Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes melitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensivitas sel terhadap insulin.Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau
berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes melitus tipe II dianggap sebagai non insulin
dependent diabetes melitus.1
Menurut data stastistik tahun 2010 dari WHO terdapat 220 juta
penderita diabetes melitus di seluruh dunia. Tahun 2030 jumlah penderita
diabetes melitus diperkirakan akan melonjak lagi mencapai dua kali lipat dari
jumlah sekarang. Saat ini penyakit diabetes melitus banyak dijumpai
penduduk Indonesia. Bahkan WHO menyebutkan, jumlah penderita diabetes
melitus di Indonesia menduduki ranking empat setelah India, China, dan
Amerika Serikat.2
Informasi mengenai obat glibenklamid memang telah dituliskan oleh
dokter dalam resep. Untuk mencapai efek terapi yang maksimal diperlukan
cara penggunaan obat yang benar. Sebagai contoh; penggunaan
glibenklamid yang benar adalah 30 menit sebelum makan dengan
penggunaan maksimal 2 kali sehari pada pagi hari sebelum makan pagi
dan sebelum makan siang. Diberikan 30 menit sebelum makan bertujuan
agar obat dapat merangsang keluarnya insulin sehingga dapat mengatasi
peningkatan gula darah setelah makan.3
Selain cara penggunaan obat yang benar, efek samping yang
minimal juga dibutuhkan untuk mencapai efek terapi yang maksimal
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pasien. Efek samping
glibenklamid yang paling patut untuk diwaspadai adalah hipoglikemia karena
dapat menyebabkan kehilangan kesadaran (koma). Tanda-tanda yang muncul

1
2

pada saat hipoglikemia antara lain adalah berkeringat, gemetar, muka pucat,
jantung berdebar, dan merasa lapar. Untuk mengatasi hipoglikemia ringan
dimana pasien masih sadar cukup diberikan gula atau minuman yang
mengandung gula, tetapi bila hipoglikemia sudah berat dimana pasien
kehilangan kesadaran maka larutan gula diberikan secara intravena.4

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah
utama dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah pemberian obat
glibenklamid untuk pasien diabetes melitus tipe 2?”

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pemberian obat glibenklamid untuk pasien diabetes
melitus tipe 2
2. Tujuan Khusus
Berikut ini adalah tujuan khusus penulisan makalah ilmiah ini:
1. Untuk mengetahui mekanisme glibenklamid sebagai obat anti diabetes
melitus tipe 2.
2. Untuk mengetahui sifat fisiko-kimia dari glibenklamid.
3. Untuk mengetahui farmakodinamik dari glibenklamid.
4. Untuk mengetahui farmako kinetik dari glibenklamid.
5. Untuk mengetahui toksisitas dari glibenklamid.

D. Manfaat
Hasil penulisan makalah ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat
untuk:
3

1. Bagi peneliti dapat mengembangkan pengetahuan dan kemampuan di


bidang obat anti diabetes mellitus golongan sulfonylurea khususnya
glibenklamid.
2. Institusi pendidikan, sebagai tambahan data dasar dan informasi untuk
pendidikan yang berkaitan dengan obat anti diabetes melitus tipe 2
khususnya glibenklamid.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus Tipe II


Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolisme yang
ditandai oleh kondisi hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. DM disebabkan oleh gangguan
sekresi insulin, sensitivitas reseptor insulin, atau keduanya. Kondisi
hiperglikemia pada pasien DM dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang,
disfungsi, dan kegagalan beberapa organ penting, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah. Di Indonesia saat ini masalah DM belum
menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas
dampak negatifnya, yaitu berupa penurunan kualitas sumber daya manusia,
terutama akibat komplikasi menahun yang ditimbulkannya.5
Kejadian diabetes melitus tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada
laki-laki.Wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita
memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil
Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi diabetes
melitus di Indonesia membesar sampai 57%, pada tahun 2012 angka kejadian
diabetes melitus didunia adalah sebanyak 371 jutajiwa, dimana proporsi
kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang
menderita diabetes melitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita
diabetes melitus tipe 1.6
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi
insulin”.6 Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya
aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dapat juga
terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
pengrusakan sel-sel beta langerhans secara auto imun seperti diabetes melitus

