Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HEMATOLOGI

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2


1. Oktovina Arruan (18334767)
2. Popi Pebriani (18334769)
3. Setiawati Islamiyah (18334763)
4. Sopianti Mapikasari (18334750)
5. Antonius Roynardo Simarmata (18334773)

Dosen Pembimbing :

Putu Rika Veryanti, S.Farm., M.Farm-Klin., Apt.

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

TAHUN PELAJARAN 2018/2019


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit tidak menular (PTM) diketahui sebagai faktor utama penyebab kematian
tahun 2012. Secara global, diperkirakan 56 juta orang meninggal karena PTM. Saat ini
angka kejadian penyakit PTM terus meningkat, diantaranya yaitu penyakit lupus.
Data prevalensi di setiap negara berbeda-beda. Suatu studi sistemik di Asia Pasifik
memperlihatkan data insidensi sebesar 0,9 - 3,1 per 100.000 populasi/tahun. Prevalensi
kasar sebesar 4,3-45,3 per 100.000 populasi.
The Lupus Foundation of America memperkirakan sekitar 1,5 juta kasus terjadi di
Amerika dan setidaknya terjadi lima juta kasus di dunia. Setiap tahun diperkirakan
terjadi sekitar 16 ribu kasus baru lupus.
Di Indonesia, jumlah penderita penyakit Lupus secara tepat belum diketahui.
Prevalensi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di masyarakat berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Prof. Handono Kalim, dkk di Malang memperlihatkan angka sebesar
0,5% terhadap total populasi.
Peningkatan jumlah kasus Lupus perlu diwaspadai oleh masyarakat dengan memberi
perhatian khusus karena diagnosis penyakit Lupus tidak mudah dan sering terlambat.
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang
dikenal sebagai penyakit “seribu wajah” merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis
yang belum jelas penyebabnya, dan memiliki sebaran gambaran klinis yang luas dan
tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Hal ini menyebabkan sering terjadi
kekeliruan dalam mengenali penyakit Lupus, sampai menyebabkan keterlambatan
dalam diagnosis dan penatalaksanaan kasus.
Penyakit Lupus dapat menyerang siapa saja. Meskipun Lupus sebagian besar
menyerang perempuan usia produktif (15-44 tahun), namun kaum pria, kelompok anak-
anak dan remaja juga dapat terkena Lupus. Penyakit ini juga dapat menyerang semua
ras, namun lebih sering ditemukan pada ras kulit berwarna.
Berdasarkan uraian diatas, diperlukan bekal pengetahuan bagi tenaga kesehatan
termasuk tenaga kefarmasian tentang penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang dikenal sebagai penyakit “seribu wajah”.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?

2. Apa saja gejala klinis dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?

3. Bagaimana etiologi, faktor resiko, patofisiologi, cara pemeriksaan darah dan

penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?

C. Tujuan

1. Untuk memahami yang dimaksud dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

2. Untuk memahami gejala klinis dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

3. Untuk memahami etiologi, faktor resiko, patofisiologi, cara pemeriksaan darah

dan penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan
penyakit autoimun multisistem yang berat. Pada keadaan ini tubuh membentuk berbagai
jenis antibodi, termasuk antibody terhadap antigen nuklear (ANAs) sehingga
menyebabkan kerusakan berbagai organ. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode
remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan
dengan berbagai organ yang terlibat. SLE terutama menyerang wanita usia reproduksi.
Faktor genetik, imunologik, hormonal serta lingkungan berperan dalam proses
patofisiologi.
Lupus merupakan penyakit autoimun yang banyak menyerang wanita dengan usia
antara 15–45 tahun. Perbandingan risiko antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Hal ini
berhubungan dengan hormon yang terdapat pada wanita yakni hormon estrogen. Etnik
juga menjadi salah satu faktor risiko terkena lupus. Mereka yang memiliki kulit gelap
seperti penduduk asia, penduduk asli amerika dan hispanik memiliki risiko lebih besar
terserang Lupus dibandingkan mereka yang berkulit putih.
Survival rate SLE berkisar antara 70-85% dalam 5-10 tahun pertama dan 53-64%
setelah 20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3-5 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum.4 SLE memberi pengaruh terhadap kehamilan diantaranya
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas fetus, kelahiran preterm, IUGR atau
disebut juga Intrauterine Growth Restriction (Gaya, 2017).
Data antara tahun 1988-1990 di Indonesia, insidensi rata-rata penyandang SLE
adalah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan dan cenderung meningkat dalam dua dekade
terakhir. Jumlah penderita SLE di Indonesia cenderung meningkat. Berdasarkan data
tahun 2002, Yayasan Lupus Indonesia mencatat 1.700 orang dan pada tahun 2007
berjumlah 8.672 penderita SLE, dengan 90 % wanita (Savitri, 2005). Tahun 2014 yang
tercatat menurut Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang yaitu 58 orang
(Fandika, 2016).
B. Gejala Klinis

