Anda di halaman 1dari 12

SINTESIS BAHAN OBAT

PROTEIN TERAPEUTIK (ERITROPOETIN)

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 1

ANANDA PUTRI P 181501113


ANGELICA GIRSANG 181501119
LISBETH MARBUN 181501122
GANDA MEILINDA SARAGIH 181501128
DINDA ZUNNUR AINI 181501153
SILVYOLA WENIDEY BARUS 181501159

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................3
2.1 Eritropoetin................................................................................................3
2.2 Eritropoiesis...............................................................................................4
2.3 Penggunaan Human Erithropoietin Recombinant (rhu-EPO)....................5
BAB III PENUTUP ...................................................................................................7
3.1 Kesimpulan................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anemia adalah berkurangnya sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin
akibat gangguan keseimbangan antara kehilangan sel darah merah dan gangguan
produksi. Penyebab anemia pada keganasan masih belum jelas diketahui, tetapi
pada kebanyakan kasus dapat disebabkan akibat pengobatan, latar belakang
penyakit ataupun keduanya yang berpengaruh terhadap respon produksi
eritropoietin (Suryanty, dkk, 2005).
Anemia masih merupakan masalah utama pada pasien penyakit ginjal kronis
karena anemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronik telah terbukti
mempengaruhi kualitas hidup, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, oleh
karena itu anemia harus dikelola secara optimal. Anemia pada pasien ditandai
dengan penurunan kadar hemoglobin dan gejala umum seperti badan lemah,
pusing dan kesulitan bernafas. Etiologi anemia multi faktor tetapi sebagian besar
berhubungan dengan defisiensi eritropoetik stimulating factor (ESF) untuk
stimulasi sumsum tulang (Syaiful, dkk, 2013).
Hormon Erythropoietin diperlukan sum–sum tulang untuk merangsang
pembentukan sel darah merah dalam jumlah yang cukup untuk mengangkut O2 ke
seluruh tubuh. Recombinant Erythropoietin bermanfaat untuk meningkatkan sel
darah merah (hemoglobin) namun bekerjanya obat tersebut tergantung pada
status gizi dan status zat besi pasien (Syaiful, dkk, 2013).
Eritropoitin (EPO) merupakan regulator humoral eritropoesis yang lineage
specific. Produksi eritropoitin dalam tubuh bergantung pada tekanan oksigen
jaringan dan dimodulasi oleh suatu mekanisme umpan balik positif maupun
negatif. Pada tekanan oksigen yang rendah, produksi meningkat yang akan
menimbulkan peningkatan produksi eritrosit di sumsum tulang. Peningkatan
suplai oksigen menuju jaringan akan menyebabkan penurunan produksi EPO.
Sedikit penurunan produksi EPO akan menimbulkan anemia. Satu contoh yang
klasik dari anemia ini adalah anemia pada gagal ginjal terminal (Notopoero,
2007).

