KANKER LEUKEMIA
Disusun oleh:
Adella Febriana Mufliha (1061711002)
Anggun Pratiwi Ratna Dewi (1061711014)
Aulia Wulandari (1061711018)
Charis Satun Ni’mah (1061711025)
2.2 Epidemiologi
Data statistik dunia menurut WHO tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah
penderita penyakit leukemia di dunia mencapai sekitar 500-600 juta orang. Setiap 1
juta jumlah penduduk di dunia akan terlahir 120 orang anak yang menderita kanker
darah. Penyakit ini tidak hanya terjadi pada negara berkembang saja, tetapi di negara
maju seperti Amerika Serikat memiliki kasus leukemia yang cukup besar. Data dari
American Cancer Society (ACS) tahun 2012, juga menunjukkan bahwa di Amerika
Serikat pada tahun 2012 terdapat kasus kanker pada anak sekitar 12.060 kasus baru
dalam rentang usia antara 0-14 tahun dan 1/3 dari kasus tersebut merupakan kasus
kematian yang diakibatkan oleh leukemia.
2.3 Etiologi
Etiologi dari leukemia belum diketahui, namun hasil studi mengidentifikasi
sejumlah faktor yang dapat meningkatkan risiko pada individu tertentu, meliputi :
1. Faktor Eksogen
a. Radiasi, khususnya yang mengenai sumsum tulang, kemungkinan leukemia
meningkat pada penderita yang diobati dengan radiasi atau kemoterapi.
b. Zat kimia, seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazone, dan agen anti
neoplastik. Terpapar zat kimia dapat menyebabkan displasia sumsum tulang
belakang, anemia aplastik dan perubahan kromosom yang akhirnya dapat
menyebabkan leukemia.
c. Infeksi virus, Virus HTLV-I (Human T-cell Lymphotropic Virus Type I),
yang menyerupai virus penyebab AIDS, diduga merupakan penyebab jenis
leukemia yang jarang terjadi pada manusia, yaitu leukemia sel-T
2. Faktor Endogen
a. Bersifat herediter, insiden meningkat pada beberapa penyakit herediter
seperti sindrom down mempunyai insiden leukemia akut 20x lipat dan
riwayat leukemia dalam keluarga insiden leukemia lebih tinggi dari saudara
kandung anak anak yang terserang, dengan insiden yang meningkat sampai
20% pada kembar monozigot.
b. Kelainan genetic, mutasi genetic dari gen yang mengatur sel darah yang
tidak diturunkan (Price, 2006).
2.4 Patofisiologi
Penyakit leukemia ditandai oleh adanya proliferasi tak terkendali dari satu atau
beberapa jenis sel darah. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada kromosom sel
induk sistem hemopoetik. Sel sistem hemopoetik adalah sel yang terus menerus
berproliferasi, karena itu sel ini lebih potensial untuk bcrtransformasi menjadi sel
ganas dan lebih peka terhadap obat toksik seperti sitostatika dan radiasi. Penelitian
morfologik menunjukkan bahwa pada Leukemia Limfositik Akut (LLA) terjadi
hambatan diferensiasi dan sel limfoblas yang neoplastik memperlihatkan waktu
generasi yang memanjang, bukan memendek. Oleh karena itu, akumulasi sel blas
terjadi akibat ekspansi klonal dan kegagalan pematangan progeni menjadi sel matur
fungsional. Akibat penumpukan sel blas di sumsum tulang, sel bakal hemopoetik
mengalami tekanan (Sudoyo, 2007).
Kelainan paling mendasar dalam proses terjadinya keganasan adalah kelainan
genetik sel. Proses transformasi menjadi sel ganas dimulai saat DNA gen suatu sel
mengalami perubahan. Akibat proliferasi sel yang tidak terkendali ini tcrjadi kenaikan
kadar satu atau beberapa jenis sel darah dan penghambatan pembentukan sel darah
lainnya dengan akibat terjadinya anemia, trombositopenia dan granulositopenia.
Perubahan kromosom yang terjadi merupakan tahap awal onkogenesis dan
prosesnya sangat kompleks, melibatkan faktor intrinsik (host) dan ekstrinsik
(lingkungan).Leukemia diduga mulai sebagai suatu proliferasi local dari sel
neoplastik, timbul dalam sumsum tulang dan limfe noduli (dimana limfosit terutama
dibentuk) atau dalam lien, hepar dan tymus. Sel neoplastik ini kemudian disebarkan
melalui aliran darah yang kemudian tersangkut dalam jaringan pembentuk darah
dimana terus terjadi aktifitas proliferasi, menginfiltrasi banyak jaringan tubuh,
misalnya tulang dan ginjal. Gambaran darah menunjukan sel yang inmatur. Lebih
sering limfosit dan kadang-kadang mieloblast. Normalnya tulang marrow diganti
dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast. Adanya proliferasi sel blast,
produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan menimbulkan anemia dan
trombositipenia (Aguayo et al., 2006).
2.5 Gejala Leukemia
Gejala klinis dari leukemia pada umumnya adalah anemia, trombositopenia,
neutropenia, infeksi, kelainan organ yang terkena infiltrasi, hipermetabolisme.
a. Leukemia Limfositik Akut : Umumnya menggambarkan kegagalan sumsum
tulang. Gejala klinis berhubungan dengan anemia (mudah lelah, letargi, pusing,
sesak, nyeri dada), infeksi dan perdarahan. Selain itu juga ditemukan anoreksia,
myeri tulang dan sendi. Hipermetabolisme. Nyeri tulang bisa dijumpai terutama
pada sternum, tibia dan femur.
b. Leukemia Mielositik Akut : Gejala utama LMA adalah rasa lelah, perdarahan
dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang. perdarahan
biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia. Penderita LMA dengan
leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3) biasanya mengalami
gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri dada dan priapismus. Selain itu juga
menimbulkan gangguan metabolisme yaitu hiperurisemia dan hipoglikemia.
c. Leukemia Limfositik Kronik : Sekitar 25% penderita LLK tidak menunjukkan
gejala. Penderita LLK yang mengalami gejala biasanya ditemukan limfadenopati
generalisata, penurunan berat badan dan kelelahan. Gejala lain yaitu hilangnya
nafsu makan dan penurunan kemampuan latihan atau olahraga. Demam, keringat
malam dan infeksi semakin parah sejalan dengan perjalanan penyakitnya.
d. Leukemia Mielositik Kronik : Memiliki 3 fase kronik, fase akselerasi dan fase
krisis blas. Pada fase kronik ditemukan hipermetabolisme, merasa cepat
kenyangnya akibat desakan limpa dan lambung. Penurunan berat badan terjadi
setelah penyakit berlansung lama. Pada fase akselerasi ditemukan keluhan
anemia yang bertambah berat, petekie, ekimosis dan demam yang disertai
infeksi.
2.7 Diagnosis
1. Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik untuk jenis LLA yaitu ditemukan
splenomegali (86%), hepatomegali, limfadenopati, nyeri tekan tulang dada,
ekimosis dan perdarahan retina. Pada penderita LMA ditemukan hipertrofi gusi
yang mudah berdarah. Kadang-kadang ada gangguan penglihatan yang
disebabkan adanya perdarahan fundus oculi. Pada penderita leukemia jenis LLK
ditemukan hepatosplenomegali dan limfanopati. Anemia, gejala-gejala
hipermetabolisme (penurunan berat badan, berkeringat) menunjukkan penyakit
sudah berlanjut. Pada LGK/LMK hampir selalu ditemukan splenomegali, yaitu
pada 90% kasus. Selain itu juga didapatkan nyeri tekan pada tulang dada dan
hepatomegali. Kadang-kadang terdapat purpura, perdarahan retina, panas,
pembesaran kelenjar getah bening dan kadang-kadang priapismus.
2. Pemeriksaan darah tepi : pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan
leukositosis (60%) dan kadang-kadang leupenia (25%). Pada penderita LMA
ditemukan penurunan eritrosit dan trombosit. Pada penderita LLK ditemukan
limfositosis lebih dari 50.000/mm3, sedangkan pada penderita LGK/LMK
ditemukan leukositosis lebih dari 50.000/mm3.