Gejalanya awal kerap mirip dengan penyakit lain sehingga sulit untuk didiagnosis.
Gejala lupus sangat beragam. Ada yang ringan dan ada yang bahkan mengancam jiwa.
Gejala lupus yang paling sering muncul dari semua pasien tanpa memandang jenis
kelamin adalah:
1. Keletihan;
2. Sakit kepala;
3. Nyeri atau bengkak sendi;
4. Demam;
5. Anemia (baik karena jumlah sel darah merah/haemoglobin kurang, atau
karena volume darahnya kurang);
6. Nyeri di dada ketika menarik nafas panjang;
7. Ruam kemerahan pada pipi hingga hidung, polanya seperti kupu-kupu;
8. Sensitif terhadap cahaya atau cahaya matahari;
9. Rambut rontok sampai kebotakan (alopecia);
10. Pendarahan yang tidak biasa;
11. Jari-jari berubah pucat atau kebiruan ketika dingin(fenomena Raynaud);
12. Sariawan di mulut atau koreng di hidung (Kemenkes RI, 2017).

C. Etiologi

SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLA-DRB1,
IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan factor lingkungan.
Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imun yang abnormal
(Muthusamy, 2017).

D. Faktor Resiko
Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki variasi gambaran klinis yang luas, dan
tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Faktor genetik, imunologik dan hormonal,
serta lingkungan diduga juga berperan dalam perjalanan penyakit.
Faktor resiko penyakit LES adalah :
1. Faktor genetik: diketahui bahwa sekitar 7%* pasien LES memiliki keluarga
dekat (orang tua atau saudara kandung) yang juga terdiagnosis LES. Oleh karena
itu, factor genetic merupakan salah satu factor risiko LES. Sejauh ini diketahui
terdapat sekitar 30 variasi gen yang dikaitkan dengan kejadian SLE.
2. Faktor lingkungan: infeksi, sstres, makanan, antibiotik (khususnya kelompok
sulfa dan penisilin), cahaya ultraviolet (matahari) dan penggunaan obat-obat
tertentu, merokok, paparan kristal silika, merupakan factor pemicu timbulnya
LES.
3. Faktor hormonal: perempuan lebih sering terkena penyakit LES dibandingkan
dengan laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit LES sebelum
periode menstruasi atau selama kehamilan mendukung dugaan bahwa hormone,
khususnya estrogen menjadi pencetus penyakit LES. Namun, hingga saat ini
belum diketahui secara pasti peran hormon yang menjadi penyebab besarnya
prevalensi LES pada perempuan pada periode terntentu (Kemenkes RI, 2017).

E. Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel
secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen
yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun
dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase
profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan.
Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1)
pembentukan dan generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada
organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara
langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke
sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk
melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya
terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit,
termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit
(Muthusamy, 2017).

F. Pemeriksaan Darah / Lab yang dibutuhkan


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Suselo (2016) bahwa pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan yaitu pemeriksan untuk mendapatkan perbedaan ekspresi
CD3 dan CD26 serta aktivitas enzim CD26 serum dan kultur limfosit T penderita SLE
dengan orang sehat.

G. Cara Pemeriksaan Darah


Penelitian yang telah dilakukan Suselo (2016) melibatkan tiga wanita pasien SLE
dari yayasan SLE ‘Griya Kupu’ di Surakarta, berusia 20–50 tahun. Diagnosis SLE
ditetapkan dengan menggunakan kriteria ACR, minimal ada 4 dari 11 gejala dan tanda
yang ada. Sementara itu, grup kontrol normal melibatkan dua wanita sukarela yang
berbadan sehat dan berusia 20–50 tahun. Proses penelitian selanjutnya dilakukan di
Laboratorium Biomedik, Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Semarang (UNS).
Protokol di dalam penelitian telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan lembaran informed consent telah
ditandatangani oleh setiap pasien.
Bahan yang dipakai adalah Hystopaque-1077 (Sigma), media kultur komplet (MKK)
terdiri atas RPMI 1640, fetal bovine serum, penicillin-streptomicin dan fungizone, PHA
(Gibco), anti-CD26 Mab-PE (Invitrogen), dan anti-CD3 Mab FITC (BD-Bioscience).

Cara Pemeriksaan Darah:


1. Sebanyak 10 mL darah vena pasien SLE dan kontrol dimasukkan dalam tabung
dengan antikoagulan EDTA. Sampel darah dikocok agar homogen.
2. Sebanyak 20 µL darah dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf dan ditambah 180
µL larutan PBS pH 7,4. Sampel divorteks dan sebanyak 20 µL dipindahkan ke
dalam tabung Eppendorf baru.
3. Sampel kemudian ditambah 180 µL larutan BD FACS lysing solution dan
diinkubasi di tempat gelap pada suhu ruang selama 10 menit. Lalu, sampel dibaca
langsung dengan alat flows cytometer.
4. Isolasi limfosit mengikuti petunjuk dari Sigma. Tiga mL sampel darah diencerkan
dengan MKK dan dimasukkan secara perlahan ke dalam tabung conical 15 mL
yang berisi hystopaque 3 mL.
5. Sampel disentrifus dengan kecepatan 400 x g selama 30 menit disuhu ruang.
Cincin opak kemudian diaspirasi dengan pipet pasteur dan dipindahkan ke tabung
conical baru.
6. 10 mL MKK ditambahkan dan sampel disentrifus kembali dengan kecepatan 250
x g selama 10 menit.
7. Sel pelet diresuspensi dengan 5 mL MKK dan disentrifus 250 xg selama 10 menit.
Sel pelet diresuspensi dengan MKK dan siap untuk dikultur.
8. Sel mononuklear dipindahkan ke dalam 7 mL MKK yang berisi PHA 1 µg/mL
dan kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37°C dengan 5% CO2
selama 24 jam untuk memisahkan monosit dan limfosit.
9. Sampel sel disentrifus 500 xg selama 5 menit dan sel pelet diresuspensikan
kembali dengan MKK yang berisi PHA 1 µg/mL dan dinkubasi pada 37°C dengan
5% CO2 selama 2 hari.
10. Sel limfosit T dipanen dan dipindahkan ke dalam tabung conical baru dan
disentrifus seperti di atas. Sel pelet diresuspensi dengan MKK kembali dan siap
digunakan untuk analisis lanjut.
11. 50 µL sampel darah dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf . Sebanyak 5 µL
anti CD3 Mab FITC atau anti CD26 Mab PE ditambahkan dan kemudian
divorteks. Suspensi diinkubasi selama 15 menit di suhu ruang dan tempat gelap.
12. 450 µL BD FACS lysing solution ditambahkan dan diinkubasi selama 15 menit.
Sampel dibaca langsung dengan alat flows cytometer, sedangkan ekspresi CD3
dan CD26 dari kultur limfosit T dilakukan dengan cara sel kultur disentrifus 500
xg selama 5 menit. Sel pelet kemudian dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf
dan ditambah PBS 1 mL.
13. Langkah selanjutnya sama seperti pada sampel darah di atas.Sel-sel limfosit yang
telah dipanen tersebut (1x106) dicuci dengan PBS pH 7,4 dua kali. Sel
diresuspensikan dengan 200 µL PBS pH 7,4 dan 50 µL sampel ditempatkan ke
dalam sumuran microplate 96.
14. Sebanyak 50 µL 1 mM larutan H-Gly-Pro pNA ditambahkan ke dalam microplate
reader. Setiap sampel dibuat tiga kali ulangan dan microplate diinkubasi pada
suhu 37°C selama 60 menit. Nilai absorbansi diukur pada panjang gelombang 405
nm.
15. Aktivitas enzim ditentukan dengan formula Beer-Lambert A=ε Cl, A=nilai
absorbansi, ε=µ molar extinction coefficient untuk pNA pada 405 nm (9,45
L.µmol-1. cm-1), C=konsentrasi (µmol.L-1) dan l=panjang lintasan sinar (2,94 cm).
16. Uji-t digunakan untuk mengetahui perbedaan antara grup SLE dan kontrol normal
menggunakan program piranti lunak SPSS 11.5. Signifikansi secara statistik
ditetapkan dengan nilai p<0,05.

