Anda di halaman 1dari 61

CASE REPORT STUDY

BANGSAL NEUROLOGI

“STROKE ISKEMIK, DIABETES MELITUS TIPE II, HIPONATREMIA, DAN

HIPERTENSI”

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


DI RUMAH SAKIT OTAK DR. Drs. MUHAMMAD HATTA
Periode 28 Juni – 09 Juli 2021

Oleh:

KELOMPOK IV

AMELIA UTAMI PUTRI, S.Farm 2030122004

ANNISA SHABRINA, S.Farm 2030122009

BELLA OKTA SARI, S.Farm 2030122013

EKA HENI NUR FITRIA, S.Farm 2030122018

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

PADANG

2021
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum warrahmatullahi wabbarakatuh

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Study Bangsal Neurologi mengenai penyakit

Stroke Iskemik, dan Diabetes Melitus Tipe II yang dilakukan di Rumah Sakit Otak DR. Drs. M.

Hatta Bukittinggi. Laporan ini dibuat untuk melengkapi tugas-tugas kami mahasiswa Profesi

Apoteker Universitas Perintis Indonesia Yayasan Perintis Padang dan ditulis berdasarkan teori

serta hasil pengamatan selama melakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA).

Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan, bimbingan, arahan, serta masukan

dari berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan laporan studi kasus ini.Penulis

menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik dalam segi penyusunan maupun tata bahasanya

sehingga penulis berharap saran, kritikan dan masukannya demi kesempurnaan laporan studi

kasus ini. Semoga laporan studi kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bukittinggi, Juli 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah manifestasi klinik dari

gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung dengan cepat dan lebih

dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa ditemukannya penyakit selain dari pada

gangguan vaskular. Berdasarkan kelainan patologisnya, stroke dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (stroke iskemik) (WHO, 2005).

Stroke hemoragik diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak, sedangkan stroke

non hemoragik disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian atau total. Hanya

15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan. Jumlah penderita stroke di

Indonesia terus meningkat. Pada Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) jumlah penderita stroke di

tahun 2007 usia 45-54 sekitar 8 persen, sedangkan pada tahun 2013 mencapai 10 persen. Jumlah

penderita stroke usia 55-64 tahun pada Riskesdas 2007 sebanyak 15 persen, sedangkan pada

Riskesdas 2013 mencapai 24 persen (Rikerdas, 2007).

Di lndonesia, stroke semakin menjadi masalah utama kesehatan masyarakat. Bersama

penyakit kardiovaskular lainnya, stroke telah menjadi salah satu pembunuh nomor satu

(Misbach,2011).

Beberapa faktor resiko terjadinya stroke antara lain diabetes mellitus, hipertensi,

aterosklerosis, anemia, penggunaan heparin, hiperlipidemia, hiperkromositemia dan malnutrisi

protein (Runtuwene Th, 2001). Keberadaan Diabetes Melitus Tipe II (DM Tipe II) telah

dihubungkan dengan meningkatnya resiko terjadinya stroke. Penderita DMT2 memiliki risiko 3-4

kali lebih besar untuk mengalami stroke iskemik dibandingkan yang tidak menderita diabetes

(Khoury et al., 2013).

Prevalensi stroke secara signifikan lebih tinggi pada penderita DMT2 daripada penderita

DMT1. Prevalensi stroke dengan lama menderita diabetes > 20 tahun pada penderita DMT 2
sebesar 7,9%, sedangkan pada penderita DMT1 sebesar 2,7% (Song, 2015). Lima puluh persen

dari prevalensi stroke di Indonesia berkisar 0,5-4,3% dengan DMT1 dan berkisar 4,1-6,7%

dengan DMT2 (Ndraha, 2014). Komplikasi jangka panjang pada penderita DMT 2 lebih

berbahaya dan mematikan dari pada DMT11. Kematian akibat stroke pada penderita DMT2

(13,4%) lebih tinggi dibandingkan pada DMT1 (12,2%) (Song, 2015).


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke Iskemik


2.1.1 Definisi

Menurut World Health Organization (WHO), stroke merupakan suatu tanda klinis yang

berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (global) dengan gejala-gejala yang berlangsung

selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas

selain vascular. Stroke iskemik adalah stroke yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu

atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan

(trombus) yang terbentuk didalam suatu pembuluh otak atau organ distal (Price dan Wilson,

2003).

2.1.2 Patofisiologi
Penyumbatan sistem arteri umumnya disebabkan oleh terbentuknya trombus pada

ateromatus plaque pada bifurkasi dari arteri karotis. Erat hubungannya dengan aterosklerosis

(terbentuknya ateroma) dan arteriolosclerosis. Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-

macam manifestasi klinik dengan cara :

1). Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran darah.

2). Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau pendarahan aterom.

3). Terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli

4). Menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang

kemudian

dapat robek.

Suatu penyumbatan total dari aliran darah pada sebagian otak akan menyebabkan

hilangnya fungsi neuron yang bersangkutan pada saat itu juga. Bila anoksia ini berlanjut sampai

5 menit maka sel tersebut dengan sel penyangganya akan mengalami kerusakan irreversibel
sampai nekrosis beberapa jam kemudian yang diikuti perubahan permeabilitas vaskular

disekitarnya dan masuknya cairan.

Di sekitar daerah iskemi timbul edema akibat berlebihannya H+ dari asidosis laktat. K+

dari neuron yang rusak diserap oleh sel disertai retensi air yang timbul dalam empat hari pertama

sesudah stroke. Edema ini menyebabkan daerah sekitar nerkrosis mengalami gangguan perfusi

dan timbul iskemi ringan tetapi jaringan otak masih hidup. Bila terjadi stroke, maka di suatu

daerah tertentu dari otak akan terjadi kerusakan (baik karena infark maupun pendarahan).

Neuron-neuron di daerah tersebut tentu akan mati, dan neuron yang rusak ini akan mengeluarkan

glutamat, yang selanjutnya akan membanjiri sel-sel sekitarnya. Glutamat ini akan menempel

pada membran sel neuron di sekitar daerah primer yang terserang. Glutamat kan merusak

membran sel neuron dan membuka kanal kalsium.

Kemudian terjadilah influks kalsium yang mengakibatkan kematian sel. Sebelumnya, sel

yang mati ini akan mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya akan membanjiri lagi neuron-

neuron disekitarnya. Neuron-neuron yang rusak juga akan melepaskan radikal bebas, yaitu

charged oxygen molecules (seperti nitric okside), yang akan merombak molekul lemak didalam

membran sel, sehingga membran sel akan bocor dan terjadilah influks kalsium. Stroke iskemik

menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak yang menyebabkan kematian sel (Aliah, 2005).

2.1.3 Faktor Resiko


Faktor resiko untuk terjadinya stroke iskemik dibagi menjadi faktor resiko

Nonmodifiable dan Modifiable (PERDOSSI, 2011)

 Faktor resiko Nonmodifiable yaitu : Usia, Ras, Jenis Kelamin, Etnis, Genetik/keturunan.

 Faktor resiko modifiable yaitu : Hipertensi, Diabetes Melitus, Penyakit jantung,

Hiperkolesterolemia, Transient Ischemic Attack (TIA), Stenosis karotis,

Hiperhomosisteinemia, Alkohol, merokok, obat-obatan, obesitas, inaktivitas,

penggunaan kontrasepsi oral.


2.1.4 Manifestasi Klinis
1. Kehilangan motorik
a. Adanya defisit neurologis/kelumpuhan fokal seperti hemiparesis (lumpuh sebelah badan

kanan/kiri saja).

b. Baal mati rasa sebelah badan, rasa kesemutan, terasa seperti terkena cabai (terbakar)

c. Mulut mencong, lidah moncong, lidah mencong bila diluruskan.

d. Berjalan menjadi sulit, langkahnya kecil-kecil.

2. Kehilangan komunikasi
a. Bicara jadi pelo

b. Sulit berbahasa kata yang diucapkan tidak sesuai dengan keinginan/gangguan berbicara

berupa pelo, cegal dan kata-katanya tidak bisa dipahami (afasia).

c. Bicara tidak lancar hanya sepatah kata yang terucap.

d. Bicara tidak ada artinya.

e. Tidak memahami pembicaraan orang lain.

f. Tidak mampu membaca dan penulis.

3. Gangguan persepsi

a. Penglihatan terganggu, penglihatan ganda (diplopia)

b. Gerakan tidak terkoordinasi, kehilangan keseimbangan.

4. Defisit intelektual

a. Kehilangan memori/pelupa

b. Rentang perhatian singkat

c. Tidak bisa berkonsentrasi

d. Tidak dapat berhitung

5. Disfungsi kandung kemih Tidak bisa menahan kemih dan sering berkemih(Junaidi, 2011).

2.2 Diabetes Melitus


2.2.1 Definisi
Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala
yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal.

Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara

absolut maupun relatif (Riskesdas, 2013).

Menurut Perkeni (2011), seseorang dapat didiagnosa diabetes melitus apabila mempunyai

gejala klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi disertai dengan kadar gula

darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa ≥126 mg/dl.

2.2.2 Etiologi
Menurut Bruner dan Suddarth (2013), diabetes mellitus dibagi menjadi 2, yaitu diabetes

mellitus primer dan diabetes mellitus sekunder.

a. Diabetes Mellitus primer


Disebablan oleh faktor herediter, obesitas, kelainan pancreas dan pertambahan
usia.
 Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau diabetes mellitus tergantung insulin

disebabkan oleh destruksi sel beta pulau langerhens akibat proses auto imun.

 Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau diabetes mellitus tidaktergantung

insulin disebabkan kegagalan relatif sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi insulin

sepenuhnya atau terjadi defisiasi relative insulin ketidakmampuan ini terlihat dari

berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa

bersama dengan bahan terangsang sekresi insulin lain.

b. Diabetes Mellitus sekunder

Disebabkan oleh kelainan hormonal, karena obat, kelainan insulin dan sindrom genetik.

Selain itu juga terdapat faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes

mellitus. Menurut Waspadji (2009), diabetes disebabkan karena :

 Usia (>65 tahun).

 Obesitas dan genetic.

 Malnutrisi disertai kekurangan protein yang nyata.


 Riwayat keluarga.
2.2.3 Klasifikasi DM

a. Diabetes tipe 1

Diabetes tipe 1 biasanya terjadi pada remaja atau anak, dan terjadi karena kerusakan sel β

(beta) (WHO, 2014). Canadian Diabetes Association (CDA) (2013), juga menambahkan bahwa

rusaknya sel β pankreas diduga karena proses autoimun, namun hal ini juga tidak diketahui

secara pasti. Diabetes tipe 1 rentan terhadap ketoasidosis, memiliki insidensi lebih sedikit

dibandingkan diabetes tipe 2, akan meningkat setiap tahun baik di negara maju maupun di negara

berkembang (IDF, 2014).

b. Diabetes tipe 2

Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa (WHO, 2014). Seringkali diabetes tipe

2 didiagnosis beberapa tahun setelah onset, yaitu setelah komplikasi muncul sehingga tinggi

insidensinya sekitar 90% dari penderita DM di seluruh dunia dan sebagian besar merupakan

akibat dari memburuknya faktor risiko seperti kelebihan berat badan dan kurangnya aktivitas

fisik (WHO, 2014).

c. Diabetes gestational
Gestational diabetes mellitus (GDM) adalah diabetes yang didiagnosis selama kehamilan

(ADA, 2014) dengan ditandai dengan hiperglikemia (kadar glukosa darah di atas normal) (CDA,

2013 dan WHO, 2014). Wanita dengan diabetes gestational saat melahirkan, serta memiliki

risiko diabetes tipe 2 yang lebih tinggi di masa depan (IDF, 2014).

2.2.4 Patofisiologi
Diabetes Mellitus (DM) merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh

terjadinya kerusakan pada sel-sel β pulau Langerhans dalam kelenjar pankreas, sehingga hormon

insulin disekresikan dalam jumlah yang sedikit, bahkan tidak sama sekali. Diabetes mellitus juga

dapat disebabkan oleh terjadinya penurunan sensitifitas reseptor hormon insulin pada sel (Price

dan Sylvia, 2012). Metabolisme adalah proses pembentukan energi di dalam tubuh. Dalam
proses metabolisme insulin memegang peranan penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke

dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin adalah suatu zat atau

hormone yang disekresikan oleh sel–sel beta yang salah satu dari empat tiap sel dalam pulau–

pulau langerhans pankreas. Insulin diumpamakan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu

masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa itu dioksidasi menjadi

energi atau tenaga (Julianto Eko, 2011).

Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel–sel

beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Disamping itu, glukosa yang berasal dari

makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetapberada dalam darah dan menimbulkan

hiperglikemia postprandial (sesudahmakan) (Brunner and Suddarth, 2013). Tidak adanya insulin

disebabkan oleh reaksi autoimun yang disebebkan karena adanya peradangan di sel beta

pankreas. Ini menyebabkan timbulnya reaksi antibodi terhadap sel beta yang disebut ICA (Islet

Cell Antibody). Reaksi antigen dengan antibodi yang ditimbulkan menyebabkan hancurnya sel

beta (Julianto Eko, 2011). Apabila konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak

dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar. Akibatnya, glukosa tersebut

muncul dalam urine (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin,

ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini

dinamakan diueresis osmotic. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien

akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia) (Brunner and

Suddarth, 2013).

Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan

penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat

menurunnya simpanan kalori. Gejala lainya mencangkup kelelahan dan kelemahan. Dalam

keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan

glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam–asam amino serta substansi lain).
Namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut

turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang

mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan

lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam–basa (penurunan

pH) tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Keadaan ini disebut asidosis metabolic yang

diakibatkanya dapat menyebabkan tanda–tanda dan gejala seprti nyeri abdomen, mual, muntah,

hiperventilasi, nafas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan

kesadaran, koma, bahkan kematian. Penderita Diabetes Mellitus dapat mengalami perubahan

atherosklerotik pada arteri-arteri besar, perubahan-perubahan ini sama seperti pada orang non

diabetik, insulin berperan utama dalam memetabolisme lemak atau lipida. Pada penderita

Diabetes Mellitus sering terjadi kelainan lipida. Hiperliproteinemia pada Diabetes mellitus

merupakan akibat dari adanya very low density lipoprotein yang berlebihan. Pengecilan lumen

pembuluh-pembuluh darah besar membahayakan pengiriman oksigen ke jaringan dan dapat

iskemia jaringan, sehingga dapat timbul penyakit vaskuler seperti: penyakit cerebravaskuler,

penyakit arteri koroner, sternosis arteri renalis, vaskuler perifer dan penyakit ekstermitas seperti

gangren.

Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu

resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor

khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi

suatu reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II

disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif

untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Meskipun terjadi gangguan sekresi

insulin, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan

lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak

terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat
meimbulkan masalah akut lainnyayang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmolar

nonketotik (HHNK). Untuk sebagian besar pasien (kurang lebih 75%), penyakit diabetes tipe II

yang didieritanya ditemukan secara tidak sengaja (misalnya, pada saat pasien menjalani

pemeriksaan laboratorium yang rutin). Salah satu konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit

diabetes jangka bertahun– tahun adalah komplikasi diabetes jangka panjang (misalnya, kelainan

mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosa

ditegakan.

2.2.5 Faktor Resiko

Beberapa faktor risiko untuk diabetes melitus, terutama untuk DM Tipe 2, dapat

dilihat pada tabel berikut ini :

Diabetes dalam keluarga Diabetes


gestasional
Melahirkan bayi dengan berat badan >4 kg Kista
Ovarium (polycystic ovary syndrome)
IFG (Impaired fasting Glucose) atau IGT (Impaired glucose
Riwayat tolerance)
Obesitas >120% berat badan ideal

Umur 20-50 tahun : 8,7%

Etnik/Ras >65 tahun : 18 %

Hipertensi >140/90 mmHg


Kadar HDL rendah , 35 mg/dl
Hiperlipidemia
Kadar lipid darah tinggi > 250 mg/dl
Faktor – faktor Kurang olahraga
lain Pola makan rendah serat
Tabel 1. Faktor resiko untuk Diabetes tipe 2 (Dipiro, 2008).

2.2.6 Diagnosa
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan

glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan

plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. kecurigaan adanya DM perlu

dipikirkan bila terdapat keluhan seperti :

a. Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang

tidak dapat dijelaskan sebabnya

b. Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada

pria serta pruritus vulva pada wanita.

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2 jam setelah tes toleransi glukosa

oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram


Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan klasik
Atau
Pemeriksaan HbA1C ≥ 6,5 % dengan menggunkan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standardization
Program
(NGSP)

Tabel 2. Kriteria Diagnosis DM (Dipiro, 2008).

HbA1c Glukosa darah puasa Glukosa plasma 2 jam setelah

(%) (mg/dl) TTGO (mg/dl)


Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Pradiabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal < 5,7 70-99 70-139

Tabel 3. Kadar Glukasa Darah (Parkeni, 2019).

Cara pelaksanaan kadar glukosa darah :


a. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti biasa sehari-hari (dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,minum air

putih tanpa gula tetap diperbolehkan

c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.

d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak- anak),

dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu5 menit.

e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah

minum larutan glukosa selesai.

f. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa

g. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahatdan tidak merokok.

2.2.7 Komplikasi Diabetes Mellitus


Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang dapat menimbulkan berbagai

macam komplikasi, antara lain :

a) Komplikasi akut
Kompikasi metabolik akut pada penyakit diabetes melitus terdapat tiga macam yang

berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek, diantaranya:

1) Hipoglikemia
Hipoglikemia (kekurangan glukosa dalam darah) timbul sebagai komplikasi

diabetes yang disebabkan karena pengobatan yang kurang tepat (Smeltzer & Bare, 2008).

2) Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) disebabkan karena kelebihan kadar glukosa dalam

darah sedangkan kadar insulin dalam tubuh sangat menurun sehingga mengakibatkan

kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis (Subekti,

2009).

3) Sindrom HHNK (koma hiperglikemia hiperosmoler nonketotik)


Sindrom HHNK adalah komplikasi diabetes melitus yang ditandai terjadiya

penurunan kesadaran dengan hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih dari

600 mg/dl (Price & Wilson, 2006).

b) Komplikasi kronik
Komplikasi metabolik kronik pada pasien DM menurut Price & Wilson (2006) dapat

berupa kerusakan pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) dan komplikasi pada pembuluh

darah besar (makrovaskuler) diantaranya:

1) Komplikasi pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) Komplikasi pada pembuluh darah kecil
(mikrovaskuler) yaitu :
 Kerusakan retina mata (Retinopati), kerusakan retina mata (Retinopati) adalah suatu

mikroangiopati ditandai dengan kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil

(Pandelaki, 2009).

 Kerusakan ginjal (Nefropati diabetik), kerusakan ginjal pada pasien DM ditandai

dengan albuminuria menetap (>300 mg/24jam atau >200 ih/menit) minimal 2 kali

pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Nefropati diabetik merupakan penyebab

utama terjadinya gagal ginjal terminal.

