Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM


IMUNITAS DENGAN SYSTEMIK LUPUS ERYTHEMATOSUS

Disusun Oleh :

Ganes Irawati Hardjono 201943019


Hendrikus Reyaan 201943021
Hernyu Widegdo 201943022
MM Diyah Pujiastuti 201943028
Priscila Ika Prasetyani 201943036
Wilhelmus Jefry Ade W 201943042

PROGRAN STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANTI RAPIH YOGYAKARTA
2019

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit Lupus
ini adalah Systemik Lupus Erythematosus (SLE). Istilah lupus berasal dari
bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata
Erythematosus dalam bahasa yunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu
diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi
itu disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena itulah penyakit itu diberi
nama Lupus (Rangkuti, Marpaung, Sjah dan Firman, 2018).
Istilah penyakit SLE telah diperkenalkan oleh dokter pada abad ke-
19 untuk menggambarkan lesi di kulit, dan membutuhkan waktu hampir 100
tahun untuk akhirnya menyadari bahwa penyakit ini bersifat sistemik pada
beberapa organ yang disebabkan respon autoimun yang menyimpang
(Fatmawati, 2018).
Penyakit SLE masih tergolong penyakit yang awam di Indonesia.
Akan tetapi tidak berarti bahwa tidak ada orang yang menderita penyakit
ini. Prevalensi penyakit SLE ini semakin hari semakin banyak diteliti.
Prevalensi berkisar antara 20 - 150 kasus per 100.000 penduduk, dengan
prevalensi yang tertinggi terdapat di negara Brazil. Di Amerika Serikat,
orang-orang Afrika, Hispanik, atau Asia keturunan cende-rung memiliki
angka prevalensi yang tinggi di-bandingkan dengan kelompok ras atau etnis
lainnya. Tingkat kelangsungan hidup selama 10 tahun pada Odapus (Orang
dengan Lupus) ber-kisar pada 70% (Tsokos, 2011 dalam Azizah 2013).
LES atau lebih dikenal dengan Systemik Lupus Erythematosus
(SLE) merupakan gangguan inflamasi multisistem yang berhubungan
dengan kelainan sistem imun. Kondisi kronis ditandai dengan peningkatan
aktivitas penyakit diikuti oleh aliran yang timbul dan kurang aktif. Banyak
kelainan imunologi klasik yang muncul pada LES. Terutama pengaruh pada
berbagai sistem dan organ pada waktu yang berbeda, menghasilkan

1
kerusakan yang menyebar pada jaringan ikat, pembuluh darah dan membran
serosa serta mukosa. (Black & Hawks, 2014).
Dalam makalah ini kelompok akan membahas tentang Systemik
Lupus Erythematosus (SLE) terkait dengan salah satu penyakit imunitas
yang sering terjadi di masyarakat dan dalam makalah ini kami akan
membahas tentang konsep teori dan asuhan keperawatan serta pembahasan
berdasarkan kasus yang telah di berikan.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
gambaran tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan Systemik
Lupus Erythematosus (SLE).
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahu konsep teori tentang Systemik Lupus
Erythematosus (SLE)
b. Untuk mengetahui pelaksanaan asuhan keperawatan pada
pasien dengan Systemik Lupus Erythematosus (SLE)
c. Untuk mengetahui gambaran pembahasan kasus dan teori
pada penyakit Systemik Lupus Erythematosus (SLE)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit Systemic Lupus Erythematous (SLE)


1. Pengertian
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah hasil dari
regulasi sistem imun yang terganggu yang menyebabkan produksi
berle-bihan dari autoantibodi. Pada kondisi normal tubuh manusia,
antibodi diproduksi dan digunakan untuk melindungi tubuh dari
benda asing (virus, kuman, bakteri, dll). Namun pada kon-disi SLE,
antibodi tersebut kehilangan kemampuan untuk membedakan antara
benda asing dan jaringan tubuh sendiri. Secara khusus, sel B dan sel
T berkontribusi pada respon imun pe-nyakit SLE ini (Smeltzer,
Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit yang
ditandai dengan produksi antibodi yang berlebihan terhadap
komponen inti sel, dan menimbulkan berbagai macam manifestasi
klinis pada organ (Cleanthous, Tyagi, Isenberg, & Newman, 2012
dalam Fatmawati, 2018).
Menurut Black & Hawsk (2014) Lupus Eritematosus
Sistemik adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan
adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks
imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada
beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik
(berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita,
peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.

3
2. Etiologi
Penyebab pasti dari penyakit SLE sampai saat ini masih belum
diketahui. Namun terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi
faktor risiko dari penyakit ini, yaitu genetik, lingkungan, regulasi
sistem imun, hormonal, dan genetic (Bartels, et al., 2013).
SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk
alel HLA DRB1, IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh
hormonal, dan faktor lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan
menyebabkan terjadinya respon imunyang abnormal (Maidhof
(2013) dalam Muthusamy (2017).
Menurut Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever (2010), Factor
penyebab yang terlibat dalam timbulnya penyakit SLE antara lain :
a. Factor genetic
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun
abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang
berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE
telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko
menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada
individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah
20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi
beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE.
MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
khususnya HLA - DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2),
telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu,
kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan
salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan
SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot
akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan

4
bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor,
akan berisiko lebih tinggi menderita SLE. Diketahui peneliti
dari Australian National University (ANU) di Canberra
berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya
penyebab genetik dari penyakit lupus. Dengan pendekatan
yang digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti
berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus
yang diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya adalah
adanya peningkatan jumlah molekul tertentu yang disebut
interferon-alpha.
b. Faktor Imunologi
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang
berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di
permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi
normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan
salah mengenali perintah dari sel T.
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel
B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel
autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor
untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun.
Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.

5
3) Kelainan antibody
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang
dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang
terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi,
sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.
c. Factor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen
yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya
SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri,
dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen
infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi
penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga
terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik
melalui peredaran pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE
pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan
akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun
tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam
keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan

6
SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya
tidak ada gangguan sejak awal.
d. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu
terjadinya LES. Beberapa studi menemukan korelasi antara
peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi.
Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen
yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko
terjadinya SLE.
e. Factor farmakologi
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka
waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus
Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan
DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.

3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien
SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan,
dan penurunan berat badan (Smeltzer (2014) serta Black & Hawsk
(2014) adalah :
a. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi,
nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
b. Sistem integumen
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan
pada 85% kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering
ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, discoid
dan livido retikulkaris. Ruam berbentuk kupu-kupu yang
khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi dan

7
persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial,
lebih dikenal sebagai malar rash atau butterfly rash. Ruam
ini dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat
meningkat dan sangat meradang, bertahan selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala ini hilang
tanpa jaringan parut.
Plak eritematosa dengan adherent scale dan
telangiektasis umumnya terdapat di wajah, leher, dan kulit
kepala. Lupus kutis akut dalam bentuk eritema inflamasi
yang jelas dapat dipicu oleh pajanan sinar ultraviolet. Lesi
lupus subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit
yang terpajan sinar matahari dalam waktu lama (lengan
depan, daerah V di leher) tanpa pajanan sinar matahari dalam
waktu dekat.
Alopesia dapat timbul akibat lesi pada kulit kepala,
namun biasanya muncul pada puncak SLE. Alopesia bersifat
reversibel, kecuali jika terdapat lesi diskoid dikepala. Ulkus
oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus dibedakan dari
infeksi virus maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom
Sicca) dapat disebabkan oleh inflamasi autoimun pada
kelenjar lakrimal dan saliva, yang mungkin tumpang tindih
dengan sindrom Sjögren. Umumnya mata dan mulut kering
merupakan efek samping pengobatan.
c. Sistem kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan
sampai berat (efusi kerikard), iskemia miokard dan
endokarditis verukosa (libman sacks)
d. Sistem pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE,
mungkin disertai mual (muntah jarang) dan diare. Gejala
menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya

8
mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin
disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh
darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan
ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
Pasien Odapus selain itu tampak pada yang punya
tingkat alergi yang cukup tinggi terhadap makanan karena
peningkatan asam lambung (makanan akan susah untuk di
makan, akibat reaksi dari tubuh yang menyebabkan tubuh
merasa mual, muntah). Selain itu, akan terjadi gangguan
berupa diare yang terus - menerus, dan terjadi nyeri
abdominal difus yang disebabkan oleh peritonitis autoimun
dan peritonitis. Hal ini terjadi akibat peningkatan serum
aspartate aminotransferase (AST) dan alanine
aminotranferase (ALT) umum selama SLE sedang aktif.
Manifestasi ini biasanya membaik secara perlahan selama
pemberian terapi glukokortikoid sistemik (FKG UI, 2015).
e. Sistem pernafasan
Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi
daripada yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE dalam
cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian
terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE
baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti infeksi
virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
f. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang
menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung
jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
g. Sistem perkemihan
Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE.
Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau

9
hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal
jarang terjadi hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang
urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu
nefritis penyakit SLE difus dan nefritis penyakit SLE
membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan
kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai
sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal
sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa
lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik,
gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang
mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE
ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya
yang menyebabkan kerusakan glomerulus.
Kerusakan glomerulus terjadi pada 50 % Odapus.
Glomerulusnephritis disebabkan adanya deposisi dari
komplemen dan kompleks imun pada membran dasar dari
glomerulus hal ini menyebabkan gagal ginjal yang
merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.
h. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas
dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering
terjadi depresi dan psikosis. Jika lupus menyerang otak,
gejala yang dirasakan adalah sakit kepala, pusing, nyeri
kepala perubahan perilaku, halusinasi, bahkan kejang dan
stroke. Beberapa orang juga dapat mengalami gangguan
pada ingatan.
i. Sistem Hematologi
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang
disertai dengan anemia normositik normokrom yang terjadi

10
akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik,
gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik
autoimun.
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita
lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun
arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru.
Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi
yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa
menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi
anemia akibat penyakit menahun.

4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakan
diagnosa keperawatan pada pasien dengan SLE (Setiadi, 2014)
adalah :
a. Pemeriksaan darah
Leukopeni/limfopeni, anemia, trombositopenia, LED
meningkat
b. Tes Imunologi
1) ANA (anti body antinuklear) diatas titer normal
2) Anti bodi DNA untai ganda (ds DNA) meningkat
3) Kadar komplemen C3 dan C4 menurun
4) Tes SRP (C-reaktife protein) positif
c. Tes Fungsi ginjal
1) Kreatinin serum meningkat
2) Penurunan GFR
3) Proteinuri (> 0,5 gr/24 jam)
4) Ditemukan sel darah merah dan atau sedimen
granular
d. Kelainan pembekuan yang berhubungan dengan
antikoagulan lupus

11
1) APTT memanjang yang tidak membaik pada
pemberian plasma normal
e. Serologi VDRL (sifilis)
f. Tes vital lupus

5. Penatalaksanaan Medis
Lupus adalah penyakit seumur hidup, karenanya
pemantauan harus dilakukan selamanya. Tujuan pengobatan SLE
adalah mengontrol manifestasi penyakit, sehingga anak dapat
memiliki kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat, sekaligus
mencegah kerusakan organ serius yang dapat menyebabkan
kematian (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Tatalaksana
primer pada SLE meliputi :
a. Mengurangi inflamasi dan meminimalisir komplikasi
Adapun obat-obatan yang dibutuhkan seperti :
1) Antiinflamasi non steroid (NSAIDs), untuk
mengobati simptomatik artralgia nyeri sendi.
2) Antimalaria, Diberikan untuk lupus diskoid.
Pemakaian jangka panjang memerlukan evaluasi
retina setiap 6 bulan.
3) Kortikosteroid, Dosis rendah, untuk mengatasi gejala
klinis seperti demam, dermatitis, efusi pleura.
Diberikan selama 4 minggu minimal sebelum
dilakukan penyapihan. Dosis tinggi, untuk mengatasi
krisis lupus, gejala nefritis, SSP, dan anemi
hemolitik.
4) Obat imunosupresan atau sitostatika, Imunosupresan
diberikan pada SLE dengan keterlibatan SSP, nefritis
difus dan membranosa, anemia hemolitik akut, dan
kasus yang resisten terhadap pemberian
kortikosteroid.

12
5) Obat antihipertensi, Atasi hipertensi pada nefritis
lupus dengan agresif
6) Kalsium, Semua pasien LES yang mengalami artritis
serta mendapat terapi prednison berisiko untuk
mengalami mosteopenia, karenanya memerlukan
suplementasi kalsium.
b. Dialisis atau transplantasi ginjal
Pasien dengan stadium akhir lupus nefropati, dapat
dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal
c. Penatalaksanaan infeksi
Pengobatan segera bila ada infeksi terutama infeksi bakteri.
Setiap kelainan urin harus dipikirkan kemungkinan
pielonefritis.

6. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Smeltzer (2013) penatalaksanaan SLE Diagnosis
keperawatan utama berfokus pada keletihan, membuat integritas
kulit gangguan citra tubuh, dan defisiensi pengetahuan, berikut
penatalaksanaan, yaitu :
a. Pekalah terhadap reaksi psikologis pasien akibat perubahan
yang terjadi dan proses penyakit SLE yang tidak terduga;
dorong pasien untuk berpatisifasi dalam kelompok
pendukung, yang dapat memberikan informasi mengenai
penyakit, tips penatalaksanaan sehari-hari, dan dukungan
sosial.
b. Ingatkan pasien untuk menghidari paparan sinar matahari
dan sinar ultrapiolet atau untuk melindungi diri mereka
dengan tabir surya dan pakaiaan.
c. Karena beberapa sistem organ berisiko tinggi terkena
penyakit ini, ingatkan pasien tentang pentingmya menjalani

13
skrinning rutin secara berkala dan juga aktifitas untuk
meningkatkan kesehatan.
d. Rujuk pasien untuk menemui ahli diet jika perlu.
e. Jelaskan kepada pasien tentang pentingnya melanjutkan
medikasi yang telah diterapkan, dan memahami perubahan
serta kemungkinan efek samping yang cenderung terjadi
akibat penggunaan obat tersebut.
f. Ingatkan pasien tentang pentingnya menjalani pemantaaun
karena mereka berisiko tinggi mengalami gangguan
sistemik, termasuk pada ginjal dan kardiovaskuler.
g. Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan.
Sebagian besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat
itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup
kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan
berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
h. Aktivitas, pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal.
Olah raga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang
dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena
lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan.
Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila
terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim
pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam.
Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi
kulit pada pasien LES.

7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin muncul pada pasien dengan SLE
(Nuratif dan Kusuma, 2016) antara lain :
a. Anemia dan Trombositopenia
b. Infeksi sekunder, sampai sepsis
c. Sindroma nefrotik, gagal ginjal

14
d. Perikarditis, gagal jantung
e. Efusi pleura
f. Gangguan SSP

8. Discharge Planing Edukasi dan konseling pasien SLE


Pasien dan keluarga penderita SLE memerlukan informasi yang
benar dan dukungan dari seluruh keluarga dan lingkungannya.
Pasien memerlukan informasi tentang aktivitas fisik, mengurangi
atau mencegah kekambuhan misalnya dengan cara melindungi kulit
dari sinar matahari dengan menggunakan tabir surya atau pakaian
yang melindungi kulit, serta melakukan latihan secara teratur. Pasien
juga memerlukan informasi tentang pengaturan diet agar tidak
mengalami kelebihan berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia.
Menurut Azizah (2013) Informasi yang bisa diperlukan kepada
pasein adalah:
a. Penjelasan tentang penyakit lupus dan penyebabnya
b. Tipe dari penyakit SLE dan karakteristik dari tipe-tipe
penyalit SLE
c. Masalah terkait dengan fisik, kegunaan istirahta latihan
terutama yang terkait dengan pengobatan steroid seperti
osteoporosis, kebutuhan istirahat, pemakaian alat bantu,
pengaturan diet, serta cara mengatasi infeksi
d. Masalah psikologis yaitu cara pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stres, emosional, trauma psikis,
masalah terkait dengan hubungan dengan keluarga, serta
cara mengatasi nyeri.
e. Pemakaian obat mencakup jenis obat, dosis, lama
pemberian, dan yang lainnya. Kebutuahn pemberian vitamin
dan mineral.

15
f. Kelompok pendukung bagi penderita SLE Edukasi juga
perlu diberikan untuk mengurangi stigma psikologis akibat
adanya anggota keluarga yang menderita SLE

B. Konsep Asuhan Keperawatan Systemic Lupus Erythematous (SLE)


1. Pengkajian
a. Identitas
LES lebih banyak menyerang perempuan. Serangan
pertama kali jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah
menopause. Lupus sering terjadi pada wanita usia 15 - 40
tahun. Karena diperkirakan oleh adanya perbedaan hormon
wanita dan pria sangat berbeda. Pada tahap-tahap menstruasi
dan kehamilan, hormon estrogen diduga memicu timbulnya
penyakit lupus. Dan banyak pula diantaranya dari penderita
lupus yang terserang penyakit ini pada masa pra-menstruasi
meskipun belum diketahui penyebabnya (Black & Hawks,
2009).
b. Status kesehatan saat ini
Riwayat kesehatan yang dikaji pada pasien SLE (Nuratif
dan Kusuma, 2016) adalah :
1) Keluhan utama
Biasanya klien dengan penyakit SLE datang ke Rs
dengan keluhan nyeri dan kaku pada seluruh badan,
kulit kering, bersisik dan mengelupas pada beberapa
bagian kulit, rasa sakit biasanya dirasakan sejak 3
bulan yang lalu, pasien juga merasa lemas.
2) Alasan Masuk Rumah Sakit
Pasien masuk rumah sakit dikarenakan muncul gejala
nyeri dan kaku seluruh badan, kulit kering dan
bersisik, kulit mengelupas pada beberapa bagian

16
kulit, dan semakin parah apabila terpapar sinar
matahari.
3) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya pada pasien yang menderita SLE pada saat
dikaji keluhan yang dirasakan seperti nyeri dan kaku
seluruh badan, kulit meneglupas dibeberapa bagian,
pasien lemas.
4) Riwayat kesehatan terdahulu
a) Riwayat penyakit sebelumnya.
Biasanya pada penderita SLE mengalami
penyakit nyeri terutama pada persendian dan
karna terlalu lama mengkonsumsi obat asam
urat seperti Allopurinol 100 mg yang
diminum setiap hari selama 1 tahun. Pasien
merasa panas seluruh badan badan selama 1
bulan, dan pasien merasakan kulitnya kering/
bersisik, pecah-pecah rambut rontok dan
semakin parah apabila terpapar sinar
matahari.
b) Riwayat penyakit keluarga
Pada penyakit SLE ini belum diketahui secara
pasti penyebab penyakit SLE tetapi faktor
genetic juga sering dikaitkan dengan
penderita penyakit SLE
c) Riwayat pengobatan
Pada penderita SLE sebelum mengalami
penyakit SLE biasanya sering mengkonsumsi
obat asam urat seperti Allopurinol 100 mg
yang diminum setiap hari selama 1 tahun.

17
c. Pemeriksaan Fisik
Menurut Muttaqin (2012), pemeriksaan fisik pada pasien
SLE yang dapat dilakukan adalah :
1) Keadaan umum
a) Kesadaran
Pada pasien SLE kesadarannya
composmentis bahkan bisa sampai terjadi
penurunan kesadaran.
b) Tanda-tanda vital
Biasanya pada penderita SLE ini ditemukan
peningkatan suhu dan nadi diatas rentang
normal.
2) Head To Toe
a) Kepala
Inspeksi dan palpasi
Terdapat ruam (malar) pada pipi yang tampak
kemerah – merahan, terdapat butterfly rash
pada wajah terutama pipi dan sekitar hidung,
telinga, dagu, daerah V pada leher
b) Mata
Inspeksi dan palpasi
Pada pemeriksaan mata di dapatkan hasil
mata tampak pucat (anemis)
c) Telinga
Inspeksi dan palpasi
Menginspeksi dan memalpasi struktur telinga
luar, mengisnpeksi struktur telinga tengah
dengan ostoskop dan menguji telinga dalam
dengan mengukur ketajaman pendengaran.
d) Hidung
Inspeksi dan palpasi

18
Mengobservasi bentuk, ukuran, warna kulit,
dan adanya deformitas atau inflamasi. Jika
ada pembengkakan, perawat memalpasi
dengan hati-hati.
e) Mulut
Inspeksi dan palpasi
Mengobservasi bentuk, ukuran, warna kulit,
dan adanya deformitas atau inflamasi.
Memalpasi apakah ada nyeri tekan terhadap
pasien pada bagian mulut & bibirnya. Pada
pasien dengan SLE biasanya akan terjadi
sariawan dan bibir pecah – pecah.
f) Leher
Inspeksi dan palpasi
Memulai dengan leher dalam posisi anatomik
biasa dengan sedikit hiperekstensi.Inspeksi
kesimetrisan bilateral dari otot leher untuk
menguji fungsi otot sternokleidomastoideus.
Periksa adanya pembesaran kelenjar tiroid.
g) Payudara
Mengenali adanya abnormalitas dengan
tampilan payudara pasien. Memalpasi untuk
menentukan adanya nyeri tekan, konsistensi
dan ukuran besarnya payudara.
h) Genetalia
Menginspeksi karakteristik warna kulit
sekitar genetalia apa ada gangguan serta
menginspeksi apa ada nyeri tekan hingga
benjolan lain yang didapatkan saat sakit

19
i) Jantung
Inspeksi, perkusi dan auskultasi
- Inspeksi adanya luka/parut sekaligus
bekas luka lainnya, adanya denyut
apeks
- Perkusi biasanya peranannya
menurun sesudah ada foto rontgen
toraks sekaligus dapat dilakukan
dengan cara sederhana untuk
menentukan letak jantung dengan
ketukan.
- Auskultasi dilakukan untuk dapat
mendengarkan suara jantung dari
stetoskop.
j) Muskuloskeletal
Sistem otot dikaji dengan memperhatikan
kemampuan megubah posisi, kekuatan otot
pasien serta kelemahan yang dialami.Sendi
dilakuakn dengan tes ROM yang menentukan
gerakan sendi normal/tidak. ROM dibagi
menjadi 2 yaitu pasif dan aktif.
k) Abdomen
Pemeriksaan abdomen pasien harus rileks.
Otot abdomen yang mengencang akan
menyembunyikan keakuratan palpasi dan
auskultasi. Perawat meminta pasien untuk
berkemih sebelum pemeriksaan dimulai.
Inspeksi dilakukan dengan cara melihat
kondisi abdomen secara keseluarahan yang
nampak.

20
d. Diagnosis SLE
Penegakkan diagnosis SLE berdasarkan kriteria
American College of Rheumatology (ACR) yang telah
dimodifikasi tahun 1997, Klasifikasi ini terdiri dari 11
kriteria, dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria
tersebut (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011), yaitu

Tabel 2.1 American College of Rheumatology Diagnostic Criteria


American College of Rheumatology
Kriteria Definisi
Ruam malar Eritema yg menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar,
dan cenderung tidak melibatkan lipatan nasolabial
Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan keratosis dan sumbatan
folikel. Pada SLE lanju ditemukan parut atrofi.
Fotosensitivitas Ruam kulit sebagai hasil reaksi sinar matahari yang tidak
biasa,baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, biasanya tanpa rasa sakit, dilihat
oleh dokter pemeriksa.
Arthritis Arthritis Nonerosif melibatkan ≥ 2 sendi perifer, ditandai
dengan nyeri, bengkak, atau efusi
Serositis (A) Pleuritis: riwayat nyeri atau gesekan pleura yang didengar
oleh dokter atau terdapat bukti efusi pleura, Atau
(B) Perikarditis: terbukti dengan EKG atau adanya
gesekan pericardium, atau terdapat bukti efusi
perikardial
Gangguan (A) Persistent proteinuria > 0,5 g/dl/hari, atau > 3 + jika tidak
ginjal dilakukan pemeriksaan kuantitatif, Atau
(B) Silinder seluler : Mungkin sel darah merah,
hemoglobin, granular, tubular, atau campuran

21
Gangguan (A) Kejang : bukan diakibatkan obat atau gangguan metabolic
neurologis (misalnya, uremia ketoasidosis, ketidakseimbangan
elektrolit).
(B) Psikosis: bukan diakibatkan obat atau gangguan
metabolik (misalnya, uremia, ketoasidosis,
ketidakseimbangan elektrolit)
Gangguan (A) Anemia Hemolitik dengan retikulositosis. Atau
Hematologi (B) Leukopenia: <4000/mm3 total pada ≥ 2 x Pemeriksaan

(C) Limfopenia: <1500/mm3 pada ≥ 2 x pemeriksaan

(A) Trombositopenia: <100.000 / mm3 tanpa disebabkan obat-


obatan.
Gangguan (A) anti-DNA: antibody terhadap native DNA dengan titer
Imunologi abnormal. Atau
(B) Anti-Sm: Adanya antibodi terhadap antigen nuklear Sm
; Atau
(C) Temuan positif antibodi antifosfolipid berdasarkan (1)
kadar serum antibodi antikardiolipin IgG atau IgM
serum yang abnormal, (2) hasil tes positif lupus
antikoagulan menggunakan metode standar, atau (3) uji
serologi sifilis positif palsu ≤ 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan imunomobilisasi Treponema pallidum atau test
fluoresensi absorbsi antibodi treponema

Antibodi Titer antibodi antinuklear abnormal melalui imunoflouresensi


Antinuclear atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berkaitan dengan sindrom lupus yang
diinduksi obat.

22
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien Systemik
Lupus Erythematosus (SLE) yang disusun berdasarkan Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia (2017) antara lain
1. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan
infrak miokard akut
2. Risiko Penurunan curah jantung berhubungan dengan
perubahan kontraktilitas
3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan
pernurunan konsentrasi hemoglobin
4. Risiko perdarahan berhubungan dengan gangguan koagulasi
(Trombositopenia)
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi
(iskemik)
6. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidakseimbangan ventilasi perfusi
7. Gangguan Intergritas kulit dan jaringan berhubungan dengan
neuropati nerifer
8. Gangguan mobilitas berhubungan dengan kekakuan sendi
9. Risiko Ketidakseimbangan volume berhubungan dengan
penyakit ginjal
10. Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan anoreksi
11. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis
12. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi
tubuh (proses penyakit)

23
C. Rencana Asuhan Keperawatan
Berikut Rencana keperawatan berdasarkan pada pedoman PPNI untuk
tujuan/kriteria hasil menggunakan Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI) sedangkan untuk intervensi/perencanaan menggunakan Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI).

Tabel 1.1 Rencana Asuhan Keperawatan


No Diagnosa
Tujuan/Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1 Risiko perfusi Setelah dilakukan Pemantauan Tekanan Intrakranial :
serebral tidak tindakan keperawatan
efektif diharapkan perfusi Observasi
berhubungan serebral pasien membaik 1. Monitor TD
dengan infrak dengan kriteria hasil : 2. Monitor frekuensi jantung
miokard akut 1. Tingkat 3. Monitor tingkat kesadarab
kesadaran 4. Monitor tekanan perfusi
membaik serebral
2. Tidak terjadi
peningkatann Terapeutik :
tekanan 1. Kalibrasi transduer
intrakranial 2. Pertahankan posisi kepala
3. Refleks saraf dan leher netral
nembaik 3. Atur interval pemantauan
sesuai kondisi pasien

Edukasi :
1. Jelaskan tujuan prosedur
pemamtauan
2. Informasikan hasil
pemamtauan

2 Risiko Penurunan Setelah dilakukan Perawatan Jantung Akut :


curah jantung tindakan keperawatan
berhubungan diharapkan curah jantung Observasi :
dengan perubahan meningkat dengan kriteria 1. Identifikasi tanda dan
kontraktilitas hasil : gejala primer penurunan
1. Meningkatnya curah jantung (meliputi
kekuatan nadi dispnea, kelelahan, edema
perifer ortopnea, peningkatan
2. Menurun CVP)
gambaran EKG 2. Monitor tekanan darah
aritmia 3. Monitor EKG 12 sadapan

24
3. Tekanan darah 4. Monitor aritmia (kelainan
dalam batas irama dan fungsi)
normal
4. Dispnea Terapeutik :
menurun 1. Pertahankan tirah baring
minimal 12 jam
2. Pasang akses intravena
3. Berikan relaksasi untuk
mengurangi ansietas dan
stres
4. Berikan dukungan emosional
dan spiritual
5. Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi

Edukasi
1. Anjurkan berhentu merokok
2. Anjurkan melapor jika nyeri
dada
3. Anjurkan menurunkan
kecemasan dan ketakutan

Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
antiagina
2. Kolaborasi pemeriksaan X-
ray dada jika perlu
3. Kolaborasi pemberian morfin
jika perluh
3 Risiko perfusi Setelah dilakukan Perawatan Jantung :
miokard tidak tindakan keperawatan
efektif diharapkan perfusi Observasi :
berhubungan miokard membaik dengan 1. Monitor status
dengan hipertensi, kriteria hasik : kardiopulmonal (frekuensi
hiperglikemia, 1. Tekanan darah nadi, Tekanan Darah dan
hipoksemia atau rata-rata membaik MAP)
tamponade jantung 2. Tekanan darah 2. Monitor tingkat kesadaran
diastole membaik dan respon pupil
3. Tekanan darah 3. Identifikasi penyebab
sistole membaik masalah utama (mis. Volume
4. Kadar kreatinin , pompa atau irama jantung)
plasma membaik 4. Monitor EKG 12 lead

Terapeutik :
1. Pertahankan kepatenan jalan
napas

25
2. Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
3. Pasang jakur IV

Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
pemberian aritmia jika perlu
2. Rujuk ke program
rehabilitasi jantung
4 Risiko perdarahan Setelah dilakukan Pengurangan perdarahan :
berhubungan tindakan keperawatan
dengan gangguan diharapkan status Observasi
koagulasi sirkulasi pasien membaik 1. Identifikasi penyebab
(Trombositopenia) dan tidak perjadi perdarahan
perdarahan. 2. Monitor pasien akan
Kriteria hasil : perdarahan secara ketat
1. Wajah tidak pucat 3. Monitor status cairan
2. Tidak terjadi 4. Monitor jumlah dan sifat
penurunan suhu kehilangan darah
kulit 5. Monitor tanda-tanda vital
3. Kelelahan (Tekanan darah, madi, suhu
berkurang dan respirasi).

Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan akses
IV
2. Beri produk-produk darah

Edukasi
3. Ajarkan pasien dan keluarga
akan tanda-tanda perdarahan
dan tindakan yang tepat bila
perdarahan lebih lanjut
terjadi
4. Anjurkan pasien untuk
minum atau makan dalam
jumlah yang lebih
5. Instruksikan pada pasien dan
keluarga untuk menghubungi
tim kesehatan jika terjadi
perdarahan.

Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian obat-
obatan untuk mencegah atau

26
menghentikan perdarahan
yang ada.
5 Gangguan Setelah dilakukan Terapi oksigen :
pertukaran gas tindakan keperawatan
berhubungan pertukaran gas dapat Observasi :
dengan membaik dengan kriteria 1. Monitor aliran oksigen
ketidakseimbangan hasil : 2. Monitor tanda dan gejala
ventilasi-perfusi 1. Membaik PCO2 toksikasi dan atelektasis
2. Membaik PO2 3. Monitor efektivitas
3. Menurunnya pemberian oksigen (cek
bunyi suara napas saturasi oksigen, analisa gas
tambahan darah)
4. Menurunnya
diaforesis Terapeutik :
1. Bersihkan sekret pada mulut,
hidung, dan trakea jika
perluh
2. Siapkan dan atur alat
pemberian oksigen
3. Pertahankan kepatenan jalan
napas

Edukasi :
1. Ajarkan pasien dan kelaurga
cara menggunakan oksigen
dirumah

Kolaborasi :
1. Kolaborasi penentuan dosisi
oksigen
2. Kolaborasi penggunaan
oksigen saat aktivitas atau
tidur
6 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri :
berhubungan tindakan keperawata
dengan agen diharapkan tingkat nyeri Observasi :
pencedera fisiologi berkurang dengan kriteria 1. Identifikasi lokasi,
(iskemik) hasil : karakteristik, durasi,
1. Keluhan nyeri frekuensi, intensitas nyeri
menurun 2. Identifikasi skala nyeri
2. Sikap proktetif 3. Identifikasi faktor
menurun penghambat dan meperingan
3. Ketengangan otot nyeri
menuru 4. Identifikasi respon nyeri non
verbal

27
4. Frekuensi nadi Terapeutik :
dalam batas 1. Berikan teknik non
normal farmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis, akupresur,
kompres hangat/dingin,
teknik imajinasi)
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mus. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur

Edukasi :
1. Jelaskan strategi meredahkan
nyeri
2. Anjurkan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
3. Jelaskan penyebab, periode
dan pemicu nyer

Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
antipiretik, jika perlu
7 Gangguan Setelah dilakukan Perawatan Integritas Kulit :
Intergritas kulit tindakan keperawatan
berhubungan diharapkan intergritas Observasi :
dengan neuropati kulit dab jaringan pasien 1. Identifikasi penyebab
perifer membaik dengan kriteria gangguan integritas kulit
hasil : (mis. Gangguan sirkulasi,
1. Perfusi jaringan perubahan status nutrisi,
meningkat penurunan kelembapan)
2. Kerusakan lapisan
kulit menurun Terapeutik :
3. Tidak terjadi 1. Gunakan prosuk berbahan
nekrosis petrolium, atau minyak pada
kulit kering
2. Gunakan produk ringan /
alami dan hipoalergik pada
kulit sensitif
3. Hindari produk berbahan
alkohol pada kulit kering

28
Edukasi :
1. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
2. Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrim
3. Anjurkan mandi
menggunakan sabun
secukupnya
4. Anjurkan minum air putih
yang cukup
8 Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi :
mobilitas tindakan keperawatan
berhubungan diharapkan keseimbangan Observasi
dengan kekakuan cairan meningkat dengan 1. Identifikasi adanya keluhan
sendi kriteria hasil : nyeri atau keluhan fisik
lainnya
2. Identifikasi toleransi fisik
melakukan pergerakan
3. Monitor kondisi umum
selama melakukan
koordinasi

Terapeutik :
1. Fasilitasi melakukan
pergerakan
2. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan

Edukasi :
1. Jelaskan tujuan prosedur
mobilisasi
2. Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
Duduk ditempat tidur, duduk
disisi tempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke kursi)
9 Risiko Setelah dilakukan Manajemen cairan :
Ketidakseimbangan tindakan keperawatan
volume diharapkan keseimbangan Observasi :
berhubungan cairan meningkat dengan 1. Monitor berat badan
dengan penyakit kriteria hasil : 2. Monitor hasil pemeriksaan
ginja 1. Keluaran urin laboratorium (mis.
meningkat Hematokrit, Na, K, C)
2. Edema menurun

29
3. Tekanan darah 3. Monitor status
dalam batas hemodinamaik (mis. MAP,
normal CVP jika tersedia)
4. Denyut nadi radial Terapeutik :
dalam batas 1. Catat intake-output cairan
normal dan hitung balance cairan
2. Berikan asupan cairan sesuai
kebutuhan

Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
diuretik, jika perlu
10 Risiko defisit Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi :
nutrisi tindakan keperawatan
berhubungan diharapkan Status Nutrisi Observasi :
dengan anoreksi pasien membaik dengan 1. Identifikasi status nutrisi
kriteria hasil : 2. Monitor asupan makanan
1. Berat badan 3. Monitor berat badan
normal
2. IMT dalan batas Terapeutik :
normal 1. Berikan suplemen makanan
3. Membaiknya jika perlu
nafsu makan 2. Fasilitasi menentukan
4. Membaiknya pedoman diet
frekuensi makan 3. Berikan makanan tinggi
protein

Edukasi :
1. Anjurkan duduk ketika
makan
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan

Kolaborsi :
1. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menemtukan jumlah
kalori dan jenis nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(mis : pereda nyeri atau obat
antiemetik).

30
11 Keletihan Setelah dilakukan Manajemen Energi :
berhubungan tindakan keperawatan
dengan kondisi diharapkan tingkat Observasi :
fisiologis keletihan pasien membaik 1. Monitor kelelahan fisik
dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi gangguan fungsi
1. Pola istirahat tybuh yang menyebabkan
membaik kelelahan
2. Meningkatknya
kemampuan Terapeutik :
melakukan 1. Lakukan aktivitas diktraksi
aktivitas yang menyenangkan
3. Gangguan 2. Sediakan lingkungan nyaman
konsentrasi dan rendah stimulus (cahaya,
menurun suara)

Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan mengunjungi
perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang

Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan ahli gizi
dalam meningkatkan
kebutuhan asupan makanan
12 Gangguan citra Promosi Citra Tubuh :
tubuh berhubungan
dengan perubahan Observasi :
fungsi tubuh 1. Idebtifikasi harapan citra
(proses penyakit) tubuh berdasaekan tahapan
perkembangan
2. Identifikasi perubahan citra
tubuh yang mengakibatkan
isolasi sosial
3. Monitor frekuensi
pernyataan kritik diri sendiri

Terapeutik :
1. diskusikan perubahan tubuh
dan fungsinya
2. diskusikan perbedaan
penampilan diri terhadap
harga diri
3. diskusikan cara
mengembangkan harapan
citra tubuh secara realitis

31
Edukasi :
1. jelaskan pada keluarga
tentang perawatan perubahan
citra tubuh
2. anjurkan menggunakan alat
bantu (mis. Pakai wig atau
kosmetik)
3. anjurkan menggungkapkan
gambaran diri terhadap citra
tubuh
4. latih fungsi tubuh yang
dimiliki

32
BAB III
PEMBAHASAN

Kasus SLE
Pasien perempuan berumur 34 tahun dengan keluhan lemas yang
terus menerus sejak 1 bulan yang lalu dan tambah memberat, semakin lemas
untuk melakukan aktivitas ringan rumah tangga, lemas berkurang dengan
istirahat. Pasien mengeluh nyeri kepala seperti tertimpa sejak 6 hari yang
lalu dan semakin memberat. Pasien mengeluh mulai 1 bulan yang lalu
banyak muncul sariawan, nyeri telan dan susah makan. Pasien mengatakan
ada penurunan berat badan 10 Kg. Pasien mengeluh adanya nyeri bahu dan
memberat selama 6 hari terakhir. Pasien mengatakan rambut rontok sejak 2
bulan yang lalu. Adanya bercak kemerahan tidak gatal, tidak berbentol di
telapak tangan,telapak kaki, pipi, lengan kanan dan lengan kiri. Hasil
pemeriksaan lab: Hb 8,25 gr/dl, PLT 125.000/UL, albumin 2,29 gr/dl,
pemeriksaan direct combo test dan indirect combo test dengan kesimpulan
adanya auto immune antibody juga igG pada sel darah merah. Pasien
didiagnosa SLE

A. Pengkajian
Data Yang diperoleh
Data subjektif : - Pasien perempuan berumur 34 tahun dengan
keluhan lemas yang terus menerus sejak 1 bulan
yang lalu dan tambah memberat, semakin lemas
untuk melakukan aktivitas ringan rumah tangga,
lemas berkurang dengan istirahat.
- Pasien mengeluh nyeri kepala seperti tertimpa
sejak 6 hari yang lalu dan semakin memberat.
- Pasien mengeluh mulai 1 bulan yang lalu banyak
muncul sariawan, nyeri telan dan susah makan.

33
- Pasien mengatakan ada penurunan berat badan 10
Kg.
- Pasien mengeluh adanya nyeri bahu dan
memberat selama 6 hari terakhir.
- Pasien mengatakan rambut rontok sejak 2 bulan
yang lalu.
Data Objektif : - Adanya bercak kemerahan tidak gatal, tidak
berbentol di telapak tangan,telapak kaki, pipi,
lengan kanan dan lengan kiri.
- Hasil pemeriksaan lab :
 Hb 8,25 gr/dl
 PLT 125.000/UL
 Albumin 2,29 gr/dl
 Pemeriksaan direct combo test dan indirect
combo test dengan kesimpulan adanya auto
immune antibody juga igG pada sel darah
merah.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan yang ditemukan pada kasus adalah :
1. Risiko perdarahan berhubungan dengan gangguan koagulasi
(Trombositopenia)
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi (iskemik)
3. Gangguan Intergritas kulit dan jaringan berhubungan dengan
neuropati nerifer
4. Risiko Ketidakseimbangan volume berhubungan dengan penyakit
ginjal
5. Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan anoreksi
6. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis

34
Genetik Imunologi Lingkungan Hormonal Farmakologi

Pemeriksaan Penungajng :
SLE Direct Combo Test Dan
Indirect Combo Test (+)

Muskuluskletal Pencernaan Saraf Integumen Hematologi

Inflamasi Inflamasi Gangguan Peradangan pada Laju EDP


pada sendi saluran Neurologis integumen meningkat
pencernaan
pada otak

Radang Lesi pada kulit Hemolisis


pada sendi Peningkatan
HCl Nyeri Kepala
dan Pusing
Nekrosis Gangguan
Nyeri pada Mual, muntah, Diare pembentukan sel
sendi dan otot Anoreksi darah merah
Gangguan
Risiko Ketidak Integritas
Nyeri akut Risiko seimbangan Kulit Hb Menurun
Defisiensi Volume Cairan
Nutrisi Gangguan
Albumin
Anemia pembekuan
Ulkus mulut Menurun darah
atau orofaring
Lemas, Letih,
Gangguan pada Lesu dan Trombosit
pertumbuhan mudah lelah Menurun
Sariawan
rambut

Keletihan Risiko
Rambut
perdarahan
Rontok

Patoflowdiagram Berdasarkan Kasus SLE


35
C. Pembahasan
Berdasarkan hasil dari pengkajian pada kasus ada beberapa data yang
didapatkan berdasarkan manifestasi pada sistem tubuh yang terganggu
seperti berikut :
1. Sistem muskuloskeletal
Pada kasus ditemukan adanya nyeri bahu dan memberat
selama 6 hari terakhir.
Penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal.
Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia)
atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi
sendi (Muthusamy, 2017).
2. Sistem Integumen (Kulit, kuku dan rambut)
Pada kasus ditemukan ada bercak kemerahan tidak gatal,
tidak berbentol di telapak, tangan, telapak kaki, pipi, lengan kanan
dan lengan kiri dan rambut rontok dan Albumin adalah 2,29 gr/dl
Menurut Nuratif dan Kusuma (2016) pada pengkajian pada
pasien SLE merasa panas seluruh badan badan selama 1 bulan, dan
pasien merasakan kulitnya kering/ bersisik, pecah-pecah rambut
rontok dan semakin parah apabila terpapar sinar matahari.
3. Sistem saraf
Pada kasus ditemukan adanya ryeri pada kepala karena
gangguan neuropsikiatrik.
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan
mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik yang menyebabkan
depresi, psikosis sakit kepala dan kejang (Smeltzer dkk, 2010)
4. Sistem Hematologi
Pada kasus ditemukan nilai laboratorium Hb: 8,25gr/dl
(anemia menyebabkan lemas) , PLT 125.000/UL (sistem darah atau
hematologi yang menyebabkan trombositopenia).
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus.
Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang

36
melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan
perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit
menahun (Smeltzer dkk, 2010).
5. Sistem Pencernaan
Pada kasus ditemukan nyeri telan, susah makan, penurunan
BB 10kg serta adanya sariawan
Pada Odapus yang punya tingkat alergi yang cukup tinggi
terhadap makanan karena peningkatan asam lambung (makanan
akan susah untuk di makan, akibat reaksi dari tubuh yang
menyebabkan tubuh merasa mual, muntah). Selain itu, akan terjadi
gangguan berupa diare yang terus - menerus, dan terjadi nyeri
abdominal difus yang disebabkan oleh peritonitis autoimun dan
peritonitis (FKG UI, 2017).

37
BAB IV
KESIMPULAN

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi


autoimun dengan manifestasi klinis, perjalanan penyakit, dan prognosis yang
beragam, dan sulit diperkirakan awal manifestasi secara akut dan tersamar, dapat
menyerang berbagai organ tubuh, serta dapat kambuh kembali.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah hasil dari regulasi sistem imun
yang terganggu yang menyebabkan produksi berle-bihan dari autoantibodi. Pada
kondisi normal tubuh manusia, antibodi diproduksi dan digunakan untuk
melindungi tubuh dari benda asing (virus, kuman, bakteri, dll). Namun pada kon-
disi SLE, antibodi tersebut kehilangan kemampuan untuk membedakan antara
benda asing dan jaringan tubuh sendiri.
Secara umum penyebab pasti dari penyakit SLE sampai saat ini masih
belum diketahui. Namun terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi faktor risiko
dari penyakit ini, yaitu genetik, lingkungan yaitu sinar UV, regulasi sistem imun,
hormonal, dan genetik serta obat-obatan yang dapat meningkatkan atau
mengaktifkan autoiumum
Manifestasi sistemik dari SLE sangat bervariasi yakni dapat melibatkan
beberapa organ, penyakit ini bisa timbul mendadak disertai tanda-tandanya terkena
berbagai sistem organ dalam tubuh, seperti kulit, persendian, ginjal, jantung, paru-
paru, dan sistem syaraf. Bila terjadi menahun, maka gejala pada satu sistem akan
diikuti oleh gejala terkenanya sistem lain.

38
DAFTAR PUSTAKA

Azizah. (2013). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat


Perkotaan Pada Pasien Sistemik Lupus Eritematosus Di Ruang Rawat
Anak Lantai Tiga Selatan Rsup Fatmawati Jakarta. (Karya Tulis Ilmiah).
Fakultas Keperawatan : Universitas Indonesia diakes melalui
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351600-PR-Yuni%20Azizah.pdf
Bartels, C.M., Diamond, H.S., Muller, D., Farina, A.G., Goldberg, E., Hildebrand,
J.,Lakdawala, V.S. (2013). Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Retrieved from http://www.emedicine.medscape.com
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen
Klinis untuk Hasil yang Diharapkan Edisi 8 Buku 1. Jakarta : CV
Pentasada Media Edukasi.
Fatmawati A. (2018). Regulasi Diri Pada Penyakit Kronis - Systemic Lupus
Erythematosus : Kajian Literatur. Jurnal Keperawatan Indonesia,
Volume 21 No.1, hal 43-50
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas (FKG UI). (2017). IndonesiaSystemic Lupus
Erythematosus (SLE). Diakses melalui http://lib.ui.ac.id/file?file=
digital/125167-R19-OM-180%20Profil%20status-Literatur.pdf
Muttaqin, Arif. (2012). Pengkajian Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinik.
Jakarta: Salemba Medika.
Muthusamy (2017). Systemic Lupus Erythematous (SLE). Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana https://simdos.unud.ac.id/uploads/filepenelitian1
dir/4b5af7f9d2503f55a347e689e5d7f2ab.pdf
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan
Penerapan Diagnosa Nanda, Nic, Noc dalam Berbagai Kasus Edisi
Revisi Jilid 2 . Yogyakarta: Mediaction Jogja.
Rangkuti, Marpaung, Sjah dan Firman (2018). Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) berat pada laki-laki. Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Diakses melalui http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/63605?
show=full
Tim Pokja PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia . Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI. Edisi 1 Cetakan III
Tim Pokja PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia . Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI. Edisi 1 Cetakan II
Tim Pokja PPNI. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia . Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat PPNI. Edisi 1 Cetakan II

39
Setiati, S. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : Interna
Publising.
Smeltzer, Suzanne c (2014). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Edisi 12. Jakarta : ECG
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L, & Cheever, K.H. (2010). Brunner and
Suddarth textbook of medical surgical nursing (12th Ed.). Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2011). Rekomendasi Perhimpunan
Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik : Jakrta. ISBN 978-979-3730-16-5

40

Anda mungkin juga menyukai