3. Pemeriksaan sumsum tulang : Pada penderita leukemia akut ditemukan
keadaan hiperseluler. Hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia
(blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang
tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti dalam
sumsum tulang. Pada penderita LLK ditemukan adanya infiltrasi merata oleh
limfosit kecil yaitu lebih dari 40% dari total sel yang berinti. Kurang lebih 95%
pasien LLK disebabkan oleh peningkatan limfosit B. Sedangkan pada penderita
LGK/LMK ditemukan keadaan hiperselular dengan peningkatan jumlah
megakariosit dan aktivitas granulopoeisis. Jumlah granulosit lebih dari
30.000/mm3.
BAB III
PENATALAKSANAAN TERAPI
3.3.5 KIE
1. Masalah Nutrisi Pada Pasien Kanker
Masalah berkaitan dengan nutrisi yang sering ditemukan pada pasien kanker dan
mengganggu status gizi adalah anemia, demam, anoreksi, diare, kandidiasis, mual,
muntah, disfagia, dan malabsorbsi (Wilkes, 2000). Masalah gangguan pencernaan
yang paling sering dialami oleh pasien kanker setelah mendapatkan kemoterapi
adalah mual dan muntah. Kemoterapi atau toksin lain menimbulkan cedera pada sel-
sel usus halus yang menyebabkan pelepasan substansi serotonin. Syaraf aferen
lambung yang distimulasi oleh pelepasan serotonin mengirimkan impuls ke zona
pemicu kemoreseptor dan pusat muntah (Burke, 1996)
Beberapa hal yang dapat disarankan pada pasien kanker yang mengalami masalah
gangguan nutrisi akibat pemberian kemoterapi (Carpenito, 1995; Hariani, 2007;
Wilkes ,2000)
a. Anoreksia
Mengatasi gejala yang menyebabkan penurunan selera makan (nyeri, mual,
diare, panas, gangguan pengecapan)
Melakukan tindakan untuk mengatasi masalah depresi atau emosi
Makan sedikit tapi sering dengan makanan tinggi kalori tinggi protein dan
kudapan tinggi nutrien diantara jam makan serta saat akan tidur
Memanfaatkan saat–saat ketika selera makannya timbul dan segera makan
pada waktu merasa lapar
Melakukan pemantauan berat badan secara teratur disamping pemantauan
catatan harian makanan dan riwayat gejala.
b. Perubahan pengecapan
Melakuan perawatan gigi dan mulut secara teratur dan benar
Menghindarkan bau dan penampilan makanan yang tidak menyenangkan
Mencari jenis makanan yang bergizi tapi cukup lezat
Minum cairan saat–saat makan dan minum cukup sering sepanjang hari agar
mukosa mulut tetap basah
Meningkatkan citarasa makanan dengan menambahkan bumbu makanan
Menghidangkan makanan dengan penampilan yang menarik
c. Stomatitis dan esofagitis
Menghindari makanan dan sari buah asam dan bumbu–bumbu pedas
Menghindari makanan terlalu panas atau dingin
Menghindari makanan yang keras
Makan sedikit-sedikit tapi sering dengan makanan tinggi kalori tinggi protein
Kumur mulut dengan larutan garam hangat sesudah makan dan saat akan tidur
Sikat gigi dengan sikat yang lunak sedikitnya 2 kali perhari.
d. Mual muntah
Menyiapkan tempat yang menarik untuk makan
Makan sedikit – sedikit tapi sering
Makanan harus dingin atau dengan suhu kamar, tidak berlemak, tidak pedas,
lunak, dan tidak dengan bumbu merangsang
Memisahkan waktu makan makanan padat dan cair sekitar 1 jam
Mencoba makanan yang berbeda–beda jenisnya
Berdiam dulu selama 1–2 jam setelah makan
Berada dalam keadaan rileks saat–saat diantara jam-jam makan dan jangan
memikirkan makanan.
2. Teknik Relaksasi Otot Progresif atau Progressive Muscle Relaxation
Relaksasi otot progresif merupakan salah satu jenis teknik relaksasi dengan cara
menegangkan sekelompok otot tertentu kemudian melepaskan ketegangan itu
(Ramdhani & Putra, 2007). Relaksasi otot progresif sini merupakan salah satu bentuk
metode relaksasi yang menjadi salah satu intervensi keperawatan mandiri dalam
menurunkan tingkat kecemasan pada pasien (Mc Closkey & Bulechek,1996).
