Anda di halaman 1dari 43

Skenario 3

Medical check up

Seorang laki-laki berusia 48 tahun datang ke dokter untuk medical check up . dari anamnesis
selama ini yang bersangkutan hamper tidak mempunyai keluhan selain merasa lemas dan selalu
mengantuk . pasien merupakan pegawai kantoran yang sangat sibuk . tidak ada riwayat
merokok dan jarang olahraga. Ayah pasien meninggal diusia 50 tahun karena serangan jantung.
Pemeriksaan fisik berat badan 90 kg, tinggi badan 165cm , lingkar perut 109 cm, tekanan darah
130/85 mmHg, lain dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium di dapatkan hasil GDP 139
mg/dL, kolesterol total 280 mg/dL, LDL 180 mg/dL, trigliserida 230 mg/dL , HDL 35 mg/dL.
Dokter memberikan edukasi tentang pola hidup sehat serta memberika terapi pada pasien.

STEP 1

1. LDL ( low density lipoprotein) : golongan lipoprotein yang berfungsi mengangkut


kolesterol dan lemak lainnya dari tubuh.
2. HDL ( high dencity lipoprotein) : membawa kelebihan lemak ke liver. Normalnya >40,
<60 mg/dL
3. Trigliserida : lemak yang ada di pembuluh darah.
4. Kolesterol: lemak yang berguna bagi tubuh tetap jika jumlahnya berlebihan akan
berbahaya bagi tubuh.

STEP 2

1. Mengapa pasien selalu merasa lemas dan sering mengantuk ?


2. Bagaimana factor risiko pada pasien?
3. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang di
dapat ?
4. Apa edukasi dan terapi yang di berikan oleh dokter ?

STEP 3

1. Karena kelebihan input  protein  sekresi lambat


Vasokonstriksi pembuluh darah  karena gumpalan kolesterol  gangguan kapiler 
penurunan sirkulasi ke jaringan
Rangsangan insulim  peningkatan lipolysis  peningkatan asam lemak 
peningkatan VLDL  penurunan HDL, peningkatan LDL dislipidemia

1
Glukosa dan asam lemak meningkat  meningkatkan resistensi insulin 
hyperinsulinemia  peningkatan reabsorpsi Na2+  resistensi tubulus ginjal 
peningkatan stimuli saraf simpatis  fungsi jantung meningkat .
2. Usia  makin tua  penurunan fungsi organ
Ketidak seimbangan antara LDL dan HDL
Hiperlipidemia
Obesitas
Riwayat penyakit keluarga
3. – GDP : adanya peningkatan , normalnya 126 mg/dL
- Kolesterol : adanya peningkatan , normalnya 200-239 mg/dL
- LDL : adanya peningkatan , normalnya < 100 mg/dL
- Trigliserida : adanya peningkatan, normalnya < 100 mg/dL
- HDL : adanya peurunan, normalnya 40 mg/dL

Kriteria

- Resistensi insulin
- DM tipe 2
- Lingkar perut : perempuan ( >80 cm), laki-laki ( > 90 cm)
- Lipid > 150 mg/dL
- Tekanan darah : WHO ( 140/90 mmHg), ATP III ( 130/85 mmHg)
- Menurut JNC 8 : pre hipertensi
4. Edukasi
- Diet lemak tak jenuh
- Peningkatan aktivitas fisik
- Penurunan berat badan
- Kurangi merokok

Farmakologi

- Simustatin
- Levostatin
- B3
- Kalsipot
-

2
STEP 4

1. Kolesterol di serap diusus halus

Peningkatan lipid

Trigliserida kolesterol asam lemak

Kolesterol ester

Lipoprotein

Masuk ke limfe dan hepar

Masuk ke ductus thoracicus fatty liver

Aliran darah

Terjadi resistensi insulin

Peningkatan lipolysis

Peningkatan produksi asam lemak

Asam lemak mengganggu penyerapan glukosa oleh insulin

Terakumulasi pada otot rangka dan jantung


1. Factor risiko
- jenis kelamin :

laki-laki : adanya hormone testosterone yang mengikat aterosklerosis

perempuan : pada saat menopause baru membuat ateroskerosis karena hormone


estrogen menurun

3
- genetic
- obat DM
2. Kriteria diagnosis sindrom metabolik
a. Menurut WHO 1999
Factor risiko Nilai batas
Hiper insulinemia >=100 mg/dL
Tekanan darah >160/90 mmHg
HDL laki-laki <35 mg/dL
HDL perempuan < 39 mg/dL
Trigliserida >=150mg/dL
Lingkar perut pria >0,90 m
Lingkar perut wanita >0,85 m
Ratio albumin kreatinin >30 mg/gr
b. Menurut ATP III
FAKTOR RISIKO NCEP ATP III NCEP ATP III (
modifikasi)
Obesitas pria >102 >90
Obesitas wanita >80 >=80
hipertrigliserida >150 >150
HDL pria <40 <10
HDL wanita <50 <50
Hipertensi >=130/85 >130/85
GDP >=100 >=100

3. EDUKASI
- Olahraga
- Kurangi konsumsi lemak jenuh

4
MIND MAP

DISLIPIDEMIA

PENEGAKAN
ETIOLOGI FAKTOR RISIKO PATOFISIOLOGI PENATALAKSANAAN
DIAGNOSIS

PEMERIKSAAN
KRITERIA DIAGNOSIS FARMAKOLOGI NON FARMAKOLOGI
PENUNJANG

STEP 5

1. Bagaimana hubungan factor risiko , etiologic serta komplikasi pada patofisiologi


sindrom metabolic ?
2. Bagaimana penegakan diagnosis dari sindrom metabolic ?
3. Bagaimana tatalaksana dan mekanisme kerja obat dari sindrom metabolisme ?

STEP 6

BELAJAR MANDIRI

STEP 7

5
1. Bagaimana hubungan factor risiko , etiologic serta komplikasi pada patofisiologi sindrom
metabolic ?

Etiologi Sindrom metabolic

1. Obesitas Sentral
Obesitas didefinisikan sebagai kandungan lemak berlebih pada jaringan adiposa.
Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak
yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu
kesehatan. Obesitas terjadi jika dalam suatu periode waktu, lebih banyak kilokalori yang
masuk melalui makanan daripada yang digunakan untuk menunjang kebutuhan energi
tubuh, dengan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai trigliserida di jaringan lemak.1
Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran kalori dari tubuh
serta penurunan aktifitas fisik (sedentary life style) yang menyebabkan penumpukan lemak
di sejumlah bagian tubuh. Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa pengontrolan
nafsu makan dan tingkat kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neural dan
humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik, nutrisi,lingkungan, dan sinyal
psikologis.Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses
fisiologis, yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran
energi dan regulasi sekresi hormon.1
Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal
eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer
(jaringan adiposa, usus dan jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik
(meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat
katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan
waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida
gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam
peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat derived hormon leptin dan
insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi. Apabila asupan energi
melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan
peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Kemudian, leptin merangsang
anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptida Y (NPY)
sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi
lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan

6
pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada
sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin
tidak menyebabkan penurunan nafsu makan.1
2. Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan
atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah
kenaikan kadar kolesterol total, Low Density Lipoprotein (LDL), dan trigliserida serta
penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Dislipidemia dapat diklasifikasikan
menjadi dua berdasarkan proses terjadinya penyakit, yaitu dislipidemia primer dan
dislipidemia sekunder. Kelainan genetik dan bawaan merupakan faktor resiko dari
dislipidemia primer. Dislipidemia yang menyertai beberapa penyakit seperti diabetes
melitus, hipotiroidisme, sindrom nefrotik, dan gagal ginjal kronik disebut sebagai
dislipidemia sekunder.1
 Dislipidemia Primer
Dislipidemia primer yaitu dislipidemia yang disebabkan karena kelainan penyakit
genetik dan bawaan yang dapat menyebabkan kelainan kadar lipid dalam darah.
Dislipidemia primer yang berhubungan dengan obesitas ditandai dengan peningkatan
trigliserida, penurunan kadar HDL, LDL, dan komposisi abnormal.2
 Dislipidemia Sekunder
Dislipidemia Sekunder yaitu dislipidemia yang disebabkan oleh suatu keadaan seperti
hiperkolesterolemia yang diakibatkan oleh hipotiroidisme, syndrome nefrotik, kehamilan,
anoreksia nervosa, dan penyakit hati obstruktif. Hipertrigliserida disebabkan oleh diabtes
mellitus, konsumsi alkohol, gagal ginjal kronik, miokard infark, dan kehamilan. Selain itu
dislipidemia dapat disebabkan oleh gagal ginjal akut, dan penyakit hati.
Dislipidemia merupakan faktor resiko terbesar terjadinya aterosklerosis.
Hiperkolesterolemia yang merupakan bagian dari dislipidemia diyakini dapat mengganggu
fungsi endotel dengan meningkatkan produksi radikal bebas oksigen. Radikal ini
menonaktifkan oksida nitrat, yaitu faktor endothelial relaxing utama. Apabila terjadi
hiperkolesterolemia kronis, lipoprotein tertimbun dalam lapisan intima di tempat
meningkatnya permeabilitas endotel.2
Pemajanan terhadap radikal bebas dalam sel endotel dinding arteri menyebabkan
terjadinya oksidasi LDL, yang berperan dan mempercepat timbulnya plak ateroma.
Oksidasi LDL diperkuat dengan rendahnya kadar HDL, diabetes melitus, defisiensi
estrogen, hipertensi, dan adanya derivat rokok. Hiperkolesterolemia memicu adhesi