1
1.2 Rumusan Masalah
 Apa perbedaan Eritropoesis dan Eritropoietin ?
 Bagaimana peran Eritropoietin pada anemia ?
1.3 Tujuan
 Untuk mengetahui perbedaan Eritropoesis dan Eritropoietin.
 Untuk mengetahui peran Eritropoietin pada anemia.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Eritropoetin
Eritropoietin (EPO) adalah suatu glikoprotein hormon yang mengatur proses
eritropoiesis, yaitu proses proliferasi dan diferensiasi sel progenitor eritroid
menjadi eritrosit pada manusia. Menurunnya kandungan EPO dalam tubuh dapat
menyebabkan anemia karena rendahnya proses eritropoiesis. EPO adalah sitokin
yang diketahui dapat menstimulasi proses angiogenesis, vaskulogenesis, dan
proliferasi sel endotelial. Gen EPO manusia diekspresikan sebagian besar pada
jaringan ginjal dan hati sebagai respons pada hipoksia (Wardiana, 2009).
Eritropoietin manusia atau yang lebih dikenal dengan EPO merupakan
glikoprotein hormon yang telah dipurifikasi sejak 3 dasawarsa yang lalu.
Penelitian tentang EPO telah berkembang dan menjadi topik penelitian utama
para peneliti yang bertujuan sebagai bahan terapeutik. Kloning dan ekspresi gen
eritropoietin telah mengembangkan eritropoietin rekombinan sebagai obat. Sejak
tahun 1980 eritropoietin rekombinan menjadi komoditas utama dalam industri
bioteknologi karena penjualannya meningkat dari tahun ke tahun hingga
mencapai miliaran dolar. Dalam situs resmi Glythera melaporkan bahwa
penjualan protein terapeutik pada tahun 2008 berdasarkan kategori menunjukkan
bahwa hematopoietik menduduki urutan pertama, yaitu sebesar 23%. EPO adalah
golongan hematopoietik faktor pertumbuhan pertama yang telah diklon
(Wardiana, 2009).
EPO rekombinan dapat menstimulasi produksi sel darah merah, mengobati
anemia yang disebabkan oleh gagal ginjal pada pasien hemodialisis, dan
mereduksi durasi terkena anemia pada pasien yang menjalani kemoterapi. Terapi
dengan EPO rekombinan dapat menurunkan kebutuhan transfusi darah pasien
sehingga dapat mengurangi risiko penularan penyakit seperti hepatitis atau HIV .
EPO rekombinan digunakan juga sebagai doping bagi para atlet. Pada 10
November 1999 yang bertempat di Swis, Agen Anti-doping Dunia (WADA)
memutuskan untuk mengendalikan penggunaan doping bagi para atlit termasuk
EPO, setelah beberapa bulan mengadakan pertemuan yang membahas skandal
doping EPO pada perhelatan Tour de France 1998 (Wardiana, 2009).

3
EPO merupakan sialoglikoprotein yang diproduksi terutama di ginjal saat
dewasa dan di hati saat dalam janin yang memegang peranan penting dalam
proses proliferasi dan diferensiasi sel progenitor eritroid menjadi 2 eritrosit. EPO
mempunyai untai tunggal 165 asam amino yang mengandung 40% karbohidrat
berupa 3 posisi N-glikosilasi yang menempel pada Asn24, Asn38, dan Asn83,
serta 1 posisi O-glikosilasi yang menempel pada Ser126 (Wardiana, 2009).

Gambar 1 Rantai asam amino protein EPO dengan 2 jembatan disulfida dan 4
oligosakarida yang menempel pada N24, N38, N83, dan S126.

2.2 Eritropoiesis
Eritropoiesis merupakan proses pembentukan sel darah merah. Sel darah
merah berfungsi sebagai pengangku toksigen ke jaringan dan mengikat CO2 dari
jaringan. Dalam keadaan normal eritropoiesis memerlukan 3 faktor yaitu (1) stem
sel hematopoetik, (2) sitokinspesifik, growth factor dan hormonal regulator, serta
(3) hematopoietik yang mempengaruhi microenvirontment yang merupakan
stroma pendukung dan interaksi sel dengan sel yang diikuti proliferasi dan
diferensiasi hematopoetik sel stem dan mempengaruhi erythroid progenitor yang
akhirnya menghasilkan sel darah merah yang matur (Suryanty, dkk, 2005)..
Proliferasi dan maturasi ini diatur oleh sitokin termasuk eritropoietin sebagai
faktor yang terpenting dalam mekanisme ini. Bila terjadi hipoksia, nefron
ginjalakan merespons dengan memproduksi eritropoietin. Eritropoietin (EPO)
merupakan suatu glikoprotein hormon dengan berat molekul 30 – 39 kD yang
akan terikat pada reseptor spesifik progenitor sel darah merah yang selanjutnya

4
memberi sinyal merangsang proliferasi dan diferensiasi. Sebaliknya bila terjadi
peningkatan volume sel darah merah di atas normal misalnya oleh karena
transfusi, aktivitas eritropoietin di sumsum tulang akan berkurang. Eritropoietin
terutama dihasilkan oleh peritubular interstitial (endothelial) ginjal (± 90%)dan
sisanya (10-15%) dihasilkan di hati. Produksi EPO akanmeningkat pada keadaan
anemiaa ataupun hipoksiajaringan (Suryanty, dkk, 2005).