4
5

tipe1. Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya
bersifat relatif dan tidak absolut.7
Terapi diabetes melitus hendaklah bertujuan untuk mencegah akibat-
akibat defisiensi insulin yang akan segera timbul, yang meliputi hiperglikemia
simptomatik (yaitu: polyuria, polydipsia dan penurunan berat badan),
ketoasidosis diabetika (KAD) dan sindroma hyperosmolar non-ketotic
(SHNK) dan mencegahkan atau meminimalkan komplikasi-komplikasi
penyakit yang berlangsung lama yang timbul akibat diabetes melitus. Faktor
yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita polycystic ovarysindrome
(PCOS), penderita sindrom metabolic memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya,
memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau peripheral
arterial Diseases (PAD), konsumsi alkohol, faktor stres, kebiasaan merokok,
jenis kelamin, konsumsi kopi dan kafein.8
B. Glibenklamid
1. Definisi
Glibenklamid merupakan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) golongan
sulfonylurea generasi kedua yang hanya digunakan untuk mengobati
individu dengan diabetes melitus tipe II untuk menurunkan konsentrasi
gula darah.
2. Farmasi – Farmakologi
a. SifatFisiko Kimia dan Rumus Kimia Obat
Glibenclamide memiliki nama lain gliburide, Diabeta, Glynase,
Micronase, Glibenclamidum.
6

Gambar 1: Rumus kimia glibenklamide


Glibenklamid adalah 1-[4-[2-(5-kloro-2-metoksobenzamido)
etil]benzensulfonil]-3-sikloheksilurea dan merupakan serbuk hablur,
putih atau hampir putih; tidak berbau atau hampir tidak berbau.
Glibenklamid tidak larut dalam air dan dalam eter; larut dalam 330
bagian alkohol, dalam 36 bagian kloroform, dan dalam 250 bagian
methanol. Glibenklamid memiliki titik lebur 1720-1740C.
b. Farmasi Umum
1. Kelas terapi atau golongan: anti diabetes golongan Sulfonilurea
generasi kedua.
2. Nama generik: Glibenclamide
3. Nama dagang:

- Abenon - Clamega - Condiabet - Daonil


- Diacella - Euglucon - Fimediab - Glidanil
- Glimel - Glimel - Gliseta - Gluconic
- Glynase Pres
- Glyamid - Harmida - Hisacha
Tab
- Latibet - Libronil - Merzanil - Prodiabet
- Semi
- Prodiamel - Renabetic - Samclamide
Euglucon
- Semi Gliceta - Tiabet - Glibenclamide (Generik)

4. Sediaan: setiap kaptab mengandung glibenklamide 5mg


5. Dosis dan rute pemberian glibenklamid:
- Dosisawal: 2,5 – 5 mg sehari, bersama sarapan. Lakukan
penyesuaian dosis tiap 7 hari dari dosis 2,5–5 mg sehari sampai
15 mg perhari
7

- Dosis untuk orang tua (Geriatri): 2,5 mg/ hari


- Dosis tertinggi atau dosis maksimal: 3 kabtab sehari dalam
dosis terbagi.
- Interaksi obat
Efek hipoglikemia ditingkatkan oleh alkohol,
siklofosfamid, antikoagulan kumarina, inhibitor MAO,
fenilbutazon, penghambat beta adrenergik, sulfonamida.
Efek hipoglikemia diturunkan oleh adrenalin,
kortikosteroid, tiazid.

c. Farmakologi Umum
1. Indikasi
Diabetes melitus pada orang dewasa, tanpa komplikasi yang
tidak responsive dengan diet saja. Digunakan sendiri atau dalam
kombinasi dengan satu atau lebih agen anti diabetik oral atau
insulin sebagai tambahan untuk terapi diet dan olah raga untuk
pengelolaan diabetes tipe 2 (tidak tergantung insulin) diabetes
melitus (NIDDM).
Tidak efektif sebagai terapi tunggal pada pasien dengan
diabetes melitus tipe 1 atau diabetes asidosis, ketosis, ataukoma;
Terapi insulin jika dibutuhkan.
2. Kontraindikasi:
a. Diabetes Tipe 1
b. Komplikasi diabetes karena kehamilan
c. Hipersensitif terhadap Sulfonilurea
d. Gangguan hati atau ginjal, namun glibenklamid dalam batas-
batas tertentu masih dapat diberikan pada beberapa pasien
dengan kelainan fungsi hati dan ginjal ringan
e. Diabetes melitus juvenile, prekomadankoma diabetes
3. Farmakodinamik
8

