PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensivitas sel terhadap insulin.Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau
berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes melitus tipe II dianggap sebagai non insulin
dependent diabetes melitus.1
Menurut data stastistik tahun 2010 dari WHO terdapat 220 juta
penderita diabetes melitus di seluruh dunia. Tahun 2030 jumlah penderita
diabetes melitus diperkirakan akan melonjak lagi mencapai dua kali lipat dari
jumlah sekarang. Saat ini penyakit diabetes melitus banyak dijumpai
penduduk Indonesia. Bahkan WHO menyebutkan, jumlah penderita diabetes
melitus di Indonesia menduduki ranking empat setelah India, China, dan
Amerika Serikat.2
Informasi mengenai obat glibenklamid memang telah dituliskan oleh
dokter dalam resep. Untuk mencapai efek terapi yang maksimal diperlukan
cara penggunaan obat yang benar. Sebagai contoh; penggunaan
glibenklamid yang benar adalah 30 menit sebelum makan dengan
penggunaan maksimal 2 kali sehari pada pagi hari sebelum makan pagi
dan sebelum makan siang. Diberikan 30 menit sebelum makan bertujuan
agar obat dapat merangsang keluarnya insulin sehingga dapat mengatasi
peningkatan gula darah setelah makan.3
Selain cara penggunaan obat yang benar, efek samping yang
minimal juga dibutuhkan untuk mencapai efek terapi yang maksimal
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pasien. Efek samping
glibenklamid yang paling patut untuk diwaspadai adalah hipoglikemia karena
dapat menyebabkan kehilangan kesadaran (koma). Tanda-tanda yang muncul
1
2
pada saat hipoglikemia antara lain adalah berkeringat, gemetar, muka pucat,
jantung berdebar, dan merasa lapar. Untuk mengatasi hipoglikemia ringan
dimana pasien masih sadar cukup diberikan gula atau minuman yang
mengandung gula, tetapi bila hipoglikemia sudah berat dimana pasien
kehilangan kesadaran maka larutan gula diberikan secara intravena.4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah
utama dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah pemberian obat
glibenklamid untuk pasien diabetes melitus tipe 2?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pemberian obat glibenklamid untuk pasien diabetes
melitus tipe 2
2. Tujuan Khusus
Berikut ini adalah tujuan khusus penulisan makalah ilmiah ini:
1. Untuk mengetahui mekanisme glibenklamid sebagai obat anti diabetes
melitus tipe 2.
2. Untuk mengetahui sifat fisiko-kimia dari glibenklamid.
3. Untuk mengetahui farmakodinamik dari glibenklamid.
4. Untuk mengetahui farmako kinetik dari glibenklamid.
5. Untuk mengetahui toksisitas dari glibenklamid.
D. Manfaat
Hasil penulisan makalah ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat
untuk:
3
4
5
tipe1. Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya
bersifat relatif dan tidak absolut.7
Terapi diabetes melitus hendaklah bertujuan untuk mencegah akibat-
akibat defisiensi insulin yang akan segera timbul, yang meliputi hiperglikemia
simptomatik (yaitu: polyuria, polydipsia dan penurunan berat badan),
ketoasidosis diabetika (KAD) dan sindroma hyperosmolar non-ketotic
(SHNK) dan mencegahkan atau meminimalkan komplikasi-komplikasi
penyakit yang berlangsung lama yang timbul akibat diabetes melitus. Faktor
yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita polycystic ovarysindrome
(PCOS), penderita sindrom metabolic memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya,
memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau peripheral
arterial Diseases (PAD), konsumsi alkohol, faktor stres, kebiasaan merokok,
jenis kelamin, konsumsi kopi dan kafein.8
B. Glibenklamid
1. Definisi
Glibenklamid merupakan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) golongan
sulfonylurea generasi kedua yang hanya digunakan untuk mengobati
individu dengan diabetes melitus tipe II untuk menurunkan konsentrasi
gula darah.
2. Farmasi – Farmakologi
a. SifatFisiko Kimia dan Rumus Kimia Obat
Glibenclamide memiliki nama lain gliburide, Diabeta, Glynase,
Micronase, Glibenclamidum.
6
c. Farmakologi Umum
1. Indikasi
Diabetes melitus pada orang dewasa, tanpa komplikasi yang
tidak responsive dengan diet saja. Digunakan sendiri atau dalam
kombinasi dengan satu atau lebih agen anti diabetik oral atau
insulin sebagai tambahan untuk terapi diet dan olah raga untuk
pengelolaan diabetes tipe 2 (tidak tergantung insulin) diabetes
melitus (NIDDM).
Tidak efektif sebagai terapi tunggal pada pasien dengan
diabetes melitus tipe 1 atau diabetes asidosis, ketosis, ataukoma;
Terapi insulin jika dibutuhkan.
2. Kontraindikasi:
a. Diabetes Tipe 1
b. Komplikasi diabetes karena kehamilan
c. Hipersensitif terhadap Sulfonilurea
d. Gangguan hati atau ginjal, namun glibenklamid dalam batas-
batas tertentu masih dapat diberikan pada beberapa pasien
dengan kelainan fungsi hati dan ginjal ringan
e. Diabetes melitus juvenile, prekomadankoma diabetes
3. Farmakodinamik
8
4. Farmakokinetik
a. Absorbsi
Pemberian glibenklamid secara oral akan diabsorbsi melalui saluran
cerna dengan cukup efektif dan memiliki waktu paruh sekitar 4 jam. Dosis
awal untuk diabetes melitus tipe 2 adalah 2,5 mg–5 mg, dilanjutkan dosis
pemeliharan 5 mg-10 mg.
b. Distribusi
Setelah absorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel.Dalam
plasma sebagian besar terikat pada protein plasma terutama albumin
(70%-90%). Untuk mencapai kadar optimal glibenklamid akan lebih
efektif jika diminum 30 menit sebelum makan. Mesekipun waktu paruh
glibenklamid tergolong pendek namun efek hipoglikemiknya berlangsung
selama 12-24 jam, sehingga cukup diberikan satu kali sehari.
Mula kerja (onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai meningkat
15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak dalam darah
tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24 jam setelah
9
pemberian kadar dalam plasma hanya tinggal sekitar 5%. Masa kerja
sekitar 15 sampai 24 jam.
c. Metabolisme
Metabolisme glibenklamid sebagian besar berlangsung dengan jalan
hidroksilasi gugus sikloheksil pada glibenklamid, menghasilkan satu
metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa metabolit inaktif.
Metabolit utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-trans,
Metabolit kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3-cis, sedangkan
metabolit lainnya belum teridentifikasi. Semua metabolit tidak ada yang
diakumulasi.
d. Ekskresi
Hanya 25-50 % metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian besar
diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja. Waktu paruh
eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah panjang apabila terdapat
kerusakan hati atau ginjal. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih
keluar dari serum setelah 36 jam. Glibenklamid tidak diakumulasi di
dalam tubuh, walaupun dalam pemberian berulang.
5. Efek Samping
Efek samping glibenklamide umumnya ringan dan frekuensinya
rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf
pusat.
a. Gangguan saluran cerna berupa:
mual, diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung.
b. Gangguan susunan syaraf pusat berupa:
sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya.
Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia,
agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali.
Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat,
juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia
sering diakibatkan oleh obat-obat antidiabetik oral dengan masa kerja
panjang. Golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan.
10
6. Toksisitas
Reaksi tubuh seseorang terhadap sebuah obat berbeda-beda. Terdapat
beberapa efek samping umum seperti :
a. Gejala hipoglikemia
b. Merasa mual
c. Nyeri ulu hati
d. Efek samping gangguan lambung-usus seperti anorexia terutama pada
dosis di atas 1,5g/hari
e. Efek samping gastrointestinal pada awalnya sering terjadi, namun
biasanya kemudian berkurang.10
7. Interaksi Dengan Obat Lain:
a. Alkohol: dapat menambah efek hipoglikemik
b. Antagonis kalsium: misalnya nifedipin kadang-kadang mengganggu
toleransi glukosa.
c. Antagonis Hormon: aminoglutetimid dapat mempercepat metabolisme
OHO; oktreotid dapat menurunkan kebutuhan insulin dan OHO
d. Antihipertensi diazoksid: melawan efek hipoglikemik.
e. Antibakteri rifampisin: menurunkan efek sulfonilurea (mempercepat
metabolisme)
f. Antidepresan (inhibitor MAO): meningkatkan efek hipoglikemik.
g. Hormon steroid: estrogen dan progesterone (kontrasepsi oral)
antagonis efek hipoglikemia
h. Klofibrat: dapat memperbaiki toleransi glukosa dan mempunyai efek
aditif terhadap OHO.
i. Penyekat adrenoreseptor beta : meningkatkan efek hipoglikemik dan
menutupi gejala peringatan, misalnya tremor
j. Penghambat ACE: dapat menambah efek hipoglikemik.
BAB III
PENELITIAN LAIN
11
12
tidak mungkin untuk menilai efek glibenklamid pada preconditioning dalam kondisi
patologis. Sebagai kesimpulan, pada hewan besar, glibenklamid mengganggu
terbukanya saluran KATP selama iskemia-reperfusi akut baik pada hewan normal dan
diabetes. Oleh karena itu, meskipun beberapa penelitian mengklaim ada penambahan
risiko kardiovaskular karena glibenklamid, Negroni dan peneliti lainnya
menyimpulkan farmakologis agen ini harus diselidiki lebih lanjut untuk memastikan
administrasi aman pada pasien dengan penyakit jantung.11
mengurangi efek ini. Peneliti Simard,et al menyimpulkan bahwa blok SUR1 oleh
glibenklamid dapat memperbaiki beberapa efek patologis yang berhubungan dengan
peradangan yang mengarah pada disfungsi kortikal setelah SAH.12
BAB IV
PEMBAHASAN
Diabetes melitus tipe 2 adalah kelainan yang bersifat kronis ditandai dengan
adanya kelainan permanen dari sistem metabolisme tubuh berupa kadar gula darah
yang tinggi (hiperglikemia). Hal ini dapat terjadi karena insulin tubuh tidak dapat
bekerja dengan efektif atau tubuh (sel ß pankreas) tidak mampu menghasilkan
hormon insulin yang memadai atau kedua-duanya. Dengan demikian kelainan
patologi yang mendasari yang terjadi pada penderita diabetes adalah kegagalan
memproduksi insulin (defisiensi insulin) atau kegagalan memanfaatkan insulin
(resistensi insulin) ataupun keduanya akan menimbulkan peningkatan kadar gula
darah serta hasil metabolisme lainnya.5
Pasien diabetes melitus tentunya membutuhkan beberapa penanganan terapi
untuk menurunkan resiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Saat ini,
obat-obatan yang paling banyak digunakan adalah golongan sulfonylurea sebanyak
65%, seperti glibenklamid yang digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien
diabetes melitus yang ditambah dengan perubahan gaya hidup. Bila terjadi kegagalan
terapi, kombinasi glibenklamid dengan obat antidiabetes lain akan dilakukan.2
Glibenklamid merupakan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) golongan
sulfonilurea generasi kedua yang hanya digunakan untuk mengobati individu dengan
diabetes melitus tipe 2 untuk menurunkan konsentrasi gula darah. Pada bab ini
dibahas mengenai pengaruh pemberian glibenklamid terhadap penderita diabetes
mellitus, berdasarkan penelitian-penelitian selanjutnya. Penelitian pertama, dengan
judul “Kerja Glibenklamid Pada Fungsi Jantung dan Insiden Aritmia Pada Jantung
yang Sehat dan Diabetes”, menyatakan hasil penelitian bahwa sulfonilurea digunakan
sebagai agen hipoglikemik untuk pengobatan diabetes tipe 2 juga memblokir saluran
miokard KATP memperpanjang APD selama iskemia, yang dengan membiarkan
14
15
Ca2+entri untuk jangka waktu yang lama, berpotensi membahayakan jantung. Dengan
demikian penggunaan sulfonilurea khususnya glibenklamid tidak dianjurkan pada
pasien dengan riwayat penyakit jantung seperti aritmia maupun gagal jantung.
Meskipun beberapa penelitian mengklaim ada penambahan risiko kardiovaskular
karena glibenklamid, peneliti menyimpulkan farmakologis agen ini harus diselidiki
lebih lanjut untuk memastikan administrasi aman pada pasien dengan penyakit
jantung.11
Penelitian kedua, dengan judul “Glibenclamide Menurunkan Inflamasi,
Vasogenic Edema, dan Aktifasi Caspase-3 Setelah Perdarahan Subarachnoid”
menyimpulkan bahwa blok SUR1 oleh glibenklamid dapat memperbaiki beberapa
efek patologis yang berhubungan dengan peradangan yang mengarah pada disfungsi
kortikal setelah SAH (perdarahan subarachnoid).12
16
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
the Isolated Rat Heart. European Journal of Pharmacology. Vol. 419 (1):
85-92
12. Simard J. Marc, Zhihua Geng, S Kyoon Woo, et al. 2009. Glibenclamide
Reduces Inflammation, Vasogenic Edema, and Caspase-3 Activation After
Subarachnoid Hemorrhage. Journal of Cerebral Blood Flow &
Metabolism. Vol. 29: 317-330.