2.3 Penggunaan Human Erithropoietin Recombinant (rhu-EPO)


Pada tahun 1989 FDA (Food and drug administration) menyetujui
penggunaan eritropoietin rekombinan pada anemia oleh karena gagal ginjal
kronik. Beberapa peneliti menggunakan eritropoietin rekombinan tersebut
sebagai alternatif transfusi pada pasien keganasan, prematuritas, atau penyakit
kronik. Penggunaan eritropoietin pada anak dengan keganasan masih terbatas,
terutama studi dilakukan pada pasien dewasa. Penelitian awal menunjukkan
penggunaan eritropoietin pada pasien keganasandengan dosis dan jadwal yang
berbeda. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut ASCO (American Societyof
Clinical Oncology) dan ASH (American Society of Hematology) pada 1997
mulai mendiskusikan panduan praktis klinis penggunaan rhu-EPO pada pasien
keganasan. Rekomendasi yang dianjurkan sebagai berikut :
1. Pemberian rhu-EPO pada pasien anemia yangdisebabkan kemoterapi apabila
kadar Hb £ 10 g/dL. Transfusi sel darah merah pada keadaan anemiaberat
merupakan pilihan pengobatan.
2. Rhu-EPO digunakan bila kadar Hb £ 10 g/dL dantergantung keadaan klinis.
Transfusi darah merahdapat merupakan pilihan pengobatan padakeadaan
klinis yang berat.
3. Rhu-EPO diberikan secara subkutan 3 kali perminggu dengan dosis awal 150
U/kg paling sedikit4 minggu. Dosis dapat ditingkatkan hingga 300U/kg dan
dapat diberikan selama 4 – 8 minggu;dosis total per minggu 40.000 U.
4. Apabila terapi dengan rhu-EPO tidak memberirespons setelah 6 – 8 minggu
yaitu peningkatankadar Hb kurang dari 1 – 2 g/dL dianggap terapitersebut
tidak berhasil dan dipertimbangkan untukmenghentikan pengobatan.
5. Pemeriksaan progresifitas tumor atau kemungkinan defisiensi besiperlu

5
dilakukan.
6. Apabila kadar Hb telah mendekati 12 g/dL makadosis rhu-EPO harus
dikurangi untuk menjagakestabilan kadar tersebut. Jika kadar Hb
turunmendekati 10 terapi awal dapat dimulai kembali.
7. Pemeriksaan secara periodik kadar besi, TIBC,saturasi transferrin, feritin dapat
dilakukan untukmembatasi penggunaan rhu-EPO dan mengetahuipenyebab
gagalnya pengobatan. Waktu pemeriksaan belum dapat ditentukan.
8. Pada beberapa penelitian penggunaan rhu-EPOpada pasien anemiaa yang
disebabkan mielodisplasia risiko rendah sangat baik, tetapi belumada
penelitian mendukung penggunaannya padapasien anemia dengan myeloma,
non hodgkinlymphoma atau chronic lymphoblastic leukemia
tanpakemoterapi.
9. Pasien dengan penyakit myeloma, NHL, CLL yangdiberikan kemoterapi
dengan atau tanpa kortikosteroid, dilakukan observasi hematologis
sampaitumor mengalami reduksi sebelum dipertimbangkan pemberian rhu-
EPO. Rhu-EPO dapat digunakan bila tidak didapati kenaikan hemoglobin
sesudah kemoterapi. Transfusi darahmerupakan pilihan pada keadaan klinis
yang berat (Suryanty, dkk, 2005).