Menstimulasi pancreas untuk memproduksi insulin dan


meningkatkan sensitivitas sel beta terhadap glukosa. Sulfonilurea dapat
menormalkan produksi glukosa di hati dan secara parsial membalikkan
resistensi insulin pada pasien diabetes melitus tipe 2. Glibenklamide hanya
bermanfaat pada penderita diabetes dewasa yang pankreasnya masih
mampu memproduksi insulin dengan baik. Pada penggunaan per oral
glibenklamid diabsorpsi sebagian secara cepat dan tersebar keseluruh
cairan ekstrasel, sebagian besar terikat dengan protein plasma. Pemberian
glibenklamid dosis tunggal akan menurunkan kadar gula darah dalam 3
jam dan kadar ini dapat bertahan selama 15 jam. Glibenklamid
dieksresikan bersama feses dan sebagai metabolit bersama urin.9

4. Farmakokinetik
a. Absorbsi
Pemberian glibenklamid secara oral akan diabsorbsi melalui saluran
cerna dengan cukup efektif dan memiliki waktu paruh sekitar 4 jam. Dosis
awal untuk diabetes melitus tipe 2 adalah 2,5 mg–5 mg, dilanjutkan dosis
pemeliharan 5 mg-10 mg.
b. Distribusi
Setelah absorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel.Dalam
plasma sebagian besar terikat pada protein plasma terutama albumin
(70%-90%). Untuk mencapai kadar optimal glibenklamid akan lebih
efektif jika diminum 30 menit sebelum makan. Mesekipun waktu paruh
glibenklamid tergolong pendek namun efek hipoglikemiknya berlangsung
selama 12-24 jam, sehingga cukup diberikan satu kali sehari.
Mula kerja (onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai meningkat
15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak dalam darah
tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24 jam setelah
9

pemberian kadar dalam plasma hanya tinggal sekitar 5%. Masa kerja
sekitar 15 sampai 24 jam.
c. Metabolisme
Metabolisme glibenklamid sebagian besar berlangsung dengan jalan
hidroksilasi gugus sikloheksil pada glibenklamid, menghasilkan satu
metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa metabolit inaktif.
Metabolit utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-trans,
Metabolit kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3-cis, sedangkan
metabolit lainnya belum teridentifikasi. Semua metabolit tidak ada yang
diakumulasi.
d. Ekskresi
Hanya 25-50 % metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian besar
diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja. Waktu paruh
eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah panjang apabila terdapat
kerusakan hati atau ginjal. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih
keluar dari serum setelah 36 jam. Glibenklamid tidak diakumulasi di
dalam tubuh, walaupun dalam pemberian berulang.
5. Efek Samping
Efek samping glibenklamide umumnya ringan dan frekuensinya
rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf
pusat.
a. Gangguan saluran cerna berupa:
mual, diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung.
b. Gangguan susunan syaraf pusat berupa:
sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya.
Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia,
agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali.
Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat,
juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia
sering diakibatkan oleh obat-obat antidiabetik oral dengan masa kerja
panjang. Golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan.
10

