paparan asap rokok
ii. Paparan terhadap sinar matahari berlebih
Edukasi penggunaan tabir surya (UV-A,UV-B,SPF30) setidaknya
15 menit sebelum beraktivitas di luar ruangan dan penggunaan
pakaian yang dapat melindungi pasien dari sinar matahari harus
dilakukan.
e. Pemantauan ke dokter
Pasien dengan kondisi penyakit aktif, pemantauan dilakukan lebih
sering dibandingka pasien dengan aktivitas penyakit yang sudah
terkendali. Pada pasien dengan kondisi penyakit aktif, dilakukan
pemantauan setidaknya setiap bulan, sedangkan pada pasien dengan
kondisi terkendali, pemantauan dapat diperpanjang selama tiga bulan.
f. Pengenalan gelaja kekambuhan, efek samping obat, dan penanganan
Tanda-tanda kekambuhan meliputi, demam, penurunan berat
badan, ruam baru, kerontokan rambut yang bertambah, nyeri,
pembengkakan sendi, dan lesi oral baru.
Edukasi keluarga juga diperlukan agar pasien dapat dimengerti dan didukung oleh pihak
keluarganya sehingga pasien mampu mandiri dalam aktivitas hariannya tanpa perlu
khawatir akan stigma negatif akan penyakitnya.
Program berikutnya adalah rehabilitasi medik, yang mana ditekankan kepada
pasien untuk memperhatikan istirahat, terapi fisik, terapi modalitas, dan ortotik. Hal ini
dengan tujuan untuk mempertahankan kestabilan sendi, mengurangi rasa nyeri, serta
menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Selain itu, pasien SLE didorong untuk tetap
aktif secara fisik dan berolahraga. Jenis olahraga yang direkomendasikan, antara lain
berjalan kaki, latihan aerobik ringan, berenang, dan bersepeda. Penggunaan alat khusus
untuk melindungi sendi (splint) dapat digunakan jika dibutuhkan.
Untuk medika mentosa yang dapat diberikan kepada pasien SLE adalah terapi
kortikosteroid sebagai rekomendasi lini pertamanya, dengan tentunya memperhatikan
cara penggunaan, dosis, dan efek samping. Obat-obatan yang lain dapat dilihat melalui
tabel berikut ini,

Jenis Obat Dosis Jenis Toksisitas Evaluasi Awal

OAINS (obat Tergantung OAINS Perdarahan saluran Darah rutin,


antiinflamasi non cerna, hepatotoksik, kreatinin, urin rutin,
steroid) sakit kepala, AST/ALT
hipertensi, aseptik (aspartate serum
meningitis, transaminase/
nefrotoksik. alanine serum
transaminase).

Kortikosteroid Tergantung derajat Cushingoid, Gula darah, profil


SLE hipertensi, lipid, DXA, tekanan
dislipidemia, darah.
osteonekrosis,
hiperglikemia,
katarak,
osteoporosis.

Klorokuin 250 mg/hari (3,5-4 Retinopati, keluhan Evaluasi mata,


mg/kg BB/hr) GIT, rash, myalgia, G6PD pada pasien
sakit kepala, beresiko.
Hidroksiklorokuin 200-400 mg/ hari
anemia hemolitik
pada pasien dengan
defisiensi G6PD.
Azathioprine 50-150 mg per hari, Mielosupresif, Darah tepi lengkap,
dosis terbagi 1-3, hepatotoksik, kreatinin,
tergantung berat gangguan AST/ALT.
badan. limfoproliferatif.

Siklofosfamid Per oral: 50- 150 Mielosupresif, Darah tepi lengkap,


mg per hari. IV: gangguan hitung jenis
500-750 mg/m2 limfoproliferatif, leukosit, urin
dalam Dextrose 250 keganasan, lengkap.
ml, infus selama 1 imunosupresi,
jam. sistitis hemoragik,
infertilitas sekunder

Metotreksat 7.5 – 20 mg / Mielosupresif, Darah tepi lengkap,


minggu, dosis fibrosis hepatik, foto toraks, serologi
tunggal atau terbagi sirosis, infiltrat hepatitis B dan C
3. Dapat diberikan pulmonal dan pada pasien resiko
pula melalui fibrosis.  tinggi, AST,
injeksi. fungsi hati,
kreatinin.

Siklosporin A 2.5–5 mg/kg BB, Pembengkakan, Darah tepi lengkap,


atau sekitar 100 – nyeri gusi, kreatinin, urin
400 mg per hari peningkatan lengkap, fungsi
dalam 2 dosis, tekanan darah, hati.
tergantung berat peningkatan
badan. pertumbuhan
rambut, gangguan
fungsi ginjal, nafsu
makan menurun,
tremor.
Mikofenolat mofetil 1000 – 2.000 mg Mual, diare, Darah tepi lengkap,
dalam 2 dosis. leukopenia. feses lengkap.