2.4 Efek Samping dan Kontra Indikasi rhEPO


Efek samping yang dilaporkan lebih sering pada pasien dewasa yang
menderita gagal ginjal kronik, antara lain hipertensi (24%), nyeri kepala (16%),
nyeri tulang (11%), mual (11%), edem (9%), lemah (9%) dan diare (9%). Efek
samping pada anak yang menderita gagal ginjal hampir sama dengan dewasa.16
Ludwig dkk. dalam penelitiannya pada pasien dewasa multiple myeloma
menyatakan bahwa tidak terjadi efek samping selama uji klinis. Porter dkk
menyatakan efek toksik rhu-EPO minimal, tidak ada pasien yang menderita
hipertensi atau kejang, dua pasien mengeluh nyeri pada tempat injeksi, tanpa
adanya infeksi.Studi lain menyatakan pencegahan anemiaa dengan injeksi
eritropoietin dua kali per minggu intraperitoneal selama 6 minggu menyebabkan
lebih banyak kejadian hipertensi sistemik dan kerusakan glomerular yang
ditentukan secara histologis (Suryanty, dkk, 2005).

6
Means dkk 20 dalam penelitiannya terhadap dua orang pasien yang
menerima rhu-EPO selama 8 minggu dengan dosis 150 U/kg, 3x perminggu
terjadi defisiensi besi. Pada pasien gagal ginjal kronik yang mendapat rhuEPO
terjadi peningkatan tekanan darah arteri pada beberapa minggu sampai beberapa
bulan setelah onset terapi. Umumnya peningkatan tekanan darah berkaitan
dengan peningkatan hematokrit pada pasien yang mendapat EPO. Pada beberapa
studi terbaru, didapatkan bahwa pada terapi EPO terjadi gangguan sistem
vasodilator yang berperan terhadap terjadinya hipertensi. Terapi EPO juga
menunjukkan rangsangan pada ekspresi gen renin dan substrat renin kedua ginjal
dan jaringan vaskular. Namun beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian
EPO tidak meningkatkan aktifitas plasma renin atau konsentrasi angiotensin II
pada tikus (Suryanty, dkk, 2005).
Kontra indikasi pemberian epoetin termasuk keadaan hipertensi yang tidak
terkontrol, hipersensitif terhadap albumin yang berasal dari mamalia atau
manusia, pada pasien gagal ginjal kronik dengan anemiaa berat, atau pada pasien
HIV maupun keganasan yang mengalami anemiaa yang disebabkan oleh
defisiensi besi, folat, hemolisis, atau perdarahan cerna. Meskipun tidak ada obat
yang berinteraksi bermakna dengan epoetin, namun beberapa peneliti melaporkan
diperlukan dosis yang lebih besar pada pasien yang mendapat angiotensin
converting enzim inhibitor dan yang mendapat heparin (Suryanty, dkk, 2005).

2.5 Produksi Protein Rekombinan


Protein rekombinan merupakan protein yang diperoleh dari hasil teknologi
DNA rekombinan. Kemajuan teknologi DNA rekombinan telah mendorong
berkembangnya berbagai metode produksi protein rekombinan menggunakan
inang yang aman dan relatif mudah dikultur sehingga protein dapat diproduksi
pada skala industri. Sebagian besar enzim yang digunakan untuk proses industri
merupakan hasil rekayasa, baik rekayasa pada tingkat genetik maupun protein.
Melalui teknologi DNA rekombinan dapat dilakukan pemindahan gen pengode
enzim/protein dari satu organisme ke organisme lain. Sehingga bila enzim/protein
tersebut diidentifikasi sebagai kandidat enzim untuk digunakan dalam industri,
gen pengode enzim/protein tersebut dapat dikloning dalam suatu mikroorganisme

7
inang yang cocok, dan diproduksi dalam skala industri. Dengan cara ini produksi
enzim industri dengan kualitas dan kemurnian yang tinggi dapat dilakukan
(Gaffar, 2010).
Protein yang digunakan untuk bidang farmasi dan kedokteran (protein
terapeutik dan vaksin) juga telah diproduksi secara rekombinan.
Biopharmaceutical diistilahkan untuk obat-obatan yang merupakan protein
rekombinan, vaksin rekombinan dan antibodi monoklonal. Protein yang
digunakan untuk kepentingan pengobatan dan terapi ini disyaratkan mempunyai
kemurnian yang tinggi. Teknologi DNA rekombinan juga telah menyediakan
berbagai strategi untuk meningkatkan produksi dan mempermudah pemurnian
protein (Gaffar, 2010).
Terdapat beberapa cara untuk memasukkan DNA asing ke dalam sel untuk
ekspresi protein, dan terdapat beberapa sel inang yang dapat digunakan untuk
ekspresi protein rekombinan. Masing-masing sistem ekspresi memiliki
keunggulan yang berbeda. Sistem ekspresi pada umumnya melambangkan inang
dan vektor pembawa materi genetik yang dipakai. Sebagai contoh, inang yang
umum digunakan adalah bakteri (seperti E. coli, B. substilis), ragi (seperti S.
cerevisiae, P. pastoris), atau sel eukariota. Sedangkan vektor pembawa yang
umum digunakan adalah virus (seperti baculovirus, retrovirus dan adenovirus),
plasmid, kromosom artifisial dan bakteriofaga (seperti lambda). Pemilihan sistem
ekspresi tergantung pada gen yang akan diekspresikan, contohnya S. cerevisiae
sering digunakan untuk protein yang membutuhkan modifikasi pascatranslasi dan
sel serangga atau mamalia digunakan bila diperlukan pemrosesan mRNA.
Sedangkan sistem ekspresi bakteri memiliki keunggulan karena dapat
memproduksi protein dalam jumlah besar yang dibutuhkan untuk penelitian
penentuan struktur protein dengan X-ray crystallography atau NMR (Nuclear
Magnetic Resonance) (Gaffar, 2010).

BAB III
PENUTUP

8
3.1 Kesimpulan
 Eritropoiesis merupakan proses pembentukan sel darahmerah sedangkan
Eritropoietin (EPO) adalah suatu glikoprotein hormon yang mengatur
proses eritropoiesis, yaitu proses proliferasi dan diferensiasi sel progenitor
eritroid menjadi eritrosit pada manusia.
 Menurunnya kandungan EPO dalam tubuh dapat menyebabkan anemia
karena rendahnya proses eritropoiesis. EPO rekombinan dapat
menstimulasi produksi sel darah merah, mengobati anemia yang
disebabkan oleh gagal ginjal pada pasien hemodialisis, dan mereduksi
durasi terkena anemia pada pasien yang menjalani kemoterapi

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

9
Notopoero, P.B. 2007. Eritropoetin Fisiologi, Aspek Klinik, dan Laboratorik.
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol 14,
No.1. Surabaya: UNAIR.

Suryanty, R., Rosdiana, N., Lubis, B. 2005. Peran Eritropoetin pada Anemia
Akibat Keganasan pada Anak. Sari Pediatri, Vol 7, No.1. Medan: RSHAM.

Syaiful, Y., Rahmawati, R., Maslachah. 2013. Recombinant Erythropoetin


Meningkatkan Kadar Hemoglobinb Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang
Menjalani Hemodialisa. Journals of Nears Community, Vol 4 No. 2. Gresik:
RSUD Ibnu Sina.

Wardiana, A. 2009. Purifikasi dan Pencirian Eritropoietin Rekombinan Hasil


Ekskresi Pada Sistem Khamir Pichia pastoris. Bogor: FMIPA IPB

Gaffar, K. 2010. Produksi Protein Rekoombinan dalam Sistem Ekspresi Pichia


pastoris. Bandung: Unpad Press.

10

Anda mungkin juga menyukai