Anda di halaman 1dari 15

Defisiensi Enzim G6PD

Destin Marseli (102014051)


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara Nomor 6 Jakarta Barat 11510
DESTIN.2014fk051@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Defisiensi glukosa-6-fosfat dehydrogenase (G6PD) merupakan enzimopati terkait kromosom, X
yang paling umum diderita manusia. Kelainan ini mempunyai prevalensi tinggi terutama di
daerah endemis malaria termasuk Asia Tenggara seperti di Indonesia. Penderita defisiensi G6PD
umumnya tidak menunjukan gejala sampai terpapar berbagai obat pengoksidasi, menderita
penyakit infeksi maupun makan kacang fava yang menyebabkan anemia hemolitik dan icterus.
Skrining dan diagnosis defisiensi G6PD terutama ditujukan pada neonates untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas, dapat dilakukan dengan beberapa metode.

Kata kunci: G6PD, hemolitik, kromosom X

Abstract
Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency is the most common X-linked
chromosome enzymopathy in human. This disorder has high prevalence especially in malaria
endemic area in Southeast Asia including Indonesia. Most G6PD deficient patients have no
symptoms until exposed to oxidizing drugs, infections or after fava beans ingestion which may
cause hemolytic anemia and jaundice. Several methods of screening and diagnosis of G6PD
mostly for neonates can be performed to avoid morbidity dan mortality.

Keywords: G6PD, hemolytic, X-linked chromosome.

1
Pendahuluan
Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan enzim pengkatalisis reaksi per tama
jalur pentosa fosfat dan memberikan efek reduksi pada semua sel dalam bentuk NADPH (bentuk
tereduksi nicotinamide adenine dinucleotide phosphate). Senyawa NADPH memungkinkan sel-
sel bertahan dari stress oksidatif yang dapat dipicu oleh beberapa bahan oksidan dan
menyediakan glutathione dalam bentuk tereduksi. Eritrosit tidak memiliki mitokondria sehingga
jalur pentose merupakan satu-satunya sumber NADPH, sehingga pertahanan terhadap kerusakan
oksidatif tergantung pada G6PD. 1
Defisiensi G6PD merupakan enzimopati yang paling umum diderita manusia dan terkait
dengan kromosom X. Gen pengkode enzim ini terletak di lengan panjang kromosom X (Xq28).
Kebanyakan pasien defisiensi G6PD tidak menunjukan gejala hingga terpapar obat-obatan
pengoksidasi, infeksi, dan makan kacang fava. Pengobatan terpenting adalah dengan
menghindari bahan pengoksidasi yang dapat menginduksi anemia hemolitik. Skrining neonates
dan edukasi kesehatan berperan penting dalam mengurangi manifestasi klinis defisiensi G6PD.2
Carson dan kawan-kawan melaporkan penderita mengalami anemia hemolitik akibat
penggunaan obat antimalarial primakuin dan menemukan aktivitas G6PD yang rendah pada
eritrosit pasien-pasien tersebut. Crosby juga menemukan kemiripan antara anemia hemolitik
berat akibat makan kacang fava. Inhalasi serbuk tanaman, dengan anemia hemolitik terinduksi
primakuin. Aktivitas G6PD yang rendah pada penderita dengan riwayat favism dilaporkan di
Italia dan Jerman.1,3
Populasi Indonesia memiliki variasi genetik beraneka ragam, daerah pesisir merupakan
daerah terbuka dengan penduduk yang mempunyai mobilitas tinggi, terdapat percampuran
berbagai variasi genetik. Di daerah tersebut besar kemungkinan terjadi berbagai jenis mutan gen,
karena adanya pembauran (perkawinan) antar satu populasi dengan populasi lain yang dikenal
dengan aliran gen (genetic flow), sehingga memungkinkan terciptanya kombinasi genetik.

2
Anamnesis
Identitas pasien
Keluhan utama, apa saja yang dialami pasien.
Keluhan tambahan:
1. Apakah terdapat ikterus (kuning) pada kulit dan sklera.
2. Apakah warna kencingnya coklat gelap hingga kehitaman.
3. Apakah gatal-gatal pada kulit.
4. Apakah ada nyeri perut atau perut makin lama makin membesar (pikirkan sudah
terjadinya splenomegali).
5. Apakah ada nyeri pinggang (pikirkan sudah terjadinya gagal ginjal akut).
6. Apakah mual muntah, menggigil, demam.
Riwayat penyakit dahulu:
1. Apakah dulu pernah menderita penyakit infeksi seperti malaria, TBC, atau yang
lainnya.
2. Apakah menderita diabetes ketoasidosis (penyakit diabetes ketoasidosis dapat
memicu terjadinya krisis hemolitik akut).
3. Selain lemas, pucat, apakah mengalami hal yang serupa pada keadaan tertentu,
misalnya sehabis makan fava bean/ broad bean (fava bean juga memicu krisis
hemolitik akut).
Riwayat penyakit keluarga:
1. Apakah ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa.
2. Apakah ibu minum obat penambah darah? (Jika ibu menderita anemia, biasanya
anak juga menderita anemiadiagnosis banding).

Riwayat pengobatan:
1. Sudah pernah berobat sebelumnya dan minum obat apa.
2. Apakah sebelumnya pernah berpergian ke daerah endemis malaria (Papua) dan
minum obat antimalaria.
3. Dulu apakah pernah mendapat obat-obatan (golongan sulfonamida, aspirin).

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi penilaian:
1. Pemeriksaan fisik yaitu keadaan umum, tingkat kesadaran (sadar, delirium, somnolen, sopor/
stupor, koma), tanda-tanda vital: nadi, tensi, suhu, frekuensi pernapasan. Pada penderita
defisiensi G6PD didapatkan pasien pucat, takikardi, frekuensi pernapasan menurun bahkan
bisa sampai sesak nafas.4

3
2. Pemeriksaan bagian abdomen untuk melihat apakah ada pembesaran limpa dan juga
pemeriksaan pada mata untuk melihat apakah sklera tampak kuning. Dan juga perhatikan
warna konjungtiva, kuku, bibir, mukosa mulut, dan lipatan telapak tangan yang pucat.4
3. Level Bilirubin menurut Kramer4

Kramer I: Daerah kepala (Bilirubin total 5 7 mg)


Kramer II: Daerah dada pusat (Bilirubin total 7 10 mg)
Kramer III: Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total 10 13 mg)
Kramer IV: Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai pergelangan
kaki (Bilirubin total 13 17 mg%)
Kramer V: hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg)

Pemeriksaan Penunjang

Anemia yang terjadi karena krisis hemolitik beragam dari moderat hingga sangat berat
dan biasanya normositik normokromik.Morfologi sel darah merah dari defisiensi G6PD normal
kecuali pada saat episode hemolitik.Perubahan morfologi selama episode hemolitik beragam
tergantung dari seberapa besar hemolisisnya. Pada beberapa pasien, perubahan tidak terlalu
tampak, namun pada individu lain yang dengan varian yang berat dapat terjadi anisocytosis,
poikilocytosis, spherocytosis dan schistocytosis. Bite cell dapat terlihat pada kasus jarang di
pasien yang mengalami hemolisis akibat obat, tapi bukan berarti tanda ini merupakan ciri khas
defisiensi G6PD. Heinz body tidak bisa dilihat dengan pewarnaan wright, namun harus
menggunakan pewarnaan supravital seperti crystal violet.Hitung retikulosit meningkat hingga
30% dari sel darah merah. Hemolisis intravaskluar yang terus menerus, level serum haptoglobin
menurun dan timbul hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Bilirubin indirek juga meningkat.sel
darah putih meningkat dan hitung trombosit bervariasi.5

Hitung asai aktivitas enzim G6PD dapat dilakukan untuk menetukan derajat defisiensi
dari G6PD, namun test screening biasanya lebih adekuat. Kedua test dinilai berdasarkan
pengurangan pyridine nukleotida yang teroksidasi. Pada kuatitatif assay, hemolisa darah pasien
dimasukkan ke dalam campuran reagen. Aktivitas enzim dihitung dengan melihat perubahan di
absorban di 340 nm. Prinsip screening test sama dengan test sebelumnya, kecuali daripada

4
menghitung absorban dari reduksi NADPH, tetapi dengan observasi visual dari flourensi
nukleotida yang tereduksi saat terktivasi dengan cahaya ultraviolet untuk mengevaluasi apakah
NADP telah tereduksi. Hal ini dilakukan dengan mencampurkan darah dengan reagen, kemudian
diletakkan di kertas penyaring dan mengobservasi kertas saring dibawah cahaya ultraviolet.5

Karena retikulosit memiliki kadar G6PD yang lebih tinggi daripada eritrosit matur, tes
assay atau screening sebaiknya tidak dilakukan pada sampel yang diambil setelah mengalami
krisis hemmolisis berat, karena kadar G6PD dapat meningkat palsu akibat retikulosit. Tes
dilakukan setelah retikulosit dan hitung eritrosit sudah kembali normal.Pasien normal yang tidak
memiliki defisiensi G6PD diperkirakan memiliki aktivitas G6PD yang tinggi pada saat episode
retikulositosis.Sedangkan aktivitas yang normal bukan tinggi saat episode retikulositosis
merupakan tanda bahwa pasien mungkin defisiensi G6PD.5

Working Diagnosis
Diagnosis defisiensi G6PD dapat ditegakkan berdasarkan penilaian aktivitas enzim,secara
kuantitatif dengan analisa spektrofotometri dari produksi NADPH dari NADP serta tes Heinz
bodies.4 Pemeriksaan aktivitas enzim mungkin false negatif jika eritrosit tua akibat defisiensi G6PD
telah lisis. Oleh karena itu aktivitas enzim perlu diulang 2-3 bulan kemudian ketika ada sel-sel yang
tua sesudah krisis hemolitik berlalu. Selain itu pada kasus juga dikatahui bahwa adanya salah satu
pencetus yaitu paparan terhadap kapur barus.

Diagnosis Diferensial
1. Anemia hemolitik drug induced
Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu:
hapten/penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks
ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi
terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin.6
Pada mekanisme hapten/absorpsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan kuat. Antibodi
terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan eritrosit. Eritrosit yang
teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit
hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal
penisilin).6

5
Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat, tempat
ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktifasi komplemen.Antibodi melekat pada
neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah,
dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran eritrosit.
Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah tertentu seperti
Rh, Kell, Kidd, atau I/i. Pemeriksaan Coomb biasanya positif.Setelah aktivasi komplemen terjadi
hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia, dan hemoglobinuria.Mekanisme ini terjadi pada
hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamida, sulfonylurea, dan thiazide.6
Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog, seperti
contoh methyldopa. Methyldopa yang bersirkulasi dalam plasma akan menginduksi autoantibodi
spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada
permukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana
induksi formasi autoantibodi ini tidak diketahui.6
Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin mengikat
oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif.Eritrosit
yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi
adalah dengan ditemukannya methemeglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz bodies, blister cell,
bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah
nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid.6
Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes Coomb positif karena absorpsi
nonimunologis, immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen dan plasma protein lain pada
membran eritrosit.6
Gambaran klinis: riwayat pemakaian obat tertentu positif. Pasien yang timbul hemolisis
melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan
sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolis akan terjadi secara berat,
mendadak dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka
hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis tunggal.6
Laboratorium: anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positif. Leukopenia,
trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang
diperantarai kompleks ternary.6

6
2. Sferositosis herediter
Sferositosis herediter (SH) merupakan sebuah penyakit anemia hemolitik yang memiliki
ciri anemia, jaundice, splenomegali, dan responsif terhadap splenektomi. Dimana dalam gejala
klinis dapat terlihat gejala dari asimptomatik sampai ke anemia hemolitik.Gambaran yang khas
dari penyakit ini adalah gambar sferosit yang tercipta karena hilangnya bagian membran karena
abnormalitas osmotik dari eritrosit.7
SH disebabkan oleh suatu kekurangan dari suatu protein yang disebut ankyrin.
Ankyrinadalah protein-protein selaput sel (diperkirakan saling menghubungkan secara integral
protein-protein dengan kerangka selaput yang berdasarkan spectrin).Ankyrin dari sel-sel darah
merah (erythrocytic ankyrin) disebut ankyrin-R atau ankyrin-1. Ia direpresentasikan oleh simbol
ANK1.7
Gen-gen SH yang untuk ANK1 telah dipetakan pada kromosom 8 dansecara khususpada
kromosom band 8p11.2. SH diwariskan sebagai suatu ciri yang dominan, jadi jika seseorang
dengan SH reproduksi, anak-anak mereka (tidak peduli apakah ia seorang anak laki atau anak
perempuan) mempunyai suatu kemungkinan sebesar 50:50 mendapat SH.7
Sferositosis herediter ini sendiri juga berlaku sebagai autosomal dominan.Lebih 25% dari
pasien ini mendemonstrasikan penurunan autosomoal non-dominan, dan keluarga dari pasien
memiliki riwayat darah yang normal.Pada kasus-kasus ini, sferositosis herediter dapat terjadi
karena de novo mutation. Pada yang lain, dikarenakan diturunkan oleh autosomal resesif, yang
biasanya gangguan pada bagian alpha-spectin atau protein 4.2 genes.7
Pada SH sel-sel darah merah adalah lebih kecil, lebih bulat, dan lebih mudah rusak
daripada yang normal.Sel-sel darah merah ini mempunyai suatu bentuk yang berbentuk bola
daripada berbentuk lempeng cekung ganda (biconcave-disk shape) dari sel-sel darah merah yang
normal. Sel-sel darah merah yang gemuk bulat ini (spherocytes) adalah secara osmotik mudah
rusak dan kurang fleksibel daripada sel-sel darah merah normal dan cenderung untuk
menyangkut pada pembuluh darah yang sempit, terutama di limpa,dan disana mereka mengalami
hemolisis menjurus pada hemolitik anemia.7
Penyumbatan limpa dengan sel-sel darah merah hampir tanpa kecuali
menyebabkansplenomegali.Pemecahan sel-sel darah merah melepaskan hemoglobin dan bagian
heme memberikan kenaikkan pada bilirubin, pigmen dari jaundice.Kelebihan bilirubin menjurus
pada pembentukan batu-batu empedu (gallstones), bahkan pada masa kanak-kanak.Seringkali

7
juga ada kelebihan beban dari zat besi (iron) yang disebabkan oleh penghancuran yang
berlebihan sel-sel merah yang kaya zat besi.7
SH adalah paling umum pada orang-orang keturunan Eropa utara. Ia seringkali timbul
pada masa kecil atau awal masa kanak-kanak, menyebabkan anemia dan jaundice. Sumsum
tulang harus bekerja ekstra keras untuk membuat lebih banyak sel-sel darah merah. Jadi, jika
dalam perjalanan suatu penyakit virus yang biasa, sumsum tulang berhenti membuat sel-sel
darah merah, anemia dapat dengan cepat menjadi berat.Ini diistilahkan sebagai suatu krisis
aplastik.7
Studi-studi laboratorium menunjukan bukti tidak hanya banyaknya spherocytes namun
juga jumlah-jumlah yang meningkat dari reticulocytes (sel-sel darah merah yang muda),
hiperbilirubinemia (tingkat-tingkat darah yang meningkat dari pigmen bilirubin yang membuat
kuning karena pemecahan dari sel-sel darah merah) dan kerusakan osmotik yang mudah dari sel-
sel darah merah yang meningkat.7

Epidemiologi

Defisiensi G6PD tersebar luas di seluruh dunia, baik beriklim tropis dan subtropis
(Afrika, Eropa selatan, timur tengah, Asia Tenggara dan Oceania) dan dimanapun orang yang
bermigrasi dari daerah tersebut. Di Amerika paling sering ditemukan pada laki-laki kulit hitam.
Diperkirakan setidaknya terdapat 400 juta orang yang memiliki gen defisiensi G6PD. Prevalensi
dari daerah yang sering ditemukan kelainan ini dapat berkisar antara 5-20%. Biasanya prevalensi
ini berkolerasi dengan distribusi malaria.8

Biasanya penderita gangguan defisiensi G6PD asimtomatik. Pasien yang simtomatik


dapat ditemukan dengan neonatal jaundice dan anemia hemolitik akut. Kern ikterus adalah
komplikasi yang jarang pada neonatal jaundice, tapi dapat terjadi pada beberapa populasi dan
berakibat fatal. Beberapa mekanisme yang berkontribusi pada hiperbilirubinemia pada defisiensi
G6PD seperti defek pada uridine diphosphoglucoronate-glucoronosyltransferase, enzim yang
berpengaruh pada sindrom Gilbert.8

Episode akut anemia hemolitik dapat terjadi karena adanya stress oksidan yang diinduksi
oleh eksposure pada beberapa jenis obat atau bahan kimia (termasuk beberapa obat anestesi),
infeksi ketoasidosis atau memakan fava bean (kacang koro).8

8
Defisiensi G6PD mempengaruhi semua suku.Prevalensi terbesarnya pada orang Afrika,
Asia dan Mediteranian. Keparahan dari kelainan ini beragam tergantung dari ras.Variasi dengan
defisiensi paling parah biasanya ditemukan pada populasi mediterania. Populasi di Afrika
memiliki keparahan hemolisis yang sedang karena jumlah enzim yang lebih tinggi.8

Defisiensi G6PD adalah penyakit keturunan x-linked yang mempengaruhi terutama pada
laki-laki. Wanita dapat terkena apabila homozigot dan terjadi pada populasi dengan frekuensi
defisiensi G6PD cukup tinggi.Wanita yang heterozigot dapat menglami manifestasi klinis
sebagai akibat dari inaktivasi kromosom x, gene mosaicism atau hemizygosity.8

Etiologi
Sel darah merah membutuhkan suplai energi secara terus menerus untuk
mempertahankan bentuk, volume, kelenturan (fleksibilitas), dan regulasi pompa natrium-
kaliumnya. Energi ini diperoleh dari glukosa melalui dua jalur metabolisme yaitu, 80% dari
proses glikolisis anaerobik (jalur Emden-Meyerhof)dan 20% proses glikolisis aerobik (jalur
Pentosa Fosfat). Peran enzim G6PD dalam mempertahankan keutuhan sel darah merah serta
menghindarkan kejadian hemolitik, terletak pada fungsinya dalam jalurpentosa fosfat.4
Gen G6PD memiliki panjang 18 kb terdiri 13 ekson dan 12 intron yang tersebar pada
daerah seluas lebih 100 kb pada ujung terminal lengan panjang kromosom X dan membentuk
enzim yang terdiri dari 515 asam amino.Defisiensi G6PD terjadi akibat mutasi gen G6PD yaitu
pada Xq28, suatu penyakit yang diturunkan secara X-linked resesif.Laki-laki hanya mempunyai
1 kromosom X, sehingga jika terjadi mutasi maka defisiensi G6PD akan muncul atau
bermanifes.Wanita mempunyai 2 kromosomX, sehingga jika terdapat 1 gen yang abnormal
karena mutasi, pasangan atau alel-nya dapat menutupi kekurangannya tersebut, sehingga
defisiensi G6PD bisa bermanifes namun dapat pula tidak.2 Defisiensi G6PD meliputi
berbagaimutasi gen G6PD yang berbeda-beda dan tidak bereaksi sama, hal ini menjelaskan
mengapa individu defisiensi G6PD menunjukkan reaksi berbeda dengan faktor pencetus yang
sama. 4

9
Gambar 1. Lokasi gen G6PD pada kromosom X.4
Pemeriksaan PCR(polymerase chain reaction) dapat membantu mengidentifikasi adanya
mutasi.Saat ini telah diketahui lebih 40 mutasi yang tersebar sepanjang pada seluruh pengkode
gen, masing-masing berbeda-beda dan mempunyai ciri khas tersendiri. Telah dilaporkan lebih
400 varian G6PD, dengan disertai penampilan klinis dan atau fenotif yang beragam. Varian
tersebut dibedakan berdasarkan aktifitas enzim residual, mobilisasi elektroforetik, afinitas dan
analog substrat,stabilisasi terhadap panas dan pH optimum.WHO membuat klasifikasi
berdasarkan varian yang ditemukan di setiap negara, subtitusi nukleotid dan subtitusi asam
amino yaitu:1
Kelas I: Anemia hemolitik non sferositosis. Merupakan jenis defisiensi enzim G6PD
yang jarang ditemukan.Kelompok ini mempunyai kelainan fungsional yang berat
(varianHarilaou). Sel darah merah tidak mampu mempertahankan diri dari oksidan
endogen, sehingga terjadi hemolisis kronik. Adanya pemaparan dengan faktor
pencetus akan menyebabkan terjadinya eksaserbasi anemia hemolitik akut.
Kelas II: defisiensi berat (aktifitas residual G6PD 1-10%).Kelompok defisiensi enzim
G6PD berat (varian G6PD Mediteranian).Pemaparan dengan faktor pencetus
(eksogen) akan menimbulkan hemolisis akut dan proses tersebut akan terus berlanjut
selama masih terdapat pemaparan dengan faktor pencetus. Hal ini disebabkan
rendahnya aktivitas enzim G6PD baik pada sel darah merah yang tua maupun muda.
Kelas III: defisiensi sedang (aktifitas residual G6PD, 10-60%).Kelompok defisensi
enzim G6PD ringan (varian G6PD A, G6PD-canton). Pada kelompok ini, hemolisis
yang timbul akibat pemaparan dengan faktor pencetus akan berhenti dengan
sendirinya walaupun pemaparan masih terus berlanjut. Hal ini disebabkan aktivitas
enzim G6PD pada sel darah merah yang muda masih cukup tinggi untuk menahan
oksidan dan hanya sel darah merah yang tua saja yang mengalami hemolisis.

10
Kelas IV: normal (aktifitas residual G6PD 60-150%).Kelompok yang tidak
mengalami gejala-gejala defisiensi G6PD.
Kelas V: aktivitas meningkat (aktifitas residual G6PD, >150).

Manifestasi Klinis

Kebanyakan orang dengan defisiensi G6PD tidak menimbulkan gejala sepanjang


hidupnya, namun penderita memiliki risiko yang meningkat untuk timbulnya neonatal jaundice
(NNJ) dan risiko menderita anemia hemolitik anemia saat terpapar oleh berbagai agen oksidatif.
Neonatal jaundice yang berhubungan dengan defisiensi G6PD sangat jarang muncul setelah
lahir. insiden tertinggi munculnya gejala anatara hari ke 2 sampai 3 dan pada kebanyakan kasus
anemianya tidak berat. Namun, NNJ dapat menjadi berat pada beberapa bayi dengan defisiensi
G6PD, terutama yang berasosiasi dengan prematuritas, infeksi dan faktor lingkungan (seperti
bola kampher untuk pakaian pada bayi) dan juga risiko NNJ berat meningkat dengan adanya
mutasi monoalel atau bialel pada gen uridyl transferase. Jika tidak ditangani dengan dengan baik,
NNJ yang disertai defisiensi G6PD dapat mengakibatkan kern ikterus dan menyebapkan
kerusakan neurologis permanen.8

Anemia hemolitik akut(AHA) dapat timbul karena tiga pencetus yang pertama adalah
kacang koro (zat oksidan vicine, divicine, convicine dan isouramil), infeksi dan obat-obatan.
Secara khas, serangan anemia hemolitik dimulai dengan malaise, kelemahan dan sakit pada perut
atau lumbal. Setelah interval beberapa jam hingga 2-3 hari, timbul jaundice dan kadang urin
menjadi gelap karena hemoglobinuria. Onset dapat terjadi secara tiba-tiba , terutama favism pada
anak-anak. Anemia yang timbul beragam dari sedang hingga sangat berat.Pada pemeriksaan
didapatkan sel darah merah dengan normositik dan normokromik, hal ini disebapkan karena
hemolisis intravascular yang sebagian. Oleh karena itu, anemia ini disertai hemoglobinemia,
hemoglobinuria, kadar LDH yang tinggi dan kadar yang rendah atau tidak ada haptoglobin
plasma. Pada film darah menunjukan anisocytosis, polychromasia dan spherosit.Ciri khas
ditemukannya poikilosit, sel darah merah dengan persebaran hemoglobin yang tidak merata dan
sel darah merah yang tampak bagiannya tergigit. Tes klasik yang sekarang jarang dipakai,
pewarnaan supravital dengan metal violet yang apabila dilakukan dengan benar dapat
menunjukan Heinz bodies, yang terdiri dari denaturasi hemoglobin presipitat dan diaggap

11
merupakan tanda kerusakan oksidatif sel darah merah. LDH dan bilirubin yang tidak
terkonjunggasi, menandakan adanya ekstravaskular hemolisis.Ancaman yang paling serius dari
AHA pada orang dewasa adalah terjdinya gagal ginjal akut. Setelah ancaman anemia akut
berakhir dan tidak ditemukan komorbiditas, maka pasien AHA dengan defisiensi G6PD dapat
pulih total.5,8

Patofisiologi

Enzim G6PD merupakan bagian dari pentose monophospate shunt. Enzim ini
mengkatalase oksidasi dari glukosa 6 fosfat dan mereduksi NADP+ menjadi NADPH. NADPH
mempertahankan glutation dalam keadaan bentuk tereduksi, yang bertugas sebagai scavenger
hasil metabolit oksidatif yang berbahaya.5

Pentose monophospate shunt merupakan satu-satunya sumber NADPH di sel darah


merah. Karena itu sel darah merah bergantung pada aktivitas G6PD untuk menghasilkan
NADPH untuk perlindungan. Selain itu, sel darah merah lebih rentan terhadap stress oksidatif
daripada sel lain. Pada orang dengan defisiensi G6PD, stress oksidatif dapat mendenaturasi
hemoglobin dan menyebabkan hemolisis intrabaskular. Hemoglobin yang denaturasi dapat
dilihat sebagai Heinz bodies di sediaan hapus darah tepi dengan pewarnaan supravital.8

Gen G6PD merupakan gen x-linked resesif dan mempunyai arti penting. Pertama, laki-
laki hanya memiliki satu gen G6PD, sehingga laki-laki pasti memiliki gen G6PD yang normal
atau defisien. Lain halnya dengan perempuan yang memiliki 2 gen G6PD, yang bisa normal atau
defisien (homozigot) atau intermediet (heterozigot). Sebagai hasil dari kejadian inaktivasi
kromosom x, wanita heterozigot memiliki gen mozaik.5,8

12
Obat Risiko Terjadi Besar Risiko mungkin Masih diragukan
Antimalarials Primaquine Chloroquine Quinine
*
Dapsone/chlorproguanil

Sulphonamides/sulphones Sulfamethoxazole Sulfasalazine Sulfisoxazole


Others Sulfadimidine Sulfadiazine
Dapsone
Antibacterial/antibiotics Cotrimoxazole Ciprofloxacin Chloramphenicol
Nalidixic acid Norfloxacin p-Aminosalicylic
acid
Nitrofurantoin
Niridazole
Antipyretic/analgesics Acetanilide Acetylsalicylic acid Acetylsalicylic acid
high dose (>3 g/d) (<3 g/d)
Phenazopyridine Acetaminophen
Phenacetin
Other Naphthalene Vitamin K analogues Doxorubicin
Methylene blue Ascorbic acid >1 g Probenecid
Rasburicase
Tabel 1. Obat yang dapat mencetuskan AHA pada defeisiensi G6PD8

Tatalaksana

Terapi untuk pasien dengan defisiensi G6PD meliputi pencegahan manifestasi umum dari
anemia hemolitik dan neonatal jaundice.Kebanyakan episode hemolitik, terutama pada individu
dengan G6PD-a- self limited. Pasien dengan tipe berat seperti G6PD-mediteranian, harus lebih
berhati-hati dan bila diperlukan dapat diberikan transfuse darah. Karena hiperbilirubinemia pada
neonatus tidak dapat dicegah, maka harus dilakukan pencarian pada populasi yang beresiko
tinggi dan dirawat segera mungkin. Pencegahan dari anemia hemolitik akut sulit, karena adanya
banyak pencetusnya, akan tetapi pada beberapa kasus AHA dapat dicegah seperti menghindari
memakan kacang fava di keluarga yang memiliki riwayat sensitivitas terhadap kacang ini.9

Favism adalah penyakit yang cukup berbahaya dan fatal sebelum adanya layanan
transfuse darah. Pencegahan penyakit yang disebapkan induksi oleh obat dapat dicegah dengan
menggunakan obat alternative yang mungkin.Pada beberapa kasus dimana obat yang dapat

13
menginduksi harus dipakai, pengcualian pada tipe G6PD-A-, dosis dapat diturunkan untuk
mengurangi hemolisis hingga batas paling aman.Hemolisis diinduksi oleh infeksi sulit untuk
dicegah tetapi dapat dideteksi lebih awal pada saat episode penyakit dan ditangani bila
diperlukan.9

Ikterus neonatorum akibat defi siensi G6PD diterapi seperti ikterus neonatorum kausa
lain. Jika kadar bilirubin tidak terkonjugasi melebihi 150 nmol/L diberi fototerapi untuk
mencegah kerusakan saraf. Jika kadarnya >300 nmol/L, transfusi darah mungkin diperlukan.
Pasien anemia hemolitik nonsferosis kongenital terkadang mengalami anemia terkompensasi
yang tidak memerlukan transfusi darah kecuali jika ada eksaserbasi akibat stres oksidatif yang
dapat memperburuk anemianya.Pasien anemia hemolitik non-sferosis kongenital biasanya
mengalami splenomegali tetapi tindakan splenektomi jarang memberi keuntungan.Batu empedu
juga merupakan komplikasi akibat hemolisis karena defisiensi G6PD.9

Prognosis
Defisiensi G6PD tampaknya tidak mempengaruhi angka harapan hidup, kualitas hidup
atau aktivitas individu. Sebagian besar individu dengan defisiensi G6PD tidak memerlukan
pengobatan.

Komplikasi
Karena gejala klinis dari defisiensi G6PD adalah hemaglobinuria maka hati-hati akan
terjadinya gagal ginjal akut.
Dapat terjadi kernikterus yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek
pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus
merah, dan nukleus di dasar ventrikel IV karena kurangnya albumin.Gejala klinis pada
permulaanya tidak jelas tapi dapat disebutkan ialah mata yang berputar, letargi, kejang, tak mau
menghisap, tonus otot meninggi, leher kaku, dan akhirnya opistotonus.

14
Kesimpulan

Defisiensi G6PD merupakan kelainan X-lingked yang resesif. Hal ini menyebabkan
berkurangnya produksi dari enzim G6PD yang berfungsi sebagai penghasil NADPH di dalam sel
darah merah untuk mencegah kerusakan sel darah merah dari oksidan. Kekurang dari enzim ini
dapat tidak bergejala hingga anemia hemolitik akut (AHA) dan pada bayi dapat timbul kern
ikterus tergantung dari varian. Apabila menderita gangguan ini penting untuk mengetahui
pencetus yang dapat menyebapkan AHA seperti fava bean, obat-obatan, infeksi dan bahan kimia
seperti kapur barus.

Daftar Pustaka

1. Cappellini MD, Fiorelli G. Glucose-6-phosphate dehydrogenase defi ciency. Lancet.


2008;371:64-74.
2. Farhud DD, Yazdanpanah L. Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) defi ciency.
Iranian J Publ Health. 2008;37(4):1-18.
3. Beutler E. Glucose-6-phosphate dehydrogenase defi ciency: A historical perspective.
Blood. 2008;111:16-24.
4. Kurniawan LB. Skrining, diagnosis dan aspek klinis defisiensi glukosa 6 fosfat
dehidrogenase. CDK-222. Vol 41 no 11.2014.
5. Rodak BF, Fritsma GA, Keohane EM. Hematology: clinical principle and applications.
Missouri: Elsevier sauders.2012.h.328-31.
6. Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Drug induced hemolytic anemia.
WilliamsManual of Hematology. 6thEdition. McGraw Hill; 2003.p.137-42.
7. Thomas AT. Hereditary Spherocytes. In Lee GR, Foerster J, Lukens J. Wintrobes
Clinical Hematology. 10thEdition.Williams Lipppincott &Wilkins; 2002.p.1233-1255.
8. Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. Harrisons principles of internal
medicine. 18th edition. USA: McGraw-Hill Companies.2012.
9. Gregg XT, Prchal JT. Red blood cell enzymopathies. In: Hoffman R, Benz Jr. EJ,
Shattil SJ, et al., eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed.
Philadelphia, PA: Churchill Livingston; 2008:chap 45.

15

Anda mungkin juga menyukai