 Kerusakan syaraf (Neuropati diabetik), Neuropati diabetik merupakan komplikasi

yang paling sering ditemukan pada pasien DM. Neuropati pada DM mengacau pada

sekelompok penyakit yang menyerang semua tipe saraf (Subekti, 2009).

2) Komplikasi pembuluh darah besar (makrovaskuler) Komplikasi pada pembuluh darah

besar pada pasien diabetes yaitu stroke dan risiko jantung koroner.

 Penyakit jantung koroner, komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien DM

disebabkan karena adanya iskemia atau infark miokard yang terkadang tidak disertai

dengan nyeri dada atau disebut dengan SMI (Silent Myocardial Infarction)

(Widiastuti, 2012).

 Penyakit serebrovaskuler, Pasien DM berisiko 2 kali lipat dibandingkan dengan pasien


non-DM untuk terkena penyakit serebrovaskuler.Gejala yang ditimbulkan menyerupai

gejala pada komplikasi akut DM, seperti adanya keluhan pusing atau vertigo,

gangguan penglihatan, kelemahan dan bicara pelo (Smeltzer & Bare, 2008).

2.2.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup penyandang

diabetes. Tujuan penatalaksanaan :

a. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan

tercapainya target pengendalian glukosa darah.

b. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,

makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas

dan mortalitas DM.

c. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan

darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistic dengan

mengerjakan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter

yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Parameter Kadar Ideal yang Diharapkan

Kadar Glukosa Darah Puasa 80 – 120 mg/dl


Kadar Glukosa Plasma Puasa 90 – 130 mg/dl
Kadar Glukosa Darah Saat Tidur 100 – 140 mg/dl
(Bedtime blood glucose)

Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur 110 – 150 mg/dl


(Bedtime plasma glucose)

Kadar Insulin < 7%


Kadar HbA1c <7 mg/dl
Kadar Kolesterol HDL Pria : > 45 mg/dl
Kadar Kolesterol HDL Wanita : > 55 mg/dl
Kadar Trigliserida < 200 mg/dl
Tekanan Darah < 130/80 mmHg

Tabel 4. Target Penatalaksanaan Diabetes.

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan

mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu:

1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal

2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.

Terapi Farmakologis :

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan

jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk

suntikan.

a. Obat Anti hiperglikemiaOral / Anti Diabetes Oral


Berdasarkan cara kerjanya, obat anti-hiperglikemia oral dibagi menjadi 6 golongan:
Tabel 5. Obat Anti hiperglikemia Oral (Perkeni, 2015).

1. Pemacu Sekresi Insulin(Insulin Secretagogue) Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel

beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan.

Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia

(orang tua, gangguan fungsi hati dan ginjal) (Perkeni, 2015). Efek samping lain

golongan sulfonilurea adalah gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf

pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam

lambung dan sakit kepala. Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo, bingung,

ataksia dan lain sebagainya.

Sulfonilurea mempunyai dua generasi yaitu generasi pertama dan kedua.

Pembagian tersebut didasarkan kekuatan daya kerja dan efek samping yang ditimbulkan

obat tersebut. Sulfonilurea generasi pertama meliputi asetoheksamid, klorpropamid,

tolazamid dan tolbutamid. Generasi kedua meliputi glimepirid, glipizid dan

glibenklamid. Generasi kedua berdaya kerja lebih kuat daripada generasi pertama
(Triplitt, Reasner, 2005). Obat yang masuk dalam golongan sulfonilurea ini mempunyai

efek hipoglikemik sedang sehingga tidak begitu sering menyebabkan efek

hipoglikemik. Selain itu, obat ini mempunyai efek agregasi trombosit yang lebih poten.

Glikazida dapat diberikan bagi penderita gangguan fungsi hati dan ginjal yang ringan.

Obat golongan sulfonilurea dapat diberikan 30 menit sebelum makan.

Dalam tubuh, sulfonilurea akan terikat pada reseptor spesifik sulfonilurea pada

sel beta pankreas. Ikatan tersebut menyebabkan berkurangnya asupan kalsium sehingga

terjadi depolarisasi membran. Kemudian kanal Ca2+ terbuka dan memungkinkan ion-

ion Ca2+ masuk sehingga terjadi peningkatan kadar Ca2+ di dalam sel. Peningkatan

tersebut menyebabkan translokasi sekresi insulin ke permukaan sel. Insulin yang telah

terbentuk akan diangkut dari pankreas melalui pembuluh vena untuk beredar ke seluruh

tubuh (Triplitt, Reasner, 2005).

Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan sulfonilurea, namun berbeda

lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase

pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat)

dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian

secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia

post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia. Obat golongan

glinid sudah tidak tersedia di Indonesia.

1. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin


Metformin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin

merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DM tipe 2. Dosis metformin

diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (LFG 30 – 60 ml/menit/1,73


m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan LFG < 30 mL/menit/1,73

m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia

(misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung NYHA

fungsional class III-IV). Efek samping yangmungkin terjadi adalah gangguan saluran

pencernaan seperti dispepsia, diare, dan lain-lain (Perkeni, 2015). Metformin dapat

diminum sesudah atau bersama makanan.

Tiazolidinedion(TZD)

Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated

Receptor Gamma (PPAR- gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di

sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi

insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga

meningkatkan ambilan glukosa dijaringan perifer. Tiazolidinedion meningkatkan

retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung

(NYHAfungsionalclassIII-IV) karena dapat memperberat edema/retensi

cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal

hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah pioglitazone.

Obat ini dapat dikosumsi sesudah atau sebelum makan (Perkeni, 2015).

1. Penghambat Alfa Glukosidase


Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase di saluran

pencernaan sehingga menghambat absorpsi glukosa dalam usus halus. Penghambat

glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan LFG ≤ 30 ml/min/1,73 m 2, gangguan

faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi

berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus.

Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh

obat golongan ini adalah acarbose dan mannitol. Obat ini dapat dikosumsi bersama
makanan (Perkeni).

2. Penghambat enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 inhibitor)


Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease, yang

didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua asam amino dari

peptida yang mengandung alanin atau prolin diposisi kedua peptida N-terminal.

Enzim DPP-4 terekspresikan di berbagai organ tubuh, termasuk di usus dan

membran brush border ginjal, di hepatosit, endotelium vaskuler dari kapiler villi,

dan dalam bentuk larut dalam plasma. Penghambat DPP-4 akan menghambat

lokasi pengikatan pada DPP-4 sehingga akan mencegah inaktivasi dari glucagon-

likepeptide(GLP)-1. Proses inhibisi ini akan mempertahankan kadar GLP-1 dan

glucose- dependent insulin otropicpoly peptide (GIP) dalam bentuk aktif di

sirkulasi darah, sehingga dapat memperbaiki toleransi glukosa, meningkatkan

respons insulin, dan mengurangi sekresi glukagon. Penghambat DPP-4 merupakan

agen oral, dan yang termasuk dalam golongan ini adalah vildagliptin, linagliptin,

sitagliptin, saxagliptin dan alogliptin (Perkeni, 2015).

3. Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter2 (SGLT-2inhibitor)

Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus

proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat golongan ini

mempunyai manfaat untuk menurunkan berat badan dan tekanan darah. Efek

samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat ini adalah infeksi saluran

kencing dan genital. Pada penyandang DM dengan gangguan fungsi ginjal perlu

dilakukan penyesuaian dosis, dan tidak diperkenankan bila LFG kurang dari

45ml/menit. Hati-hati karena dapat mencetuskan ketoasidosis. Obat golongan ini

dapat diminum pagi hari sebelum makan (Perkeni,2015).

Obat Antihiperglikemia Suntik


 Insulin
Insulin menurunkan kadar gula darah dengan menstimulasi pengambilan glukosa perifer

dan menghambat produksi glukosa hepatik. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan

luas dalam pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel – sel β pancreas akan

langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke

seluruh tubuh melalui peredaran darah.

Efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel.

Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel.

Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel – sel tubuh kekurangan bahan

sumber energy sehingga tidak dapat memproduksi energy sebagaimana seharusnya. Disamping

fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam sel, insulin mempunyai pengaruh yang

sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun metabolisme

protein dan mineral. Insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis, serta

meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel.

Penggolongan sediaan insulin

Mula Kerja Puncak Masa Kerja


Jenis Sediaan Insulin
(Jam) (Jam) (Jam)
Masa kerja singkat (Short
0,5 1-4 6-8
acting)
Masa kerja Sedang
1-2 6-12 18-24
(Intermediate-acting)
Masa kerja Sedang, dengan
0,5 6-12 18-24
mula kerja cepat
Masa kerja Panjang (long-
4-6 14-20 24-36
acting)

Tabel 6. Penggolongan sediaan insulin berdasarkan mula dan masa kerja.


Table 7. Penggolongan sediaan insulin berdasarkan mula dan masa kerja.

Cara penyuntikan insulin :


 Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan),

dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.

 Pada keadaan khusus diberikanintramuskular atau drip.

 Insulin campuran (mixed insulin) merupakan kombinasi antara insulin kerja

pendek dan insulin kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu,

namun bila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan

perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara

kedua jenis insulin tersebut.

 Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan

dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.

 Penyuntikan insulin dengan menggunakan semprit insulin dan jarumnya

sebaiknya hanya dipergunakan sekali, meskipun dapat dipakai 2-3 kali oleh

penyandang diabetes yang sama, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin.


Penyuntikan insulin dengan menggunakan pen, perlu penggantian jarum

suntik setiap kali dipakai, meskipun dapat dipakai 2 - 3 kali oleh penyandang

diabetes yang sama asal sterilitas dapat dijaga.

 Kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan

semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit) harus diperhatikan, dan

dianjurkan memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100

(artinya 100unit/mL).

 Penyuntikan dilakukan pada daerah: perut sekitar pusat sampai ke samping,

kedua lengan atas bagian luar (bukan daerah deltoid),kedua paha bagianluar.

Terapi Kombinasi

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan pemberian

insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah

harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat

diberikan sejak sore sampai sebelum tidur, atau diberikan pada pagi hari sesuai dengan

kenyamanan pasien. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali

glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal

untuk kombinasi adalah6 -10 unit. kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar

glukosa darah puasa keesokan harinya.

Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar

glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan kadar glukosa darah

sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah men-dapat insulin basal, maka

perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan pemberian obat

antihiperglikemia oral terutama golongan Sulfonilurea dihentikan dengan hati-hati.


Tabel 8. Tatalaksana Diabetes Mellitus tipe II.
Untuk obat antidiabetes orang yang sering dikombinasikan adalah metformin dan

glibenklamid, metformin dan rosiglitazone, metformin dan glimepiride serta rosiglitazone dan

glimepiride.

Sliding Scale
Sliding scale merupakan regimen pemberian insulin dimana dosis insulin sebelum makan

atau malam hari dinaikkan secara progresif, berdasarkan kisaran sasaran glukosa darah yang

sebelumnya telah ditentukan. Didaerah dengan fasilitas terbatas, insulin sliding scale SK masih

dapat diberikan, disertai dengan pemeriksaan glukosa darah setiap 6 jam atau mendekati waktu

makan. Namun regimen ini tidak dianjurkan untuk jangka panjang, dan secepatnya segera

beralih pada fixed dose. Selain itu sliding scale juga tidak disarankan untuk menetukan dosis

harian. Biasanya regimen yang digunakan adalah insulin kerja cepat. Prinsip pemberian sliding

scale :

a. Tentukan jumlah asupan karbohidrat

b. Metode ini dapat dikombinasikan dengan pemberian insulin basal

c. Insulin bolus berdasarkan kadar glukosa darah sebelum makan atau malam sebelum
tidur
d. Dosis insulin premixed berdasarkan kadar glukosa darah sebelum makan.
Tabel 9. Skema sliding scale

2.3 Hipertensi
2.3.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan di mana tekanan darah sistolik ≥

140 mmHg dan atau tekanan distolik ≥ 90 mmHg.

2.3.2 Klasifikasi Hipertensi


Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Hipertensi essensial atau primer yang tida diketahui penyebabnya (90%)

2. Hipertensi sekunder yang penyebabnya dapat ditentukan (10%), antara lain kelainan

pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal

(hiperaldosteronisme) dan lain-lain.

Menurut JNC – VII (2003) hipertensi diklasifikasikan sesuai tertera pada tabel:

Hipertensi sistolik terisolasi (HST) didefinisikan sebagai tekanan darah istolik ≥ 140

mmHg dengan tekanan darah diastolic ≥ 90 mmHg. Berbagai studi membuktikan bahwa
pravelensi HST pada usia lanjut sangat tinggi akibat proses penuaan, akumulasi kolagen,

kalsium, serta degradasi elastin pada arteri. Kekakuan aorta akan meningkatkan tekanan darah

sistolik dan pengurangan volume aorta yang pada akhirnya mengaibatkan penurunan tekanan

darah diastolic. HST juga dapat terjadi pada keadaan anemia, hipertiroidisme, insufisiensi aorta,

fistula arteriovena dan penyakit paget.

2.3.3 Patofisiologi

Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral resistance. Apabila

terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang tidak terkompensasi maka dapat

menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan

tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan

stabilitas tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat

kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti reflex kardiovaskuler melalui

sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium,

dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui

perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon
angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung dalam jangka

panjang yang dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan

berbagai organ.

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari

angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis

penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di

hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I.

Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin

II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.

17 Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH

diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas

dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar

tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk

mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan

dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan

meningkatkan tekanan darah. 17 Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks

adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal.

Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)

dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan

kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan

meningkatkan volume dan tekanan darah.

2.3.3 Faktor Risiko


Faktor risiko hipertensi dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah: umur, jenis kelamin dan genetik
2. Faktor risiko yang dapat diubah: merokok, diet rendah serat, konsumsi garam berlebih,

kurang aktifitas fisik, berat badan berlebih/kegemukan, konsumsi alcohol, dislipidemia dan

stress.

2.3.4 Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan pemeriksaan yang

harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana yang akan diambil. Algoritma

diagnosis ini diadaptasi dari Canadian Hypertension Education Program. The Canadian

Recommendation for The Management f Hypertension 2014.

2.3.5 Tatalaksana
a. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologis terdiri dari menghentikan kebiasaan merokok, menurunkan

berat badan berlebih, konsumsi alkohol berlebih, asupan garam dan asupan lemak, latihan

fisik serta meningkatkan konsumsi buah dan sayur.


- Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih: peningkatan berat badan di usia dewasa

sangat berpengaruh terhadap tekanan darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan

sangat penting dalam prevensi dan kontrol hipertensi.

- Meningkatkan aktifitas fisik: orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi

30-50% daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-45 menit sebanyak

>3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi.

- Mengurangi asupan natrium

- Menurunkan konsumsi kafein dan alkohol: kafein dapat memacu jantung bekerja lebih

cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara

konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi.

b. Terapi Farmakologi

Terdapat empat jenis antihipertensi utama yang dianjurkan oleh JNC 8 menurut guideline

terbaru untuk terapi farmakologi hipertensi adalah

1. Diuretik
Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan darah

dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal,

meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi

langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid

diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati.

Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai

12‐24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis

rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis

meningkat pada dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya,

oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan hipokalemia,

hiponatriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena penurunan ekskresi


kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat mengakibatkan hiperurisemia, sehingga

penggunaan tiazid pada pasien gout harus hati‐hati. Diuretik tiazid juga dapat mengganggu

toleransi glukosa (resisten terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan risiko diabetes

mellitus tipe 2. Efek samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan

peningkatan LDL dan trigliserida dan penurunan HDL. 25% pria yang mendapat diuretic tiazid

mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian tiazid dihentikan.

2. ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor)

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) menghambat secara kompetitif

pembentukan angiotensin II dari precursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada darah,

pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II merupakan vaso‐

konstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer.

Penghambatan pembentukan angiotensin II ini akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem

angiotensin‐renin‐aldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada

terapi diuretik) efek antihipertensi ACEI akan lebih besar. ACEI juga bertanggungjawab

terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi.

Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat. batuk kering

yang merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi ACEI.

3. ARB (Angiotensin Receptor Blockers)

ARB menurunkan tekanan darah dengan memblok reseptor angiotensin (AT1). Obat ini

mempunyai sifat yang sama ACEI, tetapi tidak menyebabkan batuk, kemungkinan karena obat-

obat ini tidak mencegah degradasi bradikinin.

4. CCB (Calcium Channel Blockers)

CCB atau antagonis kalsium terikat pada pada kanal tipe L dan, dengan menghambat

masuknya Ca2+ kedalam sel, antagonis ini menyebabkan relaksasi otot polos arteriol. Hal ini

menurunkan resistensi perifer dan menyebabkan penurunan tekanan darah. Pemerahan pada
wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering dijumpai, karena efek vasodilatasi

CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan mual juga sering terjadi. Saluran cerna juga sering

terpengaruh oleh influks ion kalsium, oleh karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan

gastro‐intestinal, termasuk konstipasi.


2.3.7 Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung, gagal

jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Tekanan darah yang tinggi

umumnya meningkatkan resiko terjadinya komplikasi tersebut.


a. Otak
Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan oleh hipertensi.

Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial yang meninggi, atau akibat embolus yang

terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada

hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang mendarahi otak mengalami hipertropi atau penebalan,

sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya akan berkurang. Arteri-arteri di otak

yang mengalami arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya

aneurisma. Ensefalopati juga dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna atau hipertensi

dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan tersebut menyebabkan peningkatan

tekanan kapiler, sehingga mendorong cairan masuk ke dalam ruang intertisium di seluruh

susunan saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan neuron-neuron di sekitarnya kolap dan terjadi

koma bahkan kematian.

b. Kardiovaskular
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami arterosklerosis atau apabila

terbentuk trombus yang menghambat aliran darah yang melalui pembuluh darah tersebut,

sehingga miokardium tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Kebutuhan oksigen

miokardium yang tidak terpenuhi menyebabkan terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya

dapat menjadi infark.

c. Ginjal
Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada

kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus akan mengakibatkan darah

mengalir ke unitunit fungsional ginjal, sehingga nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi

hipoksia dan kematian ginjal. Kerusakan membran glomerulus juga akan menyebabkan protein

keluar melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik koloid

plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi kronik.
d. Retinopati
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah pada retina.

Makin tinggi tekanan darah dan makin lama hipertensi tersebut berlangsung, maka makin berat

pula kerusakan yang dapat ditimbulkan. Kelainan lain pada retina yang terjadi akibat tekanan

darah yang tinggi adalah iskemik optik neuropati atau kerusakan pada saraf mata akibat aliran

darah yang buruk, oklusi arteri dan vena retina akibat penyumbatan aliran darah pada arteri dan

vena retina. Penderita retinopati hipertensif pada awalnya tidak menunjukkan gejala, yang pada

akhirnya dapat menjadi kebutaan pada stadium akhir.26 Kerusakan yang lebih parah pada mata

terjadi pada kondisi hipertensi maligna, di mana tekanan darah meningkat secara tiba-tiba.

Manifestasi klinis akibat hipertensi maligna juga terjadi secara mendadak, antara lain nyeri

kepala, double vision, dim vision, dan sudden vision loss.


BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny NM
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl.xxx
Tanggal masuk : 01 Juli 2021
Tanggal keluar :-
No. Rekam Medik : 14****
3.2 Anamnesa
Seorang pasien berinisial NM dibawa oleh keluarganya ke Rumah Sakit
otak DR. DRS. M. Hatta Bukittinggi dengan keluhan lemah anggota gerak sebelah
kanan ± 2 hari sebelum masuk RS.
3.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang
- Lemah anggota gerak ± 15 hari SMRS
- Bicara pelo
- Muntah
- Sakit kepala
- Mual
3.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien menderita penyakit hipertensi
- DM tipe 2
3.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga
Berdasarkan wawancara dengan keluarga pasien, memang memiliki riwayat
penyakit hipertensi
3.3 PemeriksaanFisik
Hasil pemeriksaan fisik di Rumah Sakit pada tanggal 1 Juli 2021 :
a. Pemeriksaan Fisik
Kondisi Umum : Sedang
Kesadaran : CM
Frekuensi Nadi : 80 x/ menit

36
Frekuensi Nafas : 20 x / menit
Suhu : 37oC
Tekanan Darah : 160/100 mmHg
Berat Badan : 50 kg
b. PemeriksaanUmum
Kepala : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Rambut : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Muka : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Mata : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Telinga : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Hidung : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Mulut : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Gigi : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Lidah :Tidak ditemukan kelainan (normal)
Tenggorokan :Tidak ditemukan kelainan (normal)
Dada : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Toraks : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Respirasi : Tidak ditemukan kelainan (normal)
3.4 Pemeriksaan Penunjang
- Test Urine
- Pemeriksaan Kimia Klinik
Gula Darah
Random : 332
Nukhter :-
2 jam pp :-
Ureum : 35
Kreatinin : 0,7
Natrium : 129
Kalium : 4,2
Klorida : 92

37
3.5 Diagnosa
Pasien masuk dengan diagnosa Stroke Non Hemoragik dan Diabetes tipe 2.
3.6 PENATALAKSANAAN
3.6.1 Terapi/Tindakan yang diberikan di IGD
- IVFD NaCl 0,9% / 12 jam
- Injeksi Ranitidin 2 x 1
- Infus Citicolin 2 x 500 mg
- Simvastatin 1 x 20 mg
- Neurodex 1x1
- Aspilet 1x80 mg
3.6.2 Terapi/Tindakan yang diberikan di Bangsal Neurologi
- Aspilet 1x1
- Neurodex 1x1
- Simvastatin 20 1x1
- NaCl kristal 500 3x1
- Pletaal SR 100 1x1
- Asam folat 1x1
- NaCl 0,9%
- Ranitidin Ijeksi 2x1
- Citicolin 500 2x1
- O2
3.7 Follow Up
a. Hari ke-2 (2 Juli 2021)
S : Kelemahan sisi kanan tubuh
RPD : DM
O : Kesadaran = CM
GCS = 15
A : SNH + CKD + Hipertensi DX
+ DM ± 16 hari
P : O2
Konsul IPD

38
Pletaal SR 1X100
As. Folat 1x1
Radialisis seperti ½ duduk
NaCl kristal 3 x 500 mg

39
BAB IV
DISKUSI

4.1 Tabel Drud Related Problem


No Drug Therapy Check Keterangan
Problem List
1. Terapi Obat Yang
Tidak Diperlukan
Terdapat terapi tanpa - Pasien telah mendapatkan terapi yang sesuai
indikasi medis dengan kondisi medis.
1. IVFD NaCl 0,9% /12 jam, untuk
mengembalikan keseimbangan cairan pada
pasien.
2. Injeksi Ranitidin, untuk mengatasi stres
ulcer
3. Injeksi Citicolin, untuk meningkatkan zat
kimia di otak phosphatidylcholin, yang
dapat mengurangi kerusakan jaringan otak
4. Aspilet, untuk mengencerkan darah dan
mencegah penggumpalan di pembuluh
darah
5. Neurodex, sebagai suplementasi vitamin B
kompleks
6. Simvastatin, untuk menurunkan kolesterol
LDL, meningkatkan kolesterol HDL dan
menurunkan trigliserida
7. NaCl kristal untuk mengatur jumlah air di
dalam tubuh
8. Pletaal untuk melebarkan pembuluh darah
dan menurunkan aktivitas penggumpalan
oleh trombosit di dalam pembuluh darah
9. Asam folat sebagai suplementasi vitamin
Pasien mendapatkan - Pasien tidak mendapatkan terapi tambahan
terapi tambahan yang yang tidak di perlukan.

tidak di perlukan
Pasien masih - Tidak karena kondisi pasien membutuhkan
memungkinkan terapi secara farmakologi

menjalani terapi non


farmakologi

40
Terdapat duplikasi - Tidak terdapat duplikasi terapi
terapi
2. Kesalahan Obat
Bentuk sediaan tidak - Bentuk sediaan sudah disesuaikan dengan
tepat kondisi pasien
1. IVFD NaCl 0,9% /12 jam, diberikan
secara IV
2. Injeksi Ranitidin, dibeikan secara IV
3. Injeksi Citicholin, diberikan secara IV
4. Aspilet, diberikan secara per oral
5. Neurodex diberikan per oral
6. Simvastatin diberikan per oral
7. NaCl kristal diberikan per oral
8. Pletaal diberikan per oral
9. Asam folat diberikan per oral
Terdapat kontraindikasi - Tidak terdapat kontraindikasi antar obat dengan
kondisi pasien.
Kondisi pasien tidak - Kondisi pasien dapat disembuhkan dengan
dapat disembuhkan oleh pemberian obat

obat
Obat tidak diindikasi - Tidak ada obat yang tidak diindikasikan untuk
untuk kondisi pasien pasien.
Terdapat obat lain yang - Obat yang diberikan sudah efektif dalam proses
efektif pengobatan pasien. Dimana terapi obat yang
diberikan telah sesuai dengan kondisi pasien
yang dapat dilihat pada follow up harian
pasien.
3. Dosis Tidak Tepat
Dosis terlalu rendah - Tidak ditemukan dosis yang terlalu rendah.
1. Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg (IV) = 100
mg/hari
Dosis maksimum: 150 mg/hari
2. Injeksi citicoline 2 x 500
Dosis citicolin injeksi 500-1000 mg
3. Aspilet 1x 80 mg
Dosis aspilet 150-300 mg dan dosis
pemeliharaan 75-100 mg setiap hari
4. Simvastatin 1x10mg
Dosis awal 5-10mg dalam dosis tunggal
Dosis maksimal 40 mg/hari
5. NaCl kristal 3 x 500 mg

41
6. Pletaal 1 x 100 mg
Dosis 100-200 mg/hari
7. Asam folat 1x 1mg
Dosis 0,4-1 mg
Dosis terlalu tinggi - Tidak terdapat dosis yang terlalu tinggi

Frekuensi pengguna - Frekuensi obat yang diberikan telah tepat


tidak tepat (Medscape, MIMS)
- Injeksi ranitidine 2 x 1 (IV) pada pagi dan
malam hari
- Citicoline 2 x 500 mg/hari (IV) diberikan
pada pagi dan malam hari
- Simvastatin 1 x 1 (po) pada malam hari
- Asam Folat 1 x 2 mg (po) diberikan pada
pagi hari
- Aspilet 1x 1(po) pada pagi hari
- Neurodex 1x1 (po) pada pagi hari
- NaCl kristal 3x1 (po)
- Pletaal 100 mg 1x1 (po) pada malam hari
- Asam Folat 1 mg 1x1 (po) pada pagi hari
Durasi penggunaan - Durasi penggunaan sudah tepat
tidak tepat

Penyimpanan tidak - Penyimpanan obat sudah tepat, dimana obat


tepat disimpan didalam tempat obat pasien, Menurut
AHFS :
1. IVFD NaCl 0,9% disimpan dibawah suhu
30°C, terlindung dari cahaya.
2. Inj Ranitidin disimpan dibawah suhu 30°C,
terlindung dari cahaya.
3. Inj Citicolin disimpan dibawah suhu 30°C,
terlindung dari cahaya.
4. Simvastatin disimpan dibawah suhu 30°C,
terlindung dari cahaya
5. Aspilet disimpan dibawah suhu 30°C,
terlindung dari cahaya
6. Pletaal disimpan dibawah suhu 30°C,
terlindung dari cahaya
7. NaCl Kristal disimpan dibawah suhu 30°C,
terlindung dari cahaya.
8. Asam Folat disimpan dibawah suhu 30°C,
terlindung dari cahaya.
4. Reaksi Yang Tidak

42
Diinginkan
Obat tidak aman untuk - Obat aman untuk pasien, pemberian terapi pada
pasien pasien sudah disesuaikan dengan dosis yang
tepat untuk pasien.
Terjadi reaksi alergi - Tidak terjadi reaksi alergi, pasien tidak
memiliki riwayat alergi sehingga obat aman
digunakan
Terjadi interaksi obat - Tidak terjadi interaksi obat yang terlihat dari
pasien.
Dosis obat dinaikan - Tidak ada dosis obat yang dinaikkan atau
atau diturunkan terlalu diturunkan
cepat
Muncul efek yang tidak - Menurut pengamatan, tidak ada terjadi efek
diinginkan yang tidak diinginkan

Administrasi obat yang - Administrasi obat yang diberikan sudah tepat.


tidak tepat 1. Injeksi Ranitidine dan Injeksi Citicoline,
diberikan dalam bentuk injeksi agar
mempercepat efek kerja obat pada pasien
2. Aspilet, simvastatin, neurodex, nacl kristal,
pletaal dan asam folat diberikan melalui
peroral karena pasien dalam kondisi sadar
dan bisa menelan obat.
5. Ketidaksesuaian
Kepatuhan Pasien
Obat tidak tersedia - Tidak ada obat yang tidak tersedia, semua obat
yang di butuhkan pasien tersedia di apotek
rumah sakit
Pasien tidak mampu Iya Pasien tidak mampu menyediakan obat sendiri
menyediakan obat dalam penggunaan obat pasien dibantu
keluarga
Pasien tidak bisa - Pasien mampu mengkonsumsi obat dengan
menelan obat atau baik
menggunakan obat
Pasien tidak mengerti - Keluarga Pasien mengerti instruksi penggunaan
intruksi penggunanan obat
obat
Pasien tidak patuh atau - Pasien patuh dalam menggunakan obat, obat-
memilih untuk tidak obat untuk pasien rawat inap disediakan dalam
menggunakan obat bentuk UDD untuk satu kali pakai, sehingga
ketidakpatuhan pasien dapat teratasi.
6. Pasien Membutuhkan
Terapi Tambahan

43
Terdapat kondisi yang - Tidak ada kondisi yang tidak mendapatkan
tidak diterapi terapi
Pasien membutuhkan - Pasien tidak membutuhkan obat lain yang
obat lain yang sinergis sinergis.
Pasien membutuhkan - Pasien telah mendapatkan terapi profilaksis
terapi profilaksis

4.2 Rencana Asuhan Kefarmasian

4.3.1 Efek Terapi

Nilai yang Frekuensi


No Tujuan Terapi Rekomendasi Parameter
diinginkan Pemantauan
menurunkan kadar
kolesterol dalam Kolesterol
darah, Kadar total < 200
1. Simvastatin 14 hari
menstabilkan plak kolesterol mg/Dl
dan memiliki efek
pleiotropic
Aspilet dan Peredaran Peredaran
2. Prevensi sekunder Tiap hari
Pletaal darah darah lancar
Mencukupi Kondisi Vitamin dan
Asam folat
3. Vitamin dan umum mineral pasien Tiap hari
dan Neurodex
mineral pasien tercukupi
Sebagai prevensi Nyeri Tidak terjadi
4. Ranitidine inj Tiap hari
stres ulcer lambung nyeri lambung
Kesadaran
compos
melindungi otak, Kesadaran
mentis,
5. mempertahankan Citicoline inj sensorik dan Tiap hari
sensorik dan
fungsi otak motorik
motorik
normal
NaCl 0,9 %
Menjaga perfusi Tidak Cairan tubuh
6. dan NaCl Tiap hari
serebral dehidrasi terpenuhi
kristal

44
4.3.2 Hasil Pemantauan Efek Terapi

Rekomendasi Parameter Nilai yang Frekuensi Hasil pemeriksaan


Terapi Pemantauan diinginkan pemantauan 1-7-21 2-7-21 3-7-21 4-7-21 5-7-21 6-7-21 7-7-21
Aspilet & Peredaran darah
Tekanan darah Tiap hari 160/100 130/80 140/95 120/80 130/80 130/90 140/90
pletaal lancar
Tidak terbentuk
Simvastatin - plak di - - - - - - - -
pembuluh darah
Vitamin dan
Kondisi umum
Asam folat mineral pasien Tiap hari Sedang Sedang sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
pasien
tercukupi
Tidak terjadi
Ranitidine inj Stress ulcer Tiap hari Mual(-) Mual(-) Mual(-) Mual(-) Mual(-) Mual(-) Mual(-)
nyeri lambung
Kesadaran
Kesadaran
compos mentis,
Citicoline sensorik dan Tiap hari Sadar Sadar Sadar Sadar Sadar Sadar Sadar
sensorik dan
motorik
motorik normal
Kadar natrium
NaCl Kadar natrium normal 136-145 Tiap minggu 129 - - - - - 137
mmol/L
Kadar gula 332 318 200 180 200
Insulin <200 mg/dL Tiap hari - -
darah mg/dl mg/dL mg/dL mg/dL mg/dL

4.3.3 Pemantauan Efek Samping Obat

No Nama Obat Manifestasi ESO Regimen Cara Mengatasi ESO Evaluasi


Dosis Tgl Uraian
1. Aspilet Bronkospasme, mual, 1 x 80 mg Istirahat yang cukup, jika jika 1 juli 2021 Pasien tidak

45
muntah, nyeri, po pasien mengalami efek samping mengalami efek
ulserasi, dan anjurkan kepada pasien untuk samping
perdarahan saluran melaporkan kepada dokter
cerna.
2. Simvastatin Bersin-bersin, Pilek, 1 x 10 mg Banyak minum air putih, dan 1 – 2 juli Pasien tidak
Sakit tenggorokan, po konsumsi buah yang 2021 mengalami efek
Mual, Sembelit. mengandung serat samping
3. Pletaal Ruam, palpitasi, 1x100 mg Istirahat yang cukup, jika jika 1 – 2 Juli Pasien tidak
takikardia, muka pasien mengalami efek samping 2021 mengalami efek
merah & panas, sakit anjurkan kepada pasien untuk samping ini
kepala, pusing, mual, melaporkan kepada dokter
muntah, anoreksia,
diare
4. Asam folat Mual, Kehilangan 2 x 1 po Istirahat yang cukup, jika jika 1 – 2 Juli Pasien tidak
nafsu makan, pasien mengalami efek samping 2021 mengalami efek
Kembung, Rasa pahit anjurkan kepada pasien untuk samping ini
atau tidak enak di melaporkan kepada dokter
mulut, Gangguan
tidur, Perubahan
mood.
5. Ranitidine inj Mual dan muntah, 2 x 1 iv Istirahat yang cukup, jika jika 1 - 2 juli Pasien tidak
Sakit kepala, pasien mengalami efek samping 2021 mengalami efek
Insomnia, Vertigo, anjurkan kepada pasien untuk samping ini
Ruam, Konstipasi. melaporkan kepada dokter
Diare.
6. Citicoline  Insomnia, 2 x 500 Istirahat yang cukup, jika jika 1 - 2 Juli Pasien tidak
Sakit kepala, Diare, mg iv pasien mengalami efek samping 2021 mengalami efek
 Tekanan anjurkan kepada pasien untuk samping ini

46
darah rendah atau melaporkan kepada dokter.
hipotensi. Timbulnya efek samping
 Tekanan tergantung kondisi individual.
darah tinggi atau
hipertensi.
 Mual.
 Penglihatan
terganggu.
 Sakit di
bagian dada.

7. NaCl detak jantung cepat. /12 jam Efek samping tidak selalu 1 - 2 juli Pasien tidak
demam. gatal-gatal iv terjadi. Timbulnya efek samping 2021 mengalami efek
atau ruam, suara tergantung kondisi individual. samping ini
serak, Iritasi, nyeri Adanya reaksi hipersensitif
sendi, kaku, atau seperti ruam kulit, gatal
bengkak, dada sesak pemakaiannya dapat dihentikan

47
4.3 Pembahasan

Seorang pasien perempuan berinisial NM berumur 45 tahun di bawa oleh

keluarganya ke Rumah Sakit Otak DR.DRS.M.Hatta Bukittinggi dirawat di

ruangan Neurologi lantai 4 melalui IGD pada tanggal 1 Juli 2021. Pasien masuk

IGD dengan keluhan utama lemah anggota gerak sebelah kanan ± 15 hari sebelum

masuk Rumah Sakit (SMRS). Bicara pelo pasien juga memiliki riwayat penyakit

Hipertensi dan DM.

Hasil pemeriksaan fisik menunjukan kondisi umum pasien sadang,


160
kesadaran compos mentis, tekanan darah /100 mmHg, denyut nadi 80 kali/menit,

pernafasan 20 kali/menit, dan suhu tubuh 36,50C. Berdasarkan hasil pemeriksaan

laboratorium pada tanggal 1 Juli 2021 menunjukan Hb pasien 16,2 g/dL (normal),

Ureum pasien 35 mg/dL (normal), Kreatinin pasien 0,7 mg/dL (normal).

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah lengkap,

pemeriksaan kimia klinik, dan hasil urinalisa, maka diagnosa pada pasien adalah

stroke non hemoragik, DM, dan hipertensi. Tujuan penatalaksanaan stroke non

hemoragik atau iskemik dengan cara menghilangkan sumbatan pada aliran darah.

Pasien diberikan terapi anti platelet yaitu aspilet 1 x 80 mg dan

pletaal(cilostazol) 1 x100 mg yang berkerja dengan cara menghambat agregasi

platelet sehingga dapat menghambat pembentukan trombus pada sirkulasi arteri.

Blokade dilakukan dengan cara menginhibisi enzim siklooksigenase-1 (COX-1)

melalui proses asetilasi, yang menghasilkan berkurangnya produksi tromboxan

A2, derivat prostaglandin dan promotor agregasi platelet. Antiplatelet juga

berfungsi untuk mencegah kejadian stroke berulang. Pasien tidak mendapatkan

terapi alteplase karena pasien dibawa ke rumah sakit setelah 15 hari mengalami

48
lemah anggota gerak, karena alteplase hanya diberikan dalam onset 3 jam, jika

lebih dari itu alteplase tidak berfungsi.

Stroke merupakan salah satu faktor resiko yang menyebabkan terjadinya

stress ulcer. Stress ulcer dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara

faktor agresif (asam lambung, faktor intrinsik) dan faktor defensif (mukosa) dan

memicu terjadinya stress ulcer maka pasien diberikan injeksi ranitidin yang

merupakan antagonis reseptor H2, yang bekerja dengan cara mengurangi sekresi

asam lambung agar melindungi mukosa lambung dari asam lambung.

Pasien diberikan simvastatin sebagai pencegahan agar tidak timbulnya

plak pada pembuluh darah, agar tidak terjadi penyumbatan lainnya.

Pasien diberikan injeksi citicolin neuroprotektor yang merupakan

golongan obat yang dapat mengatur fungsi serebral dengan meningkatkan

kemampuan kognitif pada otak yang menurun.

Pasien diberikan suplementasi neurodex dan asam folat. Vitamin B12, B6,

dan asam folat(B9) berperan dalam pemulihan stroke mencegah terjadinya stroke

berulang, pemberian vitamin ini memberikan perbaikan fungsi saraf pasien stroke

dan mengurangi sitokin proinflamasi, mengurangi kadar homosistein,

memberikan efek antioksidan, serta meningkatkan ekspresi BDNF (Brain-derived

Neuritrophic Factor) dan NGF(Nerve Growth Factor) yang mempengaruhi

neuroplastisi pada otak pasca stroke.

Pasien mendapatkan terapi insulin untuk menurunkan kadar glukosa dalam

darah, obat ini bekerja dengan menggantikan insulin yang diproduksi secara alami

di dalam tubuh. Nilai HbA1c pasien 10 % artinya pasien menderita penyakit

diabetes yang tidak terkontrol, nila normal dari HbA1c dibawah 5,7%.

49
Pasien mendapatkan pemberian NaCl pada terapi bertujuan untuk

mengembalikan kekurangan cairan. NaCl kristal diberikan kepada pasien untuk

bertujuan mengatasi hiponatremia yang dialami pasien dan untuk menjaga perfusi

serebral.

Pasien memiliki riwayat hipertensi yang dapat menjadi faktor resiko

penyakit stroke, namun dalam kasus ini pasien tidak mendapatkan terapi

hipertensi karena tekanan darah tidak lebih dari 180, agar darah tetap mengalir ke

otak, kalau tekanan darah terlalu rendah akan menurunkan aliran darah ke otak

dan menyebabkan kerusakan sel otak lebih lanjut.

50
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa dari data anamnesa,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan labor, pasien didiagnosa menderita stroke

iskemik. Pasien memperoleh terapi:

1. Oksigen sebagai memperlancar asupan O2 pada pasien

2. IVFD NaCl 0,9% sebagai pengganti cairan tubuh

3. Aspilet sebagai antiplatelet yang memiliki efek samping stress ulcer

4. Ranitidin untuk mengatasi efek samping aspilet yaitu stress ulcer

5. Simvastatin untuk menurunkan kadar kolesterol

6. Neurodex untuk menjaga fungsi saraf agar berfungsi optimal

7. Injeksi citicolin untuk memperbaiki sirkulasi darah otak pada stroke

iskemik akut

8. Asam folat untuk menghindari terjadinya defisiensi folat


SR
9. Pletaal 100 mg untuk mengibati gejala iskemik seperti ulkus, rasa

sakit dan dingin yang disebabkan karena adanya penyumbatan arteri

kronis, dan pencegahan kambuhan infark otak.

5.2 Saran
Disarankan untuk memonitor secara ketat kadar gula darah pasien dan

kolesterol secara berkala.

51
BAB VI

EDUKASI

1. Menjelaskan pada keluarga pasien cara pemakaian obat dan aturan


pemakaiannya.
2. Bila lupa minum obat, minum sesegera mungkin, tetapi bila dekat waktu dosis
berikutnya, kembali kejadwal semula dosis jangan di double.
3. Menjelaskan pada pasien bahwa menyimpan obat pada tempat yang sejuk,
kering dan terlindung dari cahaya matahari.
4. Kurangi makanan yang mengandung garam tinggi, bersantan dan minyak
5. Kontrol dan cek tekanan darah, kadar kalium, dan kadar asam urat secara rutin
6. Istirahat yang cukup dan banyak minum air putih minimal 8 gelas/ hari
7. Konsumsi sayur dan buah
8. Lakukan kontrol kembali setelah obat habis
9. Banyak berdoa dan beribadah

52
DAFTAR PUSTAKA

Budianto P, dkk. 2021. Stroke Iskemik Akut : Dasar dan Klinis. Surakarta

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke G.R., Wells, B.G. & Posey L.M.
2011. Pharmacotheraphy : A Pathophysiologic Approach (9th Ed). New
York : McGraw-Hill Ghani, L.

Kemenkes. 2013. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi.


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Khoury, J. C., Kleindorfer, D., Alwell, K., Moomaw, CJ, Woo, D., Adeoye, O.
Kissela, B. M. (2013). Diabetes Mellitus: A Risk Factor for Ischemic
Stroke in a Large Biracial Population. Stroke, 44, 1500-1504.
doi:10.1161/strokeaha.113.00318

Ndraha, S. 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Medicinus.


27(2), 9-16.

Nuraini, B. 2015. Risk Factors Of Hypertension. Unversity of Lampung.

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular.


Edisi Pertama Terapi layanan JKN pada pasien hipertensi dan DM Tipe II
Di Unit Rawat Jalan RS Udayana. Jurnal Farmasi Udayana. 5(1):33-39.

Song, S. H. 2015. Complication characteristics between young-onsettype 2 versus


type 1 diabetes in a UKpopulation. BMJ Open Diabetes. Research &
Care. 3(1). doi:10.1136/bmjdrc-2014-000044

Valavanis, A. 2012. Clinical imaging of the cerebellopontine angle place of


Publication not identified: Springer.

WHO. 2005. WHO steps stroke manual: The WHO STEP wise approach to stroke
surveillance. WHO Publisher. Geneva

53
Lampiran 1. Informasi Obat

Nama Obat Aspilet


Indikasi Menurunkan resiko Trombosis Koroner lebih lanjut selama
fase pemulihan dari Infark Miokard, mengurangi resiko
berulangnya serangan iskemik sepintas & stroke pada
pasien, untuk meringankan rasa nyeri, seperti pada sakit
kepala, sakit gigi.
Kontra Indikasi Gangguan perdarahan, asma, ulkus peptikum
Perhatian Gangguan fungsi hati, dispepsia, hamil dan laktasi, anak-
anak.
Efek Samping  Perut terasa sakit, panas atau kram, sembelit, diare,
masalah pencernaan
 Feses berwarna terlalu gelap atau terlalu terang
 Urine berwarna gelap atau berdarah, urine berkurang

 Tidak sadarkan diri, mudah mengantuk, pingsan,


mudah lelah dan lemas
 Sakit pada dada, sesak napas, napas terengah-engah,
jantung berdetak tak menentu
 Kebingungan, berpikir sesuatu yang buruk akan
terjadi, gugup dan cemas, selalu merasa panik,
 Demam,

 Sakit kepala
 Mudah merasa haus

 Kehilangan selera makan


 Sakit pinggang, kram otot dan tremor, kejang

 Mual dan muntah,


 Tangan, kaki, atau bibir mati rasa

 Ruam kulit, bengkak pada bagian tubuh tertentu


seperti jari, wajah, dan kaki bagian bawah, luka dan
memar yang tidak biasa
Interaksi Obat Meningkatkan konsentrasi serum alopurinol sehingga dapat
meningkatkan toksisitas allopurinol.Chlorpropamide :

54
Meningkatkan reaksi hepatorenal, monitor hipoglikemi.Obat
lain : Cotrimoxazole : Trombositopenia Cyclosporin :
Meningkatkan konsentrasi cyclosporin dalam darah
(penyesuaian dosis)
Dosis Transient Ischemic Attacks & Acute Ischemic Stroke :Untuk
mengurangi resiko berulangnya TIA, stroke, kematian : 50 -
325mg/hari, AIS : 160-325mg/hari dimulai dalam waktu 48
jam setelah stroke terjadi, dilanjutkan hingga 2-4 minggu.
Pencegahan AIS sekunder adalah dengan dosis rendah.CAD
&MI :Pencegahan : 160-325mg/hari, dimulai paling lama 24
jam setelah MI terjadi kemudian diteruskan selama 30 hari
paling sedikit. Angina stabil kronis :Dosis : 75-325mg/hari
segera setelah didiagnosa (kecuali ada kontraindikasi
aspirin). Diminum setelah makan
Sediaan Tablet salut enteric 80 mg
Kategori D

Nama Obat Ranitidin


Indikasi Tukak lambung, tukak duodenum, refluks esofagitis,
hipersekresi patologis (misal: sindroma zollinger ellison)
Kontra Indikasi Penderita yang hipersensitif terhadapat ranitidine atau H2
reseptror antagonis lainnya
Perhatian Gangguan ginjal, gangguan hati, kehamilan, menyusui
Efek Samping  Sususan saraf pusat: sakit kepala. Jarang terjadi:
malaise, pusing, mengantuk, insomnia, vertigo,
agitasi, depresi, halusinasi,
 Kardiovaskular, jarang dilaporkan: aritmia seperti
takikardia, bradikardia, blok atrioventrikular,
prematur ventikular beats.
 Gastro intestinal: konstipasi, diare, mual, muntah,
nyeri perut. Jarang dilaorkan: pankreatitis
 Muskuloskeletal, jarang dilaporkan: artralgia dan
mialgia
 Hematologik: leukopenia, granulositopenia,
pansitopenia, trombositopenia (pada beberapa

55
penderita)
 Rekasi hipersensitifitas

Interaksi Obat  Penggunaan bersamaan dengan antasida dapat


mengurangi bioavailabilitas ranitidine sehingga
berikan ranitidine berselang dua jam setelah
penggunaan antasida
 Pemberian bersama warfarin dapat meningkatkan
atau menurunkan waktu protombin

Dosis Oral :
 Ulkus peptikum dan ulkus duodenum 150 mg 2x
sehari (pagi dan malam) atau 300 mg 1x sehari
sesudah makan malam atau sebelum tidur, selama 4-
8 minggu
 Terapi pemeliharaan pada penyembuhan ulkus
peptikum dan ulkus duodenum: 150 mg, malam hari
sebelum tidur
 Refluks gastroesofagitis 150 mg 2x sehari.

Injeksi :
 Injeksi intra muskular: 50 mg (2 ml) tiap 6-8 jam
 Injeksi intra vena lambat: 50 mg diencerkan sampai
20 ml dan diberikan selama tidak kurang dari 2
menit, dapat diulang setiap 6-8 jam

Sediaan Tablet/ kaplet 150 mg: ranitidine, fordin, gastridin


Tablet/ kaplet 300mg: ranilex-300, rantin, chopintac forte
Injeksi ampul 25 mg/ml: radin, ranin, ranitidine soho
Kategori B
Keterangan

Nama Obat NaCl


Indikasi Digunakan sebagai pengganti cairan tubuh
Kontra Indikasi  Pasien dengan riwayat asidosis metabolisme
dikarenakan klorida pada natrium klorida dapat meningkat
dalam tubuh.

56
 Pasien dengan masalah retensi cairan akan
menyebabkan kondisi berbahaya lain pada tubuh seperti
hipernatremia, hipokalemia, dan gagal jantung

Interaksi Obat Menimbulkan interaksi jika dikonsumsi bersamaan dengan


nacl adalah lithium dan tolvaptan.
Perhatian Berkonsultasi dengan dokter jika Anda memiliki gagal
jantung kongestif, hipertensi atau penyakit ginjal,
Kehamilan terkait hipertensi, Memonitor cairan, elektrolit
dan keseimbangan asam-basa secara teratur, bayi, infus
intravena selama atau segera setelah operasi, pasien geriatri

Efek Samping Belum ada laporan mengenai efek penggunaan obat natrium
klorida. Namun, Anda harus segera menghubungi dokter
jika ada efek samping berikut:
 Detak jantung cepat
 demam
 Gatal-gatal atau ruam
 Suara serak
 Iritasi
 Nyeri sendi, kaku, atau bengkak
 Dada sesak
 pembengkakan pada wajah, bibir, tenggorokan, atau
lidah

Dosis Dosis penggunaan NaCl 0.9% bersifat individual tergantung


berat tidaknya penyakit yang diderita. Berikut dosis yang
harus Anda patuhi dan di bawah pengawasan dokter serta
apoteker:

 Penggantian cairan dan elektrolit: Dosis tergantung


pada usia, berat badan, kondisi klinis, dan penentuan
hasil laboratorium pasien.
 Hipernatremia: Dosis tergantung pada usia, berat
badan, kondisi klinis, dan penentuan hasil

57
laboratorium pasien.

Sediaan Invus steril NaCl 0,9%


Kategori C

Nama Obat Simvastatin


Indikasi Terapi tambahan pada diet untuk menurunkan kolesterol pada
hiperkolesterolemia primer atau dislepidemia campuran
Kontra Indikasi Hipersensitif terhadap simvastatin atau komponen obat. Gagal
fungsi hati atau pernah mengalami gagal fungsi hati.
Peningkatan jumlah serum transaminase yang abnormal.
Pecandu alkohol. Wanita hamil dan menyusui.
Perhatian  Simvastatin dapat berdampak buruk pada janin. Oleh
karena itu, wanita dalam usia subur dan aktif secara
seksual dianjurkan untuk menggunakan alat
kontrasepsi yang aman saat mengonsumsi simvastatin.
 Diskusikan dengan dokter sebelum menggunakan
simvastatin, bila Anda memiliki alergi terhadap makanan,
obat, maupun bahan lain yang terkandung dalam obat ini.
 Sebelum menggunakan simvastatin, beri tahu dokter
jika Anda menderita penyakit hati, penyakit ginjal,
dan penyakit tiroid.
 Pasien dewasa dapat lebih sensitif terhadap efek
samping simvastatin, terutama efek samping yang berupa
masalah pada otot.
 Hindari mengonsumsi minuman beralkohol saat
menggunakan obat ini, karena dapat meningkatkan risiko
kerusakan organ hati

Efek Samping Bersin-bersin, Pilek, Sakit tenggorokan, Mual, Sembelit,


Muntah, Sakit perut, Merasa sangat lelah ,Urine berwarna
gelap seperti teh, Mata dan kulit menguning, gangguan fungsi
hati.
Dosis Awal 5-10 mg/hari dosis tunggal pada malam hari. Dosis
dapat disesuaikan dengan interval 4 minggu. Maksimal 40

58
mg/hari sebagai dosis tunggal (malam hari)
Sediaan Tablet 5 mg: Esvat, Lipinorm, simvastatin, valemia
Tablet 10 mg :cholestat, cholexin, detroval,esvast, ethical,
lesvatin, lipinom, mersivas, normofat, phalol, rechol,
rendapid, simvastatin, sintrol, valemia, vaster, vindastat,
Zocor
Tablet 20 mg : Lipinorm, cholestat, esvat,, simvastatin,
rechol, rendapid, svt,vidastat
Interaksi Obat Insiden miopati meningkat bila statin diberikan pada dosis
tinggi atau diberikan bersama fibrat atau asam nikotinat pada
dosis hipolipidemiknya, atau imunosupresan seperti
cylosporin
Kategori X

Nama Obat Citicolin


Indikasi Pengobatan gangguan serebrovaskular (termasuk stroke
iskemik, parkinson dan cedera kepala
Kontra Indikasi Hipersensitivitas terhdap citikolin
Perhatian Harus diberikan bersama dengan obat yang menurunkan
tekanan intrakarnial atau anti hemoragik pada kondisi yang
gawat dan akut. Jaga agar suhu tubuh tetap rendah.
Pemberian secara intravena haris diberikan secara perlahan
Efek Samping Ruam kulit, insomnia, sakit kepala, pusing, kejang, mual,
anoreksia, hasil tes fungsi hati abnormal, diplopia, sensasi
hangat, perubahan tekanan darah sementara, rasa tidak enak
badan
Dosis Keadaan akut : 250 – 500 mg, 1-2 kali sehari secara drip IV
atau bolus IV
Keadaan Kronik : 100-300 mg, 1-2 kali sehari secara IV atau
IM
Gangguan serebrovaskular : dapat diberikan IV atau IM
sampai 1000 mg. pemberian IV harus selambat mungkin
Sediaan Ampul 250 mg/2 ml :Beclov, Brainolin, Bralin,Cercul,
Cholimed, Cholinaar, Cibren, Citicholin, Croline, Inceline,
Lancoline, Neuciti, Neulin, Neurolin, Nicholin, Serfac,
Soholin, Takelin, Zeufar

59
Tablet/ Kapsul 500 mg :Brainact, Bralin, Cholinaar, Futalin,
Incelin, Neurolin, Recolin, Simciti,Soholin 500, strolin,
takelin, Zeufor
Kapsul 1000 mg : Brainact, Bralin
Kategori -
Perhatian -

Nama Obat Neurodex


Indikasi Untuk pengobatan kekurangan vitamin B1, B6, dan B12,
seperti pada polineuritis
Kontra Indikasi Penderita yang hipersensitifitas pada neurodex
Perhatian Sebaiknya tidak digunakan untuk pasien yang sedang
menerima terapi levodopa
Efek Samping Pemakaian vitamin B6 dosis besar dalam jangka waktu lama
dapat menyebabkan sindrom neuropati
Dosis 1 tablet sehari
Sediaan Neurodex tablet salut selaput
Kategori

Nama Obat Asam Folat


Indikasi Pencegahan dan defisiensi folat. Suplemen folat juga
dibutuhkan wanita hamil karena kebutuhan asam folat pada
wanita yang hamil mengalami peningkatan. Defisiensi folat
pada wanita hamil dapat menyebabkan terjadinya defek
neural tube.
Kontra Indikasi -
Perhatian -
Efek Samping -
Interaksi Obat -
Dosis Defisiensi Folat : dosis awal 5 mg setiap hari selama 4
bulan. Dosis pemeliharaan 5 mg setiap 1-7 hari tergantung
penyakit dasarnya.
Sediaan Tablet Folavit,
Kategori A,
Keterangan

Nama Obat Pletaal SR


Indikasi Pengobatan gejala iskemia seperti ulkus, rasa sakit dan
dingin yang disebabkan karena adanya penyumbatan arteri
kronis, pencegahan kambuhan infark otak. Antikoagulan,
Antiplatelet dan Fibrinolitik (Trombolitik)

60
Kontra Indikasi
Perhatian Perdarahan, gagal jantung kongesi dan kehamilan
Efek Samping Ruam, palpitasi, takikardia, muka terasa panas, sakit kepala,
pusing, mual, muntah
Interaksi Obat
Dosis Dosis dewasa : 2 x 100 mg / hari
Sediaan 1 Dus isi 3 Blister x 10 Tablet
Nama Standar MIMS : Pletaal 100 mg tab
Kategori C

61

Anda mungkin juga menyukai