7
monosit, migrasi sel otot polos subendotel, dan penimbunan lipid dalam makrofag dan sel-
sel otot polos. Apabila terpajan LDL yang teroksidasi, makrofag menjadi sel busa, yang
beragregasi dalam lapisan intima, yang terlihat secara makroskopis sebagai bercak lemak.
Akhirnya, deposisi lipid dan jaringan ikat mengubah bercak lemak ini menjadi ateroma
lemak fibrosa matur. Ruptur menyebabkan inti bagian dalam plak terpajan dengan LDL
yang teroksidasi dan meningkatnya perlekatan elemen sel, termasuk trombosit. Lalu
deposisi lemak dan jaringan ikat mengubah plak fibrosa menjadi ateroma, yang dapat
mengalami perdarahan, ulserasi, kalsifikasi , atau trombosis.2
3. Resistensi insulin
Resistensi insulin adalah suatu keadaan terjadinya gangguan respon metabolik terhadap
kerja insulin, akibatnya untuk kadar glukosa plasma tertentu dibutuhkan kadar insulin yang
lebih banyak dari normal untuk mempertahankan keadaan normoglikemik (euglikemik).
Daerah utama terjadinya resistensi insulin adalah postreseptor sel target dijaringan otot
rangka dan sel hati. Kerusakan reseptor ini menyebabkan kompensasi peningkatan sekresi
insulin oleh sel beta, sehingga terjadi hiperinsulinemia pada keadaan puasa maupun
postprandial. Pada resistensi insulin terjadi kerusakan pensinyalan pada Insulin reseptor
substrate (IRS) maupun Phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K) yang menyebabkan
gagalnya translokasi suatu molekul transmembran GLUT-4 ke membran sel sehingga
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan digunakan oleh sel tersebut sebagai sumber
energi. Glukosa yang tidak terpakai ini akan menyebabkan kadar glukosa darah meningkat
yang secara klinis akan memberikan gambaran hiperglikemia. Peran gen apabila terjadi
resistensi insulin pada sindroma metabolik ini ditemukan adanya mutasi pada kedua alel
reseptor insulin , namun kasus ini jarang terjadi. Beberapa data menunjukkan gangguan
aktivitas insulin akibat mutasi IRS-1 dan 2.2
Resistensi insulin banyak dipercayai sebagai denominator utama terjadinya sindroma
metabolik, tiap penderita beresiko berkembang penyakit kardiovaskuler dan komponen
sindroma metabolik lainnya (seperti hiperlipidemia, hipertensi, dan hiperglikemia).
Penyebab utama terjadinya resistensi insulin adalah obesitas, terutama lemak
visceral. Obesitas disebabkan karena intake kalori yang berlebihan dan aktivitas
inadequate dibandingkan penggunaannya.Penelitian menunjukan obesitas ditemukan
peningkatan asam lemak bebas di dalam plasma akan menganggu sinyal kaskade insulin
melalui peningkatan fosforilasi serin/treonin (IRS) 1 dan 2. Apabila terjadi peningkatan
fosforilasi serin/treonin pada reseptor maka terjadi penurunan fosforilasi tirosin.
Penurunan fosforilasi tirosin akan menganggu kerja IRS 1 dan 2. Penurunan fosforilasi

8
tirosin akan menganggu akan menganggu kerja IRS 1 dan 2. untuk berikatan dengan PI3K,
sehingga terjadi hambatan pengambilan glukosa ke dalam sel oleh GLUT-4. Mekanisme
terjadinya resistensi insulin dapat diterangkan oleh beberapa jalur. Yang pertama adalah
induksi resistensi insulin karena faktor inflamasi. Hubungan antara inflamasi dan resistensi
insulin dimana sitokin proinflamatorik TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α) dapat
menginduksi resistensi insulin. Akumulasi jaringan lemak pada obesitas akan meningkatan
produksi berbagai macam sitokin seperti TNF-α, IL-6 (Interleukin-6), resisten, leptin,
adiponectin, MCP-1 (Monocyte Chemoattractant Protein-1), PAI-1 (Plasminogen
Activator Inhibitor-1), dan angiotensinogen yang bertanggungjawab pada kondisi
inflamatorik subakut pada obesitas. Ketika intake kalori berlebihan dibandingkan
pengeluaran energi, hal ini dapat menginduksi meningkatnya mitokondria NADH
(mNADH) dan reactive oxygen species (ROS) pada siklus asam sitrat. Jika ROS
diproduksi terlalu berlebihan akan menurunkan aktivitas sel β pankreas, dan sel yang
lainnya ,pada saat yang bersamaan hiperglikemia akan menginduksi signal ROS yang akan
menstimulasi sekresi insulin atau glucosa induced insulin secretion (GIIS). 2
Faktor resiko Sindrom metabolic
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap terjadinya sindrom metabolik.
Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor
yang tidak dapat dimodifikasi. Untuk faktor yang tidak dapat dimodifikasi yaitu umur,
jenis kelamin, genetik, sedangkan ukuran lingkar pinggang, aktivitas fisik, diet, kebiasaan
merokok, sosial ekonomi merupakan faktor yang dapat dimodifikasi2.
a. Umur
Seiring dengan peningkatan umur, prevalensi sindrom metabolik semakin
meningkat. Usia lanjut dianjurkan untuk mengkonsumsi karbohidrat kurang dari 60% dari
total energi sebab peningkatan konsumsi karbohidrat akan meningkatkan resistensi insulin
terutama dalam populasi usia lanjut.2
b. Genetik
Besarnya pengaruh genetik bervariasi dari 5% – 70%. Pada beberapa orang faktor
genetik merupakan penentu utama. Kemungkinan seorang anak obesitas 40% bila salah
seorang dari orangtuanya obesitas dan sebesar 80% jika kedua orang tuanya obesitas serta
7% jika kedua orangtuanya tidak obesitas.2

9
c. Jenis Kelamin
Pengaruh jenis kelamin terhadap prevalensi sindrom metabolik hampir
sama antara pria dan wanita. Namun prevalensi untuk pria lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita. Hal tersebut disebabkan pria mempunyai lingkar pinggang yang lebih
besar dibandingkan wanita yang merupakan salah satu tanda adanya obesitas sentral.2
d. Lingkar Pinggang
Seseorang yang mempunyai lingkar pingang yang besar mempunyai total lemak tubuh
yang tinggi serta pengukuran lingkar pinggang diakui sebagai pengukuran yang baik untuk
mengetahui lemak perut. Pengaruh lingkar pinggang terhadap sindrom metabolik
berkaitan dengan keadaan obesitas sentral yang meningkatkan risiko sindrom
metabolik.28 Sehingga Pengukuran lingkar pinggang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sindrom metabolik.Pada pria ukuran lingkar pinggang ≥90 cm dan wanita
≥80 cm berisiko terhadap sindrom metabolik.3
e. Asupan Gizi
Konsumsi tinggi karbohidrat >60 % dari total kalori yang dikonsumsi meningkatkan
risiko sindrom metabolik. Konsumsi tinggi karbohidrat meningkatkan kadar trigliserida
yang merupakan salah satu kriteria sindrom metabolik. Hasil penelitian diperoleh bahwa
konsumsi sayur yang tinggi dihubungkan dengan rendahnya risiko kejadian sindrom
metabolik. Tidak ada hubungan signifikan antara konsumsi buah dengan rendahnya kadar
kolesterol HDL.3
f. Aktivitas fisik
Pada wanita, penurunan aktifitas fisik meningkatkan risiko 2 kali lipat sindrom
metabolik.31 Aktivitas fisik merupakan faktor yang menentukan perkembangan sindrom
metabolik sebab mempengaruhi obesitas dan distribusi lemak serta proses inflamasi yang
berhubungan dengan risiko penyakit kardiovascular pada usia lanjut.Aktivitas fisik tingkat
moderat dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien hipertensi esensial
ringan hingga sedang. Penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara
aktivitas fisik dan peningkatan kadar HDL. Selain itu aktivitas fisik juga berperan pada
peningkatan sensitivitas reseptor insulin sehingga mencegah resistensi insulin. 3
g. Merokok
Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalence Study
menunjukkan bahwa mereka yang merokok 20 batang atau lebih perhari mengalami
penurunan HDL sekitar 11% untuk laki-laki dan 14 % untuk perempuan, dibandingkan
dengan mereka yang tidak merokok.. Orang yang merokok 20 batang atau lebih perhari

10
dapat meningkatkan efek dua faktor utama risiko yaitu hipertensi dan hiperkolesterol.
Risiko kejadian penyakit kardiovaskuler secara signifikan 3 kali lebih besar pada orang
yang merokok dibandingkan dengan orang yang tidak merokok, dan juga 3 kali lebih besar
pada orang yang merokok kretek.Aktivitas fisik dapat meningkatkan metabolic rate
sehingga dapat membantu mengontrol berat badan namun, perokok cenderung untuk
kurang beraktivitas dibanding yang tidak merokok.3
A. PATOFSIOLOGI
a. Patofisiologi dislipidemia
Faktor resiko terjadinya dislipidemia termasuk diantaranya adalah diet, stress, tidak
aktif secara fisik dan merokok. Dislipidemia dapat bersifat primer atau genetik dan bersifat
sekunder yang merupakan pengaruh dari suatu kondisi tertentu atau pengaruh dari
penggunaan suatu obat yang dapat meningkatkan kadar lipid plasma .Gangguan
abnormalitas lipid apabila tidak terkontrol dapat menyebabkan mortalitas pada pasien,
dimana mortalitas tertinggi muncul dari penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular.3
Hipotesis “response-to-injury” menyatakan bahwa faktor resiko seperti LDL
teroksidasi, cedera mekanik pada endotelium, homosistein yang berlebih, serangan
imunologik dan induksi infeksi dapat menyebabkan perubahan endotelial dan fungsi
intimal, menyebabkan disfungsi endotelial dan serangkaian interaksi seluler yang berujung
pada atherosklerosis.3

11
Gambar 1.1 Plak aterosklerosis.3

Lesi atherosklerosis diperkirakan muncul dari transport dan retensi dari LDL-C
plasma melalui lapisan sel endotelial menuju matriks ekstraselular pada ruang
subendothelial. Sekali berada pada dinding arteri, LDL akan termodifikasi secara kimia
melalui oksidasi dan glikasi nonenzimatik. LDL teroksidasi akan menyebabkan
penarikan monosit ke dinding arteri, dimana monosit akan berubah menjadi makrofag.3

Makrofag memiliki potensi untuk mempercepat oksidasi LDL dan akumulasi ApoB
dan merubah uptake LDL yang dimediasi reseptor pada dinding arteri dari yang mula-
mula reseptor LDL biasa menjadi “reseptor scavenger” yang tidak bergantung pada
kadar kolesterol dalam sel. LDL teroksidasi akan meningkatkan level inhibitor
plasminogen (promosi koagulasi), menginduksi ekspresi endotelin (substansi
vasokontriksi), menghambat ekspresi nitrit okside (vasodilator dan inhibitor platelet) dan
bersifat toksik bagi makrofag bila sangat teroksidasi. LDL teroksidasi akan
memprovokasi respon inflamasi yang dimediasi oleh berbagai kemoatraktan dan sitokin,
yang mana kemudian dapat menyebabkan akumulasi masif dari kolesterol. Sel yang sarat
kolesterol disebut sel busa (foam cells) yang merupakan komponen yang menyebabkan
endapan lemak pada dinding arteri. Abnormalitas yang muncul pada sistem vaskular
akibat adanya atherosklerosis antara lain adalah penyakit jantung iskemik.3

12
Gangguan metabolisme lipoprotein

Diantara gangguan metabolisme lemak selain lipiodosis terutama teradapat penyakit


terutama abnormal konsentrasi liporpotein didalam serum dan transpor lemak didalam
darah. Lemak ditranspor ditranspor didalam darah dalam bentuk kompleks olekul
globular (mikroemulsi), yakni lipoprotein (LPs). Permukaan lipoprotein terutama terdiri
dari lemak amifilik (fosfolipid dan kolesterol non-emulsifikasi), sementara intinya
mengandung lemak non polar (hidropilik), yakni trigliserida dan ester kolesterol (Chol-
E), yang merupakan bentuk transpor dan penyimpanan kolesterol. LPs juga mengandung
apolipoprotein tertentu. LPs terdapat dalam berbagai ukuran, densitas, komposisi lemak,
dan tempat asal. Apolipoprotein berfungsi sebagai elemen penyusun lp (misal, apoB dan
apoE) untuk transpor LP dimembran sel target LP, dan sebagai aktivator enzim ( misal,
apo AI, Apo CII).3

Kilomikron mentranspor lemak dari usus (melalui saluran limfe usus) ke perifer
(otot lurik, jaringan lemak), sementara ApoCIInya mengaktifkan lipoprotein lipase
endotel (LPL). Jadi asam lemak bebas (FFA) dipecahkan, kemudian diambil oleh sel otot
dan jaringan lemak.Dihati sisa kilomikron berikatan dengan reseptor (protein yang terikat
reseptor LDL) melalui ApoE kemudian diendositosis, dan dengan cara ini
mengahantarkan TG serta kolesterol dan ester kolesterolnya. Penghantaran ini
serta sintesis TG dan kolesterol yang baru kemudian dikeluarkan oleh hati dalam bentuk
densitao LP sangat rendah (very low density LP/VLDL) ke perifer, yakni VLDL
mengaktifkan LPL dengan ApoCII-nya, serta menimbulkan pelepasan lemak.ApoCII
menghilang pada proses ini dan ApoE menjadi terpajan, proses ini meninggalkan sisa
VLDL atau densitas intermediate (Intermediate density LP/IDL), dan setengahnya akan
kembali kehati (sebagian besar berikatan dengan ApoE ke reseptor IDL).3

IDL dipenuhi dengan lemak dari hati, dan akan meninggalkan hati sebagai VLDL.
Separuh IDL lainnya akan ditansformasikan (dengan kehilangan ApoE dan terpajannya
ApoB). Pada saat kontak dengan lipase hepatik menjadi LP densitas rendah (LDL). Dua
pertiga dari LDL akan menghantarkan kolesterol dan Chol-E kedalam hati, sebagiannya
dihantarkan ke jaringan ekstrahepatik. Kedua proses ini membutuhkan peningkatan
ApoB ke reseptor LDL. Dengan berikatan ke resptor, diperantarai oleh klatrin di daerah
lekukan kecil dalam pembentukan sel, LDL mengalami enositosis dengan reseotor LDL
kembali bersirkulasi ke membran sel. Setelah penyatuan endosom dengan lisosom,

13
apolipoprotein akan dicerna dan Chol-E dipecah sehingga kolesterol bebas mencapai
sitosol. Akibat peningkatan konsentrasi kolesterol inta sel ini :

1) Enzim kunci untuk sintesis kolesterol dihambat (3-HMG-KoA reduktase).


2) Kolesterol kembali diesterifikasi kebentuk penyimanannya.
3) Sintesis reseptor LDL dihambat.3

LP densitas tinggi (HDL) menukar apoliporotein tertentu dengan kilomikron dan


VLDL, serta mengambil kelebihan kolesterol dan sel ekstrahepatik dan darah. Melalui
ApoA1-nya, HDL mengaktifkan enzim plasma lesitin kolesterol asetiltransferase (LCAT)
yang sebagian mengesterifikasi kolesterol dan menghantarkan kolesterol dan Chol-E ke
hati, dan kelenjar yang menghasilkan hormon steroid (ovarium, testis, adrenal ) yang
memiliki reseptor HDL.3

Peningkatan lemak didalam darah dapat memengaruhi kolesterol trigliserida dalam


darah atau keduanya (hiperkolesterolemis, hipertrigliseridemia, hiperlipidemia
kombinasi). Saat ini hiperlipoproteinemia mencakup semua. Pada sebagian pasien
hiperkolesterolemia (lebih dari 200 – 220 mg/dl serum) terdapat peningkatan prevalensi
familial terhadap keadaan ini, namun penyebabnya masih belum diketahui
(hiperkolesterolemia poliogenik). Namun, kelebihan berat badan dan pola makan
memainkan peran penting. Kolesterol LDL dapat diturunkan dengan pemilihan makanan
yang menganduk lemak nabati ( lemak tidak jenuh). Sebaliknya, lemak hewani (jenuh)
meningkatkan sintesis kolesterol dihati dan menurunkan densitas reseptor LDL sehingga
konsentrasi LDL yang kolesterol di dalam serum meningkat (Kolesterol LDL >135
mg/dL). Akibatnya, terjadi peningkatan pengikatan LDL terhadap reseptor scavenger yang
memperantai pengumpulan kolesterol di makrofag, kulot, dan dinding pembuluh darah.
Jadi hiperkolesterolemia merupakan faktor resiko untuk aterosklerosis dan penyakit
jantung koroner.3

14
15
Gambar 1.2 Patofisiologi Dislipidemia.3

16
b. Patofisiologi Obesitas Sentral
Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan
lemak. Jaringan lemak sendiri adalah tempat penyimpanan energi paling besar pada
manusia. Jaringan lemak berfungsi untuk menyimpan energi dalam bentuk trigliserida
melalui proses lipogenesis saat tubuh kelebihan energi, dan memobilisasi energi melalui
proses lipolisis saat tubuh kekurangan energi. Pada obesitas sentral, lemak berakumulasi
sebagai lemak viseral/intra-abdominal atau lemak subkutan abdomen. Obesitas tipe
android berisiko mengalami sindrom metabolik dan penyakit kardiovaskular, khususnya
jika terdapat lemak viseral yang berlebihan.4
Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan pada proses lipolisis dan lipogenesis.
Lipogenesis merupakan proses deposisi lemak yang meliputi proses sintesis asam lemak
dan sintesis trigliserida yang terjadi di hati dan jaringan adiposa. Energi yang berasal dari
lemak jika melebihi kebutuhan tubuh akan disimpan dalam jaringan lemak, begitu pula
energi yang berasal dari karbohidrat dan protein. Pada penderita obesitas, jumlah simpanan
lemak tubuhnya berlebihan. Hal ini ditandai dengan peningkatan ukuran (hipertrofi)
ataupun peningkatan jumlah (hiperseluler) sel adiposit.4
Adiposit sebelumnya dikenal hanya sebagai tempat penyimpanan trigliserida. Namun
penelitian menunjukkan bahwa adiposit mampu melakukan fungsi endokrin berupa sekresi
hormon. Adiposit dapat memproduksi beberapa peptida dan metabolit yang berpengaruh
pada pengontrolan berat badan. Beberapa produk yang dapat dihasilkan adiposit adalah
TNF-ɑ, IL-6, Adipocyte lipid-binding protein, leptin, dan lain-lain.4
Salah satu produk dari adiposit adalah leptin. Leptin merupakan hormon yang
berpengaruh pada proses lipogenesis. Leptin dapat membatasi penyimpanan lemak dengan
cara mengirim sinyal pada otak untuk mengurangi asupan. Pada sebagian besar penderita
obesitas, terjadi resistensi terhadap leptin sehingga tingginya kadar leptin tidak
menurunkan nafsu makan.4
Jenis makanan yang dikonsumsi juga berpengaruh besar dalam terjadinya obesitas.
Triasilgliserol yang terdapat dalam tubuh dihasilkan melalui 2 cara, yaitu konsumsi
langsung dari makanan berlemak dan konsumsi karbohidrat. Sintesis triasilgliserol dari
glukosa akan membutuhkan energi lebih banyak daripada jika triasilgliserol langsung
dikonsumsi dari makanan berlemak. Oleh karena itu, orang yang mengonsumsi makanan
berlemak secara berlebih akan lebih beresiko mengalami obesitas dibandingkan orang
yang mengonsumsi glukosa berlebih.4

17
Selain gangguan dalam pengaturan intake makanan, obesitas dapat juga disebabkan
oleh kegagalan pemanfaatan lipolisis atau tingginya sensitivitas insulin. Insulin merupakan
salah satu faktor hormon yang penting dalam mempengaruhi lipogenesis. Insulin
menstimulasi lipogenesis dengan cara meningkatkan pengambilan glukosa di jaringan
adiposa melalui transporter glukosa menuju membran plasma. Tingginya sensitivitas
insulin akan meningkatkan lipogenesis sehingga jumlah cadangan lemak tubuh akan
semakin banyak.4
Menurut Guyton & Hall bahwa obesitas dapat dipengaruhi oleh:
1) Faktor psikogenik
Biasanya seseorang diketahui mengalami kenaikan berat badan yang besar selama atau
setelah keadaan yang menekan. Dalam hal ini, makanan dijadikan alat pelepas
ketegangan.4
2) Kelainan neurogenik
Lesi pada nukleus ventromedialis hipotalamus menyebabkan manusia makan secara
berlebihan dan menjadi gemuk sehingga menyebabkan kelebihan produksi insulin, yang
selanjutnya meningkatkan penyimpanan lemak. Pada penderita tumor hipofisis yang
menekan hipotalamus menjadi gemuk secara bertahap, sehingga dapat dengan pasti
obesitas tersebut dihasilkan karena kerusakan hipotalamus.4
3) Faktor genetik
Kelainan genetik pada sifat kimiawi penyimpanan lemak diketahui menyebabkan obesitas
pada beberapa turunan tikus dan mencit.
4) Kelebihan nutrisi pada masa kanak-kanak.
5) Kegemukan Akibat Kortisol
Walaupun kortisol dapat menyebabkan timbulnya mobilisasi asam lemak secukupnya dari
jaringan lemak, banyak penderita yang kelebihan sekresi kortisol seringkali menderita
kegemukan yang khas, dengan penumpukan lemak yang berlebihan di daerah dada dan di
daerah kepalanya, sehingga badannya seperti sapi dan wajahnya bulat yang disebut 'moon
face'.4
c. Hipertensi pada sindrom metabolik.
Definisi sindrom metabolik pada dewasa telah disepakati, namun kontroversi mengenai
etiologi yang mendasari sindrom metabolik sampai saat ini masih tetap ada. Hipotesis
terbaik menyatakan bahwa obesitas dan resistensi insulin merupakan kunci terjadinya
sindrom metabolik.Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi
dengan luaran energi, yaitu asupan energi yang tinggi atau luaran energi yang rendah.

18
Asupan energi tinggi disebabkan konsumsi makanan yang berlebihan, sedangkan luaran
energi rendah disebabkan metabolisme tubuh yang rendah, aktivitas fisik, dan efek
termogenesis makanan. Kelebihan energi disimpan dalam bentuk jaringan lemak.4
Hubungan antara obesitas dan hipertensi telah lama diketahui dan telah banyak
dilaporkan oleh banyak peneliti, namun mekanisme terjadinya hipertensi akibat obesitas
hingga saat ini belum jelas.Sebagian besar peneliti menitikberatkan patofisiologi tersebut
pada tiga hal utama yaitu gangguan sistem autonom, resistensi insulin, serta abnormalitas
struktur dan fungsi pembuluh darah. Ketiga hal tersebut dapat saling mempengaruhi satu
dengan lainnya.4
Akhir-akhir ini diketahui bahwa peningkatan kejadian obesitas dan sindrom
metabolik terjadi akibat asupan total fruktosa meningkat. Fruktosa seperti gula lainnya
menyebabkan peningkatan kadar asam urat dengan cepat. Fruktosa adalah gula biasa yang
terdapat pada madu dan buah-buahan. Fruktosa sering ditambahkan pada minuman ringan,
kue, permen, dan yogurt. Pemberian fruktosa oral atau intravena dalam waktu 30-60 menit
dapat meningkatkan asam urat serum pada manusia dan hal ini dapat berkesinambungan.
Glukosa dan gula sederhana lainnya tidak mempunyai efek seperti ini. Di hati, fruktosa
akan diubah menjadi fruktosa-11 fosfat dan adenosin triphosphate (ATP) oleh enzim
fruktokinase, dan selanjutnya diubah menjadi adenosin diphosphate (ADP). Turunan ADP
dimetabolisme menjadi bermacam-macam subtrat purin. Pelepasan fosfat yang cepat
bersamaan dengan reaksi adenosin monophosphate (AMP) deaminase. Kombinasi
keduanya akan meningkatkan substrat melalui fruktosa oral, dan enzim (deaminase AMP)
merupakan regulasi produksi asam urat (Gambar 1). Asam urat yang tinggi dapat
mengakibatkan disfungsi endotel dan menurunkan bioavailabilitas nitric oxide (NO)
endotel. Gangguan nitric oxide memediasi terjadinya resistensi insulin dan hipertensi.4
Peran obesitas dan resistensi insulin pada sindrom metabolik telah banyak
dilaporkan. Obesitas sering berhubungan dengan hiperinsulinemia, khususnya tipe
android. Laki-laki obesitas cenderung mempunyai deposit lemak di daerah atas tubuh
khususnya pada tengkuk, leher, bahu, dan perut yang disebut obesitas tipe android. Pada
perempuan obesitas dijumpai deposit lemak dengan area yang sama dengan lakilaki
meskipun mereka juga mempunyai batas area segmen bawah seperti pada bokong dan
pinggul yang disebut obesitas tipe ginekoid. Pada obesitas tipe android (obesitas sentral),
lemak berakumulasi sebagai lemak viseral/intra-abdominal atau lemak subkutan abdomen.
Obesitas tipe android berisiko mengalami sindrom metabolik dan penyakit kardiovaskular,
khususnya jika terdapat lemak viseral yang berlebihan. Kadar adiponektin yang rendah,

19
adanya resistensi leptin, serta berbagai sitokin yang terlepas dari sel adiposa dan sel
inflamasi yang menginfiltrasi jaringan lemak (misalnya makrofag) menurunkan ambilan
asam lemak bebas oleh mitokondria pada beberapa jaringan, menurunkan oksidasi asam
lemak bebas, dan menyebabkan akumulasi asam lemak bebas intrasel. Kelebihan asam
lemak bebas intraselular dan metabolik (fatty acyl CoA, diacyglgycerol,dan ceramide)
dapat memicu terjadi resistensi insulin (bahkan hiperisulinemia dan hiperglikemia).4
Pada obesitas terjadi resistensi insulin dan gangguan fungsi endotel pembuluh
darah yang menyebabkan vasokonstriksi dan reabsorpsi natrium di ginjal yang
mengakibatkan hipertensi.Telah dibuktikan oleh penelitian yang menyatakan retensi
garam berhubungan dengan hiperinsulinemia pada obesitas yang menyebabkan hipertensi.
Demikian juga insulin dapat meningkatkan produksi norepinephrine plasma yang
bermakna yang dapat meningkatkan tekanan darah. Perbaikan tekanan darah dan respons
intoleransi glukosa dengan peningkatan aktivitas fisik pada obesitas juga berhubungan
dengan penurunan kadar insulin plasma. Resistensi insulin dapat meningkatkan tekanan
darah melalui penurunan nitric oxide yang menimbulkan vasodilatasi, peningkatan
sensitivitas garam, atau peningkatan volume plasma.4
Penelitian lain menunjukkan kecepatan natriuresis dan pengeluaran
antinatriuresis sesudah fast have dan memperlihatkan hubungan antara kadar insulin
serum dan eskresi garam. Retensi natrium menyebabkan hiperinsulinemia yang
indenpenden dari hipoglikemia, laju filtrasi glumerulus (LFG), aliran darah ginjal, atau
kadar aldosterol plasma. Hubungan antara resisten insulin dan tekanan darah pada anak
obesitas telah diteliti oleh Umboh.Sebagian besar anak obesitas menderita pre-hipertensi
dan terdapat korelasi linier yang lemah antara kadar insulin dan tekanan darah, serta
resistensi insulin mempengaruhi peningkatan tekanan darah sistolik pada anak obese. Pada
penelitian ini anak yang obesitas diambil dari anak yang BMI lebih dari persentil ke-95,
dan definisi sindrom metabolik tidak disebutkan walaupun beberapa kriteria sindrom
metabolik terdapat pada penelitian ini. Konsumsi makanan tinggi kalori akan
mengakibatkan sindrom metabolik dengan meningkatnya massa lemak di daerah abdomen
pada individu yang rentan. Masa lemak abdomen merupakan sumber asam lemak bebas
dalam sirkulasi. Penelitian dengan menggunakan model clamp euglycemic
hyperinsulinemia menunjukkan efek marker antinatriuretic pada insulin. Peningkatan
masa sel lemak menyebabkan peningkatan produksi angiotensinogen di jaringan lemak,
yang berperan penting dalam peningkatan tekanan darah. Sel lemak juga membuat enzim
konvertase angiotensin dan katepsin, yang memiliki efek lokal pada katabolisme dan

20
konversi angiotensin. Asam lemak dapat meningkatkan stres oksidatif pada sel endotel dan
proses ini diamplifikasi oleh angiotensin. Telah dibuktikan bahwa renin angiotensin
system (RAS) pada jaringan lemak terlibat dalam patofisiologi obesitas dan penyakit yang
berhubungan dengan obesitas, termasuk hipertensi dan resitensi insulin. Kadar RAS lokal
di dalam jaringan lemak berperan dalam meningkatkan aktivitas RAS sistemik, sehingga
menyebabkan kenaikan tekanan darah. Jumlah jaringan lemak pada individu dengan
obesitas menyebabkan peningkatan RAS dalam jaringan lemak. Selain itu, angiotensin II
(komponen utama RAS) dan angiotensinogen (prekursor angiotensin II) berperan dalam
pertumbuhan, diferensiasi dan metabolisme jaringan lemak, yang dalam jangka panjang
dapat mendorong penyimpanan trigliserida dalam hati, otot rangka, serta pankreas,
sehingga menyebabkan resistensi insulin. Pada obesitas, selain pertambahan masa lemak,
masa non-lemak juga meningkat, dan terjadi hipertrofi organ seperti jantung dan ginjal.
Pada ginjal terjadi glomerulomegali, vasodilatasi arteriol aferen, dan vasokonstriksi
arteriol eferen yang menyebabkan hipertensi intraglomerular. Hipertensi intraglomerular
merupakan awal terjadinya mikroalbuminuria dan proteinuria yang selanjutnya melalui
berbagai mekanisme selular akan menyebabkan glomerulosklerosis dan fibrosis
tubulointertisial pada obesitas. Peningkatan asupan lemak akan mengubah reabsorpsi
natrium di ginjal. Pada penelitian diketahui bahwa retriksi garam atau gabungan retriksi
garam dan pengurangan kalori dapat menormalkan tekanan darah pada perempuan
obesitas. Pengurangan kalori yang tidak disertai pengurangan natrium tidak menimbulkan
efek hipotensi. Pendapat tersebut dibantah oleh penelitian lain yang melaporkan bahwa
tekanan darah turun pada pasien overweight dengan hipertensi yang kehilangan berat
badan rata-rata 10,5 kg. Pada observasi, subjek penelitian dan kelompok kontrol
mengalami penurunan berat badan disertai penurunan tekanan darah, meskipun kedua
kelompok mendapat asupan garam yang tinggi. Sayangnya penelitian tidak melakukan
pemeriksaan secara objektif terhadap asupan dan ekskresi garam. Obesitas berhubungan
dengan aktivitas renin-angiotensin, hiperinsulinemia dan peningkatan aktivitas sistem
saraf simpatetik, dan semua ini berkontribusi pada reabsorpsi natrium dan berhubungan
dengan retensi cairan sehingga menyebabkan hipertensi obesitas renal. Manifestasi awal
hipertensi pada obesitas diawali oleh hipertensi sistolik tanpa disertai hipertensi diastolik
(isolated systolic hypertension). Pada penelitian pengukuran tekanan darah pada remaja
dengan obesitas, ditemukan 94% subjek hipertensi sistolik. Dalam penelitian lain pada
kelompok remaja di Amerika Serikat didapatkan bahwa hipertensi sistolik tanpa hipertensi
diastolik merupakan faktor risiko terjadinya morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada

21
masa dewasa kelak. Obesitas selalu dihubungkan dengan terjadinya hipertensi tetapi masih
belum begitu jelas kenapa hipertensi tidak terjadi pada semua pasien obesitas. Reade dkk
melakukan penelitian pada a nak obesitas dengan hipertensi dan yang tidak disertai
hipertensi. Dalam penelitiannya, anak obesitas disertai hipertensi cenderung mengalami
obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) dibandingkan anak obesitas dengan
normotensi.Penemuan ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa OSAS
merupakan salah satu faktor penyebab obesitas yang tidak selalu mengalami hipertensi.4

Gambar 1.3 Patogenesis Sindrom Metabolik.3

2.Penegakan diagnosis syndrome metabolik

 Klasifikasi hipertensi

22
23
 Kategori indeks massa tubuh

1. Perhitungan berat badan ideal

a. Berat ideal = (tinggi – 100) - 10% (kg) Atau 90% (TB-100)

b. Untuk wanita <150 cm dan pria < 160 cm tidak perlu di kurangi 10 %

2. Kebutuhan Kalori (kkal/hari)

a. Kebutuhan Kalori basal

• laki-laki : BB ideal (kg) x 30 kkal/kg

• Wanita : BB ideal (kg) x 25 kkal/kg

b. Penyesuaian

• Aktifitas ringan : (10% x KalBasal)+KalBasal

• Aktifitas sedang : (20% x KalBasal)+KalBasal

• Aktifitas berat : (37% x KalBasal)+KalBasal

• Umur >40 thn : (5% x KalBasal)-KalBasal

24
3. Ukuran status gizi Dewasa

IMT = BB(kg)/TB(m)2

Katagori IMT :

• < 17,00 kurus sekali

• 17,0 – 18,4 kurus

• 18,5 – 25 Normal

• 25,1 – 27 gemuk

• 27 gemuk sekali

4. Kebutuhan Kalori (kkal/hari)

a. Penyesuaian :

• BB Gemuk : (20% x KalBasal)-KalBasal

• BB Lebih : (10% x KalBasal)+KalBasal

• BB Kurang : (20% x KalBasal)+KalBasal

b. Kebutuhan Kalori Anak

• BB 10 kg : 100 kkal/kgBB/hari

• BB 11-20 kg : + 50 kkal/kgBB/hari

• BB > 20 kg : + 20kkal/kgBB/hari

c. Neonatus

• BBLR : 150 kkal/kgBB/hari

• BBLN : 100 – 120 kkal/kgBB/hari

5. Kebutuhan protein

• Dewasa: 1 gr/kgBB/hari

• Neonatus prematur: 3 gr/kgBB/hari

• 0-1 tahun: 2,5 gr/kgBB/hari

25
• 2-13 tahun: 1,5-2 gr/kgBB/hari

• Remaja : 1-1,5 gr/kgBB/hari

6. Kebutuhan lemak

• Rata- rata 35% dari total kalori

• Untuk yg obesitas : 10% dari total kalori (pelarut vitamin).5

3.tatalaksana dan mekananisme obat syndrome metabolik

Farmakologi Sindrom Metabolik


Langkah pengelolaan dislipidemia melalui algoritma penatalaksanaan
Langkah 1. Identifikasi masalah pada pasien
Penentuan masalah pada pasien dicari dengan melakukan proses klinis yang terdiri dari
anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium penunjang. Dari proses
klinis tersebutdiatas maka akan dapat diidentifikasi masalah pasien yang dapat dibagi
menjadi :
1. Masalah kardiovaskular dan risiko terkait kardiovaskular
2. Masalah non-kardiovaskular.5
Masalah kardiovaskular menurut ATP III adalah penyakit jantung koroner, penyakit arteri
karotis, penyakit arteri perifer dan aneurisma aorta abdominalis, sedangkan menurut
ACC/AHA 2013 adalah sindroma koroner akut, riwayat infark miokard, angina stabil
maupun angina unstabil, riwayat revaskularisasi koroner, stroke dan penyakit arteri
perifer. Sedangkan risiko terkait kardiovaskular yang tercantum dalam ATP III adalah
merokok, hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHG atau konsumsi anti hipertensi), K-HDL yang
rendah (< 40 mg/dl), riwayat keluarga dengan PJK dini dan usia (Laki-laki ≥ 45 thn, wanita
≥ 55 tahun).5

Langkah 2. Melakukan penghitungan risiko kardiovaskular, klasifikasi kelompok risiko


dan pilihan terapi.
Setelah penentuan masalah pada pasien pada langkah pertama, maka langkah kedua adalah
melakukan penghitungan risiko kardiovaskular, dan melakukan klasifikasi kelompok
risiko yang akan mempengaruhi pilihan terapi. Untuk langkah kedua ini bisa menggunakan
panduan alur dari ATP III (alur 1) atau bias dengan menggunakan panduan ACC/AHA
2013 (alur 2).5

26
1. Pada alur satu (ATP III)
a. Yang pertama dilakukan adalah identifikasi adanya PJK atau masalah yang setara dengan
PJK seperti adanya penyakit arteri karotis, penyakit arteri perifer, atau aneurisma aorta
abdominalis.5
b. Jika didapatkan masalah berupa PJK/setara PJK maka dimasukkan kedalam kelompok
risiko tinggi atau kelompok risiko sangat tinggi (jika memiliki faktor risiko multipel,
terutama diabetes).
c. Untuk kelompok risiko sangat tinggi direkomendasikan segera pemberian statin dengan
target K-LDL < 70 mg/dl.
d. Untuk kelompok risiko tinggi dimulai pemberian statin jika K-LDL ≥ 130 mg/dl dengan
target K-LDL < 100 mg/dl.
e. Untuk kelompok risiko sedang yang mempunyai lebih dari dua faktor risiko mayor dan
SRF > 10-20% maka target LDL < 130 mg/dl dengan pemberian statin jika K-LDL ≥ 130
mg/dl.
f. Untuk kelompok risiko sedang dengan 2 faktor risiko mayor dan SRF < 10% maka
dilakukan pemberian statin jika K-LDL ≥ 160 mg/dl dengan target K-LDL < 130 mg/dl.
Pada kelompok risiko rendah pemberian statin jika LDL ≥ 190 mg/dl dengan target < 160
mg/dl.5
Pada alur dua (ACC/AHA 2013) dimulai dengan identifikasi adanya bukti klinis ASCVD
seperti sindroma koroner akut, riwayat infark miokard, angina stabil maupun angina
unstabil, riwayat revaskularisasi koroner, stroke atau penyakit arteri perifer.5
a. Jika ada salah satu dari bukti klinis tersebut maka pasien dimasukkan kedalam kelompok
pertama yaitu pasien dengan gambaran klinis ASCVD. Selanjutnya apabila pasien berusia
kurang dari 75 tahun maka pilihan terapinya adalah statin intensitas tinggi (high intensity
statin), namun bila pasien berusia lebih dari 75 tahun maka pilihan terapinya adalah statin
intensitas sedang (moderate intensity statin).5
b. Apabila pasien tidak mempunyai bukti klinis ASCVD maka diperhatikan kadar K-LDL.
c. Jika kadar K-LDL ≥ 190 mg/dl maka masuk kelompok kedua yang memerlukan statin
intensitas tinggi.5
d. Jika K-LDL 70-189 mg/dl dengan diabetes maka dilakukan penghitungan skor risiko
ASCVD.5
e. Jika hasil perhitungan < 7.5 % maka pilihannya adalah pemberian statin intensitas sedang.
f. Jika hasil perhitungan ≥ 7.5% maka dilakukan pemberian statin intensitas tinggi.

27
g. Jika K-LDL 70-189 mg/dl tanpa ASCVD atau diabetes umur 40-75 tahun maka dilakukan
penghitungan skor risiko ASCVD.
h. Jika ≥ 7.5 % maka dilakukan pemberian statin intensitas sedang.
i. Jika < 7.5 % maka pemberian statin didasarkan atas beberapa pertimbangan khusus. Hal
ini disebabkan karena kurangnya bukti-bukti pendukung. Namun demikian pada pasien
tertentu dapat dipertimbangkan untuk diberikan statin apabila K-LDL ≥ 160 mg/dl atau
hiperlipidemia secara genetik, riwayat keluarga dengan ASCVD dini (pada ayah < 55
tahun atau ibu < 65 tahun), kadar HsCRP ≥ 2 mg/L, skor CAC ≥ 300 Agatston unit atau ≥
75 persentil untuk usia, jenis kelamin dan etnisitas, ankle-brachial index < 0.9.5
Langkah 3. Pemberian edukasi
Setelah langkah kedua maka selanjutnya dilakukan edukasi yang ditujukan pada pasien
dan keluarganya. Tujuan dari edukasi adalah untuk meminta partisipasi pasien dan
keluarganya pada pengelolaan masalah pasien. Edukasi pada pasien dan keluarganya harus
sudah dimulai sewaktu konsultasi pertama kali. Adapun materi yang diberikan antara lain
masalah-masalah yang didapatkan pada pasien, kemungkinan-kemungkinan penyebabnya,
langkah-langkah pengelolaan yang akan diambil termasuk yang berkaitan dengan langkah
diagnosis dan terapi , terutama yang berkaitan dengan terapi gaya hidup sehat termasuk
didalamnya tentang pengaturan makanan dan aktifitas fisik. Materi lain yang perlu juga
disampaikan adalah kemungkinan efek samping obat yang diberikan, serta pengelolaan
terhadap efek samping tersebut.5
Langkah 4. Pemantauan dan evaluasi.
Pemantauan dan evaluasi secara rutin harus dikerjakan pada pasien dislipidemia.
Pemantauan pertama dilakukan 6 minggu setelah awal pengelolaan. Hal-hal yang dipantau
menyangkut keberhasilan terapi terutama LDL dan kemungkinan adanya komplikasi
seperti peningkatan AST/ALT dan Creatinine Phospokinase (CPK). Apabila target LDL
belum tercapai pemantauan selanjutnya dapat dilakukan setiap 6 bulan sampai target
tercapai. Jika target LDL telah tercapai, dapat dilakukan pemantauan dengan interval 6-12
bulan (AACE). Ada beberapa keadaan dimana evaluasi dan pemantauan status lipid
diperlukan dalam frekuensi lebih sering yaitu :
a. Kendali glukosa darah yang memburuk
b. Adanya penggunaan obat lain yang ditenggarai mengganggu kadar lipid
c. Progresivitas dari penyakit aterotrombosis
d. Adanya penambahan berat badan
e. Adanya perubahan yang tidak terduga dari status lipid pasien

28
Untuk kadar transaminase sebaiknya dilakukan pemeriksaan sebelum dan sesudah 3 bulan
setelah pemberian statin atau asam fibrat karena gangguan abnormalitas lipid terjadi
kebanyakan pada 3 bulan setelah inisiasi terapi. Monitoring juga dilakukan apabila ada
adanya perubahan dosis, perubahan jenis obat maupun penggunaan obat kombinasi. Untuk
kreatinin kinase dapat diperiksa kadarnya apabila pasien mengeluhkan nyeri otot atau
mengalami kelemahan otot.9

Gambar 13. Algoritma penatalaksanaan dislipidemia.5

29
Gambar 14. Algoritma penatalaksanaan dislipidemia alur 1 ATP III.9

30
Gambar 15. Algoritma penatalaksanaan dislipidemia alur 2 ACC/AHA 2013.5

31
Obat-obat serta Mekanisme Kerja Obatnya
1. Statin (inhibitor HMG-coA reduktase)
Statin adalah obat penurun lipid pertama yang harus digunakan untuk menurunkan
kolesterol LDL. Dalam keadaan tidak toleran terhadap statin, direkomendasikan
pemakaian ezetimibe, inhibitor PCSK9, atau bile acid sequestrant monoterapi.6
Selain berfungsi untuk menurunkan kolesterol LDL, statin juga mempunyai efek
meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan TG. Berbagai jenis statin dapat
menurunkan kolesterol LDL 18-55%, meningkatkan kolesterol HDL 5-15%, dan
menurunkan TG 7-30%. Cara kerja statin adalah dengan menghambat kerja HMGCoA
reduktase. Efeknya dalam regulasi CETP menyebabkan penurunan konsentrasi
kolesterol LDL dan VLDL. Di hepar, statin meningkatkan regulasi reseptor kolesterol
LDL sehingga meningkatkan pembersihan kolesterol LDL. Dalam keadaan
hipertrigliseridemia (tidak berlaku bagi normotrigliseridemia), statin membersihkan
kolesterol VLDL. Mekanisme yang bertanggungjawab terhadap peningkatan konsentrasi
kolesterol HDL oleh statin sampai sekarang belum jelas.6
Studi awal yang menggunakan statin untuk menurunkan kolesterol LDL menunjukkan
penurunan laju PJK dan mortalitas total serta berkurangnya infark miokard, prosedur
revaskularisasi, stroke, dan penyakit vaskular perifer. Statin hendaknya digunakan
sampai dosis maksimal yang direkomendasikan atau yang maksimal dapat ditoleransi
untuk mencapai target kolesterol LDL. Pada pasien dengan risiko tinggi dan sangat
tinggi, sebaiknya terapi statin dilanjutkan walau target terapi sudah tercapai selama tidak
ada indikasi kontra ataupun efek samping yang berat. Bagi pasien dengan PGK, dosis
statin perlu disesuaikan.6

32
Tabel 3. Dosis maksimal statin yang dianjurkan.6

Khusus untuk simvastatin, penggunaan dosis maksimum (80 mg) meningkatkan miopati
atau jejas otot yang bermakna, terutama jika digunakan selama 12 bulan berturutan.
Simvastatin dosis 80 mg tidak dianjurkan diresepkan bagi pasien baru, melainkan bagi
mereka yang telah menggunakan dosis tersebut selama 12 bulan berturutan tanpa keluhan
atau gejala miopati.3

Tabel 4. Penyesuaian dosis statin pada PGK.3

Miopati, sebuah terminologi umum untuk penyakit otot, terjadi pada 5% pasien pengguna
statin dan kejadiannya tidak berbeda dengan pengguna plasebo dalam penelitian klinis
acak. Miopati dapat berupa mialgia, miositis, atau rabdomiolisis. Mialgia adalah
terminologi untuk nyeri atau kelemahan otot tanpa peningkatan kreatinin kinase. Miositis
terjadi jika keluhan otot disertai peningkatan kreatinin kinase. Sementara itu,
rabdomiolisis merupakan diagnosis pada pasien dengan keluhan otot yang disertai

33
peningkatan kreatinin kinase melebihi 10 kali batas atas normal. Pemeriksaan kreatinin
kinase tanpa dasar keluhan otot tidak mempunyai nilai klinis sehingga tidak dianjurkan.
Kejadian rabdomiolisis terjadi kurang dari 1 persejuta peresepan. Faktor risiko terjadinya
miopati adalah: berat badan rendah, usia lebih dari 80 tahun, penyakit multiorgan
terutama PGK, atau periode perioperatif. Miopati juga berhubungan dengan konsumsi
atau obat yang spesifik seperti fibrat (terutama gemfibrozil), eritromisin, klaritromisin,
antibiotika makrolid, antifungal, amiodaron, verapamil, siklosporin, jus anggur (sekitar
1 Liter perhari), dan minum alkohol berlebihan.6
Terjadinya keluhan otot mengindikasikan perlunya pemeriksaan kreatinin kinase dan
mengganti statin dengan non-statin. Jika konsentrasi kreatinin kinase kurang dari 4 kali
batas atas normal, pertimbangkan untuk memberikan statin selang sehari atau 2 kali
seminggu, atau mengganti jenis statin. Walau tidak ditunjang oleh hasil penelitian luaran
klinis, beberapa studi menunjukkan penurunan konsentrasi kolesterol LDL yang cukup
berarti dengan pemberian statin dosis selang seling.3

34
Gambar 16. Algoritma pengobatan keluhan otot selama terapi statin.6

Semua statin kecuali pravastatin, rosuvastatin, dan pitavastatin mengalami metabolisme di


hati melalui isoenzim sitokrom P450 sehingga akan berinteraksi dengan obat yang
dimetabolisme melalui enzim tersebut. Interaksi dengan berbagai obat berpotensi
meningkatkan risiko efek samping statin berupa miopati dan rabdomiolisis.6

35
Peningkatan enzim hepar terjadi pada 0,5-2% pengguna statin terutama pada dosis tinggi.
Setiap pasien hendaknya diperiksa enzim heparnya sebelum memulai terapi statin dan
sesuai indikasi sesudahnya. Terapi statin hendaknya dihentikan pada pasien dengan jejas
hepar serius yang disertai keluhan klinis dan/atau hiperbilirubinemia atau ikterus.
Kenaikan transaminase lebih dari 3 kali batas atas normal merupakan indikasi untuk
menghentikan terapi statin. Terapi statin dapat dilanjutkan jika konsentrasi transaminase
sudah turun menjadi kurang dari 3 kali batas atas normal.6

Tabel 5. Obat yang dimetabolisme di sitokrom P450 dan berpotensi berinteraksi dengan
statin dalam meningkatkan risiko miopati dan rabdomiolisis.6

Pengobatan statin berhubungan dengan terjadinya DM onset baru. Analisis meta dari 13
studi dengan 91.140 partisipan menunjukkan pengobatan statin meningkatkan insiden DM
sebesar 9% dalam 4 tahun. Hubungan terapi statin dengan risiko DM lebih kuat pada
partisipan usia tua sementara persentase perubahan kolesterol LDL bukan faktor yang
penting. Temuan ini tidak mengubah rekomendasi pengobatan statin pada pasien dengan
risiko kardiovaskular tinggi dan menekankan pentingnya terapi intervensi gaya hidup bagi
pasien dengan risiko kardiovaskular rendah.6
Statin meningkatkan risiko gangguan atau hilangnya memori pada pasien di atas usia 50
tahun yang reversibel ketika terapi statin dihentikan. Onset gangguan memori ini bisa
bervariasi dari satu hari hingga beberapa tahun sesudah terapi statin dan tidak berhubungan
dengan jenis statin tertentu, dosisnya, ataupun pengobatan tambahan. Gangguan memori
ini tidak berhubungan dengan demensia yang menetap atau progresif seperti penyakit
Alzheimer. Efek statin terhadap keadaan klinis lain seperti steatosis hepatik,kanker, dan
tromboemboli vena telah dievaluasi tetapi relevansi klinis dari keadaan tersebut tidak
pernah dilaporkan.6

36
CAPTOPRIL
Captopril dengan dosis 12 mg/kgbb di minum 2 kali sehari sebelum makan.
Tabel :Klasifikasi ACE-inhibitor

Mekanisme kerja obat : inhibitor EPA menyebabkan penghambatan EPA dengan


akibat menurunya angiostensin II dan kadadr aldosteron, dan meningkatnya kadar
bradikinin. Hal ini menyebabkan vasodilatasi dengan akibat penurunan resistensi
perifer, sedikit perubahan pada denyut jantung dan keluaran jantung dan penurunan
resistensi natrium.7

37
Gambar : mekanisme kerja obat captopril
Captopril di iindikasikn untuk hipertensi, gagal ljantung, dan disfungsi ginjal. Dan
tidak boleh di berikan pada ibu hamil, penyakit pembuluh darah ginjal dan stenosis
aorta.7
Efek dari pengobatan captopril yaitu batuk, hipotensi, pusing dan sakit
kepala,diare dan keram otot.7
Terapi nonfarmakologi

A. Terapi Hipertensi

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan darah,
dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan
kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko
kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal,
yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak
didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko
kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi.7

Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah :

1. Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan
sayuran dan buah-buahan dapat memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan
darah, seperti menghindari diabetes dan dislipidemia. Mengurangi asupan garam. Di
negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan tradisional pada

38
kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada
makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet
rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien
hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari.7

2. Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/ hari, minimal
3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak
memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk
berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di
tempat kerjanya.7

3. Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alcohol belum menjadi pola hidup
yang umum di negara kita, namun konsumsi alcohol semakin hari semakin meningkat
seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi
alcohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat
meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau menghentikan konsumsi
alcohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.7

4. Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung dapat
menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko utama
penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.7

B. Terapi Diabetes

1. Terapi Nutrisi dan Pengaturan dietTerapi nutrisi medis dianjurkan untuk semua pasien.
Untuk tipe 1 DM,fokusnya adalah pada fisiologis yang mengatur pemberian insulin
dengandiet seimbang untuk mencapai dan mempertahankan berat badan yang
sehat.Merencanakan makan dengan jumlah karbohidrat yang moderat dan rendahlemak
jenuh, dengan fokus pada makanan seimbang. Pasien dengan DM tipe 2 sering
membutuhkan keseimbangan kalori untuk meningkatkan berat badan . Dianjurkan diet
dengan komposisi makanan yang seimbang dalam hal karbohidrat, lemak dan protein
sesuai dengankecukupan gizi yang baik sebagai berikut:

a. Karbohidrat : 60-70%

b. Protein : 10-15%

c. Lemak : 20-25%

39
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stresakut dan kegiatan
fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai danmempertahankan berat badan
ideal.7

2. Olah RagaBerolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar guladarah
tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringanasal dilakukan secara
teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.Disarankan olah raga yang bersifat
CRIPE(Continuous, Rhytmical, Interval,Progressive, Endurance Training) Sedapat
mungkin mencapai zona sasaran75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan
dengan kemampuandan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan,
antaralain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahragaaerobik
ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per harididahului dengan pemanasan
5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak
jumlah dan meningkatkanaktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan
penggunaan glukosa. Selain itu latihan aerobik dapat meningkatkansensitivitas insulin dan
kontrol glikemik dan dapat mengurangi faktor risikokardiovaskular, membantu untuk
penurunan berat badan atau pemeliharaan,dan meningkatkan kesehatan.7

C. Terapi Dislipidemia dan Obesitas

1. Terapi Diet

Diet yang dapat dipakai untuk menurunkan kolesterol LDL adalah diet asamlemak
tidak jenuh seperti MUFA (Monounsaturated Fatty Acid ) dan PUFA(Polyunsaturated
Fatty Acid ) karena faktor diet yang paling berpengaruhterhadap peningkatan konsentrasi
kolesterol LDL adalah asam lemak jenuh.Penurunan kolesterol LDL yang diakibatkan
oleh diet PUFA lebih besardibandingkan dengan diet MUFA atau diet rendah karbohidrat.
PUFA omega-3 tidak mempunyai efek hipokolesterolemik langsung, tetapi
kebiasaanmengonsumsi ikan (mengandung banyak PUFA omega-3) berhubungandengan
reduksi risiko kardiovaskular independen terhadap efek pada lipid plasma. Konsumsi
PUFA omega-3 pada dosis farmakologis (>2 gram/hari)mempunyai efek netral terhadap
konsentrasi kolesterol LDL dan mengurangikonsentrasi TG. Data dari penelitian klinis
acak, kasus kelola dan kohormenunjukkan bahwa konsumsi PUFA omega-6 setidaknya
5% hingga 10%dari total energi mereduksi risiko Penyakit Jantung Koroner. Konsumsi
PUFAomega-3, PUFA omega-6 dan MUFA berhubungan dengan peningkatankonsentrasi
kolesterol HDL sampai 5% dan penurunan TG (Trigliserida)sebesar 10-15%.7

40
2. Aktivitas Fisik

Tujuan melakukan aktivitas fisik secara teratur adalah mencapai berat badanideal,
mengurangi risiko terjadinya sindrom metabolik, dan mengontrol faktorrisiko PJK.
Pengaruh aktivitas fisik terhadap parameter lipid terutama berupapenurunan TG dan
peningkatan kolesterol HDL. Olahraga aerobik dapatmenurunkan konsentrasi TG sampai
20% dan meningkatkan konsentrasikolesterol HDL sampai 10%. Sementara itu, olahraga
resisten hanyamenurunkan TG sebesar 5% tanpa pengaruh terhadap konsentrasi HDL.
Efekpenurunan TG dari aktivitas fisik sangat tergantung pada konsentrasi TG awal,tingkat
aktivitas fisik, dan penurunan berat badan. Tanpa disertai diet danpenurunan berat badan,
aktivitas fisik tidak berpengaruh terhadap kolesteroltotal dan LDL. Aktivitas fisik yang
dianjurkan adalah aktivitas yang terukurseperti jalan cepat 30 menit per hari selama 5 hari
per minggu atau aktivitaslain setara dengan 4-7 kkal/menit atau 3-6 METs. Beberapa jenis
latihan fisiklainnya antara lain:

• Berjalan cepat (4,8-6,4 km per jam) selama 30-40 menit

• Berenang – selama 20 menit

• Bersepeda untuk kesenangan atau transportasi, jarak 8 km dalam 30 menit

• Bermain voli selama 45 menit • Menyapu halaman selama 30 menit

• Bermain basket selama 15 hingga 20 menit

• Bermain golf tanpa caddy (mengangkat peralatan golf sendiri)

• Berdansa selama 30 menit

3.Menghentikan Kebiasaan Merokok

Menghentikan merokok dapat meningkatkan konsentrasi kolesterol HDLsebesar 5-10%.


Merokok berhubungan dengan peningkatan konsentrasi TG,tetapi menghentikan merokok
diragukan menyebabkan penurunan konsentrasi TG.7

4.Pembedahan

Pembedahan merupakan terapi yang paling efektif untuk pengobatan obesitas.Namun,


karena adanya morbiditas dan mortalitas yang terkait, terapi ini diperuntukkan bagi mereka
dengan BMI ≥40 kg/m2 atau 35 kg/m2. Prosedur bedah secara umum akan mengurangi
volume lambung, menurunkan absorbsipada permukaan saluran pencernaan, dan sering

41
dikaitkan dengan beberapamalabsorpsi pada beberapa kasus. Saat ini, terdapat dua jenis
prosedur utamabedah pada pasien obesitas yaitu grastoplasty ,adjustable gastric banding,
dan Roux-en-Y gastric bypass Grastoplasty dan adjustable gastric banding didisain untuk
mengurangivolume lambung dan membatasi laju absorbsi makanan. Sedangkan metode
Roux-en by pass merupakan metode yang lebih baik dalam penurunan beratbadan
dibandingkan dengan dua metode lainnya. Hal ini dikarenakan metode Roux-en-Y gastric
by pass lebih mudah dilakukan dan dapat menghindaribeberapa komplikasi setelah
operasi. Selain itu, anatomi tubuh pasien jugalebih mudah kembali untuk normal.7

Daftar pustaka

42
1. Setiati S,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing; 2016.
2. Hall dan Guyton. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Singapore: Elsevier; 2008.
3. Pediatri, Sari. Hipertensi Pada Sindrom Metabolik. Vol 11. No. 4. Jakartal; Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
4. battista. Farmakologi. Elsevier : singapore ; 2017
5. Sudoyo AW, Alwi I, Setiati S. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid 3. Jakarta. Interna
Publishing; 2009
6. 9. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Panduan Pengelolaan Dislipidemia di
Indonesia. Edisi 1. PERKENI : Jakarta. 2015
7. 3. Erwinanto. dkk. Panduan Tatalaksana Dislipidemia. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia. 2017.

43

Anda mungkin juga menyukai