*Terapi pendamping (sparing agent) dapat digunakan untuk memudahkan menurunkan


dosis kortikosteroid, mengontrol penyakit dasar, dan mengurangi efek samping KS. Obat
yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah azatioprin, mikofenolat mofetil,
siklofosfamid, dan metotreksat

Berikut adalah pengobatan SLE berdasarkan aktivitas penyakitnya,

a. Pengobatan SLE Ringan

Obat-obatan pada SLE derajat ringan yang dapat digunakan adalah


antimalaria, kortokosteroid, OAINS, metotreksat, dan tabir surya.

a. Kortikosteroid
- Kortikosteroid untuk kelainan kulit diberikan secara topikal dengan
memperhatikan potensi kortikosteroid dan sediaannya (tergantung area
kulit). Misalnya pada area kulit yang tipis (wajah), digunakan
kortikosteroid potensi rendah seperti flusinolon 0,01% atau hidrokortison
butirat, dst.
- Kortikosteroid untuk arthtritis adalah kortikosteroid intraartikular (IA).
- Apabila penggunaan kortikosteroid topikal dan artikular tidak memberikan
respon yang baik atau tidak memungkinkan, digunakan kortikosteroid oral
maksimal dua minggu dan diturunkan dosisnya secara cepat dan
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (≤7,5 mg/hari).
b. Antimalaria
Hidroksiklorokuin dan klorokuin diberikan pada semua pasien SLE
kecuali terdapat kontraindikasi.
c. Metotreksat
Selain berperan sebagai steroid-sparing agent, Metotreksat digunakan
untuk mengontrol arthtritis dan ruam kulit pada lupus.
d. OAINS
Digunakan selama beberapa hari atau beberapa minggu sebagai terapi
simptomatik jangka pendek guna mengatasi keluhan nyeri sendi, nyeri
otot, atau demam pada lupus.

b. Pengobatan SLE Sedang


- Prednisolon oral dengan dosis lebih tinggi dibandingkan penggunaan pada
SLE derajat ringan, yaitu ≤ 0,5 mg/kgBB/hari atau metilprednisolon IV (≤
250 mg selama 1 - 3 hari) dilanjutkan dengan prednisolon oral ≤ 0,5
mg/kgBB/hari. Dosis kortikosteroid kemudian diturunkan bertahap sesuai
perbaikan penyakit sampai pada dosis terendah (≤ 7,5 mg/hari) atau
dihentikan jika efek steroid sparing agent telah muncul dalam beberapa
minggu/bulan.
- Kortikosteroid diberikan bersama immunosupresan dan antimalaria
(steroid-sparing agent) guna mengontrol aktivitas penyakit.
- Metotreksat, azatioprin, mofetil mikofenolat, asam mikofenolat,
siklosporin, dan penghambat kasinerurin lainnya (takrolimus) merupakan
imunosupresan yang dapat digunakan untuk terapi SLE.
- Belimumab atau rituksimab dapat dipertimbangkan pada kasus refrakter.
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
- Pasien SLE derajat berat membutuhkan investigasi menyeluruh untuk
mengekslusi etiologi lain, termasuk infeksi dan tatalaksana terapinya
tergantung etiologi tersebut (imflamasi dan/atau trombosis,
immunosupresan dan/atau antikoagulan).
- Imunosupresan yang diguankan adalah metilprednisolon intravena atau
prednisolon oral (≤ 1 mg/kgBB/hari atau setara).
- Pada kasus nefritis dan lupus non-real yang refrakter digunakan
mikofenolat atau siklofosfamid.
- Apabila pasien tidak merespon pada pemberian imunosupresan, dapat
dipertimbangkan penggunaan terapi biologis seperti belimumab atau
rituksimab.
- Pada pasien dengan sitopenia refrakter, thrombotic thrombocytopenic
purpura (TTP), neuropsychiatric systemic lupus erythematosus (NPSLE)
yang progresif ata refrakter, dan APS katastrofik dapat dipertimbangkan
penggunaan imunoglobulin intravena dan plasmaferesis.

Tabel 5.1 Tatalaksana LES Nonrenal berdasarkan derajatnya

LES Derajat Ringan LES Derajat Sedang LES Derajat Berat

Terapi Awal Prednisolon oral ≤ 20 Prednisolon ≤ 0,5 Prednisolon ≤ 0,5


mg/hari selama 1 - 2 mg/kgBB/hari dengan mg/kgBB/hari dan
minggu atau atau tanpa injeksi injeksi
Injeksi Metilprednisolon ≤ Metilprednisolon 500
Metilprednisolon 80 - 250 mg IV/hari - 700 mg IV/hari
120 mg IM/IA, selama 3 hari selama 3 hari ATAU
DAN DAN Prednisolon ≤ 0,75mg
HCQ ≤ 6,5 AZA 1,5 - 2,0 - 1 mg/kgBB/hari
mg/kgBB/hari* mg/kgBB/hari atau DAN
dan/atau MTX 7,5 - MTX 10 - 25 AZA 2 - 3
15 mg/minggu mg/minggu atau mg/kgBB/hari atau
dan/atau OAINS MMF 2 - 3 g/hari** MMF 2 - 3 g/hari **
sesuai gejala. atau MPA 1,44 - 2,16 atau MPA 1,44-2,16
g/hari atau g/hari atau
Siklosporin ≤ 2,0 Siklosporin ≤ 2,5
mg/kgBB/hari, mg/kgBB/hari atau
DAN CYC IV***
HCQ ≤ 6,5 DAN
mg/kgBB/hari. HCQ ≤ 6,5
mg/kgBB/hari