Berdasarkan penelitian dalam berbagai jurnal, relaksasi otot progresif efektif dalam
menurunkan masalah fisik seperti mual muntah dan keletihan, serta masalah
psikologis seperti cemas dan depresi (Chan, et al, 2007; Molassiotis, et al, 2000).
Latihan relaksasi otot progresif menciptakan kondisi rileks secara sengaja pada
beberapa otot utama tubuh. Kondisi rileks akan menurunkan respon fisik berupa
penurunan denyut nadi, denyut jantung serta pernapasan. Pada saat kondisi relaksasi,
aliran darah akan menyebar secara merata sehingga sirkulasi darah menjadi lancar.
Kondisi rileks juga terjadi pada otot pada saluran pencernaan sehingga mual muntah
berkurang. Kondisi rileks secara fisik juga akan membawa kondisi rileks secara
psikologis sehingga dapat menurunkan kecemasan dan depresi.
Mekanisme kerja dari relaksasi otot progresif didasarkan pada cara kerja sistem
syaraf simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf otonom ini terdiri dari dua subsistem
yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis yang bekerja saling
berlawanan. Sistem saraf simpatis lebih banyak aktif ketika tubuh membutuhkan
energi pada saat terkejut, takut, cemas, atau berada dalam keadaan tegang. Pada
kondisi seperti ini, sistem syaraf akan memacu aliran darah ke otot-otot skeletal,
meningkatkan detak jantung dan kadar gula. Sistem saraf parasimpatis mengontrol
aktivitas yang berlangsung selama penenangan tubuh, misalnya penurunan denyut
jantung setelah fase ketegangan dan menaikkan aliran darah ke sistem pencernaan
(Sherwood, 1996).
3. Fatigue/ Lemah dan Lesu Pada Pasien Kanker
Fatigue merupakan suatu perasaan subyektif tentang kelelahan secara fisik, emosi dan
atau kognitif yang berhubungan dengan penyakit kanker atau terapi kanker yang
mengganggu aktivitas harian dan fungsi normal (National Comprehensive Cancer
Network, 2009). Berbagai faktor menyebabkan lemah lesu pada pasien kanker yaitu
faktor secara fisik dan psikososial (Iop, Manfredi & Bonura, 2004; Otto, 2001).
Faktor-faktor tersebut yaitu:
a. Faktor fisiologis meliputi
Terapi kanker: kemoterapi, radioterapi, pembedahan
Keletihan sebagai akibat dari kemoterapi berhubungan dengan mekanisme
kerja kemoterapi yang berdampak pada toksisitas hematologi. Kemoterapi
tidak hanya mempengaruhi sel kanker tetapi juga mengganggu fungsi siklus
sel normal dengan menurunkan absorbsi nutrient sel yang penting. Gangguan
pada pembentukan sel darah pada sumsum tulang atau myelosupresi
menyebabkan penurunan sel darah merah, trombosit dan leukosit yang ikut
mempengaruhi terjadinya lemah dan lesu
Gangguan sistemik seperti anemia, infeksi, gangguan paru–paru, gagal hepar,
gagal jantung, gagal ginjal, malnutrisi, gangguan neuromuskular, dan
dehidrasi.
Gangguan tidur
Nyeri kronis
Penggunaan medikasi seperti opioids
b. Faktor psikososial meliputi kecemasan dan depresi
Faktor psikososial dapat mempengaruhi perkembangan lemah lesu pada
pasien kanker. Sebuah hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara faktor psikososial seperti perasaan, kecemasan dan depresi, dengan
perkembangan lemah dan lesu pada pasien kanker (Fossa, Dahl & Loge,
2003). Depresi merupakan reaksi emosional sebagai respon atas rasa
kehilangan yang ditunjukkan dengan kehilangan ketertarikan, kesulitan
berkonsentrasi dan perasaan putus asa dapat mempengaruhi kondisi fisik
penyebab keletihan. Sedangkan kecemasan dengan diagnosa kanker yang
akan mempengaruhi aspek fisik, psikososial, dan keuangan juga ikut
meningkatkan terjadinya lemah dan lesu .
4. Dampak lemah dan lesu pada pasien kanker
Curt (2000) menyatakan bahwa lemah dan lesu yang dialami oleh pasien kanker
memiliki dampak secara fisik, emosi, mental, sosial dan ekonomi
a. Dampak secara fisik
Lemah dan lesu yang dialami menyebabkan penurunan kemampuan dalam
melakukan aktivitas sehari–hari. Hal yang paling sering ditemui adalah
hambatan dalam berjalan, olah raga, membersihkan rumah, naik tangga, dan
mengangkat barang berat
b. Dampak secara emosi dan mental
Dampak lemah lesu yang dialami oleh pasien kanker secara emosi dan mental
adalah merasa kehilangan kontrol dan tidak mampu menjalani hidup secara
normal. Pasien kanker dapat mengalami perasaan putus asa, isolasi sosial, dan
kesepian. Konsekuensi lainnya adalah penurunan motivasi, kesedihan,
frustrasi, dan kelelahan secara mental
c. Dampak secara sosial
Dampak yang dirasakan oleh pasien kanker yang mengalami lemah dan lesu
adalah kesulitan untuk melakukan aktivitas berbelanja di luar rumah,
mengekspresikan kasih sayang pada pasangan, bermain dengan anak dan
meluangkan waktu untuk teman.
d. Dampak secara ekonomi
Dampak secara ekonomi karena kondisi lemah lesu adalah penurunan
kemampuan untuk bekerja pada orang yang masih berstatus bekerja saat
didiagnosa kanker. Mereka akan kehilangan beberapa waktu yang produktif
untuk beristirahat karena lemahdan lesu. Dampak secara ekonomi juga
berkaitan dengan adanya perubahan dalam status pekerjaan.
5. Diagnosis fatigue pada pasien kanker
Terdapat kriteria untuk mendiagnosis adanya fatigue pada pasien kanker yaitu adanya
gejala di bawah ini yang muncul pada setiap hari atau hampir setiap hari selama 2
minggu dalam satu bulan terakhir (Iop, Manfredi & Bonura, 2004)
a. Keterbatasan energi dan peningkatan kebutuhan untuk istirahat
b. Keluhan kelemahan umum dan perasaan berat pada anggota gerak
c. Penurunan konsentrasi atau perhatian
d. Penurunan motivasi untuk melakukan aktivitas normal
e. Mengalami insomnia atau hipersomnia
f. Keluhan tidak mengalami kebugaran setelah bangun tidur
g. Membutuhkan usaha keras untuk beraktivitas
h. Adanya emosi sedih dan frustrasi karena keletihan
i. Kesulitan dalam menyelesaikan aktivitas harian
j. Memiliki masalah dengan memori jangka pendek
Intervensi lemah dan lesu
Masalah lemah dan lesu pada pasien kanker dapat menimbulkan berbagai akibat
secara fisik dan psikososial. Konseling perlu diberikan oleh tenaga kesehatan pada
pasien dan keluarga dengan masalah lemah dan lesu akibat kanker (NCCN, 2009).
Berikut ini intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi lemah lesu akibat
kanker:
a. Memberikan informasi tentang penyebab lemah dan lesu dan cara
mengatasinya, serta menjelasan bahwa lemah dan lesu akibat kemoterapi
bukan berarti penyakit menjadi bertambah buruk
b. Menganjurkan pasien untuk melakukan monitor tentang tingkat
kelemahannya misalnya dengan memantau perkembangan kemampuan
fisiknya dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
c. Menyarankan untuk melakukan konservasi energi: Membuat prioritas
pekerjaan, pendelegasian tugas, pengaturan pekerjaan penting saat energi
meningkat, menunda kegiatan yang kurang penting, membatasi waktu
istirahat sehingga tidak mengganggu kualitas tidur malam, melakukan satu
aktivitas dalam satu waktu
d. Menyarankan menggunakan teknik distraksi misal mendengarkan musik,
bermain games, membaca atau bersosialisasi dengan teman.
e. Menyarankan mengatasi penyebab dari lemah dan lesu: mengatasi gangguan
nutrisi, gangguan nyeri, gangguan pola tidur atau kecemasan dan depresi.
BAB IV
KASUS DAN PENYELESAIAN
3.1 Kasus
AP adalah laki laki berusia 17 tahun, masuk ke Rumah Sakit pada tanggal 29 Juli
2017 dengan keluhan muka pucat, nyeri tulang dan sendi, serta nafsu makan
menurun. AP didiagnosis menderita Acute Lymphoblasc Leukemia dengan Ph
negatif. Riwayat pengobatan sebelumnya metotreksat, tidak memiliki riwayat
penyakit dan riwayat keluarga.
Hasil pemeriksaan laboratorium (Tanggal 26 Juli 2017)
Pemeriksaan Lab Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan
Hemoglobin 7,2 g/dl 11,0 - 13,0 L
Leukosit 26,2 rb/mmk 9,0 – 12,0 H
Trombosit 6 rb/mmk 150 – 400 L
AMC 41 %
Blast 8 %
Hematokrit 20,2 % 36 – 44 L
Eritrosit 2,2 106 3,6 - 6,2 L
MCH 32,7 23 – 31 H
RDW 17,3 11,6 - 14,8 H
Tanda tanda vital pasien
29/7 30/7 31/7 1/8 2/8 3/8 4/8 5/8
Temperatur 38,2 38,1 37 36,7 37 37,1 36,9 36,5
Nadi 119 112 114 112 118 115 112
RR 26 26 27 27 26 27 26
Regimen Terapi
29/7 30/7 31/7 1/8 2/8 3/8 4/8 5/8
NaCl √ √ √ √ √ √ √ √
PRC100 cc √ √ √ √
SiklofosfamidIV
√
750 mg/m2
Vincristine1,5 IV
√ √
mg/m2/hr
DexamethasonePO
√ √
4mg/m2
PrednisonPO 60
√ √ √ √ √ √ √ √
mg/m2
MetotrexatIT 6 mg √
DoxorubicinIV
√ √ √
30mg/m2/hr
L Asparaginase IV
√
6000 u/m2
6-MP PO 50
√
mg/m2
Paracetamol PO
√ √ √
500 mg 3x sehari
C. Assesment
1. Pasien mengidap penyakit Acute lymphoblastic leukemia (ALL) dan termasuk
kategori adolescent and young adult (AYA) dengan Ph (-). Terapi pendahuluan
yang dilakukan sudah tepat berdasarkan regimen terapi yaitu menggunakan
Metotrexat (NCCN, 2014).
2. Pemberian transfusi darah dilakukan karena pasien yang mendapatkan terapi
pengobatan ALL mengalami anemia (The ALL Guide, 2014).
3. Siklofosfamid merupakan obat yang bekerja merusak DNA sel kanker (The ALL
Guide, 2014) digunakan untuk terapi induksi pada hari pertama. Pada kasus ini
dosis dan lama penggunaan sudah tepat (NCCN).
4. Doxorubicin merupakan obat antibiotik untuk antitumor (The ALL Guide, 2014)
digunakan selama 3 hari untuk terapi induksi sudah tepat. Dosis yang digunakan
adalah 50 mg/m2/hr (NCCN, 2012), sedangkan pada kasus hanya diberikan
30mg/m2/hr.
5. Vinkristin merupakan obat yang bekerja dengan mencegah pembelahan sel
kanker (The ALL Guide, 2014) digunakan pada hari pertama dan hari ke delapan
pada terapi induksi sudah sesuai dengan regimen terapi. Dosis yang digunakan
sudah sesuai regimen yaitu 1,5 mg IV maksimal 2mg IV (Dipiro,2005). Pada hari
pertama digunakan bersamaan dengan Siklofosfamid dan pada hari ke delapan
digunakan bersamaan dengan L-asparaginase (NCCN, 2012).
6. L-asparaginase merupakan suatu enzim yang bekerja untuk mencegah sel kanker
dapat bertahan di dalam tubuh (The ALL Guide, 2014). Obat ini sesuai regimen
digunakan pada hari ke 8 pada tahap induksi terapi (NCCN, 2012). Regimen
penggunaan obat ini pada kasus sudah tepat.
7. Prednison 60 mg/m2 sebagai kortikosteroid diberikan setiap hari selama 14 hari
sesuai dengan regimen terapi (NCCN, 2012). Steroid adalah obat yang digunakan
untuk menyembuhkan pembengkakan dan peradangan, tetapi obat ini juga
diketahui memiliki efek anti kanker (NCCN, 2017).
8. Metotrexat merupakan golongan antimetabolit (The ALL Guide, 2014) diberikan
seminggu sekali sebagai terapi tambahan pada pengobatan ALL (NCCN, 2012).
9. 6-MP merupakan obat golongan antimetabolit (The ALL Guide, 2014) menurut
NCCN 2014 digunakan selama seminggu sekali untuk terapi penunjang, biasanya
digunakan bersamaan dengan Metotrexat serta obat ini juga dapat masuk pada
tahap konsolidasi terapi dengan dosis 60mg/m2/hr diberikan pada hari ke 16
sampai 21 terapi. Pada kasus penggunaannya sudah tepat.
10. Prednison dan dexamethasone merupakan kortikosteroid yang dapat digunakan
pada terapi ALL, namun berdasarkan NCCN 2014 pemakaian obat ini hanya
salah satu saja. Pada kasus ini penggunaan bersamaan kurang tepat seharusnya
cukup menggunakan Prednison saja karena jika dilihat dari pemilihan obatnya
pasien masih dalam tahap pengobatan terapi induksi. Selain itu dexamethasone
meningkatkan risiko efek samping seperti osteonekrosis, miopati steroid,
hiperglikemia, dan infeksi. Pasien yang berusia lebih dari 10 tahun sangat rentan
terhadap osteonekrosis dan menerima deksametason sesekali (7 hari penggunaan,
7 hari off) untuk meminimalkan efek ini (Dipiro, 2008).
11. Interaksi antara doxorubicin dan siklofosfamid dapat diatasi dengan waktu
pemberian yang berbeda. Doxorubicin memiliki waktu paruh 1-3 jam sehingga
diberikan pada pagi hari (7.00). Siklofosfamid memiliki waktu paruh 3-12 jam
sehingga diberikan pada siang hari (12.00) (Medscape)
12. Interaksi antara doxorubicin dan 6-MPdapat diatasi dengan waktu pemberian
yang berbeda. Doxorubicin memiliki waktu paruh 1-3 jam sehingga diberikan
pada pagi hari (7.00). 6-MP memiliki waktu paruh 21 menit dan tidak ada
interaksi dengan siklofosfamid sehingga dapat diberikan pada siang hari secara
bersamaan (12.00)(Medscape).
13. Interaksi antara dexametason dan prednison dapat diatasi dengan waktu
pemberian yang berbeda. Prednisone memiliki waktu paruh 2,6-3 jam sehingga
diberikan pada siang hari (14.00). Dexametason memiliki waktu paruh 1,8-3,5
jam dapat diberikan pada pagi hari (10.00) (Medscape).
14. Interaksi antara prednison dan L-asparaginase dapat diatasi dengan waktu
pemberian yang berbeda. Prednisone memiliki waktu paruh 2,6-3 jam sehingga
diberikan pada siang hari (14.00). L-asparaginase memiliki waktu paruh 8 jam
dapat diberikan pada sore hari (17.00) (Medscape).
15. Interaksi antara doxorubicin dan dexametason dapat diatasi dengan waktu
pemberian yang berbeda. Doxorubicin memiliki waktu paruh1-3 jam sehingga
diberikan pada pagi hari (7.00). Dexametason memiliki waktu paruh 1,8-3,5 jam
dapat diberikan pada siang hari (10.00) (Medscape).
16. Interaksi antara prednisone dan vinkristindapat diatasi dengan waktu pemberian
yang berbeda. Prednison memiliki waktu paruh 2,6-3 jam sehingga diberikan
pada siang hari (14.00). Vinkristin memiliki waktu paruh 10,5 jam dapat
diberikan pada sore hari (17.00) (Medscape).
17. Interaksi antara dexametason dan vinkristin dapat diatasi dengan waktu
pemberian yang berbeda. Dexametason memiliki waktu paruh 1,8-3,5 jam
sehingga diberikan pada pagi hari (10.00). Vinkristin memiliki waktu paruh 10,5
jam dapat diberikan pada sore hari (17.00) (Medscape)
18. DRP
a. DRP ada indikasi tidak ada obat :-
b. DRP tidak ada indikasi ada obat :-
c. DRP overdose :-
d. DRP underdose : Doxorubicin
e. DRP polifarmasi : Prednison dan Dexamethaone
f. DRP efek samping obat :
Doxorubicin : mual, muntah, neutropenia, anemia, leukopenia, pruitis,
stomatitis, kelelahan, CHF, trombositopenia
Siklofosfamid : sistitis hemoragi
Metotreksat : mual, muntah, hiperurisemia
Vincristine : alopecia
Dexametason : osteonekrosis, miopati steroid, hiperglikemia, dan
infeksi
Prednisone : angioedema
L-asparaginase : mual, muntah, kram perut, anoreksia, peningkatan
kadar kreatinin dan nitrogen urea darah (azotemia)
6-MP : menyebabkan hasil yang tinggi pada pemeriksaan hati (hasil
semu)
g. DRP interaksi obat :
• Doxorubicin + siklofosfamid
Doxorubicin meningkatkan toksisitas siklofosfamid, meningkatkan
resiko hemoragic cystitis.
• Doxorubicin + 6-MP
Doxorubicin meningkatkan toksisitas mercaptopurin karena bekerja
secara sinergis, dapat meningkatkat hepatotoksisitas.
• Dexametason + prednison
Dexametason akan menurunkan efek prednison dengan mempengaruhi
metabolisme enzim CYP3A4
• Prednison + L–asparaginase
Prednison meningkatkan efek L-asparaginase karena dapat bekerja
secara sinergis. Asparaginase menghambat produksi insulin saat
digunakan bersamaan dengan terapi menggunakan kortikosteroid.
• L-asparaginase + vinkristin
Asparaginase meningkatkan efek dari vinkristin.
• L-asparaginase + metotreksat
Asparaginase mnurunkan efek dari metotreksat.
• Dexametason + doxorubicin
Dexametason akan menurunkan efek dari doxorubicin dengan
mempengaruhi enzim CYP3A4.
• Prednison + vinkristin
Prednison akan menurunkan efek dari vinkristin dengan mempengaruhi
enzim CYP3A4.
• Dexametason + vinkristin
Dexametason akan menurunkan efek dari vinkristin dengan
mempengaruhi enzim CYP3A4.
D. Plan
1. Peningkatan dosis untuk doxorubicin agar sesuai dengan regimen
pengobatan
2. Pemberian deksametasone sebagai kortikosteroid dilanjutkan pada tahap
konsolidasi untuk menggantikan peran prednison
3. Dilakukan pemantauan dan cek darah serta tes sumsusm tulang belakang
untuk mengetahui keberhasilan terapi
4. Direkomendasikan untuk penambahan obat anti emetik Ondansetron dosis 8
mg secara peroral untuk mengurangi efek penggunaan kemoterapi.
5. Melakuakn terapi non farmaologi seperti :
a. Transfusi darah untuk meningkatkan HB darah pada penderita.
b. Memberikan manajemen nutrisi pada pasien kanker leukemia akut.
c. Meningkatkan kepatuhan dalam melakukan kemoterapi.
d. Menghindari makanan yang bersifat karsinogenik
e. Banyak mengonsumsi makanan mengandung lemak omega 3
f. Buatlah kamar yang protektif dan steril atau bersih
g. Konsumsi makanan yang higenis.
E. KIE
1. Menjelaskan efek samping kemoterapi yang mungkin terjadi seperti mual
muntah, kerontokan rambut.
2. Untuk mengatasi kerontokan rambut dapat menggunakan hair tonic / lidah
buaya.
3. Istirahat yang cukup.
4. Pola makan harus diperhatikan (makan makanan yang bergizi).
5. Segera konsultasi ke dokter apabila terjadi reaksi alergi seperti gatal,
bengkak, ruam, dll.
6. Berikan lingkungan yang tenang dan hindari stress (meditasi, yoga, berdoa,
aromaterapi, dll).
7. Hindari aktivitas yang terlalu berat.
8. Hindari asap kendaraan bermotor, asap rokok, polusi udara, dll yang dapat
memperparah penyakit.
9. Menjaga kebersihan badan dan lingkungan untuk mencegah terjadinya
infeksi.
10. Menghindari makanan yang diolah dengan cara dibakar, makanan yang
banyak mengandung pengawet / pewarna buatan.
11. Diberitahukan pada keluarga pasien untuk selalu memberikan dukungan
moral pada pasien supaya pasien memiliki kemauan untuk sembuh.
DAFTAR PUSTAKA