6. Toksisitas
Reaksi tubuh seseorang terhadap sebuah obat berbeda-beda. Terdapat
beberapa efek samping umum seperti :
a. Gejala hipoglikemia
b. Merasa mual
c. Nyeri ulu hati
d. Efek samping gangguan lambung-usus seperti anorexia terutama pada
dosis di atas 1,5g/hari
e. Efek samping gastrointestinal pada awalnya sering terjadi, namun
biasanya kemudian berkurang.10
7. Interaksi Dengan Obat Lain:
a. Alkohol: dapat menambah efek hipoglikemik
b. Antagonis kalsium: misalnya nifedipin kadang-kadang mengganggu
toleransi glukosa.
c. Antagonis Hormon: aminoglutetimid dapat mempercepat metabolisme
OHO; oktreotid dapat menurunkan kebutuhan insulin dan OHO
d. Antihipertensi diazoksid: melawan efek hipoglikemik.
e. Antibakteri rifampisin: menurunkan efek sulfonilurea (mempercepat
metabolisme)
f. Antidepresan (inhibitor MAO): meningkatkan efek hipoglikemik.
g. Hormon steroid: estrogen dan progesterone (kontrasepsi oral)
antagonis efek hipoglikemia
h. Klofibrat: dapat memperbaiki toleransi glukosa dan mempunyai efek
aditif terhadap OHO.
i. Penyekat adrenoreseptor beta : meningkatkan efek hipoglikemik dan
menutupi gejala peringatan, misalnya tremor
j. Penghambat ACE: dapat menambah efek hipoglikemik.
BAB III

PENELITIAN LAIN

1. Kerja Glibenklamid Pada Fungsi Jantung dan Insiden Aritmia Pada


Jantung yang Sehat dan Diabetes
Saluran Myocardial kalium ATP-dependent sarcolemmal (KATP), yang
biasanya tertutup oleh tingginya konsentrasi ATP, terbuka selama iskemia ketika ATP
menurun mengakibatkan efflux K +. Hal ini akan mengurangi durasi potensial aksi
(APD) akhirnya mengurangi waktu masuknya Ca2 + dan Ca2 + overload. Hal ini
menunjukkan bahwa kejadian itu mungkin terlibat dalam perlindungan terhadap
aritmia dan dalam mekanisme preconditioning iskemik.11
Sulfonilurea, digunakan sebagai agen hipoglikemik untuk pengobatan
diabetes tipe 2 juga memblokir saluran miokard KATP memperpanjang APD selama
iskemia, yang dengan membiarkan Ca2 + entri untuk jangka waktu yang lama,
berpotensi membahayakan jantung. Temuan kontroversial telah dilaporkan mengenai
efek perlindungan dari sulfonilurea. Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Negroni,
Del Valle, dan Lascano menemukan fungsi klinis pada jantung model hewan besar
yang relevan. Pengaruh glibenklamid, sebuah sulfonilurea, telah dipelajari dalam
hewan domba yang mengakibatkan iskemia selama 12 menit. Glibenclamide (0,4
mg / kg) benar-benar memblokir saluran KATP, menghasilkan efek yang merugikan
pada reperfusi-induced aritmia dan pemulihan miokard dari berhentinya jantung pada
hewan normal. Efek Adverse tersebut lebih terlihat pada domba diabetes yang
diinduksi aloksan, dimana dosis yang lebih rendah (0,1 mg / kg) menghambat
pembukaan saluran KATP yangmemperburuk pemulihan mekanik dan kejadian
aritmia. Namun, glibenklamid tidak menghapus preconditioning iskemik terhadap
aritmia yang henti jantung pada hewan normal. Karena domba dengan diabetes tidak
mempunyai cardio protective fenomena, mungkin karena disfungsi saluran KATP,

11
12

tidak mungkin untuk menilai efek glibenklamid pada preconditioning dalam kondisi
patologis. Sebagai kesimpulan, pada hewan besar, glibenklamid mengganggu
terbukanya saluran KATP selama iskemia-reperfusi akut baik pada hewan normal dan
diabetes. Oleh karena itu, meskipun beberapa penelitian mengklaim ada penambahan
risiko kardiovaskular karena glibenklamid, Negroni dan peneliti lainnya
menyimpulkan farmakologis agen ini harus diselidiki lebih lanjut untuk memastikan
administrasi aman pada pasien dengan penyakit jantung.11

2. Glibenclamide Menurunkan Inflamasi, Vasogenic Edema, dan Aktifasi


Caspase-3 Setelah Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid (SAH) menyebabkan cedera otak sekunder karena
vasospasme dan peradangan. Penelitian ini mempelajari model tikus dari SAH
ringan-sampai sedang ditujukan untuk meminimalkan iskemia / hipoksia untuk
mengetahui peran reseptor sulfonilurea 1 (SUR1) dalam respon inflamasi disebabkan
oleh SAH. mRNA untuk Abcc8, yang mengkode SUR1, dan SUR1 protein terdapat
banyak di korteks yang berdekatan dengan SAH, dimana tumor necrosis factor-α
(TNFa) dan faktor nuklir (NF) kB memberi sinyal yang menonjol. Dalam percobaan
in vitro ditemukan bahwa transkripsi Abcc8 dirangsang oleh TNFa. Untuk
mengetahui konsekuensi fungsional SUR1 setelah SAH, mereka mempelajari
pengaruh inhibitor SUR1 selektif, yaitu glibenklamid. Peneliti memeriksa
permeabilitas barier (imunoglobulin G, IgG ekstravasasi), dan ternyata berkorelasi
dengan lokalisasi protein persimpangan ketat, zona occludens 1 (ZO-1). SAH
menyebabkan peningkatan besar dalam permeabilitas barier dan mengganggu
lokalisasi junctional normal ZO-1. Glibenklamid secara signifikan mengurangi kedua
efek tersebut. Selain itu, SAH menyebabkan kenaikan besar dalam tanda peradangan,
termasuk TNFa dan NFκB, dan tanda cedera sel atau kematian sel, termasuk
endositosis IgG dan aktivasi caspase-3, dengan glibenklamid secara signifikan
13

mengurangi efek ini. Peneliti Simard,et al menyimpulkan bahwa blok SUR1 oleh
glibenklamid dapat memperbaiki beberapa efek patologis yang berhubungan dengan
peradangan yang mengarah pada disfungsi kortikal setelah SAH.12
BAB IV

PEMBAHASAN

Diabetes melitus tipe 2 adalah kelainan yang bersifat kronis ditandai dengan
adanya kelainan permanen dari sistem metabolisme tubuh berupa kadar gula darah
yang tinggi (hiperglikemia). Hal ini dapat terjadi karena insulin tubuh tidak dapat
bekerja dengan efektif atau tubuh (sel ß pankreas) tidak mampu menghasilkan
hormon insulin yang memadai atau kedua-duanya. Dengan demikian kelainan
patologi yang mendasari yang terjadi pada penderita diabetes adalah kegagalan
memproduksi insulin (defisiensi insulin) atau kegagalan memanfaatkan insulin
(resistensi insulin) ataupun keduanya akan menimbulkan peningkatan kadar gula
darah serta hasil metabolisme lainnya.5
Pasien diabetes melitus tentunya membutuhkan beberapa penanganan terapi
untuk menurunkan resiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Saat ini,
obat-obatan yang paling banyak digunakan adalah golongan sulfonylurea sebanyak
65%, seperti glibenklamid yang digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien
diabetes melitus yang ditambah dengan perubahan gaya hidup. Bila terjadi kegagalan
terapi, kombinasi glibenklamid dengan obat antidiabetes lain akan dilakukan.2
Glibenklamid merupakan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) golongan
sulfonilurea generasi kedua yang hanya digunakan untuk mengobati individu dengan
diabetes melitus tipe 2 untuk menurunkan konsentrasi gula darah. Pada bab ini
dibahas mengenai pengaruh pemberian glibenklamid terhadap penderita diabetes
mellitus, berdasarkan penelitian-penelitian selanjutnya. Penelitian pertama, dengan
judul “Kerja Glibenklamid Pada Fungsi Jantung dan Insiden Aritmia Pada Jantung
yang Sehat dan Diabetes”, menyatakan hasil penelitian bahwa sulfonilurea digunakan
sebagai agen hipoglikemik untuk pengobatan diabetes tipe 2 juga memblokir saluran
miokard KATP memperpanjang APD selama iskemia, yang dengan membiarkan

14
15

Ca2+entri untuk jangka waktu yang lama, berpotensi membahayakan jantung. Dengan
demikian penggunaan sulfonilurea khususnya glibenklamid tidak dianjurkan pada
pasien dengan riwayat penyakit jantung seperti aritmia maupun gagal jantung.
Meskipun beberapa penelitian mengklaim ada penambahan risiko kardiovaskular
karena glibenklamid, peneliti menyimpulkan farmakologis agen ini harus diselidiki
lebih lanjut untuk memastikan administrasi aman pada pasien dengan penyakit
jantung.11
Penelitian kedua, dengan judul “Glibenclamide Menurunkan Inflamasi,
Vasogenic Edema, dan Aktifasi Caspase-3 Setelah Perdarahan Subarachnoid”
menyimpulkan bahwa blok SUR1 oleh glibenklamid dapat memperbaiki beberapa
efek patologis yang berhubungan dengan peradangan yang mengarah pada disfungsi
kortikal setelah SAH (perdarahan subarachnoid).12
16

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemi dan


dapat berakibat fatal pada penderitanya. Penatalaksanaan diabetes melitus dapat
berupa farmakologi dan non farmakologi. Glibenklamide adalah salah satu golongan
sulfonylurea yang digunakan untuk terapi diabetes melitus. Obat ini mempunyai
reaksi hipoglikemik yang kuat jika dibandingkan dengan glimepiride. Pada pasien
diabetes gestational yang gagal terapi dengan diet, dapat diterapi dengan
glibenklamide. Selain untuk terapi diabetes, glibenklamide dapat digunakan untuk
menurunkan inflamasi, vasogenic edema, dan aktifasi caspase-3 setelah perdarahan
subaraknoid. Penelitian lebih lanjut mengenai glibenklamide dibutuhkan untuk
mengetahui keamanan obat ini terhadap pasien dengan kelainan jantung.
17

DAFTAR PUSTAKA

1. Bennett, P. 2008. Epidemiology of Type 2 Diabetes Millitus. In LeRoith et


al. Diabetes Millitusa Fundamental and Clinical Text. Philadelphia:
Lippincott William & Wilkins. 43(1): 544-7.
2. Kennedy, M. S. N. 2012. Pancreatic Hormones & Antidiabetic Drugs. In:
Bertram G. Katzung, Susan B. Masters, & Anthony J. Trevor. Basic &
Clinical Pharmacology, 12th Edition. New York: The McGraw-Hill
Companies. Section VII, Chapter 41.
3. McEvoy, K. 2002, AHFS Drug Information, American Society of Health-
System Pharmacists, Wisconsin.pp. 76-77.
4. Katzung, BG. 2004. Basic & Clinical Pharmacology 9th, McGrawHill,
New York. p. 377-406.
5. Utomo, A.Y., 2011. Hubungan Antara 4 Pilar Pengelolaan Diabetes
Melitus Dengan Keberhasilan Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe
2.Artikel karya tulis ilmiah. Semarang: Universitas Diponegoro.p. 123-
130.
6. Harding, Anne Helen. 2003. Dietary Fat adn Risk of Clinic Type Diabetes.
American Journal of Epidemiology. 15 (1); 150-9.
7. Slamet S. 2008. Diet Pada Diabetes. Jakarta: Balai Penerbit FK-ill.
8. Sujaya, I Nyoman. 2009. Pola Konsumsi Makanan Tradisional Bali
sebagai Faktor Risiko Diabetes MelitusTipe 2 di Tabanan. Jurnal Skala
Husada. 6 (1); 75-81.
9. Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, wells BG, Posey LM. 2008.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 7thed. New York:
McGraw Hill.
10. Rubenstein David. 2007. Kedokteran Klinis Edisi Keenam. Erlangga
Medical Series.
11. J. Legtenberg Roger, Ralph J. F., Berend Oesberg, Paul Smits. 2001.
Effects of Sulfonylurea Derivates on Ischemia Induced loss of Function in
18

the Isolated Rat Heart. European Journal of Pharmacology. Vol. 419 (1):
85-92
12. Simard J. Marc, Zhihua Geng, S Kyoon Woo, et al. 2009. Glibenclamide
Reduces Inflammation, Vasogenic Edema, and Caspase-3 Activation After
Subarachnoid Hemorrhage. Journal of Cerebral Blood Flow &
Metabolism. Vol. 29: 317-330.

Anda mungkin juga menyukai