Pemeliharaan Prednisolon ≤ 7,5 Prednisolon ≤ 7,5 Prednisolon ≤ 7,5


mg/hari mg/hari mg/hari
DAN DAN DAN
HCQ 200 mg/hari, HCQ 200 mg/hari HCQ 200 mg/hari
dan/atau DAN DAN
MTX 10 mg/minggu AZA 50 - 100 AZA 50 - 100
DAN mg/hari atau MTX 10 mg/hari atau MMF
Penggunaan tabir mg/minggu atau 1,0 - 1,5 g/hari* atau
surya dan edukasi MMF 1 g/hari* atau siklosporin 50 - 100
agar mengenakan siklosporin 50 - 100 mg/hari
pakaian yang mg/hari
protektif terhadap Keterangan :
sinar matahari Keterangan : Jika keadaan
Jika keadaan stabil/remisi,
Keterangan: stabil/remisi, ditargetkan untuk
Jika keadaan ditargetkan untuk menghentikan seluruh
stabil/remisi, menghentikan seluruh obat kecuali HCQ.
ditargetkan untuk obat kecuali HCQ. Jika pasien tidak
menghentikan seluruh berespons baik
obat kecuali HCQ. Pada kasus refrakter, dengan
pemberian imunosupresan, dapat
belimumab atau dipertimbangkan
rituksimab dapat pemberian
dipertimbangkan belimumab atau
rituksimab.

Keterangan : AZA: azatioprin, CYC: siklofosfamid, HCQ: hidroksiklorokuin, MMF: mofetil


mikofenolat, MTX: metotreksat, OAINS: obat antiinflamasi non-steroid, IA: intraartikular, IM:
intramuskular*atau klorokuin (CQ) ≤3 mg/kgBB/hari; ** dosis 1 g MMF setara dengan asam
mikofenolat (MPA) 720 mg; ***CYC IV dosis 500 mg/2 minggu sebanyak 6 dosis (regimen
Euro Lupus) atau 500 - 1000 mg/m2 setiap bulan selama 6 bulan (regimen dari National Institute
of Health/NIH).
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2019).
Berikut adalah algoritma terapi untuk SLE (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011):

Bagan 1. Algoritma penatalaksanaan SLE. Terapi SLE sesuai dengan keparahan manifestasinya.
Keterangan: TR tidak respon, RS respon sebagian, RP respon penuh KS adalah
kortikosteroid setara prednison, MP metilprednisolon, AZA azathioprine, OAINS obat
anti inflamasi steroid, CYC siklofosfamid, NPSLE neuropsikiatri SLE.

Terapi Lain:
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:
1. Intravena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari,
terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemolitik, nefritis,
neuropsikiatri SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter
dengan terapi konvensional.
2. Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopenia, krioglobulinemia dan lupus
serberitis.
3. Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
4. Danazol pada trombositopenia refrakter.
5. Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter
dengan obat lainnya.
6. Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang
berat.
7. Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
8. Dialisis, transplantasi autologous stem-cell.
Sementara itu, untuk terapi nonfarmakologinya dapat disampaikan sebagaimana
pada program rehabilitasi seperti menjaga istirahat, beraktivitas fisik juga berolahraga,
mencukupi dan menjaga kebutuhan nutrisi, serta menghindari paparan sinar matahari
yang berlebihan.
G. Monitoring Terapi
Monitoring dilaksanakan terhadap aktivitas dan keparahan dari lupus serta terjadinya efek
obat yang tidak diinginkan. Selain itu, hal berikut juga perlu dievaluasi pada pasien yakni
faktor risiko kardiovaskular, komorbiditas, dan resiko infeksi. Pengujian klinis dan lab
harus dilaksanakan setiap 6 - 12 bulan pada pasien dengan inactive SLE dan tanpa
kerusakan organ. Apabila pasien mengalami SLE aktif maka pengecekan dilakukan lebih
rutin (Dipiro dkk., 2020)
Obat Reaksi Obat yang Tidak Parameter Monitoring
Dikehendaki

NSAiDs/Salisilat Perdarahan gastrointestinal, CBC. platelet, kreatinin,


toksisitas hati, hipertensi, urinalysis, AST/ALT, dan
kejadian kardiovaskular, tekanan darah
toksisitas renal, meningitis
aseptis

Glukokortikoid sistemik Osteoporosis, katarak, Densitometri dan


glaukoma, hiperglikemia, pemeriksaan optalmik
hipertensi, dislipidemia,
penipisan kulit, penigkatan
berat badan, redistribusi
lemak

Glukokortikoid topikal Atrofi kulit, telangiektasia Tampak kulit

Hidroksi Klorokuin Toksisitas retina Eksaminasi funduskopik


dan jarak pandang,
pertimbangkan
elektroretinogram, area
spektral tomografi
koherensi optik. Atau
fundus autofluoresensi,
CBC, AST/ALT, albumin,
chemistry panel, dan
kreatinin

Belimumab Reaksi infusi, Monitor adanya infeksi


hipersensitivitas, mual, serius, reaksi
diare, demam, hipersensitifitas dan infusi,
nasofaringitis, bronkitis, keparaha depresi,
insomnia, rasa nyeri, perubahan emosi, atau
depresi, migrain pemikiran bunuh diri

Siklofosfamid Myelosuppression, infeksi CBC, platelet, kreatinin,


oportunistik, sistitis chemistry panel, AST/ALT,
hemoragik, bladder Xray dada
malignancy, infertilitas

(Dipiro dkk., 2020)


