Anda di halaman 1dari 10

DEFISIENSI GLUKOSA 6 FOSFAT DEHIDROGENASE

Definisi
Glukosa-6-fosfat

dehidrogenase

(G6PD)

merupakan

enzim

pengkatalisis reaksi pertama jalur pentosa fosfat dan memberikan


efek reduksi pada semua sel dalam bentuk NADPH (bentuk tereduksi
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate). Senyawa NADPH
memungkinkan sel-sel bertahan dari stres oksidatif yang dapat dipicu
oleh beberapa bahan oksidan dan menyediakan glutathione dalam
bentuk tereduksi. Eritrosit tidak memiliki mitokondria sehingga jalur
pentosa fosfat merupakan satu-satunya sumber NADPH, sehingga
pertahanan terhadap kerusakan oksidatif tergantung pada G6PD.

Aspek Genetik Defisiensi G6PD


Defisiensi G6PD diturunkan melalui kromosom X. Laki-laki
hanya memiliki satu kromosom X sehingga dapat memiliki ekspresi
gen yang normal atau defisiensi G6PD. Perempuan yang memiliki 2
kopi gen G6PD pada setiap kromosom X dapat memiliki ekspresi gen

normal, heterozigot, atau homozigot. Perempuan heterozigot dapat


memiliki mosaic genetik akibat inaktivasi kromosom X, dan dapat
menderita defisiensi G6PD. Gen G6PD terletak pada regio telomerik
lengan panjang kromosom X (band Xq28), dekat dengan gen
hemofilia A, diskeratosis kongenital dan buta warna.

Patofisiologi
Defisiensi enzim G6PD ini merupakan defek enzim herediter
dari eritrosit yang diwariskan secara X-linked. Defisiensi enzim G6PD
ini

menyebabkan berkurangnya glutation tereduksi dalam darah

Kurangnya glutation tereduksi dalam darah menyebabkan Hb eritrosit


mudah teroksidasi yang disebut methemoglobin dan membentuk
Badan Heinz. Methemoglobin tersebut menyebabkan sel darah
merah mudah lisis/pecah sehingga terjadi anemia hemolitik.

Manifestasi Klinik

Sebagian besar penderita defisiensi G6PD tidak bergejala dan


tidak

mengetahui

bermanifestasi

kondisinya.

Defisiensi

G6PD

biasanya

sebagai anemia hemolitik akut yang diinduksi obat

maupun infeksi, favisme, maupun anemia hemolitik non-sferosis


kronis. Hemolisis akut pada penderita defisiensi G6PD biasanya
ditandai dengan rasa lemah, nyeri punggung, anemia dan ikterus.
Terjadi

peningkatan

kadar

bilirubin

tidak

terkonjugasi,

laktat

dehidrogenase dan retikulositosis.


1. Anemia Hemolitik Terinduksi Obat
Defisiensi G6PD ditemukan sebagai hasil investigasi hemolisis pada
penderita yang minum primakuin. Beberapa obat dihubungkan
dengan hemolisis akut pada penderita dei siensi G6PD. Obat-obat
spesifik penyebab langsung krisis hemolisis penderita dei siensi
G6PD sulit di-tentukan dengan tepat. Pertama, suatu obat yang
dinyatakan aman untuk satu penderita defisiensi G6PD belum tentu
aman

untuk

penderita

lain,

mungkin

karena

perbedaan

farmakokinetik tiap individu. Kedua, obat yang memiliki efek


oksidan sering diberikan pada pasien dengan keadaan klinis
(misalnya infeksi) yang dapat menyebabkan hemolisis. Ketiga,
pasien mengkonsumsi lebih dari satu

jenis obat. Hemolisis dan

ikterus klinis biasanya muncul 24-72 jam setelah konsumsi obat.


Urin berwarna gelap akibat hemoglobinuria merupakan tanda khas.
Anemia memburuk hingga 7-8 hari, kadar hemoglobin akan kembali
meningkat setelah 8-10 hari obat dihentikan.
2. Anemia Hemolitik Terinduksi Infeksi
Infeksi merupakan penyebab hemolisis tersering pada penderita dei
siensi G6PD. Beberapa infeksi yang dapat mencetuskan-nya antara
lain infeksi virus Hepatitis A dan B, Cytomegalovirus, pneumonia
dan demam tifoid. Beratnya hemolisis dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain pemberian obat, fungsi hati dan usia. Pada
hemolisis berat, transfusi darah segera memperbaiki luaran.

Komplikasi serius akibat infeksi virus hepatitis pada penderita dei


siensi G6PD adalah gagal ginjal akut; dapat disebabkan nekrosis
tubular akut akibat iskemi ginjal maupun obstruksi tubular karena
hemoglobin

cast

Beberapa

pasien

mungkin

memerlukan

hemodialisis.
3. Favisme
Konsumsi kacang fava dapat menyebabkan hemolisis dan kondisi
ini

disebut

favisme.

Favisme

ditemukan

di

negara-negara

Mediterania, Timur Tengah dan Afrika Utara, tidak ditemukan di


Indonesia. Tidak semua penderita defisiensi G6PD yang memakan
kacang fava menderita favisme, dapat terjadi respons berbedabeda dari individu yang sama tergantung kesehatan pasien dan
jumlah kacang fava yang dikonsumsi. Divicine, isouramil dan
convicine diperkirakan sebagai bahan toksik dari kacang fava yang
meningkatkan aktivitas hexose monophosphate shunt, sehingga
menyebabkan hemolisis pada penderita defisiensi G6PD.
4. Anemia Hemolitik Non-sferosis Kongenital
Pada beberapa pasien, varian defisiensi G6PD dapat menyebabkan
hemolisis kronik yang disebut anemia hemolitik non-sferosis
kongenital.

Kondisi

ini

dapat

muncul

sporadis.

Diagnosis

didasarkan pada temuan klinis bahwa kelainan ini ditemukan sejak


bayi atau kanak-kanak. Kebanyakan pasien memiliki riwayat ikterus
neonatorum yang berat, anemia kronik yang dieksaserbasi oleh
stres oksidatif yang biasanya memerlukan transfusi darah, adanya
retikulositosis, batu empedu dan splenomegali. Kadar bilirubin dan
LDH meningkat dan hemolisisnya terjadi terutama ekstravaskular.
Epidemiologi Defisiensi G6PD

Defisiensi G6PD merupakan penyakit defisiensi enzim paling umum yang


diderita sekitar 400 juta orang di dunia. Penyakit ini umumnya ditemukan di
daerah tropis, terutama di daerah Afrika, Timur Tengah dan Mediterania.

Defisiensi G6PD memiliki lebih dari 160 varian gen. Varian gen yang ditemukan
biasanya tergantung pada lokasi ditemukannya defisiensi G6PD, misalnya varian gen
Mediterania atau A- (ditemukan di Afrika).
Defisiensi G6PD paling banyak ditemukan di daerah endemik malaria. Penelitian
menyebutkan bahwa defisiensi G6PD dapat memberikan resistensi terhadap penyakit
malaria pada laki-laki pembawa gen homozigot, dimana laki-laki penderita defisiensi
G6PD dengan resistensi malaria tetap dapat menderita malaria, tetapi penyakitnya tidak
akan berkembang sampai tahap parah. Namun pasien tidak akan bisa mengonsumsi obat
antimalaria karena dapat menginduksi episode hemolisis.
Gejala Defisiensi G6PD
Defisiensi G6PD merupakan penyakit asimptomatik, biasanya baru ditunjukkan jika ada
pemicu. Namun, gejala yang umumnya muncul adalah:

Jantung berdebar-debar

Pucat

Sesak nafas dan mudah letih

Ikterus, terutama pada sklera

Urin berwarna gelap

Splenomegali

Hemoglobinuria

Gejala utama defisiensi G6PD adalah ikterus. Bila ditemukan gejala umum anemia
(jantung berdebar-debar, pucat, sesak nafas, mudah letih, dan sebagainya) dan ikterus,
kemungkinan besar pasien menderita anemia hemolitik karena defisiensi G6PD.
Pembawa gen G6PD yang bersifat heterozigot juga dapat menunjukkan gejala,
meskipun tidak separah gejala yang ditunjukkan pembawa gen homozigot.
Diagnosis Defisiensi G6PD
Langkah-langkah diagnosis klinik defisiensi G6PD:

1. Anamnesis
Merupakan pemeriksaan riwayat penyakit pasien oleh dokter dengan tanya
jawab antara dokter-pasien. Sangat berguna untuk menentukan diagnosis karena
melalui anamnesis dokter bisa menemukan kemungkinan penyebab dari
penyakit yang diderita pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan terhadap gejala-gejala yang ditunjukkan pasien secara fisik.
Misalnya jantung berdebar-debar dan ikterus.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan untuk mengkonfirmasi penyakit yang diderita pasien melalui tes
diagnostik. Pada tes diagnostik klinik, terdapat beberapa tes yang dapat
dilakukan:
a. CBC (Complete Blood Count)
Tes awal yang dilakukan untuk mendiagnosis apakah pasien menderita
anemia, dan tipe anemia yang diderita. Untuk mendiagnosis apakah
pasien menderita anemia, kadar Hb dan hematokrit diukur. Pada
penderita anemia, kadar Hb dan hematokrit rendah. Nilainya adalah
sebagai berikut:
Hb laki-laki <13 mg/dL, perempuan <12 mg/dL
Hematokrit laki-laki < 42%, perempuan <37%
Setelah pasien dinyatakan menderita anemia, dilakukan pengukuran
kadar MCV dan MCH untuk mengecek keadaan sel darah merah. Pada
anemia hemolitik defisiensi G6PD, warna sel darah merah normal
(normokromik) dan ukurannya normal (normositik). Nilai yang didapat
pada tes adalah sebagai berikut:
MCV: 80-95 fl
MCH: 27-34 pg
b. Sediaan apus darah
Sediaan apus darah dilakukan untuk mengecek kelainan morfologi darah
secara mikroskopik pada kaca objek. Yang dapat diperiksa adalah
anisositosis/ukuran sel darah, warna sel darah, dan bentuk sel.

Pada anemia hemolitik defisiensi G6PD, anisositosis dari apusan darah


normal atau (normositik), warna apusan sel darah normal (normokromik)
dan pada apusan darah ditemukan Heinz bodies.
c. Uji retikulosit
Retikulosit adalah sel eritrosit yang immatur, tidak berinti namun
mengandung RNA di sitoplasmanya. Uji retikulosit dilakukan untuk
mengukur kadar retikulosit dalam darah dan menentukan apakah laju
pembentukan darah normal. Uji retikulosit merupakan parameter utama
diagnosis anemia hemolitik. Pada anemia hemolitik defisiensi G6PD
hasil uji retikulosit tinggi (>2,5%) karena tubuh berusaha
mengkompensasi turunnya jumlah eritrosit karena hemolisis dengan
membentuk lebih banyak sel darah merah.
d. Uji bilirubin dan haptoglobin
Uji bilirubin adalah tes yang dilakukan untuk mengecek kecepatan
destruksi eritrosit. Uji kadar bilirubin pada darah dilakukan untuk
mengecek bilirubin direct (terkonjugasi), indirect (tidak terkonjugasi)
dan bilirubin total (jumlah dari bilirubin direct dan indirect). Pada
anemia hemolitik defisiensi G6PD, kadar bilirubin total meningkat (< 3
mg/dL, kadar normalnya 0,3-1,2 mg/dL).
Haptoglobin bertugas mengikat hemoglobin bebas yang lepas ke plasma.
Pada saat terjadi peningkatan perombakan sel darah merah, maka
kecepatan metabolisme haptoglobin lebih cepat daripada
pembentukannya. Oleh karena itu, kadar haptoglobin dalam darah
menurun dari kadar normalnya (41 - 165 mg/dL).
e. Coombs test
Pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi pada
permukaan eritrosit, yang menandakan apakah penyakit anemia
hemolisis bersifat autoimun. Pada anemia hemolitik defisiensi G6PD
hasil tesnya negatif.

Pemeriksaan laboratorium lainnya yang dapat dilakukan pada diagnosis adalah sebagai
berikut:

1. Uji askorbat-sianida: Dilakukan dengan melarutkan darah pada natrium askorbat


dan natrium sianida. Dalam waktu 1-2 jam, darah pasien yang mengalami
defisiensi G6PD akan berubah dengan cepat menjadi coklat.
2. Fluorescent spot test (Beutlers test): Tes secara kualitatif untuk defisiensi G6PD
yang paling umum digunakan. Tes ini dilakukan dengan menggunakan sampel
darah yang telah diinkubasi, lalu dilihat di bawah sinar UV dengan kertas filter.
Darah yang normal akan menunjukkan fluoresensi, sedangkan sampel dari
pasien defisiensi G6PD tidak menunjukkan fluoresensi. Kekurangan dari tes ini
yaitu sulit untuk mendeteksi anemia hemolitik ringan hingga sedang, sulit untuk
mendeteksi heterozigot (carrier) pada wanita dan hasil tidak bisa divalidasi pada
kondisi pasien malaria atau penyakit lain.
3. Analisis kuantitatif dengan spektrofotometri: Dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometri UV untuk mengukur serapan pada 340 nm. Prinsip tes ini
adalah analisis enzim, dalam hal ini aktivitas G6PD mereduksi NADP menjadi
NADPH. Yang diukur adalah produksi NADPH dalam unit per gram
hemoglobin. Merupakan tes paling baik karena dapat mendeteksi secara
kuantitatif dan tes dengan spektrofotometri akan tetap mempertahankan
stabilitas kimia sampel.
4. Analisis DNA: Merupakan cara yang lebih akurat untuk mendeteksi gen yang
menyandi defisiensi G6PD pada tubuh dan juga varian gen G6PD. Lebih
berguna untuk screening populasi, studi riwayat keluarga atau uji prenatal.
5. Point of Care/Bedside Test: Merupakan tes yang dilakukan dengan suatu alat
yang sederhana untuk mendapatkan hasil yang cepat dengan sampel darah yang
sedikit. Mampu memberikan kenyamanan pada pasien karena prosedur
sederhana dan hasil yang cepat dan juga mudah digunakan. Namun, POC test ini
tidak dapat menggantikan tes standar laboratorium karena sensitivitas yang lebih
rendah dan tetap harus memerlukan evaluasi lebih lanjut jika ingin digunakan
untuk menentukan rencana pengobatan.

REFERENSI

Murray, R. (2009). Harper's Illustrated Biochemistry. New York: McGraw-Hill


Medical.

Lazenby, R., & Corwin, E. (2011). Handbook of Pathophysiology. Philadelphia:


Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins Health.

Bunn, H., & Aster, J. (2011). Pathophysiology of Blood disorders. New York:
McGraw-Hill Medical.

Beutler, E. (2007). Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency: a historical


perspective. Blood, 111(1), 16-24.

Frank, J. (2005). Diagnosis and Management of G6PD Deficiency. American


Family Physician, 72(7), 1277-1278.

LaRue, N., Kahn, M., Murray, M., Leader, B., Bansil, P., & McGray, S. et al.
(2014). Comparison of Quantitative and Qualitative Tests for Glucose-6Phosphate Dehydrogenase Deficiency. American Journal Of Tropical Medicine
And Hygiene, 91(4), 854-861.

Kurniawan, L. (2014). Skrining, Diagnosis dan Aspek Klinis Defisiensi


Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase (G6PD). CDK-222, 41(11).

Ley, B., Luter, N., Espino, F., Devine, A., Kalnoky, M., & Lubell, Y. et al.
(2015). The challenges of introducing routine G6PD testing into radical cure: a
workshop report. Malar J, 14(1).

M., A., Bagirova, M., Elcicek, S., Cakir, R., Canim, S., & Yesilkir, S. et al.
(2012). Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase Deficiency and Malaria: A Method
to Detect Primaquine-Induced Hemolysis in vitro. Dehydrogenases.

Minucci, A., Giardina, B., Zuppi, C., & Capoluongo, E. (2009). Glucose-6phosphate dehydrogenase laboratory assay: How, when, and why?. IUBMB Life,
61(1), 27-34.

Anda mungkin juga menyukai