Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Chronic myeloid leukemia (CML) diakui sebagai entitas yang berbeda,
terkait dengan splenomegali dan leukositosis masif tanpa penjelasan lain, pada
pertengahan 1800-an. Sejarah CML diprakarsai oleh Nowell dan Hungerford pada
tahun 1960, mereka menggunakan teknik yang baru dikembangkan untuk
mendeteksi kromosom kecil dalam persiapan metafase sel sumsum dari pasien
CML.1 CML diklasifikasikan oleh World Health Organitation (WHO) sebagai
penyakit mieloproliferatif kronis, dan menempati urutan pertama dalam bab
pertama klasifikasi WHO. Alasan mengapa CML adalah penyakit pertama dalam
klasifikasi ini ialah CML merupakan penyakit hematologis pertama yang dikenal
dengan sebutan leukemia, keganasan pertama yang terkait dengan penanda
sitogenetik (kromosom Philadelphia), dan penyakit pertama di mana gen fusi
(BCR-ABL) ditemukan dalam translokasi kromosom.2
Chronic myeloid leukemia (CML) adalah penyakit gangguan
myeloproliferasi yang ditandai oleh peningkatan proliferasi dari sel-sel myeloid
pada semua tahap maturasi.3,4 CML merupakan keganasan hematologi pertama
yang dihubungkan dengan lesi genetik spesifik. Gen spesifik yang terdapat pada
CML pertama kali diketahui pada tahun 1845. Kemudian pada tahun 1960 oleh
Nowell dan Hungerford dinamakan sebagai kromosom Philadelphia (Ph)5
Penyakit ini berasal dari transformasi sel induk hematopoietik dengan perluasan
myelopoiesis yang berkembang yang secara khas berevolusi melalui tiga fase
ketika tidak diobati: 1) fase kronis selama empat hingga lima tahun yang
dimanifestasikan oleh hiperplasia myeloid dengan granulosit yang bersirkulasi
yang terdapat pada semua tahap pematangan ; 2) fase akselerasi dari durasi yang
lebih singkat di mana elemen myeloid mulai kehilangan kemampuan untuk
berdiferensiasi; dan 3) tak terhindarkan, fase ledakan leukemia akut myeloid
(70%) atau limfoid (30%) fenotipe.6
Insiden tahunan CML adalah 1 hingga 1,5 kasus per 100.000 populasi per
tahun. Usia rata-rata saat diagnosis adalah 67 tahun dan insidensinya meningkat
tajam seiring bertambahnya usia. Penyakit ini terjadi sedikit lebih sering pada pria
daripada pada wanita. Namun dapat terjadi pada anak-anak berusia antara 5 dan
20 tahun dan hanya sekitar 10% dari kasus, hal ini hanya 3% dari semua leukemia
masa kanak-kanak.7
Chronic myeloid leukemia dapat diklasifikasikan dalam 3 fase penyakit,
yaitu fase kronik/chronic phase (CP), fase akselerasi/accelerated phase (AP), dan
fase blastik/blastic phase (BP). Diagnosis CML biasanya terjadi pada CP, yang
gambaran kliniknya asimtomatik pada 40% pasien. Hampir dua per tiga pasien
pada CP akan berlanjut ke BP terminal dari CML melalui AP. Sekitar 20-25%
pasien CP berlanjut langsung menjadi BP.8
Hampir 50% pasien tidak menunjukkan gejala dan didiagnosis secara
kebetulan setelah evaluasi laboratorium rutin. Gambaran klinis, jika ada,
umumnya tidak spesifik: splenomegali ada pada 46-76% dan dapat menyebabkan
nyeri kuadran kanan atas atau rasa kenyang dini; kelelahan, keringat malam,
gejala anemia dan perdarahan karena disfungsi trombosit dapat terjadi, yang
terakhir paling sering pada pasien dengan trombositosis; <5% pasien datang
dengan gejala hiperviskositas, termasuk priapism; ini biasanya terlihat ketika
jumlah sel darah putih yang ada melebihi 250.000 / μL.9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Chronic myeloid leukemia (CML) adalah penyakit hematologis pertama
yang dinamai leukemia, keganasan pertama yang terkait dengan penanda
sitogenetik (kromosom Philadelphia), dan penyakit pertama di mana gen fusi
(BCR-ABL) ditemukan dalam translokasi kromosom.10
2.2 Insidensi
CML menyumbang 10% hingga 15% dari kasus leukemia di Amerika
Serikat. Ada sedikit dominan laki-laki (rasio laki-laki-perempuan, 1,6: 1).
Kejadian tahunannya adalah sekitar 1,5 kasus per 100.000 orang. Sekitar 5000
kasus CML didiagnosis setiap tahun. Kejadian ini tidak berubah selama beberapa
dekade terakhir, dan meningkat seiring bertambahnya usia. Usia rata-rata saat
diagnosis adalah 55 hingga 65 tahun. CML tidak biasa pada anak-anak dan remaja
(2,7%).11
Prevalensi dan kejadian CML di Sarawak diperkirakan 69,2 / 1.000.000
populasi pada tahun 2016 dan 8,0 / 1.000.000 / tahun masing-masing pada tahun
2011-2016. Insiden CML per 1.000.000 per tahun pada tahun 2011-2016 berbeda
di antara empat kelompok etnis, terendah di antara Iran 12,8 hingga yang tertinggi
di antara 19,5 Cina. Insiden dalam kelompok Cina kami lebih tinggi dari pada
Cina di Cina, 3,9-5,5,18 Perbedaan antara kelompok etnis yang berbeda dan etnis
yang sama di antara wilayah yang berbeda memerlukan studi epidemiologis lebih
lanjut dan faktor-faktor seperti ketersediaan pengobatan TKI dan pemantauan
penyakit yang lebih baik.12
Sebelum ada terapi imatinib, dengan insidensi tahunan 5.000 kasus dan
angka harapan hidup rata-rata 6 tahun, prevalensi CML diperkirakan 25.000
hingga 30.000 kasus di Amerika Serikat. Dengan terapi TKI, angka kematian
tahunan telah berkurang hingga 2% atau kurang. Akibatnya, prevalensi CML akan
terus meningkat. Pada 2016, perkiraan prevalensi CML di Amerika Serikat adalah
sekitar 80 hingga 100.000 kasus, dan diperkirakan mencapai puncak (dalam 20
tahun ke depan) sekitar 180.000 kasus (ketika insiden tahunan akan sama dengan
angka kematian tahunan, berdasarkan pada risiko bahaya kematian tahunan 1,5
untuk pasien dengan CML dibandingkan dengan individu sehat yang sesuai usia.
Peningkatan ini akan mengubah CML dari gangguan yang tidak biasa menjadi
yang lazim.11
2.3 Patogenesis
Pada orang normal, tubuh mempunyai tiga jenis sel darah yang matur13
1. Sel darah merah, yang berfunsi untuk mengangkut O2 masuk ke dalam
tubuh dan mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh keluar lewat paru
2. Sel darah putih, yang berfungsi untuk melawan infeksi dan sebagai
pertahanan tubuh
3. Trombosit, yang befungsi untuk mengontrol faktor pembekuan di dalam
darah
Sel-sel darah yang belum menjadi matur (matang) disebut sel-sel induk (stem
cells) dan blasts. Kebanyakan sel-sel darah menjadi dewasa didalam sumsum tulang
dan kemudian bergerak kedalam pembuluh-pembuluh darah. Darah yang mengalir
melalui pembuluh pembuluh darah dan jantung disebut peripheral blood.14 Tetapi
pada orang dengan CML, proses terbentuknya sel darah terutama sel darah putih di
sumsum tulang mengalami kelainan atau mutasi. Hal ini disebabkan karena
kromosom 9 dan kromosom 22.13
Pada CML dijumpai Philadelpia Chromosome, suatu reciprocal
translocation 9,22 (t 9;22). Kromosom ini dihasilkan dari translokasi t(9;22)
(q23;q11) antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari protoonkogen
Abelson ABL dipindahkan pada gen BCR di kromosom 22 dan bagian
kromosom 22 pindah ke kromosom 9. Kromosom 22 yang abnormal itu adalah
kromosom Ph. Pada individu normal, protein BCR dan ABL diekspresikan di
hampir semua sel. Protein ABL merupakan suatu Protein Tyrosin Kinase (PTK)
sitoplasmik. Fungsi fisiologis protein ABL adalah pembentukan sel-sel mieloid
(myelopoeisis) dan Rearrangement sitoskletal termasuk meregulasi sejumlah kecil
GTPase, menghambat migrasi sel dan berikatan dengan sitoskeleton aktin.15
Breakpoint dari regio gen BCR di kromosom 22 ditemukan dalam 3 regio
yang telah ditetapkan. Pertama, breakpoint yang terjadi terletak antara exon 2-3
atau exon 3-4, disebut mayor Breakpoint Cluster Region (M-BCR). Kedua,
breakpoint pada exon 1 disebut minor Breakpoint Cluster Region (m-BCR).
Ketiga, mikro Breakpoint Cluster Region (μ-BCR) pada exon 19 atau 20.
Breakpoint dari gen ABL dapat terjadi di mana saja di segmen 300 kb atau lebih
pada 5’ akhir.16

Philadelphia (Ph) kromosom, awalnya digambarkan sebagai kromosom


menit, kemudian diidentifikasi sebagai translokasi timbal balik yang seimbang
antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, t (9; 22) (q34; q11.2). Ini
menghasilkan translokasi gen ABL1 dari kromosom 9 di dekat daerah breakpoint
cluster (BCR) pada kromosom 22. Bergantung pada situs breakpoint pada
kromosom 22, dihasilkan tiga onkoprotein BCR-ABL1 yang dihasilkan: (1)
P210BCR-ABL1, yang terjadi pada sebagian besar pasien dengan leukemia
myeloid kronis Ph-positif (CML); (2) P190BCR-ABL1, hadir pada dua pertiga
pasien dengan leukemia limfositik akut positif-Ph-positif (sepertiga lainnya
memiliki produk P210BCR ABL1); dan (3) P230BCR-ABL1, yang jarang
ditemukan (1% hingga 2%) pada pasien dengan CML Ph-positif yang lamban.
Tiga breakpoint pada kromosom 22, M-Bcr (P210), m-bcr (P190), μ-bcr (P230),
sesuai dengan tiga hasil onkoprotein BCR-ABL1.
Berdasarkan posisi breakpoint BCR, fusion gen yang dihasilkan mengkode
bentuk protein 190-, 210-, atau 230- kDa dari BCR-ABL tyrosine kinase. Karena
komponen ABL dari fusi gen sebagian besar tidak berbeda, maka ia mengikuti
variabilitas fenotip penyakit yang mungkin disebabkan oleh sekuens protein yang
dikode oleh patner translokasinya.17
Gen BCR-ABL ini mengkode protein fusi BCR-ABL yang merupakan
protein abnormal (Wetzler et al,. 2009). Timbulnya protein baru ini akan
mempengaruhi transduksi sinyal terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel yang
diaktifkan oleh adanya BCR sebagai benda asing pada protein ABL. Protein BCR
bertindak dengan melakukan dimerisasi onkoprotein seperti gen BCR-ABL yang
mengaktifasi tirosin kinase. Aktifitas tirosin kinase yang tidak terkendali, dapat
menggantikan fungsi fisiologis enzim ABL normal dengan berinteraksi dengan
berbagai protein efektor yang menghasilkan berbagai macam reaksi. Gen BCR-
ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk
pluripoten pada system hematopoiesis. Pada klon ini selain proliferasinya yang
berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan dengan sel normal,
karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme ini
adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak system
hematopoiesis yang lainnya.18
Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat cepat.
Normalnya, produksi sel darah tertentu berasal dari prekursor stem cell dan diatur
sesuai kebutuhan tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel tersebut
terganggu, maka sel akan membelah diri sampai tingkat yang membahayakan
(neoplastik). Normalnya, sel polimorfonuklear dan monosit hanya dibentuk di
sumsum tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai
organ limfogen (kelenjar limfe, lien, timus dan tonsil). Beberapa sel darah putih
yang dibentuk dalam sumsum tulang, khusunya granulosit akan disimpan didalam
sumsum tulang belakang sampai sel tersebut dibutuhkan dalam sirkulasi. Namun
akibat pembentukan protein abnormal ini, terjadi proliferasi sel darah putih yang
berlebihan dan immature. Protein abnormal ini juga merangsang proliferasi sel
mielogen muda pada organ ekstra medula.
Protein yang normal mempunyai aktivitas tirosin kinase 145 kD.13 Akan
tetapi pada CML akan terjadi perubahan struktur, sehingga akan mengakibatkan
perubahan. Terdapat 3 tipe perubahan pada gen BCR-ABL:18
1. Perubanan terjadi pada gen BCR di daerah e13-e14 pada ekson 2 yang
dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr). Gen BCR-ABL akan
mensintesis protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis
dengan p 210BCR-ABL. Pada pasien terdapat trombositopenia.
2. Perubahan terjadi pada gen BCR di daerah 54,4-kb atau el yang dikenal
dengan minor break cluster region (m-bcr) dan mensintesa p 190, yang
dapat mengakibatkan monositosis yang prominen pada pasien.
3. Perubahan terjadi pada gen BCR di daerah e19-e20, dikenal sebagai micro
break cluster region (μ-bcr), yang selanjutnya akan terbentuk p230 yang
dapat mengakibatkan netrofilia dan/atau trombositosis.
Mekanisme terbentuk dan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk Ph
menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa ahli berpendapat akibat pengaruh radiasi, sedangkan yang lain
berpendapat karena pengaruh mutasi spontan.18
2.4 Gejala Klinis
Sekitar 40% hingga 60% pasien dengan CML yang didiagnosis di Amerika
Serikat tidak menunjukkan gejala. Dalam kasus ini penyakit ini ditemukan pada
pemeriksaan fisik rutin atau tes darah. Gejala CML yang sering dijumpai berupa
pembesaran limpa dan rasa cepat kenyang. Gejala lainnya dapat disertai cepat
lelah, penurunan berat badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam
dan rasa sakit pada kuadran kanan atas. Manifestasi yang jarang termasuk
perdarahan (terkait dengan jumlah trombosit yang rendah dan / atau disfungsi
trombosit), trombosis (terkait dengan trombositosis dan / atau leukositosis),
artritis gout, priapisme (biasanya dengan leukositosis atau trombositosis yang
ditandai), perdarahan retina, dan ulserasi gastrointestinal bagian atas dan
perdarahan.19
Splenomegali adalah tanda fisik paling sering ditemukan dalam kasus CML
dan terdeteksi pada 30% hingga 50% kasus. Hepatomegali kurang umum (10%
hingga 20%). Limfadenopati dan infiltrasi kulit atau jaringan lain jarang terjadi,
temuan ini mungkin menyarankan fase CML atau CML Ph-negatif. Sakit kepala,
nyeri tulang, nyeri akibat infark lien, dan demam lebih sering terjadi dengan
transformasi CML.19
Gambaran laboratorium CML yang tidak diobati termasuk leukositosis
dengan dominasi neutrofil. Trombositosis sering terjadi, namun trombositopenia
jarang terjadi. Jika terdapat trombositopenia, menunjukkan transformasi dan
prognosis yang lebih buruk. Anemia (hemoglobin <11 g / dL) ditemukan pada
sepertiga pasien. Kelainan biokimia termasuk skor alkali fosfatase alkali leukosit
yang rendah, yang juga terjadi pada beberapa pasien dengan metaplasia myeloid
agnogenik. Kadar vitamin B12 serum, dehydrogenase laktat, asam urat, dan
lisozim sering meningkat. Beberapa pasien menunjukkan osilasi siklus dari
jumlah WBC.19
Perjalanan penyakit CML terdiri dari 3 fase, yaitu :20
1. Fase kronik : merupakan fase awal dan biasanya mempunyai onset yang
tidak jelas. Fase ini dapat berlangsung selama beberapa tahun. Umumnya
mempunyai respon yang baik terhadap terapi.
2. Fase akselerasi : merupakan fase transisional ketika penyakit menjadi
lebih aggresif. Terjadi peningkatan blast di darah dan atau sumsum
tulang (<20%) dan respon terapi terhadap pengobatan standar berkurang.
3. Fase Blast (krisis blast) : merupakan fase yang berat, agresif yang dapat
mengancam hidup, dimana terdapat blast > 20%, atau terjadi proliferasi
blast di luar sumsum tulang.
Gambaran klinis CML tergantung pada fase penyakit tersebut meliputi:21
Fase kronik :
1. Gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme. Misalnya, berat badan
menurun, lemah, lesu, anoreksia, keringat malam
2. Splenomegali, hampir selalu ada dan biasanya massif. Pada beberapa pasien,
pembesaran limpa dihubungkan dengan rasa tidak nyaman, nyeri atau masalah
pencernaan.
3. Gambaran anemia
4. Memar, epistaksis, menorrhagia atau perdarahan lain akibat gannguan fungsi
trombosit
5. Gout atau kerusakan ginjal akibat hiperuricemia
6. Kadang-kadang asimptomatik dan lebih dari 50% kasus terdiagnosa secara
kebetulan pada saat pemeriksaan darah rutin.
Fase akselerasi : perubahan gejala terjadi pelan-pelan dengan prodromal selama 6
bulan. Timbul keluhan yang semakin progresif. Respon terhadap kemoterapi
menurun, leukositosis meningkat, trombosit menurun, dan akhirnya menjadi
gambaran leukemia akut.
Krisis blast : terjadi perubahan secara mendadak dan tanpa didahului masa
prodromal.

2.5 Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk CML fase kronis (CP-CML) meliputi kondisi Ph-
negatif berikut:22
1. Leukemia myelomonocytic kronis (CMML). Ini adalah neoplasma
myelodysplastic / myeloproliferative (MDS / MPN) dan dapat dibedakan dari
CML dengan adanya fitur displastik, sitopenia yang lebih menonjol,
monositosis yang lebih menonjol, monositosis yang lebih menonjol, dan
kurangnya basofilia. CMML akan menjadi Ph-negatif dan mungkin memiliki
kelainan sitogenetik lainnya.
2. Atypical CML. MDS / MPN ini akan menjadi Ph negatif.
3. Leukemia Neutrofilik Kronis (CNL). Kasus CML yang jarang dengan
transkripsi p230 BCR-ABL mungkin keliru untuk CNL karena neutrofilia
dominan yang terkait dengan versi CML ini, tetapi sitogenetika yang
menunjukkan kromosom Ph akan dengan mudah membedakannya. Yang
penting, ini dan penataan ulang atipikal lainnya mungkin tidak terdeteksi oleh
beberapa metodologi PCR standar. Kehadiran kelainan ini harus dicurigai
dalam kasus di mana kromosom Philadelphia terdeteksi oleh kariotipe rutin
tetapi dengan PCR "negatif" untuk BCR-ABL, karenanya pentingnya evaluasi
sitogenetik pada semua pasien pada awal.
4. Essential thromobocythemia (ET). Kasus CML yang jarang dapat terjadi
dengan trombositosis terisolasi, tanpa leukositosis. Basofilia sering hadir
sebagai petunjuk diagnostik. Kasus-kasus ini akan dibedakan oleh studi
sitogenetika dan molekuler yang menunjukkan kepositifan Ph dan kepekaan
BCR-ABL.22

2.6 Diagnosis
Diagnosis CML khas tergantung pada dokumentasi leukositosis yang tidak
dapat dijelaskan (atau kadang-kadang trombositosis), keberadaan kromosom Ph
(9; 22 (q34; q11.2) dengan analisis sitogenetika rutin, atau BCR yang sesuai)
Penataan ulang -ABL1 dengan analisis fluoresensi hibridisasi in situ (FISH) atau
uji Polymerase Chain Reaction (PCR). Aspirasi sumsum tulang dengan analisis
sitogenetik (kariotipe) diperlukan untuk tahap sesuai sebagai fase kronis, fase
akselerasi, atau fase krisis blas dan untuk mengidentifikasi kelainan kromosom
yang tidak terdeteksi dengan FISH untuk BCR-ABL.23
Analisis FISH bergantung pada kolokalisasi probe genomik besar khusus
untuk gen BCR dan ABL1. Perbandingan sampel darah dan sumsum tulang secara
simultan dengan analisis FISH menunjukkan kesesuaian tinggi dengan analisis
sitogenetik. Studi FISH mungkin memiliki rentang positif palsu dari 1% hingga
5%, tergantung pada probe yang digunakan.

Real Time- Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) menguatkan daerah di


sekitar persimpangan antara BCR dan ABL1. Ini sangat sensitif untuk mendeteksi
penyakit residual minimal. Pengujian PCR dapat bersifat kualitatif, memberikan
informasi tentang keberadaan transkrip BCR-ABL1, atau kuantitatif, menilai
jumlah transkrip BCR-ABL1. PCR kualitatif mungkin berguna untuk diagnosis
CML tetapi tidak cukup untuk menilai respons terhadap terapi; Quantitative-
Polymerase Chain Reaction (qPCR) sangat ideal untuk memantau respons
terhadap terapi dan biasanya dilakukan dengan menggunakan RT-PCR. Darah
perifer dan sumsum tulang secara simultan. Studi PCR menunjukkan tingkat
kesesuaian yang tinggi. Hasil positif palsu dan negatif palsu dapat terjadi pada
PCR. Hasil negatif palsu dapat berasal dari RNA berkualitas rendah atau
kegagalan reaksi atau dari transkrip atipikal (mis., E13a3, e14a3; sebelumnya
dilaporkan sebagai b2a3, b3a3); hasil positif palsu dapat disebabkan oleh
kontaminasi. Koefisien variabilitas 0,5-1 log dalam beberapa sampel dapat terjadi
tergantung pada prosedur pengujian, penanganan sampel, dan pengalaman
laboratorium. Kurangnya standardisasi PCR di berbagai laboratorium telah
menjadi masalah lama yang menghambat kemampuan untuk mengkorelasikan
hasil dari berbagai laboratorium. Upaya untuk membakukan hasil pada skala
internasional telah membuat kemajuan yang signifikan dalam mengatasi
keterbatasan ini. Karena semakin pentingnya pemantauan respons pasien terhadap
TKI dengan berbagai metode termasuk studi qPCR dan FISH, penting untuk
mengukur ini pada diagnosis untuk memastikan kepositifan dan kuantisasi
mereka. Pada 5% pasien dengan CML, varian breakpoint menghasilkan hasil tes
qPCR palsu-negatif karena probe tradisional yang digunakan tidak mendeteksi
varian ini. Jika tes tidak dilakukan pada diagnosis pada pasien ini, studi qPCR
selanjutnya akan menyarankan respons molekuler lengkap "salah".
Kromosom Ph biasanya hadir saat diagnosis dalam 100% metafase, sering
kali sebagai satu-satunya kelainan. Antara 10% dan 15% pasien memiliki
perubahan kromosom tambahan (mis., Evolusi klon sitogenetik) yang melibatkan
trisomi 8, isokromosom 17, kromosom Ph kedua (Ph ganda), atau lainnya.
Isochromosome 17 (atau 17p−), kelainan kromosom 7 (monosomi atau
penghapusan lengan panjang), dan penataan ulang 3q26.2 yang jarang dikaitkan
dengan prognosis yang lebih buruk. Delapan puluh lima persen pasien memiliki
translokasi t (9; 22) yang khas; 5% hingga 10% memiliki variasi translokasi, yang
dapat sederhana (melibatkan kromosom 22 dan kromosom selain kromosom 9)
atau kompleks (melibatkan satu atau lebih kromosom selain kromosom 9 dan 22).
Dengan imatinib, pasien dengan varian Ph memiliki respons terhadap terapi dan
prognosis yang serupa dengan mereka yang memiliki CML positif.

2.6 Tatalaksana
1. Goal Treatment dari CML adalah sebagai berikut :24
 Hematologic remission (normal pemeriksaan darah lengkap, dan
pemeriksaan fisik)
 Cytogenetic remission (kromosom kembali normal dengan 0% Ph-
positice cells)
 Molecular remission (hasil pemerikssan polymerase chain reaction
[pCr] untuk BCR/ABL mRNA negatif)
2. Pemberian tyrosin kinase inhibitor :
 Imatinib mesylate (Gleevec) : Untuk fase kronik, akselerasi dan
blastic
 Dasatinib (Sprycel) : untuk fase kronik
 Nilotinib (Tasigna) : untuk fase kronik
 Bosutinib (Bosulif) : untuk fase kronik, akselarasi dan blast
 Ponatinib (Iclusig) : Untuk fase kronik atau blast fase T315I positif,
atau pada pasien yang tidak mempan untuk diberikan TKU yang lain.

3. Pemberian obat-obatan lainnya :


 Interferon-alfa: Former first-line agent; now combined with newer
drugs for refractory cases
 Hydroxyurea (Hydrea): Myelosuppressive agent for inducing
hematologic remission
 Busulfan: Myelosuppressive agent for inducing hematologic
remission
 Omacetaxine (Synribo): Protein translation inhibitor indicated for
chronic- or accelerated-phase CML with resistance and/or intolerance
to 2 or more tyrosine kinase inhibitors.
4. Allogenic Bone Marrow Transplantation / Transplantasi stem sel.
Kemoterapi
Kemoterapi BU untuk CML diperkenalkan pada 1950-an. BU diberikan
dalam dosis 4-6 mg / hari dan kemudian ditahan ketika jumlah WBC turun
menjadi 30 × 109 / L. Efeknya dapat bertahan selama berminggu-minggu, dan
dapat berkurang lebih lanjut setelah terapi dihentikan. Terapi BU dikaitkan
dengan efek samping yang serius, termasuk aplasia yang berkepanjangan, fibrosis
paru, dan sindrom yang mensimulasikan insufisiensi adrenal.
Pengobatan dengan hidroksiurea (HU) dimulai sebagai alternatif untuk BU.
Terapi HU biasanya dimulai dengan dosis 1-6 g / hari. HU yang diberikan dengan
dosis 1-2 g / hari kemudian digunakan untuk mempertahankan jumlah darah
dalam kisaran normal. HU memiliki sifat toksik yang lebih sedikit daripada BU.
Efek samping utamanya adalah penindasan sumsum tulang belakang. Dalam uji
coba secara acak, HU ditunjukkan untuk memperpanjang kelangsungan hidup
pasien dengan CP CML bila dibandingkan dengan terapi BU. Kelangsungan
hidup rata-rata pasien yang diobati dengan HU adalah 5 tahun dibandingkan
dengan kelangsungan hidup rata-rata pasien yang diobati dengan BU selama 3,75
tahun. Karena tidak ada obat yang menghasilkan penindasan selektif yang
signifikan dari klon Ph +, tujuan terapi dengan agen ini adalah untuk
mengendalikan penyakit dan gejala. HU sekarang umum digunakan untuk
mencapai kontrol jumlah secara bersamaan dengan, atau sebelum, memulai
pengobatan dengan imatinib atau terapi khusus penyakit lainnya.
Interferon
Penelitian observasional perintis yang dimulai pada 1980-an oleh para
peneliti di MD Anderson Cancer Center memberikan bukti kemanjuran IFN
dalam CML dan mengindikasikan kemungkinan 70% hingga 80% dari remisi
hematologis lengkap pada pasien CML yang dipilih. Penelitian awal melibatkan
penggunaan IFN leukosit manusia, tetapi studi klinis selanjutnya menggunakan
IFN-α manusia rekombinan (rIFN-α). IFN-ombin rekombinan (rIFN-γ) telah
terbukti relatif tidak efektif untuk CML. Mekanisme potensial dimana IFN
bekerja dalam CML tidak dipahami tetapi mungkin termasuk penghambatan
peningkatan proliferasi, koreksi cacat adhesi dari sel ganas dalam CML, atau
merangsang respon imun terhadap CML. Tarif untuk remisi sitogenetik lengkap
dan parsial berkisar dari 0% hingga 38%. Ada bukti untuk hubungan respons
dosis, dengan dosis IFN 4-5 juta unit / m2 / hari lebih mungkin untuk mencapai
remisi (dan toksisitas) daripada dosis yang lebih rendah. Bentuk pegilasi IFN,
yang dirancang untuk memiliki waktu paruh lebih lama dalam darah, dapat
dikaitkan dengan peningkatan kemanjuran. Remisi yang tahan lama lebih sering
terjadi pada pasien muda, mereka yang dirawat segera setelah diagnosis, pasien
dengan penyakit stadium lanjut, dan mereka yang memiliki pandangan prognostik
yang baik. Remisi hematologis biasanya terjadi dalam 1 hingga 3 bulan setelah
memulai IFN. Waktu rata-rata untuk CCR adalah 9 hingga 18 bulan tetapi dapat
terjadi setelah 4 tahun terapi. Respons sitogenetik yang tahan lama, beberapa
berlangsung selama 10 tahun, lebih sering terjadi pada pasien yang mencapai
CCR dibandingkan dengan remisi sitogenetik parsial.
Pengobatan Penghambat Tyrosine Kinase
Karena aktivitas tirosin kinase BCR-ABL memainkan peran penting dalam
transformasi seluler, hal ini dapat dihambat. Pengenalan TKI ke dalam praktik
klinis telah secara dramatis mengubah pengobatan CML. Terapi TKI, yang
sekarang menjadi pengobatan utama, sangat efektif untuk CP CML, menginduksi
remisi pada kebanyakan pasien dan mengarah pada kelangsungan hidup yang
sangat baik. Resistansi TKI dapat terjadi, terutama dalam AP dan BC CML,
biasanya sebagai akibat dari mutasi titik domain tirosin kinase. Resistensi
terhadap imatinib sering dapat diobati dengan dasatinib atau nilotinib TKI
"generasi kedua", dan ada bukti bahwa obat ini mungkin bahkan lebih efektif
daripada imatinib untuk pengobatan CML lini depan. Titik akhir molekuler yang
berkorelasi dengan hasil jangka panjang telah dikembangkan dan telah
dimasukkan ke dalam pedoman untuk memantau respons terhadap pengobatan
TKI.

Oncoprotein BCR-ABL1 memiliki aktivitas tirosin kinase konstitutif


dibandingkan dengan aktivitas tirosin kinase yang diatur ketat dari produk
ABL1 normal. BCR-ABL1 kinase mengaktifkan beberapa substrat dan mitra
pengikat, menghasilkan aktivasi jalur pensinyalan hilir. Hal ini menghasilkan
peningkatan proliferasi dan penurunan apoptosis sel leukemia myeloid kronis
(CML). Dengan mengikat ke domain ABL1 kinase, imatinib mencegah
fosforilasi BCR-ABL1, sehingga mengganggu aktivasi jalur CML. ADP,
Adenosine difosfat; ATP, adenosin trifosfat.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. SY
No RM : 1-13-94-57
Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Aceh
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Aceh Timur
Pekerjaan : Swasta
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 03 Juli 2019

3.2 ANAMNESIS
Keluhan utama: Lemas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan lemas dan pucat yang dirasakan sejak 3 hari
SMRS, semakin memberat, memberat dengan aktifitas dan berkurang dengan
istirahat. Awalnya pasien mengalami demam kurang lebih 1 minggu. Demam
dirasakan berupa panas di seluruh tubuh, terus menerus, demam turun sementara
dengan minum obat. Demam juga disertai dengan keringat dingin. Keringat dingin
dikatakan sampai membuat baju pasien basah, serta muncul terutama pada malam
hari. Demam dikatakan tidak sampai membuat pasien menggigil. Pasien juga
mengeluhkan perut bagian atas semakin lama semakin membesar. Penurunan
berat badan juga dirasakan kurang lebih 10 kilogram dalam tiga bulan terakhir.
Pasien mengatakan nafsu makannya berkurang. Riwayat mual dan muntah, pusing
kepala, nyeri pada tulang, gusi berdarah, mimisan, bintik-bintik merah pada kulit
atau perdarahan maupun memar spontan lainnya disangkal. Riwayat batuk, pilek,
sesak, nyeri menelan, maupun nyeri saat buang air kecil juga disangkal. Nafsu
makan dikatakan sedikit menurun, BAB dikatakan seperti biasa, lancar, berwarna
kuning kecokelatan tanpa darah segar atau warna kehitaman. BAK tidak ada
keluhan, dengan warna kekuningan dan volume sekitar dua setengah botol air
mineral tanggung perhari. Saat ini pasien tidak ada keluhan, datang kontrol untuk
mengambil obat yang telah di konsumsinya selama 4 tahun terakhir, pasien rutin
berobat. Pasien tidak ada keterbatasan aktifitas sehari-hari.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit sistemik lain, seperti diabetes mellitus, penyakit jantung,
penyakit ginjal, maupun riwayat alergi disangkal oleh pasien.

Pengobatan
Tasigna 2x300mg yang dikonsumsinya sejak tanggal 30 Agustus 2017

Riwayat Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarganya yang memiliki riwayat
kanker darah, maupun kanker lain, atau keluhan yang serupa dengan pasien. Di
keluarga juga dikatakan tidak ada yang memiliki riwayat diabetes mellitus,
penyakit jantung, penyakit ginjal, dan alergi.

Riwayat Sosial dan Personal


Pasien saat ini bekerja sebegai pedagang. Pasien memiliki kebiasaan
merokok sejak berusia 17 tahun dan tidak memiliki riwayat minum minuman
beralkohol. Pasien juga tidak memiliki kegemaran makan makanan berpengawet.
Pasien berkata selalu rajin berolahraga, dan dapat menjalani aktivitas sehari-hari
tanpa halangan sebelum terjadi keluhan ini.
Pasien berkata tidak ada tetangga di lingkungan tempat tinggalnya yang
memiliki keluhan yang sama. Riwayat bepergian ke luar daerah disangkal oleh
pasien.
3.3 PEMERIKSAAN FISIK Tanda-Tanda Vital (03-07-2018)

Kondisi Umum : Baik


Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 88 kali/menit, regular, isi nadi cukup
Respirasi : 22 kali/menit, teratur, vesikuler
Suhu aksila : 36,7o C
VAS : 0/10
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 165 cm
IMT : 19,5 kg/m2
Saturasi O2 : 99% dengan suhu ruangan
Pemeriksaan Umum (03-07-2018)
Kepala : Bentuk normal, gerak normal
Wajah : Penampakan muka normal, malar rash (-), hiperpigmentasi (+)
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera kuning -/-, reflex pupil +/+ isokor,
edema palpebra -/-
THT :
- Telinga : Daun telinga N/N, sekret tidak ada, pendengaran normal
- Hidung : Sekret tidak ada, tidak ada deviasi septum nasi
- Tenggorokan : Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
- Lidah : Ulkus (-), papil lidah atrofi (-)
- Bibir : Basah, stomatitis (-), sianosis (-)
Leher : JVP ± 2cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).
Thoraks : Simetris
Cor : Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, kuat angkat (-), thrill (-)
Perkusi : batas atas jantung ICS II sinistra
batas kanan jantung 1 cm medial parasternal line dekstra
batas kiri jantung 1 cm lateral midclavicular line sinistra
Auskultasi: S1 tunggal, S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : Inspeksi : Simetris statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus normal/normal, pergerakan simetris
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi: Vesikuler + + Ronchi - - Wheezing - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Abdomen :
- Inspeksi : distensi (-), meteorismus (-), ascites (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : nyeri tekan (-)
- Hepar : tidak teraba
Lien : teraba (Schuffer 5)
Ginjal : Ballotement test (-/-)

Perkusi : timpani + - , ascites (-)


+ +
nyeri ketok CVA (-/-)
Ekstremitas : Hangat + + Pitting - - Ekimosis dan petechi - -

+ + edema - - -
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Darah Lengkap (04-07-2017)

NILAI
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Rutin

Hemoglobin 8,2* 12,0-15,0 g/dL


Hematokrit 25* 37-47 %
Eritrosit 3,0* 4,2-5,4 106/mm3
Leukosit 291,1* 4,5-10,5 103/mm3
Trombosit 1084* 150-450 103/mm3
MCV 81 80-100 fL
MCH 27 27-31 Pg
MCHC 34 32-36 %
RDW 20,4* 11,5-14,5 %
Hitung Jenis:
Eosinofil 3 0-6 %
Basofil 7* 0-2 %
Netrofil Batang 0* 2-6 %
Netrofil Segmen 84* 50-70 %
Limfosit 3* 20-40 %
Monosit 3 2-8 %

Pemeriksaan Darah Lengkap (27-11-2017)


NILAI
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Rutin

Hemoglobin 11.4* 12,0-15,0 g/dL


Hematokrit 38 37-47 %
Eritrosit 5 4,2-5,4 106/mm3
Leukosit 7,7 4,5-10,5 103/mm3
Trombosit 131* 150-450 103/mm3
MCV 75* 80-100 fL
MCH 23* 27-31 Pg
MCHC 30 32-36 %
RDW 14,3* 11,5-14,5 %
Hitung Jenis:
Eosinofil 8* 0-6 %
Basofil 1 0-2 %
Netrofil Batang 0* 2-6 %
Netrofil Segmen 39* 50-70 %
Limfosit 46* 20-40 %
Monosit 6 2-8 %

BCR-ABL Qualitative test (28-08-2017)


BCR-ABL Qualitative status : b2a2 transcript detected (p210 / mayor blackpoin
cluster region)

Hasil Pemeriksaan Sumsum Tulang


Lokasi : SIAS kanan
Selularitas : meningkat
M:E ratio : 21:1 (Normal 3-4 : 1)
SERI GRANULOPOITIK : Meningkat proporsi 74,2% (Normal 40-60%)
Mieloblast 7,8%
SERI LIMFOSIT : Menurun, proporsi 16,7% (Normal 20-40%)
TROMBOPOISIS : Menurun
MONOSIT : Normal, proporsi 4,4% (Normal 4-8%)
EOSINOFIL : 5,6% (1-4%)
PLASMA SEL : 0,3%
SEL KEGANASAN : Tidak dijumpai
Kesan : Gambaran BM CML tipe kronik

3.5 DIAGNOSIS KERJA


Chronic Myeloid Leukimia

3.6 PENATALAKSANAAN
Terapi :
a. Nonfarmakologi:
 IVFD NaCl 0,9% 30 tetes/menit
b. Farmakologi:
 Tasigna 300 mg tiap 12 jam PO
Monitoring :
 Vital sign, keluhan
 Cek DL tiap post transfuse
3.7 PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Functional : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad malam
BAB IV
DISKUSI

CML merupakan penyakit myeloproliferative yang paling sering terjadi dan


mewakili 15% hingga 20% dari semua kasus leukemia baru. Insiden CML adalah 1
hingga 1,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Usia rata-rata saat diagnosis adalah
67 tahun dan insidensinya terus meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit ini
terjadi sedikit lebih sering pada pria daripada pada wanita (rasio pria-wanita, 1,6 : 1).
CML dapat terjadi pada anak-anak, tetapi hanya sekitar 10% dari kasus terjadi pada
individu berusia antara 5 dan 20 tahun, mewakili hanya 3% dari semua leukemia
masa kanak-kanak. Pada kasus ini pasien berjenis kelamin laki-laki dan didiagnosis
CML pada usia 27 tahun.
CML sering didiagnosis secara kebetulan selama pemeriksaan rutin atau
pemeriksaan untuk penyakit lain. Gejala biasanya termasuk kelelahan, penurunan
berat badan, nyeri tulang, berkeringat, dan ketidaknyamanan perut dan rasa kenyang
dini terkait dengan splenomegali. Gejala umumnya timbul secara bertahap selama
beberapa minggu hingga bulan. Gejala-gejala yang jarang ditemukan termasuk yang
berhubungan dengan leukostasis, nyeri perut akut yang terkait dengan limpa,
priapisme, dan hipermetabolisme, hiperurisemia, dan artritis gout.
Pasien pada kasus datang dengan keluhan lemas dan pucat yang dirasakan
sejak 3 hari SMRS, semakin memberat, memberat dengan aktifitas dan berkurang
dengan istirahat. Pasien juga disertai dengan keringat dingin. Perut bagian atas
semakin lama semakin membesar. Penurunan berat badan juga dirasakan kurang lebih
10 kilogram dalam tiga bulan terakhir. Pasien mengatakan nafsu makannya
berkurang.
Sekitar 50% pasien yang didiagnosis dengan CML di Amerika Serikat tidak
menunjukkan gejala, dan sering didiagnosis selama pemeriksaan fisik rutin atau tes
darah. CML dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase: CP, fase dipercepat (AP), dan
fase ledakan (BP). Sebagian besar (90% -95%) pasien hadir dalam CML-CP.
Manifestasi yang jarang termasuk perdarahan (terkait dengan jumlah trombosit yang
rendah dan / atau disfungsi trombosit), trombosis (terkait dengan trombositosis dan /
atau leukositosis yang ditandai), artritis gout (dari kadar asam urat yang meningkat),
priapisme (biasanya dengan leukositosis atau trombositosis yang ditandai),
perdarahan retina, dan ulserasi gastrointestinal bagian atas dan perdarahan (dari kadar
histamin tinggi akibat basofilia). Gejala leukostatik (dispnea, kantuk, kehilangan
koordinasi, kebingungan) karena sel-sel leukemia di dalam paru-paru atau pembuluh
darah otak, jarang terjadi pada CP walaupun jumlah sel darah putih (WBC) melebihi
100 3 109 / L. Splenomegali adalah tanda fisik paling konsisten yang terdeteksi pada
40% -50% kasus. Hepatomegali kurang umum (kurang dari 10%). Limfadenopati dan
infiltrasi kulit atau jaringan lain jarang terjadi. Saat hadir, mereka mendukung CML
atau AP atau BP C-negatif Ph-negatif. Sakit kepala, nyeri tulang, artralgia, nyeri
akibat infark lien, dan demam lebih sering terjadi dengan transformasi CML.
Sebagian besar pasien berevolusi menjadi AP sebelum BP, tetapi 20% transisi ke BP
tanpa sinyal peringatan AP. CML-AP mungkin berbahaya atau hadir dengan
memburuknya anemia, splenomegali dan infiltrasi organ; CML-BP muncul sebagai
leukemia akut (mieloid pada 60%, limfoid pada 30%, megakaryocytic atau tidak
berdiferensiasi pada 10%) dengan gejala konstitusional yang memburuk, perdarahan,
demam dan infeksi.

Dari hasil pemeriksan laboratorium pasien, di jumpai Hb 8,2 gr/dLdan


Leukosit 291,1 103/mm3. BCR-ABL Qualitative status : b2a2 transcript detected
(p210 / mayor blackpoin cluster region). Dan hasil dari hasil BMP, dijumpai
gambaran BM CML tipe kronik. Gen fusi BCR-ABL1 merupakan cirikhas pada
CML. BCR-ABL atau Philadelpia Chromosome merupakan suatu reciprocal
translocation 9,22 (t 9;22). Kromosom ini dihasilkan dari translokasi t(9;22)
(q23;q11) antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari protoonkogen Abelson
ABL dipindahkan pada gen BCR di kromosom 22 dan bagian kromosom 22 pindah
ke kromosom 9. Kromosom 22 yang abnormal itu adalah kromosom Ph. kromosom
Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk pluripoten pada system
hematopoiesis. Pada klon ini selain proliferasinya yang berlebihan, juga dapat
bertahan hidup lebih lama dibandingkan sel normal, karena gen BCR-ABL juga
bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme ini adalah terbentuknya klon-klon
abnormal yang akhirnya mendesak system hematopoiesis yang lainnya. Fadjari,
2006).

Kemajuan yang paling menonjol dalam pengelolaan CML adalah


pengembangan imatinib TKI oral (Gleevec), nilotinib (Tasigna), dan dasatinib
(Sprycel). Imatinib, TKI pertama yang diperkenalkan untuk pengobatan pasien CML
yang baru didiagnosis, menonaktifkan BCR-ABL kinase untuk membuka banyak
proses sel yang menciptakan keadaan leukemia. Terapi inhibitor tirosin kinase telah
memperpanjang kelangsungan hidup dan lebih dapat ditoleransi daripada terapi
standar lini pertama sebelumnya, yang terdiri dari interferon-alfa dan sitarabin.
Nilotinib dan dasatinib kemudian dikembangkan untuk mengobati pasien yang kebal
atau tidak toleran terhadap imatinib dan sekarang disetujui oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan AS untuk pengobatan garis depan, berdasarkan demonstrasi
kemanjuran yang lebih baik dibandingkan dengan imatinib.25

Nilotinib dan dasatinib memiliki potensi modulasi yang lebih tinggi daripada
imatinib pada konsentrasi kalsium intraseluler dengan menghambat thapsigargin,
retikulum sarkoplasma / endoplasma Ca2þ-ATPase (SERCA), dan Lithium (Li) dan
inositol 1,4,5 - Kegiatan penghambat reseptor triphosphate (InsP3). Selain itu
Nilotinib dan dasatinib telah secara signifikan meningkatkan apoptosis lebih dari
imatinib dengan melibatkan pensinyalan kalsium intraseluler serta stres oksidatif.
Nilotinib memiliki kekuatan 30x dari pada imatinib.26
Efek samping kronis ringan sampai sedang yang mempengaruhi kualitas
hidup lebih rendah dengan nilotinib dibandingkan dengan imatinib (retensi cairan,
edema periorbital, nyeri tulang, kram otot, pertambahan berat badan). Sakit kepala,
hiperglikemia, peningkatan lipase atau amilase, dan ruam lebih sering terjadi dengan
nilotinib. Yang paling penting, risiko kejadian arteriotrombotik secara signifikan
lebih tinggi dengan nilotinib, dan terkait dosis.11
BAB V
KESIMPULAN

Chronic myeloid leukemia merupakan penyakit kronis yang sering terjadi pada
usia muda yang penyebabnya masih belum jelas hingga saat ini, sehingga kita perlu
meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan tubuh dengan cara menjalani pola hidup
sehat dari usia muda, mengurangi paparan polutan dan penggunaan alat - alat yang
menimbulkan radiasi. Apabila telah terdiagnosa, pasien harus rutin melakukan
kontrol ke dokter agar terapi yg diberikan bisa optimal sesuai dengan kebutuhan.

Anda mungkin juga menyukai