H. Penatalaksanaan Terapi
Tatalaksana pasien penyakit LES adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar pasien penyakit LES dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Tatalaksana umum yang harus dilakukan adalah:
1. Hindari aktifitas fisik yang berlebihan.
2. Hindari merokok.
3. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi.
4. Hindari stres dan trauma fisik.
5. Diet khusus sesuai organ yang terkena.
6. Hindari pajanan sinar matahari secara langsung, khususnya UV pada pukul 10.00
sampai 15.00
7. Gunakan pakaian yang tertutup, tabir surya minimal SPF 30 PA++ 30 menit
sebelum keluar rumah.
8. Hindari pajanan lampu UV.
9. Hindari pemakaian kontrasepsi atau obat lain yang mengandung hormone
estrogen.
10. Kontrol secara teratur ke dokter.
11. Minum obat teratur (Kemenkes RI, 2017).
STUDI KASUS
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tentang Systemic Lupus Erythematous (SLE) diatas, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE)
merupakan penyakit autoimun multisistem yang berat. Pada keadaan ini tubuh
membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibody terhadap antigen nuklear
(ANAs) sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ.
2. Gejala lupus yang paling sering muncul dari semua pasien tanpa memandang
jenis kelamin adalah keletihan, sakit kepala, nyeri atau bengkak sendi, demam,
dll.
3. SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLA-DRB1,
IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan factor
lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imun
yang abnormal.
4. Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares).
5. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Suselo (2016) bahwa pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan yaitu pemeriksan untuk mendapatkan perbedaan
ekspresi CD3 dan CD26 serta aktivitas enzim CD26 serum dan kultur limfosit T
penderita SLE dengan orang sehat.
6. Tatalaksana umum yang harus dilakukan oleh pasien SLE adalah hindari aktifitas
fisik yang berlebihan, hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses
inflamasi, hindari pajanan sinar matahari secara langsung khususnya UV, dll.
B. Saran
Setelah mempelajari mengenai Systemic Lupus Erythematous (SLE), penulis
menyarankan kita untuk selalu mempelajari dan menggali ilmu. Ilmu akan terus
berkembang, terutama di dunia kesehatan. Hal tersebut merupakan hal yang penting
untuk diketahui dan dipahami oleh kita, mahasiswa Farmasi.
DAFTAR PUSTAKA

Gaya, L. G dan Sayuti, Marzuqi., 2017. Sistemik Lupus Eritematosus pada


Kehamilan. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Fandika, R. A dan Sukendra, D. M., 2016. Hubungan Keparahan Penyakit,


Aktivitas dan Kualitas Tidur Terhadap Kelelahan Pasien Systemic Lupus
Erythematosus. Unnes Journal of Public Health, Semarang, Indonesia.

Kemenkes RI., 2017. Infodatin Situasi Lupus di Indonesia. Departemen Kesehatan


Republik Indonesia. Jakarta

Muthusamy, Vikneshwaran., 2017. Responsi Kasus Systemic Lupus Erythematous


(SLE). Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Bali

Shastri, K.V., Bhatia, V., Parikh, P.R., dan Chapkear, V.N., 2012. Actinidia
Deliciosa: A Review. Available Online On www.ijpsr.com. 3(10): 3544-3545.

Suselo, Y.H., Balgis, dan Dono Indarto., 2016. Ekspresi CD3 dan CD26 pada
Limfosit T sebagai Biomarker Potensial Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus. Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta

Anda mungkin juga menyukai