H. KIE
- Hindari perubahan cuaca karena dapat mempengaruhi proses inflamasi
- Hindari paparan sinar matahari langsung, khususnya pada pukul 10.00-15.00
- Hindari paparan lampu UV
- Kepatuhan minum obat pada penderita Lupus Eritematosus Sistemik
- Menggunakan pakaian tertutup dan tabir surya minimal SPF 30PA++ 30 menit
sebelum meninggalkan rumah
- Diet khusus sesuai organ yang terkena
- Menghindari pemakaian kontrasepsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen
- Menghindari aktivitas fisik yang berlebihan

I. Pembahasan kasus
Profil Pasien

Nama Pasien AT

Jenis Kelamin Perempuan

TTL Yogyakarta, 18 Desember 1995

Usia 25 Tahun 10 Bulan 12 Hari

Alamat Sleman, DIY

Agama Islam
Riwayat Pengobatan Celecoxib 1 x 60 mg
Metilprednisolon 1 x 4 mg
Lansoprazole 1 x 30 mg
Menerima vaksin COVID-19 Sinovac yang pertama

Riwayat Alergi Tidak disebutkan

Riwayat Sosial Tidak dijelaskan

Keluhan saat masuk RS - Pasien mengalami kejang 1-2 menit, saat kejang pasien
tidak sadar. Setelah kejang (post kejang) pasien tidak
konek (belum sadar sepenuhnya) dan lemas.
- Sampai di IGD, pasien masih lemas dan agak pusing.
- Nyeri lutut kanan dan bengkak. Keluhan nyeri kaki
kanan sudah menahun.
- Setelah menerima vaksin tidak ada keluhan (demam,
batuk, pilek, mual, muntah, diare, dan
kelemahan/kesemutan anggota badan).
- Pasien merasa rambut sering rontok.

Diagnosis awal IGD - Observasi post kejang


- KIPI (Kejadian Ikut Pasca Imunisasi)
- SLE
- Autoimun lain

Riwayat Rawat Inap

Pasien dirawat inap dari tanggal 3 September 2021 - 9 September 2021 (selama 6 hari).
Pada tanggal 5 September 2021 pasien sempat akan dirujuk ke RS Sardjito tetapi tidak
jadi karena menurut dokter tidak ada kegawatan sehingga dirujuk ke bedah saraf.

Diagnosis selama rawat inap: Keluhan selama rawat


- 5 Sept: Obs Kejang ec AVM (Arteriovenous inap:
Malformation), - Lemas,
- 6 Sept: Kejang post KIPI, AVM, Demam - mengalami kejang
Rematik, Demam, - lutut kanan linu dan
- 7 Sept: AVM Cerebral Vessels, Kejang Grand mal sakit
(dengan atau tanpa petit mal), Arthritis, - perut sakit
- 8 Sept: Masalah metabolisme kalsium - demam dan
hipotensi
- nyeri kaki tiap pagi
Hasil Pemeriksaan Lab

3 September

- Rapid Test Antigen SARS Cov-2 : - Limfosit: 20% (low)


Negatif - Monosit: 6.3%
- Rheumatoid Factor: Negatif - Eosinofil: 1% (low)
- C-reactive protein (CRP): 1.7 (high) - Basofil:0.2%
- Antistreptolysin O (ASTO): Positif - Neutrofil Absolut: 6.04
- Thorax PA/AP/Lateral Dewasa : Pulmo (high)
dan besar cor normal - Limfosit Absolut: 1.66
- Ureum: 36.4 mg/dl - Monosit Absolut: 0.52
- Leukosit: 8.3 - Eosinofil Absolut: 0.08
- Eritrosit: 4.1 - Basofil Absolut: 0.02
- Hemoglobin: 10.7 (low) - NLR: 3.64 (high)
- Hematokrit:33.7 (low) - RDW: 15.5% (high)
- MCV: 82.4 - Kreatinin: 0.56
- MCH: 26.2 - Natrium: 141
- MCHC: 31.8 (low) - Kalium: 4.2
- Trombosit: 238.000 - Chloride: 111
- Neutrofil: 72.5% - Glukosa sewaktu: 69 (low)

7 September

- Albumin: 3.8 g/dL - Pro-Calcitonin: 0.2 ng/dL


- Magnesium: 1.89 mg/dL - Kalsium: 8.2 mg/dL (low)

9 September

- Kalsium: 8.9 mg/dL

Tabel TTV lab Setiap Hari saat Rawat Inap

Tanggal TD Nadi Suhu RR SpO2

3 Sept Pukul 19.18 Pukul 19.18 Pukul 19.18 Pukul 19.18 Pukul 19.18
2021 114/74 104/min 37 20/min 99%
mmHg

4 Sept Pukul 06.54 Pukul 06.54 Pukul 06.54 Pukul 06.54 Pukul 06.54
2021 88/55 mmHg 73/min 36.9 20/min 98%

Pukul 12.56 Pukul 12.56 Pukul 12.56 Pukul 12.56 Pukul 12.56
92/60 mmHg 100/min 37.1 20/min 96%

Pukul 18.54 Pukul 18.54 Pukul 18.54 Pukul 18.54 Pukul 18.54
94/62 mmHg 102/min 36.7 20/min 99%
5 Sept Pukul 06.27 Pukul 06.27 Pukul 06.27 Pukul 06.27 Pukul 06.27
2021 83/54 mmHg 56/min 37 22/min 83/54 mmHg

Pukul 13.42 Pukul 13.42 Pukul 13.42 Pukul 13.42 Pukul 13.42
91/64 mmHg 113/min 37 20/min 91/64 mmHg

Pukul 19.55 Pukul 19.55 Pukul 19.55 Pukul 19.55 Pukul 19.55
96/63 mmHg 80/min 36.9 20/min 96/63 mmHg

Pukul 23.15 Pukul 23.15 Pukul 23.15 Pukul 23.15 Pukul 23.15
81/43 mmHg - 38.3 - 81/43 mmHg

6 Sept Pukul 06.18 Pukul 06.18 Pukul 06.18 Pukul 06.18 Pukul 06.18
2021 89/57 mmHg 87/min 36.2 20/min 100%

Pukul 14.01 Pukul 14.01 Pukul 14.01 Pukul 14.01 Pukul 14.01
100/59 89/min 38 20/min 97%
mmHg

Pukul 19.06 Pukul 19.06 Pukul 19.06 Pukul 19.06 Pukul 19.06
87/46 mmHg 106/min 38.3 20/min 98%

7 Sept Pukul 07.01 Pukul 07.01 Pukul 07.01 Pukul 07.01 Pukul 07.01
2021 102/61 105/min 36.9 20/min 99%
mmHg

Pukul 11.54 Pukul 11.54 Pukul 11.54 Pukul 11.54 Pukul 11.54
99/63 mmHg 91/min 37.5 20/min 98%

Pukul 16.05 Pukul 16.05 Pukul 16.05 Pukul 16.05 Pukul 16.05
88/59 mmHg 113/min 38 19/min 98%

8 Sept Pukul 06.02 Pukul 06.02 Pukul 06.02 Pukul 06.02 Pukul 06.02
2021 90/60 mmHg 87/min 36.9 19/min 98%

Pukul 12.42 Pukul 12.42 Pukul 12.42 Pukul 12.42 Pukul 12.42
111/65 116/min 37.2 20/min 97%
mmHg

Pukul 18.59 Pukul 18.59 Pukul 18.59 Pukul 18.59 Pukul 18.59
103/65 102/min 36.7 20/min 96%
mmHg

9 Sept Pukul 06.06 Pukul 06.06 Pukul 06.06 Pukul 06.06 Pukul 06.06
2021 103/72 83/min 36.9 20/min 97%
mmHg
Pukul 13.45 Pukul 13.45 Pukul 13.45 Pukul 13.45 Pukul 13.45
97/61 mmHg 115/min 37 20/min 98%

Pukul 18.23 Pukul 18.23 Pukul 18.23 Pukul 18.23 Pukul 18.23
106/63 92/min 37.3 19/min 98%
mmHg

Obat-obatan yang diberikan pada pasien

Obat Rutin

3 September a. Injeksi Ranitidin 2 x 25mg/ml


b. Metilprednisolon 2 x 4 mg

4 September Infus NaCl 0.9% 500 mL tiap 8 jam

7 September Fenitoin 2 x 100 mg

Obat Tambahan (Pro Renata)

3 September 1. Injeksi diazepam 5 mg/mL


2. Infus Parasetamol / Tamoliv 1 gram/100 ml

Obat yang dihentikan

- Infus NaCl 0.9% 500 mL dihentikan per 4 September 2021


- Injeksi Natrium Fenitoin 100 mg dihentikan per 6 September 2021
- Eritromisin 250 mg dihentikan per 7 September 2021
- Injeksi Kalsium Glukonas dihentikan per 9 September 2021

Obat Pulang

- Eritromisin 2 x 250 mg sebanyak 14 kapsul


- Asam Folat 1 x 1 mg sebanyak 5 tablet
- Fenitoin 2 x 100 mg sebanyak 10 kapsul

TUGAS
1. Buatlah ANALISIS dengan metode SOAP pada pasien tersebut!

Subjective

SLE - Nyeri lutut kanan dan bengkak. Keluhan nyeri kaki kanan sudah
menahun.
- Rambut sering rontok
- Lemas
- Mengalami kejang
- Perut sakit
- Demam dan hipotensi
- Nyeri kaki tiap pagi

Demam - Demam
Rematik

Hipokals - Kerontokan rambut


emia

Gastritis - Perut sakit

Objective

SLE - C-reactive protein (CRP): 1.7 (high)


- Antistreptolysin O (ASTO): Positif
- Hemoglobin: 10.7 (low)
- Hematokrit:33.7 (low)
- MCHC: 31.8 (low)
- Limfosit: 20% (low)
- Eosinofil: 1% (low)

Demam - ASTO: positif


Rematik
- Neutrofil: 72,5%
- Limfosit: 20% (low)
- Monosit: 6,3%
- Eosinofil: 1% (low)
- Basofil: 0,2%
- Pro-calcitonin: 0,2 ng/dL

Hipokals - Kalsium: 8,2 mg/dL (low)


emia
- Kalsium: 8,9 mg/dL
Gastritis - C-reactive protein (CRP): 1.7 (high)

Hipoglik - Glukosa sewaktu: 69 (low)


emia

Assessment

Pasien kemungkinan mengalami SLE


- Metilprednisolon dapat digunakan sebagai terapi awal dengan tujuan mengurangi
peradangan yang terjadi pada penderita SLE dan untuk mengurangi gejala SLE
sedang - berat dengan dosis umumnya antara 0,5-1 mg/kgBB/hari.
Metilprednisolon merupakan kortikosteroid yang digunakan sebagai terapi
antiinflamasi dan analgetik (DiPiro, 2020)
- Penggunaan obat fenitoin, sangat tidak dianjurkan karena dapat memperburuk
kondisi penderita SLE karena fenitoin dapat menyebabkan eksaserbasi SLE,
termasuk dalam meningkatkan produksi antibodi, peningkatan aktivitas lupus, dan
terjadinya lupus erythematosus drug-induced (LEDI) (Dipiro, 2020).
- Penggunaan fenitoin bersamaan dengan paracetamol akan menyebabkan interaksi
obat dikarenakan hydantoins yang ada dalam fenitoin dapat meningkatkan potensi
hepatotoksisitas acetaminophen dan menurunkan efek farmakologisnya.
- Penggunaan fenitoin bersamaan dengan diazepam akan menyebabkan interaksi
obat berupa penurunan efek dari dihydroergotamine dengan mempengaruhi enzim
metabolisme CYP3AP.
- Penggunaan fenitoin bersamaan dengan metilprednisolon akan menyebabkan
interaksi obat dikarenakan Fenitoin dan hydantoin lainnya dapat menginduksi
metabolisme kortikosteroid hepatik CYP450 3A4 dan meningkatkan klirensnya
dan menurunkan waktu paruhnya, mungkin mengurangi kemanjuran
terapeutiknya.
- Injeksi diazepam diperbolehkan untuk terapi SLE untuk mengatasi kondisi apabila
pasien kejang-kejang (Dipiro, 2020). merekomendasikan dosis awal diazepam 2-5
mg secara oral atau intravena untuk pasien dewasa (Dipiro, 2020).
- Guidelines for the Management of Systemic Lupus Erythematosus yang
diterbitkan oleh American College of Rheumatology menyatakan bahwa cairan
intravena, termasuk infus NaCl, dapat diberikan pada pasien SLE untuk mengatasi
kondisi dehidrasi atau kehilangan cairan tubuh.
- Penggunaan parasetamol dalam bentuk infus dapat membantu mengurangi nyeri
dan mengendalikan demam pada pasien SLE (American College of Rheumatology
dalam Guidelines for the Management of Systemic Lupus Erythematosus).
Pasien kemungkinan mengalami Demam Rematik
- Penggunaan eritromisin pada pasien SLE harus dilakukan dengan hati-hati.
Eritromisin dapat memicu peningkatan aktivitas sistemik lupus dan dapat
menyebabkan eksaserbasi lupus pada beberapa pasien. Namun demikian,
eritromisin dapat digunakan pada pasien SLE dengan dosis rendah dan durasi
singkat untuk mengobati infeksi bakteri yang memerlukan terapi antibiotik. Dosis
eritromisin untuk pasien dewasa yang mengalami infeksi biasanya adalah 250-500
mg empat kali sehari atau 500-1000 mg dua kali sehari.
Pasien kemungkinan mengalami gastritis
- Pasien telah mendapatkan injeksi ranitidine untuk terapi gastritis, tetapi memilih
obat ini sebenarnya harus dengan hati-hati. Karena pada pasien SLE, sakit yang
dirasakan pada saluran pencernaan bisa jadi karena adanya peradangan di lambung
atau usus. Jika hal tersebut benar, maka terapi yang seharusnya dilakukan adalah
mengobati peradangan yang ada terlebih dahulu, baru kemudian diberikan injeksi
ranitidin dengan dosis yang telah disesuaikan dengan kondisi pasien (Dipiro).
Pasien kemungkinan mengalami hipokalsemia
- Injeksi kalsium glukonas diberikan dengan tujuan untuk pengobatan defisiensi
kalsium dan hipokalsemia.
- Kadar kalsium pasien pada tanggal 7 September adalah 8,2 mg/dL (low) dan
pasien berhak mendapatkan terapi injeksi kalsium glukonas.
Pasien kemungkinan mengalami hipoglikemia
- Hipoglikemia pada pasien SLE dapat terjadi disebabkan oleh efek samping dari
penggunaan obat kortikosteroid, yaitu metilprednisolon.
Plan

SLE - Pemberian metilprednisolon dapat dilanjutkan dengan aturan 2


x 4 mg.
- Penggunaan obat fenitoin (injeksi dan tablet) dapat dicukupkan
terlebih dahulu. Penggunaan obat ini boleh saja diberikan jika
tidak ada alternatif obat lain. Namun tetap harus dilakukan
monitoring terhadap kondisi pasien.
- Penggunaan infus NaCl dapat dihentikan ketika pasien sudah
tidak merasakan lemas.
- Injeksi Diazepam dapat diberikan jika dirasakan rasa nyeri
yang berlebih.

Plan

Demam Rematik Penggunaan eritromisin dapat dilanjutkan, namun tetap dilakukan


monitoring eksaserbasi pasien, namun jika ditemukan obat yang lebih
aman, lebih baik eritromisin diganti.

Plan

Gastritis Penggunaan ranitidine dapat diteruskan, apalagi dalam terapi yang


dipaparkan sudah terdapat kombinasi antara metilprednisolon dengan
injeksi ranitidine yang berguna untuk mengatasi keluhan pasien yang
mana sudah sesuai dengan tata laksana prosedur penggunaan obat
tersebut.

Plan

Hipokalsemia Penggunaan kalsium glukonas untuk terapi hipokalsemia dapat


dihentikan terhitung pada 9 September karena kadar pasien sudah di
atas 8,8 mg/dL.
Plan

Hipoglikemia Untuk mengatasi hipoglikemia, dapat ditambahkan terapi berupa


glukosa oral (10-20 gram, yang dapat diulang setiap 10-15 menit),
injeksi glukagon (1-2 mg subkutan/IM), dan deksametason (0,5-1 mg
per hari, yang dapat ditingkatkan hingga 4-6 mg per hari jika
diperlukan) (American College of Rheumatology Guideline for the
Treatment of Rheumatoid Arthritis.

2. Rencanakan PTO pada pasien!

Obat Parameter Efektivitas Parameter Efek samping

Kondisi klinik TTV dan lab Kondisi Klinik TTV dan lab

Injeksi Untuk pH lambung Sakit kepala, Kadar SGPT


Ranitidin mengobati (normal): 1,5 - nyeri pada dan SGOT
GERD, untuk 3,5 perut, diare, dalam darah;
mengurangi Suhu tubuh: muntah, alergi nilai pH
jumlah asam 36,1 - 37,2⁰C pada kulit lambung; kadar
lambung dalam seperti ruam, natrium dalam
perut, untuk gatal-gatal. darah; kadar
mengobati atau gula darah
mencegah
ulkus
gastrointestinal

Metilprednisol Terapi awal Rheumatoid Pembengkakan Kadar gula


on dan factor: negatif di tangan dan darah; kadar
pemeliharaan Thorax kaki karena natrium dalam
untuk penyakit PA/AP/lateral penumpukan darah; kadar
SLE dan untuk dewasa: Pulmo cairan, pusing, kalium dalam
mengobati dan besar cor siklus haid darah; kadar
peradangan normal tidak teratur, kreatinin dalam
Leukosit: sakit kepala, darah; kadar
5.000-10.000/μ kembung, nyeri glukosa dalam
L otot urin
Eritrosit:
4,0-5,0 juta/μL
Hemoglobin:
12,0 - 14,0
g/dL
Hematokrit:
40-50%
Trombosit:
150-400/μL
Limfosit:
20-40%

Infus NaCl Pengganti Natrium: Nyeri atau Kadar natrium


0,9% cairan tubuh 135-145 infeksi di dalam darah;
atau elektrolit mmol/L bagian yang kadar klorida
Chloride: diinfus, dalam darah;
96-106 mmol/L gatal-gatal, kadar gula
Hemoglobin: demam, darah; kadar
12,0 - 14,0 eritema, albumin dalam
g/dL hipotensi darah
Hematokrit:
40-50%
Suhu tubuh:
36,1 - 37,2⁰C

Fenitoin Antiepilepsi Thorax Gugup, sesak Kadar fenitoin


yang bekerja PA/AP/lateral nafas, sulit dalam darah;
dengan dewasa: pulmo berbicara atau kadar glukosa
memperlambat dan besar cor cadel, mual, darah; kadar
impuls di otak normal muntah, sakit kalsium dalam
yang Ureum: 6-21 kepala, darah; kadar
menyebabkan mg/dL masalah dalam asam folat
kejang Kreatinin: koordinasi otot dalam darah;
60-150 U/L kadar SGPT
Albumin: dan SGOT
37-52 g/dL
HR: 60-100
denyut/menit -
RR: 12-20/min
SpO2 :
90-100%
Kalsium:
8,5-10,2 mg/dL

Injeksi Mengobati Thorax Ngantuk, Kadar glukosa


Diazepam gangguan PA/AP/lateral perasaan lelah, darah; kadar
kecemasan, dewasa: pulmo lemah otot, dan SGOT dan
meredakan dan besar cor masalah SGPT; kadar
kejang otot, normal keseimbangan prolaktin dalam
untuk Ureum: 6-21 atau gerakan darah; kadar
mengobati mg/dL otot kreatinin dalam
gejala putus Kreatinin: darah
alkohol, dan 60-150 U/L
dapat sebagai Albumin:
penenang 37-52 g/dL
sebelum Glukosa
operasi sewaktu: < 100
mg/dL
HR: 60-100
denyut/menit -
RR: 12-20/min
SpO2 :
90-100%

Infus Digunakan Hemoglobin: Hipotensi, Kadar SGPT


Paracetamol untuk terapi 12,0-14,0 g/dL kurang enak dan SGOT,
jangka pendek Hematokrit: badan, kadar bilirubin,
untuk nyeri 40-50% peningkatan kadar natrium
sedang Suhu tubuh: kadar dalam darah,
terutama pada 36,1-37,2oC transaminase kadar kreatinin
saat setelah Tekanan darah: hepatik, reaksi darah
operasi dan <120/80 hipersensitivita
terapi jangka mmHg s,
pendek untuk trombositopeni
mengobati a, leukopenia,
demam, nyeri neutropenia,
atau ruam kulit
hipertermia (urtikaria), dan
jika rute syok
pemberian lain anafilaksis
tidak efektif

Injeksi Natrium Digunakan ● Thorax Reaksi Kadar fenitoin


Fenitoin untuk PA/AP/later anafilaksis dan dalam darah,
mengontrol al dewasa: anafilaktoid kadar glukosa
status pulmo dan dalam darah,
epileptikus dan besar cor kadar SGPT
epilepsi normal dan SGOT,
tonic-clonic, ● Ureum: 6-21 serta kadar
serta digunakan mg/dL natrium dalam
untuk ● Kreatinin: darah
mengobati 60-150 U/L
epilepsi yang ● Albumin:
terjadi selama 37-52 g/dL
atau setelah ● Glukosa
pembedahan sewaktu: <
saraf dan/atau 100 mg/dL
cedera kepala ● Hr: 60-100
berat denyut/meni
t
● RR: 12-20
x/menit
● SpO2:
90-100%

Eritromisin Digunakan ● ASTO: Sakit pada Kadar SGPT


untuk negatif perut, diare, dan SGOT,
mengobati ● Neutrofil: susah napas, kadar
infeksi yang 50,0-70,0% reaksi alergi elektrolit,
disebabkan ● Limfosit: yang terjadi kadar glukosa
bakteri 20-40% pada kulit dalam darah,
penyakit ● Monosit: kadar kreatinin
difteri, 2,8-8,0% dalam darah
legionnaire, ● Eosinofil:
pertusis, 1,0-3,0%
amebasis, ● Basofil:
sifilis, dan 0,0-1,0%
demam rematik ● Pro-calcitoni
n: <0,1
ng/mL
● SpO2:
90-100%

Injeksi Kalsium Digunakan ● Kalsium: Sensasi rasa Kadar kalsium


Glukonas untuk 8,5-10,2% panas, darah, kadar
mengatasi mg/dL berkeringat, fosfat, kadar
defisiensi ● Kalium: rasa tidak magnesium
kalsium yaitu 3,6-5,2 nyaman pada darah, serta
hipokalsemia mmol/L area kadar natrium
● Magnesium: penyuntikan, dalam darah
1,7-2,2 hipotensi,
mg/dL bradikardi,
kolaps
vasomotor,
serta
kemerahan

Asam Folat Digunakan - Mual, Kadar asam


untuk kehilangan folat dalam
mengobati nafsu makan, darah
defisiensi asam kembung,
folat karena gangguan tidur,
anemia rasa tidak enak
dan/atau untuk di mulut
mengatasi
penyerapan
asam volat
yang berkurang
dikarenakan
penggunaan
fenitoin, serta
digunakan
untuk
suplemen pada
terapi epilepsi

3. Rencanakan KIE pada pasien/keluarganya!


Rencana KIE pada pasien/keluarga
- Diberikan informasi mengenai obat yang sudah diberikan dan penggunaannya.
Eritromisin 250 mg 2x1 harus dihabiskan karena merupakan antibiotik. Asam folat 1 mg
1x1. Fenitoin 100 mg 2x1 digunakan untuk mengatasi kejang.
- Diberikan pengetahuan kepada keluarga untuk terus mendukung pasien karena SLE
merupakan penyakit kronis atau diderita seumur hidup.
- Berikan informasi untuk selalu menggunakan tabir surya, payung, atau topi karena
penderita SLE sensitif terhadap cahaya.
- Perhatikan jenis vaksin yang diberikan kepada pasien. Vaksin yang berasal dari kuman
hidup yang dilemahkan dikontraindikasikan terhadap pasien yang mendapatkan terapi
imunosupresan.
- Memberi penjelasan untuk memulai pola hidup sehat, mengatur pola makan dan
mengatur stress. Diperlukan juga pengaturan diet agar tidak terjadi obesitas.
- Mengedukasi pasien untuk bergabung dalam komunitas yang berkaitan dengan SLE
untuk mendapatkan dukungan sosial dan informasi yang lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA

Bartels, C.M., Diamond, H.S., Muller, D., Farina, A.G., Goldberg, E., Hildebrand, J., Lakdawala,
V.S, 2013, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), http://www.emedicine.medscape.com,
diakses pada 16 April 2023 pukul 09.51 WIB.
Dipiro, J.T., Yee, G.C., Posey, L.M., Halnes, S.T., Nolin, T.D., dan Ellingrod, V.L., 2020,
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 11th Edition, The McGraw Hill
Companies, United States of America.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011, Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik (Rekomendasi), https://reumatologi.or.id/reurek/ira/, diakses pada 15 April 2023.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2019, Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik,
https://reumatologi.or.id/reurek/ira/, diakses pada 15 April 2023.
Mok, C. C., & Lau, C. S, 2003, Pathogenesis of systemic lupus erythematosus, Journal of
clinical pathology, 56(7), 481–490. https://doi.org/10.1136/jcp.56.7.481
Pons-Estel, G.J., Ugarte-Gil, M.F., Alarcon, G.S., 2017, Epidemiology of Systemic Lupus
Erythematosus, Expert Ref Clin Immunol, 13(8): 799-814.
Pusdatin, 2017, Situasi Lupus di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Tanzilia, M. F., Tambunan, B., Dewi, N., 2021, Patogenesis dan Diagnosis Sistemik Lupus
Eritematosus, Jurnal Medika, 2 (139).
Tayem, M. G., Shanin, L., Shook, J., Kesselman, M. M., 2022, A review of cardiac manifestation
in patient with systemic lupus erythermatosus and antiphospolipid syndrome with focus
on endocarditis, Cureus, 14 (1).
Tsokos, G.C, ,2011, Systemic Lupus Erythema-Tosus, The New England Journal of Medicine,
365(22), 2110–2121. https://doi.org/10.1056/NEJMra1100359.

Anda mungkin juga menyukai