Dosen Pembimbing :
FAKULTAS FARMASI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tidak menular (PTM) diketahui sebagai faktor utama penyebab kematian
tahun 2012. Secara global, diperkirakan 56 juta orang meninggal karena PTM. Saat ini
angka kejadian penyakit PTM terus meningkat, diantaranya yaitu penyakit lupus.
Data prevalensi di setiap negara berbeda-beda. Suatu studi sistemik di Asia Pasifik
memperlihatkan data insidensi sebesar 0,9 - 3,1 per 100.000 populasi/tahun. Prevalensi
kasar sebesar 4,3-45,3 per 100.000 populasi.
The Lupus Foundation of America memperkirakan sekitar 1,5 juta kasus terjadi di
Amerika dan setidaknya terjadi lima juta kasus di dunia. Setiap tahun diperkirakan
terjadi sekitar 16 ribu kasus baru lupus.
Di Indonesia, jumlah penderita penyakit Lupus secara tepat belum diketahui.
Prevalensi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di masyarakat berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Prof. Handono Kalim, dkk di Malang memperlihatkan angka sebesar
0,5% terhadap total populasi.
Peningkatan jumlah kasus Lupus perlu diwaspadai oleh masyarakat dengan memberi
perhatian khusus karena diagnosis penyakit Lupus tidak mudah dan sering terlambat.
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang
dikenal sebagai penyakit “seribu wajah” merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis
yang belum jelas penyebabnya, dan memiliki sebaran gambaran klinis yang luas dan
tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Hal ini menyebabkan sering terjadi
kekeliruan dalam mengenali penyakit Lupus, sampai menyebabkan keterlambatan
dalam diagnosis dan penatalaksanaan kasus.
Penyakit Lupus dapat menyerang siapa saja. Meskipun Lupus sebagian besar
menyerang perempuan usia produktif (15-44 tahun), namun kaum pria, kelompok anak-
anak dan remaja juga dapat terkena Lupus. Penyakit ini juga dapat menyerang semua
ras, namun lebih sering ditemukan pada ras kulit berwarna.
Berdasarkan uraian diatas, diperlukan bekal pengetahuan bagi tenaga kesehatan
termasuk tenaga kefarmasian tentang penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang dikenal sebagai penyakit “seribu wajah”.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Definisi
Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan
penyakit autoimun multisistem yang berat. Pada keadaan ini tubuh membentuk berbagai
jenis antibodi, termasuk antibody terhadap antigen nuklear (ANAs) sehingga
menyebabkan kerusakan berbagai organ. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode
remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan
dengan berbagai organ yang terlibat. SLE terutama menyerang wanita usia reproduksi.
Faktor genetik, imunologik, hormonal serta lingkungan berperan dalam proses
patofisiologi.
Lupus merupakan penyakit autoimun yang banyak menyerang wanita dengan usia
antara 15–45 tahun. Perbandingan risiko antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Hal ini
berhubungan dengan hormon yang terdapat pada wanita yakni hormon estrogen. Etnik
juga menjadi salah satu faktor risiko terkena lupus. Mereka yang memiliki kulit gelap
seperti penduduk asia, penduduk asli amerika dan hispanik memiliki risiko lebih besar
terserang Lupus dibandingkan mereka yang berkulit putih.
Survival rate SLE berkisar antara 70-85% dalam 5-10 tahun pertama dan 53-64%
setelah 20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3-5 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum.4 SLE memberi pengaruh terhadap kehamilan diantaranya
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas fetus, kelahiran preterm, IUGR atau
disebut juga Intrauterine Growth Restriction (Gaya, 2017).
Data antara tahun 1988-1990 di Indonesia, insidensi rata-rata penyandang SLE
adalah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan dan cenderung meningkat dalam dua dekade
terakhir. Jumlah penderita SLE di Indonesia cenderung meningkat. Berdasarkan data
tahun 2002, Yayasan Lupus Indonesia mencatat 1.700 orang dan pada tahun 2007
berjumlah 8.672 penderita SLE, dengan 90 % wanita (Savitri, 2005). Tahun 2014 yang
tercatat menurut Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang yaitu 58 orang
(Fandika, 2016).
B. Gejala Klinis
Gejalanya awal kerap mirip dengan penyakit lain sehingga sulit untuk didiagnosis.
Gejala lupus sangat beragam. Ada yang ringan dan ada yang bahkan mengancam jiwa.
Gejala lupus yang paling sering muncul dari semua pasien tanpa memandang jenis
kelamin adalah:
1. Keletihan;
2. Sakit kepala;
3. Nyeri atau bengkak sendi;
4. Demam;
5. Anemia (baik karena jumlah sel darah merah/haemoglobin kurang, atau
karena volume darahnya kurang);
6. Nyeri di dada ketika menarik nafas panjang;
7. Ruam kemerahan pada pipi hingga hidung, polanya seperti kupu-kupu;
8. Sensitif terhadap cahaya atau cahaya matahari;
9. Rambut rontok sampai kebotakan (alopecia);
10. Pendarahan yang tidak biasa;
11. Jari-jari berubah pucat atau kebiruan ketika dingin(fenomena Raynaud);
12. Sariawan di mulut atau koreng di hidung (Kemenkes RI, 2017).
C. Etiologi
SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLA-DRB1,
IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan factor lingkungan.
Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imun yang abnormal
(Muthusamy, 2017).
D. Faktor Resiko
Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki variasi gambaran klinis yang luas, dan
tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Faktor genetik, imunologik dan hormonal,
serta lingkungan diduga juga berperan dalam perjalanan penyakit.
Faktor resiko penyakit LES adalah :
1. Faktor genetik: diketahui bahwa sekitar 7%* pasien LES memiliki keluarga
dekat (orang tua atau saudara kandung) yang juga terdiagnosis LES. Oleh karena
itu, factor genetic merupakan salah satu factor risiko LES. Sejauh ini diketahui
terdapat sekitar 30 variasi gen yang dikaitkan dengan kejadian SLE.
2. Faktor lingkungan: infeksi, sstres, makanan, antibiotik (khususnya kelompok
sulfa dan penisilin), cahaya ultraviolet (matahari) dan penggunaan obat-obat
tertentu, merokok, paparan kristal silika, merupakan factor pemicu timbulnya
LES.
3. Faktor hormonal: perempuan lebih sering terkena penyakit LES dibandingkan
dengan laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit LES sebelum
periode menstruasi atau selama kehamilan mendukung dugaan bahwa hormone,
khususnya estrogen menjadi pencetus penyakit LES. Namun, hingga saat ini
belum diketahui secara pasti peran hormon yang menjadi penyebab besarnya
prevalensi LES pada perempuan pada periode terntentu (Kemenkes RI, 2017).
E. Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel
secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen
yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun
dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase
profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan.
Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1)
pembentukan dan generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada
organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara
langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke
sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk
melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya
terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit,
termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit
(Muthusamy, 2017).
H. Penatalaksanaan Terapi
Tatalaksana pasien penyakit LES adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar pasien penyakit LES dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Tatalaksana umum yang harus dilakukan adalah:
1. Hindari aktifitas fisik yang berlebihan.
2. Hindari merokok.
3. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi.
4. Hindari stres dan trauma fisik.
5. Diet khusus sesuai organ yang terkena.
6. Hindari pajanan sinar matahari secara langsung, khususnya UV pada pukul 10.00
sampai 15.00
7. Gunakan pakaian yang tertutup, tabir surya minimal SPF 30 PA++ 30 menit
sebelum keluar rumah.
8. Hindari pajanan lampu UV.
9. Hindari pemakaian kontrasepsi atau obat lain yang mengandung hormone
estrogen.
10. Kontrol secara teratur ke dokter.
11. Minum obat teratur (Kemenkes RI, 2017).
STUDI KASUS
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tentang Systemic Lupus Erythematous (SLE) diatas, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE)
merupakan penyakit autoimun multisistem yang berat. Pada keadaan ini tubuh
membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibody terhadap antigen nuklear
(ANAs) sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ.
2. Gejala lupus yang paling sering muncul dari semua pasien tanpa memandang
jenis kelamin adalah keletihan, sakit kepala, nyeri atau bengkak sendi, demam,
dll.
3. SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLA-DRB1,
IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan factor
lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imun
yang abnormal.
4. Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares).
5. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Suselo (2016) bahwa pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan yaitu pemeriksan untuk mendapatkan perbedaan
ekspresi CD3 dan CD26 serta aktivitas enzim CD26 serum dan kultur limfosit T
penderita SLE dengan orang sehat.
6. Tatalaksana umum yang harus dilakukan oleh pasien SLE adalah hindari aktifitas
fisik yang berlebihan, hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses
inflamasi, hindari pajanan sinar matahari secara langsung khususnya UV, dll.
B. Saran
Setelah mempelajari mengenai Systemic Lupus Erythematous (SLE), penulis
menyarankan kita untuk selalu mempelajari dan menggali ilmu. Ilmu akan terus
berkembang, terutama di dunia kesehatan. Hal tersebut merupakan hal yang penting
untuk diketahui dan dipahami oleh kita, mahasiswa Farmasi.
DAFTAR PUSTAKA
Shastri, K.V., Bhatia, V., Parikh, P.R., dan Chapkear, V.N., 2012. Actinidia
Deliciosa: A Review. Available Online On www.ijpsr.com. 3(10): 3544-3545.
Suselo, Y.H., Balgis, dan Dono Indarto., 2016. Ekspresi CD3 dan CD26 pada
Limfosit T sebagai Biomarker Potensial Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus. Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta