Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH

KANKER LEUKEMIA

Disusun Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


Kapita Selekta Farmasi Klinik
Dosen Pengampu : Dr. Maria Cecilia N. Setiawati H., M. Sc., Apt.

Disusun oleh:
Adella Febriana Mufliha (1061711002)
Anggun Pratiwi Ratna Dewi (1061711014)
Aulia Wulandari (1061711018)
Charis Satun Ni’mah (1061711025)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI”
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker merupakan suatu kelompok penyakit yang dikarakterisasi dengan adanya
pertumbuhan sel yang tidak terkontrol, invasi lokal pada jaringan, dan metastatis
(DiPiro, 2005). Dewasa ini penyakit kanker menduduki peringkat teratas penyebab
kematian manusia. Di negara maju, kanker merupakan penyebab kematian kedua
setelah penyakit kardiovaskular (Perwitasari, 2006). Leukimia akut merupakan salah
satu jenis kanker yang ganas pada anak-anak dan banyak menyebabkan kematian
pada pasien dengan usia di bawah 35 tahun (DiPiro, 2005). Leukemia akut terbagi
lagi menjadi Leukemia Mieloid Akut (AML) dan Leukemia Limfatik Akut (ALL)
(Wagener et al., 1996). Pada tahun 2007, sekitar 18.610 kasus leukemia akut terjadi
di Amerikadimana 13.410 merupakan kasus AML dan 5.200 merupakan kasus ALL.
Kejadian tersebut sabil selama dua dekade. Sekitar 10.410 orang meninggal setiap
tahun dan dilaporkan 2%-nya disebabkan oleh leukemia akut (DiPiro, 2005).
Leukemia terjadi karena adanya proliferasi dan pendewasaan salah satu sel induk
sumsum tulang atau sel pendahulu yang tidak terkontrol. Sel induk yang mengalami
transformasi maligna ini menimbulkan berbagai kelainan. Dalam perjalanan penyakit
sel-sel ini mengganggu pembentukan sel darah normal sehingga menyebabkan
kekurangan darah, granulositopenia dan trombositopenia (Wagener et al., 1996).
Terapi yang digunakan dalam kanker yaitu kemoterapi dengan sinar dan penggunaan
obat sitostatika. Obat sitostatika merupakan obat yang digunakan dalam kemoterapi
dimana merupakan terapi sistematik untuk menghambat pertumbuhan kanker atau
untuk membunuh sel-sel kanker (Perwitasari, 2006). Obat-obat tersebut sebagian
besar bekerja pada sintesis protein dan DNA. Obat sitostatiska yang umumnya
digunakan yaitu antimetabolit seperti fluorinated pyrymidines, analog cytidine, purin
dan antimetabolit purin; vinca alkaloid (vincristine dan vinblastine);
inhibitortopoisomerase; alkylating agent; komponen logam berat; terapi endokrin
(Lasparaginase); dan monoklonal antibodi. Dalam setiap kasus pada terapi pasien
kanker sering digunakan kombinasi berbagai macam obat tersebut sehingga perlu
ditelusuri fungsi dari setiap obat dalam terapi dan interaksi yang mungkin terjadi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Leukemia


Sel darah terbentuk dari pembelahan dan pendewasaan sel induk yang mampu
memperbaharui diri yang berada pada sumsum tulang dan menumbuhkan sel-sel
pendahulu dengan tujuan mematangkan sel-sel pendahulut tersebut. Dengan cara ini,
pada orang dewasa tiap harinya dapat terbentuk rata-rata 1x1011 granulosit, 2x1011
trombosit, dan 2x1011 eritrosit. Produksi sel darah menunjukkan secara permanen
besarnya aktivitas. Karena jangka hidup sel darah terbatas, sumsum tulang harus
bekerja secara maksimal (Wagener et al., 1996). Leukemia merupakan salah satu
jenis kanker dimana terjadi proliferasi dan pendewasaan salah satu sel induk sumsum
tulang atau sel pendahulu yang keluar dari aturan. Sel induk yang mengalami
transformasi maligna ini menumbuhkan keturunan sel dengan berbagai kelainan. Sel-
sel yang menumpuk ini menentukan ciri-ciri klinis leukemia. Dalam perjalanan
penyakit sel-sel ini mengganggu pembuatan sel darah normal, sehingga dapat
menimbulkan kekurangan darah, granulositopenia, dan trombositopenia (Wagener et
al., 1996).
2.1.1 Klasifikasi Leukemia
Secara umum, ada 2 jenis leukemia yaitu leukemia kronis dan leukemia akut.
Leukemia akut terbagi lagi menjadi Leukemia Mieloid Akut (LMA) dan Leukemia
Limfatik Akut (LLA) sedangkan leukemia kronik terbagi menjadi Leukemia
Limfositik Kronis (LLK) dan Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik (LGK/LMK)
(Wagener et al., 1996).
1. Leukemia akut.
Adalah keganasan primer sumsum tulang yang berakibat terdesaknya komponen
darah normal oleh komponen darah abnormal (blastosit) yang disertai dengan
penyebaran ke organ-organ lain. Leukemia akut memiliki perjalanan klinis yang
cepat, tanpa pengobatan penderita akan meninggal rata-rata dalam 4-6 bulan.
a. Leukemia Limfositik Akut (LLA).
LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan
akumulasi sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang mengakibatkan
organomegali (pembesaran alat-alat dalam) dan kegagalan organ. LLA lebih sering
ditemukan pada anak-anak (82%) daripada umur dewasa (18%). Leukemia limfositik
akut dapat berakibat fatal karena sel-sel yang dalam keadaan normal yang
berkembang menjadi limfosit akan berubah menjadi ganas dan akan menggantikan
sel-sel normal di dalam sumsum tulang. LLA menginfiltrasi sumsum tulang oleh sel
limfoblastik yang menyebabkan anemia, memar (trombositopenia), dan infeksi
(neutropenia). Limfoblas biasanya ditemukan dalam darah tepi dan selalu ada di
sumsum tulang, hal ini mengakibatkan terjadinya limfadenopati, splenomegali, dan
hepatomegali, tetapi 70% anak dengan leukemia limfatik akut kini bisa disembuhkan
(Bakta, 2006).
b. Leukemia Mielositik Akut (LMA).
LMA merupakan leukemia yang mengenai sel stem hematopoetik yang akan
berdiferensiasi ke semua sel mieloid. LMA merupakan leukemia nonlimfositik yang
paling sering terjadi LMA atau Leukemia Nonlimfositik Akut (LNLA) lebih sering
ditemukan pada orang dewasa (85%) dibandingkan anak-anak (15%). Permulaannya
mendadak dan progresif dalam masa 1 sampai 3 bulan dengan durasi gejala yang
singkat. Jika tidak diobati, LNLA fatal dalam 3-6 bulan.
2. Leukemia Kronik.
Leukemia kronik merupakan suatu penyakit yang ditandai proliferasi neoplastik
dari salah satu sel yang berlangsung atau terjadi karena keganasan hematologi.
a. Leukemia Limfositik Kronis (LLK).
LLK adalah suatu keganasan klonal limfosit B (jarang pada limfosit T).
Perjalanan penyakit ini biasanya perlahan, dengan akumulasi progresif yang berjalan
lambat dari limfosit kecil yang berumur panjang. LLK cenderung dikenal sebagai
kelainan ringan yang menyerang individu yang berusia 50-70 tahun dengan
perbandingan 2 : 1 untuk laki-laki.
b. Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik (LGK/LMK).
LGK/LMK adalah gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan produksi
berlebihan sel mieloid (seri granulosit) yang relatif matang. LGK/LMK mencakup
20% leukemia dan paling sering dijumpai pada orang dewasa usia pertengahan (40-50
tahun). Abnormalitas genetik yang dinamakan kromosom philadelphia ditemukan
pada 90-95% penderita LGK/LMK. Sebagian besar penderita LGK/LMK akan
meninggal setelah memasuki fase akhir yang disebut fase krisis blastik yaitu produksi
berlebihan sel muda leukosit, biasanya berupa mieloblas/promielosit, disertai
produksi neutrofil, trombosit dan sel darah merah yang amat kurang.
2.1.2 Leukemia Limfositik Akut (LLA) pada Anak
Dari anak yang menderita kelainan maligna, 30-35% menderita salah satu bentuk
leukemia, proliferasi autonom sel darah putih, yang kebanyakan menampakkan diri
dengan pertambahan sel abnormal dalam darah perifer. Leukemia pada anak lebih
banyak terjadi pada anak laki-laki. Pada bayi yang baru lahir dan menyusui juga
dapat dijumpai leukemia namun biasanya berupa tipe myeloid akut (Wagener et al.,
1996). Meskipun sebab leukemia tidak diketahui, namun beberapa faktor yang
berperan dalam terjadinya leukemia antara lain faktor lingkungan, virus, faktor
genetic, dan imunodefisiensi. Anak-anak yang menderita leukemia, 95% merupakan
bentuk akut dan 5% merupakan leukemia kronik. Dan anak-anak penderita leukemia
akut tersebut, 80% mempunyai bentuk limfatik (Wagener et al., 1996). Gejala klasik
leukemia biasanya ditandai dengan timbulnya anemia, leucopenia, dan
trombositopenia. Anak tampak pucat dan lelah. Periode-periode demam sering
merupakan manifestasi infeksi yang berulang. Inflamasi yang tidak sembuh dengan
baik kadang-kadang merupakan gejala pertama leukemia akut. Selain itu, pada
rongga mulut dan tenggorokan juga sering terjadi infeksi. Gejala fisik lain yang
menjadi ciri dari leukemia akut adalah perdarahan, gangguan pada tulang yaitu
timbulnya rasa nyeri pada malam hari pada punggung, lengan dan tungkai,
pembengkakan kelenjar dan hepatosplenomegali (Wagener et al., 1996).
Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis. Dalam fase
inisial biasanya dijumpai sejumlah besar sel leukemia dalam preparat sumsum tulang.
Selainitu, pemeriksaan menggunakan metode May-Grunwald-Giemsa, pengecatan
sitokimia dan pemeriksaan imunologik dapat digunakan untuk menegakkan
diferensiasi tipe leukemia (Wagener et al., 1996).
Seperti yang telah disebutkan di atas, sebagian besar leukemia yang diderita oleh
anak merupakan LLA (Leukemia Limfoblastic Acute) maupun LMA (Leukemia
Mieloid Acute), namun kadang-kadang ada penderita yang sel leukemianya hanya
mengalami sedikit diferensiasi sehingga tidak dapat dimasukkan dalam salah satu
kategori di atas (LLA atau LMA). Dalam hal ini, dinamakan leukemia sel induk.
Namun penderita seringkali dianggap mengalami leukemia akut sehingga terapi yang
diberikan adalah terapi leukemia limfatik akut. Namun bila terapi tidak berhasil,
maka terapi dirubah menjadi terapi leukemia mieloid akut (Wagener et al., 1996).
Di samping pemeriksaan gambaran darah lengkap, sumsum tulang dan likuor,
perlu juga dilakukan pemeriksaan fungsi organ dan ginjal dan mekanisme
pembekuan. Pemeriksaan rontgen tulang dapat menunjukkan perubahan osteolitik.
Pada foto toraks dapat terlihat pembesaran kelenjar hilus (Wagener et al., 1996).

2.2 Epidemiologi
Data statistik dunia menurut WHO tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah
penderita penyakit leukemia di dunia mencapai sekitar 500-600 juta orang. Setiap 1
juta jumlah penduduk di dunia akan terlahir 120 orang anak yang menderita kanker
darah. Penyakit ini tidak hanya terjadi pada negara berkembang saja, tetapi di negara
maju seperti Amerika Serikat memiliki kasus leukemia yang cukup besar. Data dari
American Cancer Society (ACS) tahun 2012, juga menunjukkan bahwa di Amerika
Serikat pada tahun 2012 terdapat kasus kanker pada anak sekitar 12.060 kasus baru
dalam rentang usia antara 0-14 tahun dan 1/3 dari kasus tersebut merupakan kasus
kematian yang diakibatkan oleh leukemia.

2.3 Etiologi
Etiologi dari leukemia belum diketahui, namun hasil studi mengidentifikasi
sejumlah faktor yang dapat meningkatkan risiko pada individu tertentu, meliputi :
1. Faktor Eksogen
a. Radiasi, khususnya yang mengenai sumsum tulang, kemungkinan leukemia
meningkat pada penderita yang diobati dengan radiasi atau kemoterapi.
b. Zat kimia, seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazone, dan agen anti
neoplastik. Terpapar zat kimia dapat menyebabkan displasia sumsum tulang
belakang, anemia aplastik dan perubahan kromosom yang akhirnya dapat
menyebabkan leukemia.
c. Infeksi virus, Virus HTLV-I (Human T-cell Lymphotropic Virus Type I),
yang menyerupai virus penyebab AIDS, diduga merupakan penyebab jenis
leukemia yang jarang terjadi pada manusia, yaitu leukemia sel-T
2. Faktor Endogen
a. Bersifat herediter, insiden meningkat pada beberapa penyakit herediter
seperti sindrom down mempunyai insiden leukemia akut 20x lipat dan
riwayat leukemia dalam keluarga insiden leukemia lebih tinggi dari saudara
kandung anak anak yang terserang, dengan insiden yang meningkat sampai
20% pada kembar monozigot.
b. Kelainan genetic, mutasi genetic dari gen yang mengatur sel darah yang
tidak diturunkan (Price, 2006).

2.4 Patofisiologi
Penyakit leukemia ditandai oleh adanya proliferasi tak terkendali dari satu atau
beberapa jenis sel darah. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada kromosom sel
induk sistem hemopoetik. Sel sistem hemopoetik adalah sel yang terus menerus
berproliferasi, karena itu sel ini lebih potensial untuk bcrtransformasi menjadi sel
ganas dan lebih peka terhadap obat toksik seperti sitostatika dan radiasi. Penelitian
morfologik menunjukkan bahwa pada Leukemia Limfositik Akut (LLA) terjadi
hambatan diferensiasi dan sel limfoblas yang neoplastik memperlihatkan waktu
generasi yang memanjang, bukan memendek. Oleh karena itu, akumulasi sel blas
terjadi akibat ekspansi klonal dan kegagalan pematangan progeni menjadi sel matur
fungsional. Akibat penumpukan sel blas di sumsum tulang, sel bakal hemopoetik
mengalami tekanan (Sudoyo, 2007).
Kelainan paling mendasar dalam proses terjadinya keganasan adalah kelainan
genetik sel. Proses transformasi menjadi sel ganas dimulai saat DNA gen suatu sel
mengalami perubahan. Akibat proliferasi sel yang tidak terkendali ini tcrjadi kenaikan
kadar satu atau beberapa jenis sel darah dan penghambatan pembentukan sel darah
lainnya dengan akibat terjadinya anemia, trombositopenia dan granulositopenia.
Perubahan kromosom yang terjadi merupakan tahap awal onkogenesis dan
prosesnya sangat kompleks, melibatkan faktor intrinsik (host) dan ekstrinsik
(lingkungan).Leukemia diduga mulai sebagai suatu proliferasi local dari sel
neoplastik, timbul dalam sumsum tulang dan limfe noduli (dimana limfosit terutama
dibentuk) atau dalam lien, hepar dan tymus. Sel neoplastik ini kemudian disebarkan
melalui aliran darah yang kemudian tersangkut dalam jaringan pembentuk darah
dimana terus terjadi aktifitas proliferasi, menginfiltrasi banyak jaringan tubuh,
misalnya tulang dan ginjal. Gambaran darah menunjukan sel yang inmatur. Lebih
sering limfosit dan kadang-kadang mieloblast. Normalnya tulang marrow diganti
dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast. Adanya proliferasi sel blast,
produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan menimbulkan anemia dan
trombositipenia (Aguayo et al., 2006).
2.5 Gejala Leukemia
Gejala klinis dari leukemia pada umumnya adalah anemia, trombositopenia,
neutropenia, infeksi, kelainan organ yang terkena infiltrasi, hipermetabolisme.
a. Leukemia Limfositik Akut : Umumnya menggambarkan kegagalan sumsum
tulang. Gejala klinis berhubungan dengan anemia (mudah lelah, letargi, pusing,
sesak, nyeri dada), infeksi dan perdarahan. Selain itu juga ditemukan anoreksia,
myeri tulang dan sendi. Hipermetabolisme. Nyeri tulang bisa dijumpai terutama
pada sternum, tibia dan femur.
b. Leukemia Mielositik Akut : Gejala utama LMA adalah rasa lelah, perdarahan
dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang. perdarahan
biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia. Penderita LMA dengan
leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3) biasanya mengalami
gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri dada dan priapismus. Selain itu juga
menimbulkan gangguan metabolisme yaitu hiperurisemia dan hipoglikemia.
c. Leukemia Limfositik Kronik : Sekitar 25% penderita LLK tidak menunjukkan
gejala. Penderita LLK yang mengalami gejala biasanya ditemukan limfadenopati
generalisata, penurunan berat badan dan kelelahan. Gejala lain yaitu hilangnya
nafsu makan dan penurunan kemampuan latihan atau olahraga. Demam, keringat
malam dan infeksi semakin parah sejalan dengan perjalanan penyakitnya.
d. Leukemia Mielositik Kronik : Memiliki 3 fase kronik, fase akselerasi dan fase
krisis blas. Pada fase kronik ditemukan hipermetabolisme, merasa cepat
kenyangnya akibat desakan limpa dan lambung. Penurunan berat badan terjadi
setelah penyakit berlansung lama. Pada fase akselerasi ditemukan keluhan
anemia yang bertambah berat, petekie, ekimosis dan demam yang disertai
infeksi.

2.6 Manifestasi Klinik


1. Pilek tidak sembuh-sembuh dan sakit kepala
2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi, merasa lemah atau letih
3. Demam, keringat malam dan anoreksia
4. Berat badan menurun
5. Ptechiae, memar tanpa sebab, mudah berdarah dan lebam (gusi berdarah, bercak
keunguan di kulit, atau bintik-bintik merah kecil dibawah kulit).
6. Nyeri pada tulang dan persendian
7. Nyeri abdomen, pembengkakan atau rasa tidak nyaman diperut (akibat
pembesaran limpa).

2.7 Diagnosis
1. Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik untuk jenis LLA yaitu ditemukan
splenomegali (86%), hepatomegali, limfadenopati, nyeri tekan tulang dada,
ekimosis dan perdarahan retina. Pada penderita LMA ditemukan hipertrofi gusi
yang mudah berdarah. Kadang-kadang ada gangguan penglihatan yang
disebabkan adanya perdarahan fundus oculi. Pada penderita leukemia jenis LLK
ditemukan hepatosplenomegali dan limfanopati. Anemia, gejala-gejala
hipermetabolisme (penurunan berat badan, berkeringat) menunjukkan penyakit
sudah berlanjut. Pada LGK/LMK hampir selalu ditemukan splenomegali, yaitu
pada 90% kasus. Selain itu juga didapatkan nyeri tekan pada tulang dada dan
hepatomegali. Kadang-kadang terdapat purpura, perdarahan retina, panas,
pembesaran kelenjar getah bening dan kadang-kadang priapismus.
2. Pemeriksaan darah tepi : pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan
leukositosis (60%) dan kadang-kadang leupenia (25%). Pada penderita LMA
ditemukan penurunan eritrosit dan trombosit. Pada penderita LLK ditemukan
limfositosis lebih dari 50.000/mm3, sedangkan pada penderita LGK/LMK
ditemukan leukositosis lebih dari 50.000/mm3.
3. Pemeriksaan sumsum tulang : Pada penderita leukemia akut ditemukan
keadaan hiperseluler. Hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia
(blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang
tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti dalam
sumsum tulang. Pada penderita LLK ditemukan adanya infiltrasi merata oleh
limfosit kecil yaitu lebih dari 40% dari total sel yang berinti. Kurang lebih 95%
pasien LLK disebabkan oleh peningkatan limfosit B. Sedangkan pada penderita
LGK/LMK ditemukan keadaan hiperselular dengan peningkatan jumlah
megakariosit dan aktivitas granulopoeisis. Jumlah granulosit lebih dari
30.000/mm3.
BAB III
PENATALAKSANAAN TERAPI

3.1 Sasaran Terapi


- Mencegah terjadinya mutasi atau perubahan bahan genetik (DNA/RNA).
- Mencegah replikasi yang dapat menyebabkan pembentukan sel-sel leukemia
baru.
- Sel-sel darah pada tubuh pasien.
- Menghentikan pertumbuhan sel kanker

3.2 Tujuan Terapi


- Memperbaiki kekurangan nutrisi atau mencegah malnutrisi.
- Mencegah komplikasi dan efek samping yang berhubungan dengan
kemoterapi.
- Penurunan mortalitas dan morbiditas.
- Memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya metastase.
- Memperbaiki kualitas hidup dan mencegah progresi penyakit.

3.3 Penatalaksanaan Terapi


3.3.1 Terapi Leukemia
a. Kemoterapi
- Kemoterapi pada penderita LLA
1. Tahap 1 (terapi induksi) : tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah
untuk membunuh sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan
sumsum tulang. Terapi induksi kemoterapi biasanya memerlukan
perawatan di rumah sakit yang panjang karena obat menghancurkan
banyak sel darah normal dalam proses membunuh sel leukemia. Pada
tab hap ini dengan memberikan kemoterapi kombinasi yaitu
daunorubisin, vincristin, prednison dan asparaginase.
2. Tahap 2 (Terapi konsolidasi/intensifikasi) : Setelah mencapai remisi
komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi yang bertujuan untuk
mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga
timbulnya sel yang resisten terhadap obat. Terapi ini dilakukan setelah 6
bulan kemudian.
3. Tahap 3 (Profilaksis SSP) : mencegah kekambuhan pada SSP.
Perawatan yang digunaka dalam tahap ini sering diberikan pada dosis
yang lebih rendah. Pada tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang
berbeda, kadang-kadang dikombinasi dengan terapi radiasi, untuk
mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf pusat.
4. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang) : untuk mempertahankan masa
remisi. Tahap ini biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun.
- Kemoterapi pada penderita LMA
1. Fase induksi : regimen kemoterapi yang intensif, bertujuan untuk
mengeradikasi sel-sel leukemia secra maksimal sehingga tercapai remisi
komplit.
2. Fase konsolidai : tindak lanjut dari fase induksi. Kemoterapi konsolidasi
biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan obat
dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis yang
digunakan fase induksi.
- Kemoterapi pada penderita LLK.
Derajat penyakit LLK harus ditetapkan karena menentukan strategi
terapi dan prognosis. Salah satu sistem penderajatan yang dipakai
 Stadium 0 : limfositosis darah tepi dan sumsum tulang
 Stadium I : limfositosis dan limfadenopati
 Stadium II : limfositosis dan splenomegali/hepatomegali
 Stadium III : limfositosis dan anemia (Hb < 11 gr/dl)
 Stadium IV : limfositosis dan trombositopenia < 100.000/mm3
dengan atau tanpa gejala pembesaran hati, limpa,
kelenjar
Terapi untuk LLK jarang mencapai kesembuhan karena tujuan terapi
bersifat konvensional, terutama untuk mengendalikan gejala. Pengobatab
tidak diberikan kepada penderita tanpa gejala karena tidak memperpanjang
hidup. Pada stadium I dan II kemoterapi pengobatan biasa. Pada stadium III
atau IV diberikan kemoterapi intensif.
- Kemoterapi pada penderita LGK/LMK
1. Fase kronik : Busulfan dan hidroksiurea merupakan obat pilihan yang
mampu menahan pasien bebas dari gejala untuk jangka waktu lama.
Regimen dengan bermacam obat yang intensif merupakan terapi pilihan
fase kronis LMK yang tidak diarahkan pada tindakan transplantasi
sumsum tulang.
2. Fase akselerasi : sama dengan terapi leukemia akut, respon terapi sangat
rendah.
b. Radioterapi
Menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Sinar
berenergi tinggi ditujukan terhadap limpa atau bagian lain dalam tubuh tempat
menumpuk sel leukemia. Menggunakan gelombang atau partikel seperti proton,
elektron, x-ray dan sinar gamma.
c. Transplatasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum tulang yang
rusak dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat
disebabkan oleh dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi
sumsum tulang juga berguna untuk mengganti sel-sel darah yang rusak karena
kanker. Pada penderita LMK, hasil terbaik (70-80% angka keberhasilan) dicapai jika
menjalani transplantasi dalam waktu 1 tahun setelah terdiagnosis dengan donor
Human Lymphocytic Antigen (HLA) yang sesuai. Pada penderita LMA transplantasi
bisa dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan
dan pada penderita usia muda yang pada awalnya memberikan respon terhadap
pengobatan.
d. Terapi Suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yag ditimbulkan
penyakit leukemia dan mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah untuk
penderita leukemia dengan keluhan anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi
perdarahan dan antibiotik untuk mengatasi infeksi.
3.3.2 Terapi Leukemia Limfoblastik Akut
Penatalaksanaan medis pada Leukemia Limfoblastik Akut yakni dengan
kemoterapi. Kemoterapi merupakan proses pengobatan yang menggunakan preparat
antineoplastik dengan tujuan membunuh sel kanker serta memperlambat
pertumbuhan sel kanker dengan mengganggu fungsi dan reproduksi selular (Bowden
et al., 2008). Kemoterapi juga dapat membunuh sel kanker yang telah terlepas dari sel
kanker induk atau yang telah bermetastase melalui aliran darah dan saluran limfatik
ke bagian tubuh lainnya (Smeltzer et al., 2008). Kemoterapi dapat digunakan sebagai
penanganan primer atau kombinasi dengan pembedahan dan radiasi, untuk
menurunkan ukuran tumor sebelum dibedah maupun untuk merusak sel tumor yang
masih tertinggal pascaoperasi (Smeltzer et al., 2008). Kemoterapi efektif untuk
menangani kanker pada anak terutama denganpenyakit tertentu yang tidak dapat
diatasi secara tuntas dengan pembedahan maupun radiasi (Bowden et al., 2008).
Terapi untuk ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia) secara historis dibagi
menjadi empat fase yaitu fase induksi remisi (remission induction), fase terapi
konsolidasi (consolidation therapy), dan terapi pemeliharaan (maintenance therapy).
Profilaksis sistem saraf pusat (SSP) adalah komponen wajib dari setiap rejimen
pengobatan ALL dan diberikan longitudinal selama fase induksi dan konsolidasi.
Terapi pasca-remisi diperlukan untuk mengobati penyakit mikroskopis dan termasuk
terapi rawat inap intensif (konsolidasi atau terapi intensifikasi) diikuti dengan terapi
rawat jalan non-agresif (maintenance atau kelanjutan) (DiPiro, 2005).
Gambar 1. Algoritma terapi untuk ALL dan AML (DiPiro, 2005)
A. Induksi Remisi (Remission Induction)
Tujuan dari induksi remisi adalah untuk menimbulkan remisi klinis dan
hematologi lengkap secara cepat. Tingkat CR (complete remission) adalah 97%
sampai 99% pada anak-anak yang diobati dengan vincristine, dexamethasone atau
prednison, dan asparaginase atau PEG-asparagase. Pada anak-anak dengan risiko
tinggi ALL, daunorubisin ditambahkan ke tiga standar jenis obat induksi. Remisi
dicapai dalam 72% sampai 92% pada orang dewasa dengan daunorubisin atau
doxorubicin, vincristine, dan prednisone. Karena sebagian besar orang dewasa
dianggap berisiko tinggi, orang dewasa biasanya menerima induksi rejimen remisi
lebih intensif. Beberapa studi menunjukkan bahwa dosis tinggi methotrexate dan
sitarabin bergantian dengan siklofosfamid difraksinasi ditambah vincristine,
doxorubicin, dan dexamethasone (hiper-CVAD) dapat meningkatkan respon dan
kelangsungan hidup pada orang dewasa dengan ALL. Namun, pengobatan ini
mungkin terkait dengan toksisitas cerebellar signifikan. Dosis tinggi siklofosfamid
dapat diindikasikan untuk pasien dengan ALL T-cell (DiPiro, 2005).
Beberapa ahli menyarankan bahwa kegagalan pengobatan ALL di masa anak-
anak dikarenakan dari pengurangan awal klon leukemia tidak memadai dan akuisisi
resistensi obat oleh limpoblast residual. Ini adalah dasar banyak percobaan telah
memasukkan empat-obat (atau lebih) dalam rejimen induksi remisi dan intensifikasi
agresif atau rejimen konsolidasi dalam pengelolaan pasien berisiko tinggi. Protokol
pengobatan kebanyakan menambah daunorubisin untuk induksi pada ALL berisiko
tinggi, dan beberapa juga menambahkan agen lain, seperti siklofosfamid,
methotrexate, sitarabin, dan teniposide. Tingkat klirens dari pembelahan sel darah
merupakan faktor prognostik yang penting. Anak-anak dengan tingkat klirens
pembelahan sel darah dari sumsum tulang lambat dalam terapi hari ke-7 pertama
(berisiko tinggi) atau hari ke-14 (resiko standar) memiliki hasil terapi yang lebih
rendah daripada mereka yang dengan klirens bentukan sel darah. Terapi tambahan
secara signifikan meningkatkan hasil terapi anak dengan respon awal lambat.
Prednison merupakan glukokortikoid utama yang digunakan dalam rejimen ALLpada
pediatrik. Dexamethasone sekarang sedang digunakan dalam beberapa protokol risiko
standar karena durasi kerja yang lebih lama dan penetrasi cairan serebrospinal lebih
tinggi dibandingkan dengan prednisone. Dexamethasone, bila digunakan untuk
mengganti prednison selama fase induksi dan pemeliharaan, juga meningkatkan
event-free survival (EFS) dan menurunkan risiko relaps SSP. Namun, dexamethasone
meningkatkan efek samping seperti nekrosis avascular, miopati steroid,
hiperglikemia, dan infeksi (DiPiro, 2005).
Ph + (Philadelphia chromosome) pada ALL dikaitkan dengan hasil terapi jangka
panjang yang buruk, meskipun ketersediaan imatinib mesilat, terapi
bertargetmolekuler, telah mendorong banyak penelitian ke efek obat ini baru pada
tingkat kelangsungan hidup jangka panjang. Sementara respon dapat dilihat dengan
imatinib mesilat sebagai monoterapi, pendekatan ini tidak menghasilkan remisi tahan
lama. Kombinasi hiper-CVAD dan imatinib muncul untuk menghasilkan hasil terapi
yang lebih baik dibandingkan dengan data kontrol historis dengan hyper-CVAD saja,
namun studi tambahan dan tindak lanjut jangka panjang diperlukan untuk
meyakinkan penentuan apakah strategi ini akan menjadi standar baru perawatan di
populasi berisiko tinggi (DiPiro, 2005).
B. Profilaksis Sistem Saraf Pusat (Central Nervous System Prophylaxis)
Profilaksis SSP (sistem saraf pusat) mungkin tumpang tindih dengan fase terapi
atau dimasukkan ke dalam fase induksi, konsolidasi, atau pemeliharaan. Alasan untuk
dilakukannya profilaksis SSP didasarkan pada dua pengamatan. Pertama, agen
kemoterapi banyak yang tidak mudah melintasi penghalang atau barrier darah-otak.
Kedua, hasil dari uji klinis awal ALL menunjukkan bahwa 50% sampai 75% dari
pasien dengan ALL dan tidak ada keterlibatan SSP saat diagnosa mengalami tingkat
relapseSSP terisolasi yang sangat tinggi. Observasi ini menunjukkan bahwa SSP
adalah tempat perlindungan potensial untuk sel leukemia dan sel-sel leukemia yang
tidak terdeteksi hadir dalam SSP di banyak pasien pada saat diagnosis. Terdeteksinya
keterlibatan SSP pada saat diagnosis relatif jarang (<10%) di kasus ALL (DiPiro,
2005).
Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko keterlibatan SSP di
dalam diagnosis pada anak-anak termasuk WBC count awal yang tinggi, T-sel
fenotipe, B-cell fenotipe dewasa, usia ≤ 1 tahun, trombositopenia, limfadenopati, dan
hepatomegali atau splenomegali. Pada orang dewasa, faktorresiko untuk penyakit
SSP termasuk B-sel ALL fenotipe matang dan tingginya proporsi sel dalam fase S
(indicator pergantian selular) (DiPiro, 2005). Tujuan dari profilaksis SSP adalah
untuk memberantas sel-sel leukemia tak terdeteksi dari SSP. Meningitis leukemia
lebih mudah dicegah daripada diobati. Setelah kekambuhan SSP telah terjadi, pasien
berada pada peningkatan risiko tinggi kekambuhan sumsum tulang dan kematian dari
refraktori leukemia. Uji coba awal pada ALL pedriatri tahun 1960 menetapkan
iradiasi kraniospinal sebagai standar untuk pencegahan relapse (kekambuhan) SSP.
Namun, pendekatan ini dikaitkan dengan dampak jangka panjang termasuk gejala sisa
defisit neuropsikologi, pubertas prekoks, osteoporosis, tiroid disfungsi, peningkatan
insiden tumor otak, perawakan pendek (gangguan pertumbuhan), dan obesitas.
Percobaan berikutnya telah menunjukkan bahwa iradiasi dapat digantikan dengan
pemberian kemoterapi intratekal frekuensi tinggi pada anak-anak dengan ALL.
Pemilihan rejimen profilaksis SSP harus mempertimbangkan efektivitas, toksisitas,
dan risiko penyakit SSP (DiPiro, 2005). Kemoterapi intratekal, iradiasi kranial, dan
methotrexateatau sitarabin dosis tinggi secara intravena dapat digunakan untuk
mengobati atau mencegah penyakit SSP. Pendekatan pengobatan telah mengurangi
kekambuhan SSP menjadi kurang dari 2% pada anak-anak.Terapi intratekal terdiri
dari Methotrexate dan sitarabin sendiri atau dalam kombinasi. Ketika diberikan
bersama-sama, hidrokortison biasanya ditambahkan untuk mengurangi kejadian dari
arachnoiditis. Dosis kemoterapi intratekal yang digunakan pada pasien ALL pediatrik
harus individual berdasarkan usia karena perbedaan volume cairan serebrospinal pada
berbagai usia. Karena dengan gejala sisa jangka panjang yang terkait dengan iradiasi
kranial atau craniospinal, hanya anak-anak didiagnosis dengan penyakit SSP atau
yang berisiko tinggi tertentu saja yang menerima terapi ini di Amerika Serikat
(DiPiro, 2005).
C. Terapi Konsolidasi (Consolidation Therapy)
Konsolidasi (atau intensifikasi) terapi ALL dimulai setelah CR (complete
remission) telah dicapai, dan mengacu pada kemoterapi intensif dalam upaya untuk
menangani penyakit klinis yang tidak terdeteksi. Rejimen pengobatan biasanya
menyertakan obat non-crossresisten yang berbeda dari rejimen induksi, atau
penggunaa obat yang sama dengan dosis lebih intensif. Percobaan acak menunjukkan
bahwa terapi konsolidasi jelas meningkatkan hasil terapi pasien anak-anak, namun
manfaatnya pada orang dewasa kurang jelas. Manfaat relatif dari masing-masing
komponen rejimen pengobatan sulit untuk ditunjukkan karena kompleksitas
keseluruhan terapi pada ALL.
Terapi konsolidasi dalam rejimen Jerman mirip dengan rejimen induksi remisi,
tapi menggunakan dexamethasone untuk pengganti prednison (karena lebih baik
dalam penetrasi SSP untuk mencegah meningitis leukemia), doxorubicin untuk
daunorubisin, dan thioguanine untuk mercaptopurine. Kanker dan Leukemia Grup B
(CALGB) menggunakan rejimen konsolidasi jauh lebih rumit daripada rejimen
induksi. Yang terakhir ini termasuk obat yang berbeda dan dosis yang lebih tinggi,
setidaknya untuk dosis siklofosfamid (DiPiro, 2005). Para peneliti Jerman
menemukan durasi kelangsungan hidup pasien rata-rata 27,5 bulan dan diperkirakan 5
tahun. Dengan waktu tindak lanjut pendek (median : 43 bulan), penelitian CALBG
menunjukkan durasi bertahan hidup 36 bulandan 3 tahun tingkat kelangsungan hidup
dari 39% mereka yang berusia 30-59 tahun. Hasil studi ini menunjukkan bahwa fase
konsolidasi dalam terapi ALL pasien dewasa diperlukan, meskipunpertanyaan
spesifik tetap tentang obat, durasi pemilihan terapi, dosis, dan waktu administrasi
(DiPiro, 2005).
Pada anak-anak, intensitas terapi konsolidasi didasarkan pada risiko klasifikasi
anak dan tingkat cytoreduction selama induksi. Pasien yang merespon perlahan ke
terapi induksi berada pada risiko yang lebih tinggi mengalami kekambuhan jika
mereka tidak diperlakukanpada rejimen yang lebih agresif. Salah satu strategi
pengobatan adalah untuk memasukkan satu atau dua fase intensifikasi tertunda
yangdipisahkan oleh siklus interimpemeliharaanintensitas rendah untuk
mempertahankan remisi dan untuk mengurangi toksisitas kumulatif. Strategi ini
menghasilkan 6 tahun EFS dari 76% untuk intensifikasi tertunda tunggal dan 83%
untukdua siklus dalam pasien berisiko menengah. Studi saat ini sedang menguji
rejimen yang sama dalam pasien berisiko standar. Rejimen berbasis antimetabolit
mungkin memiliki penurunan risiko toksisitas, tapi rejimen konsolidasi intensif
menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih baik untuk beberapa pasien, khususnya
mereka yang berisiko tinggi terkena penyakit (DiPiro, 2005).
Studi saat ini dirancang untuk melanjutkan penilaian intensitas konsolidasi yang
dibutuhkan untuk pasien dengan berbagai tingkat risiko dan untuk menentukan
apakah methotrexate harus diberikan secara oral atau intramuskular karena masalah
kepatuhan pasien.
D. Terapi Pemeliharaan (Maintenance Therapy)
Banyak pasien ALL dewasa kambuh sesaat setelah selesainya induksi remisi dan
terapi konsolidasi, mungkin karena penyakit sisa. Terapi pemeliharaan
memungkinkan paparan jangka panjang obat pada sel yang perlahan membagi,
memungkinkan ada waktu untuk sistem kekebalan tubuh untuk membasmi sel-sel
leukemia, dan mempromosikan apoptosis (kematian sel terprogram). Tujuan dari
terapi pemeliharaan untuk lebih memberantas sel leukemia residual dan
memperpanjang durasi remisi. Meskipun terapi pemeliharaan jelas menguntungkan di
ALL masa anak-anak, manfaat yang mungkin pada orang dewasa baru-baru ini telah
ditunjukkan. Di beberapa kasus ALL pada dewasa, percobaan yang melibatkan
induksi dan konsolidasi, namun fase pemeliharaan dihilangkan, DFS (disease-free
survival) 2 tahun lebih rendah dibandingkan dengan uji coba yang mengikutsertakan
fase pemeliharaan. Terapi pemeliharaan biasanya terdiri dari mercaptopurine dan
methotrexate, pada dosis yang menghasilkan myelosupresi relatif sedikit, dengan
pengobatan intermiten dari vincristine dan steroid. Dalam upaya untuk menentukan
hasil jangka panjang dari durasi dan intensitas terapi pemeliharaan, Grup Kolaborasi
ALL Anak menerbitkan temuan dari meta-analisis yang melibatkan 12.000 anak acak
dari 42 percobaan dimulai sebelum 1987. Hasil analisis menunjukkan bahwa
pemeliharaan lebih lama, terapi vincristine dan prednisone, dan masuknya satu atau
dua program reinduction intensif secara signifikan mengurangi jumlah kematian atau
kekambuhan. Namun, hanya reinduction intensif meningkatkan kelangsungan hidup.
Durasi optimal terapi pemeliharaan pada orang dewasa tidak diketahui, namun
sebagian besar program pengobatan melanjutkan terapi pemeliharaanselama 24
sampai 36 bulan.
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan kecenderungan peningkatan
kekambuhan akhir antara anak laki-laki dirawat selama 2 tahun dibandingkan 3
tahun, beberapa pusat memperlakukan anak perempuan selama 2 tahun, sementara
laki-laki menerima perawatan selama 3 tahun. Keputusan tentang terapi pemeliharaan
pada orang dewasa juga didasarkan pada subtipe pasien ALL. Orang dewasa dengan
ALL pra-B-sel umum mendapat manfaat dari terapi pemeliharaan konvensional
dengan Methotrexate dan mercaptopurine, sementara mereka dengan ALL B-sel atau
ALL Ph + mungkin mendapatkan manfaat yang lebih besar dari induksi intensif dan
konsolidasi dan sedikit dari maintenance (pemeliharaan) (DiPiro, 2005).
Variabilitas interpatient dalam farmakokinetik oral methotrexate dan
mercaptopurine juga dapat menjadi penentu penting dari efektivitas dan toksisitas
dari terapi pemeliharaan. Pasien yang mendapat methotrexate oral dan
mercaptopurine pada malam hari dibandingkan dengan pagi tampaknya
memilikioutcome superior. Untuk menjelaskan variabilitas interpatient, protokol yang
penting pada pediatrik adalah titrasi dosis agen untuk mempertahankan jumlah
neutrofil mutlak 750-1.500/mm3. Beberapa protokol menghindari masalah
bioavailabilitas dan kepatuhan dengan pemberian methotrexate parenteral (DiPiro,
2005). Polimorfisme genetik dapat mempengaruhi metabolisme obat, ekspresi
reseptor, transportasi obat, disposisi obat, dan respon farmakologi. Perubahan ini
dapat berkontribusi terhadap toksisitas akut dan kronis dari terapi ALL serta
perbedaan dalam hasil pengobatan. Polimorfisme paling banyak dipelajari melibatkan
metabolisme thiopurine. Thiopurine yang aktif oleh S-metilasi oleh thiopurine celular
methyltransferase (TPMT). Sekitar 10% dari populasi memiliki perantara TPMT
karena polimorfisme heterozigot dalam pengkodean gen aktivitas untuk TPMT, dan
satu di antara 300 orang memiliki aktivitas yang sangat rendah karena kehadiran
polimorfisme homozigot ini. Defisiensi kegiatan TMPT mengakibatkan myelosupresi
berlebihan dari mercaptopurine dan thioguanine. Pasien dengan aktivitas rendah
(homozigot genotipe TPMT mutan) mungkin memerlukan 85-90% penurunan dosis
(DiPiro, 2005).
Regimen kemoterapi untuk ALL AYA Ph (-) menurut NCCN, adalah sebagai
berikut :
1. Corticosteroid Pre-Phase
 1-7 days before induction therapy : Prednisone 60 mg/m2/day
 4-7 days before induction therapy : MTX 15 mg IT
2. Induction
 Day 1 : Cyclophosphamide 750 mg/m2/day + vincristine 2 mg IV
 Days 1-3 : Daunorubicin 50 mg/m2/day
 Days 1-14 : Prednisone 60 mg/m2/day
 Day 8 : Vincristine 2 mg IV + L-asparaginase 6,000IU/m2/day
 Days 10, 12 : L-asparaginase 6,000 IU/m2/day
 Day 15 : Vincristine 2 mg IV
 Day 15 : For Good Early Responders : Cyclophosphamide 750
mg/m2/day
OR
 Days 15, 16 : For Poor Early Responders: Cyclophosphamide 500
mg/m2/12 hours
 Days 15, 16 : Daunorubicin 30 mg/m2/day
 Day 17 : Lenograstim 150 mcg/m2/day to myeloid recovery
 Days 20, 22 : L-asparaginase 6,000 IU/m2/day
 Day 22 : Vincristine 2 mg IV
 Days 24, 26, 28 : L-asparaginase 6,000 IU/m2/day.
3. Salvage
 Days 1-3 : Idarubicin 12 mg/m2/day
 Days 1-4 : Cytarabine 2 g/m2/12 hours
 Day 9 : Filgrastim to myeloid recovery.
4. Consolidation
 Blocks 1, 4, and 7 :
- Days 1, 2 : Cytarabine 2 g/m2/12 hours + dexamethasone 10
mg/12 hours
- Day 3 : L-asparaginase 10,000 IU/m2/day
- Days 7-13 : Filgrastim to myeloid recovery.
 Blocks 2, 5, and 8 :
- Day 15 : MTX 3 g/m2 continuous infusion + vincristine 2mg
IV + 6-MP 60 mg/m2/day
- Day 16 : L-asparaginase 10,000 IU/m2/day
- Days 16-21 : 6-MP 60 mg/m2/day
- Days 22-27 : Filgrastim to myeloid recovery.
 Blocks 3, 6, and 9 :
- Day 29 : MTX 25 mg/m2/day
- Days 29 and 30 : Cyclophosphamide 500 mg/m2/day + etoposide 75
mg/m2/day
- Day 31 : Filgrastim to myeloid recovery.
 Late intensification between consolidation blocks 6 and 7 (for patients in
complete remission [CR] after the first induction course)
- Day 1 : Vincristine 2 mg IV
- Days 1-3 : Daunorubicin 30 mg/m2/day
- Days 1-14 : Prednisone 60 mg/m2/day
- Day 8 : Vincristine 2 mg IV
- Days 8, 10, 12 : L-asparaginase 6,000 IU/m2/day
- Day 15 : Vincristine 2 mg IV + cyclophosphamide 500
mg/m2/12 hours
- Days 18, 20, 22 : L-asparaginase 6,000 IU/m2/day.
 Late intensification between consolidation blocks 6 and 7 (for patients in CR
after salvage course)
- Days 1-3 : Idarubicin 9mg/m2/day
- Days 1-4 : Cytarabine 2g/m2/12 hours
- Day 9 : Filgrastim to myeloid recovery.
5. Maintenance
 Months 1-12
- Day 1 : Vincristine 2 mg IV
- Days 1-7 : Prednisone 40 mg/m2/day.
 Months 1-24
- Daily : 6-MP 60 mg/m2/day
- Weekly : MTX 25 mg/m2/week.
6. CNS Therapy—Prophylaxis
 Triple IT Injection
1 IT injection at Days 1 and 8 of induction; 1 IT injection at Day 29 of each
series of consolidation blocks; 1 IT injection at Day 1 of late intensification.
 Cranial Irradiation
18Gy before maintenance therapy initiation. 6-MP 60mg/m2/day during
irradiation.
7. CNS Therapy—Treatment of patients with initial CNS involvement
 Triple IT Injection
8 IT injections starting from 7 days before induction to Day 21 of induction;
4 IT injections during the first 2 consolidation blocks; 1 IT injection at Day
29 of consolidation blocks 3 and 6.
 Cranial Irradiation
15Gy before HCT or 24Gy before maintenance therapy initiation
6-MP 60mg/m2/day during irradiation.
3.3.3 Terapi Farmakologi
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antitumor pada umumnya dibagi
dalam beberapa golongan sebagai berikut :
A. Alkilator
Berkhasiat kuat terhadap sel-sel yang sedang membelah. Khasiat ini berdasarkan
gugusan alkilnya, yang sangat reaktif dan menyebabkan cross-linking (saling
mengikat) antara rantairantai DNA di dalam inti sel. Dengan demikian pergandaan
DNA terganggu dan pembelahan sel dirintangi. Efek sitotoksis dan mutagen ini
terutamaditujukan terhadap sel yang membelah dengan pesat, seperti sel-sel kanker di
sistem limfe.
Obat Mekanisme Efek Samping Sediaan
Busulfan Menginhibisi Myelosupresi, Tersedia dalam
(Myleran tablet, replikasi DNA; hiperpigmentasi, bentuk larutan
injeksi Busulfex) selektif sitotoksik fibrosis pulmonal, injeksi 6mg/mL dan
untuk sel efek muntah kecil, tablet 2mg.
myeloid; endokrin.
menebus lapisan
sawar otak.
Chlorambucil Derivat mustard Myelosupresi, Tersedia dalam
(Leukeran) nitrogen; meningkatkan bentuk tablet 2mg.
membentuk fungsi hati, ruam
cross-links DNA kulit, efek muntah
interstrand; kesil, toksisitas
selektif citotoksik pulmonal,
untuk limfosit. pneumonitis,
karsinogenik.
Cyclophosphamide Alkilating agen; Efek muntah, Tersedia daklam
(Cytoxan) cross-links DNA- mual, bentuk serbuk
DNA atau DNA- myelosupresi, untuk injeksi
protein; alopesia, 500mg, 1g, dan 2g.
menginhibisi interfertilitas, Tablet 25mg dan
sintesis DNA, strelititas 50mg.
mengaktivasi
CYP450.
(Dipiro, 2005)
B. Antimetabolit
Obat-obat ini juga mengganggu sintesa DNA, tetapi dengan jalan antagonis
saingan. Obat menduduki tempat metabolit (asam folat, purin, dan pirimidin) dalam
sistem enzim tanpa mengambil alih fungsinya, sehingga sintesa DNA atau RNA
gagal dan perbanyakan sel terhenti. Obatnya sendiri tidak bersifat sitotoksis. Semua
obat ini berkhasiat imunosupresif. Semua obat ini merupakan pro-drug yang baru
menjadi metabolit aktif setelah diubah dalam hati.
Obat Mekanisme Efek Samping Sediaan
6-merkaptopurin Menghambat Anoreksia, ruam Tersedia dalam
(Purinethol; 6- proliferasi sel kulit, hepatotoksik, tbalet 50mg.
MP) limfoid pada fotosensitifitas,
stimulasi kulit kuning.
antigenik.
Methotrexat Menginhibisi Disfungsi renal jika Tersedia dalam
(MTX) sintesis DNA. digunakan pada bentuk tablet
Dalam psoriasis, dosis tinggi, 2,5mg; vial
diduga mempunyai mukositik, 5mg/2mL,
kerja mempercepat myelosuprresi. 50mg/2mL,
proliferasi sel 50mg/5mL; dan
epitel kulit. ampul 5mg/mL.
Hidroksiurea Menginhibisi RNA Mtelosupresi, ruam Tersedia dalam
(Hydrea) reduktase, kulit, bentuk kapsul
menginhibisi hiperpigmentasi, 200mg, 200mg,
sintesis DNA. hiperurisemia. 400mg, dan
500mg.
Cladiribin Dalam bentuk Myelosupresi, Tersedia dalam
(Leustatin) trifosfat aktif dapat demam, bentuk injeksi
memperpanjang imunosupresif, 1mg/mL.
rantai DNA, serta infeksi, gejala
menginhibisi RNA mual.
reduktase,
menghabiskan
intraselular
deoksinukleotida
dan merusak
sintesis DNA.
Cytarabine Menginhibisi Myelosupresi, Tersedai dalam
(Ara-C, cytosine polimerasi DNA alopesia, bentuk larutan
arabinosade, dengan menyebabkan injeksi 10mg/mL,
cytosar) menginhibisi mual, diare, 20mg/mL,
perpanjangan mukosistis, 100mg/mL
rantai dan replikasi demam, ruam,
DNA toksisitas serebral.
Fludarabine Menginhibisi RNA Myelosupresi, Tersedia dalam
(FAMP, Fludara) reduktase dengan meningkatkan T bentuk injeksi
menginhibisi sel, efek mual 25mg/mL; serbuk
sintesis DNA, rendah, diare, untuk injeksi
menginhibisi jarang terjadi 50mg; tablet
olimerase DNA toksisitas CNS, 10mg.
dengan mengantuk,
menginhibisi toksisitas
perbaikan DNA. pulmonal.
(Dipiro, 2005)
C. Antimikrotubuli
Alkaloid dari tumbuhan jenis Vincadapat berikatan dengan protein mikrotubul
inti sel tumor, menghambat sistesis dan polimerasi mikrotubul inti sel tumor,
mebhambat sintesis dan polimerasi mikrotubul, sehingga mitosis berhenti pada
metafase replikasi sel terganggu. Obat anti tumor baru, taksol, taksoter dapat memacu
dimerisasi miksotubul dan menghambat depolimerisasinya sehingga langkah kunci
pembentukan spindel pada mitosis terhambat. Efeknya kebalikan dari vinkristin tapi
hasil akhirnya sama yaitu, mitosisi sel tumor terhenti (IKAPI, 2013).
Obat Mekanisme Efek Samping Dosis
Vinkristin Mengganggu Neuropati Tersedia dalam
(VCR, Oncovin) formasi dari peripheral. larutan injeksi
mikrotubulus. 1mg/mL.
(Dipiro, 2005)
D. Inhibitor Topoisomerase
Obat Mekanisme Efek Samping Sediaan
Daunorubicin Merupakan Myelosupresi, Tersedia dalam
(Daunomycin, Dauno, antbiotik mukositis, efek bentuk larutan
Cerubidine) antitumor; mual sedang, injeksi 5mg/mL;
inhibitor alopesia, serbuk untuk
topoisomerase II; toksisitas kardia. injeksi 5mg,
menyisip pada 20mg, 50mg.
DNA.
Doxorubicin Merupakan Myelosupresi, Tersedia dalam
(Adriamycin, Adria, antbiotik mukositis, efek bentuk larutan
Doxo, antitumor; mual sedang, injeksi 2mg/mL;
Hidroksidaunorubisin) inhibitor alopesia, serbuk untuk
topoisomerase II; toksisitas kardia. injeksi 10mg,
menyisip pada 20mg, 50mg.
DNA.
Etoposide Tumbuhan Myelosupresi, Tesedia dalam
(VP-16,Vepesid, alkaloid; efek muntah bentuk kapsul
Etopophos) menginhibisi sedang, alopesia, 50mg; larutan
aktifitas ikatan mukosistis, injeksi 20mg/mL;
DNA hipotensi. dan serbuk untuk
topoisomerase II injeksi 100mg.
ikatan DNA
dobel heliks
putus,
Idarubicin Merupakan Myelosupresi, Tersedia dalam
(Idamycin) antbiotik mukositis, efek bentuk larutan
antitumor; muntah sedang, injeksi 1mg/mL..
inhibitor ekstravasasi,
topoisomerase II; alopesia,
menyisip pada toksisitas kardia.
DNA.
Mitoxantron Inibitor Myelosupresi, Tersedia dalam
(Novantrone) topoisomerase II, efek mual kecil, bentuk larutan
interkalalot mkosistis, injeksi.
DNA. alopesia,
kardiotoksik
rendah.
(Dipiro, 2005)
E. Imunomodulansia
Zat-zat ini juga dinamakan Biological Response Modifiers (BRM) dan berdaya
mempengaruhi secara positif reaksi biologis dari tubuh terhadap tumor. Fungsi sistem
imun dapat distimulir dengan baik maupun ditekan olehnya.
Contoh obatnya adalah interferon alfa, bekerja dengan menstimulasi sistem imun
melawan sel tumor, efek samping berupa demam, malaise, sakit kepala, anoreksia,
trombositopenia (Dipiro, 2005).
F. Micellaneous Agent
Contoh dari golongan ini adalah arsenic trioxide, dan asparaginase (L-
asparaginase) (Dipiro, 2005).
G. Biologically Direct Therapy
Contoh dari golongan ini adalah imatinib mesilat, tretionin, alemtuzumab,
gemtuzumab ozogamicin, dan rituximab (Dipiro, 2005).
H. Terapi Tambahan
1. Golongan Anti Nyeri/Analgesik/Painkiller
1) Analgetika Narkotik (analgetika sentral).
Analgetika narkotik merupakan obat penghilang rasa sakit yang bekerja
melalui susunan syaraf pusat, mempunyai efek analgesik kuat dan digunakan
unutk nyeri dengan intensitas tinggi, misalnya nyeri karena patah tulang,
nyeri kanker, nyeri setelah pembedahan. Obat golongan opioid ini digunakan
untuk pasien kanker dengan nyeri sedang hingga berat. Contohnya : morfin
5-10mg/4jam, meperidin 50-150mg/4jam, methadon 3-10mg/4jam, kodein
15-60mg/6jam, oksikodon 5-10mg/6jam, fentanil 50-100mcg/hari (Sutedjo,
2008).
2) Analgetika Non Narkotik (analgetika perifer).
Kelompok obat ini selain mengurangi rasa sakit juga berkhasiat
menurunkan suhu badan. Efek penurunan suhu dengan cara mempengaruhi
hypothalamus yang merangsang pelebaran pembuluh darah tepi, aktifitas
kelenjar keringat meningkat terjadi penegluaran keringat dan suhu tubuh
lepas bersama keringat. Efek analgesik dengan cara mempengaruhi thalamus
untuk meningkatkan nilai ambang nyeri dan menghambat prostaglandin
yang membawa impuls nyeri kepusat resptor nyeri tepi. Contohnya :
fenacetin, paracetamol 500-650mg/8jam, antalgin 2 g/hari, asam salisilat
250-1000mg/4jam, tramadol maksimal 400mg/hari (Sutedjo, 2008).
3) Analgetika Anti Inflamasi Non Steroid (AINS).
Beberapa AINS dibawah ini umumnya bersifat anti inflamasi,
analgetika, dan antipiretika. Efek antipiretika baru terihat pada dosis yang
lebih besar daripada efek analgesiknya. Mekanisme kerja dari AINS
sebagian besar berdasarkan hambatan sintesa prostaglandin. Obat ini
digunakan untuk pasien kanker dengan tingkat nyeri ringan. Pemberian
AINS pada pasien apabila terbukti memiliki efektifitas dan toleransi
terhadap pemberian AINS. Contohnya meliputi ibuprofen 300-600mg/hari
jika perlu ditambahkan ketorolac 15-30mg/6jam, diklofenak 25-50mg/hari,
ketoprofen 25-100mg/8jam, asam mefenamat 250-500mg/hari (Ganiswaraet
al., 2005).
2. Golongan Kortikosteroid
Kortikosteroid sering digunakan dengan kemoterapi pada AL. kortikosteroid
dapat digunakan untuk mengurangi pembengkakan dan inflamasi, serta beberapa
kortikosteroid memiliki efek anti kanker. Obat yang biasa digunakan untuk terapi
kanker adalah prednisone dan dexamethasone.
3.3.4 Terapi Non Farmakologi
1. Transfusi darah untuk meningkatkan HB darah pada penderita.
2. Memberikan manajemen nutrisi pada pasien kanker leukemia akut.
3. Meningkatkan kepatuhan dalam melakukan kemoterapi.
4. Menghindari makanan yang bersifat karsinogenik (daging yang dibakar, diasapi,
minuman dan makanan dengan zat tambahan bersifat karsinogenik)
5. Banyak mengonsumsi makanan mengandung lemak omega 3 seperti ikan tuna,
salmon, lele, teri. Lemak omega 3 pada pasien kanker terbukti mampu
mempertahankan BB dan memperlambat kecepatan penurunan BB, meskipun
tidak menambah BB pasien. Konsumsi harian asam lemak omega-3 yang
dianjurkan untuk pasien kanker adalah setara dengan 2 gram asam
eikosapentaenoat atau eicosapentaenoic acid (EPA).
6. Buatlah kamar yang protektif dan steril atau bersih untuk membuat penderita
menjadi nyaman ketika Anda melakukan perawatan dirumah, buatlah sebuah
kamar yang protektif dan steril, Anda dapat membuat kamar penderita senyaman
mungkin seperti ketika dia berada di kamar rumah sakit.
7. Konsumsi makanan yang higenis.
Strategi non farmakologis yang dapat dilakukan untuk mengatasi mual muntah
meliputi pengaturan nutrisi untuk menurunkan rasa mual muntah, akupresur serta
teknik relaksasi seperti teknik relaksasi otot progresif. Akupresur merupakan suatu
bentuk metode terapi dengan memberikan tekanan yang kuat dan terus menerus pada
titik tertentu pada tubuh untuk menimbulkan relaksasi atau mengurangi mual (Mc
Closckey & Bulecheck, 1996). Menurut pengobatan tradisional cina, tujuan akupresur
adalah untuk mengatur dan menyeimbangkan energi dalam tubuh dan meningkatkan
kesehatan agar optimal. Menurut ilmu kedokteran barat mekanisme akupresur dalam
menurunkan mual adalah adanya mekanisme untuk menghentikan stimulus muntah
ke pusat muntah, sehingga mual muntah dapat terkontrol.
Teknik relaksasi otot progresif merupakan salah satu jenis teknik relaksasi dengan
cara menegangkan sekelompok otot tertentu kemudian melepaskan ketegangan itu
(Ramdhani & Putra, 2007). Latihan relaksasi otot progresif menciptakan kondisi
rileks secara sengaja pada beberapa otot utama tubuh. Pada saat kondisi relaksasi,
otot pada saluran pencernaan juga ikut menjadi rileks sehingga mual muntah
berkurang.

3.3.5 KIE
1. Masalah Nutrisi Pada Pasien Kanker
Masalah berkaitan dengan nutrisi yang sering ditemukan pada pasien kanker dan
mengganggu status gizi adalah anemia, demam, anoreksi, diare, kandidiasis, mual,
muntah, disfagia, dan malabsorbsi (Wilkes, 2000). Masalah gangguan pencernaan
yang paling sering dialami oleh pasien kanker setelah mendapatkan kemoterapi
adalah mual dan muntah. Kemoterapi atau toksin lain menimbulkan cedera pada sel-
sel usus halus yang menyebabkan pelepasan substansi serotonin. Syaraf aferen
lambung yang distimulasi oleh pelepasan serotonin mengirimkan impuls ke zona
pemicu kemoreseptor dan pusat muntah (Burke, 1996)
Beberapa hal yang dapat disarankan pada pasien kanker yang mengalami masalah
gangguan nutrisi akibat pemberian kemoterapi (Carpenito, 1995; Hariani, 2007;
Wilkes ,2000)
a. Anoreksia
 Mengatasi gejala yang menyebabkan penurunan selera makan (nyeri, mual,
diare, panas, gangguan pengecapan)
 Melakukan tindakan untuk mengatasi masalah depresi atau emosi
 Makan sedikit tapi sering dengan makanan tinggi kalori tinggi protein dan
kudapan tinggi nutrien diantara jam makan serta saat akan tidur
 Memanfaatkan saat–saat ketika selera makannya timbul dan segera makan
pada waktu merasa lapar
 Melakukan pemantauan berat badan secara teratur disamping pemantauan
catatan harian makanan dan riwayat gejala.
b. Perubahan pengecapan
 Melakuan perawatan gigi dan mulut secara teratur dan benar
 Menghindarkan bau dan penampilan makanan yang tidak menyenangkan
 Mencari jenis makanan yang bergizi tapi cukup lezat
 Minum cairan saat–saat makan dan minum cukup sering sepanjang hari agar
mukosa mulut tetap basah
 Meningkatkan citarasa makanan dengan menambahkan bumbu makanan
 Menghidangkan makanan dengan penampilan yang menarik
c. Stomatitis dan esofagitis
 Menghindari makanan dan sari buah asam dan bumbu–bumbu pedas
 Menghindari makanan terlalu panas atau dingin
 Menghindari makanan yang keras
 Makan sedikit-sedikit tapi sering dengan makanan tinggi kalori tinggi protein
 Kumur mulut dengan larutan garam hangat sesudah makan dan saat akan tidur
 Sikat gigi dengan sikat yang lunak sedikitnya 2 kali perhari.
d. Mual muntah
 Menyiapkan tempat yang menarik untuk makan
 Makan sedikit – sedikit tapi sering
 Makanan harus dingin atau dengan suhu kamar, tidak berlemak, tidak pedas,
lunak, dan tidak dengan bumbu merangsang
 Memisahkan waktu makan makanan padat dan cair sekitar 1 jam
 Mencoba makanan yang berbeda–beda jenisnya
 Berdiam dulu selama 1–2 jam setelah makan
 Berada dalam keadaan rileks saat–saat diantara jam-jam makan dan jangan
memikirkan makanan.
2. Teknik Relaksasi Otot Progresif atau Progressive Muscle Relaxation
Relaksasi otot progresif merupakan salah satu jenis teknik relaksasi dengan cara
menegangkan sekelompok otot tertentu kemudian melepaskan ketegangan itu
(Ramdhani & Putra, 2007). Relaksasi otot progresif sini merupakan salah satu bentuk
metode relaksasi yang menjadi salah satu intervensi keperawatan mandiri dalam
menurunkan tingkat kecemasan pada pasien (Mc Closkey & Bulechek,1996).
Berdasarkan penelitian dalam berbagai jurnal, relaksasi otot progresif efektif dalam
menurunkan masalah fisik seperti mual muntah dan keletihan, serta masalah
psikologis seperti cemas dan depresi (Chan, et al, 2007; Molassiotis, et al, 2000).
Latihan relaksasi otot progresif menciptakan kondisi rileks secara sengaja pada
beberapa otot utama tubuh. Kondisi rileks akan menurunkan respon fisik berupa
penurunan denyut nadi, denyut jantung serta pernapasan. Pada saat kondisi relaksasi,
aliran darah akan menyebar secara merata sehingga sirkulasi darah menjadi lancar.
Kondisi rileks juga terjadi pada otot pada saluran pencernaan sehingga mual muntah
berkurang. Kondisi rileks secara fisik juga akan membawa kondisi rileks secara
psikologis sehingga dapat menurunkan kecemasan dan depresi.
Mekanisme kerja dari relaksasi otot progresif didasarkan pada cara kerja sistem
syaraf simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf otonom ini terdiri dari dua subsistem
yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis yang bekerja saling
berlawanan. Sistem saraf simpatis lebih banyak aktif ketika tubuh membutuhkan
energi pada saat terkejut, takut, cemas, atau berada dalam keadaan tegang. Pada
kondisi seperti ini, sistem syaraf akan memacu aliran darah ke otot-otot skeletal,
meningkatkan detak jantung dan kadar gula. Sistem saraf parasimpatis mengontrol
aktivitas yang berlangsung selama penenangan tubuh, misalnya penurunan denyut
jantung setelah fase ketegangan dan menaikkan aliran darah ke sistem pencernaan
(Sherwood, 1996).
3. Fatigue/ Lemah dan Lesu Pada Pasien Kanker
Fatigue merupakan suatu perasaan subyektif tentang kelelahan secara fisik, emosi dan
atau kognitif yang berhubungan dengan penyakit kanker atau terapi kanker yang
mengganggu aktivitas harian dan fungsi normal (National Comprehensive Cancer
Network, 2009). Berbagai faktor menyebabkan lemah lesu pada pasien kanker yaitu
faktor secara fisik dan psikososial (Iop, Manfredi & Bonura, 2004; Otto, 2001).
Faktor-faktor tersebut yaitu:
a. Faktor fisiologis meliputi
 Terapi kanker: kemoterapi, radioterapi, pembedahan
Keletihan sebagai akibat dari kemoterapi berhubungan dengan mekanisme
kerja kemoterapi yang berdampak pada toksisitas hematologi. Kemoterapi
tidak hanya mempengaruhi sel kanker tetapi juga mengganggu fungsi siklus
sel normal dengan menurunkan absorbsi nutrient sel yang penting. Gangguan
pada pembentukan sel darah pada sumsum tulang atau myelosupresi
menyebabkan penurunan sel darah merah, trombosit dan leukosit yang ikut
mempengaruhi terjadinya lemah dan lesu
 Gangguan sistemik seperti anemia, infeksi, gangguan paru–paru, gagal hepar,
gagal jantung, gagal ginjal, malnutrisi, gangguan neuromuskular, dan
dehidrasi.
 Gangguan tidur
 Nyeri kronis
 Penggunaan medikasi seperti opioids
b. Faktor psikososial meliputi kecemasan dan depresi
Faktor psikososial dapat mempengaruhi perkembangan lemah lesu pada
pasien kanker. Sebuah hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara faktor psikososial seperti perasaan, kecemasan dan depresi, dengan
perkembangan lemah dan lesu pada pasien kanker (Fossa, Dahl & Loge,
2003). Depresi merupakan reaksi emosional sebagai respon atas rasa
kehilangan yang ditunjukkan dengan kehilangan ketertarikan, kesulitan
berkonsentrasi dan perasaan putus asa dapat mempengaruhi kondisi fisik
penyebab keletihan. Sedangkan kecemasan dengan diagnosa kanker yang
akan mempengaruhi aspek fisik, psikososial, dan keuangan juga ikut
meningkatkan terjadinya lemah dan lesu .
4. Dampak lemah dan lesu pada pasien kanker
Curt (2000) menyatakan bahwa lemah dan lesu yang dialami oleh pasien kanker
memiliki dampak secara fisik, emosi, mental, sosial dan ekonomi
a. Dampak secara fisik
Lemah dan lesu yang dialami menyebabkan penurunan kemampuan dalam
melakukan aktivitas sehari–hari. Hal yang paling sering ditemui adalah
hambatan dalam berjalan, olah raga, membersihkan rumah, naik tangga, dan
mengangkat barang berat
b. Dampak secara emosi dan mental
Dampak lemah lesu yang dialami oleh pasien kanker secara emosi dan mental
adalah merasa kehilangan kontrol dan tidak mampu menjalani hidup secara
normal. Pasien kanker dapat mengalami perasaan putus asa, isolasi sosial, dan
kesepian. Konsekuensi lainnya adalah penurunan motivasi, kesedihan,
frustrasi, dan kelelahan secara mental
c. Dampak secara sosial
Dampak yang dirasakan oleh pasien kanker yang mengalami lemah dan lesu
adalah kesulitan untuk melakukan aktivitas berbelanja di luar rumah,
mengekspresikan kasih sayang pada pasangan, bermain dengan anak dan
meluangkan waktu untuk teman.
d. Dampak secara ekonomi
Dampak secara ekonomi karena kondisi lemah lesu adalah penurunan
kemampuan untuk bekerja pada orang yang masih berstatus bekerja saat
didiagnosa kanker. Mereka akan kehilangan beberapa waktu yang produktif
untuk beristirahat karena lemahdan lesu. Dampak secara ekonomi juga
berkaitan dengan adanya perubahan dalam status pekerjaan.
5. Diagnosis fatigue pada pasien kanker
Terdapat kriteria untuk mendiagnosis adanya fatigue pada pasien kanker yaitu adanya
gejala di bawah ini yang muncul pada setiap hari atau hampir setiap hari selama 2
minggu dalam satu bulan terakhir (Iop, Manfredi & Bonura, 2004)
a. Keterbatasan energi dan peningkatan kebutuhan untuk istirahat
b. Keluhan kelemahan umum dan perasaan berat pada anggota gerak
c. Penurunan konsentrasi atau perhatian
d. Penurunan motivasi untuk melakukan aktivitas normal
e. Mengalami insomnia atau hipersomnia
f. Keluhan tidak mengalami kebugaran setelah bangun tidur
g. Membutuhkan usaha keras untuk beraktivitas
h. Adanya emosi sedih dan frustrasi karena keletihan
i. Kesulitan dalam menyelesaikan aktivitas harian
j. Memiliki masalah dengan memori jangka pendek
Intervensi lemah dan lesu
Masalah lemah dan lesu pada pasien kanker dapat menimbulkan berbagai akibat
secara fisik dan psikososial. Konseling perlu diberikan oleh tenaga kesehatan pada
pasien dan keluarga dengan masalah lemah dan lesu akibat kanker (NCCN, 2009).
Berikut ini intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi lemah lesu akibat
kanker:
a. Memberikan informasi tentang penyebab lemah dan lesu dan cara
mengatasinya, serta menjelasan bahwa lemah dan lesu akibat kemoterapi
bukan berarti penyakit menjadi bertambah buruk
b. Menganjurkan pasien untuk melakukan monitor tentang tingkat
kelemahannya misalnya dengan memantau perkembangan kemampuan
fisiknya dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
c. Menyarankan untuk melakukan konservasi energi: Membuat prioritas
pekerjaan, pendelegasian tugas, pengaturan pekerjaan penting saat energi
meningkat, menunda kegiatan yang kurang penting, membatasi waktu
istirahat sehingga tidak mengganggu kualitas tidur malam, melakukan satu
aktivitas dalam satu waktu
d. Menyarankan menggunakan teknik distraksi misal mendengarkan musik,
bermain games, membaca atau bersosialisasi dengan teman.
e. Menyarankan mengatasi penyebab dari lemah dan lesu: mengatasi gangguan
nutrisi, gangguan nyeri, gangguan pola tidur atau kecemasan dan depresi.
BAB IV
KASUS DAN PENYELESAIAN

3.1 Kasus
AP adalah laki laki berusia 17 tahun, masuk ke Rumah Sakit pada tanggal 29 Juli
2017 dengan keluhan muka pucat, nyeri tulang dan sendi, serta nafsu makan
menurun. AP didiagnosis menderita Acute Lymphoblasc Leukemia dengan Ph
negatif. Riwayat pengobatan sebelumnya metotreksat, tidak memiliki riwayat
penyakit dan riwayat keluarga.
 Hasil pemeriksaan laboratorium (Tanggal 26 Juli 2017)
Pemeriksaan Lab Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan
Hemoglobin 7,2 g/dl 11,0 - 13,0 L
Leukosit 26,2 rb/mmk 9,0 – 12,0 H
Trombosit 6 rb/mmk 150 – 400 L
AMC 41 %
Blast 8 %
Hematokrit 20,2 % 36 – 44 L
Eritrosit 2,2 106 3,6 - 6,2 L
MCH 32,7 23 – 31 H
RDW 17,3 11,6 - 14,8 H
 Tanda tanda vital pasien
29/7 30/7 31/7 1/8 2/8 3/8 4/8 5/8
Temperatur 38,2 38,1 37 36,7 37 37,1 36,9 36,5
Nadi 119 112 114 112 118 115 112
RR 26 26 27 27 26 27 26
 Regimen Terapi
29/7 30/7 31/7 1/8 2/8 3/8 4/8 5/8
NaCl √ √ √ √ √ √ √ √
PRC100 cc √ √ √ √
SiklofosfamidIV

750 mg/m2
Vincristine1,5 IV
√ √
mg/m2/hr
DexamethasonePO
√ √
4mg/m2
PrednisonPO 60
√ √ √ √ √ √ √ √
mg/m2
MetotrexatIT 6 mg √
DoxorubicinIV
√ √ √
30mg/m2/hr
L Asparaginase IV

6000 u/m2
6-MP PO 50

mg/m2
Paracetamol PO
√ √ √
500 mg 3x sehari

3.2 Analisa SOAP


A. Subjective
Nama : AP
Usia : 17 Tahun
Keluhan : Muka pucat, nyeri tulang dan sendi, nafsu makan menurun
Riwayat Penyakit : -
Riwayat Keluarga: -
B. Objective
Riwayat pengobatan : Metotreksat
Diagnosis : Acute Lymphoblastic Leukemia PH Negatif
 Hasil pemeriksaan laboratorium dan TTV (Tanggal 26 Juli 2017) :
Pemeriksaan Lab Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan
Hemoglobin 7,2 g/dl 11,0 - 13,0 L
Leukosit 26,2 rb/mmk 9,0 – 12,0 H
Trombosit 6 rb/mmk 150 – 400 L
AMC 41 %
Blast 8 %
Hematokrit 20,2 % 36 – 44 L
Eritrosit 2,2 106 3,6 - 6,2 L
MCH 32,7 23 – 31 H
RDW 17,3 11,6 - 14,8 H
 Tanda tanda vital pasien
29/7 30/7 31/7 1/8 2/8 3/8 4/8 5/8
Temperatur 38,2 38,1 37 36,7 37 37,1 36,9 36,5
Nadi 119 112 114 112 118 115 112
RR 26 26 26 26 26 26 26
 Regimen Terapi
29/7 30/7 31/7 1/8 2/8 3/8 4/8 5/8
NaCl √ √ √ √ √ √ √ √
PRC100 cc √ √ √ √
SiklofosfamidIV

750 mg/m2
Vincristine1,5 IV
√ √
mg/m2/hr
DexamethasonePO
√ √
4mg/m2
PrednisonPO 60
√ √ √ √ √ √ √ √
mg/m2
MetotrexatIT 6 mg √
DoxorubicinIV
√ √ √
30mg/m2/hr
L Asparaginase IV

6000 u/m2
6-MP PO 50 √
mg/m2
Paracetamol PO
√ √ √
500 mg 3x sehari

C. Assesment
1. Pasien mengidap penyakit Acute lymphoblastic leukemia (ALL) dan termasuk
kategori adolescent and young adult (AYA) dengan Ph (-). Terapi pendahuluan
yang dilakukan sudah tepat berdasarkan regimen terapi yaitu menggunakan
Metotrexat (NCCN, 2014).
2. Pemberian transfusi darah dilakukan karena pasien yang mendapatkan terapi
pengobatan ALL mengalami anemia (The ALL Guide, 2014).
3. Siklofosfamid merupakan obat yang bekerja merusak DNA sel kanker (The ALL
Guide, 2014) digunakan untuk terapi induksi pada hari pertama. Pada kasus ini
dosis dan lama penggunaan sudah tepat (NCCN).
4. Doxorubicin merupakan obat antibiotik untuk antitumor (The ALL Guide, 2014)
digunakan selama 3 hari untuk terapi induksi sudah tepat. Dosis yang digunakan
adalah 50 mg/m2/hr (NCCN, 2012), sedangkan pada kasus hanya diberikan
30mg/m2/hr.
5. Vinkristin merupakan obat yang bekerja dengan mencegah pembelahan sel
kanker (The ALL Guide, 2014) digunakan pada hari pertama dan hari ke delapan
pada terapi induksi sudah sesuai dengan regimen terapi. Dosis yang digunakan
sudah sesuai regimen yaitu 1,5 mg IV maksimal 2mg IV (Dipiro,2005). Pada hari
pertama digunakan bersamaan dengan Siklofosfamid dan pada hari ke delapan
digunakan bersamaan dengan L-asparaginase (NCCN, 2012).
6. L-asparaginase merupakan suatu enzim yang bekerja untuk mencegah sel kanker
dapat bertahan di dalam tubuh (The ALL Guide, 2014). Obat ini sesuai regimen
digunakan pada hari ke 8 pada tahap induksi terapi (NCCN, 2012). Regimen
penggunaan obat ini pada kasus sudah tepat.
7. Prednison 60 mg/m2 sebagai kortikosteroid diberikan setiap hari selama 14 hari
sesuai dengan regimen terapi (NCCN, 2012). Steroid adalah obat yang digunakan
untuk menyembuhkan pembengkakan dan peradangan, tetapi obat ini juga
diketahui memiliki efek anti kanker (NCCN, 2017).
8. Metotrexat merupakan golongan antimetabolit (The ALL Guide, 2014) diberikan
seminggu sekali sebagai terapi tambahan pada pengobatan ALL (NCCN, 2012).
9. 6-MP merupakan obat golongan antimetabolit (The ALL Guide, 2014) menurut
NCCN 2014 digunakan selama seminggu sekali untuk terapi penunjang, biasanya
digunakan bersamaan dengan Metotrexat serta obat ini juga dapat masuk pada
tahap konsolidasi terapi dengan dosis 60mg/m2/hr diberikan pada hari ke 16
sampai 21 terapi. Pada kasus penggunaannya sudah tepat.
10. Prednison dan dexamethasone merupakan kortikosteroid yang dapat digunakan
pada terapi ALL, namun berdasarkan NCCN 2014 pemakaian obat ini hanya
salah satu saja. Pada kasus ini penggunaan bersamaan kurang tepat seharusnya
cukup menggunakan Prednison saja karena jika dilihat dari pemilihan obatnya
pasien masih dalam tahap pengobatan terapi induksi. Selain itu dexamethasone
meningkatkan risiko efek samping seperti osteonekrosis, miopati steroid,
hiperglikemia, dan infeksi. Pasien yang berusia lebih dari 10 tahun sangat rentan
terhadap osteonekrosis dan menerima deksametason sesekali (7 hari penggunaan,
7 hari off) untuk meminimalkan efek ini (Dipiro, 2008).
11. Interaksi antara doxorubicin dan siklofosfamid dapat diatasi dengan waktu
pemberian yang berbeda. Doxorubicin memiliki waktu paruh 1-3 jam sehingga
diberikan pada pagi hari (7.00). Siklofosfamid memiliki waktu paruh 3-12 jam
sehingga diberikan pada siang hari (12.00) (Medscape)
12. Interaksi antara doxorubicin dan 6-MPdapat diatasi dengan waktu pemberian
yang berbeda. Doxorubicin memiliki waktu paruh 1-3 jam sehingga diberikan
pada pagi hari (7.00). 6-MP memiliki waktu paruh 21 menit dan tidak ada
interaksi dengan siklofosfamid sehingga dapat diberikan pada siang hari secara
bersamaan (12.00)(Medscape).
13. Interaksi antara dexametason dan prednison dapat diatasi dengan waktu
pemberian yang berbeda. Prednisone memiliki waktu paruh 2,6-3 jam sehingga
diberikan pada siang hari (14.00). Dexametason memiliki waktu paruh 1,8-3,5
jam dapat diberikan pada pagi hari (10.00) (Medscape).
14. Interaksi antara prednison dan L-asparaginase dapat diatasi dengan waktu
pemberian yang berbeda. Prednisone memiliki waktu paruh 2,6-3 jam sehingga
diberikan pada siang hari (14.00). L-asparaginase memiliki waktu paruh 8 jam
dapat diberikan pada sore hari (17.00) (Medscape).
15. Interaksi antara doxorubicin dan dexametason dapat diatasi dengan waktu
pemberian yang berbeda. Doxorubicin memiliki waktu paruh1-3 jam sehingga
diberikan pada pagi hari (7.00). Dexametason memiliki waktu paruh 1,8-3,5 jam
dapat diberikan pada siang hari (10.00) (Medscape).
16. Interaksi antara prednisone dan vinkristindapat diatasi dengan waktu pemberian
yang berbeda. Prednison memiliki waktu paruh 2,6-3 jam sehingga diberikan
pada siang hari (14.00). Vinkristin memiliki waktu paruh 10,5 jam dapat
diberikan pada sore hari (17.00) (Medscape).
17. Interaksi antara dexametason dan vinkristin dapat diatasi dengan waktu
pemberian yang berbeda. Dexametason memiliki waktu paruh 1,8-3,5 jam
sehingga diberikan pada pagi hari (10.00). Vinkristin memiliki waktu paruh 10,5
jam dapat diberikan pada sore hari (17.00) (Medscape)
18. DRP
a. DRP ada indikasi tidak ada obat :-
b. DRP tidak ada indikasi ada obat :-
c. DRP overdose :-
d. DRP underdose : Doxorubicin
e. DRP polifarmasi : Prednison dan Dexamethaone
f. DRP efek samping obat :
 Doxorubicin : mual, muntah, neutropenia, anemia, leukopenia, pruitis,
stomatitis, kelelahan, CHF, trombositopenia
 Siklofosfamid : sistitis hemoragi
 Metotreksat : mual, muntah, hiperurisemia
 Vincristine : alopecia
 Dexametason : osteonekrosis, miopati steroid, hiperglikemia, dan
infeksi
 Prednisone : angioedema
 L-asparaginase : mual, muntah, kram perut, anoreksia, peningkatan
kadar kreatinin dan nitrogen urea darah (azotemia)
 6-MP : menyebabkan hasil yang tinggi pada pemeriksaan hati (hasil
semu)
g. DRP interaksi obat :
• Doxorubicin + siklofosfamid
Doxorubicin meningkatkan toksisitas siklofosfamid, meningkatkan
resiko hemoragic cystitis.
• Doxorubicin + 6-MP
Doxorubicin meningkatkan toksisitas mercaptopurin karena bekerja
secara sinergis, dapat meningkatkat hepatotoksisitas.
• Dexametason + prednison
Dexametason akan menurunkan efek prednison dengan mempengaruhi
metabolisme enzim CYP3A4
• Prednison + L–asparaginase
Prednison meningkatkan efek L-asparaginase karena dapat bekerja
secara sinergis. Asparaginase menghambat produksi insulin saat
digunakan bersamaan dengan terapi menggunakan kortikosteroid.
• L-asparaginase + vinkristin
Asparaginase meningkatkan efek dari vinkristin.
• L-asparaginase + metotreksat
Asparaginase mnurunkan efek dari metotreksat.
• Dexametason + doxorubicin
Dexametason akan menurunkan efek dari doxorubicin dengan
mempengaruhi enzim CYP3A4.
• Prednison + vinkristin
Prednison akan menurunkan efek dari vinkristin dengan mempengaruhi
enzim CYP3A4.
• Dexametason + vinkristin
Dexametason akan menurunkan efek dari vinkristin dengan
mempengaruhi enzim CYP3A4.
D. Plan
1. Peningkatan dosis untuk doxorubicin agar sesuai dengan regimen
pengobatan
2. Pemberian deksametasone sebagai kortikosteroid dilanjutkan pada tahap
konsolidasi untuk menggantikan peran prednison
3. Dilakukan pemantauan dan cek darah serta tes sumsusm tulang belakang
untuk mengetahui keberhasilan terapi
4. Direkomendasikan untuk penambahan obat anti emetik Ondansetron dosis 8
mg secara peroral untuk mengurangi efek penggunaan kemoterapi.
5. Melakuakn terapi non farmaologi seperti :
a. Transfusi darah untuk meningkatkan HB darah pada penderita.
b. Memberikan manajemen nutrisi pada pasien kanker leukemia akut.
c. Meningkatkan kepatuhan dalam melakukan kemoterapi.
d. Menghindari makanan yang bersifat karsinogenik
e. Banyak mengonsumsi makanan mengandung lemak omega 3
f. Buatlah kamar yang protektif dan steril atau bersih
g. Konsumsi makanan yang higenis.
E. KIE
1. Menjelaskan efek samping kemoterapi yang mungkin terjadi seperti mual
muntah, kerontokan rambut.
2. Untuk mengatasi kerontokan rambut dapat menggunakan hair tonic / lidah
buaya.
3. Istirahat yang cukup.
4. Pola makan harus diperhatikan (makan makanan yang bergizi).
5. Segera konsultasi ke dokter apabila terjadi reaksi alergi seperti gatal,
bengkak, ruam, dll.
6. Berikan lingkungan yang tenang dan hindari stress (meditasi, yoga, berdoa,
aromaterapi, dll).
7. Hindari aktivitas yang terlalu berat.
8. Hindari asap kendaraan bermotor, asap rokok, polusi udara, dll yang dapat
memperparah penyakit.
9. Menjaga kebersihan badan dan lingkungan untuk mencegah terjadinya
infeksi.
10. Menghindari makanan yang diolah dengan cara dibakar, makanan yang
banyak mengandung pengawet / pewarna buatan.
11. Diberitahukan pada keluarga pasien untuk selalu memberikan dukungan
moral pada pasien supaya pasien memiliki kemauan untuk sembuh.
DAFTAR PUSTAKA

Aguayo, Bieker, Podar, Greaves, Espositon, dan Felix. 2006. Management of


Surgical Injury and Critical Gynecology. Ethical Digest. 26 : 54-59.
Anderson, P.O., James E.K., dan William G.T. 2002. Handbook of Clinical Drug
Data, Tenth Edition. New York : McGraw-Hill Medical Publishing Division.
Bakta, I.M. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC.
Bowden, V.R. dan Greenberg, C.S. 2008. Pediatric Nursing Procedures. Second
Edition. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins.
Burke, M.B., Wilkes, G.M., Ingwersen, K.C., Bean, C.K., dan Berg, D. 1996. Cancer
Chemotheraphy : A Nursing Process Ppproach. London: Jones and Barlett
Publisher Inc.
Carpenito, L.J. 1995. Handbook of Nursing Diagnosis. Philadelhia : Lippincott.
Chan, W.H.C., Chang, A.M., Leung, S.F., dan Mak, S.S.S. 2007. Reducing
Breathlessness, Fatigue, and Anxiety in Chinese Patients Undergoing Lung
Cancer Radiotherapy in Hong Kong. Hong Kong Medical Journal. 13 (l2) : 4-7.
Curt. 2000. The Impact of Fatigue on Patients with Cancer : Overview of Fatigue 1
and 2. The Oncologist Journal. 5 (2) : 9-12.
DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., dan Posey, L. M.
2005. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Seventh Edition. New
York : Mc Graw Hill Medical Publishing Division.
Fossa, S.D., Dahl, A.A., dan Loge, J.H. 2003. Fatigue, Anxiety, and Depression in
Long Term Survivors of Testicular Cancer. Journal of Clinical Oncology. 21 (7)
: 1249-1254.
Ganiswara, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, D.F., dan Purwantyastuti, N. 2005,
Farmakologi dan Terapi, Sixth Edition. Jakarta : Universitas Indonesia.
Hariani, R. 2007. Kecukupan Nutrisi pada Pasien Kanker. Indonesian Journal of
Cancer. 1 (4).
IKAPI. 2013. Bandung Controversies and Consensus in Obstetrics & Gynecology.
Bandung : CV Sagung Seto.
Iop, A., Manfredi, A.M., dan Bonura, S. 2004. Fatigue in Cancer Patients Receiving
Chemotheraphy : An Analysis of Published Studies. Annals of Oncology. 15 (1) :
712-720.
Mc Closkey, J.C., dan Bulechek, G.M. 1996. Nursing Intervention Classification.
Second Edition. St Louis : Mosby.
Molassiotis, A., Yung, H.H.P., Mok. T.S.K., dan Yam, B.M.C. 2000. The
Effectiveness of Progressive Muscle Relaxation Training in Managing
Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting in Chinese Breast Cancer Patients
: A Randomised Controlled Trial. Support Care Cancer Journal. 10 (3) : 237-
246.
National Comprehensive Cancer Network. 2009. Clinical Practice Guidelines in
Oncology : Cancer related fatigue. NCCN.
Otto, S.E. 2001. Oncologi Nursing. Fourth Edition. St Louis : Mosby Inc.
Perwitasari, D.A. 2006. Kajian Penggunaan Antiemetika pada Pasien Kanker dengan
Terapi Sitostatika di Rumah Sakit di Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia.
17 (2) : 91-97.
Price, S.A. dan Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Sixth Edition. Volume 1. Jakarta : EGC.
Ramdhani dan Putra. 2007. Pengembangan Multimedia “Relaksasi”. Diambil dari
http:// neila.staf.ugm.ac.id/wordpress/wp-content/uploads
Sherwood, L. 1996. Human Physiology : From Cel to Systems. Virginia : Thomson
publisher.
Smeltzer, C.S. and Bare, G.B. 2008. Buku Ajar Keperwatan Medikal Bedah. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC.
Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK
UI.
Wagener, Velde, V.D., and Bosman, F.T. 1996. Onkologi. Den Haag : Stafleu Van
Loghum.
Wilkes, G.M. 2000. Buku Saku : Gizi pada Kanker dan Infeksi HIV. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai